Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS


PATOLOGIS SISTEM PERSYARAFAN
(STROKE, ENCEPHALITIS, MENINGITIS, TRAUMA KEPALA, TRAUMA
MEDULA SPINALIS, POLIO, DAN TETANUS)

Dosen Penanggung Jawab:


I Made Wedri, A.Per.Pen., S.Kep., Ns., M.Kes.

Disusun Oleh:
Nama : Anak Agung Gde Agung Mahotama Putra
NIM : P07120222009
Kelas / Jurusan : 2A / S.Tr Keperawatan
Kelompok :3

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2023/2024
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Stroke
1. Definisi
Stroke merupakan kegawatdaruratan neurologi yang mendadak (akut)
karena oklusi atau hipoperfusi pada pembuluh darah otak, sehingga jika tidak
segera diatasi maka akan terjadi kematian sel dalam beberapa menit, kemudian
akan menimbulkan defisit neurologis dan menyebabkan kecacatan atau
kematian (Misbach, 2011). Sedangkan menurut Irfan (2010) stroke adalah
gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak
yang dapat timbul secara mendadak dalam beberapa detik atau secara cepat
dalam beberapa jam dengan gejala atau tanda-tanda sesuai dengan daerah yang
terganggu. Definisi menurut WHO, Stroke adalah suatu keadaan dimana
ditemukan tanda-tanda klinis yang berkembang cepat berupa defisit neurologik
fokal dan global, yang dapat memberat dan berlangsung lama selama 24 jam
atau lebih dan atau dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain
yang jelas selain vascular.

2. Etiologi
Penyebab stroke menurut Rendi dan Margareth (2015) :
a. Infark otak (80%)
1) Emboli Emboli kardiogenik, fibrilasi atrium dan aritmia lain,
thrombus mural dan ventrikel kiri, penyakait katub mitral atau
aorta, endokarditis (infeksi atau non infeksi).
2) Emboli Paradoksal 5 Emboli arkus aorta, aterotrombotik (penyakit
pembuluh darah sedang-besar), penyakit eksrakanial, arteri karotis
interna, arteri vertebralis
3) Penyakit Intracranial Arteri karotis interna, arteri serebri interna,
arteri basilaris, lakuner (oklusi arteri perforans kecil).
b. Pendarahan intraserebral (15%) Hipertensi, malformasi arteri-vena,
angipati amiloid.
c. Pendarahan subaraknoid (5%)

1
d. Penyebab lain (dapat menimbulkan infark/pendarahan) Trobus sinus
dura, diseksi arteri karotis/vertebralis, vaskulitis sistem saraf pusat,
penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intra cranial yang progresif),
migren, kondisi hiperkoagulasi, penyalahgunaan obat, dan kelainan
hematologist (anemia sel sabit, polisistema, atau leukemia), serta
miksoma atrium.

3. Patofisiologi
Otak sangat tergantung pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan
oksigen. Jika aliran darah ke setiap bagian otak terhambat karena trombus dan
embolus, maka mulai terjadi kekurangan oksigen ke jaringan otak. Kekurangan
selama 1 menit dapat mengarah pada gejala yang dapat menyebabkan nekrosis
mikroskopik neuron-neuron. Area nekrotik kemudian disebut infark.
Kekurangan oksigen pada awalnya mungkin akibat iskemia mum (karena henti
jantung atau hipotensi) atau hipoksia karena akibat proses anemia dan
kesukaran untuk bernafas.
Ada peluang dominan stroke akan meluas setelah serangan pertama
sehingga dapat terjadi edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) dan kematian pada area yang luas.Prognosisnya tergantung pada daerah
otak yang terkena dan luasnya saat terkena (Wijaya & Putri, 2013). Bila terjadi
4 kerusakan pada otak kiri, maka akan terjadi gangguan dalam hal fungsi
berbicara, berbahasa, dan matematika (Farida & Amalia, 2009).
Akibat penurunan CBF regional suatu daerah otak terisolasi dari jangkauan
aliran darah, yang mengangkut O2 dan glukose yang sangat diperlukan untuk
metabolisme oksidatif serebral. Daerah yang terisolasi itu tidak berfungsi lagi
dan karena itu timbullah manifestasi defisit neurologik yang biasanya berupa
hemiparalisis, hemihipestesia, hemiparestesia yang bisa juga disertai defisit
fungsi luhur seperti afasia (Mardjono & Sidharta, 2014).

2
4. Pathway

5. Klasifikasi
Secara garis besar, stroke dibagi menjadi stroke hemoragik (stroke perdarahan)
dan stroke non hemoragik (stroke iskemik).
a. Stroke Hemoragik (Stroke Pendarahan)
Merupakan sekitar 15% - 20% dari semua stroke, dapat terjadi
apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam
jaringan otak.
b. Stroke Non-Hemoragik (Stroke Iskemik)
Stroke non hemoragik atau stroke iskemik merupakan gangguan
pada sistem saraf pusat akibat dari hilangnya pasokan darah ke daerah
otak secara tiba – tiba yang menyebabkan hilangnya fungsi neurologis
otak. Stroke non hemoragik akut disebabkan adanya sumbatan oleh
thrombus atau embolus pada arteri cerebri dan lebih sering terjadi
dibanding stroke non hemoragik. Klasifikasi stroke non hemoragik
berdasarkan waktu terjadinya adalah sebagai berikut:

3
1) Transient Ischemic Attack (TIA)
TIA atau serangan iskemia sementara merupakan stroke dengan
gejala neurologis yang timbul akibat gangguan peredaran darah
pada otak akibat adanya emboli maupun thrombosis dan gejala
neurologis akan menghilang dalam waktu kurang dari 24 jam.
2) Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
Pada RIND atau defisit neurologis iskemia sementara gejala
neurologis yang timbulakan menghilang dalam waktu lebih dari
24 jam sampai kurang dari sama dengan 21 hari.
3) Stroke in Evolution
Stroke in evolution atau stroke progresif merupakan stroke yang
sedang berjalan dan gejala neurologis yang timbul makin lama
makin berat.
4) Completed Stroke
Completed stroke atau stroke komplit memiliki gejala neurologis
yang menetap dan tidak berkembang lagi
Berdasarkan lokasi gumpalan atau sumbatannya, stroke non hemoragik
diklasifikasikan menjadi:
1) Stroke Non Hemoragik Embolus
Emboli tidak terjadi pada pembuluh darah otak pada stroke non
hemoragik tipe ini, melainkan di tempat lainnya seperti jantung dan
sistem vaskular sistemik. Pada penyakit jantung dengan shunt yang
menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri atrium atau
ventrikel dapat terjadi embolisasi kardiogenik. Penyakit jantung
rheumatoid akut atau menahun yang menyebabkan gangguan pada
katup mitral, fibrilasi atrium, infark kordis akut, dan embolus yang
berasal dari vena pulmonalis. Kelainan jantung tersebut
mengakibatkan curah jantung berkurang dan biasanya muncul di
saat penderita tengah beraktivitas fisik seperti pada saat penderita
sedang berolah raga.
2) Stroke Non Hemoragik Trombus

4
Stroke trombotik dapat terjadi akibat adanya penggumpalan pada
pembuluh darah yang menuju otak. Stroke trombotik dibagi
menjadi 2 yaitu, stroke pada pembuluh darah besar (termasuk
sistem arteri carotis) merupakan 70% kasus stroke non hemoragik
trombus dan stroke pada pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulasi posterior). Trombosis pembuluh darah kecil
terjadi apabila aliran darah terhalang, biasanya terkait dengan
hipertensi serta merupakan indikator penyakit aterosklerosis.

6. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala neurologis yang timbul pada stroke tergantung berat
ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya, diantaranya yaitu (Gofir,
2021) :
a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang
timbul mendadak.
b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan (gangguan
hemisensorik).
c. Perubahan mendadak status mental (konvulsi, delirium. Letargi, stupor,
atau koma).
d. Afisia (bicara tidak lancar, kurangnya ucapan, atau kesulitan
memahami ucapan).
e. Disartria (bicara pelo atau cadel)
f. Gangguan penglihatan (hemianopia atau monokuler) atau diplopia.
g. Ataksia (truncal atau anggota badan).
h. Vertigo, mual dan muntah, atau nyeri kepala.

7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memastikan jenis serangan stroke,
letak sumbatan atau penyempitan pembuluh darah, letak perdarahan, serta luas
jaringan otak yang mengalami kerusakan.
a. CT-Scan
Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark
(Wijaya & Putri, 2013)

5
b. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI menunjukkan daerah yang mengalami infark atau
hemoragik (Oktavianus, 2014).
c. Pemeriksaan magnetic resonance angiography (MRA)
Merupakan metode non-invasif yang memperlihatkan arteri karotis dan
sirkulasi serebral serta dapat menunjukan adanya oklusi(Hartono,
2010)
d. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan elektrolit, fungsi ginjal, kadar
glukosa, lipid, kolestrol, dan trigliserida dilakukan untuk membantu
menegakan diagnosa (Hartono, 2010)
e. Pemeriksaan foto thorax
Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran
ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada
penderita stroke, menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal
daerah berlawanan dari masa yang meluas (Doengoes, 2000) (Wijaya
& Putri, 2013).

8. Penatalaksanaan Medis
Stroke dapat dilakukan pengobatan dengan cara (Padila, 2015)
a. Konservatif:
1) Pemenuhan cairan dan elektrolit dengan pemasangan infus
2) Mencegah peningkatan TIK dengan obat antihipertensi, deuritika,
vasodilator perifer, antikoagulan, diazepam bila kejang, anti tukak
misal cimetidine, kortikosteroid (pada kasus ini tidak ada
manfaatnya karena pasien akan mudah terkena infeksi,
hiperglikemia dan stress ulcer/perdarahan lambung), dan manitol
untuk mengurangi edema otak.
b. Operatif, apabila upaya menurunkan TIK tidak berhasil maka perlu
dipertimbangkan evakuasi hematom karena hipertensi intrakranial
yang menetap akan membahayakan kehidupan pasien.
c. Pada fase sub akut/pemulihan (>10 hari) perlu : Terapi wicara, terapi
fisik dan stoking anti embolisme.

