Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM NEUROBEHAVIOR :


STROKE NON HEMORAGIC

A. Konsep Dasar
1. Definisi
Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang disebabkan karena berkurangnya
atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba. Jaringan otak yang mengalami hal ini
akan mati dan tidak dapat berfungsi lagi (Hernanta, 2013)
Stroke Non Hemoragik adalah infark atau kematian jaringan yang
serangannya terjadi pada usia 20-60 tahun dan biasanya timbul setelah beraktifitas
fisik atau karena psikologis (mental) yang disebabkan karena thrombosis maupun
emboli pada pembuluh darah di otak. Stroke Non Hemoragik yaitu tersumbatnya
pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan
terhenti, 80 % stroke adalah stroke iskemik (Wiwit, 2016).
Klasifikasi Stroke Non Hemoragik
a. Stroke iskemik transien (Transtien ischemic attack/TIA)
Stroke ini biasa disebut dengan stroke kecil, dimana stroke yang terjadi pada
periode singkat iskemi serebral terlokalisasi yang menyebabkan defisit neurolis
yang berlangsung selama kurang dari 24 jam. Transtien ischemic attack (TIA)
disebabkan karena gangguan inflamasi arteri, anemia sel sabit, perubahan
ateroklerosis pada arteri karotis dan serebral, trombosis, serta emboli.
Manifestasi neurologis TIA beragam berdasarkan lokasi dan ukuran pembuluh
serebral yang terkena dan memiliki awitan tiba-tiba. Biasanya terjadi defisit
meliputi kebas kontralateral atau kelemahan tungkai, tangan, lengan bawah, dan
pusat mulut, afasia, dan gangguan penglihatan buram serta fugaks amaurosis
(kebutaan yang cepat pada satu mata) (Lemone, dkk, 2016)
b. Stroke pembuluh darah besar (Trombolisis)
Stroke trombotik adalah tipe stroke yang paling umum, dimana sering dikaitkan
dengan ateroklerosis dan menyebabkan penyempitan lumen arteri, sehingga
menyebabkan gangguan masuknya darah yang menuju ke bagian otak.
c. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
Tanda dan gejala gangguan persarafan yang berlangsung dalam waktu yang
lama lama. Kondisi RIND dan TIA mempunyai kesamaan, hanya saja RIND
berlangsung maksimal 1 minggu (7 hari) dan kemudian pulih kembali (dalam
jangka waktu 3 minggu) serta tidak meninggalkan gejala sisa (Masriadi, 2016)
d. Stroke embolik kardiogenik
Stroke ini terjadi ketika bekuan darah dari fibrilasi atrial, trombi ventrikel,
infark miokard, penyakit jantung kongesti, atau plak asteroklerosis masuk
sistem sirkulasi dan menjadi tersumbat pada pembuluh serebral terlalu sempit
untuk memungkinkan gerakan lebih lanjut. Pembuluh darah kemudian
mengalami oklusi. Tempat yang paling sering mengalami emboli serebral
adalah di bifurkasi pembuluh, terutama pada arteri serebral tengah (Lemone,
dkk, 2016).
e. Complete stroke
Suatu gangguan pembuluh darah pada otak yang menyebabkan deficit
neurologist yang berlangsung lebih dalam waktu 24 jam. Stroke ini akan
meninggalkan gejala sisa (Masriadi, 2016).
f. Progressive Stroke (Stroke in Evolution)
Gejala gangguan neurologis yang progresif dalam waktu enam jam atau lebih.
Stroke jenis ini merupakan stroke dimana penentuan prognosisnya terberat dan
sulit. Hal ini disebabkan kondisi pasien yang cenderung labil, berubah-ubah dan
dapat mengarah ke kondisi yang lebih buruk (Masriadi, 2016)
2. Etiologi
Penyebab-penyebab terjadinya stroke non hemorrogic antara lain;
a. Trombosis (Bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak)
Trombus yang lepas dan menyangkut di pembuluh darah yang lebih distal
disebut embolus.
b. Embolisme Cerebral (Bekuan darah atau material lain)
Emboli merupakan 5-15 % dari penyebab stroke. Dari penelitian epidemiologi
didapatkan bahwa sekitar 50 % dari semua serangan iskemik otak, apakah yang
