Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Disusun Oleh :

Risma Kartika Rambu Longgu

NIM: PN.2008.64

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
WIRA HUSADA YOGYAKARTA
2021
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN
KONSEP KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Laporan Pendahuluan ini telah dibaca dan diperiksa pada

Hari/tanggal:.................................

Pembimbing Klinik Mahasiswa

(...............................................) (Risma Kartika Rambu Longgu)

Mengetahui,
Pembimbing Akademik

(...............................................)
I. KONSEP KEGAWAT DARURATAN
A. Keperawatan Gawat Darurat
Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan darurat adalah perlu
mendapatkan penanganan atau tindakan segera untuk menghilangkan
ancaman nyawa korban. Jadi, gawat darurat adalah keadaan yang mengancam
nyawa yang harus dilakukan tindakan segera untuk menghindari kecacatan
bahkan kematian korban (Hutabarat & Putra, 2016). Gawat darurat adalah
keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (UU no 44 tahun
2009). Gawat darurat adalah suatu keadaan yang terjadinya mendadak
mengakibatkan seseorang atau banyak orang memerlukan
penanganan/pertolongan segera dalam arti pertolongan secara cermat, tepat
dan cepat. Apabila tidak mendapatkan pertolongan semacam itu meka korban
akan mati atau cacat/ kehilangan anggota tubuhnya seumur hidup (Saanin,
2012).
Keadaan darurat adalah keadaan yang terjadinya mendadak, sewaktu-
waktu/ kapan saja terjadi dimana saja dan dapat menyangkut siapa saja
sebagai akibat dari suatu kecelakaan, suatu proses medis atau perjalanan suatu
penyakit (Saanin, 2012). Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikkan
pelayanan untuk mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami pasien tetapi
juga memberikan asuhan keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien dan
keluarga. Keperawatan gawat darurat adalah pelayanan professional
keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis.
Namun UGD dan klinik kedaruratan sering digunakan untuk masalah yang
tidak urgent, sehingga filosofi tentang keperawatan gawat darurat menjadi
luas, kedaruratan yaitu apapun yang dialami pasien atau keluarga harus di
pertimbangkan sebagai kedaruratan (Hati, 2011 dalam Saanin, 2012).
Sistem pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga medis
lainnya harus memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta ilmu
pengetahuan yang tinggi dalam memberikan pertolongan kedaruratan kepada
pasien (Saanin, 2012). Pasien yang tiba-tiba dalam keadaan gawat atau akan
menjadi gawat dan terancam nyawanya dan atau anggota badannya (akan
menjadi cacat) bila tidak mendapatkan pertolongan secepatnya . biasanya di
lambangkan dengan label merah. Misalnya AMI (Acut Miocard Infark).
Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan
darurat. Biasanya dilambangkan dengan label biru. Misalnya pasien dengan
Ca stadium akhir.
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba, tetapi tidak mengancam
nyawa dan anggota badannya. Biasanya di lambangkan dengan label kuning.
Misalnya, pasien Vulnus Lateratum tanpa pendarahan. Pasien yang tidak
mengalami kegawatan dan kedaruratan. Biasanya dilambangkan dengan label
hijau. Misalnya, pasien batuk, pilek.
Keperawatan gawat darurat atau emergency nursing merupakan pelayanan
keperawatan yang komprehensif diberikan kepada pasien dengan injuri akut
atau sakit yang mengancam kehidupan. Kegawatdaruratan medis dapat
diartikan menjadi suatu keadaan cedera atau sakit akut yang membutuhkan
intervensi segera untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah atau mencegah
kecacatan serta rasa sakit pada pasien. Pasien gawat darurat merupakan
pasien yang memerlukan pertolongan segera dengan tepat dan cepat untuk
mencegah terjadinya kematian atau kecacatan. Dalam penanganannya
dibutuhkan bantuan oleh penolong yang profesional. Derajat
kegawatdaruratan serta kualitas dari penanganan yang diberikan
membutuhkan keterlibatan dari berbagai tingkatan pelayanan, baik dari
penolong pertama, teknisi kesehatan kegawatdaruratan serta dokter
kegawatdaruratannya itu sendiri. Respon terhadap keadaan kegawatdaruratan
medis bergantung kuat pada situasinya. Keterlibatan pasien itu sendiri serta
ketersediaan sumber daya untuk menolong. Hal tersebut beragam tergantung
dimana peristiwa kegawatdaruratan itu terjadi, diluar atau didalam rumah
sakit (Caroline 2013).
Karakteristik keperawatan gawat darurat:
1. Tingkat kegawatan dan jumlah pasien sulit diprediksi
2. Keterbatasan waktu, data dan sarana: pengkajian, diagnosis, dan tindakan
3. Keperawatan diberikan untuk seluruh usia
4. Tindakan memerlukan kecepatan dan ketepatan tinggi
5. Saling ketergantungan yang tinggi antara profesi kesehatan
B. Prinsip Keperawatan Gawat darurat
Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat serta
harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama
menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para medis, dokter), baik
didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat terjadi setiap
saat dan menimpa siapa saja (John, 2013).
1. Bersikap tenang tapi cekatan dan berpikir sebelum bertindak (jangan
panik).
2. Sadar peran perawat dalam menghadapi korban dan wali ataupun saksi.
3. Melakukan pengkajian yang cepat dan cermat terhadap masalah yang
mengancam jiwa (henti napas, nadi tidak teraba, perdarahan hebat,
