TINJAUAN PUSTAKA
4. Manisfestasi Klinis
Menurut Tarwoto (2013), manifestasi klinis stroke tergantung dari
sisi atau bagian mana yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan
adanya sirkulasi kolateral.
Pada stroke non hemoragik gejala utamanya adalah timbulnya
defisit neurologis secara mendadak atau subakut, didahului gejala
prodromal, terjadi pada waktu istirahat atau bangun pagi dan kesadaran
biasanya tidak menurun, kecuali jika embolus cukup besar. (Wijaya &
Putri, 2013)
Gejala klinis stroke akut meliputi :
Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) atau
hemiplegia (paralisis) yang timbul secara mendadak.
a. Gangguan sensibilitas pada satu lengan atau lebih anggota badan.
Terjadi karena kerusakan sistem saraf otonom dan gangguan saraf
sensorik.
b. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stuporataukoma)
karena terjadinya gangguan metabolik otak akibat hipoksia
c. Afasia (kesulitan dalam bicara)
Afasia adalah defisit kemampuan komunikasi bicara, termasuk
membaca, menulis atau memahami bahasa. Afasia terjadi jika
terdapat kerusakan pada area pusat bicara primer yang berada pada
hemisfer kiri dan biasanya terjadi pada stroke dengan gangguan
pada arteri middle serebral kiri.
d. Disartria (bicara cadel atau pelo)
Disartria merupakan kesulitan bicara terutama dalam artikulasi
sehingga ucapannya menjadi tidak jelas. Disartria terjadi karena
kerusakan nervus kranial sehingga terjadi kelemahan dari otot
bibir, lidah, dan laring.
e. Vertigo, mual, muntah, dan nyeri kepala yang terjadi karena
peningkatan tekanan intrakranial, edema serebri
5. Patofisiologi
Terdapat beberapa penyebab stroke non hemoragik diantaranya
emboli dan trombosis. Stroke non hemoragik yang disebabkan oleh
trombosis terjadi karena adanya ateroskeloris. Ateroskeloris
menyebabkan plak pada dinding pembuluh darah sehingga mengalami
stenosis atau penyempitan pada pembuluh darah yang ada di otak.
Darah akan berputar-putar dibagian plak sehinggaakan menyebabkan
penggumpalan darah yang akan melekat pada plak tersebut sehingga
aliran darah akan terhambat. Faktor berikutnya adalah emboli. Emboli
adalah benda asing yang terbentuk diluar pembuluh darah yang lepas
dan melekat pada pembuluh darah arteri yang ada di otak sehingga
aliran darah terhambat.(Black & Hawks, 2014).
Ketika terhambatnya aliran darah maka akan menyebabkan otak
kekurangan nutrisi dan juga oksigen, sel otak yang mengalami
kekurangan nutrisi dan oksigen akan terjadi hipoksia serebral sehingga
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan otak. Karena kerusakan
tersebut maka mengakibatkan gangguan sistem motorik, sensorik,
kognitif. (Smeltzer, Hinkle, Bare, & Cheever, 2010). Gangguan sistem
motorik yaitu terdapat lesi di batang otak pada kapsula interna
pyramidalsesisi, lesi pada kawasan pyramidal bilateral (Segmen C5)
dan segmen lumbal.
Menurut Lewis, Dirksen, dan Heitkemper (2014) gangguan fungsi
motorik disebabkan karena kerusakan neuron motorik di jalur
pyramidal. Fungsi utama sistem ini adalah gerakan volunter dan
gerakan trampil di bawah kesadaran. Jalur pyramidal memotong
setinggi medula oblongata, jadi lesi pada satu sisi otak mempengaruhi
fungsi motorik disisi tubuh yang berlawanan atau kontralateral.
Kerusakan pada sistem pyramidal dapat menyebabkan hemiplegia. Jika
terjadi pada kawasan pyramidal bilateral atau segmen C5 maka akan
mengakibatkan tetraplegia. Lesi pada medula spinalis pada segmen C5
dapat mengakibatkan kelumpuhan UMN pada otot-otot dibawah
segmen C5 yaitu; otot kedua lengan, otot toraks dan otot abdominal,
serta otot tungkai bawah. Lokasi yang terakhir pada segmen lumbal
yang dapat menyebabkan paraplegia. Kelemahan atau kelumpuhan
pada pasien stroke non hemoragik akan mengakibatkan gangguan
mobilitas fisik (Nurshiyam, Ardhi, & Basri, 2020)
6. Pathway
8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Tarwoto (2013), pemeriksaan penunjang pada stroke non
hemoragik meliputi :
a. CT Scan (Computer Tomography Scan)
Mengetahui letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan
infarkdan posisi secara pasti.
b. Angiografi Serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik
seperti perdarahan, obstruksi arteri, adanya ruptur.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Menentukan posisi da n besar atauluas terjadinya perdarahan otak.
Menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik,
malformasi arteriovena.
d. EEG (Elektro Encephalography)
Mengidentifikasi masalah yang didasarkan pada gelombang otak
dan memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
e. Pungsi Lumbal
Menunjukkan adanya tekanan normal. Jika tekanan meningkat dan
cairan mengandung darah menunjukkan hemoragik subarachnoid
atau perdarahan intrakranial.
f. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan darah lengkap, seperti Hb, Leukosit, Trombosit,
Eritrosit.
2) Pemeriksaan gula darah sewaktu
3) Kolesterol, Lipid
4) Asam urat
5) Elektrolit
6) Masa pembekuan dan masa perdarahan
9. Komplikasi
Menurut Wijaya & Putri (2013) menyebutkan komplikasi yang dapat
terjadi pada pasien dengan stroke yaitu :
a. Berhubungan dengan immobilisasi
1) Infeksi pernafasan
2) Nyeri yang berhubungan dengan daerah yang tertekan
3) Konstipasi
4) Tromboflebitis
b. Berhubungan dengan mobilisasi
1) Nyeri pada daerah punggung
2) Dislokasi sendi
c. Berhubungan dengan kerusakan otak
1) Epilepsi
2) Sakit kepala
3) Kraniotomi
Sedangkan komplikasi yang paling umum dan penting dari Stroke
Non Hemoragik (SNH) meliputi edema serebral, transformasi
hemoragik, dan kejan. (Jauch, 2016).
a. Edema serebral yang signifikan setelah Stroke Non Hemoragik
(SNH) kini terjadi meskipun agak jarang (10-20%).
b. Indikator awal Stroke Non Hemoragik (SNH) yang tampak pada
CT Scan tanpa kontras adalah intrakranin dependen untuk potensi
pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain untuk
mengurangi tekanan intracranial dapat dimanfaatkan dalam situasi
arurat, meskipun kegunaannya dalam pembengkakan sekunder
Stroke Non Hemoragik (SNH) lebih lanjut belum diketahui.
Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark
mereka. Hal ini diperkirakan terjadi pada 5% dari Stroke Non
Hemoragik (SNH) yang tidak rumit, tanpa adanya trombolitik.
c. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode
pemulihan. Post-Stroke Non Hemoragik (SNH) biasanya bersifat
fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami serangan
stroke berkembang menjadi kronik seizure disorders.
10. Penatalaksanaan
Menurut Rendi & Margaret (2012) :
a. Demam
Demam dapat menyebabkan cidera otak iskemik dan harus diobati
secara agresif dengan antipiretik atau menggunakan kompres
dingin bila diperlukan.
b. Nutrisi
Pasien stroke memiliki resiko tinggi untuk Glukosa Hiperglikemia
dan Hipovelemia dapat menimbulkan aksaserbasi iskemia.
c. Perawatan Paru
Fisioterapi dada setiap 4 jam harus di lakukan untuk mencegah
atelaktis paru pada pasien yang memiliki gangguan mobilitas.
d. Aktifitas
Pasien stroke harus dilakukan mobilitas dan harus dilakukan
fisioterapi sedini mungkin bila kondisi klinis neurologis dan
hemodinamik stabil respirasi. Bila pasien sadar penuh tes
kemampuan untuk menelan.
e. Hidrasi Intravena
Hipovelemia sering di temukan dan harus dikoreksi dengan
kristaloid isotonis neurorestorasi dini stimulasi sensorik, kognitif,
memori, bahaya, emosi serta otak yang terganggu. Depresi dan
amnesia juga harus dikenali sedini mungkin.
f. Profilaksis trombosis vena dalam
Pasien stroke iskemik (non hemoragik) dengan imobilitas lama
yang tidak dalam pengobatan heparin intravena harus diobati
dengan heparin 5000 unit fraksiparin 0,3 cc setiap 12 jam selama
5-10 hari umtuk mencagah pembentukan trombus dalam vena
provunda, karena kejadiannya sangat tinggi.