permanen atau yang transien, diakibatkan oleh komplikasi trombotik atau
embolik dari ateroma, yang merupakan kelainan dari arteri ukuran besar
atau sedang, dan sekitar 25 % disebabkan oleh penyakit pembuluh darah kecil
di intyrakranial dan 20 % oleh emboli jantung. Emboli dapat terbentuk dari
gumpalan darah, kolesterol, lemak, fibrin trombosit, udara ,tumor, metastase,
bakteri, benda asing. Emboli lemak terbentuk jika lemak dari sumsum
tulang yang pecah dilepaskan ke dalam aliran darah dan akhirnya bergabung
didalam sebuah arteri.
c. Hemorargik Cerebral (Pecahnya pembuluh darah serebral dengan perlahan ke
dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak)
Akibatnya adalah gangguan suplai darah ke otak, menyebabkan
kehilangan gerak, pikir, memori, bicara, atau sensasi baik sementara atau
permanen.
d. Iskemia (Penurunan aliran darah ke area otak)
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba bisa menyebabkan berkurangnya aliran
darah ke otak, yang biasanya menyebabkan seseorang pingsan. Stroke bisa
terjadi jika tekanan darah rendahnya sangat berat dan menahun. Hal ini terjadi
jika seseorang mengalami kehilangan darah yang banyak karena cedera
atau pembedahan, serangan jantung atau irama jantung yang abnormal.
Faktor Resiko Stroke
Adapun faktor resiko terjadinya stroke menurut Arya (2011) yaitu:
a. Hipertensi
b. Aneurisma pembuluh darah cerebral
c. Kelainan jantung / penyakit jantung
d. Diabetes mellitus (DM)
e. Usia lanjut
f. Polocitemia
g. Peningkatan kolesterol (lipid total)
h. Obesitas
i. Perokok dan kurang aktivitas
3. Manifestasi Klinis
a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) yang timbul
secara mendadak.
b. Mati rasa mendadak di wajah, lengan, atau kaki dan terutama terasa di salah satu
sisi saja, kiri atau kanan.
c. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor atau koma).
d. Afasia (kesulitan dalam bicara).
e. Disatria (bicara cadel atau pelo).
f. Gangguan penglihatan, diplopia.
g. Mual, muntah (Masriadi, 2016).
4. Patofisiologi
Stroke Non Hemoragik disebabkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis
yang memberi vaskularisasi pada otak atau oleh emboli dari pembuluh darah diluar
otak yang tersangkut di arteri otak yang secara perlahan akan memperbesar ukuran
plak sehingga terbentuk trombus. Trombus dan emboli di dalam pembuluh darah
akan terlepas dan terbawa hingga terperangkap dalam pembuluh darah distal, lalu
menyebabkan pengurangan aliran darah yang menuju ke otak sehingga sel otak akan
mengalami kekurangan nurisi dan juga oksigen, sel otak yang mengalami
kekurangan oksigen dan glukosa akan menyebabkan asidosis lalu asidosis akan
mengakibatkan natrium, klorida, dan air masuk ke dalam sel otak dan kalium
meninggalkan sel otak sehingga terjadi edema setempat. Kemudian kalsium akan
masuk dan memicu serangkaian radikal bebas sehingga terjadi perusakan
membran sel lalu mengkerut dan tubuh mengalami defisit neurologis lalu mati
(Chang, 2012).
Ketidakefektifan perfusi jaringan yang disebabkan oleh trombus dan
emboli akan menyebabkan iskemia pada jaringan yang tidak dialiri oleh darah, jika
hal ini berlanjut terus menerus maka jaringan tesebut akan mengalami infark. Dan
kemudian akan mengganggu sistem persyarafan yang ada di tubuh seperti:
penurunan kontrol volunter yang akan menyebabkan hemiplagia atau hemiparese
sehingga tubuh akan mengalami hambatan mobilitas, defisit perawatan diri karena
tidak bisa menggerakkan tubuh untuk merawat diri sendiri, pasien tidak mampu
untuk makan sehingga nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Defisit neurologis juga
akan menyebabkan gangguan pencernaan sehingga mengalami disfungsi kandung