keracunan).
4. Melakukan pengkajian sistematik sebelum melakukan tindakan secara
menyeluruh. Pertahankan korban pada posisi datar atau sesuai (kecuali
jika ada ortopnea), lindungi korban dari kedinginan.
5. Jika korban sadar jelaskan apa yang terjadi, berikan bantuan untuk
menenangkan dan yakinkan akan ditolong.
6. Hindari mengangkat atau memindahkan yang tidak perlu, memindahkan
jika hanya ada kondisi yang membahayakan.
7. Jangan di beri minum jika ada trauma abdomen atau perkiraan
kemungkinan tindakan anastesi umum dalam waktu dekat.
8. Jangan dipindahkan (ditransportasi) sebelum pertolongan pertama selesai
dilakukan dan terdapat alat transportasi yang memadai.
Kondisi gawat darurat dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Gawat darurat
Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak
mendapatkan pertolongan secepatnya. Contoh: gawat nafas, gawat
jantung, kejang, koma, trauma kepala dengan penurunan kesadaran.
2. Gawat tidak darurat
Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan yang darurat contohnya: kanker stadium lanjut
3. Darurat tidak gawat
Pasien akibat musibah yang datang tibatiba tetapi tidak mengancam
nyawa atau anggota badannya contohnya: fraktur tulang tertutup.
4. Tidak gawat tidak darurat
Pasien poliklinik yang datang ke UGD
C. Kode-kode Emergency di Rumah Sakit
1. Code Red
Code Red adalah kode yang mengumumkan adanya ancaman
kebakaran di lingkungan rumah sakit (api maupun asap), sekaligus
mengaktifkan tim siaga bencana rumah sakit untuk kasus kebakaran.
Dimana tim ini terdiri dari seluruh personel rumah sakit, yang masing-
masing memiliki peran spesifik yang harus dikerjakan sesuai panduan
tanggap darurat bencana rumah sakit. Misalnya; petugas teknik segera
mematikan listrik di area kebakaran, perawat segera memobilisasi pasien
ke titik-titik evakuasi, dan sebagainya. Tatalaksananya (RACE):
a. (R) REMOVE/RESCUE/SELAMATKAN setiap orang yang berada
dalam area kebakaran sambil meneriakkan: code red ---- code red
b. (A) ALERT/ALARM/SEBARLUASKAN dengan cara menelpon
Operator selanjutnya operator menghubungi pihak yang terkait antara
lain petugas security, selajutnya beritahu kawan terdekat. Bila api
membesar telpon Dinas Pemadam Kebakaran.
c. (C) CONFINE/ CONTAIN/SEKAT bila sekitar ruangan penuh api
dan asap, bila memungkinkan tutup pintu dan jendela untuk
mencegah api menjalar.
d. (E) EXTINGUISH/PADAMKAN bila api masih memungkinkan/bila
api masih kecil. Jangan ambil resiko yang tidak perlu.
e. Bila cukup aman, matikan semua sarana seperti listrik, gas yang
kemungkinan berkaitan dengan api, tapi tetap pertimbangkan dengan
cermat bila pasien masih memerlukan.
f. Evakuasi pasien dan pengunjung ke daerah yang aman.
g. Tetap awasi pasien. Bila perlu dihitung per kepala atau absensi
berurutan.
h. Kooperatif dengan semua intruksi yang diberikan oleh Staf Senior,
Manajer on Duty (MOD), ataupun petugas pemadam kebakaran
2. Code Blue (Biru)
Code blue adalah kode yang mengumumkan adanya pasien, keluarga
pasien, pengunjung, dan karyawan yang mengalami henti jantung dan
membutuhkan tindakan resusitasi segera. Pengumuman ini utamanya
adalah untuk memanggil tim medis reaksi cepat atau tim code blue yang
bertugas pada saat tersebut, untuk segera berlari secepat mungkin menuju
ruangan yang diumumkan dan melakukan resusitasi jantung dan paru
pada pasien. Tim medis reaksi cepat (tim code blue) ini merupakan
gabungan dari perawat dan dokter yang terlatih khusus untuk penanganan
pasien henti jantung. Karena setiap shift memiliki anggota tim yang
berbeda-beda, dan bertugas pada lokasi yang berbeda-beda pula (pada
lantai yang berbeda atau bangsal/ruang rawatan yang berbeda); diperlukan
pengumuman yang dapat memanggil mereka dengan cepat.
3. Code Pink (Merah muda)
Code Pink adalah kode yang mengumumkan adanya penculikan bayi/
anak atau kehilangan bayi/ anak di lingkungan rumah sakit. Secara
universal, pengumuman ini seharusnya diikuti dengan lock down
(menutup akses keluar-masuk) rumah sakit secara serentak. Bahkan
menghubungi bandar udara, terminal, stasiun dan pelabuhan terdekat
untuk kewaspadaan terhadap bayi korban penculikan.
4. Code Black (Hitam)
Code Black adalah kode yang mengumumkan adanya ancaman orang
yang membahayakan (ancaman orang bersenjata atau tidak bersenjata
yang mengancam akan melukai seseorang atau melukai diri sendiri),
ancaman bom atau ditemukan benda yang dicurigai bom di lingkungan
rumah sakit dan ancaman lain.
5. Code Brown (Coklat)
Code Brown dalah kode yang mengumumkan pengaktifan evakuasi
pasien, pengunjung dan karyawan rumah sakit pada titik-titik yang telah
ditentukan. Pada intinya, menginisiasi tim evakuasi untuk melaksanakan
tugasnya. Terdapat tiga tahap evakuasi:
a. TAHAP 1: Pindahkan korban dari daerah bahaya, misalnya dari
ruangan ke koridor, sambil meneriakkan:”Code brown -- code
brown”untuk memberitahukan petugas lain
b. TAHAP 2 : Bersama-sama petugas lain pindahkan korban ke ruangan
yang aman pada lantai yang sama; lantai bawahbilabangunan
bertingkat
c. TAHAP 3 : Selesaikan evakuasi dari bangunan melalui koridor atau
tangga ke titik kumpul dan ikuti petunjuk dalamEmergency Plan
rumah sakit.
Pada saat evakuasi, bila diinstruksikan, evakuasikan ke area yang
dialokasikan dalam urutan sebagai berikut:
a. Pasien yang mampu bergerak sendiri
b. Pasien yang mampu bergerak dengan memerlukan bantuan
c. Pasien yang tidak mampu bergerak.

