Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS


PATOLOGIS SISTEM INDERA: OTITIS, MASTOIDITIS,
KATARAK, DAN GLAUKOMA

Dosen Penanggung Jawab:


I Made Wedri, A.Per.Pen., S.Kep., Ns., M.Kes.

Disusun Oleh:
Nama : Anak Agung Gde Agung Mahotama Putra
NIM : P07120222007
Kelas / Jurusan : 2A / S.Tr Keperawatan
Kelompok :3

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2023/2024
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Otitis
1. Definisi
Otitis adalah suatu kondisi medis yang mengacu pada
peradangan yang terjadi pada telinga. Kondisi ini dapat mempengaruhi
berbagai bagian telinga dan ada tiga jenis utama otitis yang sering
diidentifikasi, yaitu : otitis eksterna, otitis media, dan otitis interna (Karim et
al., 2023). Otitis Eksterna Juga dikenal sebagai "swimmer's ear" karena
seringkali disebabkan oleh paparan air di dalam telinga. Ini adalah peradangan
pada saluran telinga luar. Infeksi bakteri atau jamur umumnya adalah
penyebabnya. Otitis Media adalah peradangan yang terjadi di telinga tengah,
di belakang gendang telinga. Otitis media seringkali merupakan masalah yang
terjadi pada anak-anak. Infeksi virus atau bakteri dapat menyebabkan
penumpukan cairan dalam telinga tengah, yang bisa menjadi sangat
menyakitkan. Otitis Interna peradangan yang terjadi di telinga dalam, yang
mencakup alat vestibular dalam telinga yang mengatur keseimbangan. Ini bisa
disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, atau penyakit autoimun.

2. Etiologi
Otitis eksterna didefinisikan sebagai peradangan pada bagian eksternal
telinga seperti pinna, tragus, dan membran timpani. Kondisi peradangan ini
dapat terjadi reaktif (alergi), atau infektif (virus, bakteri, atau jamur). Pada
kasus otitis eksterna, lebih dari 90% disebabkan oleh bakteri, dengan penyebab
bakteri tersering yaitu Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus.
Tetapi, dapat juga disebabkan oleh bakteri lain, virus, atau pertumbuhan jamur
dengan penyebab umum adalah Aspergillus (60-90%) dan spesies Candida
(10-40%), yang terjadi setelah penggunaan antibiotik berkepanjangan, pada
imunosupresif ataupun diabetes mellitus.
Sedangkan otitis media akut dapat disebabkan oleh virus atau bakteri.
Patogen bakteri yang paling umum menyebabkan OMA yaitu Streptococcus
pneumoniae, diikuti oleh non-typeable Haemophilus influenzae (NTHi), dan
Moraxella catarrhalis. Sementara virus yang paling umum dari OMA adalah

1
respiratory syncytial virus (RSV), coronavirus, virus influenza, adenovirus,
metapneumovirus manusia, dan picornavirus.

3. Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti
radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran
eustachius. Saat bakteri melalui eustachius mereka dapat menyebabkan infeksi
di saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran ,
tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan
bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri
mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah pada jaringan tengah.
Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran eustachius menyebabkan
lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang
telinga. Jika lendir bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena
gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan
organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan
pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun
cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga
45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa
nyeri dan paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat
merobek gendang telinga karena tekanannya.

2
4. Pathway

5. Klasifikasi
a. Stadium oklusi
Tanda adanya oklusi adalah gambaran retraksi membran timpani akibat
terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah oleh karena absorbsi
udara. Kadang membran timpani tapak normal atau berwarna keruh
pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tapi tidak dapat dideteksi. Stadium
ini sukar dibedakan dengan stadium serosa yang disebabkan oleh virus
atau alergi (Budiwan, 2009).
b. Stadium hiperemis
Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar, di membran
timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang terbentuk sukar
terlihat karena masih bersifat eksudat (Ghanie, 2010).
c. Stadium supurasi
Pada stadium ini terjadi edema yang hebat di mukosa telinga tengah
dan hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen
di cavum timpani, menyebabkan membran timpani menonjol (bulging)
ke arah liang telinga luar (Shaikh dan Hoberman, 2010).

3
d. Stadium perforasi
Karena beberapa sebab, seperti terlambatnya pemberian antibiotik atau
virulensi kuman yang tinggi, maka akan terjadi ruptur membran
timpani dan nanah mengalir keluar dari telinga tengah ke telinga luar
(Neumark, et al., 2011).
e. Stadium resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani
perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka
sekret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik
atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun
tanpa pengobatan. OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi
menetap dengan sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul
(Koksal dan Reisli, 2002).

6. Tanda dan Gejala


Gejala khas otitis eksterna akut adalah nyeri hebat di telinga (otalgia)
akibat iritasi periosteum tepat di bawah dermis tipis liang telinga, yang tidak
memiliki subkutis. Rasa sakit ini biasanya diperburuk oleh tekanan pada tragus
atau ketegangan pada pinna. Gejala lainnya adalah otorrhea (secret keluar dari
telinga), gatal, eritema dan pembengkakan pada liang telinga, yang berpotensi
menyebabkan gangguan pendengaran konduktif (Ashlihan & Kadriyan, 2020).
Sedangkan Gejala umum yang dapat dijumpai pada penderita otitis
media akut berupa demam, malaise, efusi telinga tengah, otorrhea, nyeri
telinga, perforasi membran timpani, gangguan pendengaran, telinga
berdengung, vertigo, dan nistagmus. Namun, ada gejala lain yang dapat
ditemui berdasarkan stadium yang diderita, yaitu:
a. Pertama, stadium oklusi yang ditandai dengan retraksi membran timpani
akibat adanya tekanan negatif pada telinga tengah dan membran timpani
dapat terlihat suram atau normal.
b. Kedua, stadium hiperemis, ditandai dengan kemerahan dan edema pada
membran timpani.

4
c. Ketiga, stadium supurasi, ditandai dengan sel epitel superfisial yang
hancur, ada eksudat purulen pada cavum timpani, bulging pada membran
timpani, dan disertai edema.
d. Keempat, stadium perforasi, pada stadium ini membran timpani sudah
ruptur sehingga nanah keluar ke liang telinga (Nisa, 2017).
e. Kelima, stadium resolusi memiliki tanda membran timpani yang kembali
normal, tidak ada sekret lagi, dan dapat terjadi resolusi meskipun tidak
diberikan pengobatan.
7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Dalam menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan jika diperlukan,pemeriksaan penunjang yang tepat dan akurat untuk
menghindari penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasi (Ratnasari, 2023).
a. Anamnesis
1) Gejala yang sering dijumpai pada otitis media akut (OMA) adalah
nyeri, malaise, demam dan gejala infeksi saluran pernafasan atas yang
berlangsung selama beberapa hari. Anak –anak sulit
menginterpretasikan nyeri yang mereka rasakan namun biasanya anak
nampak menarik atau memegang telinga yang sakit serta nampak
mengalami iritabilitas dan malas makan.
2) Pada orang dewasa ISPA maupun rinitis alergi musiman sering
mendahului onset OMA. Keterlibatan telinga biasanya unilateral dan
terdapat otalgia serta tuli konduksi. Nyeri memiliki derajat nyeri ringan,
sedang dan berat. Jika terdapat ruptur pada membran timpani, pasien
biasanya akan melaporkan adanya rasa lega dan penurunan rasa nyeri
secara tiba –tiba didampingi dengan sekret purulen yang keluar dari
telinga.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Otoskopi merupakan pemeriksaan yang perlu digunakan untuk menilai
kondisi dari kanalis akustikus eksterna, membran timpani dan telinga
tengah. Otoskopi digunakan dalam menilai keadaan yang berhubungan
dengan otitis media akut seperti membran timpani yang menonjol
(bulging), opak, eritematosa dan tidak bergerak.

