OLEH:
P07120217015
JURUSAN KEPERAWATAN
2020
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN
2. Penyebab/Faktor Predisposisi
Adanya trauma hepar tumpul yang biasa disebabkan karena kecelakaan motor,
jatuh atau pukulan. Dengan adanya kompresi yang berat hepar dapat tertekan
terhadap tulang belakang. Dan trauma hepar tumpul lebh bahaya dibandingkan
dengan trauma hepar tembus karena trauma tupul sulit terdeteksi.
Sedangkan Trauma Hepar tembus biasanya disebabkan oleh benda tajam
seperti pisau tembakan sehingga menimbulkan adanya kerusakan dan lubang pada
hepar.
Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada hepar, umumnya banyak diakibatkan
oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan, deselerasi
yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma ketika tubuh
klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma
abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
menyebabkan trauma pada organ internal di abdomen.
3. Pathway
Trauma Abdomen
Hipoksia Hipovolemia
Distensi
abdomen
Gangguan
Pertukaran Gas
4. Klasifikasi
Trauma hepar dibagi berdasarkan penyebab dan derajatnya sebagai berikut:
Gr
ad Tipe Keterangan
e
Laserasi Robekan kapsular, tanpa [erdarahan, kedalaman pada parenkim < 1 cm.
Laserasi Robekan kapsular, perdarahan aktif, kedalaman pada parenkim 1-3 cm,
panjangnya < 10 cm.
III Hematoma Subkapsular, > 50% permukaan atau meluas, ruptur subkapsular/hematom
parenkim dengan perdarahan aktif, hematom intraparenkim > 2cm.
Vaskuler Trauma vena juxtahepatik, seperti vena retrohepatik atau vena-vena hepatik
besar.
5. Gejala Klinis
Manifestasi klinis rupture hepar, yaitu:
a. Syok.
b. Iritasi peritoneum.
c. Nyeri pada epigastrium kanan.
d. Hematoma/lebam pada daerah abdomen terutama bagian kanan.
Adanya tanda-tanda syok hipovolemik, yaitu:
a. Hipotensi, takikardi,
b. Penurunan jumlah urine,
c. Tekanan vena sentral yang rendah, dan
d. Adanya distensi abdomen memberikan gambaran suatu trauma hepar.
6. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Meskipun dapat diduga sebelum operasi, trauma hepar lebih sering baru diketahui
sewaktu laparotomi eksplorasi. Dapat juga diketahui melalui pemeriksaan CT scan.
Kecurigaan dibuat berdasarkan lokasi trauma dan terdapatnya fraktur iga kanan
bawah, pneumotoraks, kontusio paru, syok haemoragik, serta ditemukannya darah
dan empedu padalavase peritoneal positif untuk darah dan empedu.
Cara diagnostik terbaik adalah berdasarkan penilaian klinis yang ditunjang
dengan pemeriksaan berulang. Laparotomi dapat menemukan perdarahan yang
tidak diketahui sebelumnya. Apabila terjadi hemobilia, terdapat trias, yaitu tanda
perdarahan saluran cerna bagian atas, ikterus, dan nyeri perut kanan atas, yang
ditemukan setelah riwayat trauma abdomen, setelah operasi, atau tindakan
manipulasi saluran empedu beberapa jam sampai beberapa minggu sebelumnya.
Tanda perdarahan berupa hematemesis atau melena sering didahului
nyeri. Perdarahan ke dalam saluran empedu nyarinya berlainan dengan perdarahan
di jalan cerna.
a. Pemeriksaan Laboratorium
Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hepar akan diikuti dengan
penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan leukositosis lebih
dari 15.000/ul, biasanya setelah ruptur hepar akibat trauma tumpul. Kadar
enzim hati yang meningkat dalam serum darah menunjukkan bahwa terdapat
cidera pada hepar, meskipun juga dapat disebabkan oleh suatu perlemakan hati
ataupun penyakit-penyakit hepar lainnya. Peningkatan serum bilirubin jarang,
dapat ditemukan pada hari ke-3 sampai hari ke-4 setelah trauma.
b. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaaan rontgen servikal lateral, toraks anteroposterior (AP), dan pelvis
adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada penderita dengan multitrauma.