kemih dan saluran pencernaan lalu akan mengalami gangguan eliminasi. Karena ada
penurunan kontrol volunter maka kemampuan batuk juga akan berkurang dan
mengakibatkan penumpukan sekret sehingga pasien akan mengalami gangguan
jalan napas dan pasien kemungkinan tidak mampu menggerakkan otot - otot untuk
bicara sehingga pasien mengalami gangguan komunikasi verbal berupa disfungsi
bahasa dan komunikasi.
5. Pathway
Lampiran
6. Pemeriksaan penunjang
a. Angografi serebral
Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik misalnya pertahanan
atau sumbatan arteri.
b. Scan tomografi komputer (computer tomography scan-CT scan)
Mengetahui adanya tekanan normaol dan adanya trombosis, emboli serebral,
dan tekanan intrakranial (TIK). Peningkatan TIK dan cairan yang mengandung
darah menunjukkan adanya perdarahan subarakhnoid dan perdarahan
intrakranial. Kadar protein total, beberapa kasus trombosis disertai proses
inflamasi.
c. Magnetic resonance imaging (MRI)
Menunjukkan daerah infark, perdarahan, malformasi arteriovena (MAV)
d. Ultrasonografi doppler (USG doppler)
Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri karotis [aliran
darah atau timbulnya plak]) dan arteriosklerosis.
e. Elektroensefalogram (EEG)
Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah lesi
yang spesifik
f. Sinar tengkorak
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang berlawanan
dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada trombosis
serebral; kalsifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarakhnoid.
Adapun pemeriksaan penunjang pada stroke :
1) Darah rutin
2) Gula darah
3) Urine rutin
4) Cairan serebrospinal
5) Analisa gas darah (AGD)
6) Biokimia darah
7) Elektrolit
7. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan umum
1) Pada fase akut
a) Pertahankan jalan nafas, pemberian oksigen, penggunaan ventilator.
b) Monitor peningkatan tekanan intracranial.
c) Monitor fungsi pernapasan: analisa gas darah
d) Monitor jantung dan tanda – tanda vital, pemeriksaan EKG,
e) Evaluasi status cairan dan elektrolit
f) Control kejang jika ada dengan pemberian antikonvulsan, dan cegah
resiko injuri.
g) Lakukan pemasangan NGT untuk mengurangi kompresi lambung dan
pemberian makanan
h) Cegah emboli paru dan tromboplebitis dengan antikoagulan.
i) Monitor tanda – tanda neurologis seperti tingkat kesadaran, keadaan
pupil, fungsi sensorik, motoric, nervus kranial dan refleks.
2) Fase rehabilitasi
a) Pertahankan nutrisi yang adekuat
b) Program management bladder dan bowel
c) Mempertahankan keseimbangan tubuh dan rentang gerak sendi (ROM).
d) Pertahankan integritas kulit
e) Pertahankan kominukasi yang efektif
f) Pemenuhan kebutuhan sehari – hari
g) Persiapan pasien pulang.
b. Pembedahan
Dilakukan jika perdarahan serebrum diameter lebih dari 3 cm atau volume
lebih dari 50 ml untuk dekrompresi atau pemasangan pintasan ventrikulo –
peritoneal bila ada hidrosevalus obstruktif akut.
c. Terapi obat – obatan
Terapi pengobatan tergantung dari jenis stroke
a) Stroke iskemia
(1) pemberian trombolisis dengan rt – PA (recombinant Tissue –
plasminogen)
(2) pemberian obat – obatan jantung seperti digoksin pada aritmia jantung
atau alfa beta, kaptropil, antagonis kalsium pada pasien dengan
hipertensi.
b) Stroke haemoragik
(1) Antihipertensi: kaptropil, antagonis kalsium.
(2) Diuretic: manitol 20%, furosemide.
(3) Antikonvulsan: fenitoin.
8. Komplikasi
a. Hipoksia Serebral
b. Penurunan darah serebral
c. Luasnya area cedera
d. Kejang
e. Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
f. Kontraktur
g. Tonus otot abnormal
h. Malnutrisi
i. Aspirasi
j. Inkontinensia urine, bowel (Hernanta, 2013).