5
2) Otoskopi pneumatik juga merupakan alat diagnostik yang dianjurkan
pada pasien dengan otitis media. Alat pemeriksaan ini dapat menilai
mobilitas dari membran timpani. Membran timpani normal akan
bergerak dengan cepat dengan penerapan sedikit tekanan positif dan
negatif. Gangguan mobilitas pada membran timpani mengindikasikan
adanya efusi telinga tengah.
3) Pemeriksaan audiometri biasanya menunjukkan adanya tuli konduksi
derajat ringan hingga sedang. Pengukuran fungsi pendengaran dengan
audiometri penting pada anak –anak sebab diketahui bahwa anak
dengan gangguan pendengaran berpotensi mengalami gangguan dalam
berbicara dan bahasa serta pada akhirnya terjadi gangguan belajar.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium biasanya
tidak diperlukan dalam menegakkan diagnosis otitis media akut. Pencitraan
juga bukan merupakan indikasi dalam menegakkan diagnosis otitis media
akut namun diperlukan jika dicurigai adanya komplikasi intratemporal
maupun intrakranial.
Timpanosentesis dapat diterapkan sebagai pemeriksaan tambahan,
modalitas ini dapat menentukan adanya cairan di telinga tengah yang
diikuti kultur cairan dari bagian tersebut untuk mengidentifikasi patogen
penyebab. Timpanosentesis dapat meningkatkan keakuratan dalam
diagnosis, memandu pengobatan dan membantu dalam mencegah
tatalaksana yang tidak perlu.

8. Penatalaksanaan Medis
a. Analgesik
Analgesik bermanfaat untuk mengatasi nyeri, demam, dan rasa tidak
nyaman akibat otitis media. Analgesik dapat sistemik, seperti ibuprofen (10
mg/kg setiap 6 jam) atau paracetamol (15 mg/kg setiap 6 jam). Analgesik
topikal dapat diberikan bila tidak terdapat perforasi timpani, berupa
suspensi telinga antipyrine / benzocaine.
b. Antibiotik

6
Antibiotik dapat diberikan secara oral maupun topikal. Pada anak di
bawah 6 bulan, antibiotik diberikan tanpa perlu melakukan penundaan
pemberian. Sedangkan untuk pasien usia di atas 6 bulan dengan otitis media
ringan-sedang, yaitu keadaan umum baik dan stabil, otalgia tidak berat, dan
demam tidak lebih dari 39 derajat Celsius, lakukan observasi selama 2‒3
hari. Jika gejala tidak membaik, baru diberikan antibiotik.
Antibiotik lini pertama adalah amoxicillin dengan dosis 75‒90 mg/kg
BB/hari. Untuk menjamin kepatuhan minum obat antibiotik maka
pemberian dosis yang lebih jarang lebih dianjurkan, seperti satu atau dua
kali dalam sehari.

B. Konsep Mastoiditis
1. Definisi
Mastoiditis adalah inflamasi atau proses peradangan dari mastoid air
cells yang berada di tulang temporal. Karena mastoid berdekatan dengan
telinga tengah, anak maupun orang dewasa dengan penyakit telinga tengah
(otitis media akut) atau otitis media supuratif kronis juga dapat menyebabkan
mastoiditis. Hal ini dikarenakan karena adanya hubungan antara telinga tengah
dan sel-sel udara mastoid. Mastoiditis dapat diklasifikasikan sebagai akut,
subkronik dan kronik (Wihelga, et al, 2023).

2. Etiologi
Timbulnya penyakit mastoiditis dapat disebabkan oleh
kebiasaan buruk tidak pernah membersihkan telinga atau membiarkan telinga
dalam kondisi kotor, masuknya bakteri ke dalam telinga ketika berenang,
membersihkan dengan cara tidak baik, menggunakan obat pembersih telinga
yang tidak sesuai dengan resep 7 dokter, bekas pembedahan pada telinga
bagian tengah, dan mendengar suara yang terlalu keras (Siregar, 2020).

3. Patofisiologi
Mastoiditis merupakan kelanjutan dari otitis media yang tidak
tertangani dengan baik. Selain itu ada faktor yang memengaruhi timbulnya
mastoiditis, yaitu faktor eksogen meliputi : berenang di air yang tergenang atau

7
kotor tanpa menggunakan alat pelindung, sering membiarkan telinga bagian
dalam apabila kemasukan air, personal hygiene yang buruk khususnya di
daerah telinga. Dengan adanya faktor tersebut kemungkinan tanda awal terjadi
peradangan akut pada cavum mastoid yang dimulai dengan adanya hiperemesis
dan eksudasi dengan supurasi, kemudian menjadi edema mukosa yang disertai
infiltrat leukosit.
Hal ini dapat mengganggu drainase pus dan akhirnya menekan
membran timpani selanjutnya timbul fibroblas, serat-serat kolagen, sehingga
terbentuk jaringan granulasi dan kolesteatum. Adanya jaringan granulasi dan
kolesteatum yang mengenai osiculae, aditus ad antrum, dan canalis nerves
facialis, maka akan menyebabkan hambatan dari penghantar gelombang suara,
sehingga pendengaran menurun serta timbul gejala seperti otore, vertigo, dan
lain-lain (Sri Harmaji, 1994).

4. Pathway

5. Klasifikasi
Mastoiditis dapat diklasifikasikan sebagai akut, sub kronik dan kronik.
Mastoiditis akut terbagi menjadi 2 yaitu mastoiditis insipient dimana
karakteristiknya pada rongga mastoid terdapat purulen sedangkan mastoiditis
koalesen adalah kelainan yang terjadi di antara sel-sel udara mastoid dimana

8
hilangnya septa tulang sehingga pada daerah yang sakit akan terbentuk abses
dan diseksi pusat

6. Tanda dan Gejala


Gambaran klinis mastoiditis meliputi : demam, otalgia, otorrhea,
peradangan postauricular (pembengkakan, kemerahan, dan nyeri tekan) dan
perpindahan daun telinga ke antero-inferior, kelainan gendang telinga, serta
tandatanda non-spesifik lainnya seperti coryza, muntah dan nafsu makan yang
buruk. Tanda-tanda lokal yang khas dari mastoiditis akut adalah nyeri
postauricular, bengkak, eritema, dan nyeri tekan (Hung Chien, 2011).
Gejala klinis dari mastoiditis meliputi peningkatan nyeri di telinga
sinkron dengan denyut di os temporalis dan occipitalis, peningkatan discharge
telinga yang purulen, tidak berbau, serta berwarna krem. Pasien juga
mengalami ketulian (Azhari dan Sri, 2018).

