Dosen Pembimbing :
Ni Made Wedri, A.Per.Pen, S.Kep, Ns, M.Kes
Disusun Oleh :
Nama : Anak Agung Gde Agung Mahotama Putra
NIM : P07120222023
Kelas : 2A / S.Tr Keperawatan
Kelompok : 3
2. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang yang biasanya diakibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang disebabkan oleh kendaraan
bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-
anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. adapun penyebab fraktur antara lain:
a. Kekerasan langsung
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu retakan
sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan. Kerusakan otot dan jaringan
akan menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi retak mungkin hanya
retakan pada tulang, tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak terjadi di
sepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan fraktur yang
terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap (Digiulio, Jackson
dan Keogh, 2014)
3. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang
dapat diserap tulang maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya
atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang
rusuk. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya
(Smeltzer & Bare, 2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur terdiri dari faktor
ekstrinsik dan intrinsik. Faktor ekstrinsik adalah adanya tekanan dari luar yang bereaksi
pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat
menyebabkan fraktur. Faktor intrinsik antara lain kapasitas absorbsi dari tekanan,
elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang (Smeltzer & Bare, 2013).
4. Pohon Masalah
5. Klasifikasi
Fraktur dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Fraktur komplit, adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
b. Fraktur tidak komplit (inkomplit), adalah patah yang hanya terjadi pada sebagian
dari garis tengah tulang.
c. Fraktur tertutup (closed), adalah hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
atau bila jaringan kulit yang berada diatasnya / sekitar patah tulang masih utuh.
d. Fraktur terbuka (open/compound), adalah hilangnya atau terputusnya jaringan
tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah atau sedang berhubungan dengan
dunia luar. Fraktur terbuka dapat dibagi atas tiga derajat, yaitu :
1) Derajat I
Luka < 1 cm
Kontaminasi minimal
2) Derajat II
Laserasi > 1 cm
Kontaminasi sedang
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan
neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas:
IIIA: Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
IIIB: Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan
lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
IIIC: Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan agar bagian distal
dapat dipertahankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges (2014), Pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur antara lain yaitu:
a. Pemeriksaan Radiologi X-ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan
tulang yang cedera. CT scan dilakukan untuk mendeteksi struktur fraktur yang
kompleks, memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak. Venogram / Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler dan menggambarkan arus vaskularisasi.
b. Laboratorium Leukosit turun/meningkat, eritrosit dan albumin turun, Hb dan
hematokrit cenderung rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED)
meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan, Ca
meningkat di dalam darah, trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal
sehingga sering meningkat. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada
kehilangan darah, transfusi multiple, atau cedera hati.
8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan fraktur dapat dapat dilakukan dengan empat cara yaitu:reduksi,
traksi, imobilisasi dan pembedahan (Smeltzer & Bare, 2013).
a. Reduksi
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin
untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin
sulit dilakukan bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi
dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur, dan
analgetika diberikansesuai ketentuan, mungkin perlu dilakukan anestesi.
Ekstremitas yang akan dilakukan manipulasi harus ditangani dengan lembut untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke
posisinya dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankandalam
posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang. Alat
imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk
penyembuhan tulang.
Reduksi terbuka digunakan pada fraktur tertentu dengan memakai alat fiksasi
interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan
efek reduksi dan
imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
b. Traksi
Traksi adalah cara penyembuhan fraktur yang bertujuan untuk
mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin.
Metode pemasangan traksi terdiri dari traksi manual dan traksi mekanik. Traksi
mekanik ada dua macam yaitu traksi kulit dan traksi skeletal. Traksi kulit dipasang
pada dasar sistem skeletal untuk struktur yang lain, misalnya: otot. Traksi kulit
terbatas untuk 4 minggu dan beban kurang dari 5 kg. Traksi skeletal merupakan
traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan
untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal atau penjepit melalui
tulang/jaringan metal.
c. Imobilisasi Fraktur.
Setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus diimobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu. Metode fiksasi interna
dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam
d. Pembedahan
Pada saat ini metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya
mungkin adalah pembedahan. Metode perawatan ini disebut dengan fiksasi interna
dan reduksi terbuka. Pada umumnya insisi dilakukan pada tempat yang mengalami
cedera dan diteruskan sepanjang bidang anatomi menuju tempat yang mengalami
fraktur. Hematoma fraktur dan fragmen- fragmen tulang yang telah mati di irigasi
dari luka. Fraktur kemudian direposisi dengan tangan agar menghasilkan posisi
yang normal kembali. Sesudah direduksi, fragmen-fragmen tulang ini
dipertahankan dengan alat- alat ortopedi berupa pen, sekrup, pelat, dan paku.
3. Patofisiologi
Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang.
Organisme patogenik lainnya yang sering dijumpai pada Osteomielitis meliputi: Proteus,
Pseudomonas, dan Escerichia Coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resistensi
penisilin, nosokomial, gram negative dan anaerobik. Awitan Osteomielitis setelah
pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama (akut fulminan – stadium 1)
dan sering berhubungan dengan penumpukan hematoma atau infeksi superficial. Infeksi
awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4 sampai 24 bulan setelah pembedahan.
