Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Stroke


1. Pengertian Stroke
WHO mendefinisikan stroke adalah terjadinya gangguan
fungsional otak lokal maupun global secara mendadak dan akut yang
berlangsung lebih dari 24 jam akibat gangguan aliran darah otak.
Stroke sering menyebabkan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak,
gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat dan bentuk-bentuk
kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak. Stroke
adalah suatu gangguan fungsi syaraf pada otak yang terjadi secara
mendadak, dan cepat (Bakara & Surani, 2016)
Stroke adalah gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan
defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi
sirkulasi saraf otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik
untuk menjelaskan infark serebrum (Nurarif, 2015).
Stroke non hemoragik terjadi karena adanya penyumbatan pada
pembuluh darah ke otak. Sumbatan ini disebabkan karena adanya
penebalan dinding pembuluh darah yang disebut dengan
Antheroscherosis dan tersumbatnya darah dalam otak oleh emboli
yaitu bekuan darah yang berasal dari Thrombus di jantung. Stroke non
hemoragik mengakibatkan beberapa masalah yang muncul, seperti
gangguan menelan, nyeri akut, hambatan mobilitas fisik, hambatan
komunikasi verbal, defisit perawatan diri, ketidakseimbangan nutrisi,
dan salah satunya yang menjadi masalah yang menyebabkan kematian
adalah ketidakefektifan perfusi jaringan serebral. (Rahmadila, 2021)
2. Klasifikasi Stroke
Stroke non hemoragik dapat dibedakan menjadi dua jenis menurut
manifestasi klinis dan patologi / patogenesis, yaitu:
a. Berdasarkan manifestasi klinik
1) Transient Ischemic Attack (TIA)
Gejala sistem saraf akibat gangguan sirkulasi otak akan hilang
dalam waktu 24 jam.
2) Defisit Neurologik Iskemik Sepintas (RIND)
Gejala neurologis yang muncul akan hilang lebih dari 24 jam,
tapi tidak lebih dari seminggu.
3) Stroke Progresif
Seiring waktu, gejala neurologis akan semakin parah
4) Stroke Komplit
Kelainan sistem saraf menetap dan tidak akan berkembang
b. Berdasarkan patologi/pathogenesis
1) Stroke Trombotik
Stroke trombotik terjadi karena penggumpalan di pembuluh
darah di otak. Trombosis dapat terjadi pada pembuluh darah
besar dan kecil. Pada pembuluh darah besar, trombosis terjadi
akibat aterosklerosis yangdiikuti dengan pembekuan darah
yang cepat. Selain itu, trombosis juga disebabkan oleh
tingginya kadar kolesterol jahat atau low-density lipoprotein
(LDL). Pada pembuluh darah kecil, aliran darah ke arteri kecil
tersumbat, sehingga terjadi pembentukan trombus. Ini terkait
dengan tekanan darah tinggi dan merupakan indikator penyakit
aterosklerotik.
2) Stroke Emboli / Non Trombotik
Stroke emboli terjadi karena penggumpalan di jantung atau
lepasnya lapisan lemak, yang menyebabkan penyumbatan
pembuluh darah dan mencegah darah mengalirkan oksigen dan
nutrisi ke otak. (Annisa, 2021)
3. Etiologi
Penyebab stroke non hemoragik menurut Purwanto (2016) :
a. Emboli
Emboli serebral adalah penyumbatan pembuluh darah otak karena
bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal
dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat system
arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala
timbul kurang dari 10-30 detik.
b. Haemorhagi
Perdarahan intracranial atau intraserebral termasuk perdarahan
dalam ruang subarachnoid atau ke dalam jaringan otak. Perdarahan
ini dapat terjadi karena atherosclerosis dan hipertensi. Akibat
pecahnya pembuluh darah otak, terjadi perembesan darah ke dalam
parenkim otak yang dapat mengakibatkan pergeseran, penekanan
dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan, sehingga jaringan
otak tertekan dan membengkak hingga terjadi oedema, infark otak
dan mungkin sampai terjadi herniasi otak.
c. Thrombosis Cerebral
Thrombosis cerebral terjadi pada pembuluh darah yag mengalami
oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat
menyebabkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Thrombosis
biasanya dialami oleh orang tua yang sedang tidur atau bangun
tidur. Hal tersebut dapat terjadi karena penurunan aktivitas
simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan
iskemi serebal. Tanda dan gejala neurologis seringkali bertambah
buruk pada 48 jam setelah thrombosis. Keadaan di bawah ini yang
dapat menyebabkan thrombosis otak, yaitu:
1) Hypercoagulasi pada polysitemia
Darah semakin kental, peningkatan viskositas atau hematokrit
meningkat dapat melambatkan aliran darah serebral
2) Atherosklerosis
Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta
berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh
darah yang disebabkan adanya endapan kolesterol dan plak
pada dinding arteri yang menyelimuti lumen pembuluh darah
yang menyebabkan pembuluh darah mengecil sehingga aliran
darah ke otak menjadi berkurang. Proses endapan yang terjadi
berawal dari kerusakan endotel yang memungkinkan senyawa
pada plasma darah seperti LDL (Low Density Lipoprotein)
mengendap pada ruang sub endotel yang diakibatkan dari
permeabilitas, perlahan endapan tersebut akan mempersempit
pembuluh darah.

