Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Disusun Oleh :

MARIANO XIMENES NICOLAU

NIM: PN.19.01.92

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA HUSADA YOGYAKARTA
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP KEGAWAT DARURATAN

A. Keperawatan Gawat darurat


Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadinya mendadak
mengakibatkan seseorang atau banyak orang memerlukan penanganan
atau pertolongan segera dalam arti pertolongan secara cermat, tepat
dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan semacam itu meka
korban akan mati atau cacat/ kehilangan anggota tubuhnya seumur
hidup (Saanin, 2012).
Keadaan darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak,
sewaktu-waktu/ kapan saja terjadi dimana saja dan dapat menyangkut
siapa saja sebagai akibat dari suatu kecelakaan, suatu proses medis
atau perjalanan suatu penyakit (Saanin, 2012). Pelayanan gawat darurat
tidak hanya memberikkan pelayanan untuk mengatasi kondisi
kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga memberikan asuhan
keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien dan keluarga.
Keperawatan gawat darurat adalah pelayanan professional keperawatan
yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun
UGD dan klinik kedaruratan sering digunakan untuk masalah yang tidak
urgent, sehingga filosofi tentang keperawatan gawat darurat menjadi
luas, kedaruratan yaitu apapun yang dialami pasien atau keluarga harus
di pertimbangkan sebagai kedaruratan (Hati, 2011 dalam Saanin, 2012).
System pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga
medis lainnya harus memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta
ilmu pengetahuan yang tinggi dalam memberikan pertolongan
kedaruratan kepada pasien (Saanin, 2012). Pasien yang tiba-tiba dalam
keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam nyawanya dan
atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapatkan
pertolongan secepatnya . biasanya di lambangkan dengan label merah.
Misalnya AMI (Acut Miocard Infark). Pasien berada dalam keadaan
gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat. Biasanya dilambangkan
dengan label biru. Misalnya pasien dengan Ca stadium akhir.
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak
mengancam nyawa dan anggota badannya. Biasanya di lambangkan
dengan label kuning. Misalnya, pasien Vulnus Lateratum tanpa
pendarahan. Pasien yang tidak mengalami kegawatan dan kedaruratan.
Biasanya dilambangkan dengan label hijau. Misalnya, pasien batuk,
pilek.
Keperawatan gawat darurat atau emergency nursing merupakan
pelayanan keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien
dengan injuri akut atau sakit yang mengancam kehidupan.
Kegawatdaruratan medis dapat diartikan menjadi suatu keadaan cedera
atau sakit akut yang membutuhkan intervensi segera untuk
menyelamatkan nyawa atau mencegah atau mencegah kecacatan serta
rasa sakit pada pasien. Pasien gawat darurat merupakan pasien yang
memerlukan pertolongan segera dengan tepat dan cepat untuk
mencegah terjadinya kematian atau kecacatan.
Dalam penanganannya dibutuhkan bantuan oleh penolong yang
profesional. Derajat kegawatdaruratan serta kualitas dari penanganan
yang diberikan membutuhkan keterlibatan dari berbagai tingkatan
pelayanan, baik dari penolong pertama, teknisi kesehatan
kegawatdaruratan serta dokter kegawatdaruratannya itu sendiri. Respon
terhadap keadaan kegawatdaruratan medis bergantung kuat pada
situasinya. Keterlibatan pasien itu sendiri serta ketersediaan sumber
daya untuk menolong. Hal tersebut beragam tergantung dimana
peristiwa kegawatdaruratan itu terjadi, diluar atau didalam rumah sakit
(Caroline 2013).
Karakteristik keperawatan gawat darurat:
1. Tingkat kegawatan dan jumlah pasien sulit diprediksi
2. Keterbatasan waktu, data dan sarana: pengkajian, diagnosis, dan
tindakan
3. Keperawatan diberikan untuk seluruh usia
4. Tindakan memerlukan kecepatan dan ketepatan tinggi
5. Saling ketergantungan yang tinggi antara profesi kesehatan

B. Prinsip Keperawatan Gawat darurat


Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat
dan tepat serta harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama
menemukan atau mengetahui (orang awam, perawat, para medis,
dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini
dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa saja.
1. Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan
panik).
2. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun
saksi.
3. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah
yang mengancam jiwa (henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan
hebat, keracunan).
4. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan
secara menyeluruh. Pertahankan korban pada posisi datar atau
sesuai (kecuali jika ada ortopnea), lindungi korban dari kedinginan.
5. Jika korban sadar jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk
menenangkan dan yakinkan akan ditolong.
6. Hindari mengangkat atau memindahkan yang tidak perlu,
memindahkan jika hanya ada kondisi yang membahayakan.
7. Jangan di beri minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan
kemungkinan tindakan anastesi umum dalam waktu dekat.
8. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama
selesai dilakukan dan terdapat alat transportasi yang memadai.