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian fokus
a. Identitas Kien
Meliputi identitas klien (nama, umur, jenis kelamin, status, suku, agama,
alamat, pendidikan, diagnosa medis, tanggal MRS, dan tanggal pengkajian
diambil) dan identitas penanggung jawab (nama, umur, pendidikan, agama,
suku, hubungan dengan klien, pekerjaan, alamat).
b. Keluhan Utama
Biasanya mengalami kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak
dapat berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang (kapan timbulnya, lamanya serangan, gejala yang
timbul)
d. Riwayat penyakit dahulu (hipertensi, jantung, DM, disritmia, ginjal,pernah
mengalami trauma kepala)
e. Riwayat penyakit keluarga (hipertensi,jantung, DM)
f. Aktivitas (sulit beraktivitas, kehilangan sensasi penglihatan, gangguan tonus
otot, gangguan tingkat kesadaran)
g. Sirkulasi (hipertensi, jantung, disritmia, gagal ginjal kronis)
h. Makanan/cairan (nafsu makan berkurang, mual, muntah pada fase akut, hilang
sensasi pengecapan pada lidah, obesitas sebagai faktor resiko)
i. Neurosensorik (sinkop atau pingsan, vertigo, sakit kepala, penglihatan
berkurang atau ganda, hilang rasa sensorik kontralateral, afasia motorik, reaksi
pupil tidak sama)
j. Kenyamanan ( sakit kepala dengan intensitas yang berbeda, tingkah laku yang
tidak stabil, gelisah, ketergantungan otot)
k. Pernapasan (merokok sebagai faktor risiko, tidak mampu menelan karena batuk)
l. Interaksi sosial (masalah bicara, tidak mampu berkomunikasi)
2. Pemeriksaan fisik
a. Tingkat Kesadaran
Gonce (2012) mengatakan bahwa kualitas kesadaran pasien merupakan
parameter yang paling mendasar dan parameter yang paling penting yang
membutuhkan pengkajian. Tingkat keterjagaan pasien dan respon
terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi
system persarafan. Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat
perubahan dalam keawasan dan keterjagaan seperti table dibawah ini.
Metode Tingkat Responsivitas :
1) Composmentis : kondisi sesorang yang sadar sepenuhnya, baik
terhadap dirinya maupun terhadap dirinya maupun terhap lingkungannya
dan dapat menjawab pertanyaan yang dinyatakan pemeriksa dengan baik
2) Apatis : yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh
terhadap lingkungannya.
3) Derilium : yaitu kondisi sesorang yang mengalami kekacauan
gerakan, siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah,
kacau, disorientasi srta meronta-ronta.
4) Somnolen : yaitu kondisi sesorang yang mengantuk namun masih dapat
sadar bila diransang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur kembali
5) Sopor : yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam,
namun masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat
misalnya rangsang nyeri, tretapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat
menjawab pertanyaan dengan baik.
6) Semi-Coma : yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan
respons terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons
terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil
masih baik.
7) Coma : yaitu penurunan kesadaran yang salangat dalam,
memberikan respons terhadap pernyataan, tidak ada gerakan, dan tidak ada
respons terhadap rangsang nyeri.
Berikut tingkat kesadaran berdasarkan skala nilai dari skor yang didapat dari
penilaian GCS klien :