4. Manisfestasi Klinis
Menurut Tarwoto (2013), manifestasi klinis stroke tergantung dari
sisi atau bagian mana yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan
adanya sirkulasi kolateral.
Pada stroke non hemoragik gejala utamanya adalah timbulnya
defisit neurologis secara mendadak atau subakut, didahului gejala
prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran
biasanya tidak menurun, kecuali jika embolus cukup besar. (Wijaya &
Putri, 2013)
Gejala klinis stroke akut meliputi :
Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) atau
hemiplegia (paralisis) yang timbul secara mendadak.
a. Gangguan sensibilitas pada satu lengan atau lebih anggota badan.
Terjadi karena kerusakan sistem saraf otonom dan gangguan saraf
sensorik.
b. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stuporataukoma)
karena terjadinya gangguan metabolik otak akibat hipoksia
c. Afasia (kesulitan dalam bicara)
Afasia adalah defisit kemampuan komunikasi bicara, termasuk
membaca, menulis atau memahami bahasa. Afasia terjadi jika
terdapat kerusakan pada area pusat bicara primer yang berada pada
hemisfer kiri dan biasanya terjadi pada stroke dengan gangguan
pada arteri middle serebral kiri.
d. Disartria (bicara cadel atau pelo)
Disartria merupakan kesulitan bicara terutama dalam artikulasi
sehingga ucapannya menjadi tidak jelas. Disartria terjadi karena
kerusakan nervus kranial sehingga terjadi kelemahan dari otot
bibir, lidah, dan laring.
e. Vertigo, mual, muntah, dan nyeri kepala yang terjadi karena
peningkatan tekanan intrakranial, edema serebri

5. Patofisiologi
Terdapat beberapa penyebab stroke non hemoragik diantaranya
emboli dan trombosis. Stroke non hemoragik yang disebabkan oleh
trombosis terjadi karena adanya ateroskeloris. Ateroskeloris
menyebabkan plak pada dinding pembuluh darah sehingga mengalami
stenosis atau penyempitan pada pembuluh darah yang ada di otak.
Darah akan berputar-putar dibagian plak sehinggaakan menyebabkan
penggumpalan darah yang akan melekat pada plak tersebut sehingga
aliran darah akan terhambat. Faktor berikutnya adalah emboli. Emboli
adalah benda asing yang terbentuk diluar pembuluh darah yang lepas
dan melekat pada pembuluh darah arteri yang ada di otak sehingga
aliran darah terhambat.(Black & Hawks, 2014).
Ketika terhambatnya aliran darah maka akan menyebabkan otak
kekurangan nutrisi dan juga oksigen, sel otak yang mengalami
kekurangan nutrisi dan oksigen akan terjadi hipoksia serebral sehingga
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak. Karena kerusakan
tersebut maka mengakibatkan gangguan sistem motorik, sensorik,
kognitif. (Smeltzer, Hinkle, Bare, & Cheever, 2010). Gangguan sistem
motorik yaitu terdapat lesi di batang otak pada kapsula interna
pyramidalsesisi, lesi pada kawasan pyramidal bilateral (Segmen C5)
dan segmen lumbal.
Menurut Lewis, Dirksen, dan Heitkemper (2014) gangguan fungsi
motorik disebabkan karena kerusakan neuron motorik di jalur
pyramidal. Fungsi utama sistem ini adalah gerakan volunter dan
gerakan trampil di bawah kesadaran. Jalur pyramidal memotong
setinggi medula oblongata, jadi lesi pada satu sisi otak mempengaruhi
fungsi motorik disisi tubuh yang berlawanan atau kontralateral.
Kerusakan pada sistem pyramidal dapat menyebabkan hemiplegia. Jika
terjadi pada kawasan pyramidal bilateral atau segmen C5 maka akan
mengakibatkan tetraplegia. Lesi pada medula spinalis pada segmen C5
dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot dibawah
segmen C5 yaitu; otot kedua lengan, otot toraks dan otot abdominal,
serta otot tungkai bawah. Lokasi yang terakhir pada segmen lumbal
yang dapat menyebabkan paraplegia. Kelemahan atau kelumpuhan
pada pasien stroke non hemoragik akan mengakibatkan gangguan
mobilitas fisik (Nurshiyam, Ardhi, & Basri, 2020)
6. Pathway