7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Ontoskopi
Ketika dilakukan pemeriksaan fisik menggunakan Otoskopi didapatkan
pada membran timpani ditemukan kemerahan, terdapat benjolan dan
mobilitas berkurang. namun, bisa normal pada 10% kasus mastoiditis.
sedangkan pada mastoiditis kronik membran timpani ditemukan
mengalami perforasi, edema, kemerahan serta retroaurikular yang sensitif.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan ini sampel dapat diperoleh ketika dilakukan operasi.
ketika cairan myringotomy diperoleh maka dapat dilakukan pemeriksaan
mikrobiologi yaitu kultur bakteri aerob dan anaerob, selain itu juga dapat
dilakukan pemeriksaan basil tahan asam untuk mengetahui bakteri apa
yang menginfeksi.
c. Ct-Scan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui dan menilai bagaimana
perluasan dari mastoiditis.
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

9
Pemeriksaan ini untuk mengetahui dan menilai jaringan lunak dan mastoid
serta komplikasinya

8. Penatalaksanaan Medis
a. Vancomycin, dosis 15 mg/kgBB IV setiap 6 jam
b. Ceftriaxone, dosis 50 mg/kgBB IV sehari sekali dengan dosis maksimal 2
g per hari
c. Amoxicillin–clavulanate, dosis 1,2 g IV setiap 8 jam
d. Piperacillin–tazobactam, dosis 3 kali 100 mg/kgBB IV dengan dosis
maksimal 4 gram pada komponen piperacillin
e. Ampicillin-sulbactam, dosis 50 mg/kgBB IV setiap 6 jam, dengan dosis
maksimal 2 g per pada dosis ampicillin
f. Clindamycin, dosis 3 kali 800 mg IV
g. Metronidazole, dosis 500 mg IV setiap 8 jam[20-22]

C. Konsep Katarak
1. Definisi
Katarak merupakan kelainan lensa mata yang keruh di dalam bola mata.
Katarak terjadi akibat kekeruhan pada lensa mata yang mengakibatkan
tergantungnya cahaya masuk ke dalam bola mata, sehingga penglihatan
menjadi kabur dan lama kelamaan dapat menyebabkan kebutaan (Sari,
Masriadi, dan Arman, 2018).

10
2. Etiologi

Penelitian etiopatogenesis menunjukkan bahwa faktor genetik


berperan penting dalam penyakit katarak. Selain itu bayi yang dilahirkan pada
ibu yang mengalami infeksi seperti rubella dan toksoplasmosis selama masa
kehamilan lebih cenderung didiagnosis dengan katarak kongenital. Umur juga
merupakan salah satu faktor risiko katarak yang jelas, dimana 48% dari kasus
kebutaan dunia diakibatkan oleh penyakit katarak yang diderita pada orang
yang berusia >50 tahun.

Selain itu, jenis kelamin perempuan juga merupakan salah satu


faktor risiko terjadinya katarak. Hal ini dikarenakan penurunan kadar estrogen
pada wanita pasca menopause. Kelainan metabolik seperti penyakit diabetes
melitus serta kelainan sistemik seperti hipertensi juga merupakan antara faktor
risiko terjadinya katarak (Detty, Ika, dan Vikko, 2021).

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan


perkembangan kekeruhan lensa mata, yaitu sinar ultraviolet B cahaya matahari,
efek racun dari rokok, alkohol, gizi, dan radang menahun dalam bola mata
(Sudrajat, Al-Munawir, dan Supangat, 2021).

3. Patofisiologi
Katarak dapat disebabkan oleh trauma mata, usia (penuaan), genetik,
diabetes melitus, hipertensi, merokok, dan alkohol. Trauma mata dapat
menyebabkan lensa secara bertahap kehilangan air sehingga metabolit larut air
masuk ke sel pada nukleus lensa. Korteks lensa lebih banyak terhidrasi
daripada nukleus lensa sehingga lensa keruh. Sudut bilik mata depan menjadi
sempit dan aliran chamber oculi anterior tidak lancar membuat tekanan
intraokular meningkat sehingga terjadi glaukoma dan kebutaan.
Usia (penuaan) dapat menyebabkan korteks memproduksi serat lensa
baru yang akan ditekan menuju sentral sehingga lensa melebar, hilang
transparansi, dan terjadi kekeruhan lensa. Sinar yang masuk tidak sampai ke
retina sehingga bayangan menjadi kurang jelas pada malam hari (Tamsuri,
2016).

11
Genetik dapat menyebabkan kelainan kromosom sehingga
mempengaruhi kualitas serat lensa. Serat lensa mengalami denaturasi dan
koagulasi sehingga menyebabkan kekeruhan pada lensa dan terjadi katarak.
Diabetes melitus dapat menyebabkan sorbitol menumpuk di dalam lensa dan
menyebabkan kekeruhan lensa. Kekeruhan lensa membuat sinar yang masuk
ke kornea menjadi semu. Otak 10 mempresentasikan sebagai bayangan
berkabut sehingga pandangan menjadi berkabut (Kemenkes, 2019).
Hipertensi juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan metabolisme
protein lensa. Protein lensa mengalami denaturasi dan terkoagulasi sehingga
terjadi kekeruhan lensa. Protein lensa akan terputus disertai influx air ke lensa
sehingga menghambat jalan cahaya ke retina dan pandangan menjadi kabur.
Merokok dan alkohol dapat menyebabkan sel sel lensa mengalami oksidasi
sehingga kadmium dan kalsium menumpuk pada lensa dan terjadi kekeruhan
lensa (Tamsuri, 2016).

12
4. Pathway

5. Klasifikasi
Menurut Ilyas dan Yulianti (2017) berdasarkan usia, katarak dapat
diklasifikasikan atau dibagi menjadi tiga:

13
a. Katarak kongenital
Katarak kongenital adalah katarak yang terjadi pada bayi dan anak di
bawah usia satu tahun. Katarak kongenital tanpa mendapatkan penanganan
yang tepat dapat berdampak pada terjadinya kebutaan pada bayi. Untuk
memastikan asal 11 mula katarak kongenital, riwayat prenatal, obat-obatan
yang berhubungan dengan kehamilan, dan adanya infeksi di dalam masa
kandungan harus diperiksa. Katarak kongenital pada bayi sering kali
disebabkan oleh ibu hamil yang menderita diabetes mellitus,
homosisteinuri, toksoplasmosis, galaktosemia, rubella, dan inklusi
sitomegali (Ilyas and Yulianti, 2017).
b. Katarak juvenil
Katarak juvenil adalah katarak yang biasanya dialami oleh anak yang
berusia lebih dari 3 bulan dan kurang dari 9 tahun (Ilyas and Yulianti,
2017).
c. Katarak Senil
Katarak senilis adalah katarak yang mulai berkembang setelah usia 50
tahun. Katarak senilis memiliki penyebab idiopatik (Ilyas and Yulianti,
2017).
Menurut Tamsuri (2012) berdasarkan penyebabnya katarak dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Katarak Komplikata
Penyakit lain yang menyebabkan terjadinya katarak disebut katarak
komplikata. Penyakit mata seperti ablasio retina, iskemia okular, nekrosis
segmen anterior, bulfalmos, glaukoma, keganasan intra-okular,
galaktosemia, hipoparatiroidisme, dan uveitis dapat menyebabkan
kekeruhan pada lensa mata. (Tamsuri, 2012).
b. Katarak Traumatika
Katarak traumatik adalah katarak yang disebabkan oleh cedera pada
mata, baik tumpul maupun tajam (National Eye Institute, 2023). Cedera ini
menyebabkan katarak monokular, yaitu katarak yang hanya memengaruhi
satu mata. Radiasi dari sinar X, radioaktif, dan benda asing adalah
penyebabnya (Tamsuri, 2012).