a. Nilai GCS Composmentis : 15 – 14


b. Nilai GCS Apatis : 13 – 12
c. Nilai GCS Derilium : 11 – 10
d. Nilai GCS Somnolen :9–7
e. Nilai GCS Semi Coma :4
f. Nilai GCS Coma :3

Skala Koma Glasgow

Pada keadaan perawatan sesungguhnya dimana waktu untuk


mengumpulkan data sangat terbatas, Skala koma Glasgow dapat memberikan
jalan pintas yang sangat berguna.
b. Gerakan, Kekuatan dan Koordinasi
Kelemahan otot merupakan tanda penting gangguan fungsi pada
beberapa gangguan neurologis. Perawat dapat menilai kekuatan ekstremitas
dengan memberikan tahanan pada berbagai otot, dengan menggunakan otot
perawat sendiri atau menggunakan gaya gravitasi. Hemiparese dan
hemiplegia dalah gangguan fungsi unilateral yang diakibatkan oleh lesi
kontralateral pada traktus kortikospinal.
Skala peringkat untuk kekuatan otot

0 Tidak ada kontraksi otot

1 Ada tanda dari kontraksi

2 Bergerak tapi tak mampu menahan gaya gravitasi

3 Bergerak melawan gaya gravitasi tetapi tidak dapat


melawan tahanan otot pemeriksa
4 Bergerak dengan lemah terhadap tahanan dari otot
pemeriksa
5 Kekuatan dan regangan yang normal
1) Reflek
Reflek terjadi jika stimulasi sensori menimbulkan respon motorik. Kontrol
serebri dan kesadaran tidak dibutuhkan untuk terjadinya reflek. Reflek
superficial dan reflek dalam dinilai pada sisi yang simetris dari tubuh dan
dibandingkan dengan menunjuk pada kekuatan yang ditimbulkannya.
Sebagai contoh adalah reflek plantar. Stimulus sensori diberikan dengan
rabaan cepat pada pinggir luar telapak kaki dan menyilang dari tumit kaki
dengan menggunakan benda tumpul seperti kunci atau spatel lidah.
Respon motorik yang normal adalah ke bawah atau fleksi plantar jari-jari
kaki. Respon abnormal(babinski) adalah ibu jari dorso fleksi atau gerakan
ke atas ibu jari dengan atau tanpa melibatkan jari-jari kaki yang lain.
2) Perubahan Pupil
Pupil harus dapat dinilai ukuran dan bentuknya (sebaiknya dibuat dalam
millimeter). Suruh pasien berfokus pada titik yang jauh dalam ruangan.
Pemeriksa harus meletakkan ujung jari dari salah satu tangannya sejajar
dengan hidung pasien. Arahkan cahaya yang terang ke dalam salah satu
mata dan perhatikan adanya konstriksi pupil yang cepat (respon langsung).
Perhatikan bahwa pupil yang lain juga harus ikut konstriksi (respon
konsensual). Anisokor (pupil yang tidak sama) dapat normal pada populasi
yang presentasinya kecil atau mungkin menjadi indikasi adanya disfungsi
neural.
3) Tanda-tanda Vital
Tanda-tanda klasik dari peningkatan tekanan intra cranial meliputi
kenaikan tekanan sistolik dalam hubungan dengan tekanan nadi yang
membesar, nadi lemah atau lambat dan pernapasan tidak teratur.
4) Saraf Kranial
I. Olfaktorius : saraf cranial I berisi serabut sensorik untuk indera
penghidu. Mata pasien terpejam dan letakkan bahan-bahan aromatic
dekat hidung untuk diidentifikasi.
II. Optikus : Akuitas visual kasar dinilai dengan menyuruh pasien
membaca tulisan cetak. Kebutuhan akan kacamata sebelum pasien
sakit harus diperhatikan.
III. Okulomotoris : Menggerakkan sebagian besar otot mata.
IV. Troklear : Menggerakkan beberapa otot mata.
V. Trigeminal : Saraf trigeminal mempunyai 3 bagian: optalmikus,
maksilaris, dan madibularis. Bagian sensori dari saraf ini mengontrol
sensori pada wajah dan kornea. Bagian motorik mengontrol otot
mengunyah. Saraf ini secara parsial dinilai dengan menilai reflak
kornea; jika itu baik pasien akan berkedip ketika kornea diusap kapas
secara halus. Kemampuan untuk mengunyah dan mengatup rahang
harus diamati.
VI. Abdusen : Saraf cranial ini dinilai secara bersamaan karena ketiganya
mempersarafi otot ekstraokular. Saraf ini dinilai dengan menyuruh
pasien untuk mengikuti gerakan jari pemeriksa ke segala arah.
VII. Fasial : Bagian sensori saraf ini berkenaan dengan pengecapan
pada dua pertiga anterior lidah. Bagian motorik dari saraf ini
mengontrol otot ekspresi wajah. Tipe yang paling umum dari
paralisis fasial perifer adalah bell’s palsi.
VIII. Akustikus : Saraf ini dibagi menjdi cabang-cabang koklearis
dan vestibular, yang secara berurutan mengontrol pendengaran dan
keseimbangan. Saraf koklearis diperiksa dengan konduksi tulang dan
udara. Saraf vestibular mungkin tidak diperiksa secara rutin namun
perawat harus waspada, terhadap keluhan pusing atau vertigo dari
pasien.
IX. Glosofaringeal : Sensori: Menerima rangsang dari bagian posterior
lidah untuk diproses di otak sebagai sensasi rasa. Motorik:
mengendalikan organ-organ dalam.
X. Vagus : Saraf cranial ini biasanya dinilai bersama-sama.
Saraf Glosofaringeus mempersarafi serabut sensori pada sepertiga
lidah bagian posterior juga uvula dan langit-langit lunak.Saraf vagus
mempersarafi laring, faring dan langit-langit lunak serta
memperlihatkan respon otonom pada jantung, lambung, paru-paru dan
usus halus. Ketidak mampuan untuk batuk yang kuat, kesulitan
menelan dan suara serak dapat merupakan pertanda adanya kerusakan
saraf ini.
XI. Asesoris spinal : Saraf ini mengontrol otot-otot sternokliedomostoid
dan otot trapesius. Pemeriksa menilai saraf ini dengan menyuruh
pasien mengangkat bahu atau memutar kepala dari satu sisi ke sisi lain
terhadap tahanan, bisa juga di bagian kaki dan tangan.
XII. Hipoglosus : Saraf ini mengontrol gerakan lidah. Saraf ini dinilai
dengan menyuruh pasien menjulurkan lidah. Nilai adanya deviasi
garis tengah, tremor dan atropi. Jika ada deviasi sekunder terhadap
kerusakan saraf, maka akan mengarah pada sisi yang terjadi lesi.
3. Diagnosa keperawatan utama
Diagnosa keperawatan merupakan penilaian klinis mengenai respon pasien
terhadap masalah kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017). Diagnosa
berdasarkan SDKI adalah :
a. Resiko perfusi serebral tidak efektif (D.0017)
Definisi : mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak
Penyebab : infrak pada jaringan otak
Batasan karakteristik :
Kriteria mayor :
1) Subjektif : -
2) Objektif : -
Kriteria minor :
1) Subjektif : -
2) Objektif : -
b. Gangguan komunikasi verbal (D.0019)
Definisi : Penurunan, perlambatan, atau ketiadaan kemampuan untuk
menerima,memproses, mengirim, dan/atau menggunakan sisitem tombol.
Penyebab : penurunan sirklasi serebral
Batasan karakteristik :
Kriteria mayor :
1) Subjektif : (tidak tersedia)
2) Objektif : Tidak mampu berbicara atau mendengar, menunjukan respon
tidak sesuai
Kriteria Minor
1) Subjektif : (tidak tersedia)
2) Objektif :