Osteomielitis awitan lama (stadium 3) biasanya akibat penyebaran hematogen dan terjadi
2 tahun atau lebih setelah pembedahan. Respon inisial terhadap infeksi adalah salah satu
dari inflamasi, peningkatan vaskularisasi, dan edema.
Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan namun yang lebih sering
harus dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam
dindingnya terbentuk daerah jaringan mati (sequestrum) tidak mudah mencair dan
mengalir keluar. Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi
pada jaringan lunak lainnya. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan
mengelilingi sequestrum. Jadi meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun
sequestrum infeksius kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan
sepanjang hidup penderita. Dinamakan osteomyelitis tipe kronik.
4. Pohon Masalah
5. Klasifikasi
● Dapat diklasifikasikan dua macam osteomyelitis, yaitu:
1. Osteomyelitis Primer, yaitu penyebarannya secara hematogen dimana
mikroorganisme berasal dari focus ditempat lain dan beredar melalui
sirkulasi darah.
2. Osteomyelitis Sekunder, yaitu terjadi akibat penyebaran kuman dari
sekitarnya akibat dari bisul, luka fraktur dan sebagainya.
● Berdasarkan lama infeksi, osteomyelitis terbagi menjadi 3, yaitu :
1. Osteomyelitis Akut
Yaitu osteomielitis yang terjadi dalam 2 minggu sejak infeksi pertama atau
sejak penyakit pendahulu timbul. Osteomielitis akut ini biasanya terjadi
pada anak-anak dari pada orang dewasa dan biasanya terjadi sebagai
komplikasi dari infeksi di dalam darah (osteomielitis hematogen).
Osteomielitis akut terbagi menjadi 2, yaitu:
a. Osteomyelitis hematogen
Merupakan infeksi yang penyebarannya berasal dari darah.
Osteomielitis hematogen akut biasanya disebabkan oleh
penyebaran bakteri darah dari daerah yang jauh. Kondisi ini
biasanya terjadi pada anak-anak. Lokasi yang sering terinfeksi
biasa merupakan daerah yang tumbuh dengan cepat dan metafisis
menyebabkan trombosis dan nekrosis lokal serta pertumbuhan
bakteri pada tulang itu sendiri. Osteomielitis hematogen akut
mempunyai perkembangan klinis dan onset yang lambat.
b. Osteomyelitis Direk
Disebabkan oleh kontak langsung dengan jaringan atau bakteri
akibat trauma atau pembedahan. Osteomielitis direk adalah infeksi
tulang sekunder akibat inokulasi bakteri yang menyebabkan oleh
trauma, yang menyebar dari focus infeksi atau sepsis setelah
prosedur pembedahan. Manifestasi klinis dari osteomielitis direk
lebih terlokalisasi dan melibatkan banyak jenis organisme.
2. Osteomyelitis Sub-Akut
Terjadi dalam 1-2 bulan sejak infeksi pertama atau sejak penyakit dahulu
timbul.
3. Osteomyelitis Kronis
Yaitu osteomyelitis yang terjadi dalam 2 bulan atau lebih sejak infeksi
pertama atau sejak penyakit pendahulu timbul. Osteomielitis sub-akut dan
kronis biasanya terjadi pada orang dewasa dan biasanya terjadi karena ada
luka atau trauma (osteomielitis kontangiosa), misalnya osteomielitis yang
terjadi pada tulang yang fraktur.
3. Patofisiologi
Osteoporosis dapat terjadi karena kegagalan dalam mencapai massa tulang puncak
dan resorpsi yang berlebihan dan atau menurunnya pembentukan tulang selama
remodeling (Sandhu SK dan Hampson G, 2011). Dalam proses terjadinya osteoporosis,
terdapat 2 sel yang berperan penting, antara lain osteoblas dan osteoclas. Baik sel
osteoblas maupun sel osteoclast berfungsi menjaga homeostasis tulang. Osteoblas
berperan dalam proses pembentukan tulang sedangkan osteoklast berperan dalam resorpsi
tulang. Penyebab utama terjadinya osteoporosis adalah ketidakseimbangan antara proses
resorpsi dan pembentukan tulang (Atalay et.al, 2012).
Meskipun banyak anggapan bahwa peningkatan resorpsi tulang memiliki
pengaruh yang paling besar pada kejadian berkurangnya massa tulang dan resiko terjadi
fraktur, ketidakmampuan pembentukan tulang untuk merespon terhadap peningkatan
resorpsi tulang juga merupakan komponen penting dalam patogenesis osteoporosis
(Sandhu SK dan Hampson G, 2011). Hal ini berkaitan dengan penurunan jumlah
osteoprogenitor/sel pre-osteoblastik atau terjadinya defek dalam kemampuan sel
berproliferasi dan berdiferensiasi. Seiring bertambahnya usia, pembentukan tulang lebih
rendah daripada resorpsi tulang, diasumsikan karena bone marrow lebih banyak
berdiferensiasi menjadi adiposit daripada menjadi osteoblas. Berkurangnya kepadatan
tulang karena faktor genetik yang berkaitan dengan integritas tulang, usia, dan
menopause pada wanita juga menjadi penyebab penting terjadinya osteoporosis (Sandhu
SK dan Hampson G, 2011).