6
B. Konsep Ensefalitis
1. Definisi
Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai sistem saraf pusat (SSP) yang
disebabkan oleh virus atau mikroorganisme lain yang non purulen. Penyebab
tersering dari ensefalitis adalah virus, kemudian herpes simpleks, arbovirus,
dan jarang disebabkan oleh enterovirus, gondongan, dan adenovirus.
Ensefalitis biasanya juga terjadi pada pasca infeksi campak, influenza,
varisella, dan pasca vaksinasi Pertusis (Muttagin, 2008). Ensefalitis adalah
peradangan akut otak yang disebabkan oleh infeksi virus. Terkadang ensefalitis
dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti meningitis, atau komplikasi dari
penyakit lain seperti rabies (disebabkan oleh virus) atau sifilis (disebabkan oleh
bakteri). Penyakit parasit dan protozoa seperti toksoplasmosis, malaria, atau
primary amoebic meningoencephalitis, juga dapat menyebabkan ensefalitis
pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya kurang. Kerusakan otak terjadi
karena otak terdorong terhadap tengkorak dan menyebabkan kematian.
2. Etiologi
Bakteri penyebab ensefalitis adalah staphylococcus aureus, streptokokus, E.
Coli, M. tuberculosa dan T. Pallidum. Tiga bakteri yang pertama merupakan
penyebab ensefalitis bakterial akut yang menimbulkan pernanahan pada
korteks serebri sehingga terbentuk abses serebri. Ensefalitis bakterial akut
sering. disebut ensefalitis supuratif akut (Mansjoer, 2000) Sedangkan menurut
Riyadi (2010) menyebutkan penyebab terjadinya ensefalitis yaitu:
a. Berupa bakteri (LDH serum meningkat)
b. Virus
c. Jamur
3. Patofisiologi
Virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran cerna,
setelah masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan
secara local: aliran virus terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau
organ tertentu, penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah,
kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut dan
menyebar melalui saraf: virus berkembang biak di permukaan selaput lendir

7
dan menyebar melalui sistem persarafan (Muttaqin, 2008). Setelah terjadi
penyebaran ke otak timbul manifestasi klinis ensefalitis. Masa Prodromal
berlangsung selama 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing,
muntah, nyeri tenggorok, malaise, nyeri ekstremitas dan pucat.
4. Pathway

5. Klasifikasi
Ensefalitis ini disebabkan antara lain oleh virus, bakteri, jamur, rickettsia
(masuk melalui gigitan kutu), dan parasit. Kelimanya dapat diklasifikasi
sebagai berikut:
a. Ensefalitis Karena Bakteri
1) Ensefalitis Supurativa
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : Staphylococcus
aureus, Streptococcus, E. Coli dan M. Tuberculosa.
2) Ensefalitis Sifilis
Disebabkan oleh Treponema pallidum
b. Ensefalitis Karena Virus
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia:

8
1) Virus RNA
- Paramyxovirus : virus yang menyebabkan parotitis, morbili
- Rhabdovirus : virus rabies
- Togavirus : virus rubella flavivirus (virus Ensefalitis Jepang B,
virus dengue) 7 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A dan B,
echovirus)
- Arenavirus : virus choriomeningitis limfosit iab.
2) Virus DNA
- Herpes virus : herpes zoster - varicella, herpes simpleks,
cytomegalovirus, virus Epstein - barr
- Poxvirus : variola, vaccinia
- Retrovirus : AIDS
c. Ensefalitis Parasit
1) Malaria Serebral
Plasmodium falciparum penyebab terjadinya malaria serebral. Gejala
yang timbul : demam tinggi.kesadaran menurun hingga koma.
Kelainan neurologik tergantung pada lokasi kerusakan-kerusakan.
2) Toxoplasmosis
Toxoplasma gondii pada orang dewasa biasanya tidak menimbulkan
gejala- gejala kecuali dalam keadaan dengan daya imunitas menurun.
Didalam tubuh manusia parasit ini dapat bertahan dalam bentuk kista
terutama di otot dan jaringan otak.
3) Amebiasis
Amuba genus Naegleria dapat masuk ke tubuh melalui hidung ketika
berenang di air yang terinfeksi dan kemudian menimbulkan
MeningoEnsefalitis akut. Gejala-gejalanya adalah demam akut,
nausea, muntah, nyeri kepala, kaku kuduk dan kesadaran menurun.
4) Sistiserkosis
Gejala-gejala neurologik yang timbul tergantung pada lokasi
kerusakan.
d. Ensefalitis Fungus (Jamur)

9
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : Candida albicans,
Cryptococcus neoformans, Coccidiosis, Aspergillus, Fumigatus dan
Mucormycosis. Gambaran yang ditimbulkan infeksi fungus pada sistem
saraf pusat adalah Meningoensefalitis purulenta. Faktor yang
memudahkan timbulnya infeksi adalah daya imunitas yang menurun.
e. Riketsiosis Serebri
Riketsia dapat masuk ke dalam tubuh melalui gigitan kutu dan dapat
menyebabkan Ensefalitis. Gejala-gejalanya ialah nyeri kepala, demam,
mula-mula sukar tidur, kemudian kesadaran menurun. Gejala-gejala
neurologik menunjukan lesi yang tersebar.
6. Tanda dan Gejala
Ensefalitis atau radang otak diawali dengan gejala ringan yang menyerupai flu,
seperti demam, sakit kepala, muntah, tubuh terasa lelah, serta nyeri otot dan
sendi. Seiring perkembangannya, radang otak dapat menimbulkan gejala yang
lebih serius, seperti
a. Demam hingga lebih dari 39 derajat Celcius
b. Linglung
c. Halusinasi
d. Emosi tidak stabil
e. Gangguan bicara, pendengaran, atau penglihatan
f. Kelemahan otot
g. Kelumpuhan pada wajah atau bagian tubuh tertentu
h. Kejang
i. Penurunan kesadaran
7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Menurut Wong.Donna.L, 2009 dan Bilotta, Kimberly A. J, 2011,
penegakan diagnosis Ensefalitis tidak ditentukan dengan penampilan klinis.
Diagnosis Ensefalitis dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan
penunjang berikut, yaitru :
a. Pemeriksaan cairan serebrospinal

10
Warna jernih dan terdapat pleocytosis berkisar antara 50-200nsel dengan
dominasi sel limfosit. Protein agak meningkat kesadaran glukosa dalam
batas normal.
b. Pemeriksaan EEG
Memperlihatkan proses inflamasi yang difusi “bilateral” dengan aktivitas
rendah.
c. Pemeriksaan virus 10
Ditemukan virus pada CNS ditetapkan kenaikan titer antibodi yang
spesifik terhadap virus.
d. Pemeriksaan Laboratorium
Analisis darah mengidentifikasi virus, pemeriksaan serologi pada
ensefalitis herpes menunjukkan peningkatan titer antibodi pengikat
komplemen.
e. Pencitraan
CT scan menunjukkan edema serebri.
f. Pemeriksaan Prosedur diagnostic
Cairan serebrospinal (CSS) mengidentifikasi virus, EE menunjukkan
perambatan gelombang otak
8. Penatalaksanaan Medis
a. Rawat di Rumah Sakit
b. Penatalaksanaan secara umum tidak spesifik, tujuannya adalah
mempertahankan fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap
terbuka, pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa darah.
c. Atasi kejang.
d. Bila tanda peningkatan tekanan intracranial dapat diberikan manitol 0,5-
29/kg BB IV dalam periode 8-12 jam.
e. Pada pasien dengan gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorok
paralisis pita suara dan tot nafas dilakukan drainase postural dan aspirasi
means yang periodik.
f. Pada ensefalitis herpes / dapat diberikan acyclovir 10 kg/kg BB/hari IV
setiap 8 jam selama 10-14 jam (Riyadi, 2010).

11
C. Konsep Meningitis
1. Definisi
Meningitis merupakan salah satu penyakit peradangan akibat infeksi pada
meninges atau selaput membran otak. Meningitis dapat terjadi pada setiap
setiap lapisan meninges, baik itu dura mater, arachnoid mater, maupun pia
mater. Dapat disimpulkan bahwa meningitis adalah suatu reaksi yang terjadi
dari peradangan yang terjadi akibat infeksi karena bakteri, virus, maupun jamur
pada selaput otak (araknoidea dan piamater) yang ditandai dengan adanya sel
darah putih dalam cairan serebrospinal dan menyebabkan perubahan pada
struktur otak
2. Etiologi
Terdapat beberapa penyebab yang terjadi pada masalah meningitis yaitu :
a. Bakteri : Haemophilus influenza (tipe B), streptococcus pneumonia,
Neisseria meningitis, hemolytic streptococcus, staphylococcus aureu, e.
coli
b. Faktor predisposisi : jenis kelamin laki-laki lebih sering dibandingkan
dengan wanita
c. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu
terakhir kehamilan
d. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin,
anak yang mendapat obat obat imunosupresif
e. Anak dengan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang
berhubungan dengan sistem persarafan
3. Patofisiologi
Meningitis terjadi akibat dari penyebaran penyakit di organ atau jaringan
tubuh yang lain. Virus atau bakteri menyebar secara hematogen sampai ke
selaput otak, misalnya penyakit Faringitis, Tonsillitis, Pneumonia, dan
Bronchopneumonia. Masuknya organisme melalui sel darah merah pada blood
brain barrier. Penyebaran organisme bisa terjadi akibat prosedur pembedahan,
pecahnya abses serebral atau kelainan sistem saraf pusat.
Otorrhea atau rhinorrhea akibat fraktur dasar tengkorak yang dapat
menimbulkan meningitis, dimana terjadinya hubungan antara CSF

12
(Cerebrospinal Fluid) dan dunia luar. Penumpukan pada CSF akan bertambah
dan mengganggu aliran CSF di sekitar otak dan medulla spinalis.
Mikroorganisme 11 masuk ke susunan saraf pusat melalui ruang pada
subarachnoid sehingga menimbulkan respon peradangan seperti pada via,
arachnoid, CSF, dan ventrikel.
Efek peradangan yang disebabkan oleh mikroorganisme meningitis yang
mensekresi toksik dan terjadilah toksemia, sehingga terjadi peningkatan suhu
oleh hipotalamus yang menyebabkan suhu tubuh meningkat atau terjadinya
hipertermi
4. Pathway

5. Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi
pada cairan otak, yaitu :
a. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan
otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium
tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondii dan
Rickettsia.