Sumber : (Dewa Dyska, 2016)

Gambar 1.1 Pathway Stroke Non Hemoragik


7. Faktor Resiko
Faktor resiko adalah hal-hal yang meningkatkan kecenderungan
seseorang untuk mengalami stroke. Penelusuran faktor resiko penting
dilakukan agar dapat menghindari dan mencegah serangan stroke
(Indrawati, 2016).
Ada dua faktor resiko yang mempengaruhi stroke non hemoragik
diantaranya faktor resiko yang dapat dikontrol dan faktor resiko yang
tidak dapat dikontrol (Indrawati, 2016).
Faktor resiko yang dapat di kontrol menurut Indrawati (2016)
yaitu:
a. Pernah terserang stroke, seseorang yang pernah mengalami stroke,
termasuk TIA, rentan terserang stroke berulang. Seseorang yang
pernah mengalami TIA akan sembilan kali lebih beresiko
mengalami stroke dibandingkan yang tidak mengalami TIA.
b. Hipertensi, merupakan faktor risiko tunggal yang paling penting
untuk stroke iskemik maupun stroke perdarahan. Pada keadaan
hipertensi, pembuluh darah mendapat tekanan yang cukup besar.
Jika proses tekanan berlangsung lama, dapat menyebabkan
kelemahan pada dinding pembilih darah sehingga menjadi rapuh
dan mudah pecah. Hipertensi juga dapat menyebabkan
arterosklerosis dan penyempitan diameter pembuluh darah
sehingga mengganggu aliran darah ke jaringan otak.
c. Penyakit jantung, beberapa penyakit jantung, antara lain fibrilasi
atrial (salah satu jenis gangguan irama jantung), penyakit jantung
koroner, penyakit jantung rematik, dan orang yang melakukan
pemasangan katup jantung buatan akan meningkatkan resiko
stroke. Stroke emboli umumnya disebabkan kelainan-kelaianan
jantung tersebut.
d. Diabetes melitus (DM), seseorang dengan diabetes melitus rentan
untuk menjadi ateroklerosis, hipertensi, obesistas, dan gangguan
lemak darah. Seseorang yang mengidap diabetes melitus memiliki
resiko dua kali lipat dibandingkan mereka yang tidak mengidap
DM.
e. Hiperkolesterolemia, dapat menyebabkan arterosklerosis yang
dapat memicu terjadinya penyakit jantung koroner dan stroke.
f. Merokok, perokok lebih rentan terhadap terjadinya stroke
dibandingkan mereka yang bukan perokok. Hal tersebut
disebabkan oleh zat nikotin yang terdapat di dalam rokok membuat
kerja jantung dan frekuensi denyut jantung serta tekanan darah
meningkat. Nikotin juga mengurangi kelenturan arteri yang dapat
menyebabkan aterosklerosis.
g. Gaya hidup, diet tinggi lemak, aktivitas fisik kurang, serta stres
emosional dapat meningkatkan risiko terkena stroke. Seseorang
yang sering mengonsumsi makanan tinggi lemak dan kurang
melakukan aktivitas fisik rentan mengalami obesitas, diabetes
melitus, aterosklerosis, dan penyakit jantung. Seseoraang yang
sering mengalami stres emosional juga dapat mempengaruhi
jantung dan pembuluh darah sehingga berpotensi meningkatkan
resiko serangan stroke.
Menurut Indrawati (2016) Ada beberapa faktor resiko terkena stroke
yang tidak dapat di kontrol maupun dimodifikasi. Faktor-faktor
tersebut antara lain :
a. Usia, resiko mengalamai stroke meningkat seiring bertambahnya
usia. Resiko semakin meningkat setelah usia 55 tahun. Usia
terbanyak terkena serangan stroke adalah usia 65 tahun ke atas.
Dari 2065 pasien stroke akut yang dirawat di 28 rumah sakit di
Indonesia, 35,8% berusia diatas 65 tahun dan 12,9% kurang dari 45
tahun.
b. Jenis kelamin, stroke menyerang laki-laki 19% lebih banyak
dibandingkan Perempuan. Stroke lebih banyak menyerang dan
menyebabkan kematian pada ras kulit hitam, Asia, dan kepulauan
Pasifik, serta Hispanik dibandingkan kulit putih. Pada kulit hitam
diduga karena angka kejadian hipertensi yang tinggi serta diet
tinggi garam.
c. Genetik, resiko stroke meningkat jika ada orang tua atau saudara
kandung yang mengalami stroke atau TIA.