4. Pohon Masalah
5. Klasifikasi
Adapun jenis - jenis Osteoporosis yaitu :
1) Osteoporosis Primer
a. Osteoporosis tipe 1 Disebut juga Postmenopausal Osteoporosis.
Osteoporosis tipe ini bisa terjadi pada dewasa muda dan usia tua, baik
laki-laki maupun perempuan. Pada perempuan usia antara 51-75 tahun
beresiko 6 kali lebih banyak daripada laki-laki dengan kelompok umur
yang sama. Tipe osteoporosis ini berkaitan dengan perubahan hormon
setelah menopause dan banyak dikaitkan dengan patah tulang pada ujung
tulang pengumpil lengan bawah. Pada osteoporosis jenis ini terjadi
penipisan bagian keras tulang yang paling luar (kortek) dan perluasan
rongga tulang.
b. Osteoporosis tipe 2 disebut juga senile osteoporosis (involutional
osteoporosis). Tipe 2 ini banyak ditemui pada usia diatas 70 tahun dan dua
kali lebih banyak pada wanita dibanding laki-laki pada umur yang sama.
Kelainan pertulangan terjadi pada bagian kortek maupun di bagian
trabekula. Tipe ini sering dikaitkan dengan patah tulang kering dekat sendi
lutut, tulang lengan atas dekat sendi bahu, dan patah tulang paha dekat
sendi panggul. Osteoporosis Jenis ini,terjadi karena gangguan
pemanfaatan vitamin D oleh tubuh, misalnya karena keadaan kebal
terhadap vitamin D(vit D'Resisten) atau kekurangan dalam pembentukan
vitamin D (vit D synthesis) dan bisa juga disebabkan karena kurangnya
sel-sel perangsang pembentukan vitamin D(vit D'reseptor).
2) Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis Sekunder merupakan dengan gejala fraktur pada vertebra dua
atau lebih. Diantara kelainan ini yang paling sering terjadi adalah pada
pengobatan dengan steroid, mieloma, metastasis ke tulang, operasi pada lambung,
terapi antikonvulsan, dan hipogonadisme pada pria. Osteoporosis sekunder ini
disebabkan oleh faktor di luar tulang diantaranya: Karena gangguan hormon
seperti hormon gondok, tiroid, dan paratiroid, insulin pada penderita diabetes
melitus dan glucocorticoid, Karena zat kimia dan obat-obatan seperti
nikotin,rokok,obat tidur, kortikosteroid,alkohol,Penyebab lain seperti istirahat
total dalam waktu lama,penyakit gagal ginjal,penyakit hati, gangguan penyerapan
usus, penyakit kanker dan keganasan lain,sarcoidosis, penyakit sumbatan saluran
paru yang menahun,berkurangnya daya tarik bumi dalam waktu lama seperti pada
awak pesawat ruang angkasa yang berada di luar angkasa sampai berbulan bulan.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan radiologi
Dilakukan untuk menilai densitas massa tulang sangat tidak sensitif.
Gambaran radiologi yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan
daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang
vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra
b. Pemeriksaan densitas massa tulang (Densitometri)
Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan untuk menilai
densitas massa tulang, seseorang dikatakan menderita osteoporosis apabila nilai
BMD ( Bone Mineral Density ) berada dibawah -2,5 dan dikatakan mengalami
osteopenia (mulai menurunnya kepadatan tulang) bila nilai BMD berada antara -
2,5 dan -1 dan normal apabila nilai BMD berada diatas nilai -1.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dalam menilai densitas tulang trabekula melalui dua langkah yaitu
pertama T2 sumsum tulang dapat digunakan untuk menilai densitas serta kualitas
jaringan tulang trabekular dan yang kedua untuk menilai arsitektur trabekula
d. CT-Scan
CT-Scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang
mempunyai nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra
diatas 110 mg/cm3 biasanya tidak menimbulkan fraktur vertebra atau penonjolan,
sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm3 ada pada hampir semua klien
yang mengalami fraktur.
8. Penatalaksanaan Medis
a. Obat yang dapat meningkatkan pembentukan tulang adalah Na-fluorida dan
steroid anabolic.
b. Kalsium
Mengkonsumsi kalsium cukup baik dari makanan sehari-hari ataupun dari
tambahan kalsium, pada umumnya aman kecuali pada pasien dengan
hiperkalsemia atau nefrolitiasis. Jenis makanan yang cukup mengandung kalsium
adalah sayuran hijau dan jeruk sitrun.
c. Estrogen Replacement Therapy (ERT)
Semua perempuan pada saat menopause mempunyai resiko osteoporosis.
