Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN OTITIS MEDIA AKUT (OMA)

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Otitis media adalah infeksi pada telinga tengah yang menyebabkan peradangan
(kemerahan dan pembengkakan) dan penumpukan cairan di belakang gendang telinga.
Otitis media akut biasanya merupakan komplikasi dari disfungsi tuba eustachian yang
terjadi selama infeksi saluran pernafasan atas virus. Streptococcus pneumoniae,
haemophilus influenzae dan moraxella catarrarhalis adalah organisme yang paling
umum diisolasi dari cairan telinga bagian tengah. (Rudi & Maria, 2019).
Otitis media akut adalah infeksi akut telinga tengah, biasanya berlangsung kurang
dari 6 minggu. Patogen yang menyebabkan otitis media akut adalah Streptococcus
pneumoniae, haemophilus influenzae dan moraxella catarrarhalis, yang memasuki
telinga tengah setelah tuba eustasius mengalami disfungsi akibat obstruksi yang
disebabkan oleh infeksi pernapasan atas, inflamasi jaringan sekitar (mis. Rinosinusitis,
hipertrofi adenoid), atau reaksi alergi (mis. rhinitis alergik). Bakteria dapat memasuki
tuba eustasius dari sekresi yang terkontaminasi didalam nasofaring dan telinga tengah
akibat perforasi membran timpani. Gangguan ini paling sering terjadi pada anak-anak.
(Brunner & Suddarth, 2010).

2. Penyebab/Faktor Predisposisi
Penyebab otitis media akut menurut Wong et al 2008, h.943 ialah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab dari noninfeksius tidak
diketahui, meskipun sering terjadi karena tersumbatnya tuba eustasius akibat edema
yang terjadi pada ISPA, rinitis alergik, atau hipertrofi adenoid. Merokok pasif juga
menjadi faktor penyebab otitis media. Selain itu menurut Muscari 2005, h.220 otitis
media terjadi
karena mekanisme pertahanan humoral yang belum matang sehingga meningkatkan
terjadinya infeksi, pemberian susu bayi dengan botol pada posisi terlentang akan
memudahkan terkumpulnya susu formula di rongga faring, pembesaran jaringan
limfoid yang menghambat pembukaan tuba eustachii. Posisi tuba eustachii yang pendek
dan horisontal, perkembangan saluran kartilago yang buruk sehingga tuba eustachii
terbuka lebih awal.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan otitis lebih sering terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Tuba eustakius anak berbeda dibandingkan dengan orang
dewasa yakni tuba eustakius anak lebih horizontal dan lubang pembukaan tonus
tubarius dikelilingi oleh folikel limfoid yang banyak jumlahnya. Adenoid pada anak
dapat mengisi nasofaring, sehingga secara mekanik dapat menyumbat lubang hidung
dan tuba eustakius serta dapat berperan sebagai fokus infeksi pada tuba. Tuba eustasius
secara normal tertutup pada saat menelan. Tuba eustasius melindungi telinga tengah
dari sekresi nasofaring, drainase sekresi telinga tengah, dan memungkinkan
keseimbangan tekanan udara dengan tekanan atmosfer dalam telinga tengah. Obstruksi
mekanik ataupun fungsional tuba eustakius dapat mengakibatkan efusi telinga tengah.
Obstruksi mekanik intrinsik dapat terjadi akibat dari infeksi atau alergi dan obstruksi
ekstrinsik akibat adenoid atau tumor nasofaring.
Obstruksi fungsional dapat terjadi karena jumlah dan kekakuan dari kartilago
penyokong tuba. Obstruksi fungsional ini lazim terjadi pada anak-anak. Obstruksi tuba
eustakius mengakibatkan tekanan telinga tengah menjadi negatif dan jika menetap
mengakibatkan efusi transudat telinga tengah. Bila tuba eustakius mengalami obstruksi
tidak total, secara mekanik, kontaminasi sekret nasofaring dari telinga dapat terjadi
karena refluks (terutama bila membran timpani mengalami perforasi), karena aspirasi,
atau karena peniupan selama menangis atau bersin. Perubahan tekanan atau barotrauma
yang cepat juga dapat menyebabkan efusi telinga tengah yang bersifat hemoragik. Bayi
dan anak kecil memiliki tuba yang lebih pendek dibandingkan dewasa, yang
mengakibatkannya lebih rentan terhadap refluks sekresi nasofaring.
Faktor lain yaitu respon imun bayi yang belum sempurna. Infeksi saluran nafas
yang berulang juga sering mengakibatkan otitis media melalui inflamasi dan edema
mukosa dan penyumbatan lumen tuba eustakius. Kuman yang sering menyebabkan
otitis media diantaranya Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, dan
Moraxella catarrhalis, Menurut Siegel RM and Bien JP (2014) dalam IKA Unair.