 Kondisi gawat darurat dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


a) Gawat darurat
Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila
tidak mendapatkan pertolongan secepatnya. Contoh: gawat
nafas, gawat jantung, kejang, koma, trauma kepala dengan
penurunan kesadaran.
b) Gawat tidak darurat
Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi
gawat tetapi tidak memerlukan tindakan yang darurat
contohnya: kanker stadium lanjut
c) Darurat tidak gawat
Pasien akibat musibah yang datang tibatiba tetapi tidak
mengancam nyawa atau anggota badannya contohnya: fraktur
tulang tertutup.
d) Tidak gawat tidak darurat
Pasien poliklinik yang datang ke UGD

C. Kode-kode Emergency di Rumah Sakit


1. Code Red
Adalah kode yang mengumumkan adanya ancaman
kebakaran di lingkungan rumah sakit (api maupun asap), sekaligus
mengaktifkan tim siaga bencana rumah sakit untuk kasus kebakaran.
Dimana tim ini terdiri dari seluruh personel rumah sakit, yang
masing-masing memiliki peran spesifik yang harus dikerjakan sesuai
panduan tanggap darurat bencana rumah sakit.
Misalnya; petugas teknik segera mematikan listrik di area
kebakaran, perawat segera memobilisasi pasien ke titik-titik
evakuasi, dan sebagainya. Tatalaksananya (RACE):
a. (R) REMOVE/RESCUE/SELAMATKAN setiap orang yang berada
dalam area kebakaran sambil meneriakkan:code red ---- code red
b. (A) ALERT/ALARM/SEBARLUASKAN dengan cara menelpon
Operator selanjutnya operator menghubungi pihak yang terkait
antara lain petugas security, selajutnya beritahu kawan terdekat.
Bila api membesar telpon Dinas Pemadam Kebakaran.
c. (C) CONFINE/ CONTAIN/SEKAT bila sekitar ruangan penuh api
dan asap, bila memungkinkan tutup pintu dan jendela untuk
mencegah api menjalar.
d. (E) EXTINGUISH/PADAMKAN bila api masih memungkinkan/bila
api masih kecil. Jangan ambil resiko yang tidak perlu.
e. Bila cukup aman, matikan semua sarana seperti listrik, gas yang
kemungkinan berkaitan dengan api, tapi tetap pertimbangkan
dengan cermat bila pasien masih memerlukan.
f. Evakuasi pasien dan pengunjung ke daerah yang aman.
g. Tetap awasi pasien. Bila perlu dihitung per kepala atau absensi
berurutan.
h. Kooperatif dengan semua intruksi yang diberikan oleh Staf Senior,
Manajer on Duty (MOD), ataupun petugas pemadam kebakaran
2. Code Blue (Biru)
Adalah kode yang mengumumkan adanya pasien, keluarga
pasien, pengunjung, dan karyawan yang mengalami henti jantung
dan membutuhkan tindakan resusitasi segera. Pengumuman ini
utamanya adalah untuk memanggil tim medis reaksi cepat atau tim
code blue yang bertugas pada saat tersebut, untuk segera berlari
secepat mungkin menuju ruangan yang diumumkan dan melakukan
resusitasi jantung dan paru pada pasien. Tim medis reaksi cepat (tim
code blue) ini merupakan gabungan dari perawat dan dokter yang
terlatih khusus untuk penanganan pasien henti jantung. Karena
setiap shift memiliki anggota tim yang berbeda-beda, dan bertugas
pada lokasi yang berbeda-beda pula (pada lantai yang berbeda atau
bangsal/ruang rawatan yang berbeda); diperlukan pengumuman
yang dapat memanggil mereka dengan cepat.
3. Code Pink (Merah muda)
Adalah kode yang mengumumkan adanya penculikan bayi/
anak atau kehilangan bayi/ anak di lingkungan rumah sakit. Secara
universal, pengumuman ini seharusnya diikuti dengan lock down
(menutup akses keluar-masuk) rumah sakit secara serentak. Bahkan
menghubungi bandar udara, terminal, stasiun dan pelabuhan
terdekat untuk kewaspadaan terhadap bayi korban penculikan.
4. Code Black (Hitam)
Adalah kode yang mengumumkan adanya ancaman orang
yang membahayakan (ancaman orang bersenjata atau tidak
bersenjata yang mengancam akan melukai seseorang atau melukai
diri sendiri), ancaman bom atau ditemukan benda yang dicurigai bom
di lingkungan rumah sakit dan ancaman lain.
5. Code Brown (Coklat)
Adalah kode yang mengumumkan pengaktifan evakuasi
pasien, pengunjung dan karyawan rumah sakit pada titik-titik yang
telah ditentukan. Pada intinya, menginisiasi tim evakuasi untuk
melaksanakan tugasnya. Pada saat evakuasi, bila diinstruksikan,
evakuasikan ke area yang dialokasikan dalam urutan sebagai
berikut:
a. Pasien yang mampu bergerak sendiri
b. Pasien yang mampu bergerak dengan memerlukan bantuan
c. Pasien yang tidak mampu bergerak.
6. Code Orange (Oranye)
Adalah kode yang mengumumkan adanya insiden yang terjadi
di luar rumah sakit (emergency eksternal) misalnya kecelakaan
massal lalulintas darat, laut, dan udara; ledakan, banjir, kebakaran,
gempa bumi, tsunami, dll.
7. Code Yellow (Kuning)
Adalah kode yang mengumumkan adanya situasi krisis
internal (emergency internal) rumah sakit yang meliputi: kebocoran
atau dugaan kebocoran gas termasuk gas elpiji; kebocoran dan
tumpahan bahan kimia dan atau bahan berbahaya; kegagalan
sistem vital seperti kegagalan back-up daya listrik; boks pembagi
daya listrik;seseorang terjebak/terjerat; banjir; insiden radiasi; dan
lain-lain.