Karena itu dianjurkan pemakaian ERT pada mereka yang tidak ada
kontraindikasi. ERT menurunkan resiko fraktur sampai dengan 50% pada
panggul, tulang radius dan vertebra.
d. Pemberian Kalsitonin
Kalsitonin bekerja menghambat resorpsi tulang dan dapat meningkatkan
massa tulang apabila digunakan selama 2 tahun. Nyeri tulang juga akan berkurang
karena adanya efek peningkatan stimulasi endorfin. Pemakaian kalsitonin
diindikasikan bagi pasien yang tidak dapat menggunakan ERT, pasien pasca
menopause lebih dari 15 tahun, pasien dengan nyeri akibat fraktur osteoporosis,
dan bagi pasien yang mendapat terapi kortikosteroid dalam waktu lama.
e. Terapi
Terapi yang juga diberikan adalah vitamin D dan tiazid, tergantung kepada
kebutuhan pasien. Vitamin D membantu tubuh menyerap dan memanfaatkan
kalsium. Dua Puluh Lima Hidroksi Vitamin D dianjurkan diminum setiap hari
bagi pasien yang menggunakan suplemen kalsium.
D. Konsep Penyakit Amputasi
1. Pengertian
Amputasi berasal dari kata "amputare" yang kurang lebih diartikan "pancung".
Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau
seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam
kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah
tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi
organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ
tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi. Amputasi merupakan
prosedur pembedahan yang paling tertua, perkembangan teknik pembedahan dan desain
prosthetic dimulai akibat dari peperangan (Daniels & Nicoll, 2012). Sampai sekarang
Amputasi diartikan sebagai penghilangan anggota tubuh. Ini mungkin terjadi sebagai
akibat dari trauma (trauma amputasi) atau dalam upaya untuk mengendalikan penyakit
atau kecacatan (amputasi terapi). Salah satu indikasi untuk dilakukan amputasi adalah
iskemia ireversibel yang disebabkan salah satu penyakit atau trauma (Daniels & Nicoll,
2012).
2. Etiologi
Amputasi dapat terjadi akibat cedera parah yang tidak disengaja, atau bisa juga
direncanakan oleh dokter untuk menangani sejumlah penyakit.
1) Amputasi Akibat Cedera. Cedera ini bisa terjadi akibat sejumlah kondisi seperti
berikut :
a. Bencana alam, misalnya tertimpa reruntuhan gedung saat gempa.
b. Serangan binatang buas.
c. Kecelakaan kendaraan bermotor.
d. Kecelakaan akibat pekerjaan yang melibatkan mesin atau alat berat.
e. Luka tembak atau ledakan akibat perang atau serangan teroris.
f. Luka bakar parah.
2) Amputasi Akibat Penyakit. Banyak penyakit yang dapat membuat seseorang
harus menjalani prosedur amputasi, antara lain :
a. Penebalan pada jaringan saraf (neuroma).
b. Frostbite, atau cedera akibat paparan suhu dingin yang ekstrim.
c. Infeksi yang tidak bisa diobati lagi, misalnya pada kasus osteomielitis atau
necrotising fasciitis yang parah.
d. Kanker yang sudah menyebar ke tulang, otot, saraf atau pembuluh darah.
e. Kematian jaringan misalnya akibat penyakit arteri perifer atau neuropati
diabetik.
3. Patofisiologi
Amputasi merupakan hasil dari atau diakibatkan oleh gangguan aliran darah baik
akut maupun kronik. Pada keadaan akut organ sebagian atau keseluruhan dipotong dan
jaringan yang mati diangkat. Terjadi anjuran baru untuk penyambungan kembali dari jari
atau bagian tubuh yang kecil, tetapi tidak bagian otot. Tubuh mungkin merasa sebuah
amputasi parsial sebagai ancaman dan sepsis mungkin berkembang pada beberapa kasus
bagian tubuh yang dipindahkan digunakan untuk mencegah kematian klien. Klien yang
menghadapi situasi ini memerlukan konseling, mereka mungkin tidak akan mau
mengorbankan sebuah anggota tubuhnya, meskipun tidak berfungsi untuk lebih
memastikan hidupnya. Pada proses penyakit yang kronik sirkulasi terputus, aliran darah
vena sedikit, protein bocor ke dalam ruang intertisium dan edema berkembang, edema
meningkatkan resiko injury dan lebih jauh menurunkan sirkulasi terputus dan penurunan
proses imun sehingga bakteri mudah berflorensi, adanya proses infeksi yang progresif
lebih jauh akan mengakibatkan sirkulasi terhambat dan kemungkinan besar menjadi
gangrene yang mana merupakan hal yang harus dilaksanakannya amputasi.
4. Pohon Masalah
5. Klasifikasi
➢ Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :
1) Amputasi selektif/terencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan
mendapat penanganan yang baik seta terpantau secara terus-menerus. Amputasi
dilakukan sebagai salah satu tindakan alternative terakhir.
2) Amputasi akibat trauma
Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak
direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi
amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.
3) Amputasi darurat
Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya
merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma
dengan patah tulang multiple dan kerusakan/ kehilangan kulit luas.
➢ Berdasarkan tingkatan amputasi :
1) Ekstremitas atas
Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri.
Hal ini berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi,
berpakaian dan aktivitas lainnya yang melibatkan tangan
2) Ekstremitas bawah
Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari jari-jari
kaki yang menimbulkan seminimal mungkin kemampuannya. Adapun amputasi
yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi dua letak yaitu :
a) Amputasi dibawah lutut (below knee amputation)
Ada dua metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic
limb dan ischemic limb.
b) Amputasi diatas lutut
Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien
dengan penyakit perifer.