14
c. Katarak Toksika
Katarak toksika adalah katarak yang disebabkan oleh paparan bahan
kimia. Katarak toksik juga dapat disebabkan oleh penggunaan obat-obatan
seperti chlorpromazine dan kortikosteroid (Tamsuri, 2012).

6. Tanda dan Gejala


Kemenkes (2019), tanda dan gejala pada orang dengan penyakit katarak
adalah sebagai berikut :
a. Pandangan kabur seperti berkabut
b. Melihat lingkaran di sekeliling cahaya
c. Penglihatan ganda
d. Penurunan penglihatan di malam hari
e. Silau saat melihat cahaya

7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan
kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi,
penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina.
b. Lapang Penglihatan penurunan mungkin karena massa tumor, karotis,
glaukoma.
c. Pengukuran Tonografi: TIO (12-25 mmHg)
d. Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup
glaukoma.
e. Tes Provokatif menentukan adanya/ tipe glaukoma
f. Oftalmoskopi mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik,
papilledema, perdarahan.
g. Darah lengkap, LED menunjukkan anemi sistemik / infeksi
h. EKG, kolesterol serum, lipid
i. Tes toleransı glukosa kontrol DM
j. Keratometri
k. Pemeriksaan lampu slit
l. A-scan ultrasound (echography)
m. Penghitungan sel endotel penting untuk fakoemulsifikası & implantası

15
n. USG mata sebagai persiapan untuk pembedahan katarak
8. Penatalaksanaan Medis
Ada dua macam teknik yang tersedia untuk pengangkatan katarak:
a. Ekstraksi katarak ekstrakapsular
Merupakan teknik yang lebih disukai dan mencapai sampai 98%
pembedahan katarak Mikroskop digunakan untuk melihat struktur mata
selama pembedahan. Prosedur ini meliputi pengambilan kapsul anterior,
menekan keluar nucleus lentis, dan menghisap sisa fragmen kortikal lunak
menggunakan irigası dan alat hisap dengan meninggalkan kapsula
posterior dan zonula lentis tetap utuh. Selain itu ada penemuan terbaru pada
ek strası ekstrakapsuler, yaitu fakoemulsifikasi.
Cara ini memungkinkan pengambilan lensa melalui insisi yang lebih
kecil dengan menggunakan alat ultrasonic frekuensi tinggi untuk memecah
nukleus dan korteks lensa menjadi partikel yang kecil yang kemudian di
aspirası melalui alat yang sama yang juga memberikan irigası kontinus.
b. Ekstraksi katarak intrakapsuler
Merupakan pengangkatan seluruh lensa sebagai satu kesatuan. Setelah
zonuła dipisahkan lensa diangkat dengan cryoprobe, yang diletakkan
secara langsung pada kapsula lentis. Ketika cryoprobe diletakkan secara
langsung pada kapsula lentis, kapsul akan melekat pada probe. Lensa
kemudian diangkat secara lembut.
Namun, saat ini pembedahan intrakapsuler sudah jarang dilakukan.
Pengangkatan lensa memerlukan koreksi optikal karena lensa kristalina
bertanggung jawab terhadap sepertiga kekuatan fokus mata. Koreksi
optikal yang dapat dilakukan diantaranya: a) Kacamata apikal b) Lensa
kontak c) Implan Lensa Intraokuler (IOL).

D. Konsep Glaukoma
1. Definisi
Glaukoma adalah kumpulan kondisi yang terdiri dari neuropati optik
progresif kronis, dengan karakteristik gangguan pada jaringan neuroretina dan
caput nervus optikus yang mengakibatkan gangguan lapang pandang yang jika

16
tidak diobati akan mengakibatkan kebutaan yang ireversibel (American
Academy of Ophthalmology, 2023).

2. Etiologi
Penyebab glaukoma adalah peningkatan tekanan intraokular. Penyebab
adanya peningkatan tekanan intraokular adalah perubahan. anatomi sebagai
bentuk gangguan mata atau sistemik lainnya, trauma mata, dan predisposisi
faktor genetik. Glaukoma sering muncul sebagai manifestasi penyakit atau
proses patologik dari sistem tubuh lainnya. Adapun faktor resiko timbulnya
glaukoma antara lain riwayat glaukoma pada keluarga, dan diabetes melitus. (
Tamsuri, 2016. )

3. Patofisiologi
Mata dibasahi oleh suatu cairan intraokular (aqueous humor) yang diatur
oleh suatu sistem irigasi untuk menjaga fungsi normal/ kesehatan mata.
Aqueous humor secara kontinu diproduksi oleh badan siliar. Aqueous humor
mengalir melalui jaring-jaring. Tekanan intraokular (TIO) dipertahankan
dalam batas 10-21 mmHg tergantung keseimbangan antara produksi dan
pengeluaran (aliran) Aqueous Humor di bilik mata depan. Peningkatan TIO
akan menekan aliran darah ke saraf optik dan retina sehingga dapat merusak
serabut saraf optik menjadi mati.
Selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan. Hal ini menyebabkan
penurunan. lapang pandang. Tingginya tekanan intraokular bergantung pada
besarnya produksi humor aqueous dan mengalirkannya keluar. Besarnya aliran
keluar humor aqueus melalui sudut bilik mata.
Tekanan intraokular dianggap normal bila kurang dari 20 mmHg. Jika
terjadi peningkatan tekanan intraokular lebih dari 23 mmHg, diperlukan
evaluasi lebih lanjut. Secara fisiologis, tekanan intraokular yang tinggi akan
menyebabkan terhambatnya aliran darah menuju serabut saraf optik dan ke
retina. Iskemia ini akan menimbulkan kerusakan fungsi secara bertahap
(Tamsuri, 2016).

17
4. Pathway

5. Klasifikasi
a. Glaukoma primer sudut tertutup (GPSTp)
Glaukoma primer sudut tertutup (GPSTp) adalah suatu kelainan
anatomis dimana terjadi penutupan (oklusi) anatomis sudut iridokornealis
(yang normal tetapi sempit) oleh iris perifer. Aposisi dapat terjadi antara

18
iris perifer dengan jaringan trabekular atau dengan kornea perifer, dapat
bersifat reversibel atau permanen karena adanya sinekia. Iris perifer dapat
tertarik ke depan (mekanisme anterior) atau terdorong ke depan
(mekanisme posterior).
Beberapa faktor yang dapat menjadi faktor risiko GPSTp diantaranya
adalah bilik mata depan dangkal, sudut iridokornealis sempit dan
bertambahnya usia. Mekanisme terjadinya GPSTp yang paling sering
adalah adanya hambatan aliran cairan akuos dari bilik mata belakang ke
bilik mata depan yang disebut sebagai blok pupil.
b. Glaukoma Primer Sudut Terbuka (GPSTa)
Primary Open Angle Glaucoma memiliki onset bertahap, progresif
lambat, dan tidak terasa nyeri. Penyakit ini umumnya bilateral tetapi dapat
asimetris. Terjadi kerusakan sel ganglion retina dan penyempitan lapang
pandang dari perifer hingga sentral pada stadium akhir penyakit.
Asimptomatik hingga tajam penglihatan sentral berpengaruh pada tahap
lanjut.