13
b. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arachnoid dan piameter yang meliputi otak dan
medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumoniae
(pneumokok), Neisseria meningitidis (meningokok), Streptococcus
haemolyticus, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae,
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa.
6. Tanda dan Gejala
Berikut ini adalah tanda dan gejala yang muncul pada penderita meningitis,
diantaranya :
a. Pada fase akut gejala yang muncul antara lain :
1) Lesu
2) Mudah terangsang
3) Hipertermia
4) Anoreksia
5) Sakit kepala
b. Peningkatan tekanan intrakranial. Tanda-tanda terjadinya tekanan
intrakranial:
1) Penurunan kesadaran
2) Muntah yang sering proyektil (menyembur)
3) Tangisan yang merintih
4) Sakit kepala
5) Kejang baik secara umum maupun lokal
c. Kelumpuhan ekstremitas (paresis atau paralysis)
d. Gangguan frekuensi dan irama pernafasan (cepat dengan irama kadang
dangkal dan kadang dalam)
e. Munculnya tanda-tanda rangsangan meningeal seperti ; kaku kuduk,
rigiditas umum, reflek Kernig dan Brudzinski positif.
7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Menurut (Tursinawati et al, 2015) pemeriksaan penunjang untuk pasien
dengan penyakit atau suspek meningitis adalah :
a. Pemeriksaan darah lengkap Pemeriksaan darah lengkap meliputi
pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah

14
(LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur. Pada
meningitis bakterial didapatkan polimorfonuklear 14 leukositosis.
Meningitis yang disebabkan oleh TBC akan ditemukan peningkatan
LED. Pada kasus imunosupresi dapat ditemukan leukopenia.
b. Pemeriksaan fungsi lumbal Diagnosis pasti meningitis adalah
pemeriksaan cairan serebrospinal melalui fungsi lumbal. Lumbal pungsi
biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
serebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan
tekanan intrakranial.
c. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan foto X ray thoraks, foto kepala
(sinus/ mastoid), dapat diusulkan untuk mengidentifikasi fokus primer
infeksi.
d. Pemeriksaan EEG Pemeriksaan foto X ray thorax, foto kepala (sinus/
mastoid), dapat diusulkan untuk mengidentifikasi fokus primer infeksi.
e. Pemeriksaan CT Scan dan MRI Untuk mengetahui adanya edema otak,
hidrosefalus atau massa otak yang menyertai meningitis.
8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan meningitis diawali dengan stabilisasi hemodinamik dan
pengambilan sampel untuk diagnosis pasti. Penatalaksanaan medikamentosa
seperti antiviral dan antibiotik diberikan sesuai dengan etiologi meningitis.
Pasien juga dapat diberikan terapi simptomatik seperti antipiretik, analgesik,
serta antiemetik sesuai keluhan pasien (Anggitha, 2023). :
a. Pemberian diazepam apabila pasien mengalami kejang. 13
Dosis awal diazepam diberikan sebanyak 0,5 mg/Kg BB/kali pemberian
melalui intravena. Setelah kejang dapat diatasi maka diberikan
fenobarbital dengan dosis awal pada neonatus 30m, anak kurang dari 1
tahun 50 mg sedangkan anak yang lebih dari 1 tahun 75 mg. Untuk
rumatannya diberikan fenobarbital 8-10 mg/Kg BB/ dibagi dalam dua
kali pemberian diberikan selama dua hari. Sedangkan pemberian
fenobarbital dua hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 4-5 mg/Kg
BB/ dibagi dua kali pemberian. Pemberian diazepam selain untuk
menurunkan kejang juga diharapkan dapat menurunkan suhu tubuh

15
karena selain hasil toksin kuman peningkatan suhu tubuh berasal dari
kontraksi otot akibat kejang.
b. Meningitis bakteri
Pada pasien dengan infeksi bakteri S. pneumoniae, antibiotik pilihan
yang akan diberikan adalah jenis penicillin G atau cefotaxime selama
kurun waktu 10-14 hari. Pada infeksi Pseudomonas aeruginosa, antibiotik
yang direkomendasikan adalah cefepime, ceftazidime, atau meropenem.
Serta pada infeksi Haemophilus influenzae, antibiotik yang
direkomendasikan adalah ampisilin, cefotaxime, atau ceftriaxone.
c. Meningitis virus
Kasus pada meningitis virus bersifat lebih ringan dan self-limited.
Tatalaksana antivirus pada meningitis Herpes Simplex Virus (HSV)
masih kontroversial, namun beberapa dokter akan memberikan acyclovir
10 mg/kg IV setiap 8 jam. Pada meningitis akibat cytomegalovirus
antivirus yang direkomendasikan adalah ganciclovir selama 21 hari.

D. Konsep Trauma Kepala


1. Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). Cedera kepala adalah
trauma yang mengenai otak disebabkan oleh kekuatan eksternal yang
menimbulkan perubahan tingkat kesadaran dan perubahan kemampuan
kognitif, fungsi fisik, fungsi tingkah laku dan emosional (Widagdo, Suharyanto
dan Aryani, 2008).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma
langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan
tengkorak dan otak.

2. Etiologi
Beberapa etiologi cedera kepala (Yessie dan Andra, 2013):

16
a) Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam: menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera lokal. Kerusakan local meliputi contusion serebral,
hematoma serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan
masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b) Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi):
kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk, yaitu
cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar
pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-duanya.

3. Patofisiologi
Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cedera otak yang
terjadi, proses cedera otak dibagi:
a) Proses primer
Hal ini merupakan kerusakan otak tahap pertama yang diakibatkan oleh
benturan/proses mekanik yang membentur kepala. Derajat kerusakan
tergantung pada kuatnya benturan dan arahnya, kondisi kepala yang
bergerak/diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses primer
mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan segera dalam rongga
tengkorak/otak, robekan dan regangan serabut saraf dan kematian
langsung neuron pada daerah yang terkena.
b) Proses sekunder
Merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena
kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena
berubahnya struktur anatomi maupun fungsional dari otak misalnya
meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berlanjut, iskemia
fokal/global otak, kejang, hipertermi. Proses sekunder pada otak berakhir
dengan kerusakan otak iskemik yang dapat melalui beberapa proses:
1) Kerusakan otak berlanjut (progressive injury) Terjadi kerusakan
berlanjut yang progresif terlihat pada daerah otak yang rusak dan
sekitarnya serta terdiri dari 3 proses:

17
- Proses kerusakan biokimia yang menghancurkan sel-sel dan
sitoskeleton. Kerusakan ini dapat berakibat edema sitotoksik
karena kerusakan pompa natrium terutama pada dendrit dan sel
glia, kerusakan membran dan sitoskeleton karena kerusakan
pada pompa kalsium mengenai semua jenis sel, dan inhibisi dari
sintesis protein intraseluler
- Kerusakan pada mikrosirkulasi seperti vasoparalisis, disfungsi
membran kapiler disusul dengan edema vasogenik. Pada
mikrosirkulasi regional ini tampak pula sludging dari sel-sel
darah merah dan trombosit. Pada keadaan ini sawar darah otak
menjadi rusak.
- Perluasan dari daerah hematoma dan perdarahan petekial otak
yang kemudian membengkak akibat proses kompresi lokal dari
hematoma dan multi petekial. Ini menyebabkan kompresi dan
bendungan pada pembuluh di sekitarnya yang pada akhirnya
menyebabkan peninggian tekanan intrakranial.
2) Proses otak sekunder berlanjut (delayed secondary brain injury)
Penyebab dari proses ini bisa intrakranial atau sistemik:
- Intrakranial Karena peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
secara berangsur-angsur dimana suatu saat mencapai titik
toleransi maksimal dari otak sehingga perfusi otak tidak cukup
lagi untuk mempertahankan integritas neuron disusul oleh
hipoksia/hipoksemia otak dengan kematian akibat herniasi,
kenaikan TIK ini dapat juga akibat hematoma berlanjut
misalnya pada hematoma epidural. Sebab TIK lainnya adalah
kejang yang dapat menyebabkan asidosis dan vasospasme atau
vasoparalisis karena oksigen tidak mencukupi.
- Sistemik Perubahan sistemik sangat mempengaruhi TIK.
Hipotensi dapat menyebabkan penurunan tekanan perfusi otak
berlanjut dengan iskemia global. Penyebab gangguan sistemik
ini disebut oleh Dearden (1995) sebagai nine deadly Hs yaitu
hipotensi, hipokapnia, hiperglikemia, hiperkapnia,

18
hiperpireksia, hipoksemia, hipoglikemia, hiponatremia dan
hipoproteinemia.