3) Nekrosis
Pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu terapi konservatif, bila tidak
berhasil dilakukan re-amputasi pada level yang lebih tinggi
4) Kontraktur
Kontraktur sendi dapat dicegah dengan mengatur letak stump amputasi serta
melakukan latihan sedini mungkin. Terjadinya kontraktur sendi karena sendi
terlalu lama diistirahatkan atau tidak digerakan.
5) Neuroma
Terjadi pada ujung-ujung saraf yang dipotong terlalu rendah sehingga
melekat dengan kulit ujung stump. Hal ini dapat dicegah dengan memotong saraf
lebi proksimal dari stump sehingga tertanam didalam otot.
6) Phantom sensation
Hamper selalu terjadi dimana penderita merasakan masih utuhnya
ekstremitas tersebut disertai rasa nyeri. Hal ini dapat diatasi dengan obat-obatan,
stimulasi terhadap saraf dan juga dengan cara kombinasi.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. CBC : penurunan darah yang tiba-tiba menandakan hemoragi dan peningkatan sel
darah putih yang tiba-tiba mengidentifikasikan adanya infeksi.
b. Kimia darah : ukuran elektrolit dan pengisian cairan seimbang, selama operasi
klien sering menerima cairan iv
8. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan amputasi, dilakukan sebagian kecil sampai dengan sebagian besar
dari tubuh, dengan dua metode:
a. Amputasi Terbuka (guillotine amputasi).
Metode ini digunakan pada klien dengan infeksi yang berat, dimana
pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Bentuknya benar-benar
terbuka dan dipasang drainage agar luka bersih, dan luka dapat ditutup setelah
tidak terinfeksi.
b. Amputasi Tertutup (flap amputasi)
Pada metode ini, dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan
memotong kurang lebih 5 centimeter dibawah potongan otot dan tulang, kulit tepi
ditarik pada atas ujung tulang dan dijahit pada daerah yang diamputasi.
2. Diagnosis Keperawatan
a. Analisis Data
Dalam diagnosis keperawatan terdapat analisis data yang digunakan untuk
mengetahui masalah keperawatan yang muncul. Analisis data terdiri atas:
1) Data Fokus
Di dalam data fokus terdapat data subjektif dan data objektif. Data subjektif
merupakan data yang dikeluhkan/disampaikan oleh pasien. Sementara, data
objektif adalah data yang didapatkan berdasarkan pengukuran dan observasi oleh
perawat.
2) Analisis
Menganalisis data fokus yang sudah didapatkan. Proses analisis dapat berbentuk
pohon masalah. Dari analisis data perawat akan dihasilkan masalah keperawatan
yang dialami pasien.
3) Masalah
Masalah merupakan masalah keperawatan yang akan ditangani selama proses
keperawatan berlangsung.
Berikut adalah contoh tabel analisis data:
Data Fokus Analisis Masalah
Subjektif
1)
Objektif
1)
b. Diagnosis
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Diagnosis
keperawatan yang umum muncul pada pasien dengan gangguan pemenuhan
kebutuhan aktivitas patologis sistem muskuloskeletal (fraktur) yaitu :
1) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan (b.d) Kerusakan integritas
struktur tulang, Perubahan metabolism, Ketidakbugaran fisik, Penurunan kendali
otot, Penurunan massa otot, Penurunan kekuatan otot, Keterlambatan
perkembangan, Kekakuan sendi, Kontraktur, Malnutrisi, Gangguan
musculoskeletal, Gangguan neuromuscular, Indeks masa tubuh diatas persentil
ke-75 sesuai usia, Efek agen farmakologis, Program pembatasan gerak, Nyeri,
Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik, Kecemasan, Gangguan
kognitif, Keengganan melakukan pergerakan, Gangguan sensoripersepsi, ditandai
dengan (d.d) Mengeluh sulit menggerakkan ekstrimitas, Kekuatan otot menurun,
Rentang gerak (ROM) menurun, Nyeri saat bergerak, Enggan melakukan
pergerakan, Merasa cemas saat bergerak, Sendi kaku, Gerakan tidak
terkoordinasi, Gerakan terbatas, Fisik lemah.
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan (b.d) ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen, tirah baring, kelemahan, imobilitas, gaya hidup monoton
ditandai dengan (d.d) Mengeluh Lelah, Frekuensi jantung meningkat >20% dari
kondisi istirahat, Dispnea saat/setelah aktivitas, Merasa tidak nyaman setelah
beraktivitas, Merasa lemah, Tekanan darah berubah >20% dari kondisi istirahat,
Gambaran EKG menunjukkan aritmia saat/setelah aktivitas, Gambaran EKG
menunjukkan iskemia, Sianosis.