6. Tanda dan Gejala


Menurut National Eye Institute (NEI) tanda dan gejala glaukoma adalah:
a. Penglihatan terganggu Glaukoma
Seringkali mempengaruhi penglihatan perifer (sisi) terlebih dahulu.
Seiring waktu, area pandang yang hilang dapat memperluas dan
menyebabkan penglihatan kabur atau terganggu.
b. Penglihatan tunnel (terowongan)
Pada tahap lanjut, penglihatan penderita glaukoma dapat berkurang
menjadi seperti melihat melalui terowongan atau tabung. Area pandang
tengah menjadi semakin sempit.
c. Gangguan penglihatan dalam kondisi pencahayaan rendah
d. Orang yang menderita glaukoma mungkin mengalami kesulitan melihat
dengan jelas dalam kondisi pencahayaan yang redup atau gelap.
e. Mata merah Pada beberapa kasus, glaukoma dapat menyebabkan mata
menjadi merah, terasa nyeri, atau muncul mata kabur yang tidak hilang.

19
f. Mual atau muntah Glaukoma sudut tertutup akut, di mana tekanan
intraokular meningkat secara tiba-tiba, dapat menyebabkan mual atau
muntah, sakit kepala, dan ketidaknyamanan yang intens.
7. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Pemeriksaan tajam penglihatan
1) Tonometri
Tonometri diperlukan untuk mengukur tekanan bola mata. Dikenal
empat cara tonometri, untuk mengetahui tekanan intra ocular yaitu:
a) Palpasi atau digital dengan jari telunjuk
b) Indentasi dengan tonometer schiotz
c) Aplanasi dengan tonometer aplanasi goldmann
d) Tonometer pneun non kontak
Tonometri Palpasi atau Digital Cara ini adalah yang paling mudah,
tetapi juga yang paling tidak cermat, sebab cara mengukurnya dengan
perasaan jari telunjuk. Dapat digunakan dalam keadaan terpaksa dan
tidak ada alat lain. Caranya adalah dengan dua jari telunjuk diletakan
diatas bola mata sambil penderita disuruh melihat kebawah. Mata tidak
boleh ditutup, sebab menutup mata mengakibatkan tarsus kelopak mata
yang keras pindah ke depan bola mata, hingga apa yang kita palpasi
adalah tarsus dan imi selalu memberi kesan perasaan keras. Dilakukan
dengan palpasi dimana satu jari menahan, jari lainnya menekan secara
bergantian. Tinggi rendahnya tekanan dicatat sebagai berikut:
a) N : Biasa 14
b) T+1 : Cukup tinggi
c) T+2 : Untuk tekanan yang lebih tinggi
d) N-1 ; Lebih rendah dari normal
e) N-2 : Turunkan.
2) Gonioskopi
Gonioskopi adalah suatu cara untuk memeriksa sudut bilik mata
depan dengan menggunakan lensa kontak khusus. Dalam hal glaukoma
gonioskopi diperlukan untuk menilai lebar sempitnya sudut bilik mata
depan.

20
3) Oftalmoskopi
Pemeriksaan fundus mata, khususnya untuk mempertahankan
keadaan papil saraf optik, sangat penting dalam pengelolaan glaukoma
yang kronik. Papil saraf optik yang dinilai adalah warna papil saraf
optik dan lebarnya ekskavasi. Apakah suatu pengobatan berhasil atau
tidak dapat dilihat dari ekskavasi yang luasnya tetap atau terus melebar.
b. Pemeriksaan lapang pandang
1) Pemeriksaan lapang pandang perifer lebih berarti kalau glaukoma
sudah lebih lanjut. karena dalam tahap lanjut kerusakan lapang pandang
akan ditemukan di daerah tepi, yang kemudian meluas ke tengah.
2) Pemeriksaan lapang pandang sentral mempergunakan tabir Bjerrum,
yang meliputi daerah luas 30 derajat. Kerusakan kerusakan dini lapang
pandang ditemukan para sentral yang dinamakan skotoma.
8. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan dilakukan dengan prinsip untuk menurunkan TIO, membuka
sudut yang tertutup (pada glaukoma sudut tertutup), melakukan tindakan
suportif (mengurangi nyeri, mual, muntah, serta mengurangi radang),
mencegah adanya sudut tertutup ulang serta mencegah gangguan pada mata
yang baik (sebelahnya).
Upaya menurunkan TIO dilakukan dengan memberikan cairan
hiperosmotik seperti gliserin per oral atau dengan menggunakan manitol 20%
intravena. Humor aqueus ditekan dengan memberikan karbonik anhidrase
seperti acetazolamide (Acetazolam, Diamox). Dorzolamide (TruShop),
methazolamide (Nepthazane). Penurunan humor aqueus dapat juga dilakukan
dengan memberikan agens penyekat beta adrenergik seperti latanoprost
(Xalatan), timolol (Timopie), atau levobunolol (Begatan). Untuk melancarkan
aliran humor aqueus, dilakukan konstriksi pupil dengan miotikum seperti
pilocarpine hydrochloride 2-4 setiap 3-6 jam. Miotikum ini menyebabkan
pandangan kabur setelah 1-2 jam penggunaan, Pemberian miotikum dilakukan
apabila telah terdapat tanda-tanda penurunan TIO.
Penanganan nyeri, mual, muntah, dan peradangan dilakukan dengan
memberikan analgesik seperti pethidine (Demerol), anti muntah atau

21
kostikosteroid untuk reaksi radang. Jika tindakan di atas tidak berhasil, lakukan
operasi untuk membuka saluran schlemm sehingga cairan yang banyak
diproduksi dapat keluar dengan mudah. Tindakan pembedahan dapat dilakukan
seperti trabekulektomi dan laser trabekuloplasti. Bila tindakan ini gagal, dapat
dilakukan siklokrioterapi (Pemasangan selaput beku).

E. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian adalah tahap pertama dalam proses keperawatan. Pengkajian
mencakup proses mengumpulkan, mengorganisasikan, memvalidasi, dan
mendokumentasikan data terkait status kesehatan pasien (Berman, Snyder, dan
Frandsen, 2016). Data dibedakan menjadi dua yaitu data objektif dan data
subjektif. Perawat dapat mengumpulkan data secara langsung ke pasien
melalui kegiatan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
diagnostik/penunjang, atau didapat dari rekam medis pasien. Pengkajian harus
dilakukan secara komprehensif yang meliputi aspek biologis, psikologis, sosial
dan spiritual (Hidayah, 2019). Berikut adalah pengkajian yang dapat dilakukan
pada pasien dewasa dengan Otitis:
a. Identitas Pasien
Identitas pasien berisi informasi terkait nama pasien, umur, tempat dan
tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, alamat, agama, pendidikan,
pekerjaan, no. RM, dan tanggal masuk rumah sakit (MRS).
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama merupakan keluhan yang dirasakan dan
disampaikan pasien yang membuatnya datang ke rumah sakit, atau
alasan pasien tersebut datang ke rumah sakit.
2) Keluhan saat dikaji
Keluhan saat dikaji merupakan keluhan yang dirasakan dan
disampaikan pasien saat perawat melakukan pengkajian kepada pasien
di rumah sakit.
3) Diagnosis medis saat ini