6. Code Orange (Oranye)


Code orang adalah kode yang mengumumkan adanya insiden yang terjadi
di luar rumah sakit (emergency eksternal) misalnya kecelakaan massal
lalulintas darat, laut, dan udara; ledakan, banjir, kebakaran, gempa bumi,
tsunami, dll.
7. Code Yellow (Kuning)
Code Yellow adalah kode yang mengumumkan adanya situasi krisis
internal (emergency internal) rumah sakit yang meliputi: kebocoran atau
dugaan kebocoran gas termasuk gas elpiji; kebocoran dan tumpahan
bahan kimia dan atau bahan berbahaya; kegagalan sistem vital seperti
kegagalan back-up daya listrik; boks pembagi daya listrik;seseorang
terjebak/terjerat; banjir; insiden radiasi; dan lain-lain.
D. Konsep Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu
1. Pengertian dan Fase SPGDT
Sistem pengendalian gawat darurat terpadu adalah mekanisme yang
dirancang untuk memberikan pertolongan pada korban bencana atau gawat
darurat untuk mencegah kematian atau kerusakan organ sehingga
produktifitasnya dapat didipertahankan setara sebelum terjadinya bencana
atau peristiwa gawat darurat.
Sistem penanggulangan gawat darurat (SPGDT) mengacu pada
pertolongan harus cermat, tepat, dan cepat agar korban tidak mati atau cacat
maka harus ditangani secara bersama dan terpadu, oleh berbagai komponen
penolong atau pertolongan. Ini berarti penanganan harus dilakukan multi
disiplin, multi profesi dan multi sektor meliputi:
a. Penanganan terhadap korban banyak penyelamatan jiwa
b. Dilakukan oleh penolong dan pertolongan banyak
c. Terjalin komunikasi dan koordinasi yang terkendali
d. Menyangkut transportasi korban
e. Tempat-tampat rujukan
Dalam SPGDT terdapat beberapa fase yaitu: Fase Deteksi, Fase
Subpresi, Fase Pra Rumah sakit, Fase Rumah sakit dan Fase Rehabilitasi.
Fase-fase ini dapat berjalan dengan baik bila ada ketersediaan sumber-
sumber yang memadai. Beberapa referensi ada pula yang menyebutkan
bahwa SPGDT dibagi menjadi 3 subsistem, yaitu : sistem pelayanan Pra
Rumah Sakit, sistem pelayanan di Rumah Sakit, sistem pelayanan antar
rumah sakit. Ketiga subsistem ini bersifat saling terkait didalam
pelaksanaannya. Pada pelaksanaanya bergantung kepada kebijakan Negara
yang bersangkutan.
a. Fase Deteksi
Pada fase deteksi ini dapat diprediksi beberapa hal diantaranya adalah
frekuensi kejadian, penyebab, korban, tempat rawan, kualitas kejadian
dan dampaknya. Misalnya terkait dengan kecelakaan lalu lintas, maka
dapat diprediksi : frekuensi, Kecelakaan Lalu Lintas (KLL), Buruknya
kualitas “Helm” sepeda motor yang dipakai, Jarangnya orang memakai
“Safety Belt”, tempat kejadian tersering dijalan raya yang padat atau
dijalan protocol, korban kecelakaan mengalami luka mengalami luka
diberbagai tempat atau multiple injuries. Contoh lain bila terkait
dengan bencana alam, maka dapat diprediksi : daerah rawan gempa,
frekuensi gempa, jenis bangunan yang sering hancur, kelompok
korban, dan jenis bantuan tenaga kesehatan yang paling dibutuhkan
pada korban gempa. Melatih tenaga kesehatan dan awam untuk
pengelolaan korban gawat darurat. Pelatihan dapat berbentuk BTCLS
in Disaster, PPGD-ON (Pengelolaan Pasien Gawat Darurat Obstetric
Neonatus) untuk bidan, antisipasi Serangan Jantung dan CADR
(Community action & Disaster Response ) untuk pengawal pribadi,
pasukan keamanan/ polisi, pecinta alam, guru olahraga/ senam ; atau
pelatihan Dasi pena (Pemuda Siaga Pencana) untuk Senkom, pramuka,
pemuda dan tokoh masyarakat.
b. Fase Supresi
Kalau kita dapat memperediksi yang dapat menyebabkan kecelakaan
atau terjadi bencana yang dapat menimbulkan korban masal maka kita
dapat melakukan supresi. Supresi atau menekan agar terjadi penurunan
korban gawat darurat dilakukan dengan berbagai cara : perbaikan
kontruksi jalan, peningkatan pengetahuan peraturan lalu lintas,
perbaikan kualitas “Helm” pengetatat melalui UU lalu lintas atau
peraturan ketertiban berlalu lintas, pengetatat peraturan keselamatan
kerja, peningkatan patroli keamanan atau membebuat pemetaan daerah
bencana.
c. Fase Pra Rumah Sakit
Pada fase ini keberhasilan begantung pada beberapa komponen yaitu:
akses masyarakat ke petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih,
atau akses petugas terlatih atau petugas kesehatan terlatih kekorban,
komunikasi dan jaringan komunikasi yang dapat dimanfaatkan, serta
ketersediaan gawat darurat. Pada fase ini keberhasilan korban gawat
darurat salah satunya bergantung adanya akses. Akses dari masyarakat
kedalam sistem adalah yang paling penting, karena kalau masyarakat
tidak dapat minta tolong maka SPGDT yang paling baikpun tidak ada
guannya bagi korban yang memerlukan pertolongan. Mengingkat
wilayah Indonesia sangat bervariatif maka setiap provinsi atau
kabupaten/kota perlu memiliki nomor yang mudah dihapal yang mudah
dihubungan untuk minta pertolongan. Saluran informasi yang dapat
diakses bila memerlukan bantuan pertolongan gawat darurat atau