 
a) Afasia
b) Disfasia
c) Apraksia
d) Disleksia
e) Disatria
f) Afonia
g) Dislalia
h) Pelo
i) Gagap
j) Tidak ada kontak mata
k) Sulit memahami komunikasi
l) Sulit mempertahankan komunikasi
m) Sulit menggunakan ekspresi wajah atau tubuh
n) Tidak mampu menggunakan ekspresi wajah atau tubuh
o) Sulit menyusun kalimat
p) Verbaliasai tidak tepat
q) Sulit mengungkapkan kata- kata
r) Disorientasi orang,ruang,waktu
s) Defisit penglihatan
t) Delusi

c. Gangguan mobilitas fisik (D.0054)


Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih ekstremitas
secara mandiri
Penyebab : gangguan neromuskuler
Batasan karakteristik :
Kritera mayor :
1) Subjektif : Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas.
2) Objektif : Kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun
Kriteria minor
1) Subjektif : Nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa
cemas saat bergerak.
2) Objektif : Sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, fisik
lemah
d. Bersihan jalan napas tidak efektif ( D.0001)
Definisi : ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan nafas
untuk mempertahankan jalan nafas tetap paten.
Penyebab : sekresi yang tertahan
Batasan karakteristik :
Kriteria mayor :
1) Subjektif :  tidak tersedia.
2) Objektif : batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, sputum berlebih, mengi,
wheezing dan / atau ronkhi kering, mekonium di jalan nafas pada Neonatus.
Kriteria minor :
1) Subjektif : dispnea, sulit bicara, ortopnea.
2) Objektif : Gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah,
pola napas berubah.
e. Defisit nutrisi (D.0019)
Definisi : Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
Penyebab : ketidakmampuan menelan makanan
Batasan karakteristik :
Kriteria mayor :
1) Subjektif : -
2) Objektif : Berat badan menurun minimal 10% di bawah rentang ideal
Kriteria minor :
1) Subjektif : Cepat kenyang setelah makan, kram/nyeri abdomen, nafsu
makan menurun
2) Objektif :
a) Bising usus hiperaktif
b) Otot pengunyah lemah
c) Otot menelan lemah
d) Membran mukosa pucat
e) Sariawan
f) Serum albumin turun
g) Rambut rontok berlebihan
h) Diare
f. Gangguan persepsi sensori (D.0085)
Definisi : Perubahan presepsi stimulasi baik internal maupun eksternal yang
disertai dengan respon yang berkurang, berlebihan atau terdistrosi
Penyebab : hipoksia serebral
Batasan karakteristik :
Kriteria Mayor :
1) Subjektif : Mendengar suara bisikan atau melihat bayangan, merasakan
sesuatu melalui indera perabaan, penciuman, perabaan, atau pengecapan
2) Objektif : Distorsi sensori, respons tidak sesuai, bersikap seolah melihat,
mendengar, mengecap, meraba, atau mencium sesuatu.
Kriteria Minor :
1) Subjektif : Menyatakan kesal
2) Objektif :