22
Diagnosis medis merupakan penyakit atau diagnosis yang
ditegakkan oleh dokter kepada pasien.
4) Riwayat penyakit saat ini
Riwayat penyakit saat ini berisi informasi yang disampaikan pasien
tentang penyakit atau keluhan yang dialaminya saat ini. Seperti dari
kapan pasien mengalami keluhan yang dirasakan saat ini, usaha yang
dilakukan untuk mengatasi keluhan tersebut, bagaimana penyakit
tersebut mempengaruhi kehidupan pasien, dan bagaimana perjalanan
penyakit pasien dari sebelum dibawa ke rumah sakit sampai dengan
saat pengkajian.
5) Riwayat penyakit terdahulu
Riwayat penyakit terdahulu berisi informasi yang disampaikan
pasien tentang penyakit atau keluhan lain yang pernah dialami
sebelumnya. Seperti riwayat MRS sebelumnya, riwayat dioperasi,
riwayat kelainan bawaan, riwayat alergi, dan riwayat penyakit
keluarga.
c. Prosedur Invasif Saat Ini
Prosedur invasif saat ini berisi informasi tentang prosedur invasif apa
saja yang sedang terpasang saat pengkajian dilakukan dan dijelaskan waktu
dan lokasi pemasangan. Prosedur invasif dapat meliputi infus intravena,
dower catheter, tracheostomy, central line (Central Venous Pressure),
selang Nasogastric Tube, dan lain-lain.
d. Kontrol Risiko Infeksi
Berisi informasi tentang status infeksi pasien (apakah tidak diketahui,
suspect, atau diketahui dan sebutkan) dan kewaspadaan tambahan yang
harus dilakukan (apakah droplet, airborn, atau kontak).
e. Keadaan Umum
Berisi informasi tentang kesadaran pasien (compos mentis, apatis,
delirium, somnolen, sopor, soporkoma, atau koma) dan tanda-tanda vital
(suhu, nadi, tekanan darah, dan napas).
f. Penilaian Nyeri

23
Berisi informasi tentang penilaian nyeri yang dialami pasien. Metode
penilaian yang umum digunakan adalah dengan mengkaji PQRST, yaitu:
1) Provoking factors, hal yang dapat memicu nyeri, memperberat nyeri,
dan mengurangi nyeri.
2) Quality, gambaran kualitas nyeri yang dirasakan pasien. Seperti
tertusuk-tusuk, tumpul, tajam, dll.
3) Radiation/Region, lokasi atau rentang area nyeri dan penyebaran nyeri.
4) Severity, keparahan nyeri berdasarkan skala nyeri dari 1-10 yang
dirasakan oleh pasien. Penilaian skala nyeri untuk pasien sadar dapat
menggunakan skala Wong Backer Scale (WBS) dan Numeric Rating
Scale (NRS). Sedangkan untuk pasien tidak sadar, penilaian skala nyeri
menggunakan skala Behavior Pain Scale (BPS).
5) Time, waktu munculnya nyeri, durasi/lama nyeri, waktu hilangnya
nyeri.
g. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik berisi informasi tentang kondisi fisik pasien dari
kepala sampai kaki (head to toe), apakah normal atau terdapat kelainan.
1) Kepala
Informasi yang dikaji pada kepala seperti apakah normosefali,
mikrosefali, atau hidrosefali, warna rambut pasien, dan kelainan pada
rambut seperti rontok.
2) Mata
Informasi yang dikaji pada mata seperti warna konjungtiva (merah
muda atau pucat), sklera (normal, ikterus, atau yang lainnya),
penglihatan (normal atau menggunakan kacamata), pupil (isokor,
anisokor, midriasis, atau katarak), dan kebutaan (tidak atau iya, dan
jelaskan).
3) Leher
Informasi yang dikaji pada leher yaitu bentuk leher (normal atau ada
kelainan, dan jelaskan).
4) Hidung

24
Informasi yang dikaji pada hidung seperti, penghidu (normal atau ada
gangguan, seperti sekret, darah, atau polip) dan tarikan cuping hidung
(ada atau tidak).
5) Telinga
Informasi yang dikaji pada telinga yaitu pendengaran (normal atau ada
kerusakan seperti tuli kanan/kiri, tinnitus, alat bantu dengar, atau yang
lainnya).
6) Mulut dan gigi
Informasi yang dikaji pada mulut dan gigi seperti, bibir (lembab,
kering, sianosis, atau pecah-pecah), mulut dan tenggorokan (normal,
ada lesi, atau stomatitis) dan gigi (apakah penuh/normal, ompong, atau
yang lainnya).
7) Dada
Informasi yang dikaji pada dada seperti, bentuk dada (simetris atau ada
kelainan), irama nafas (reguler atau ireguler), suara nafas (normal atau
ada wheezing dll), batuk (iya/tidak), retraksi dinding dada (iya/tidak),
dan sekret (iya/tidak, warna, dan jumlah).
8) Abdomen
Informasi yang dikaji pada abdomen seperti, kembung (iya/tidak),
bising usus (normal/abnormal dan jelaskan), dan ascites (iya/tidak).
9) Kulit
Informasi yang dikaji pada kulit seperti, warna (normal, ikterus, atau
sianosis), membran mukosa (lembab, kering atau stomatitis),
hematoma (iya/tidak), luka (tidak/iya dan jelaskan), dan masalah
integritas kulit (tidak/iya dan jelaskan).
10) Ekstremitas
Informasi yang dikaji pada ekstremitas seperti, akral (hangat atau
dingin), pergerakan (aktif atau pasif), kekuatan otot (kuat atau lemah),
capillary refill time atau CRT (< 3 detik atau > 3 detik),
hemiplegi/parese (tidak atau iya dan jelaskan), edema (tidak/iya dan
jelaskan), dan kelainan (tidak/iya dan jelaskan).
11) Anus dan genitalia

25
Informasi yang dikaji pada anus dan genitalia yaitu ada kelainan atau
masalah (tidak/iya dan jelaskan).
h. Data Biologis
Data biologis berisi informasi tentang pernapasan, makan dan minum,
eliminasi, istirahat tidur, dan mobilisasi.
1) Pernapasan
Kesulitan bernafas : ( )Tidak, ( )Ya : memakai O2 ______ lt/menit
dengan : ( )Nasal cannula, ( )Sungkup, ( )Masker
2) Makan dan minum
Nafsu makan : ( )Baik, ( )Tidak, Jenis Makanan : ( )Bubur, ( )Nasi,
Frekuensi____________/hari
Kesulitan makan : ( )Tidak, ( )Ya, Kebiasan makan : ( ) Mandiri, ( )
Dibantu, ( )Ketergantungan
Menggunakan NGT : ( )Tidak, ( ) Ya
Keluhan : Mual : ( )Tidak, ( )Ya Muntah : ( )Tidak, ( )Ya :
Warna/Volume ________/________ml
Makanan pantangan:
Makanan yang disukai:
Makanan yang tidak disukai:
3) Eliminasi
Bak : ( )Normal, ( )Tidak,
Masalah perkemihan : ( )Tidak ada, ( )Ada : ( )Retensi urine, ( )
Inkontinensia urine, ( )Dialysis
Warna urine : ( )Kuning jernih, ( )Keruh, ( )Kemerahan, Frekuensi :
________________/hari
Bab : ( )Normal, ( )Tidak,
Masalah defekasi : ( )Tidak ada, ( )Ada : ( )Stoma, ( )Atresia ani, ( )
Konstipasi, ( )Diare
Warna feses : ( )Kuning, ( )Kecoklatan, ( )Kehitaman, Perdarahan : ( )
Tidak, ( )Ya, Frekuensi : ____/hari
4) Istirahat tidur
Lama tidur _____ jam/hari Kesulitan Tidur : ( )Tidak, ( )Ya