3. Patofisiologi
Otitis media akut terjadi akibat disfungsi tuba eustasius. Tuba tersebut, yang
menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring, normalnya tertutup dan datar yang
mencegah organisme dari rongga faring memasuki telinga tengah. Lubang tersebut
memungkinkan terjadinya drainase sekret yang dihasilkan oleh mukosa telinga tengah
dan memungkinkan terjadinya keseimbangan antara telinga tengah dan lingkungan luar.
Drainase yang terganggu menyebabkan retensi sekret di dalam telinga tengah. Udara,
tidak dapat ke luar melalui tuba yang tersumbat, sehingga diserap ke dalam sirkulasi
yang menyebabkan tekanan negatif di dalam telinga tengah. Jika tuba tersebut terbuka,
perbedaan tekanan ini menyebabkan bakteri masuk ke ruang telinga tengah, tempat
organisme cepat berproliferasi dan menembus mukosa (Wong et al 2008, h.944).
Pathway

Invasi Bakteri

Infeksi Telinga
tengah

Proses Peningkatan Tekanan Udara Pengobatan Tak


Peradangan Telinga Tengah Tuntas/Episode
Produksi Cairan
(-) berulang
Serosa

Nyeri Akut Akumulasi Infeksi


Retraksi
Cairan Mukulus Membran Berlanjut
dan Serosa Timpani Sampai Telinga
Dalam

Hantaran Erosi Pada


Suara/Udara Kanalis Tindakan
Yang Diterima Semisirkularis Mastoidektomi
Menurun

Gangguan
Persepsi Risiko Cedera Risiko Infeksi
Sensori
4. Klasifikasi
Otitis media akut ini dalam publikasi AAP 2013 menurut Allan S. Liberthal, Aaron E.
Carroll, MD, dkk dibagi menjadi lima yaitu :
a. Otitis media akut (OMA) komplikasi, merupakan otitis media yang muncul dalam
waktu 48 jam
b. Otitis media akut (OMA) tanpa komplikasi, merupakan otitis media akut tanpa
perdarahan telinga (otorrhea)
c. Otitis media akut (OMA) berat, merupakan otitis media akut dengan gejala nyeri
sedang sampai berat dan disertai demam lebih dari 390C
d. Otitis media akut (OMA) tidak berat, merupakan otitis media akut dengan gejala
nyeri ringan dan tidak disertai demam lebih dari 390C. Jadi, demamnya dibawah
suhu 390C
e. Otitis media akut (OMA) kambuhan, merupakan otitis media akut yang terjadi
dalam 3 episode terpisah dalam jarak 4 bulan atau 4 episode OMA terpisah yang
terjadi dalam 12 bulan (saat 1 episode terakhir masih dalam rentang 6 bulan)

5. Gejala klinis
Menurut Djafar ZA, Helmi dan Restuti RD dalam Noverta (2013) Tanda dan gejala
pada OMA bergantung pada stadium penyakit pasien, dimana pada umumnya OMA
memiliki lima stadium, antara lain:
a. Stadium oklusi tuba Eustachius
Stadium ini ditandai dengan adanya gambaran retraksi membran timpani akibat
adanya tekanan negatif didalam telinga tengah yang terjadi karena absorpsi udara.
Membran timpani kadang tampak normal atau berwarna keruh pucat.
b. Stadium hiperemis (stadium pre-supurasi) Pada stadium ini dapat dilihat adanya
pelebaran pembuluh darah pada membran timpani atau seluruh membran timpani
tampak hiperemis disertai edema.
c. Stadium supuratif
Terjadinya edema yang hebat pada mukosa telinga tengah, hancurnya sel epitel
superfisial, dan telah terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani
sehingga menyebabkan penonjolan (bulging) membran timpani ke arah liang
telinga luar merupakan tanda yang dapat ditemukan pada stadium supuratif ini.
Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, terjadi peningkatan suhu dan nadi,
serta adanya nyeri telinga yang dirasakan bertambah berat.
d. Stadium perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah yang berada di
dalam kavum timpani mengalir ke liang telinga luar. Pasien tampak lebih tenang
dari sebelumnya dan terjadi penurunan suhu.
e. Stadium resolusi
Pada stadium ini membran timpani yang perforasi dapat kembali normal secara
perlahan lahan tanpa pengobatan jika daya tahan tubuh pasien baik atau virulensi
kuman rendah.

6. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Diagnosis otitis media harus selalu dimulai dengan pe meriksaan fisik dan
penggunaan otoskop pneumatika. Selain itu, beberapa prosedur berikut dapat dilakukan
untuk me mastikan diagnosis yang tepat.
1) Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium jarang diperlukan.Pemeriksaan laboratorium
mungkin diperlukan untuk mengonfirmasi atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit sistemik atau bawaan yang terkait.
2) Studi Pencitraan
Studi pencitraan tidak diindikasikan kecuali ada komplikasi
intratemporal atau intrakranial. Ketika dicurigai adanya komplikasi, CT scan
dapat mengidentifikasi mastoiditis, abses epidural, tromboflebitis sinus
sigmoid, meningitis, abses otak, abses subdural, penyakit osikular, dan
kolesteatoma. Selain itu, MRI juga dapat dilakukan apabila dibutuhkan data
mengeni cairan, terutama di ba en gian telinga tengah.
3) Tympanocentesis
Tympanocentesis dapat digunakan untuk menentukan adanya cairan
telinga tengah, diikuti oleh pemeriksaan kultur untuk mengidentifikasi patogen.
Tympanocentesis dapat meningkatkan akurasi diagnostik dan mengarahkan
keputusan pengobatan.
4) Tes Garpu Tala
Tes garpu tala adalah prosedur penilaian noninvasif yang dilakukan
untuk membedakan gangguan pendengaran konduksi dan gangguan
pendengaran sensorineural. Tes ini dapat dilakukan sebagai bagian dari
pemeriksaan penilaian fisik dan diikuti oleh audiometri untuk konfirmasi hasil.
Tes garpu tala menggunakan alat berupa seperangkat garpu tala
frekuensi rendah sampai tinggi 128 HZ-2048 Hz. Satu perangkat garpu tala
memberikan skala pendengaran dari frekuensi rendah hingga tinggi dan akan
memudahkan survei kepekaan pendengaran. Cara menggunakan garpu
tala.yaitu garpu tala dipegang pada tangkainya dan salah satu tangan garpu tala
dipukul pada permukaan yang berpegas, seperti punggung tangan atau siku.
Dua tes garpu tala yang paling sering digunakan ada lah Tes Rinne dan
Tes Weber. Tes Rinne mengevaluasi kehilangan pendengaran dengan
membandingkan konduksi udara dengan konduksi tulang. Pendengaran
konduksi udara terjadi melalui udara dekat telinga serta melibatkan saluran
telinga dan gendang telinga. Pendengaran konduksi tulang terjadi melalui
getaran yang diambil oleh sistem saraf khusus telinga.

Gambar 1.1
Tes Rinne bertujuan untuk membandingkan hantaran udara dan hantaran
tulang pada telinga yang diperiksa, sedangkan Tes Weber digunakan untuk
membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga penderita.

Di sisi lain, Tes Weber adalah satu cara untuk mengevaluasi gangguan
pendengaran konduktif dan sensoris neural. Kehilangan pendengaran konduktif
terjadi ketika gelombang suara tidak dapat melewati telinga tengah ke telinga
bagian dalam. Ini bisa disebabkan oleh masalah di liang telinga, gendang telinga,
atau telinga tengah, sepertiinfeksi, penumpukan kotoran telinga, cedera pada
gendang telinga, cairan di telinga tengah, dan kerusakan pada tulang kecil di telinga
tengah. Sebaliknya, gangguan pendengaran sensorineural terjadi ketika ada
kerusakan pada bagian manapun dari sistem saraf khusus pada telinga Ini termasuk
saraf pendengaran, sel-sel rambut di telinga bagian dalam, dan bagian lain dari
koklea. Paparan terus menerus terhadap suara keras dan penuaan adalah alasan
umum untuk jenis gangguan pendengaran ini.