D. Konsep Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu


1. Pengertian dan Fase SPGDT
Sistem pengendalian gawat darurat terpadu adalah mekanisme
yang dirancang untuk memberikan pertolongan pada korban bencana
atau gawat darurat untuk mencegah kematian atau kerusakan organ
sehingga produktifitasnya dapat didipertahankan setara sebelum
terjadinya bencana atau peristiwa gawat darurat.
System penanggulangan gawat darurat (SPGDT) mengacu
pada pertolongan harus cermat, tepat, dan cepat agar korban tidak
mati atau cacat maka harus ditangani secara bersama dan terpadu,
oleh berbagai komponen penolong atau pertolongan. Ini berarti
penanganan harus dilakukan multi disiplin, multi profesi dan multi
sektor meliputi:
a. Penanganan terhadap korban banyak penyelamatan jiwa
b. Dilakukan oleh penolong dan pertolongan banyak
c. Terjalin komunikasi dan koordinasi yang terkendali
d. Menyangkut transportasi korban
e. Tempat-tampat rujukan
Dalam SPGDT terdapat beberapa fase yaitu: Fase Deteksi,
Fase Subpresi, Fase Pra Rumah sakit, Fase Rumah sakit dan Fase
Rehabilitasi. Fase-fase ini dapat berjalan dengan baik bila ada
ketersediaan sumber-sumber yang memadai. Beberapa referensi ada
pula yang menyebutkan bahwa SPGDT dibagi menjadi 3 subsistem,
yaitu : sistem pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem pelayanan di
Rumah Sakit, sistem pelayanan antar rumah sakit. Ketiga subsistem
ini bersifat saling terkait didalam pelaksanaannya. Pada
pelaksanaanya bergantung kepada kebijakan Negara yang
bersangkutan.
a. Fase Deteksi
Pada fase deteksi ini dapat diprediksi beberapa hal
diantaranya adalah frekuensi kejadian, penyebab, korban, tempat
rawan, kualitas kejadian dan dampaknya. Misalnya terkait dengan
kecelakaan lalu lintas, maka dapat diprediksi : frekuensi,
Kecelakaan Lalu Lintas (KLL), Buruknya kualitas “Helm” sepeda
motor yang dipakai, Jarangnya orang memakai “Safety Belt”,
tempat kejadian tersering dijalan raya yang padat atau dijalan
protocol, korban kecelakaan mengalami luka mengalami luka
diberbagai tempat atau multiple injuries. Contoh lain bila terkait
dengan bencana alam, maka dapat diprediksi : daerah rawan
gempa, frekuensi gempa, jenis bangunan yang sering hancur,
kelompok korban, dan jenis bantuan tenaga kesehatan yang paling
dibutuhkan pada korban gempa. Melatih tenaga kesehatan dan
awam untuk pengelolaan korban gawat darurat. Pelatihan dapat
berbentuk BTCLS in Disaster, PPGD-ON (Pengelolaan Pasien
Gawat Darurat Obstetric Neonatus) untuk bidan, antisipasi
Serangan Jantung dan CADR (Community action & Disaster
Response ) untuk pengawal pribadi, pasukan keamanan/ polisi,
pecinta alam, guru olahraga/ senam ; atau pelatihan Dasi pena
(Pemuda Siaga Pencana) untuk Senkom, pramuka, pemuda dan
tokoh masyarakat.
b. Fase Supresi
Kalau kita dapat memperediksi yang dapat menyebabkan
kecelakaan atau terjadi bencana yang dapat menimbulkan korban
masal maka kita dapat melakukan supresi. Supresi atau menekan
agar terjadi penurunan korban gawat darurat dilakukan dengan
berbagai cara :
perbaikan kontruksi jalan, peningkatan pengetahuan
peraturan lalu lintas, perbaikan kualitas “Helm” pengetatat melalui
UU lalu lintas atau peraturan ketertiban berlalu lintas, pengetatat
peraturan keselamatan kerja, peningkatan patroli keamanan atau
membebuat pemetaan daerah bencana.
c. Fase Pra Rumah Sakit
Pada fase ini keberhasilan begantung pada beberapa
komponen yaitu: akses masyarakat ke petugas terlatih atau