26
Tidur siang : ( )Tidak, ( )Ya
Kebiasaan pengantar tidur:
Kebiasaan saat tidur:
5) Mobilisasi
( )Normal/mandiri, ( )Dibantu, ( )Menggunakan kursi roda,
Lain-lain_______________________________________
Kegiatan di waktu luang:
i. Data Psikologis
Data psikologis berisi informasi tentang kondisi psikologis pasien,
seperti masalah perkawinan, keluarga, trauma dalam kehidupan, hal yang
dipikirkan saat ini, harapan setelah perawatan, suasana hati, bicara, dan
lain-lain.
j. Data Sosial, Ekonomi, dan Spiritual
Data sosial, ekonomi, dan spiritual berisi informasi tentang kondisi
sosial, ekonomi, dan spiritual pasien, seperti tinggal bersama keluarga
kandung, pekerjaan, pembiayaan kesehatan, kegiatan ibadah, dan
keperluan rohaniawan.
k. Asesmen Fungsional (Barthel Index)
Pengkajian fungsional barthel index bertujuan untuk menilai tingkat
kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari,
seperti seperti, membersihkan diri, makan, berpindah dari tempat tidur,
berjalan, berpakaian, naik turun tangga, mandi, mengontrol BAB, BAK,
dan menggunakan toilet. Berikut adalah tingkat kemandirian menurut
barthel index: Mandiri (20), Ketergantungan Ringan (12-19),
Ketergantungan Sedang (9-11), Ketergantungan Berat (5-8),
Ketergantungan Total (0-4)
l. Pengkajian Risiko Jatuh
Pengkajian risiko jatuh skala morse bertujuan untuk menilai tingkat
risiko jatuh pasien. Pada pasien dewasa, pengkajian risiko jatuh
menggunakan skala morse dengan menilai indikator usia, defisit sensoris,
aktivitas, riwayat jatuh, kognisi, pengobatan dan
penggunaan alat kesehatan, mobilitas, pola BAB/BAK,

27
dan komorbiditas. Skor risiko jatuh menggunakan
Skala Morse yaitu Rendah 0-7, Tinggi 8-13, Sangat
Tinggi ≥ 14.
m. Skrining Nutrisi
Skrining nutrisi merupakan alat untuk menilai risiko pasien mengalami
malnutrisi menggunakan Malnutrisi Screening Tools (MST). Hal yang
dinilai yaitu penurunan berat badan dan penurunan nafsu makan yang
dialami pasien. Nilai MST yaitu: Risiko Rendah (MST = 0-1), Risiko
Sedang (MST = 2-3), dan Risiko Tinggi (MST = 4-5).
n. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Berisi hasil pemeriksaan diagnostik atau penunjang yang dilakukan
pada pasien. Pemeriksaan diagnostik atau pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan pada pasien mengalami otitis adalah otoskopi, otoskop
pneumatik, timpanosentesis, dan lain-lain.

2. Diagnosis Keperawatan
a. Analisis Data
Dalam diagnosis keperawatan terdapat analisis data yang dilakukan
untuk mengetahui masalah keperawatan yang muncul. Analisis data terdiri
atas:
1) Data Fokus
Di dalam data fokus terdapat data subjektif dan data objektif. Data
subjektif merupakan data yang dikeluhkan/disampaikan oleh pasien.
Sementara, data objektif adalah data yang didapatkan berdasarkan
pengukuran dan observasi oleh perawat.
2) Analisis
Menganalisis data fokus yang sudah didapatkan. Proses analisis dapat
berbentuk pohon masalah. Dari analisis data perawat akan dihasilkan
masalah keperawatan yang dialami pasien.
3) Masalah
Masalah merupakan masalah keperawatan yang akan ditangani selama
proses keperawatan berlangsung.

28
Berikut adalah contoh tabel analisis data:
Tabel Analisis Data
Data Fokus Analisis Masalah
Subjektif Nyeri Akut (D.0077)
1)
Objektif
1)
b. Diagnosis
Menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) diagnosis keperawatan
merupakan penilaian klinis respon pasien terhadap masalah kesehatan
maupun proses kehidupannya yang bertujuan mengidentifikasi individu,
keluarga, dan komunitas terhadap keadaan yang erat kaitannya dengan
masalah kesehatan. Diagnosis keperawatan memiliki dua komponen utama
yaitu masalah (problem) yang merupakan label diagnosis keperawatan
yang menggambarkan inti dari respons klien terhadap kondisi kesehatan
atau proses kehidupannya dan indikator diagnostik yang terdiri atas
penyebab (etiology), tanda (sign) atau gejala (symptom) dan faktor risiko.
Diagnosis keperawatan yang umum muncul pada pasien dengan
gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas patologis sistem indera (otitis)
yaitu:
“Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054) berhubungan dengan b.d. nyeri,
keengganan melakukan pergerakan, dan gangguan sensoripersepsi
dibuktikan dengan d.d. mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas,
kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun, nyeri saat
bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa cemas saat bergerak,
sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan fisik lemah.”

3. Rencana Keperawatan

Tujuan
Diagnosis dan Intervensi
N
Keperawatan Kriteria Keperawatan Rasional
O
(SDKI) Hasil (SIKI)
(SLKI)

29
1 Gangguan Setelah Dukungan Dukungan Ambulasi
Mobilitas dilakukan Ambulasi (I.06171)
Fisik intervensi (I.06171)
(D.0054) keperawata Tindakan
n selama Tindakan Observasi
…x… Observasi 1. Nyeri dapat
maka 1. Identifikasi mempengaruhi
diharapkan adanya nyeri kemampuan pasien
mobilitas atau keluhan dalam melakukan
fisik fisik lainnya ambulasi.
meningkat 2. Identifikasi 2. Memastikan pasien
(L.05042) toleransi fisik tidak terdorong
dengan melakukan melampaui kemampuan
kriteria ambulasi fisik mereka,
hasil: 3. Monitor mengurangi risiko
1. Pergerak frekuensi cedera, dan memastikan
an jantung dan proses ambulasi yang
ekstremi tekanan darah aman.
tas sebelum 3. Memastikan bahwa
sedang memulai kondisi pasien stabil
2. Kekuata ambulasi sebelum melakukan
n otot 4. Monitor kondisi aktivitas fisik, sehingga
sedang umum selama mengurangi
3. Rentang melakukan kemungkinan terjadinya
gerak ambulasi pingsan atau komplikasi
(ROM) Terapeutik lain nya selama
sedang 1. Fasilitasi ambulasi.
4. Nyeri aktivitas 4. Mengamati tanda-tanda
menurun ambulasi dengan kesulitan, kelelahan,
5. Gerakan alat bantu (mis: atau masalah lain yang
terbatas tongkat, kruk) mungkin timbul selama
sedang 2. Fasilitasi aktivitas fisik yang
6. Kelema melakukan merugikan selama
han fisik mobilisasi fisik, proses ambulasi.
menurun jika perlu Terapeutik
3. Libatkan 1. Membantu pasien yang
keluarga untuk mungkin mengalami
membantu kelemahan, gangguan
pasien dalam keseimbangan, atau
meningkatkan memiliki kondisi fisik
ambulasi tertentu dalam