8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Tarwoto (2013), pemeriksaan penunjang pada stroke non
hemoragik meliputi :
a. CT Scan (Computer Tomography Scan)
Mengetahui letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan
infarkdan posisi secara pasti.
b. Angiografi Serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik
seperti perdarahan, obstruksi arteri, adanya ruptur.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Menentukan posisi da n besar atauluas terjadinya perdarahan otak.
Menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik,
malformasi arteriovena.
d. EEG (Elektro Encephalography)
Mengidentifikasi masalah yang didasarkan pada gelombang otak
dan memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
e. Pungsi Lumbal
Menunjukkan adanya tekanan normal. Jika tekanan meningkat dan
cairan mengandung darah menunjukkan hemoragik subarachnoid
atau perdarahan intrakranial.
f. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap, seperti Hb, Leukosit, Trombosit,
Eritrosit.
2) Pemeriksaan gula darah sewaktu
3) Kolesterol, Lipid
4) Asam urat
5) Elektrolit
6) Masa pembekuan dan masa perdarahan

9. Komplikasi
Menurut Wijaya & Putri (2013) menyebutkan komplikasi yang dapat
terjadi pada pasien dengan stroke yaitu :
a. Berhubungan dengan immobilisasi
1) Infeksi pernafasan
2) Nyeri yang berhubungan dengan daerah yang tertekan
3) Konstipasi
4) Tromboflebitis
b. Berhubungan dengan mobilisasi
1) Nyeri pada daerah punggung
2) Dislokasi sendi
c. Berhubungan dengan kerusakan otak
1) Epilepsi
2) Sakit kepala
3) Kraniotomi
Sedangkan komplikasi yang paling umum dan penting dari Stroke
Non Hemoragik (SNH) meliputi edema serebral, transformasi
hemoragik, dan kejan. (Jauch, 2016).
a. Edema serebral yang signifikan setelah Stroke Non Hemoragik
(SNH) kini terjadi meskipun agak jarang (10-20%).
b. Indikator awal Stroke Non Hemoragik (SNH) yang tampak pada
CT Scan tanpa kontras adalah intrakranin dependen untuk potensi
pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain untuk
mengurangi tekanan intracranial dapat dimanfaatkan dalam situasi
arurat, meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder
Stroke Non Hemoragik (SNH) lebih lanjut belum diketahui.
Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark
mereka. Hal ini diperkirakan terjadi pada 5% dari Stroke Non
Hemoragik (SNH) yang tidak rumit, tanpa adanya trombolitik.
c. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode
pemulihan. Post-Stroke Non Hemoragik (SNH) biasanya bersifat
fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami serangan
stroke berkembang menjadi kronik seizure disorders.