X-ray toraks berguna untuk evaluasi trauma tumpul abdomen karena beberapa
alasan. Pertama, dapat mengidentifikasi adanya fraktur iga bawah. Bila hal
tersebut ditemukan, tingkat kecurigaan terjadinya cedera abdominal terutama
cedera hepar dan lien meningkat dan perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut
dengan CT scan abdomen-pelvis. Kedua, dapat membantu diagnosis cedera
diafragma. Pada keadaan ini, x-ray toraks pertama kali adalah abnormal pada
85% kasus dan diagnostik pada 27% kasus. Ketiga, dapat menemukan adanya
pneumoperitoneum yang terjadi akibat perforasi hollow viscus. Sama dengan
fraktur iga bawah, fraktur pelvis yang ditemukan pada x-ray pelvis dapat
meningkatkan kemungkinan terjadinya cedera intra-abdominal sehingga
evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan dengan CT scan abdomen-pelvis.
c. Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
Diagnostik peritoneal lavage merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan
untuk mengidentifikasi cedera intra-abdomen setelah trauma tumpul pada
pasien hipotensi atau tidak responsif tanpa indikasi yang jelas untuk eksplorasi
abdomen. Kerugiannya adalah bersifat invasif, risiko komplikasi dibandingkan
tindakan diagnostik non-invasif, tidak dapat mendeteksi cedera yang signifikan
(ruptur diafragma, hematom retroperitoneal, pankreas, renal, duodenal, dan
vesica urinaria), angka laparotomi non-terapetik yang tinggi, dan spesifitas
yang rendah. Dapat juga didapatkan positif palsu bila sumber perdarahan
adalah imbibisi dari hematom retroperitoneal atau dinding abdomen.
Pemeriksaan ini harus dilakukan oleh tim bedah yang merawat penderita
dengan hemodinamik abnormal dan menderita multitrauma, teristimewa kalau
terdapat situasi sebagai berikut :
Perubahan sensorium – cedera kepala, intoksikasi alkohol, penggunaan
obat terlarang.
Perubahan perasaan – cedera jaringan saraf tulang belakang.
Cedera pada struktur berdekatan – tulang iga bawah, panggul, tulang
belakang dari pinggang bawah (lumbar spine).
Pemeriksaan fisik yang meragukan.
Antisipasi kehilangan kontak panjang dengan pasien
d. Ultrasound diagnostik (USG)
USG telah sering digunakan dalam beberapa tahun terakhir di Amerika Serikat
untuk evaluasi pasien dengan trauma tumpul abdomen. Tujuan evaluasi USG
untuk mencari cairan intraperitoneal bebas. Hal ini dapat dilakukan secepatnya,
dan ini sama akuratnya dengan diagnostik peritoneal lavage untuk mendeteksi
hemoperitoneum. USG juga dapat mengevaluasi hati dan limpa meskipun
tujuan USG adalah untuk mencari cairan bebas di intrapreitoneal. Mesin
portabel dapat digunakan di ruangan resusitasi atau di gawat darurat pada
pasien dengan hemodinamik stabil tanpa menunda tindakan resusitasi pada
pasien tersebut. Keuntungan lain dari USG daripada diagnostik peritoneal
lavage adalah USG merupakan tindakan yang non-invasif. Tidak diperlukan
adanya tindakan lebih lanjut setelah USG dinyatakan negatif pada pasien yang
stabil. Hasil CT dari abdomen biasanya sama dengan USG bila hasilnya positif
pada pasien yang stabil. Keuntungan dan kerugian dari USG perut terdapat
dalam Kotak 20-4. Sensitivitas berkisar dari 85% sampai 99%, dan spesifisitas
dari 97% sampai 100%.