3. Rencana Keperawatan
No Diagnosis Tujuan dan Tindakan Rasional TTD
Kriteria Hasil
1. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Dukungan
Mobilitas Tindakan mobilisasi (I.05173) mobilisasi (I.05173)
Fisik keperawatan
Observasi
(D.0054) selama ...x... jam Observasi
berhubungan diharapkan 1. Untuk
1. Identifikasi
dengan (b.d) mobilitas fisik mengetahui
adanya nyeri atau
Kerusakan (L.05042) adanya nyeri atau
keluhan fisik
integritas
meningkat keluhan fisik
struktur tulang, lainnya
dengan kriteria lainnya
Perubahan 2. Identifikasi
hasil : 2. Untuk
metabolism, toleransi fisik
1. Pergerakan mengetahui
Ketidakbugara melakukan
n fisik,
ekstermitas toleransi fisik
pergerakan
Penurunan sedang melakukan
3. Monitor kondisi
kendali otot, 2. Kekuatan pergerakan
umum selama
Penurunan otot sedang 3. Untuk
melakukan
massa otot, 3. Rentang mengetahui
mobilisasi
Penurunan gerak kondisi umum
kekuatan otot, (ROM) selama
Keterlambatan Terapeutik
sedang melakukan
perkembangan, 4. Nyeri mobilisasi
1. Fasilitas
Kekakuan
menurun
sendi, melakukan
5. Gerakan Terapeutik
Kontraktur, mobilasasi dini
terbatas 1. Untuk
Malnutrisi, 2. Libatkan keluarga
sedang mendukung
Gangguan untuk membantu
musculoskeleta
6. Kelemahan mobilisasi diri
pasien dalam
l, Gangguan fisik pasien
meningkatkan
neuromuscular, menurun 2. Untuk
pergerakan
Indeks masa membantu
tubuh diatas Edukasi pasien dengan
persentil ke-75 meningkatkan
sesuai usia, 1. Jelaskan tujuan
pergerakan
Efek agen dan prosedur
farmakologis, mobilisasi
Edukasi
Program 2. Anjurkan
1. Agar pasien
pembatasan
melakukan
mengetahui
gerak, Nyeri,
mobilisasi dini
Kurang tujuan dan
terpapar prosedur
informasi mobilisasi
tentang 2. Agar pasien
aktivitas fisik, dapat
Kecemasan, meningkatkan
Gangguan mobilitas fisik
kognitif,
pasien
Keengganan
melakukan
pergerakan,
Gangguan
sensoripersepsi
, ditandai
dengan (d.d)
Mengeluh sulit
menggerakkan
ekstrimitas,
Kekuatan otot
menurun,
Rentang gerak
(ROM)
menurun,
Nyeri saat
bergerak,
Enggan
melakukan
pergerakan,
Merasa cemas
saat bergerak,
Sendi kaku,
Gerakan tidak
terkoordinasi,
Gerakan
terbatas, Fisik
lemah.
2. Intoleransi Setelah I.05178 I.05178
Aktivitas dilakukan Manajemen Energi Manajemen Energi
(D.0056) Tindakan
berhubungan keperawatan Observasi Observasi
dengan (b.d) selama ...x... jam 1. Identifikasi 1. Untuk
ketidakseim diharapkan gangguan fungsi mengidentifikasi
bangan (L.050420) tubuh yang gangguan fungsi
antara suplai mobilitas fisik mengakibatkan tubuh yang
dan meningkat kelelaharı mengakibatkan
kebutuhan dengan kriteria 2. Monitor kelelaharı
oksigen, hasil : kelelahan fisik 2. Untuk
tirah baring, 1. Pergerakan dan emosional memonitor
kelemahan, ekstremitas 3. Monitor pola kelelahan fisik
imobilitas, meningkat dan jam tidur dan emosional
gaya hidup 2. Kekuatan 4. Monitor lokasi 3. Untuk
monoton otot dan memonitor pola
ditandai meningkat ketidaknyamana dan jam tidur
dengan (d.d) 3. Rentang n selama 4. Untuk
Mengeluh gerak sendi melakukan memonitor
Lelah, (ROM) aktivitas lokasi dan
Frekuensi meningkat Terapeutik ketidaknyamana
jantung 4. Nyeri 1. Sediakan n selama
meningkat menurun lingkungan melakukan
>20% dari 5. Cemas nyaman dan aktivitas
kondisi menurun rendah stimulus
istirahat, 6. Kaku sendi (mis. cahaya, Terapeutik
Dispnea menurun suara, kunjungan 1. Untuk
saat/setelah 7. Gerakan 2. Lakukan latihan menyediakan
aktivitas, tidak rentang gerak lingkungan
Merasa tidak terkoordinasi pasif dan/atau nyaman dan
nyaman menurun aktif rendah stimulus
setelah 8. Kelemahan 3. Berikan aktivitas (mis. cahaya,
beraktivitas, fisik distraksi yang suara, kunjungan
Merasa menurun menenangkan 2. Untuk
lemah, 4. Fasilitasi duduk melakukan
Tekanan di sisi tempat latihan rentang
darah tidur, jika tidak gerak pasif
berubah dapat berpindah dan/atau aktif
>20% dari atau berjalan 3. Untuk
kondisi memberikan
istirahat, Edukasi aktivitas
Gambaran 1. Anjurkan tirah distraksi yang
EKG baring menenangkan
menunjukka 2. Anjurkan 4. Untuk
n aritmia melakukan memfasilitasi
saat/setelah aktivitas secara duduk disisi
aktivitas, bertahap tempat tidur, jika
Gambaran 3. Anjurkan tidak dapat
EKG menghubungi berpindah atau
menunjukka perawat jika berjalan Edukasi
n iskemia, tanda dan gejala 5. Untuk
Sianosis. kelelahan tidak menganjurkan
berkurang tirah baring
4. Ajarkan strategi 6. Untuk
koping untuk menganjurkan
mengurangi melakukan