petugas kesehatan terlatih, atau akses petugas terlatih atau
petugas kesehatan terlatih kekorban, komunikasi dan jaringan
komunikasi yang dapat dimanfaatkan, serta ketersediaan gawat
darurat. Pada fase ini keberhasilan korban gawat darurat salah
satunya bergantung adanya akses. Akses dari masyarakat kedalam
sistem adalah yang paling penting, karena kalau masyarakat tidak
dapat minta tolong maka SPGDT yang paling baikpun tidak ada
guannya bagi korban yang memerlukan pertolongan. Mengingkat
wilayah Indonesia sangat bervariatif maka setiap provinsi atau
kabupaten/kota perlu memiliki nomor yang mudah dihapal yang
mudah dihubungan untuk minta pertolongan. Saluran informasi
yang dapat diakses bila memerlukan bantuan pertolongan gawat
darurat atau bencana dimasyarakat diantaranya: polisi, pemadam
kebakaran, dinas kesehatan, rumah sakit atau ouskesmas terdekat
yang dikoordinir oleh badan penaggulangan bencana setempat.
d. Fase Rehabilitasi
Semua korban yang cedera akibat kecelakaan maupun
bencana harus dilakukan rehabilitasi secara utuh, mencakup fisik,
mental, spiritual dan sosial. Hal ini perlu dilakukan agar dapat
berfungsi kembali di dalam kehidupan bermasyarakat. Pada fase
rehabilitasi melibatkan berbagai disiplin ilmu, dengan harapan
terjadi re-orientasi terhadap kehidupannya sesuai kondisinya saat
ini.
 Ada 3 subsistem dalam pelayanan kesehatan pada SPGDT:
1) Sistem pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem pelayanan di
Rumah Sakit dan sistem pelayanan antar Rumah Sakit. Pada
sistem pelayanan medic pra rumah sakit terdapat public safety
center atau Desa Siaga, Brigade Siaga Bencana, Pelayanan
Ambulance, Komunikasi, Ambulan dan masyarakat awam
yang belum digarap secara serius oleh pemerintah.
2) Sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dalam
pelaksanaan sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit yang
diperlukan adalah penyediaan sarana, prasarana, dan SDM
yang terlatih. Semua hal tersebut diatas harus tersedia unit
kerja yang ada di RS. Seperti di UGD, ICU, Ruang rawat inap,
laboratorium, Xray room, farmasi, klinik gizi, dan ruang
penunjang yang lainnya serta kamar mayat, dan lainnya.
3) Sistem pelayanan kesehatan antar rumah sakit. Sistem
pelayanan kesehatan antar rumah sakit harus berbentuk
jejaring rujukan yang dibuat berdasarkan kemampuan rumah
sakit dalam memberikan pelayanan, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas untuk menerima pasien.
2. Tujuan pelayanan gawat darurat
Kondisi pelayanan gawat darurat dapat terjadi dimana saja,
baik pre hospital maupun in hospital ataupun post hospital. Oleh
karena itu tujuan dari pertolongan gawat darurat dalam kaitannya
dengan rentang kegawatdaruratan dapat terbagi menjadi 3 yaitu:
a) Pre-Hospital
Dalam rentang kondisi hospital ini dapat terjadi dimana saja
serta dalam setiap waktu, maka peran serta masyarakat, awam
khusus ataupun petugas kesehatan diharapkan dapat melakukan
tindakan penanganan kondisi kegawatdaruratan yang berupa:
1) Menyingkirkan benda-benda berbahaya di tempat kejadian yang
berisiko menyebabkan jatuh korban lagi, misalnya pecahan kaca
yang menggantung atau dicurigai masih terdapat bom. Petugas
kesehatan hanya boleh memberikan pertolongan apabila kondisi
sudah aman dari risiko jatuhnya korban berikutnya.
2) Melakukan triase atau memilah dan menentukkan kondisi korban
gawat darurat serta memberikan pertolongan pertama sebelum