4. Pathway

5. Klasifikasi
Menurut Tarwoto (2007), cedera kepala dapat diklasifikasikan
berdasarkan:
a) Berdasarkan kerusakan jaringan otak
1) Komosio serebri (gegar otak)
Gangguan fungsi neurologi ringan tanpa tanpa adanya kerusakan
struktur otak, terjadi hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau
tanpa disertai amnesia retrograde, mual, muntah, nyeri kepala.
2) Kontusio serebri (memar)
Gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan jaringan otak tetapi
kontinuitas otak masih utuh, hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit.
3) Laserasio serebri

19
Gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan otak yang berat dengan
fraktur tengkorak terbuka. Massa otak terkelupas keluar dari rongga
intrakranial.
b) ⁠Berdasarkan berat ringannya cedera kepala
1) Cedera kepala ringan
Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari
30 menit, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio atau hematom.
2) Cedera kepala sedang
Jika nilai GCS antara 9-12, hilang kesadaran antara 30 menit sampai
dengan 24 jam, dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan.
3) Cedera kepala berat
Jika GCS berada antara 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam,
biasanya disertai kontusio, laserasi atau adanya hematom, edema
serebral.

6. Tanda dan Gejala


Menurut Manurung (2018), tanda dan gejala dari cedera kepala antara
lain:
a) Commotio Cerebri
1) Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit
2) Mual dan muntah
3) Nyeri kepala (pusing)
4) Nadi, suhu, tekanan darah menurun atau normal
b) Contusio cerebri
1) Tidak sadar lebih 10 menit
2) Amnesia anterograde
3) Mual dan muntah
4) Penurunan tingkat kesadaran
5) Gejala neurologi, seperti parese
6) Perdarahan
c) Laserasio Serebri
1) Jaringan robek akibat fragmen patah

20
2) Pingsan maupun tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-bulan
3) Kelumpuhan anggota gerak
4) Kelumpuhan saraf otak

7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Menurut Manurung (2018) hasil pemeriksaan laboratorium yang sering
ditemukan pada pasien dengan cedera kepala sebagai berikut :
a) Foto Polos Foto polos indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka tembus
(peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala
yang menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan kesadaran.
b) CT – Scan CT scan kepala adalah standar baku dalam penatalaksanaan
cedera kepala. Pemeriksaan CT scan kepala untuk memastikan adanya
patah tulang, pendarahan, pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain
di otak.
c) Untuk pemeriksaan laboratorium, umumnya pemeriksaan darah lengkap,
gula darah sewaktu, ureum-kreatinin, analisis gas darah dan elektrolit.
d) Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah komponen
penting pada penilaian dan penatalaksanaan cedera (Anurogo dan Usman,
2014)
e) MRI Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk pasien
yang memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT
Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam
mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera aksonal.
f) EEG Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin untuk
membantu dalam diagnosis status epileptikus non konvulsif. Dapat melihat
perkembangan gelombang yang patologis.
g) Cerebral angiography: menunjukan anomali sirkulasi serebral , seperti
perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perubahan dan trauma.
h) Serial EEG: dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
i) X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
j) BAER: mengoreksi bats fungsi korteks dan otak kecil

21
k) PET: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
l) CSF, lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
m) ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut
(Manurung, 2018):
a) Keperawatan
1) Observasi 24 jam
2) Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah,
hanya cairan infus dextrose 5%, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak
3) Berikan terapi intravena bila ada indikasi
4) Pada anak diistirahatkan atau tirah baring
b) Medis
1) Terapi obat-obatan
2) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma
3) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu mannitol 20
% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %
4) Antibiotika yang mengandung barier darah otak (penisillin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol
5) Pembedahan bila ada indikasi (hematoma epidural besar, hematoma
subdural, cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo) 6)
Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT Scan
dan MRI (Satyanegara, 2010).

22
E. Konsep Trauma Medula Spinalis
1. Definisi
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik
langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis
sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan
menetap atau kematian. Terdapat 5 sindrom utama cedera medulla spinalis
inkomplit menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu : (1) Central
Cord Syndrome, (2) Anterior Cord Syndrome, (3) Brown Sequard Syndrome,
(4) Cauda Equina Syndrome, dan (5) Conus Medullaris Syndrome.

2. Etiologi
Suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada
daerah medula spinalis. Trauma medula spinalis dapat terjadi karena :
a) Kecelakaan
b) Luka tusuk atau tembak
c) Tumor

3. Patofisiologi
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala
dan tanda yang segera ataupun dapat timbul kemudian. Trauma mekanik yang
terjadi untuk pertama kalinya sama pentingnya dengan traksi dan kompresi
yang terjadi selanjutnya. Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-
bagian saraf oleh fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen
pada sistem saraf pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat
menyebabkan iskemik. Ruptur axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi.
Mikro Hemoragik terjadi dalam beberapa menit di substansia grisea dan
meluas beberapa jam kemudian sehingga perdarahan masif dapat terjadi dalam
beberapa menit kemudian. Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa
berupa fraktur-dislokasi, fraktur, dan dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis
tersebut adalah 3:1:1. Fraktur tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi
dislokasi cenderung terjadi pada tempat-tempat antara bagian yang sangat
mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12.

23
Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau berat dan menetap. Tanpa
kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa
mengakibatkan lesi yang nyata di medulla spinalis. Efek trauma yang tidak
dapat langsung bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi, tetapi dapat
menimbulkan lesi pada medula spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung.
Tergolong dalam trauma tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), jatuh
terduduk atau dengan badan berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.

4. Pathway

5. Klasifikasi
Trauma medula spinalis dapat diklasifikasikan :
a) Komosio medula spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medula
spinalis hilang sementara tanpa disertai gejala sisa atau sembuh secara
sempurna. Kerusakan pada komosio medula spinalis dapat berupa edema,
perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan infark pada sekitar pembuluh
darah

24
b) Kompresi medula spinalis berhubungan dengan cedera vertebral, akibat
dari tekanan pada medula spinalis
c) Kontusio adalah kondisi dimana terjadi kerusakan pada vertebrata,
ligament dengan terjadinya perdarahan, edema perubahan neuron dan
reaksi peradangan
d) Laserasi medula spinalis merupakan kondisi yang berat karena terjadi
kerusakan medula spinalis. Biasanya disebabkan karena dislokasi, luka
tembak. Hilangnya fungsi medula spinalis umumnya bersifat permanen.

6. Tanda dan Gejala


Menurut Maimunah, dkk (2016) tanda gejala pada penderita Spinal
Cord Injury diantaranya :
a) Kehilangan kontrol motorik karena kerusakan pada bagian depan sumsum
tulang belakang.
b) Kehilangan refleks karena kerusakan sumsum tulang belakang, titik
transmisi sinaptik dari denyut sensori pada respons motorik
c) Kelumpuhan ringan
d) Kurangnya kendali usus dan kandung kemih
e) Rasa yang berubah (geli-paraesthesia, berkurang-hypoesthesia,
bertambah-hyperesthesia)
f) Bradycardia, hipotensi, hipotermia karena masalah dengan sistem saraf
spontan.

7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Menurut Tarwoto (2013) pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan
diantaranya yaitu:
a) X-Ray Kepala
X-Ray kepala dapat melihat keadaan tulang tengkorak, misal sinus dan
beberapa kelainan serebral karena pengapuran. Informasi yang dapat
diperoleh dari pemeriksaan ini adalah mengidentifikasi fraktur tengkorak,
kelainan vaskuler, perubahan degeneratif. Prosedur pemeriksaan X-Ray
kepala, Pasien ditempatkan pada papan/ meja dengan posisi kepala tidak

25
hiperekstensi atau termanipulasi. Lama pemeriksaan ini hanya beberapa
menit.
b) X-Ray spinal
X-Ray spinal dapat melihat daerah cervical, thorakal, lumbal, dan sakral
dari spinalis. X-Ray spinal memberi informasi data tentang dislokasi,
fraktur vertebra, erosi tulang, pengapuran, kollap vertebra, spondylosis.
c) Computed Tomografi (CT)
Computed Tomography Scanning merupakan kombinasi teknologi dari
radiologi Imaging dan komputer analisis. Pemeriksaan ini dapat
memberikan gambaran secara mendetail bagian-bagian dari otak.
Misalnya dapat menentukan bentuk, ukuran dan posisi ventrikel,
mendeteksi adanya perdarahan, tumor, kista, edema.
d) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging disebut juga Nuclear Magnetic Resonance
(NMR) imaging, merupakan teknologi tomografi yang berbasis pada
interaksi inti/nukleus hidrogen (proton).
e) Angiografi Cerebral
Pemeriksaan ini sangat penting dalam memberikan informasi tentang
kepatenan, ukuran, obstruksi obstruksi pada pembuluh darah serebral.
f) Electroencephalography (EEG)
Catatan grafik dari gelombang aktivitas listrik otak. Pemeriksaan ini
penting untuk mengetahui normal atau tidaknya aktivitas listrik dalam
otak. Sedikitnya ada 17-21 elektroda yang dipasang di kepala Klien,
misalnya pada prefrontal, frontal, temporal, oksipital.
g) Elektromiografi (EMG)
Electromyography merupakan pemeriksaan untuk mengukur dan mencatat
elektrik otot skeletal dan konduksi saraf. Saat pemeriksaan Pasien
dimasukkan jarum besar ke dalam otot.
h) Lumbal Pungsi (LP)
Lumbal pungsi adalah prosedur memasukan alat/jarum ke dalam rongga
arachnoid melalui lumbal. Lumbal pungsi bertujuan untuk mengambil
sampel cairan serebrospinal dan mengukur tekanan likuor.Dari hasil

26
pemeriksaan Lumbal Pungsi dapat diketahui apakah ada darah, jernih,
keruh pada cairan serebrospinalis.