kelelahan aktivitas secara
bertahap
Kolaborasi 7. Untuk
1. Kolaborasi menganjurkan
dengan ahli gizi menghubungi
tentang cara perawat jika
meningkatkan tanda dan gejala
asupan makanan kelelahan tidak
berkurang
8. Untuk
mengajarkan
I.05168 Terapi strategi koping
Aktivitas untuk
mengurangi
Observasi kelelahan
1. Identifikasi
defisit tingkat Kolaborasi
aktivitas 1. Untuk
2. Identifikasi mengkolaborasi
kemampuan dengan ahli gizi
berpartisipasi tentang cara
dalam aktivitas meningkatkan
tertentu asupan makanan
3. Identifikasi
sumber daya I.05168 Terapi
untuk aktivitas Aktivitas
yang diinginkan
4. Identifikasi Observasi
strategi 1. Untuk
meningkatkan mengidentifikasi
partisipasi dalam defisit tingkat
aktivitas aktivitas
5. Identifikasi 2. Untuk
makna aktivitas mengidentifikasi
rutin (mis. kemampuan
bekerja) dan berpartisipasi
waktu luang dalam aktivitas
6. Monitor respons tertentu
emosional, fisik, 3. Untuk
sosial, dan mengidentifikasi
spiritual terhadap sumber daya
aktivitas untuk aktivitas
yang diinginkan
Terapeutik 4. Untuk
1. Fasilitasi fokus mengidentifikasi
pada strategi
kemampuan, meningkatkan
bukan defisit partisipasi dalam
yang dialami aktivitas
2. Sepakati 5. Untuk
komitmen untuk mengidentifikasi
meningkatkan makna aktivitas
frekuensi dan rutin (mis.
rentang aktivitas bekerja) dan
3. Fasilitasi memilih waktu luang
aktivitas dan 6. Untuk
tetapkan tujuan memonitor
aktivitas yang respons
konsisten sesuai emosional, fisik,
kemampuan fisik, sosial, dan
psikologis, dan spiritual terhadap
sosial aktivitas
4. Koordinasikan
pemilihan Terapeutik
aktivitas sesuai 1. Untuk
usia memfasilitasi
5. Fasilitasi makna fokus pada
aktivitas yang kemampuan,
dipilih bukan defisit
6. Fasilitasi yang dialami
transportasi untuk 2. Untuk
menghadiri menyepakati
aktivitas, jika komitmen untuk
sesuai meningkatkan
7. Fasilitasi pasien frekuensi dan
dan keluarga rentang aktivitas
dalam 3. Untuk
menyesuaikan memfasilitasi
lingkungan untuk memilih aktivitas
mengakomodasi dan tetapkan
8. Fasilitasi tujuan aktivitas
aktivitas fisik yang konsisten
rutin (mis, sesuai
ambulasi, kemampuan
mobilisasi, dan fisik, psikologis,
perawatan diri), dan sosial
sesuai kebutuhan 4. Untuk
9. Fasilitasi mengkoordinasik
aktivitas an pemilihan
pengganti saat aktivitas sesuai
mengalami usia
keterbatasan 5. Untuk
waktu, energi, memfasilitasi
atau gerak makna aktivitas
10. Fasilitasi yang dipilih
aktivitas motorik 6. Untuk
kasar untuk memfasilitasi
pasien hiperaktif transportasi
11. Tingkatkan untuk
aktivitas fisik menghadiri
untuk aktivitas, jika
memelihara berat sesuai
badan, jika sesuai 7. Untuk
12. Fasilitasi memfasilitasi
aktivitas motorik pasien dan
untuk keluarga dalam
merelaksasi otot menyesuaikan
13. Fasilitasi lingkungan
aktivitas dengan untuk
komponen mengakomodasi
memori implisit 8. Untuk
dan emosional memfasilitasi
(mis. kegiatan aktivitas fisik
keagamaan rutin (mis,
khusus) untuk ambulasi,
pasien demensia, mobilisasi, dan
jika sesuai perawatan diri),
14. Libatkan dalam sesuai kebutuhan
permainan 9. Untuk
kelompok yang memfasilitasi
tidak kompetitif, aktivitas
terstruktur, dan pengganti saat
aktif mengalami
15. Tingkatkan keterbatasan
keterlibatan waktu, energi,
dalam aktivitas atau gerak
rekreasi dan 10. Untuk
diversifikasi memfasilitasi
untuk aktivitas motorik
menurunkan kasar untuk
kecemasan (mis. pasien hiperaktif
vocal group, bola 11. Untuk
voli, tenis meja, meningkatkan
jogging, aktivitas fisik
berenang, tugas untuk
sederhana, memelihara berat
permainan badan, jika
sederhana, tugas sesuai
rutin, tugas 12. Untuk
rumah tangga, memfasilitasi
perawatan diri, aktivitas motorik
dan teka-teki dan untuk
kartu) merelaksasi otot
16. Libatkan 13. Untuk
keluarga dalam memfasilitasi
aktivitas, jika aktivitas dengan
perlu komponen
17. Fasilitasi memori implisit
mengembangkan dan emosional
motivasi dan (mis. kegiatan
penguatan diri keagamaan
18. Fasilitasi pasien khusus) untuk
dan keluarga pasien demensia,
memantau jika sesuai
kemajuannya 14. Untuk
sendiri untuk melibatkan
mencapai tujuan dalam permainan
19. Jadwalkan kelompok yang
aktivitas dalam tidak kompetitif,
rutinitas sehari- terstruktur, dan
hari aktif
20. Berikan 15. Untuk
penguatan positif meningkatkan
atas partisipasi keterlibatan
dalam aktivitas dalam aktivitas
rekreasi dan
Edukasi diversifikasi
1. Jelaskan metode untuk
aktivitas fisik menurunkan
sehari-hari, jika kecemasan (mis.