petugas kesehatan yang lebih ahli dating untuk membantu.
3) Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara.
4) Melakukan evakuasi, yaitu korban dipindahkan ke tempat yang
lebih aman atau dikirim ke pelayanan kesehatan yang sesuai
kondisi korban.
5) Mempersiapkan masyarakat, awam khusus dan petugas
kesehatan melalui pelatihan siaga terhadap bencana.
b) In Hospital
Pada tahap ini, tindakan menolong korban gawat darurat
dilakukan oleh petugas kesehatan. Di rumah sakit pada umumnya
ditolong oleh petugas kesehatan di dalam sebuah tim yang multi
disiplin ilmu. Tujuan pertolongan di rumah sakit adalah adalah
1) Memberikan pertolongan profesional kepada korban bencana
sesuai dengan kondisinya.
2) Memberikan bantuan hidup dasar dan hidup lanjut.
3) Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamik yang
akurat.
4) Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban setelah kembali
ke masyarakat setidaknya setara bila dibanding sebelum
bencana menimpanya.
5) Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban untuk
mengenali kondisinya dengan segala kelebihan yang dimiliki.
c) Post-Hospital
Pada kondisi post-hospital hampir semua pihak menyatakan
hampir sudah tidak ada lagi kondisi gawat darurat. Padahal, kondisi
gawat darurat ada yang terjadi justru setelah diberi pelayanan di
rumah sakit, yaitu korban perkosaan.
Karena mengalami trauma psikis yang mendalam, misalnya
merasa tidak berharga, harga diri rendah, malu dan tidak punya
harapan sehingga korban-korban perkosaan mengambil jalan
pintas dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Tujuan diberikan
pelayanan dalam rentang post-hospital adalah:
1) Mengembalikan rasa percaya diri kepada korban.
2) Mengembalikan rasa harga diri yang hilang sehingga dapat
tumbuh dan berkembang.
3) Meningkatkan kemampuan bersosialisasi kepada orang-orang
terdekat dan masyarakat yeng lebih luas.
4) Mengembalikan pada permanen sistem sebagai tempat
kehidupan nyata korban
5) Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupanya pada
masa yang akan datang
TRIAGE
A. Definisi Triage
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus
dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya
manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan
untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan
pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya. Triage adalah
usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan
prioritas penanganan dan sumber daya yang ada (Kathleen dkk, 2018).
Triage adalah suatu sistem pembagian/klasifikasi prioritas klien
berdasarkan berat ringannya kondisi klien/kegawatannya yang
memerlukan tindakan segera. Dalam triage, perawat dan dokter
mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji keadaan dan
memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.
Triase berasal dari bahasa prancis trier bahasa inggris triage dan
diturunkan dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu
proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera ataupenyakit
untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat. Kini istilah tersebut
lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep pengkajian yang
cepat dan berfokus dengan suatu cara yang memungkinkan
pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan sertafasilitas yang paling
efisien terhadap 100 juta orang yang memerlukanperawatan di UGD
setiap tahunnya. (Pusponegoro, 2010)