8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada Pasien dengan Spinal Cord
Injury yaitu:
a) Jika ada fraktur atau dislokasi kolumna vertebralis servikalis, segera
pasang collar fiksasi leher, jangan gerakan kepala atau leher.
b) Jika ada fraktur columna vertebra thoracalis, angkut Pasien dalam keadaan
telungkup, lakukan fiksasi torakal (pakai korset)
c) Fraktur daerah lumbal, fiksasi dengan korset lumbal.
d) Kerusakan medulla spinalis dapat menyebabkan tonus pembuluh darah
menurun karena paralisis fungsi sistem saraf ortosimpatik, akibatnya
tekanan darah turun beri infus bila mungkin plasma atau darah, dextran 40
atau expafusin. Sebaiknya jangan diberikan cairan isotonik seperti NaCl
0,9% atau glukosa 5%. Bila perlu beri kan adrenalin 0,2 mg boleh diulang
1 jam kemudian. Bila denyut nadi < 44 kali/menit, beri sulfas atropin 0,25
mg IV (intravena).
e) Gangguan pernafasan kalau perlu beri bantuan dengan respirator atau cara
lain dan jaga jalan nafas tetap lapang.
f) Jika lesi di atas C-8; termoregulasi tidak ada, mungkin terjadi hiperhidrosis
usahakan suhu badan tetap normal
g) Jika ada gangguan miksi; pasang kondom kateter atau dauer kateter dan
jika ada gangguan defekasi berikan laksan atau klisma
h) Tindakan operasi dilakukan bila:
- Ada fraktur, pecahan tulang menekan medulla spinalis
- Gambaran neurologis progresif memburuk.

F. Konsep Polio
1. Definisi
Poliomielitis atau yang biasa disebut sebagai polio merupakan penyakit
menular yang dapat menyebabkan paralisis ireversibel dan kematian pada
anak. Karakteristik dan bentuk manifestasi klinik yang paling berat dari infeksi

27
polio ialah polio paralitik yang biasanya menyebabkan paralisis permanen
asimetris pada tungka. Predileksi virus polio pada sel cornu anterior medulla
spinalis, inti motorik batang otak dan area motorik korteks otak, yang
menyebabkan kelumpuhan serta atrofi otot. (Satari, 2016).

2. Etiologi
Virus polio (VP) adalah virus RNA ultra mikroskopik yang termasuk
genus Enterovirus, dalam famili Picornaviridae. Virus single stranded 30%
terdiri dari virion, protein mayor (VP1 sampai 4) dan satu protein minor (VPg).
Virus terdiri dari 3 serotipe yaitu serotipe 1, 2, dan 3 masing-masing disebut
juga serotipe Mahoney, Lansing, dan Leon.
Perbedaan ketiga jenis strain terletak pada segmen nukleotida. Virus
polio serotipe 1 adalah antigen yang paling dominan dalam membentuk
antibodi netralisasi. Serotipe 2 adalah yang paling paralitogenik dan sering
menimbulkan KLB, sedangkan serotipe 3 adalah yang paling tidak imunogenik
(Satari, 2016).

3. Patofisiologi
Virus polio ditularkan lewat jalur fekal-oral. Virus dapat diisolasi dari
sistem limfatik saluran cerna manusia, termasuk tonsil, Peyer’s patch, dan
kelenjar getah bening usus, juga dalam feses. Replikasi awal virus pada sel
yang rentan infeksi di faring dan saluran cerna sebagian besar akan
menimbulkan viremia minor dan singkat, serta asimtomatik. Apabila infeksi
berlanjut, virus akan menyebar lebih luas pada jaringan retikuloendotelial
lainnya.
Dilaporkan 95% infeksi primer ini asimtomatik, dan pada 4%-8%
infeksi sekunder akan muncul sebagai gejala infeksi virus non spesifik. Apabila
infeksi tersebut sudah menginvasi sistem saraf, dapat terjadi meningitis aseptik
pada 1%-2% kasus, dan terjadi polio paralitik pada 0,1%-1% kasus. Secara
klinis, polio diklasifikasikan sebagai berikut (Satari, 2016) :
a) Poliomielitis spinal

28
Ditandai dengan acute flaccid paralysis (AFP) atau lumpuh layu akut,
sekunder akibat destruksi selektif dari motor neuron pada medula spinalis
dan sekuens denervasi dari struktur muskuloskeletal yang terlibat. 2.
b) Poliomielitis bulbar
Terdapat paralisis otot pernafasan akibat serangan virus pada neuron di
batang otak yang mengontrol pernafasan
c) Poliomielitis bulbo-spinalis
Terjadi akibat kerusakan batang otak dan medula spinalis.
d) Polio paralitik
Denervasi jaringan otot skelet sekunder oleh infeksi poliovirus yang dapat
menimbulkan kelumpuhan.

4. Pathway

5. Klasifikasi

a) Poliomielitis Subklinis

Pada kebanyakan orang dengan sistem kekebalan tubuh normal,


infeksi virus polio tidak menunjukkan gejala. Pasien dengan poliomielitis

29
subklinis sering kali memperoleh kekebalan aktif terhadap infeksi di
kemudian hari, yang disebabkan oleh jenis virus yang sama.

b) Poliomielitis yang Gagal

Poliomielitis abortif adalah bentuk poliomielitis ringan, sering kali


muncul dengan gejala gastroenteritis, seperti: demam, mual, muntah,
diare, atau sembelit; atau gejala infeksi saluran pernapasan akut, seperti:
demam, sakit kepala, dan sakit tenggorokan.

c) Poliomielitis Non-Paralitik

Pasien dengan bentuk poliomielitis ini sering kali datang dengan


gejala meningitis non-paralitik, seperti: demam, sakit kepala, muntah,
kelesuan, mudah tersinggung, nyeri leher, punggung, perut dan
ekstremitas atas atau bawah. Kejang otot biasanya terjadi pada otot leher,
punggung dan hamstring.

d) Poliomielitis Paralitik

Pasien dengan poliomielitis paralitik menunjukkan gejala yang


sama dengan gejala non-paralitik. Gejala tambahan pada bentuk lumpuh
meliputi: kelemahan otot, kelumpuhan asimetris, atrofi otot, getaran, dan
kelainan bentuk tulang.

Poliomielitis paralitik dapat diklasifikasikan menjadi 2 bentuk,


yang dapat terjadi bersamaan pada pasien yang sama:

1) Poliomielitis Tulang Belakang

Bentuk penyakit ini mempengaruhi otot-otot yang disuplai oleh


saraf tulang belakang .

2) Poliomielitis Bulbar

Bentuk penyakit ini mempengaruhi otot-otot yang disuplai oleh


saraf kranial . Ensefalitis juga dapat terjadi pada bentuk ini.

30
6. Tanda dan Gejala
Masa inkubasi virus polio biasanya memakan waktu 3-6 hari, dan
kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21 hari. Kebanyakan orang terinfeksi (90%)
tidak memiliki gejala atau gejala yang sangat ringan dan biasanya tidak
dikenali. Pada kondisi lain, gejala awal yaitu demam, kelelahan, sakit kepala,
muntah, kekakuan di leher dan nyeri di tungkai. Adapun gejala Penderita polio
dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2020) :
a) Polio non-paralisis
Dapat menyebabkan muntah, lemah otot, demam, meningitis, letih, sakit
tenggorokan, sakit kepala serta kaki, tangan, leher dan punggung terasa
kaku dan sakit.
b) Polio paralisis
Menyebabkan sakit kepala, demam, lemah otot, kaki dan lengan terasa
lemah, dan kehilangan refleks tubuh.
c) Sindrom pasca-polio
Menyebabkan sulit bernapas atau menelan, sulit berkonsentrasi, lemah
otot, depresi, gangguan tidur dengan kesulitan bernapas, mudah lelah dan
massa otot tubuh menurun.

7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk penyakit polio meliputi :
a) Pemeriksaan fisik lengkap (HTT)
b) Pemeriksaan spesimen tenggorokan
c) Pemeriksaan feses (tinja)
d) Pemeriksaan darah lengkap

8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis untuk klien/pasien yang sudah terdiagnosa
penyakit polio adalah sebagai berikut (Pontoh et al, 2015) :
a) Melakukan fisioterapi

31
Dengan tujuan untuk mengurangi kontraktur, atrofi, dan atoni otot. Otot-
otot yang lumpuh harus dipertahankan pada posisi untuk mencegah
deformitas. Dua hari setelah demam menghilang dilakukan latihan gerakan
pasif dan aktif.
b) Terapi ortopedik
Hal ini dapat dilakukan bila terjadi cacat karena kontraktur dan subluksasi
akibat terkenanya otot di sekitar sendi dan lain-lain.
c) Pemberian analgesik
Untuk mengurangi rasa nyeri akibat kekakuan otot yang dialami. Selain
perawatan medis, pencegahan adalah strategi terbaik melawan polio. hal
ini meliputi Imunisasi: Vaksinasi polio harus diberikan kepada semua
anak. Ada dua jenis vaksin, Vaksin Polio Inaktif (IPV) dan Vaksin Polio
Oral (OPV) (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).

G. Konsep Tetanus
1. Definisi
Tetanus adalah infeksi yang ditandai dengan keadaan hipertonia
menyeluruh yang bermanifestasi dalam bentuk kejang otot rahang dan leher
yang menyakitkan. Penyakit ini paling sering terjadi pada mereka yang tidak
menerima vaksinasi atau pada orang lanjut usia yang daya tahan tubuhnya
melemah. Tetanus disebabkan oleh infeksi bakteri Clostridium tetani yang
ditemukan di tanah, debu, atau kotoran hewan (Bae and Bourget, 2023).
Bakteri Clostridium tetani dapat masuk ke dalam tubuh manusia
melalui luka tusuk, laserasi, kerusakan kulit, atau inokulasi dengan jarum
suntik atau gigitan serangga yang terinfeksi. Sumber infeksi yang paling umum
adalah luka yang sering kali sepele dan luput dari perhatian, seperti luka robek
ringan akibat serpihan kayu atau logam atau duri (Bae and Bourget, 2023).