Penggunaan USG untuk evaluasi trauma tembus abdomen dilaporkan
terbatas. Baru-baru ini, sebuah studi prospektif dilakukan untuk mengevaluasi
kegunaan USG sebagai tes skrining pada trauma tembus dan pada trauma
tumpul. Penelitian ini melibatkan luka tusuk serta luka tembak. Sensitivitas
USG keseluruhan adalah 46% dan spesifisitas adalah 94%. Studi ini
menunjukkan bahwa USG pada trauma tembus tidak dapat diandalkan seperti
pada trauma tumpul. Jika USG positif, pasien harus dioperasi. Jika negatif,
pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan.
e. Computed Tomography Abdomen (CT Scan Abdomen)
Pemeriksaan CT-scan tetap merupakan pemeriksaan pilihan pada pasien
dengan trauma tumpul abdomen dan sering dianjurkan sebagai sarana
diagnostik utama. CT-scan bersifat sensitif dan spesifik pada pasien yang
dicurigai suatu trauma tumpul hepar dengan keadaan hemodinamik yang stabil.
Penanganan non operatif menjadi penanganan standar pasien trauma tumpul
abdomen dengan hemodinamik stabil. Pemeriksaan CT-scan akurat dalam
menentukan lokasi dan luas trauma hepar, menilai derajat hemoperitoneum,
memperlihatkan organ intraabdomen lain yang mungkin ikut cedera,
identifikasi komplikasi yang terjadi setelah trauma hepar yang memerlukan
penanganan segera terutama pada pasien dengan trauma hepar berat, dan
digunakan untuk monitor kesembuhan. Penggunaan CT-scan terbukti sangat
bermanfaat dalam diagnosis dan penentuan penanganan trauma hepar. Dengan
CT-scan menurunkan jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan
pergeseran dari penanganan rutin bedah menjadi penanganan non operastif dari
kasus trauma hepar.
7. Penatalaksanaan Medis
a. Penatalaksanaan Non-Operatif
Merupakan pilihan pertama pada penderita dengan hemodinamik stabil. Angka
keberhasilan yang tinggi tidak tergantung pada derajat keparahan berdasarkan
CT scan, atau derajat hemoperitoneum yang terjadi. Keuntungan dari
penatalaksanaan non-operatif adalah menghindari terjadinya laparotomi non-
terapetik beserta komplikasinya, mengurangi kebutuhan transfusi, dan
komplikasi intra-abdominal yang lebih sedikit.
CT abdomen merupakan studi yang paling sensitif dan spesifik dalam
mengidentifikasi dan menentukan derajat kerusakan hepar dan lien. Adanya
kontras yang bebas atau perdarahan yang sedang berlangsung merupakan
indikasi untuk angiografi dan embolisasi.
Penatalaksanaan non-operatif meliputi observasi tanda vital,
pemeriksaan fisik, dan nilai laboratorium yang dilakukan secara serial. Bila
salah satu memburuk, maka hal tersebut merupakan indikasi untuk intervensi
pembedahan
b. Penatalaksanaan Operatif
Tatalaksananya meliputi tiga upaya dasar, yaitu mengatasi perdarahan,
mencegah infeksi dengan debrideman jaringan hati yang avaskuler dan
penyaliran, serta rekonstruksi saluran empedu. Penghentian untuk sementara
waktu dilakukan dengan cara penekanan manual langsung daerah yang
berdarah dengan tampon, atau dengan klem vaskuler atraumatik di daerah
foramen winslow. Penutupan ligamentum hepatoduodenale di dinding foramen
winslow dengan jari atau klem vaskuler, yang disebut perasat Pringle
menyebabkan a. hepatika dan v. porta tertutup sama sekali. Jaringan hati dapat
menahan keadaan iskemia sampai 60 menit apabila dilakukan oklusi itu. Waktu
tersebut umumnya cukup untuk melakukan resusitasi dan menghentikan
perdarahan secara definitif.
Upaya kedua adalah mencegah atau mengatasi infeksi dengan
memasang penyalir ektern karena penyebab infeksi adalah kebocoran empedu
dan jaringan nekrotik. Kadang di pasang penyalir T ke dalam duktus koledokus
dengan tujuan dekompresi dan mencegah pembuntuan akibat edema.