B. Tujuan Triage
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi yang
mengancam nyawa. Tujuan kedua adalah untuk memprioritaskan pasien
menurut ke akutannya, untuk menetapkan tingkat atau derajat
kegawatan yang memerlukan pertolongan kedaruratan. Dengan triage
tenaga kesehatan akan mampu:
1. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada
pasien
2. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan
pengobatan lanjutan 
3. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat.

C. Fungsi Triage
1. Menilai tanda-tanda dan kondisi vital dari korban.
2. menetukan kebutuhan media
3. menilai kemungkinan keselamatan terhadap korban.
4. menentukan prioritas penanganan korban.
5. memberikan pasien label warna sesuai dengan skala prioritas.

D. Proses Triage
Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat
triage harus mulai memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat
singkat dan melakukan pengkajian, misalnya melihat sekilas kearah
pasien yang berada di brankar sebelum mengarahkan ke ruang
perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan
cepat, tidak lebih dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk
pengkajian perawat utama. Perawat triage bertanggung jawab untuk
menempatkan pasien di area pengobatan yang tepat; misalnya bagian
trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor
jantung dan tekanan darah, dll. Tanpa memikirkan dimana pasien
pertama kali ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut harus
dikaji ulang oleh perawat utama sedikitnya sekali setiap 60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak
atau gawat darurat, pengkajian dilakukan setiap 15 menit / lebih bila
perlu.Setiap pengkajian ulang harus didokumentasikan dalam rekam
medis.Informasi baru dapat mengubah kategorisasi keakutan dan lokasi
pasien di area pengobatan.Misalnya kebutuhan untuk memindahkan
pasien yang awalnya berada di area pengobatan minor ke tempat tidur
bermonitor ketika pasien tampak mual atau mengalami sesak nafas,
sinkop, atau diaforesis. (Iyer, 2014).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda - tanda
objektif bahwa ia mengalami gangguan pada airway, breathing, dan
circulation, maka pasien ditangani terlebih dahulu. Pengkajian awal
hanya didasarkan atas data objektif dan data subjektif sekunder dari
pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data pengkajian
kemudian dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung dari
pasien (data primer). Alur dalam proses triase:
1. Pasien datang diterima petugas / paramedis UGD.
2. Diruang triase dilakukan anamnese dan pemeriksaan singkat dan
cepat (selintas) untuk menentukan derajat kegawatannya oleh
perawat.
3. Bila jumlah penderita/korban yang ada lebih dari 50 orang, maka
triase dapat dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD).
4. Penderita dibedakan menurut kegawatnnya dengan memberi kode
warna:
a. Segera-Immediate (merah). Pasien mengalami cedera mengancam
jiwa yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera.
Misalnya:Tension pneumothorax, distress pernafasan (RR<
30x/mnt), perdarahan internal, dsb.
b. Tunda-Delayed (kuning) Pasien memerlukan tindakan defintif tetapi
tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi
terkontrol, fraktur tertutup pada ekstrimitas dengan perdarahan
terkontrol, luka bakar <25% luas permukaan tubuh, dsb.
c. Minimal (hijau). Pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan
dan menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya :
Laserasi minor, memar dan lecet, luka bakar superfisial.
d. Expextant (hitam) Pasien mengalami cedera mematikan dan akan
meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya : Luka bakar
derajat 3 hampir diseluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb.

E. Prinsip Dan Tipe Triage


Di rumah sakit, didalam triase mengutamakan perawatan pasien
berdasarkan gejala. Perawat triase menggunakan ABCD keperawatan
seperti jalan nafas, pernapasan dan sirkulasi, serta warna kulit,
kelembaban, suhu, nadi, respirasi, tingkat kesadaran dan inspeksi visual
untuk luka dalam, deformitas kotor dan memar untuk memprioritaskan
perawatan yang diberikan kepada pasien di ruang gawat darurat.
Perawat memberikan prioritas pertama untuk pasien gangguan
jalan nafas, bernafas atau sirkulasi terganggu. Pasien-pasien ini
mungkin memiliki kesulitan bernapas atau nyeri dada karena masalah
jantung dan mereka menerima pengobatan pertama. Pasien yang
memiliki masalah yang sangat mengancam kehidupan diberikan
pengobatan langsung bahkan jika mereka diharapkan untuk mati atau
membutuhkan banyak sumber daya medis. (Bagus, 2017).
Menurut Brooker, 2018. Dalam prinsip triase diberlakukan system
prioritas, prioritas adalah penentuan/penyeleksian mana yang harus
didahulukan mengenai penanganan yang mengacu pada tingkat
ancaman jiwa yang timbul dengan seleksi pasien berdasarkan :
 Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit.
 Dapat mati dalam hitungan jam.
 Trauma ringan.
 Sudah meninggal.
Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan:
 Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
 Menilai kebutuhan medis
 Menilai kemungkinan bertahan hidup
 Menilai bantuan yang memungkinkan
 Memprioritaskan penanganan definitive
 Tag Warna