bencana dimasyarakat diantaranya: polisi, pemadam kebakaran, dinas
kesehatan, rumah sakit atau ouskesmas terdekat yang dikoordinir oleh
badan penaggulangan bencana setempat.
Untuk perdesaan yang belum memiliki sarana komunikasi yag
belum ada komunikasi telepon, akses dapat berupa : bedug, kentongan,
asap, radio komunikasi, atau handphone.
d. Fase Rehabilitasi
Semua korban yang cedera akibat kecelakaan maupun bencana harus
dilakukan rehabilitasi secara utuh, mencakup fisik, mental, spiritual
dan sosial. Hal ini perlu dilakukan agar dapat berfungsi kembali di
dalam kehidupan bermasyarakat. Pada fase rehabilitasi melibatkan
berbagai disiplin ilmu, dengan harapan terjadi re-orientasi terhadap
kehidupannya sesuai kondisinya saat ini.
Ada 3 subsistem dalam pelayanan kesehatan pada SPGDT:
1) Sistem pelayanan Pra Rumah Sakit, sistem pelayanan di Rumah
Sakit dan sistem pelayanan antar Rumah Sakit. Pada sistem
pelayanan medic pra rumah sakit terdapat public safety center atau
Desa Siaga, Brigade Siaga Bencana, Pelayanan Ambulance,
Komunikasi, Ambulan dan masyarakat awam yang belum digarap
secara serius oleh pemerintah.
2) Sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dalam pelaksanaan
sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit yang diperlukan adalah
penyediaan sarana, prasarana, dan SDM yang terlatih. Semua hal
tersebut diatas harus tersedia unit kerja yang ada di RS. Seperti di
UGD, ICU, Ruang rawat inap, laboratorium, Xray room, farmasi,
klinik gizi, dan ruang penunjang yang lainnya serta kamar mayat,
dan lainnya.
3) Sistem pelayanan kesehatan antar rumah sakit. Sistem pelayanan
kesehatan antar rumah sakit harus berbentuk jejaring rujukan yang
dibuat berdasarkan kemampuan rumah sakit dalam memberikan
pelayanan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas untuk
menerima pasien.
2. Tujuan pelayanan gawat darurat
Kondisi pelayanan gawat darurat dapat terjadi dimana saja, baik pre
hospital maupun in hospital ataupun post hospital. Oleh karena itu tujuan
dari pertolongan gawat darurat dalam kaitannya dengan rentang
kegawatdaruratan dapat terbagi menjadi 3 yaitu:
a. Pre-Hospital
Dalam rentang kondisi hospital ini dapat terjadi dimana saja serta dalam
setiap waktu, maka peran serta masyarakat, awam khusus ataupun
petugas kesehatan diharapkan dapat melakukan tindakan penanganan
kondisi kegawatdaruratan yang berupa:
1) Menyingkirkan benda-benda berbahaya di tempat kejadian yang
berisiko menyebabkan jatuh korban lagi, misalnya pecahan kaca
yang menggantung atau dicurigai masih terdapat bom. Petugas
kesehatan hanya boleh memberikan pertolongan apabila kondisi
sudah aman dari risiko jatuhnya korban berikutnya.
2) Melakukan triase atau memilah dan menentukkan kondisi korban
gawat darurat serta memberikan pertolongan pertama sebelum
petugas kesehatan yang lebih ahli dating untuk membantu.
3) Melakukan fiksasi atau stabilisasi sementara.
4) Melakukan evakuasi, yaitu korban dipindahkan ke tempat yang lebih
aman atau dikirim ke pelayanan kesehatan yang sesuai kondisi
korban.
5) Mempersiapkan masyarakat, awam khusus dan petugas kesehatan
melalui pelatihan siaga terhadap bencana.
b. In Hospital
Pada tahap ini, tindakan menolong korban gawat darurat dilakukan oleh
petugas kesehatan. Di rumah sakit pada umumnya ditolong oleh petugas
kesehatan di dalam sebuah tim yang multi disiplin ilmu. Tujuan
pertolongan di rumah sakit adalah adalah
1) Memberikan pertolongan profesional kepada korban bencana sesuai
dengan kondisinya.
2) Memberikan bantuan hidup dasar dan hidup lanjut.
3) Melakukan stabilisasi dan mempertahankan hemodinamik yang
akurat.
4) Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban setelah kembali ke
masyarakat setidaknya setara bila dibanding sebelum bencana
menimpanya.
5) Melakukan pendidikan kesehatan dan melatih korban untuk mengenali
kondisinya dengan segala kelebihan yang dimiliki.
c. Post-Hospital
Pada kondisi post-hospital hampir semua pihak menyatakan hampir
sudah tidak ada lagi kondisi gawat darurat. Padahal, kondisi gawat
darurat ada yang terjadi justru setelah diberi pelayanan di rumah sakit,
yaitu korban perkosaan. Karena mengalami trauma psikis yang
mendalam, misalnya merasa tidak berharga, harga diri rendah, malu dan
tidak punya harapan sehingga korban-korban perkosaan mengambil
jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Tujuan diberikan
pelayanan dalam rentang post-hospital adalah:
1) Mengembalikan rasa percaya diri kepada korban.
2) Mengembalikan rasa harga diri yang hilang sehingga dapat tumbuh
dan berkembang.
3) Meningkatkan kemampuan bersosialisasi kepada orang-orang
terdekat dan masyarakat yeng lebih luas.
4) Mengembalikan pada permanen sistem sebagai tempat kehidupan
nyata korban
5) Meningkatkan persepsi terhadap realitas kehidupanya pada masa
yang akan dating