a) Menyendiri
b) Melamun
c) Konsentrasi buruk
d) Disorientasi waktu, tempat, orang atau situasi
e) Curiga
f) melihat ke satu arah
g) Mondar-mandir
h) Bicara sendiri

g. Gangguan integritas kulit (D.0129)


Definisi : Kerusakan kulit (dermis dan/atau epidermis) atau jaringan (membran
mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago, kapsul sendi dan /atau
ligamen.
Penyebab : Penurunan mobilitas
Batasan karakteristik :
Kriteria mayor :
1) Subjektif : -
2) Objektif : Kerusakan jaringan dan/atau kulit
Kriteria minor :
1) Subjektif : -
2) Objektif : Nyeri, perdarahan, kemerahan, hematoma
h. Gangguan menelan (D.0063)
Definisi : Fungsi menelan abnormal akibat defisit struktur atau fungsi oral,
faring atau esofagus.
Penyebab : Gangguan saraf kranialis
Batasan karakteristik :
Kriteria mayor :
1) Subjektif : Mengeleuh sulit menelan
2) Objektif: Batuk sebelum menelan, batuk setelah makan atau minum,
tersedak, a\makanan tertinggal di rongga mulut
Kriteria minor :
1) Subjektif :
a) Oral : (tidak tersedia)
b) Faring : Menolak makan
c) Esofagus : Menegeluh bangun dimalam hari, nyeri epigastrik
2) Objektif :
a) Oral : Bolus masuk terlalu cepat, refluks nasal, tidak mampu
membersihkan rongga mulut, makanan jatug dari mulut, makanan
terdorong keluar dari mulut, sulit mengunyah, muntah sebelum
menelan, bolus terbentuk lama, waktu makan lama, porsi makan tidak
habis, fase oral abnormal, mengiler.
b) Faring : Muntah, posisi kepala kurang elevasi, menelan berulang-ulang
c) Esofagus : Hematemesis, gelisah, regurgitasi, odinofagia, ruksisme
i. Defisit perawatan diri (D.0109)
Definisi : Tidak mampu melakukan atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri
Penyebab : Gangguan neuromuskuler
Batasan karakteristik :
Kriteria mayor :
1) Subjektif : Menolak melakukan perawatan diri
2) Objektif : Tidak mampu mandi/mengenakan pakaian/makan/ke
toilet/berhias secara mandiri, minat melakukan perawatan diri kurang
Kriteria minor :
1) Subjektif : -
2) Objektif : -
C. Daftar pustaka
1. LeMone, dkk. 2016. Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa. Jakarta: EGC.
2. Wiwit, S., 2010. STROKE & Penanganannya. Jogjakarta : Kata hati.
3. Hernata, Iyan, 2013, Ilmu Kedokteran Lengkap tentang Neurosains, D-Medika,
Jogjakarta.
4. Masriadi. (2016). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Trans Info Media
5. Arya. (2011). Strategi Mengatasi & Bangkit dari Stroke. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
6. Chang, E., Daly, J., dan Elliott, D., 2010. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik
Keperawatan, 112-113. Jakarta, EGC.
7. Gonce, P. 2012. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.
8. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
9. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
10. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

Anda mungkin juga menyukai