1. Prinsip Dalam Pelaksanaan Triase :


a. Triase seharusnya dilakukan segera dan tepat waktu
Kemampuan berespon dengan cepat terhadap kemungkinan penyakit
yang mengancam kehidupan atau injury adalah hal yang terpenting di
departemen kegawatdaruratan.
b. Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat
Ketetilian dan keakuratan adalah elemen yang terpenting dalam proses
interview.
c. Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian
Keselamatan dan perawatan pasien yang efektif hanya dapat
direncanakan bila terdapat informasi yang adekuat serta data yang akurat.
d. Melakukan intervensi berdasarkan keakutan dari kondisi
Tanggung jawab utama seorang perawat triase  adalah mengkaji secara
akurat seorang pasien dan menetapkan prioritas tindakan untuk pasien
tersebut. Hal tersebut termasuk intervensi terapeutik, prosedur diagnostik
dan tugas terhadap suatu tempat yang dapat diterima untuk suatu
pengobatan.
e. Tercapainya kepuasan pasien
1) Perawat triase seharusnya memenuhi semua yang ada di atas saat
menetapkan hasil secara serempak dengan pasien
2) Perawat membantu dalam menghindari keterlambatan penanganan
yang dapat menyebabkan keterpurukan status kesehatan pada
seseorang yang sakit dengan keadaan kritis.
3) Perawat memberikan dukungan emosional kepada pasien dan keluarga
atau temannya. (Making the Right Decision A Triage Curriculum, 1995:
page 2-3)
2. Tipe Triage Di Rumah Sakit
 Tipe 1 : Traffic Director or Non Nurse
a. Hampir sebagian besar berdasarkan system triage
b. Dilakukan oleh petugas yang tak berijasah
c. Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama dan seberapa
sakitnya
d. Tidak ada dokumentasi
e. Tidak menggunakan protocol
f. Perawat hanya mengidentifikasi keluhan utama dan memilih antara
status “mendesak” atau “tidak mendesak”. Tidak ada tes diagnostik
permulaan yang diintruksikan dan tidak ada evaluasi yang dilakukan
sampai tiba waktu pemeriksaan.
 Tipe 2 : Cek Triage Cepat (spot check)
a. Pengkajian cepat dengan melihat yang dilakukan perawat beregristrasi
atau dokter
b. Termasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan
utama
c. Evaluasi terbatas
d. Tujuan untuk meyakinkan bahwa pasien yang lebih serius atau cedera
mendapat perawatan pertama. 
e. Perawat mendapatkan keluhan utama bersama dengan data subjektif
dan objektif yang terbatas, dan pasien dikategorikan ke dalam salah
satu dari 3 prioritas pengobatan yaitu “gawat darurat”, “mendesak”,
atau “ditunda”. Dapat dilakukan beberapa tes diagnostik pendahuluan,
dan pasien ditempatkan di area perawatan tertentu atau di ruang
tunggu. Tidak ada evaluasi ulang yang direncanakan sampai dilakukan
pengobatan.
 Tipe 3 : Comprehensive Triage
a. Dilakukan oleh perawat dengan pendidikan yang sesuai dan
berpengalaman
b. 4 sampai 5 sistem katagori
c. Sesuai protocol
d. Sistem ini merupakan sistem yang paling maju dengan melibatkan
dokter dan perawat dalam menjalankan peran triage.Data dasar yang
diperoleh meliputi pendidikan dan kebutuhan pelayanan kesehatan
primer, keluhan utama, serta informasi subjektif dan objektif. Tes
diagnostik pendahuluan dilakukan dan pasien ditempatkan di ruang
perawatan akut atau ruang tunggu, pasien harus dikaji ulang setiap 15
sampai 60 menit (Iyer, 2014).