perlu vocal group, bola
2. Ajarkan cara voli, tenis meja,
melakukan jogging,
aktivitas yang berenang, tugas
dipilih sederhana,
3. Anjurkan permainan
melakukan sederhana, tugas
aktivitas fisik, rutin, tugas
sosial, spiritual, rumah tangga,
dan kognitif perawatan diri,
dalam menjaga dan teka-teki dan
fungsi dan kartu)
kesehatan 16. Untuk
4. Anjurkan terlibat melibatkan
dalam aktivitas keluarga dalam
kelompok atau aktivitas, jika
terapi, jika sesuai perlu
5. Anjurkan 17. Untuk
keluarga untuk memfasilitasi
memberi mengembangkan
penguatan positif motivasi dan
atas partisipasi penguatan diri
dalam aktivitas 18. Untuk
memfasilitasi
Kolaborasi pasien dan
1. Kolaborasi keluarga
dengan terapis memantau
okupasi dalam kemajuannya
merencanakan sendiri untuk
dan memonitor mencapai tujuan
program 19. Untuk
aktivitas, jika menjadwalkan
sesuai aktivitas dalam
2. Rujuk pada rutinitas sehari-
pusat atau hari
program 20. Untuk
aktivitas memberikan
komunitas, jika penguatan positif
perlu atas partisipasi
dalam aktivitas
Edukasi
1. Untuk
menjelaskan
metode aktivitas
fisik sehari-hari,
jika perlu
2. Untuk
mengajarkan
cara melakukan
aktivitas yang
dipilih
3. Untuk
menganjurkan
melakukan
aktivitas fisik,
sosial, spiritual,
dan kognitif
dalam menjaga
fungsi dan
kesehatan
4. Untuk
menganjurkan
terlibat dalam
aktivitas
kelompok atau
terapi, jika sesuai
5. Untuk
menganjurkan
keluarga untuk
memberi
penguatan positif
atas partisipasi
dalam aktivitas
Kolaborasi
1. Untuk
mengkolaborasi
dengan terapis
okupasi dalam
merencanakan
dan memonitor
program
aktivitas, jika
sesuai
2. Untuk merujuk
pada pusat atau
program
aktivitas
komunitas, jika
perlu
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahapan ketika perawat mengaplikasikan rencana atau
tindakan asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan untuk membantu
pasien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tahap pelaksanaan terdiri atas
tindakan mandiri dan kolaborasi yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping. Agar kondisi pasien cepat
membaik diharapkan bekerja sama dengan keluarga pasien dalam melakukan
pelaksanaan agar tercapainya tujuan dan kriteria hasil yang sudah dibuat dalam
intervensi (Nursalam, 2016).
Tabel Format Implementasi Keperawatan
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari proses keperawatan meliputi
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan tujuan
atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dapat berupa formatif
dan sumatif. Evaluasi formatif yaitu evaluasi selama program berlangsung. Sedangkan,
evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dan mendapatkan informasi
efektivitas pengambilan keputusan. Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan
dalam bentuk SOAP (Subjektif, Objektif, Assessment, dan Planning) (Nursalam, 2016).
Black, J.M., & Hawks, J.H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Medika.
DiGiulio Mary, Donna Jackson, Jim Keogh (2014), Keperawatan Medikal bedah, Ed. I,
Yogyakarta: Rapha publishing
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2014). Rencana Asuhan Keperawatan
Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Helmi, N.Z, (2012). Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Jitowiyono S. (2010). Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta : Muha Medika.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Smeltzer, Susan, C., & Bare. (2013). Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddart: Alih
Bahasa, Devi Yulianti, Amelia Kimin (E. A. Mardella (ed.); 12th Ed.). EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik Edisi I. Jakarta: Dewan pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan Edisi I Cetakan II. Jakarta: Dewan pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan Edisi I Cetakan II. Jakarta: Dewan pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia. Persatuan Perawat Nasional Indonesia. (2018). Standar
Diagnosa Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
LEMBAR PENGESAHAN
Ni Made Wedri, A.Per.Pen, S.Kep, Ns, M.Kes Anak Agung Gde Agung Mahotama Putra
NIM. P07120222023
NIP. 196106241987032002