10. Penatalaksanaan
Menurut Rendi & Margaret (2012) :
a. Demam
Demam dapat menyebabkan cidera otak iskemik dan harus diobati
secara agresif dengan antipiretik atau menggunakan kompres
dingin bila diperlukan.
b. Nutrisi
Pasien stroke memiliki resiko tinggi untuk Glukosa Hiperglikemia
dan Hipovelemia dapat menimbulkan aksaserbasi iskemia.
c. Perawatan Paru
Fisioterapi dada setiap 4 jam harus di lakukan untuk mencegah
atelaktis paru pada pasien yang memiliki gangguan mobilitas.
d. Aktifitas
Pasien stroke harus dilakukan mobilitas dan harus dilakukan
fisioterapi sedini mungkin bila kondisi klinis neurologis dan
hemodinamik stabil respirasi. Bila pasien sadar penuh tes
kemampuan untuk menelan.
e. Hidrasi Intravena
Hipovelemia sering di temukan dan harus dikoreksi dengan
kristaloid isotonis neurorestorasi dini stimulasi sensorik, kognitif,
memori, bahaya, emosi serta otak yang terganggu. Depresi dan
amnesia juga harus dikenali sedini mungkin.
f. Profilaksis trombosis vena dalam
Pasien stroke iskemik (non hemoragik) dengan imobilitas lama
yang tidak dalam pengobatan heparin intravena harus diobati
dengan heparin 5000 unit fraksiparin 0,3 cc setiap 12 jam selama
5-10 hari umtuk mencagah pembentukan trombus dalam vena
provunda, karena kejadiannya sangat tinggi.
Menurut Tarwoto (2013), penatalaksanaan medis terdiri dari :
Penatalaksanaan Umum
a. Pada Fase Akut
1) Terapi Cairan
Pada fase akut, stroke beresiko terjadinya dehidrasi karena
penurunan kesadaran atau mengalami disfagia. Terapi cairan
ini penting untuk mempertahankan sirkulasi darah dan tekanan
darah.
2) Terapi Oksigen
Pasien stroke mengalami gangguan aliran darah ke otak.
Sehingga kebutuhan oksigen sangat penting untuk mengurangi
hipoksia dan juga untuk mempertahankan metabolisme otak.
Pertahankan jalan nafas, pemberian oksigen dan penggunaan
ventilator.
3) Monitor fungsi pernafasan : Analisa Gas Darah (AGD).
4) Monitor jantung dan tanda –tanda vital, pemeriksaan EKG
(Elektrokardiogram)
b. Fase Rehabilitasi
1) Pertahankan nutrisi yang adekuat
2) Program managemen bladder (pengukuran volume output urine
berhubungan dengan intake cairan) dan bowel (pasien biasanya
mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan).
3) Mempertahankan keseimbangan tubuh dan rentang gerak sendi
(ROM)
4) Pertahankan integritas kulit
5) Pertahankan komunikasi yang efektif
6) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari
7) Persiapan pasien pulang
c. Pembedahan
Dilakukan jika perdarahan serebrum diameter lebih dari tiga cm
atau volume lebih dari 50 ml untuk dekompresi atau pemasangan
pintasan ventrikulo-peritoneal bila ada hidrosefalus obstruktif akut.
d. Terapi Obat –Obatan
1) Pemberian terapi trombolitik dengan rt-PA (recombinant tissue
plasminogen altaplase)
2) Pemberian obat-obatan jantung seperti digoksin pada aritmia
jantung, kaptropil, antagonis kalsium pada pasien dengan
hipertensi.

B. Konsep Dasar Mobilisasi pada Stroke Non Hemoragik

1. Definisi
Mobilitas fisik merupakan kemampuan individu untuk bergerak
bebas secara teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
aktifitas untuk mempertahankan kesehatan (Azizah, & Wahyuningsih,
2020).
Imobilisasi merupakan suatu gangguan gerak dimana pasien
mengalami ketidak mampuan berpindah posisi selama tiga hari atau
lebih, dengan gerak anatomi tubuh menghilang akibat perubahan
fungsi fisiologi. Seseorang yang mengalami gangguan gerak atau
gangguan pada kekuatan ototnya akan berdampak pada aktivitas
sehari-harinya (Agusrianto & Rantesigi, 2020).
Sedangkan menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI Gangguan
Mobilitas Fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari dua
ekstremitas secara mandiri Hambatan mobilitas fisik adalah
keterbatasan gerakan fisik dalam satu atau lebih ekstremitas secara
mandiri dan terarah. (Herdman & Kamitsuru, 2015)
2. Jenis Mobilitas
Menurut Risnanto & Insani (2014) jenis mobilitas dibagi menjadi dua
yaitu mobilitas penuh dan mobilitas sebagian.
a. Mobilitas penuh
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh
dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan
menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan
fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol
seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan
jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi
oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya.
Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis yaitu :
1) Mobilitas sebagian temporer
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan
batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan
oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal misalnya
adanya dislokasi sendi dan tulang.
2) Mobilitas sebagian permanen
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan
batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh
karena rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya
terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegia karena cedera
tulang belakang, poliomielitis karena terganggunya sistem saraf

3. Faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas Fisik


Menurut Riyadi & Widuri (2015), faktor yang memengaruhi mobilitas
fisik antara lain :
a. Gaya Hidup
Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi kemampuan mobilitas
seseorang, karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau
kebiasaan sehari-hari.
b. Proses Penyakit
Proses penyakit sangat memengaruhi kemampuan seseorang dalam
mobilisasi karena dalam keadaan tersebut dapat memengaruhi
fungsi sistem tubuh.
c. Kebudayaan
Kemampuan seseorang melakukan mobilitas dapat juga
dipengaruhi oleh kebudayaan. Misalnya, orang yang memiliki
budaya sering berjalan jauh mempunyai kemampuan mobilitas
yang kuat dibandingkan pada orang yang mengalami gangguan
mobilitas karena adat dan budaya tertentu dilarang untuk
beraktivitas
d. Tingkat Energi
Energi merupakan sumber seseorang untuk melakukan aktivitas.
Agar seseorang dapat melakukan aktivitas dengan baik dan
maksimal, maka dibutuhkan energi yang cukup
e. Usia dan Status Perkembangan
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitaspada masing –masing
tingkat usia. Hal tersebut dikarenakan kemampuan atau
kematangan fungsi gerak sejalan dengan perkembangan usia

4. Kemampuan Mobilitas
Menurut Hidayat & Uliyah (2014), pengkajian kemampuan mobilitas
dilakukan dengan tujuan untuk menilai kemampuan gerak ke posisi
miring, duduk, berdiri, bangun, dan berpindah tanpa bantuan. Kategori
tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut:
d. Tingkat 0 : Mampu merawat diri sendiri secara penuh
e. Tingkat 1 : Memerlukan penggunaan alat
f. Tingkat 2 : Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain
g. Tingkat 3 : Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan
peralatan
h. Tingkat 4 : Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau
berpartisipasi dalam perawatan

5. Penatalaksanaan Pada Pengelolaan Hambatan Mobilitas Fisik


Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pengelolaan hambatan
mobilitas fisik dapat dilakukan dengan pengaturan posisi tubuh sesuai
kebutuhan pasien, latihan ROM aktif dan pasif, serta alih baring.
(Hidayat & Uliyah, 2014)
a. Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien
1) Posisi Fowler Posisi setengah duduk dimana bagian kepala
tempat tidur lebih tinggi atau dinaikkan. Posisi ini dilakukan
untuk mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi
pernafasan pasien.
2) Posisi Sim
Posisi miring ke kanan atau miring ke kiri. Posisi ini dilakukan
untuk memberikan kenyamanan dan memberikan obat per anus
(supositoria).
3) Posisi Trendelenburg
Posisi dengan bagian kepala lebih rendah daripada bagian kaki.
Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke
otak
4) Posisi Dorsal Recumbent
Posisi pasien berbaring telentang dengan kedua lutut fleksi
(ditarik atau direnggangkan) di atas tempat tidur. Posisi ini
dilakukan untuk merawat dan memeriksa genitalia serta pada
proses persalinan.
b. Latihan ROM Aktif dan ROM Pasif
Pasien stroke non hemoragik dengan hambatan mobilitas fisik
memerlukan latihan sendi untuk mengurangi bahaya imobilitas.
Menurut Murtaqib (2013), tujuan dilakukan ROM aktif dan pasif
adalah :
1) Untuk mempertahankan kelenturan sendi.
2) Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot.
3) Mencegah hilangnya massa tulang karena tidak terjadi
kontraksi otot, tekanan pada tulang, dan pemanjangan massa
otot.
4) Membantu proses pembelajaran motorik.
5) Membantu proses terbentuknya gerakan.
Menurut Hidayat & Uliyah (2014), latihan yang dilakukan
untuk memelihara dan mempertahankan kekuatan otot serta
memelihara mobilitas persendian yaitu :
a) ROM Aktif
 Latihan aktif anggota gerak atas dan bawah
 Latihan keseimbangan (melatih keseimbangan saat
duduk dan berdiri)
b) ROM Pasif
 Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan
 Fleksi dan ekstensi siku
 Pronasi dan supinasi lengan bawah
 Pronasidan fleksi bahu
 Abduksi dan adduksi lengan
 Rotasi bahu
 Fleksi dan ekstensi jari –jari
 Inversidan eversi jari
 Fleksi dan ekstensi pergelangan kaki
 Fleksi dan ekstensi lutut
 Rotasi pangkal paha
 Abduksi dan adduksi pangkal paha
c) Alih Baring
Alih baring adalah tindakan yang dilakukan untuk
mengubah posisi pasien agar terhindar dari kejadian luka
tekan pada kulit pasien. Tujuannya adalah mengganti titik
tumpu berat badan, mempertahankan sirkulasi darah pada
area yang tertekan, mengurangi tekanan, berat dan gaya
gesek pada kulit yang dapat menyebabkan dekubitus.
Dekubitus adalah kerusakan struktur anatomis dan fungsi
kulit normal yang disebabkan oleh tekanan tubuh secara
terus menerus terutama pada area penonjolan tulang.
Dekubitus bisa dihindari dengan melakukan alih baring
setiap 2 jam sekali. (Andani & Purnomo, 2015)

C. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Stroke Non Hemoragik.