II. KONSEP DASAR ASPIRASI BENDA ASING


A. Definisi
Aspirasi benda asing adalah kejadian yang sering terjadi terutama pada
populasi anak-anak. Kejadian ini dapat membahayakan nyawa sehingga
diperlukan tindakan ekstraksi benda asing tersebut dengan segera. Aspirasi
adalah masuknya material dari dalam maupun luar tubuh pada keadaan
normal material tersebut tidak ada sehingga menimbulkan respon
obstruktif.
Benda asing di saluran napas adalah benda yang berasal dari luar atau
dari dalam tubuh yang secara fisiologis tidak ada pada saluran napas
tersebut. Benda asing yang berasal dari luar tubuh disebut benda asing
eksogen sedangkan yang berasal dari dalam tubuh disebut benda asing
endogen. Benda asing eksogen biasanya masuk melalui hidung atau
mulut, terdiri atas benda padat, cair atau gas. Benda asing eksogen padat
dapat berupa zat organik seperti kacang-kacangan dan tulang, ataupun
zat anorganik seperti paku, jarum, peniti, batu dan lainnya. Benda asing
eksogen cair dapat berupa benda cair yang bersifat iritatif, yaitu cairan
dengan pH 7.4. Benda asing endogen dapat berupa sekret kental, darah
atau bekuan darah, nanah, krusta, cairan amnion atau mekonium yang
masuk ke dalam saluran napas bayi saat persalinan (Asroel,2011).
B. Etiologi
Kejadian aspirasi benda asing pada anak balita dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti belum berkembangnya gigi geraham, mekanisme
menelan belum sempurna, jalan napas sempit, kebiasaan meletakkan
objek ke dalam mulut, dan aktivitas fisik yang aktif. Kurangnya
pengawasan orang tua juga meningkatkan risiko aspirasi benda asing. Pada
usia yang lebih muda, objek yang sering menjadi penyebab aspirasi adalah
makanan, pada anak yang lebih tua banyak disebabkan oleh benda non-
organik, seperti mainan, koin, dan kancing. Respons inflamasi berkaitan
dengan bahan objek tersebut. Logam biasanya bereaksi minimal,
sedangkan bahan lipophilic merangsang inflamasi akibat kandungan asam
lemaknya (Asroel,2011).
Pada makanan bertepung, sumbatan parsial dapat menjadi total karena
sifatnya yang menyerap air. Aspirasi benda asing berisiko terjadinya
gangguan napas, atelektasis, bronkiektasis, pneumonia berulang,
pembentukan jaringan granulasi, serta asfiksia yang mengancam nyawa.
Pada beberapa kasus, benda asing dapat tersangkut pada glotis yang
mengakibatkan gangguan napas akut, suara serak, dan stridor. Jika
objek yang tersangkut sangat kecil, dapat tidak terdeteksi hingga berminggu–
minggu. Asfiksia bisa terjadi pada awal aspirasi ataupun saat tindakan
evakuasi benda asing. Asfiksia akibat aspirasi benda asing memiliki angka
kematian hingga 45%, sedangkan 30% pasien yang selamat dapat
berkembang menjadi hipoksia ensefalopati.
C. Patofisiologi
Sebagian besar benda asing yang tertelan adalah organik (81%).
Benda asing organik, seperti kacang-kacangan, mempunyai sifat
higroskopik sehingga mudah menjadi lunak dan mengembang oleh air.
Dapat juga terjadi jaringan granulasi di sekitar benda asing sehingga gejala
sumbatan bronkus makin mengebat akibatnya timbul gejala
laringotrakeobronkitis, toksemia, batuk dan demam yang tidak terus
menerus (iregular).
Benda asing anorganik menimbulkan reaksi jaringan yang lebih
ringan dan lebih mudah didiagnosa dengan pemeriksaan radiologis
karena umumnya bersifat radioopak. Benda asing yang terbuat dari metal
tipis, seperti peniti atau jarum, dapat masuk ke dalam bronkus yang lebih
distal dengan gejala batuk spasmodik. Benda-benda asing yang lama
berada di bronkus dapat menyebabkan terjadi perubahan patologik
jaringan sehingga dapat menimbulkan komplikasi, seperti penyakit paru-paru
kronik supuratif, bronkiektasis, abses paru dan jaringan granulasi yang
menutupi benda asing.
Benda asing di bronkus biasanya terjadi pada anak di bawah usia 2
tahun. Biasanya didapatkan riwayat yang khas, yaitu pada saat benda atau
makanan di dalam mulut, sang anak tertawa atau menjerit sehingga pada saat
inspirasi laring terbuka dan makanan atau benda asing tersebut masuk ke
dalam laring. Pada saat benda asing tersebut terjepit di sfingter laring,
pasien batuk berulang-ulang (paroksismal) sehingga terjadi sumbatan pada
trakea, mengi dan sianosis. Bila benda asing telah masuk ke dalam
trakea atau bronkus, kadang-kadang terjadi fase asimtomatik selama 24 jam
atau lebih, kemudian diikuti oleh fase pulmonar, dengan gejala yang
bergantungpada derajat sumbatan bronkus. Riwayat batuk bersifat sangat
sensitif tetapi tidak spesifik untuk gejala aspirasi benda asing.
Sedangkan riwayat sianosis atau stridor sangat spesifik namun tidak
sensitif untuk aspirasi benda asing (Rusli,2011).
Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing ke dalam
saluran napas antara lain faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan,
kondisi sosial, dan tempat tinggal), kegagalan mekanisme proteksi (tidur,
kesadaran menurun, alkoholik, dan epilepsi), faktorfisik (kelainan dan
penyakit neurologik), proses menelan yang belum sempurna pada anak,
faktor gigi, medikal dan surgikal (tindakan bedah, ekstraksi gigi, dan belum
tumbuhnya gigi molar pada anak berumur <4 th), faktor kejiwaan
(emosi dan gangguan psikis), ukuran dan bentuk serta sifat benda
asing, dan faktor kecerobohan (meletakkan benda asing di mulut, persiapan
makanan yang kurang baik, makan atau minum tergesa-gesa, makan
sambil bermain pada anak-anak, dan memberikan kacang atau permen
pada anak yang gigi molarnya belum lengkap).