Menurut Tarwoto (2013), penatalaksanaan medis terdiri dari :
Penatalaksanaan Umum
a. Pada Fase Akut
1) Terapi Cairan
Pada fase akut, stroke beresiko terjadinya dehidrasi karena
penurunan kesadaran atau mengalami disfagia. Terapi cairan
ini penting untuk mempertahankan sirkulasi darah dan tekanan
darah.
2) Terapi Oksigen
Pasien stroke mengalami gangguan aliran darah ke otak.
Sehingga kebutuhan oksigen sangat penting untuk mengurangi
hipoksia dan juga untuk mempertahankan metabolisme otak.
Pertahankan jalan nafas, pemberian oksigen dan penggunaan
ventilator.
3) Monitor fungsi pernafasan : Analisa Gas Darah (AGD).
4) Monitor jantung dan tanda –tanda vital, pemeriksaan EKG
(Elektrokardiogram)
b. Fase Rehabilitasi
1) Pertahankan nutrisi yang adekuat
2) Program managemen bladder (pengukuran volume output urine
berhubungan dengan intake cairan) dan bowel (pasien biasanya
mengalami mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan
penurunan berat badan).
3) Mempertahankan keseimbangan tubuh dan rentang gerak sendi
(ROM)
4) Pertahankan integritas kulit
5) Pertahankan komunikasi yang efektif
6) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari
7) Persiapan pasien pulang
c. Pembedahan
Dilakukan jika perdarahan serebrum diameter lebih dari tiga cm
atau volume lebih dari 50 ml untuk dekompresi atau pemasangan
pintasan ventrikulo-peritoneal bila ada hidrosefalus obstruktif akut.
d. Terapi Obat –Obatan
1) Pemberian terapi trombolitik dengan rt-PA (recombinant tissue
plasminogen altaplase)
2) Pemberian obat-obatan jantung seperti digoksin pada aritmia
jantung, kaptropil, antagonis kalsium pada pasien dengan
hipertensi.
1. Definisi
Mobilitas fisik merupakan kemampuan individu untuk bergerak
bebas secara teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
aktifitas untuk mempertahankan kesehatan (Azizah, & Wahyuningsih,
2020).
Imobilisasi merupakan suatu gangguan gerak dimana pasien
mengalami ketidak mampuan berpindah posisi selama tiga hari atau
lebih, dengan gerak anatomi tubuh menghilang akibat perubahan
fungsi fisiologi. Seseorang yang mengalami gangguan gerak atau
gangguan pada kekuatan ototnya akan berdampak pada aktivitas
sehari-harinya (Agusrianto & Rantesigi, 2020).
Sedangkan menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI Gangguan
Mobilitas Fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari dua
ekstremitas secara mandiri Hambatan mobilitas fisik adalah
keterbatasan gerakan fisik dalam satu atau lebih ekstremitas secara
mandiri dan terarah. (Herdman & Kamitsuru, 2015)
2. Jenis Mobilitas
Menurut Risnanto & Insani (2014) jenis mobilitas dibagi menjadi dua
yaitu mobilitas penuh dan mobilitas sebagian.
a. Mobilitas penuh
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh
dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan
menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan
fungsi saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat mengontrol
seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan
jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi
oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya.
Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis yaitu :
1) Mobilitas sebagian temporer
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan
batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabkan
oleh trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal misalnya
adanya dislokasi sendi dan tulang.
2) Mobilitas sebagian permanen
Merupakan kemampuan individu untuk bergerak dengan
batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh
karena rusaknya sistem saraf yang reversibel, contohnya
terjadinya hemiplegia karena stroke, paraplegia karena cedera
tulang belakang, poliomielitis karena terganggunya sistem saraf
4. Kemampuan Mobilitas
Menurut Hidayat & Uliyah (2014), pengkajian kemampuan mobilitas
dilakukan dengan tujuan untuk menilai kemampuan gerak ke posisi
miring, duduk, berdiri, bangun, dan berpindah tanpa bantuan. Kategori
tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai berikut:
d. Tingkat 0 : Mampu merawat diri sendiri secara penuh
e. Tingkat 1 : Memerlukan penggunaan alat
f. Tingkat 2 : Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain
g. Tingkat 3 : Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan
peralatan
h. Tingkat 4 : Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau
berpartisipasi dalam perawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
keluarga, pengkajian psikososiospiritual, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan diagnostic, dan pemeriksaan laboratorium.
a. Identitas pasien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis
kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa,
tanggal masuk rumah sakit, nomor registrasi, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering dirasakan oleh pasien stroke yaitu
adanya kecacatan berupa kelumpuhan anggota gerak hemiparesis
atau kelemahan otot pada bagian anggota gerak tubuh yang
terkena.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke sering kali berlangsung sangat mendadak, pada
saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri
kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, selain
gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang
lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intracranial. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsive, dan koma.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,
diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala,
kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obatan anti koagulan,
aspirin, vasodilator, obat-obatan adiktif, dan kegemukan.
Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien,
seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat
beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alcohol
dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat
mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit keluarga yang menjadi faktor risiko penyebab
stroke diantaranya yaitu riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan
penyakit jantung.
f. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung
data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan secara persistem (B1-B6) dengan focus pemeriksaan
fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) Keadaan umum
2) Pengkajian tingkat kesadaran dengan GCS (Glasgow Coma
Scale). Pada pemeriksaan GCS yang diperiksa meliputi,
respons Eye, Verbal dan Motorik.
3) Sistem motorik, didapatkan hemiplegi/hemiparesis. Kekuatan
otot dapat dinilai dengan menggunakan tingkat kekuatan otot
pada sisi yang sakit.
g. Data Fisiologis
Pasien stroke yang mengalami gangguan mobilitas fisik termasuk
kedalam kategori fisiologis dan subkategori aktivitas atau istirahat,
perawat harus mengkaji data mayor dan minor yang tercantum
dalam buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2017)
yaitu:
1) Gejala dan tanda mayor
a) Subjektif : mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
b) Objektif : rentang gerak (ROM) menurun
2) Gejala dan tanda minor
a) Subjektif : nyeri saat bergerak, enggan melakukan
pergerakan, merasa cemas saat bergerak
b) Objektif : sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan
terbatas, fisik lemah
h. Kemampuan mobilitas
Kemampuan mobilitas pengkajian kemampuan mobilitas dilakukan
dengan tujuan untuk menilai kemampuan gerak ke posisi miring,
duduk, berdiri, bangun dan berpindah tanpa bantuan.
Table 1.1 Kemampuan Mobilitas
Tingkat Kategori
Mobilitas
Tingkat 0 Mampu merawat diri secara penuh
Presentasi Karakteristik
Skala
kekuatan
otot
1 2 3
0 0 Paralissi sempurna
1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat di
palpasi atau dilihat
2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi dengan
topangan
3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 75 Gerakan penuh yang normal melawan gravitas
dan melawan tahanan minimal
5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang normal
melawan gravitasi dan tahanan penuh
j. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk membedakan antara stroke
hemoragik dan stroke iskemia diantaranya yaitu computerized
tomograph scanning (CT Scan), cerebral angiografi, elektro-
ensefalografi (EEG), magnetic resonance imaging (MRI),
elektrokardiografi (EKG), pemeriksaan laboratorium dan lain-lain.
2. Diagnosis keperawatan
Diagnose keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai
respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung actual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan
kesehatan (SDKI,2016)
Menurut Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia, berikut ini
diagnose yang muncul pada stroke non hemoragik :
D.0054 Gangguan Mobilitas Fisik (Tim Pokja SDKI PPNI, 2017)
1) Definisi : Keterbatasan dalam gerakan fisik dari dua ekstremitas
kiri atas dan bawahsecara mandiri.
2) Penyebab :
a) Kerusakan integritas struktur tulang
b) Perubahan metabolisme
c) Ketidabugaran fisik
d) Penurunan kendali otot
e) Penurunan massa otot
f) Penurunan kekuatan otot
g) Keterlambatan perkembangan
h) Kekakuan sendi
i) Kontraktur
j) Malnutrisi
k) Gangguan muskuloskeletal
l) Gangguan neuromuscular
m) Gangguan neuromuscular
n) Indeks masa tubuh diatas persentil ke 75 sesuai usia
o) Efek agen farmakologis
p) Program pembatasan gerak
q) Nyeri
r) Kurang terpapar informasi tentang aktivitas fisik
s) Kecemasan
t) Gangguan kognitif
u) Keengganan melakukan pergerakan
v) Gangguan sensoriperspektif
3) Gejala dan tanda mayor :
a) Subyektif : mengeluh sulit menggerakkan ekstermitas
b) Obyektif : kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM)
menurun
4) Gejala dan tanda minor :
a) Subyektif : nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan,
merasa cemas saat bergerak
b) Obyektif : sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi gerakan
terbatas, fisik lemah.