1. Pengkajian
Pengkajian pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
keluarga, pengkajian psikososiospiritual, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostic, dan pemeriksaan laboratorium.
a. Identitas pasien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal masuk rumah sakit, nomor registrasi, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering dirasakan oleh pasien stroke yaitu
adanya kecacatan berupa kelumpuhan anggota gerak hemiparesis
atau kelemahan otot pada bagian anggota gerak tubuh yang
terkena.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke sering kali berlangsung sangat mendadak, pada
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri
kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain
gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang
lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsive, dan koma.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,
diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala,
kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obatan anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obatan adiktif, dan kegemukan.
Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien,
seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat
beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alcohol
dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit keluarga yang menjadi faktor risiko penyebab
stroke diantaranya yaitu riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan
penyakit jantung.
f. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung
data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan secara persistem (B1-B6) dengan focus pemeriksaan
fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) Keadaan umum
2) Pengkajian tingkat kesadaran dengan GCS (Glasgow Coma
Scale). Pada pemeriksaan GCS yang diperiksa meliputi,
respons Eye, Verbal dan Motorik.
3) Sistem motorik, didapatkan hemiplegi/hemiparesis. Kekuatan
otot dapat dinilai dengan menggunakan tingkat kekuatan otot
pada sisi yang sakit.
g. Data Fisiologis
Pasien stroke yang mengalami gangguan mobilitas fisik termasuk
kedalam kategori fisiologis dan subkategori aktivitas atau istirahat,
perawat harus mengkaji data mayor dan minor yang tercantum
dalam buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2017)
yaitu:
1) Gejala dan tanda mayor
a) Subjektif : mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
b) Objektif : rentang gerak (ROM) menurun
2) Gejala dan tanda minor
a) Subjektif : nyeri saat bergerak, enggan melakukan
pergerakan, merasa cemas saat bergerak
b) Objektif : sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan
terbatas, fisik lemah
h. Kemampuan mobilitas
Kemampuan mobilitas pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan
dengan tujuan untuk menilai kemampuan gerak ke posisi miring,
duduk, berdiri, bangun dan berpindah tanpa bantuan.
Table 1.1 Kemampuan Mobilitas

Tingkat Kategori
Mobilitas
Tingkat 0 Mampu merawat diri secara penuh

Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat


Tingkat 2 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain,

Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan


peralatan

Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau


berpartisipasi dalam perawatan

i. Kekuatan otot dan gangguan koordinasi


Derajat kekuatan otot dapat ditentukan dengan skala, presentase
kekuatan otot dan karakteristik.
Table 2.1 Kekuatan Otot dan Gangguan Koordinasi

Presentasi Karakteristik
Skala
kekuatan
otot
1 2 3
0 0 Paralissi sempurna
1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat di
palpasi atau dilihat
2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan
topangan
3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 75 Gerakan penuh yang normal melawan gravitas
dan melawan tahanan minimal
5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang normal
melawan gravitasi dan tahanan penuh

j. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk membedakan antara stroke
hemoragik dan stroke iskemia diantaranya yaitu computerized
tomograph scanning (CT Scan), cerebral angiografi, elektro-
ensefalografi (EEG), magnetic resonance imaging (MRI),
elektrokardiografi (EKG), pemeriksaan laboratorium dan lain-lain.

2. Diagnosis keperawatan
Diagnose keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung actual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan
kesehatan (SDKI,2016)
Menurut Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia, berikut ini
diagnose yang muncul pada stroke non hemoragik :
D.0054 Gangguan Mobilitas Fisik (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017)
1) Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik dari dua ekstremitas
kiri atas dan bawahsecara mandiri.
2) Penyebab :
a) Kerusakan integritas struktur tulang
b) Perubahan metabolisme
c) Ketidabugaran fisik
d) Penurunan kendali otot
e) Penurunan massa otot
f) Penurunan kekuatan otot
g) Keterlambatan perkembangan
h) Kekakuan sendi
i) Kontraktur
j) Malnutrisi
k) Gangguan muskuloskeletal
l) Gangguan neuromuscular
m) Gangguan neuromuscular
n) Indeks masa tubuh diatas persentil ke 75 sesuai usia
o) Efek agen farmakologis
p) Program pembatasan gerak
q) Nyeri
r) Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
s) Kecemasan
t) Gangguan kognitif
u) Keengganan melakukan pergerakan
v) Gangguan sensoriperspektif
3) Gejala dan tanda mayor :
a) Subyektif : mengeluh sulit menggerakkan ekstermitas
b) Obyektif : kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM)
menurun
4) Gejala dan tanda minor :
a) Subyektif : nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan,
merasa cemas saat bergerak
b) Obyektif : sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi gerakan
terbatas, fisik lemah.
5) Kondisi klinis terkait :
 Stroke
 Cedera medula spinalis
 Trauma
 Fraktur
 Osteoarthritis
 Astemalasia
 Keganasan