2. Etiologi
Penyebab Tetanus adalah bakteri Clostridium tetani (C.tetani). Bakteri
ini membentuk spora, dan bersifat obligat anaerob. Spora mampu melindungi
dirinya selama berada di lingkungan terutama tanah yang lembab dan hangat

32
yang berasal dari kotoran manusia dan hewan. Tanah yang ditaburi pupuk
kandang sangat mungkin mengandung banyak spora bakteri ini.
C.tetani masuk ke jaringan host manusia melalui luka trauma, jaringan
nekrosis dan jaringan yang kurang vaskularisasi, namun 15-25% kasus tetanus
tidak didapatkan riwayat adanya luka. Dalam kondisi anaerobik seperti
jaringan yang mengalami devitalisasi, nekrosis, atau tertutup kotoran, spora
dapat menjadi basil tetanus yang menghasilkan eksotoksin aktif yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin.
Toksin aktif yang utama dari basil ini adalah tetanospasmin yang
menghambat neurotransmitter inhibitor seperti GABA, glisin, dopamine, dan
noradrenalin dalam sistem saraf pusat. Berkurangnya jumlah neurotransmitter
inhibitor tersebut akan mencegah inhibisi impuls saraf eksitasi sehingga
muncul gejala tetanus

3. Patofisiologi
Di tempat inokulasi, spora tetanus masuk ke dalam tubuh dan
berkecambah di luka. Perkecambahan memerlukan kondisi anaerobik tertentu,
seperti jaringan mati dan rusak yang memiliki potensi reduksi oksidasi rendah.
Setelah berkecambah, mereka melepaskan tetanospasmin ke dalam aliran darah
(Cardinal, Paul R et al, 2020).
Toksin ini memasuki terminal prasinaptik di pelat ujung neuromuskular
neuron motorik dan menghancurkan protein membran sinaptik vesikular yang
mengakibatkan inaktivasi transmisi saraf penghambat yang biasanya menekan
neuron motorik dan aktivitas otot. Hal ini menyebabkan lumpuhya serat otot.
Selanjutnya, toksin ini, melalui transpor aksonal retrograde, berpindah
ke neuron di sistem saraf pusat, di mana ia juga menghambat pelepasan
neurotransmitter; ini terjadi kira-kira 2 sampai 14 hari setelah inokulasi. Karena
glisin dan GABA adalah neurotransmitter penghambat utama, sel gagal
menghambat respons refleks motorik terhadap rangsangan sensorik, sehingga
menyebabkan kejang tetanik. Hal ini dapat menyebabkan aktivitas dan
kontraksi otot yang sangat kuat sehingga dapat terjadi patah tulang dan robekan
otot.

33
Masa inkubasi dapat berlangsung dari satu hingga 60 hari, tetapi rata-
rata sekitar 7 hingga 10 hari. Tingkat keparahan gejala bergantung pada jarak
dari sistem saraf pusat, dengan gejala yang lebih parah berhubungan dengan
masa inkubasi yang lebih pendek. Setelah neurotoksin memasuki batang otak,
disfungsi otonom terjadi, biasanya pada minggu kedua timbulnya gejala.
Dengan hilangnya kendali otonom, pasien dapat mengalami tekanan
darah dan detak jantung yang labil, diaforesis, bradiaritmia, dan serangan
jantung. Gejala dapat berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-
bulan, dengan angka kematian sebesar 10% pada mereka yang terinfeksi;
bahkan lebih tinggi pada mereka yang tidak mendapatkan vaksinasi
sebelumnya (Yeh, Felix L et al. (2010)

4. Pathway

5. Klasifikasi
Secara klinis tetanus ada 4 macam, yaitu tetanus umum, tetanus local,
cephalic tetanus, dan tetanus neonatal.
a) Tetanus Umum

34
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering
dijumpai. Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan jalan masuk kuman.
Biasanya dimulai dengan trismus dan risus sardonikus, lalu berproses ke
spasme umum dan opistotonus.
Dalam 24 – 48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai
ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan
mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut lockjaw. Selain
kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka
sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut risus
sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah,
bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher bagian
belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan tubuh
sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opistotonus.
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik
baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan,
sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta
tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta
ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah
terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat
menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis.Retensi urine
sering terjadi karena spasme sfingter kandung kemih. Kenaikan temperatur
badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi
sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas
dan mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Pada kasus yang berat mudah
terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi, hipertensi yang labil,
berkeringat banyak, panas yang tinggi dan aritmia jantung.
b) Tetanus Lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan
karena gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri,
kekakuan otot–otot pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal

35
adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%, kadang–kadang bentuk
ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.
c) Cephalic Tetanus
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini
bila luka mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, otitis media
kronis dan jarang akibat tonsilektomi. Gejala berupa disfungsi saraf
kranial antara lain n. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan
sendiri–sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari
bahkan berbulan–bulan. Cephalic Tetanus dapat berkembang menjadi
tetanus umum. Pada umumnya prognosis bentuk cephalic tetanus jelek.
d) Tetanus Neonatal
Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi
pada anak yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan
menangis pada 2 hari pertama kehidupannya, tetapi kehilangan
kemampuan ini antara hari ke-3 sampai hari ke-28 serta menjadi kaku dan
spasme. Tetanus neonatal, biasa terjadi karena proses melahirkan yang
tidak bersih. Gejala klinisnya biasa terjadi pada minggu kedua kehidupan,
ditandai dengan kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang
disertai opistotonus.

6. Tanda dan Gejala


Tetanus didiagnosis berdasarkan gejala klinis. Hingga saat ini belum
ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk tetanus. Kuman C. tetani tidak
tumbuh pada saat dikultur dari sampel yang berasal dari luka terkontaminasi.
Tes spatula dengan menyentuhkan ujung spatula pada dinding faring akan
direspon dengan gigitan kuat pada spatula tersebut, tes ini spesifik dan sensitif
untuk diagnosis tetanus. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu :
a) Tetanus lokal
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit
pada otot sekitar proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi
tetanus umum.
b) Tetanus sefalik

36
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari,
disebabkan oleh luka daerah kepala atau otitis media kronis. Gejala berupa
trismus, disfagia, risus sardonicus dan disfungsi nervus kranial.
c) Tetanus umum/generalisata
Gejala klinis berupa trismus, iritabel,kekakuan leher, susah menelan,
kekakuan badan dan perut (opistotonus), rasa sakit dan cemas serta kejang
umum apabila dirangsang oleh sinar, suara dan sentuhan.
d) Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, akibat infeksi tali pusat.

7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Diagnosis tetanus ditentukan berdasarkan gejala klinis pasien dan tidak
ada pemeriksaan penunjang yang spesifik, meliputi :
a) Pemeriksaan laboratorium
Meliputi Pemeriksaan darah lengkap, GDS, SGOT,SGPT, Albumin,
elektrolit, ureum dan kreatinin serta faal hemostasis untuk menentukan
tatalaksana suportif.
b) Pemeriksaan EKG
Dilakukan untuk mengetahui adanya efek gangguan saraf otonom yang
menyebabkan aritmia hingga asistole, ataupun miokarditis dengan
gambaran seperti infark miokard dengan ST elevasi.

8. Penatalaksanaan Medis
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni (Laksmi, 2014) :
a) Membuang sumber tetanospasmin
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk
mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri. Pada penelitian di
Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa
pelayanan kesehatan.
Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000- 100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat

37
diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8
tahun).
b) Menetralisasi toksin yang tidak terikat
Antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin-toksin yang belum
berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG)
segera diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000- 10.000 unit,
dibagi tiga dosis yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak
ada konsensus dosis tepat HTIG.
Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit
intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis
tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka;
hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari.
Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif.
Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000- 200.000
unit diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada
hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-
masing pada hari kedua dan ketiga.
Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi
imunisasi aktif dengan toksoid karena seseorang yang sudah sembuh dari
tetanus tidak memiliki kekebalan.
c) Perawatan penunjang (suportif )
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin
yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya
ditangani di ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk
meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi stimulus
ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang.3-5,12
Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena
harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting
sebagai penuntun terapi.

38
H. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas Pasien
Identitas pasien berisi informasi terkait nama pasien, umur, tempat dan
tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, alamat, agama, pendidikan,
pekerjaan, no. RM, dan tanggal masuk rumah sakit (MRS).
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama merupakan keluhan yang dirasakan dan
disampaikan pasien yang membuatnya datang ke rumah sakit, atau
alasan pasien tersebut datang ke rumah sakit.
2) Keluhan saat dikaji
Keluhan saat dikaji merupakan keluhan yang dirasakan dan
disampaikan pasien saat perawat melakukan pengkajian kepada pasien
di rumah sakit.
3) Diagnosis medis saat ini
Diagnosis medis merupakan penyakit atau diagnosis yang
ditegakkan oleh dokter kepada pasien.
4) Riwayat penyakit saat ini
Riwayat penyakit saat ini berisi informasi yang disampaikan pasien
tentang penyakit atau keluhan yang dialaminya saat ini. Seperti dari
kapan pasien mengalami keluhan yang dirasakan saat ini, usaha yang
dilakukan untuk mengatasi keluhan tersebut, bagaimana penyakit
tersebut mempengaruhi kehidupan pasien, dan bagaimana perjalanan
penyakit pasien dari sebelum dibawa ke rumah sakit sampai dengan
saat pengkajian.
5) Riwayat penyakit terdahulu
Riwayat penyakit terdahulu berisi informasi yang disampaikan
pasien tentang penyakit atau keluhan lain yang pernah dialami
sebelumnya. Seperti riwayat MRS sebelumnya, riwayat dioperasi,
riwayat kelainan bawaan, riwayat alergi, dan riwayat penyakit
keluarga.