F. Klasifikasi Dan Penentuan Prioritas


Berdasarkan Oman (2018), pengambilan keputusan triage
didasarkan pada keluhan utama, riwayat medis, dan data objektif yang
mencakup keadaan umum pasien serta hasil pengkajian fisik yang
terfokus. Menurut Comprehensive Speciality Standard, ENA tahun 1999,
penentuan triase didasarkan pada kebutuhan fisik, tumbuh kembang dan
psikososial selain pada factor-faktor yang mempengaruhi akses
pelayanan kesehatan serta alur pasien lewat sistem pelayanan
kedaruratan.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan mencakup setiap gejala
ringan yang cenderung berulang atau meningkat keparahannya.
Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai
penanganan dan pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa
yang timbul.Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam
sistem triage adalah kondisi klien yang meliputi :
1. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan
kecacatan yang memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat
2. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi
memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan
3. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa
disebabkan oleh gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing /
pernafasan, Circulation / sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka
dapat meninggal / cacat (Wijaya, 2010).

Berdasarkan prioritas perawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :


Tabel 1. Klasifikasi Triage
KLASIFIKASI KETERANGAN
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa / adanya gangguan
ABC dan perlu tindakan segera, misalnya cardiac arrest,
penurunan kesadaran, trauma mayor dengan perdarahan
hebat
Gawat tidak darurat Keadaan mengancam nyawa tetapi tidak memerlukan
(P2) tindakan darurat. Setelah dilakukan diresusitasi maka
ditindaklanjuti oleh dokter spesialis. Misalnya ; pasien
kanker tahap lanjut, fraktur, sickle cell dan lainnya
Darurat tidak gawat Keadaan yang tidak mengancam nyawa tetapi
(P3) memerlukan tindakan darurat. Pasien sadar, tidak ada
gangguan ABC dan dapat langsung diberikan terapi
definitive. Untuk tindak lanjut dapat ke poliklinik, misalnya
laserasi, fraktur minor / tertutup, sistitis, otitis media dan
lainnya
Tidak gawat tidak Keadaan tidak mengancam nyawa dan tidak memerlukan
darurat (P4) tindakan gawat. Gejala dan tanda klinis ringan /
asimptomatis. Misalnya penyakit kulit, batuk, flu, dan
sebagainya       

PENUTUP
Kesimpulan
Kegawatdaruratan medis dapat diartikan menjadi suatu keadaan
cedera atau sakit akut yang membutuhkan intervensi segera untuk
menyelamatkan nyawa atau mencegah atau mencegah kecacatan serta rasa
sakit pada pasien. Pasien gawat darurat merupakan pasien yang
memerlukan pertolongan segera dengan tepat dan cepat untuk mencegah
terjadinya kematian atau kecacatan.
Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan
tepat serta harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama
menemukan atau mengetahui (orang awam, perawat, para medis, dokter),
baik didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat terjadi
setiap saat dan menimpa siapa saja.
Code blue addalah isyarat yang digunakan dalam rumah sakit yang
menandakan adanya seseorang yang menandakan mengalami seragan
jantung (Cardiac Arrest) gagal nafas akut (Respiratory Arrest). Code Blue
merupakan stabilisasi kondisi gawat darurat medis yang terjadi di dalam area
sakit. Kondisi darurat medis ini membutuhkan perhatian segera. Code blue
terdiri dari dokter dan paramedis untuk menangani seseorang dengan
penyakit jantung (cardiac arrest) atau respiratory arrest dan membutuhkan
resusitasi jantung dan paru segera.
Sistem pengendalian gawat darurat terpadu adalah mekanisme yang
dirancang untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat
darurat untuk mencegah kematian atau kerusakan organ sehingga
produktifitasnya dapat didipertahankan setara sebelum terjadinya bencana
atau peristiwa gawat darurat.

Saran
Kegawatdaruratan harus cepat dan tepat serta harus dilakukan segera
oleh setiap orang yang pertama menemukan atau mengetahui (orang awam,
perawat, para medis, dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit
karena kejadian ini dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa saja.

DAFTAR PUSTAKA
Institute for Clinical Systems Improvement.2011. Health Care
Protocol: Rapid Response Team. Diakses tanggal 27 April 2020

Margaretha, Caroline. 2013. Konsep Keperawatan Gawat Darurat. Diakses


pada tanggal 27 April 2020

Panduan Implementasi Kode-Kode Emergency Rumah Sakit Islam Siti


Rahmah. 2014. RSI Siti Rahmah

Saanin, S. 2012. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).


BSB Dinkes Sprovinsi Sumatera Barat

Wijaya, S. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Denpasar:


PSIK FK Unud.

Anda mungkin juga menyukai