Upaya ketiga adalah rekonstruksi saluran empedu. Karena kerusakan
empedu yang besar tidak mungkin sembuh spontan maka tempat kebocoran
harus dicar dan dilakukan rekonstruksi.
8. Komplikasi
Subjektif Objektif
1. Mengeluh nyeri 1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
Subjektif Objektif
(tidak tersedia) 1. Tekanan darah meningkat
2. Pola nafas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berpikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaforesis
Subjektif Objektif
(tidak tersedia) 1. Frekuensi nadi meningkat
2. Nadi teraba lemah
3. Tekanan darah menurun
4. Tekanan nadi menyempit
5. Turgor kulit menurun
6. Membran mukosa kering
7. Volume urin menurun
8. Hematokrit meningkat
Gejala dan Tanda Minor:
Subjektif Objektif
1. Merasa lemah 1. Pengisian vena menurun
2. Mengeluh haus 2. Status mental berubah
3. Suhu tubuh meningkat
4. Konsentrasi urin meningkat
5. Berat badan turun tiba-tiba
Subjektif Objektif
1. Dispnea 1. PCO2 meningkat/menurun
2. PO2 menurun
3. Takikardia
4. pH arteri meningkat/menurun
Subjektif
Objektif
1. Pusing 1. Siasonis
2. Pengelihatan kabur 2. Diaforesis
3. Gelisah
4. Nafas cuping hidung
5. Pola nafas abnormal
6. Warna kulit abnormal
7. Kesadaran menurun
DIAGNOSA TUJUAN DAN
INTERVENSI
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
(SIKI)
(SDKI) (SLKI)
Nyeri Akut berhubungan Manajemen Nyeri (I.08238)
Setelah dilakukan asuhan
dengan agen pencedera Observasi
keperawatan selama
fisik ditandai dengan: 1. Identifikasi lokasi,
….x…. jam maka tingkat
Gejala dan tanda mayor karakteristik, durasi,
nyeri menurun dengan
Subjektif: frekuensi, kualitas,
kriteria hasil:
1. Mengeluh nyeri intensitas nyeri
Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
Objektif:
menurun 3. Identifikasi respon nyeri
1. Tampak meringis
Ekspresi wajah non verbal
2. Bersikap protektif
meringis menurun 4. Identifikasi faktor yang
3. Gelisah
Sikap protektif memperberat dan
4. Frekuensi nadi
menurun memperingan nyeri
meningkat
Gelisah menurun 5. Identifikasi pengetahuan
5. Sulit tidur
Diaforesis menurun dan keyakinan tentang
Gejala dan tanda minor
Muntah menurun nyeri
Subjektif:
6. Identifikasi pengaruh
(tidak tersedia) Mual menurun
budaya terhadap respon
Objektif: Frekuensi nadi
respon nyeri
1. Tekanan darah membaik
7. Identifikasi pengaruh
meningkat Pola napas membaik
nyeri pada kualitas hidup
2. Pola nafas Tekanan darah
8. Monitor keberhasilan
berubah membaik
terapi komplementer
3. Nafsu makan Fungsi berkemih
yang sudah diberikan
berubah membaik
9. Monitor efek samping
4. Proses berpikir
penggunaan analgetik
terganggu
Terapeutik
5. Menarik diri
1. Berikan teknik
6. Berfokus pada
nonfarmakologis untuk
diri sendiri
mengurangi rasa nyeri
7. Diaforesis
(mis. TENS, hipnosis,
akupresur, terapi
musik,terapi pijat,
aromaterapi, teknik
imajinasi terbimbing,
3. Rencana Keperawatan
4. Implementasi
Dilakukan sesuai intervensi yang telah direncanakan.
5. Evaluasi
a. Evaluasi formatif : merefleksikan observasi perawat dan analisis terhadap
klien (terhadap respon langsung paa intervensi sikap perawat).
b. Evaluasi sumatif : merefleksikan rekapitulasi dan synopsis observasi dan
ala analisis mengenai status kesehatan klien terhadap waktu.
C. DAFTAR PUSTAKA