PATHWAY
D. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinik dari aspirasi benda asing dibagi menjadi 3 fase yaitu Fase
awal dimana gejala yang timbul langsung setelah teraspirasi benda
asing. Gejala berupa batuk, terengah-engah, tersedak, rasa tercekik,
stridor, wheezing (suara mengi) dan episode sianosis.
1. Fase asimptomatik dimana terjadi beberapa menit dan bulan tergantung
dari lokasi benda asing, derajat obstruksi jalan nafas dan reaksi
inflamasi akibat materi dari benda asing. Pada fase ini benda asing
mudah untuk berpindah tempat dan diikuti dengan perubahan gajala dan
tanda namun dapat juga tidak mempelihatkan gejala.
2. Fase komplikasi dimana gejala timbul kembali seperti batuk, sesak
nafas, sputum, demam, wheezing, hemoptisis dan disertai dengan
komplikasi.
Pada kasus 1 dan 2 terdapat gejala yang khas seperti batuk, sesak nafas
dan ditemukan suara seperti bersiul (whistling sign), lain halnya dengan
kasus ke 3 tidak ditemukan gejala khas dari aspirasi benda asing namun pada
pemeriksaan suara nafas terdapat perbedaan antara paru kanan dan kiri
(Elvie, 2014).
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik terutama pada bagian paru
2. Darah lengkap
3. Foto x-ray
4. CT –Scan
5. Bronkoskoskopi
6. Pemeriksaan analisa gas darah
F. Komplikasi
1. Atelectasis adalah gangguan perkembangan paru yang disebabkan
berkurangnya pertukaran udara perifer didalam paru.
2. Edema mukosa paru
3. Trakeitis
4. Bronchitis
5. Efusi pleura
6. Kematian
G. Penatalaksanaan
Penanganan aspirasi benda asing harus dilakukan sesegera mungin saat
terjadi gagal nafas sesuai AHA atau ERC. Pertama nilai keefektifan batuk,
bila tidak efektif maka segera nilai tingkat kesadaran anak. Pada anak yang
sadar bagi yang berusia <1 tahun dapat dilakukan 5 kali back blow diikuti
dengan 5 kali kompresi dada. Sedangkan pada anak usia >1 tahun, dapat
dilakukan maneuver Heimlich. Pada anak yang tidak sadar kriteri ERC dan
AHA berbeda, yakni pada ERC yang pertama dilakukan adalah
mengamankan jalan nafas lalu diberikan nafas 5 kali nafas bantuan dan
resusitasi jantung paru. Sedangkan menurut AHA lakukan resusitasi jantung
paru 30 kompresi dan 2 kali nafas bantuan. Evakuasi benda asing dengan
bronkoskopi merupakan pilihan utama. Bronkoskopi kaku biasanya
dilakukan dengan anestesi umum. Terdapat 2 jenis bronkoskopi yaitu
fleksibel dan rigid. Dimana tipe rigid dibagi lagi menjadi ventilating dan
venturi. Bronkoskopi fleksibel digunakan untuk ekstraksi benda asing yang
berada di jalan nafas distal dan brobkus atas karena diameternya yang kecil
dan fleksibilitas yang lebih besar dibandingkan dengan bronkoskop rigid.
Penataklasanaan dengan teknik Heimlich Manuver
Heimlich Manuever dapat dilakukan sebagai upaya penanganan darurat
untuk menolong orang yang tersedak. Dengan melakukan Heimlich
maneuver, cadangan udara di paru-paru dapat didorong keatas dengan cepat
sehingga benda asing yang menjadi pemicu seseorang tersedak dapat
dikeluarkan dan membuka kembali jalan nafasnya.
Cara melakukan Heimlich maneuver berdasarkan usia dan kondisi orang
yang tersedak :
a. Heimlich maneuver bagi anak-anak dan orang dewasa
Untuk menolong orang dewasa atau anak-anak berusia di atas 1 tahun
yang tersedak, bisa melakukan Heimlich maneuver dengan cara berikut
ini:
1) Bantu orang yang tersedak untuk berdiri.
2) Posisikan badan penolong di belakang orang tersebut. Jika yang
tersedak adalah anak-anak, berlututlah di belakangnya.
3) Letakkan salah satu kaki di depan kaki yang lain untuk menjaga
keseimbangan.
4) Bungkukkan tubuh orang yang tersedak ke depan.
5) Pukul punggungnya dengan telapak tangan sebanyak 5 kali.
6) Lingkarkan tangan di sekitar pinggang orang yang tersedak.
7) Kepalkan salah satu tangan dengan ibu jari ke dalam, letakkan
tangan yang lain di atasnya, lalu tempatkan sedikit di atas pusar
orang yang tersedak.
8) Tekan kepalan tangan ke perutnya dan sentakkan ke atas. Ulangi
gerakan ini sebanyak 10 kali atau hingga benda yang menyumbat
tenggorokan keluar dan ia dapat bernapas atau batuk-batuk.
b. Heimlich maneuver untuk ibu hamil atau penderita obesitas
Prosedur Heimlich maneuver pada ibu hamil atau penderita obesitas
hampir sama dengan orang biasa. Perbedannya hanya pada posisi
melingkarkan dan meletakkan kepala tangan. Pada orang hamil atau
obesitas, harus melingkarkan dan meletakkan kepalan tangan sedikit
lebih tinggi, yaitu di sekitar area tulang dada atau payudaranya.
c. Heimlich maneuver untuk payi
Untuk menolong bayi yang tersedak, dapat melakukan Heimlich
maneuver dengan langkah-langkah berikut ini:
1) Duduk dan topang bayi dengan lengan penolong, lalu tengkurapkan
tubuhnya pada salah satu paha.
2) Posisikan kepala bayi lebih rendah dari punggungnya.
3) Pukul punggungnya pelan-pelan dengan telapak tangan sebanyak
lima kali.
4) Jika benda asing yang menghambat jalan napas bayi tidak keluar,
posisikan bayi dalam keadaan telentang. Usahakan agar kepalanya
lebih rendah dari tubuhnya.
5) Letakkan 2 jari penolong di tengah tulang dadanya dan tekan
dengan cepat sebanyak 5 kali.
6) Ulangi pukulan di punggung dan tekanan di dada hingga benda
keluar dari tenggorokan dan bayi dapat bernapas atau batuk-batuk.

III. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian
1. Primary Survei
a. Airway
Pada kasus aspirasi hal yang paling pertama dikaji adalah jalan nafas,
dikarenakan pasti akan ditemukan sumbatan. Setelah ditemukan
sumbatan maka hal yang harus dilakukan adalah mengeluarkan benda
asing tersebut dengan cara back blow atau bisa juga dengan cara finger
swab.
b. Breathing
Menghitung repirasi pasien, melihat apakah terdapat pergerakan dinding
dada pasien, mendengar hembusan nafas pasien, merasakan hembusan
nafas pasien, melihat apakah terdapat otot bantu pernafasan pada pasien,
mengauskultasi paru untuk mendengarkan suara nafas untuk
mengindikasikan apakah terjadi aspirasi parsial atau total.
c. Circulation
Mengukur tekanan darah, Nadi, Suhu, CRT dan Sianosis
d. Disability
Memeriksa tingkat kesadaran pasien dan reaksi pupil
e. Exposure
Memeriksa apakah terdapat cidera pada seluruh tubuh pasien dari unjung
kepala sampai kaki.
2. Secondary survey
a. Alegi
Menanyakan pada pasien apakah pasien memiliki alergi obat-obatan
ataupun makanan
b. Medikasi / obat-obatan
Apakah pasien sedang menjalani pengobatan yang mengharuskan pasien
mengkonsumsi obat secara rutin
c. Pertinen medical story
Menanyakan riwayat penyakit kepada pasien
d. Last meal
Menanyakan makanan dan minuman yang terakhir dikonsumsi oleh
pasien

e. Event
Menanyakan kejadian yang menyebabkan keluhan utama
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidaefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan benda asing
dalam jalan nafas
2. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot
pernafasan
3. Resiko perfusi renal tidak efektif berhubungan dengan hipoksemia
4. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran arteri
dan atau vena
5. Resiko perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan
penurunan 02 ke otak
No. SDKI SLKI SIKI
1. Ketidaefektifan bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan
keperawatan Manajemen Jalan Nafas
Observasi :
berhubungan dengan benda asing selama 3x24 jam diharapkan masalah
1. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha
dalam jalan nafas ketidakefektifan bersihan jalan nafas dapat nafas)
2. Monitor bunyi nafas tambahan (mis: gurgling, mengi,
teratasi dengan kriteria hasil :
wheezing, ronkhi)
Bersihan Jalan Nafas Teraeutik
Indikator A T 3. Pertahankan kepatenan jalan nafas
Frekuensi nafas 3 5 4. Posisikan semi fowler
Pola nafas 3 5 5. Berikan terapi oksigen
Mengi 3 5 Edukasi
Dispnea 3 5 6. Anjurkan asupan cairan
Gelisah 3 5 Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik,
Pemantauan Respirasi
Observasi :
8. Monitor pola nafas
9. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
10. Monitor saturasi oksigen, monitor nilai AGD
11. Monitor adanya sumbatan jalan nafas