3. Intervensi keperawatan
Rencana keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan
yang akan dilakukan perawat guna menanggulangi masalah pasien
sesuai dengan diagnosis keperawatan yang telah ditentukan dengan
tujuan terpenuhinya kesehatan pasien. Komponen rencana
keperawatan terdiri dari tujuan yaitu diharapkan setelah dilakukan
tindakan keperawatan masalah gangguan mobilitas fisik dapat
berkurang, kriteria hasil diharapkan pergerakan anggota gerak,
kekuatan otot, dan rentang gerak meningkat, serta tidak terjadi
komplikasi akibat dari gangguan mobilitas fisik, dan rencana tindakan
keperawatan utama yaitu melakukan latihan ROM.
Intervensi pada stroke menurut Tim Pokja SIKI DPP PPNI adalah:
I.05185 Teknik Latihan Penguatan Sendi
1) Definisi : menggunakan teknik gerakan tubuh aktif atau pasif untuk
mempertahankan atau mengembalikan meningkatkan fleksibilitas
sendi.
2) Tindakan :
a) Identifikasi keterbatasan fungsi dan gerak sendi
b) Monitor lokasi dan sifat ketidaknyamanan atau rasa sakit
selama gerakan/aktifitas
c) Lakukan pengendalian nyeri sebelum memulai latihan
d) Berikan posisi tubuh optimal untuk gerakan sendi pasif atau
aktif
e) Fasilitasi menyusun jadwal latihan rentang gerak aktif maupun
pasif
f) Fasilitasi gerak sendi teratur dalam batas-batas rasa sakit,
ketahanan, dan mobilitas sendi
g) Berikan penguatan positif untuk melakukan latihan bersama
h) Jelaskan kepada pasien/keluarga tujuan dan rencanakan latihan
bersama
i) Kolaborasi dengan fisioterapi dalam mengembangkan dan
melaksanakan program latihan
j) Kolaborasi dalam memberikan program terapi

4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah pelaksanaan tindakan yang
telah ditentukan dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi
secara optimal. Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah
implementasi keperawatan terhadap pasien secara urut sesuai prioritas
masalah yang sudah dibuat dalam rencana tindakan asuhan
keperawatan, termasuk di dalamnya nomor urut dan waktu
ditegakkannya suatu pelaksanaan asuhan keperawatan. Perawat akan
merealisasikan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana
keperawatan yang telah dibuat untuk mengatasi klien SNH dengan
gangguan mobilitas fisik dengan cara mengobservasi tindakan yang
telah dilakukan, karena terdapat managemen shift, maka sebagian
tugas akan didelegasikan kepada perawat jaga yang lain untuk
mengevaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan (Nila, 2021)

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahapan akhir dalam proses pemberian asuhan
keperawatan untuk mendapatkan keberhasilan dari tindakan yang
diberikan, dengan melihat adanya respon klien perawat dapat
mengetahui apakah tindakan yang diberikan berhasil ataukah tidak,
jika berhasil maka tindakan dihentikan, dan jika tidak maka perawat
harus melakukan pengkajian ulang. Penulis akan mengobservasi
respon klien dengan cara:
a. Melihat respon klien disetiap tindakan yang dilakukan.
b. Respon yang ada dikumpulkan dan dapat dituangkkan dalam
catatan perkembangan dalam bentuk SOAP (Respon subjektif.
Respon objektif, Analisa, Perencanaan) untuk mengetahui hasil
tindakan.
c. Hasil akhir berupa perubahan dalam kondisi klien, dapat
berupa masalah teratasi, masalah teratasi sebagian, masalah
belum teratasi, bahkan dapat menambah masalah baru. Kriteria
hasil yang diharapkan yaitu klien dapat melakukan aktivitas.
Aktivitas klien tidak terganggu dan dapat beraktivitas tanpa
bergantung pada orang lain. Hasil evaluasi yang didapatkan
menunjukkan bahwa klien dapat beraktivitas secara efektif
(Nila, 2021)

Anda mungkin juga menyukai