30
Edukasi melakukan ambulasi.
1. Jelaskan tujuan 2. Untuk mencegah
dan prosedur kelemahan otot,
ambulasi memperbaiki
2. Anjurkan keseimbangan, dan
melakukan mempertahankan fungsi
ambulasi dini tubuh.
3. Ajarkan 3. Melibatkan keluarga
ambulasi dapat memberikan
sederhana yang dukungan sosial.
harus dilakukan Edukasi
(mis: berjalan 1. Agar pasien dapat
dari tempat tidur memahami apa yang
ke kursi roda, akan dilakukan
berjalan dari sehingga dapat lebih
tempat tidur ke kooperatif
kamar mandi, 2. Merangsang aktivitas
berjalan sesuai fisik sesegera mungkin
toleransi) mengurangi risiko
komplikasi akibat
Dukungan imobilisasi
Mobilisasi 3. Meningkatkan
(I.05173) keterampilan dan
kemandirian pasien
Tindakan dalam melakukan
Observasi ambulasi
1. Identifikasi
adanya nyeri Dukungan Mobilisasi
atau keluhan (I.05173)
fisik lainnya
2. Identifikasi Tindakan
toleransi fisik Observasi
melakukan 1. Nyeri dapat
pergerakan mempengaruhi
3. Monitor kemampuan pasien
frekuensi dalam melakukan
jantung dan mobilisasi.
tekanan darah 2. Memastikan pasien
sebelum tidak terdorong
memulai melampaui kemampuan
mobilisasi fisik mereka,

31
4. Monitor kondisi mengurangi risiko
umum selama cedera, dan memastikan
melakukan proses mobilisasi yang
mobilisasi aman.
Terapeutik 3. Memastikan bahwa
1. Fasilitasi kondisi pasien stabil
aktivitas sebelum melakukan
mobilisasi aktivitas fisik, sehingga
dengan alat mengurangi
bantu (mis: kemungkinan terjadinya
pagar tempat pingsan atau komplikasi
tidur) lainnnya selama
2. Fasilitasi mobilisasi.
melakukan 4. Mengamati tanda-tanda
pergerakan, jika kesulitan, kelelahan,
perlu atau masalah lain yang
3. Libatkan mungkin timbul selama
keluarga untuk aktivitas fisik yang
membantu merugikan selama
pasien dalam proses mobilisasi.
meningkatkan Terapeutik
pergerakan 1. Membantu pasien yang
Edukasi mungkin mengalami
1. Jelaskan tujuan kelemahan, gangguan
dan prosedur keseimbangan, atau
mobilisasi memiliki kondisi fisik
2. Anjurkan tertentu dalam
melakukan melakukan mobilisasi.
mobilisasi dini 2. Untuk mencegah
3. Ajarkan kelemahan otot,
mobilisasi memperbaiki
sederhana yang keseimbangan, dan
harus dilakukan mempertahankan fungsi
(mis: duduk di tubuh.
tempat tidur, 3. Melibatkan keluarga
duduk di sisi dapat memberikan
tempat tidur, dukungan sosial.
pindah dari Edukasi
tempat tidur ke 1. Agar pasien dapat
kursi) memahami apa yang
akan dilakukan

32
sehingga dapat lebih
kooperatif
2. Merangsang aktivitas
fisik sesegera mungkin
mengurangi risiko
komplikasi akibat
imobilisasi
3. Meningkatkan
keterampilan dan
kemandirian pasien
dalam melakukan
mobilisasi

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahapan ketika perawat mengaplikasikan rencana atau
tindakan asuhan keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan untuk
membantu pasien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tahap
pelaksanaan terdiri atas tindakan mandiri dan kolaborasi yang mencakup
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan
memfasilitasi koping. Agar kondisi pasien cepat membaik diharapkan bekerja
sama dengan keluarga pasien dalam melakukan pelaksanaan agar tercapainya
tujuan dan kriteria hasil yang sudah dibuat dalam intervensi (Nursalam, 2016).
Tabel Implementasi Keperawatan
Tgl/ No. Dx Implementasi Respon TTD
Jam

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari proses keperawatan
meliputi perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang
teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
Evaluasi dapat berupa formatif dan sumatif. Evaluasi formatif yaitu evaluasi
selama program berlangsung. Sedangkan, evaluasi sumatif dilakukan setelah

33
program selesai dan mendapatkan informasi efektivitas pengambilan
keputusan. Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk
SOAP (Subjektif, Objektif, Assessment, dan Planning) (Nursalam, 2016).
Tabel Evaluasi Keperawatan

N Tgl / Dx Evaluasi Hasil TTD


o Jam

S (subjektif) merupakan informasi berupa


ungkapan yang didapat dari pasien setelah
tindakan diberikan.
O (objektif) merupakan informasi yang
didapat berupa hasil pengamatan, penilaian,
pengukuran yang dilakukan oleh perawat
setelah tindakan dilakukan.
A (analisis) merupakan membandingkan
antara informasi subjective dan objective
dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian
diambil kesimpulan bahwa masalah teratasi,
teratasi sebagian, atau tidak teratasi.
P (planning) merupakan rencana
keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisa.

34
DAFTAR PUSTAKA

Detty, A. U., Ika A, dan Vikko R. Y. (2021). Karakteristik Faktor Risiko Penderita
Katarak. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. 10(1), 12-17.
Ilyas, S., & Yulianti, S. R. (2017). Eye Disease Science. Publishing Agency, Faculty
of Medicine, University of Indonesia.
Kemenkes RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Sari, A. D., Masriadi, dan Arman. (2018). Faktor Risiko Kejadian Katarak pada Pasien
Pria Usia 40-55 Tahun di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan. Jurnal
Kesehatan. 1(2), 61- 67.
Siannoto, M. (2019). Tinjauan Pustaka: Diagnosis Dan Tatalaksana Mastoidits. Cdk-
250, 44(3), 190–194.
Sudrajat A., Al-Munawir, dan Supangat (2021). Pengaruh Faktor Risiko Terjadinya
Katarak terhadap Katarak Tenil pada Petani di Wilayah Kerja Puskesmas
Tempurejo di Kabupaten Jember. Multidisciplinary Journal. 4(2), 39-46.
Tamsuri, A. (2016). Klien Gangguan Mata dan Penglihatan. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi I. Jakarta: Dewan pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan Edisi I Cetakan II. Jakarta: Dewan
pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan Edisi I Cetakan II. Jakarta: Dewan pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Wisner, E. L., & Paris, K. (2022). Otitis Media. Absolute Allergy and Immunology
Board Review, 69–73. https://doi.org/10.1007/978-3-031-12867-7_6

35
LEMBAR PENGESAHAN

Denpasar, …………2024
Nama Pembimbing / CT: Nama Mahasiswa

I Made Wedri, A.Per.Pen., S.Kep., Ns., M.Kes. Anak Agung Gde Agung
NIP: 196106241987032002 Mahotama Putra
NIM: P07120222023

36

Anda mungkin juga menyukai