TINJAUAN PUSTAKA
1
2
1.2.2 Etiologi
Menurut Batticaca (2008; 56), Stroke hemoragik umumnya disebabkan oleh
adanya perdarahan intrakranial dengan gejala peningkatan tekana darah systole >
200 mmHg pada hipertonik dan 180 mmHg pada normotonik, bradikardia, wajah
keunguan, sianosis, dan pernafasan mengorok.
7) Merokok.
8) Diabetes melitus.
9) Penyalahgunaan obat (kokain).
10) Konsumsi alkohol.
1.1.3 Patofisiologi
Stroke hemoragik terjadi perdarahan yang berasal dari pecahnya arteri
penetrans yang merupakan cabang dari pembuluh darah superfisial dan berjalan
tegak lurus menuju parenkim otak yang di bagian distalnya berupa anyaman
kapiler. Aterosklerosis dapat terjadi dengan bertambahnya umur dan adanya
hipertensi kronik, sehingga panjang arteri penetrans terjadi aneurisma keci-kecil
dengan diameter 1 mm. Peningkatan tekanan darah yang terus-menerus akan
mengakibatkan pecahnya aneurisme ini, sehingga dapat terjadi perdarahan dalam
parenkim otak yang bisa mendorong struktur otak dan merembas kesekitarnya
bahkan dapat masuk kedalam ventrikel atau ke ruang intrakranial.
Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh karena ruktur arteri
serebril. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan atau subaranoid, sehingga
jaringan yang ada di sekitar akan tergeser tekanan. Daerah ini sangat mengiritasi
jaringan otak, sehingga dapat mengakibatkan vasospasme pada arteri di sekitar
pendarahan. Spasme ini dapat menyerap ke seluruh hemisfer otak dan sirkulus
willis. Bakuan darah yang semula lunak akhirnya akan larut dan mengeci. Daerah
otak di sekitar bekuan darah dapat membengkak nekrosis, karena kerja enzi –
enzim kmaka bekuan darah akan mencair, sehingga terbentuk suatu rongga.
Sesudah beberapa bulan semua jaringan nekrotik akan diganti oleh astrosit dan
kapiler – kapiler baru sehingga terbentuk jalinan di sekitar rongga tadi . Akhirnya
4
rongga–rongga tersebut terisi oleh astroglia yang mengalami proliferasi ( Sylvia &
Lorraine, 2006 ). Perdarahan subaraknoid sering dikaitkan dengan pecahnya
aneurisma. Kebanyakan aneurisma mengenai sirkulus wil.
1.1.4 Manifestasi Klinis
(Menurut Tarwoto, 2008). Ada beberapa tanda dan gejala pada stroke
hemoragik yaitu:
1) Kadang-kadang mengalami penurunan kesadaran.
2) Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul
mendadak.
3) Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan (gangguan hemisensorik).
4) Perubahan mendadak pada status mental (konfusi, delirium, letargi, stupor
atau koma).
5) Afasia (tidak lancar atau tidak dapat bicara).
6) Disartria (bicara pelo atau cedel).
7) Ataksia (tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran).
8) Vertigo (mual dan muntal atau nyeri kepala).
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak
adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Fungsi otak
yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya (Smeltzer, 2001).
Kehilangan motorik. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena
neuron motor atas melintas, gangguan kontrol motor volunter pada sisi yang
berlawanan dari otak. Disfungsi motor paling umum adalah hemiplegia (paralisis
pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiperesis, atau
kelemahan pada salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain.
Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah
paralisis dan hilang atau menurunnya reflek tendon dalam. Apabila refleks tendon
dalam ini muncul kembali (biasanya dalam 48 jam), peningkatan tonus disertai
dengan spastisitas (peningkatan tonus otot abnormal) pada ekstremitas yang
terkena dapat dilihat.
5
4. Diuretik
Untuk menurunkan edema serebral yang mencapai tingkat maksimum 3
sampai 5 hari setelah infark serebral.
5. Antikoagulan
Untuk mencegah terjadinya thrombosis atau embolisasi dari tempat lain
dalam sistem kardiovaskuler.
6. Antitrombosit karena trombosit memainkan peran sangat penting dalam
pembentukan thrombus dan embolisasi.
1.2 Manajemen Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Menurut Mutaqqin (2011:242), Pengkajian merupakan proses pengumpulan
data yang dilakukan secara sistemik mengenai kesehatan. Pasien
mengelompokkan data, menganalisis data tersebut sehingga dapat diketahui
masalah dan perawatan pasien. Adapun tujuan utama dari pada pengkajian adalah
memberikan gambaran secara terus menerus mengenai keadaan pasien yang
memungkinkan perawat dapat merencanakan asuhan keperawatan pada pasien.
Pengkajian pada stroke nonhemoragik meliputi identitas klien, keluhan
utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit
keluarga, riwayat pennyakit psikososial.
1) Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin,
pendidikan, alamat, pekerjaan,agama, suku bangsa, tanggal masuk rumah
sakit, nomor register, dan diagnosis medis.
2) Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebalah badan, bicara pelo, tidak dapat
berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.
3) Riwayat kesehatan sekarang
Serangan stroke berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang
melakukan aktivitas ataupun sedang beristirahat. Biasanya terjadi nyeri
kepala, mual, muntah,bahkan kejang sampai tidak sadar, selain gejala
kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
10
8) Pemeriksaan fisik
11
dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis, pada satu sisi
otot. Otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral
di sisi yang sakit. Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis
saraf trigenimus. Penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot
pterigoideus internus dan eksternus. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas
normal, wajah asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat. Saraf
VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. Saraf IV dan X.
Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut. Saraf XI. Tidak
ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Saraf XII. Lidah simetris,
terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra pengecapan normal.
8) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi fungsi mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal, dan hemisfer. Status mental. Observasi penampilan, tingkah
laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien
stroke tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan. Fungsi
intelektua. Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi.
Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk
mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata. Kemampuan
bahasa. Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang memengaruhi
fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada bagian
posterior dari girus temporalis superior (area wernicke) didapatkan disfasia
reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis.
Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis inferior (area broca)
didapatkan disfasia ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat
menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan
berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh
paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia
(ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti
14
terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
Lobus frontal.
Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis didapatkan jika kerusakan
telah terjadi pada lobus frontal kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal
yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam lapang
perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang
menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustrasi dalam program rehabilitasi
mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin diperberat oleh respons alamiah klien
terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologis lain juga umum terjadi dan
dimanifestasikan oleh emosi yang labil, bermusuhan, frustrasi, dendam, dan
kurang kerja sama. Hemisfer. Stroke hemisfer kanan didapatkan hemiparese
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk dan mempunyai kerentanan terhadap sisi
kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut. Pada
stroke hemifer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku lambat dan sangat
hati-hati, kelainan bidang pandang sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan
mudah frustrasi.
9) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas kesdaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parametrer yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif
untuk disfungsi sistem persyarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat
membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran pasien stroker biasanya berkisar pada
peningkat letargi, stupor, semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma maka
penilaian gcs sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Merupakan pernyataan yang menjelaskan status kesehatan baik aktual
maupun potensial. Perawat memakai proses keperawatan dalam mengidentifikasi
dan mengsintesa data klinis dan menentukan intervensi keperawatan untuk
mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang
menjadi tanggung jawabnya.
15
Intervensi Rasional
Intervensi Rasional
11. Berikan terapi sesuai instruksi 11. Terapi yang diberikan dengan tujuan
dokter seperti : (1) menurunkan permeabilitas kapiler
20
Intervensi Rasional
4) Risiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah baring yang
lama.
Tujuan :dalam waktu 3x24 jam klien mampu mempertahankan keutuhan kulit.
KH: klien mampu berpartisipasi terhadap pencegahan luka, mengetahui
penyebab dan cara pencegahan luka, tidak ada tanda-tanda kemerahan atau
luka.
Intervensi Rasional
Intervensi Rasional
Intervensi Rasional
2. Letakkan posisi kepala lebih 2. untuk klien lebih mudah untuk menelan
tinggi pada waktu, selama dan karena gaya gravitasi.
sesudah makan.
3. Letakkan makanan didaerah 3. membantu dalam melatih sensorik dan
mulut yang tidak terganggu. meninggkatkan kontrol muskuler
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat pengetahuan 1. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan
keluarga pasien. keluarga pasien.
dibuat sesuai dengan kondisi klien maka validasi kembali tentang keadaan klien
perlu dilakukan sebelumnya (Basford. 2006, Hal 22)
1) Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan ada meningkatnya volume
intracranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebral.
(1) Mengkaji faktor penyebab dari situasi/keadaan individu/penyebab koma/
penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab peningkatan
TIK.
(2) Mengobservasi tanda-tanda vital tiap 4 jam
(3) Mengevaluasi pupil.
(4) Memonitor temperature dan pengaturan suhu kelumpuhan.
(5) Mengkaji peningkatan istirahat dan tingkah laku pada pagi hari.
(6) Mempertahankan kepala/leher pada posisi yang netral usahakan dengan
sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.
(7) Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman seperti masase
punggung, lingkungan yang tenang, sentuhan yang ramah dan suasana/
pembicaraan yang tidak gaduh.
2) Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahn
intraserebral, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
(1) Mmberikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab peningkatan
TAK dan akibatnya.
(2) Membaringkan klien (bed rest) total dengan posisi tidur telentang tanpa
bantal.
(3) Monitor tanda-tanda vital.
(4) Membantu pasien untuk membtasi muntah, batuk, anjurkan klien
menarik nafas apabila bergerak atau berbalik dari tempat tidur.
(5) Mengajarkan klien untuk mengindari batuk dan mengejan berlebihan.
(6) Menciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung.
(7) Kolaborasi: Memberikan terapi sesuai intruksi dokter,seperti :steroid,
aminofel, antibiotika.
3) Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia,
kelemahan neuromuscular pada ekstremitas.
25
(2)Meletakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah
makan.
(3)Meletakkan makanan didaerah mulut yang tidak terganggu.
(4)Memberikan makanan dengan perlahan pada lingkungan yang tenang.
(5)Memberikan makan peroral setengah cair, makan lunak ketika klien
dapat menelan air.
(6)menganjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan.
(7)Berkolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan cairan melalui
intravena atau makanan melalui selang.
7) Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan pengetahuan
penyakitnya, pengobatan yang diberikan.
(1)Mengkaji tingkat pengetahuan keluarga pasien.
(2)Memberikan informasi terhadap pencegahan, faktor penyebab, serta
perawatan.
(3)Memberikan kesempatan kepada pasien dan keluarga pasien untuk
bertanya.
(4)Memberikan umpan balik terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
keluarga atau pasien.
(5)Menyarankan pasien menurunkan/membatasi stimulasi lingkungan
terutama selama kegiatan berfikir.
5) Komunikasi baik.
6) Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
7) Pengetahuan bertambah.