39
c. Prosedur Invasif Saat Ini
Prosedur invasif saat ini berisi informasi tentang prosedur invasif apa
saja yang sedang terpasang saat pengkajian dilakukan dan dijelaskan waktu
dan lokasi pemasangan. Prosedur invasif dapat meliputi infus intravena,
dower catheter, tracheostomy, central line (Central Venous Pressure),
selang Nasogastric Tube, dan lain-lain.
d. Kontrol Risiko Infeksi
Berisi informasi tentang status infeksi pasien (apakah tidak diketahui,
suspect, atau diketahui dan sebutkan) dan kewaspadaan tambahan yang
harus dilakukan (apakah droplet, airborn, atau kontak).
e. Keadaan Umum
Berisi informasi tentang kesadaran pasien (compos mentis, apatis,
delirium, somnolen, sopor, soporkoma, atau koma) dan tanda-tanda vital
(suhu, nadi, tekanan darah, dan napas).
f. Penilaian Nyeri
Berisi informasi tentang penilaian nyeri yang dialami pasien. Penilaian
nyeri untuk pasien sadar dapat menggunakan skala Wong Backer Scale
(WBS) dan Numeric Rating Scale (NRS). Sedangkan untuk pasien tidak
sadar, penilaian nyeri menggunakan skala Behavior Pain Scale (BPS).
g. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik berisi informasi tentang kondisi fisik dari kepala
sampai kaki (head to toe), apakah normal atau terdapat kelainan.
1) Kepala
Informasi yang dikaji pada kepala seperti apakah normosefali,
mikrosefali, atau hidrosefali, warna rambut pasien, dan kelainan pada
rambut seperti rontok.
2) Mata
Informasi yang dikaji pada mata seperti warna konjungtiva (merah
muda atau pucat), sklera (normal, ikterus, atau yang lainnya),
penglihatan (normal atau menggunakan kacamata), pupil (isokor,
anisokor, midriasis, atau katarak), dan kebutaan (tidak atau iya, dan
jelaskan).

40
3) Leher
Informasi yang dikaji pada leher yaitu bentuk leher (normal atau ada
kelainan, dan jelaskan).
4) Hidung
Informasi yang dikaji pada hidung seperti, penghidu (normal atau ada
gangguan, seperti sekret, darah, atau polip) dan tarikan cuping hidung
(ada atau tidak).
5) Telinga
Informasi yang dikaji pada telinga yaitu pendengaran (normal atau ada
kerusakan seperti tuli kanan/kiri, tinnitus, alat bantu dengar, atau yang
lainnya).
6) Mulut dan gigi
Informasi yang dikaji pada mulut dan gigi seperti, bibir (lembab,
kering, sianosis, atau pecah-pecah), mulut dan tenggorokan (normal,
ada lesi, atau stomatitis) dan gigi (apakah penuh/normal, ompong, atau
yang lainnya).
7) Dada
Informasi yang dikaji pada dada seperti, bentuk dada (simetris atau ada
kelainan), irama nafas (reguler atau ireguler), suara nafas (normal atau
ada wheezing dll), batuk (iya/tidak), retraksi dinding dada (iya/tidak),
dan sekret (iya/tidak, warna, dan jumlah).
8) Abdomen
Informasi yang dikaji pada abdomen seperti, kembung (iya/tidak),
bising usus (normal/abnormal dan jelaskan), dan ascites (iya/tidak).
9) Kulit
Informasi yang dikaji pada kulit seperti, warna (normal, ikterus, atau
sianosis), membran mukosa (lembab, kering atau stomatitis),
hematoma (iya/tidak), luka (tidak/iya dan jelaskan), dan masalah
integritas kulit (tidak/iya dan jelaskan).
10) Ekstremitas
Informasi yang dikaji pada ekstremitas seperti, akral (hangat atau
dingin), pergerakan (aktif atau pasif), kekuatan otot (kuat atau lemah),

41
capillary refill time atau CRT (< 3 detik atau > 3 detik),
hemiplegi/parese (tidak atau iya dan jelaskan), edema (tidak/iya dan
jelaskan), dan kelainan (tidak/iya dan jelaskan).
11) Anus dan genitalia
Informasi yang dikaji pada anus dan genitalia yaitu ada kelainan atau
masalah (tidak/iya dan jelaskan).
h. Data Biologis
Data biologis berisi informasi tentang pernapasan, makan dan minum,
eliminasi, istirahat tidur, dan mobilisasi.
1) Pernapasan
Kesulitan bernafas : ( )Tidak, ( )Ya : memakai O2 ______ lt/menit
dengan : ( )Nasal cannula, ( )Sungkup, ( )Masker
2) Makan dan minum
Nafsu makan : ( )Baik, ( )Tidak, Jenis Makanan : ( )Bubur, ( )Nasi,
Frekuensi____________/hari
Kesulitan makan : ( )Tidak, ( )Ya, Kebiasan makan : ( ) Mandiri, ( )
Dibantu, ( )Ketergantungan
Menggunakan NGT : ( )Tidak, ( ) Ya
Keluhan : Mual : ( )Tidak, ( )Ya Muntah : ( )Tidak, ( )Ya :
Warna/Volume ________/________ml
Makanan pantangan:
Makanan yang disukai:
Makanan yang tidak disukai:
3) Eliminasi
Bak : ( )Normal, ( )Tidak,
Masalah perkemihan : ( )Tidak ada, ( )Ada : ( )Retensi urine, ( )
Inkontinensia urine, ( )Dialysis
Warna urine : ( )Kuning jernih, ( )Keruh, ( )Kemerahan, Frekuensi :
________________/hari
Bab : ( )Normal, ( )Tidak,
Masalah defekasi : ( )Tidak ada, ( )Ada : ( )Stoma, ( )Atresia ani, ( )
Konstipasi, ( )Diare

42
Warna feses : ( )Kuning, ( )Kecoklatan, ( )Kehitaman, Perdarahan : ( )
Tidak, ( )Ya, Frekuensi : ____/hari
4) Istirahat tidur
Lama tidur _____ jam/hari Kesulitan Tidur : ( )Tidak, ( )Ya
Tidur siang : ( )Tidak, ( )Ya
Kebiasaan pengantar tidur:
Kebiasaan saat tidur:
5) Mobilisasi
( )Normal/mandiri, ( )Dibantu, ( )Menggunakan kursi roda,
Lain-lain_______________________________________
Kegiatan di waktu luang:
i. Data Psikologis
Data psikologis berisi informasi tentang kondisi psikologis pasien,
seperti masalah perkawinan, keluarga, trauma dalam kehidupan, hal yang
dipikirkan saat ini, harapan setelah perawatan, suasana hati, bicara, dan
lain-lain.
j. Data Sosial, Ekonomi, dan Spiritual
Data sosial, ekonomi, dan spiritual berisi informasi tentang kondisi
sosial, ekonomi, dan spiritual pasien, seperti tinggal bersama keluarga
kandung, pekerjaan, pembiayaan kesehatan, kegiatan ibadah, dan
keperluan rohaniawan.
k. Asesmen Fungsional (Barthel Index)
Pengkajian fungsional barthel index bertujuan untuk menilai tingkat
kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari,
seperti seperti, membersihkan diri, makan, berpindah dari tempat tidur,
berjalan, berpakaian, naik turun tangga, mandi, mengontrol BAB, BAK,
dan menggunakan toilet. Berikut adalah tingkat kemandirian menurut
barthel index: Mandiri (20), Ketergantungan Ringan (12-19),
Ketergantungan Sedang (9-11), Ketergantungan Berat (5-8),
Ketergantungan Total (0-4)

l. Pengkajian Risiko Jatuh

43
Pengkajian risiko jatuh skala morse bertujuan
untuk menilai tingkat risiko jatuh pasien. Pada pasien
dewasa, pengkajian risiko jatuh menggunakan skala
morse dengan menilai indikator usia, defisit sensoris,
aktivitas, riwayat jatuh, kognisi, pengobatan dan
penggunaan alat kesehatan, mobilitas, pola BAB/BAK,
dan komorbiditas. Skor risiko jatuh menggunakan
Skala Morse yaitu Rendah 0-7, Tinggi 8-13, Sangat
Tinggi ≥ 14.
m. Skrining Nutrisi
Skrining nutrisi merupakan alat untuk menilai risiko pasien mengalami
malnutrisi menggunakan Malnutrisi Screening Tools (MST). Hal yang
dinilai yaitu penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan yang
dialami pasien. Nilai MST yaitu: Risiko Rendah (MST = 0-1), Risiko
Sedang (MST = 2-3), dan Risiko Tinggi (MST = 4-5).
n. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang

2. Diagnosis Keperawatan
a. Analisis Data

Dalam diagnosis keperawatan terdapat analisis data yang digunakan


untuk mengetahui masalah keperawatan yang muncul. Analisis data
terdiri atas:
1) Data Fokus
Di dalam data fokus terdapat data subjektif dan data objektif.
Data subjektif merupakan data yang dikeluhkan/disampaikan
oleh pasien. Sementara, data objektif adalah data yang
didapatkan berdasarkan pengukuran dan observasi oleh
perawat.
2) Analisis
Menganalisis data fokus yang sudah didapatkan. Proses analisis

44
dapat berbentuk pohon masalah. Dari analisis data perawat akan
dihasilkan masalah keperawatan yang dialami pasien.
3) Masalah
Masalah merupakan masalah keperawatan yang akan ditangani
selama proses keperawatan berlangsung.
Berikut adalah contoh tabel analisis data :