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

No. SDKI SLKI SIKI


2. Gangguan ventilasi spontan Setelah dilakukan tindakan keperawatan
Pemantauan Respirasi
Observasi :
berhubungan dengan kelelahan otot selama 3x24 jam diharapkan masalah
1. Monitor pola nafas
pernafasan gangguan ventilasi dapat teratasi dengan 2. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya nafas
3. Monitor saturasi oksigen, monitor nilai AGD
kriteria hasil :
4. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
Ventilasi spontan Terapeutik :
Indikator A T 5. Auskultasi bunyi nafas
Dispnea 3 5 6. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
Penggunaan otot bantu nafas 3 5 pasien
Gelisah 3 5 Edukasi :
PCO2 3 5 7. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Dukung ventilasi
Observasi :
8. Identifikasi adanya kelelahan otot bantu nafas
9. Monitor status respirasi dan oksigenasi
Terapeutik :
10. Pertahankan kepatenan jalan nafas
11. Berikan posisi semi fowler
12. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
Edukasi :
13. Ajarkan melakukan teknik relaksasi nafas dalam

No. SDKI SLKI SIKI


3. Resiko perfusi renal tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan
Pencegahan syok
Observasi :
berhubungan dengan hipoksemia selama 3x24 jam diharapkan masalah fungsi
1. Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan
renal tidak efektif dapat teratasi dengan kekuatan nadi, frekuensi nafas, tekanan darah)
2. Monitor status oksigenasi (oksimetri, nadi, AGD)
kriteria hasil :
3. Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor
Perfusi Renal kulit, CRT)
Indikator A T 4. Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
Jumlah urine 3 5 Terapeutik :
Kadar urea nitrogen darah 3 5 5. Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi
pasien
6. Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi
oksigen >94%
7. Pasang jalur IV, jika perlu
8. Pasang kateter urin untuk menilai produksi urin
Edukasi :
9. Anjurkan melapor jika menemukan tanda-tanda syok
10. Anjurkan memperbanyak asupan oral
Kolaborasi :
11. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu

No. SDKI SLKI SIKI


4. Perfusi perifer tidak efektif Setelah dilakukan tindakan keperawatan
Perawatan sirkulasi
Observasi :
berhubungan dengan penurunan selama 3x24 jam diharapkan masalah perfusi
1. Periksa sirkulasi perifer
aliran arteri dan atau vena perifer tidak efektif dapat teratasi dengan 2. Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi
3. Monitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak pada
kriteria hasil :
ekstremitas
Perfusi Perifer 4. Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas
Indikator A T dengan keterbatasan perfusi
Denyut nadi perifer 3 5 Edukasi :
Warna kulit pucat 3 5 5. Anjurkan olahraga rutin
Edema perifer 3 5 6. Anjurkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi
Kelemahan oto 3 5 Manajemen sensasi perifer
Akral 3 5 observasi :
7. Identifikasi penyebab perubahan sensasi
8. Periksa perbedaan sensasi panas atau dingin
9. Monitor perubahan kulit
10. Monitor adanya tromboflebitis dan tromboemboli vena

No. SDKI SLKI SIKI


5. Resiko perfusi jaringan serebral tidak Setelah dilakukan tindakan keperawatanManajemen TIK
Observasi :
efektif berhubungan dengan selama 3x24 jam diharapkan masalah perfusi
1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
penurunan 02 ke otak jaringan serebral dapat teratasi dengan 2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
3. Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
kriteria hasil :
4. Monitor status pernafasan
Perfusi Serebral 5. Monitor intake dan output cairan
Indikator A T Terapeutik :
Tingkat kesadaran 3 5 6. Berikan posisi semi fowler
Gelisah 3 5 7. Pertahankan suhu tubuh normal
Tekanan darah 3 5 Kolaborasi :
Tekanan intrakranial 3 5 8. Kolaborasi pemberian sedasi dan antikonvulsan, jika
perlu
Pemantauan Tekanan Intrakranial
Observasi :
9. Observasi penyebab peningkatan TIK
10. Monitor peningkatan tekanan darah
11. Monitor penurunan frekuensi jantung
Terapeutik :
12. Pertahankan posisi kepala dan leher netral
Daftar pustaka

Asroel, HA (2011). Ekstraksi Benda Asing di Bronkus dan Esofagus. Majalah


Kedokteran Nusantara.
Boswick, John A. (2013). Perawatan Gawat Darurat. Jakarta : EGC
Institute for Clinical Systems Improvement. 2011. Health Care Protocol: Rapid
Response TeamDiakses tanggal 17 Januari 2018
Fitri, F & Rusli P (2011). Ekstraksi Bnda Asing (Kacang tanah) di bronkus dengan
Bronkoskop Kaku. Majalah Kedokteran Andalas.
Klarisa, C & Elvie Z. (2014). Benda Asing di Tenggorokan, dalam : Kapita Selekta
Kedokteran Edisi 4, Jakarta : Media Aesculapius.
Margaretha, Caroline. 2013. Konsep Keperawatan Gawat Darurat. Diakses pada
tanggal 12 Maret 2019
Panduan Implementasi Kode-Kode Emergency Rumah Sakit Islam Siti Rahmah.
2014. RSI Siti Rahmah
Rodgriguez, J., Ladd, M., & Brandis, D. NCBI Bookshelf (2020). Abdominal
Thrust Maneuver.
Saanin, S. 2012. Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). BSB
Dinkes Sprovinsi Sumatera Barat

Anda mungkin juga menyukai