5) Kondisi klinis terkait :
Stroke
Cedera medula spinalis
Trauma
Fraktur
Osteoarthritis
Astemalasia
Keganasan
3. Intervensi keperawatan
Rencana keperawatan adalah menyusun rencana tindakan keperawatan
yang akan dilakukan perawat guna menanggulangi masalah pasien
sesuai dengan diagnosis keperawatan yang telah ditentukan dengan
tujuan terpenuhinya kesehatan pasien. Komponen rencana
keperawatan terdiri dari tujuan yaitu diharapkan setelah dilakukan
tindakan keperawatan masalah gangguan mobilitas fisik dapat
berkurang, kriteria hasil diharapkan pergerakan anggota gerak,
kekuatan otot, dan rentang gerak meningkat, serta tidak terjadi
komplikasi akibat dari gangguan mobilitas fisik, dan rencana tindakan
keperawatan utama yaitu melakukan latihan ROM.
Intervensi pada stroke menurut Tim Pokja SIKI DPP PPNI adalah:
I.05185 Teknik Latihan Penguatan Sendi
1) Definisi : menggunakan teknik gerakan tubuh aktif atau pasif untuk
mempertahankan atau mengembalikan meningkatkan fleksibilitas
sendi.
2) Tindakan :
a) Identifikasi keterbatasan fungsi dan gerak sendi
b) Monitor lokasi dan sifat ketidaknyamanan atau rasa sakit
selama gerakan/aktifitas
c) Lakukan pengendalian nyeri sebelum memulai latihan
d) Berikan posisi tubuh optimal untuk gerakan sendi pasif atau
aktif
e) Fasilitasi menyusun jadwal latihan rentang gerak aktif maupun
pasif
f) Fasilitasi gerak sendi teratur dalam batas-batas rasa sakit,
ketahanan, dan mobilitas sendi
g) Berikan penguatan positif untuk melakukan latihan bersama
h) Jelaskan kepada pasien/keluarga tujuan dan rencanakan latihan
bersama
i) Kolaborasi dengan fisioterapi dalam mengembangkan dan
melaksanakan program latihan
j) Kolaborasi dalam memberikan program terapi
4. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah pelaksanaan tindakan yang
telah ditentukan dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi
secara optimal. Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah
implementasi keperawatan terhadap pasien secara urut sesuai prioritas
masalah yang sudah dibuat dalam rencana tindakan asuhan
keperawatan, termasuk di dalamnya nomor urut dan waktu
ditegakkannya suatu pelaksanaan asuhan keperawatan. Perawat akan
merealisasikan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana
keperawatan yang telah dibuat untuk mengatasi klien SNH dengan
gangguan mobilitas fisik dengan cara mengobservasi tindakan yang
telah dilakukan, karena terdapat managemen shift, maka sebagian
tugas akan didelegasikan kepada perawat jaga yang lain untuk
mengevaluasi hasil tindakan yang telah dilakukan (Nila, 2021)
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahapan akhir dalam proses pemberian asuhan
keperawatan untuk mendapatkan keberhasilan dari tindakan yang
diberikan, dengan melihat adanya respon klien perawat dapat
mengetahui apakah tindakan yang diberikan berhasil ataukah tidak,
jika berhasil maka tindakan dihentikan, dan jika tidak maka perawat
harus melakukan pengkajian ulang. Penulis akan mengobservasi
respon klien dengan cara:
a. Melihat respon klien disetiap tindakan yang dilakukan.
b. Respon yang ada dikumpulkan dan dapat dituangkkan dalam
catatan perkembangan dalam bentuk SOAP (Respon subjektif.
Respon objektif, Analisa, Perencanaan) untuk mengetahui hasil
tindakan.
c. Hasil akhir berupa perubahan dalam kondisi klien, dapat
berupa masalah teratasi, masalah teratasi sebagian, masalah
belum teratasi, bahkan dapat menambah masalah baru. Kriteria
hasil yang diharapkan yaitu klien dapat melakukan aktivitas.
Aktivitas klien tidak terganggu dan dapat beraktivitas tanpa
bergantung pada orang lain. Hasil evaluasi yang didapatkan
menunjukkan bahwa klien dapat beraktivitas secara efektif
(Nila, 2021)