Data Fokus Analisis Masalah

Subjektif
1)
Objektif
1)

b. Diagnosis
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial (Tim Pokja
SDKI DPP PPNI, 2017). Diagnosis keperawatan yang umum muncul
pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas
patologis sistem muskuloskeletal (fraktur) yaitu :
1) Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan (b.d)
Kerusakan integritas struktur tulang, Perubahan metabolism,
Ketidakbugaran fisik, Penurunan kendali otot, Penurunan massa
otot, Penurunan kekuatan otot, Keterlambatan perkembangan,
Kekakuan sendi, Kontraktur, Malnutrisi, Gangguan
musculoskeletal, Gangguan neuromuscular, Indeks massa tubuh
diatas persentil ke-75 sesuai usia, Efek agen farmakologis,
Program pembatasan gerak, Nyeri, Kurang terpapar informasi
tentang aktivitas fisik, Kecemasan, Gangguan kognitif,
Keengganan melakukan pergerakan, Gangguan sensori persepsi,
ditandai dengan (d.d) Mengeluh sulit menggerakkan
ekstremitas, Kekuatan otot menurun, Rentang gerak (ROM)
menurun, Nyeri saat bergerak, Enggan melakukan pergerakan,

45
Merasa cemas saat bergerak, Sendi kaku, Gerakan tidak
terkoordinasi, Gerakan terbatas, Fisik lemah.

46
3. Rencana Keperawatan

Diagnosis Tujuan dan Kriteria Intervensi


No Keperawatan Hasil Keperawatan Rasional
(SDKI) (SLKI) (SIKI)

1 Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi Dukungan Mobilisasi


Mobilitas Fisik Tindakan (I.05173) (I.05173)
(D.0054) keperawatan selama Observasi Observasi
berhubungan ...x... jam diharapkan 1. Identifikasi adanya 1. Untuk mengetahui
dengan (b.d) Mobilitas Fisik nyeri atau keluhan adanya nyeri atau
Kerusakan (L.05042) meningkat fisik lainnya keluhan fisik lainnya
integritas dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi 2. Untuk mengetahui
struktur tulang, toleransi fisik toleransi fisik
Perubahan melakukan melakukan pergerakan
1. Pergerakan
metabolism, pergerakan 3. Untuk mengetahui
ekstermitas
Ketidakbugaran 3. Monitor kondisi kondisi umum selama
sedang
fisik, Penurunan umum selama melakukan mobilisasi
2. Kekuatan otot
kendali otot, melakukan
sedang
Penurunan massa mobilisasi Terapeutik
3. Rentang gerak
otot, Penurunan 1. Untuk mendukung
(ROM) sedang
kekuatan otot, Terapeutik mobilisasi diri pasien
4. Nyeri menurun
Keterlambatan 1. Fasilitas 2. Untuk membantu
5. Gerakan
perkembangan, melakukan pasien dengan
terbatas sedang
Kekakuan sendi, mobilasasi dini meningkatkan
6. Kelemahan fisik
Kontraktur, 2. Libatkan keluarga pergerakan
menurun
Malnutrisi, untuk membantu
Gangguan pasien dalam Edukasi
musculoskeletal, meningkatkan 1. Agar pasien
Gangguan pergerakan mengetahui tujuan dan
neuromuscular, Edukasi prosedur mobilisasi
Indeks masa 1. Jelaskan tujuan dan 2. Agar pasien dapat
tubuh diatas prosedur mobilisasi meningkatkan
persentil ke-75 2. Anjurkan mobilitas fisik pasien
sesuai usia, Efek melakukan
agen mobilisasi dini
farmakologis,
Program
pembatasan
gerak, Nyeri,

47
Kurang terpapar
informasi
tentang aktivitas
fisik,
Kecemasan,
Gangguan
kognitif,
Keengganan
melakukan
pergerakan,
Gangguan
sensoripersepsi,
ditandai dengan
(d.d) Mengeluh
sulit
menggerakkan
ekstrimitas,
Kekuatan otot
menurun,
Rentang gerak
(ROM) menurun,
Nyeri saat
bergerak,
Enggan
melakukan
pergerakan,
Merasa cemas
saat bergerak,
Sendi kaku,
Gerakan tidak
terkoordinasi,
Gerakan terbatas,
Fisik lemah.

48
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahapan ketika perawat mengaplikasikan rencana
atau tindakan asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan
untuk membantu pasien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tahap
pelaksanaan terdiri atas tindakan mandiri dan kolaborasi yang mencakup
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan
memfasilitasi koping. Agar kondisi pasien cepat membaik diharapkan bekerja
sama dengan keluarga pasien dalam melakukan pelaksanaan agar tercapainya
tujuan dan kriteria hasil yang sudah dibuat dalam intervensi (Nursalam, 2016).

Tabel Format Implementasi Keperawatan

Tanggal Jam Tindakan Keperawatan Respon Paraf

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari proses keperawatan
meliputi perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang
teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
Evaluasi dapat berupa formatif dan sumatif. Evaluasi formatif yaitu evaluasi
selama program berlangsung. Sedangkan, evaluasi sumatif dilakukan setelah
program selesai dan mendapatkan informasi efektivitas pengambilan
keputusan. Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk
SOAP (Subjektif, Objektif, Assessment, dan Planning) (Nursalam, 2016).

No Tgl / Dx Evaluasi Hasil TTD


Jam

S (subjektif) merupakan informasi berupa


ungkapan yang didapat dari pasien setelah
tindakan diberikan.

49
O (objektif) merupakan informasi yang didapat
berupa hasil pengamatan, penilaian, pengukuran
yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan
dilakukan.
A (analisis) merupakan membandingkan antara
informasi subjective dan objective dengan tujuan
dan kriteria hasil, kemudian diambil kesimpulan
bahwa masalah teratasi, teratasi sebagian, atau
tidak teratasi.
P (planning) merupakan rencana keperawatan
lanjutan yang akan dilakukan berdasarkan hasil
analisa.

50
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, A. (2009). Pengantar Asuhan Keperawatan Dgn Gangguan Sistem


Persarafan. Penerbit Salemba.
Kementerian Kesehatan. (2022). Radang Otak. Direktorat Jenderal Pelayanan
Kesehatan
Ayuningtyas. (2020). Hubungan Tindakan Range Of Motion Terhadap Peningkatan
Kekuatan Otot Dan Rentang Gerak Sendi. Jurnal Ilmiah Indonesia, 4(1), 1– 23.
Keperawatan Pada, A. (2010). B. Anatomi Fisiologi Anatomi Saraf Gambar 1-1 :
struktur saraf dan otak(Tarwoto,2007). Fakultas Ilmu Kesehatan UMP.
Putri, K. (2019). Konsep Dasar Meningitis. Journal, 10.
Suandari, K. D. (2021). Gambaran Kemampuan Komunikasi Verbal pada Pasien
Stroke di Rumah Sakit Umum Daerah Buleleng Bali Tahun 2021. Angewandte
Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 7–8.
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/
Ummaroh, E. N. (2019). Pasien CVA (Cerebro Vaskuler Accident) dengan gangguan
komunikasi verbal Di Ruang Aster RSUD Dr. Harjono. Universitas
Muhammadiyah Ponogoro, 2–67. http://eprints.umpo.ac.id/id/eprint/5088
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Anggitha, Gisheila Ruth. (2019). Penatalaksanaan Meningitis, Jakarta.
https://www.alomedika.com/penyakit/neurologi/meningitis/penatalaksanaan.
Diakses Kamis, 11 Januari 2023. 55
Cardinal, Paul R et al. (2020). “Fatal Necrotizing Soft-Tissue Infection Caused by
Clostridium tetani in an Injecting Drug User: A Case Report.” Surgical
infections vol. 21,5 (2020): 457-460. doi:10.1089/sur.2019.244

51
Yeh, Felix L et al. (2010). “SV2 mediates entry of tetanus neurotoxin into central
neurons.” PLoS pathogens vol. 6,11 e1001207. 24 Nov. 2010,
doi:10.1371/journal.ppat.1001207
Bae, Kristal, and Daniel Bourget. (2023). “Tetanus.”,
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459217/ . Diakses kamis, 11 Januari
2024.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). “Polio.” Ayo Sehat,
https://ayosehat.kemkes.go.id/topik-penyakit/imunisasi/polio. Diakses kamis,
11 Januari 2024.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). “Poliomyelitis (Penyakit Virus
Polio).” Infeksi Emerging, 7 July 2020,
https://infeksiemerging.kemkes.go.id/penyakit-virus/poliomyelitis-
penyakitvirus-polio. Diakses pada kamis, 11 Januari 2024.
Pontoh, Lelly M., et al. (2015). “REHABILITASI MEDIK PADA POLIOMIELITIS.”
JBM : Jurnal Biomedik, vol. 7, no. 2, 2015,
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/viewFile/9327/8901.
Diakses pada kamis, 11 Januari 2024.
Sari, F. P. (2022). Asuhan Keperawatan Anak Dengan Masalah Hipertermi Pada
Pasien Suspect Meningitis Di Ruang Nicu RSUD R.A Basoeni Mojokerto.
Satari, Hindra Irawan. (2016). “Eradikasi Polio.” vol. 18, no. 3. Sari Pediatri,
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/download/1061/pdf .
Diakses pada kamis, 11 Januari 2023.
Tursinawati, Yanuarita, et al. (2015). Buku Ajar Sistem Syaraf. Semarang, Unimus
Press,
http://repository.unimus.ac.id/296/1/BUKU%20AJAR%20SISTEM%20SYA
RAF. pdf. Diakses pada kamis, 11 Januari 2023.

52
LEMBAR PENGESAHAN

Denpasar, 7 Maret 2024


Nama Pembimbing / CT: Nama Mahasiswa

I Made Wedri, A.Per.Pen., S.Kep., Ns., M.Kes. Anak Agung Gde Agung Mahotama
NIP: 196106241987032002 Putra
NIM: P07120222023

53

Anda mungkin juga menyukai