Jenis Tes Cara Pemeriksaan Interpretasi Hasil


Tes Rinne 1. Bunyikan garpu tala 1. Normal: Rinne positif
frekuensi 512 Hz. 2. Tuli konduksi: Rinne
2. Letakkan tangkainya negatif
tegak lurus pada 3. Tuli sensori neural:
planum mastoid Rinne positif
penderita (posterior
dari MAE) sampai
penderita tak men
dengar.
3. Dengan cepat
pindahkan ke depan
MAE penderita.
4. Apabila penderita
masih mendengar
garpu tala di depan
MAE disebut Rinne
positif. Bila tidak
mendengar disebut
Rinne negatif.
Tes Weber 1. Bunyikan garpu tala 1. Normal: tidak ada
frekuensi 512 Hz. lateralisasi.
2. Letakkan tangkainya 2. Tuli konduksi:
tegak lurus di garis mendengar lebih
median, biasanya di
dahi (dapat pula pada keras di telinga yang
vertex, dagu atau pada sakit.
gigi insisivus) dengan 3. Tuli sensorineural:
kedua kaki pada garis mendengar lebih
horisontal. keras pada telinga
3. Minta pasien yang sehat.
menunjukkan telinga
mana yang tidak
mendengar atau
mendengar lebih
keras.
4. Bila pasien
mendengar pada satu
telinga disebut
laterisasi ke sisi
telinga tersebut.
5. Bila kedua telinga tak
mendengar atau sama-
sama mendengar
berarti tak ada
laterisasi.

5) Tes Lainnya
Timpanometri dan reflektometri akustik juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi efusi telinga tengah.

7. Penatalaksanaan Medis
Terapi OMA bergantung pada tingkat keparahan penyakit. Pada stadium oklusi,
terapi difokuskan untuk membuka kembali tuba eustachius dengan memberikan obat
tetes hidung HCI efedrin 0,5%. Terapi ini diberikan dalam larutan fisiologis untuk anak
<12 tahun. Sementara itu, HCl efed rin 1% dalam larutan fisiologis diberikan untuk
anak yang berumur >12 tahun atau dewasa. Sumber infeksi juga harus diobati dengan
memberikan antibiotik.
Pada stadium presupurasi, diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgesik.
Bila membran timpani sudah hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin atau eritromisin. Jika terdapat resistensi, dapat
diberikan kombinasi dengan asam klavunalat atau sefalosporin. Untuk terapi awal
diberikan penisilin IM agar konsentrasinya adekuat di dalam darah. Antibiotik
diberikan minimal selama 7 hari. Pada anak diberikan ampisilin 4x50-100 mg/KgBB,
amoksisilin 4x40 mg/ KgBB/hari, atau eritromisin 4x40 mg/kgBB/hari.
Pengobatan stadium supurasi selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk
dilakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh. Selain itu, analgesik juga
perlu diberikan agar nyeri dapat berkurang. Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci
telinga H20 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Pada
stadium resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir keluar. Penggunaan antibiotik
pada keadaan ini dapat dilanjutkan sampal 3 minggu, tetapijika masih keluar sekret
maka diduga telah terjadi mastoiditis.

8. Komplikasi
Infeksi OMA umumnya bisa sembuh tanpa komplikasi, meskipun infeksi dapat
terjadi lagi. Pasien juga bisa mengalami kehilangan pendengaran sementara untuk
waktu yang singkat dan akan sembuh cepat setelah mendapatkan perawatan.
Terkadang, infeksi OMA dapat menyebabkan:
1. Infeksi telinga berulang
2. Adenoid membesar
3. Amandel membesar
4. Gendang telinga yang pecah
5. Kolesteatoma, yang merupakan pertumbuhan di telinga tengah
6. Keterlambatan bicara (pada anak-anak yang mengalami infeksi otitis media
berulang)
7. Dalam kasus yang jarang terjadi, infeksi pada tulang mastoid di tengkorak
(mastoiditis) atau infeksi di otak (meningitis) dapat terjadi.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Biodata: Nama, umur, jenis kelamin, alamat, suku, bangsa, pendidikan,
pekerjaan
b. Riwayat Penyakit sekarang
c. Keluhan utama: biasanya penderita mengeluh nyeri kepala sinus,
tenggorokan.
d. Riwayat dahulu penyakit:
a) Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau
trauma
b) Pernah mempunyai riwayat penyakit THT
c) Pernah menderita sakit gigi geraham
e. Riwayat keluarga: Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga
yang lalu yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
f. Riwayat spikososial
a) Intrapersonal: perasaan yang dirasakan klien (cemas atau sedih)
b) Interpersonal: hubungan dengan orang lain.
g. Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Untuk mengurangi flu biasanya klien menkonsumsi obat tanpa
memperhatikan efek samping
b) Pola nutrisi dan metabolismE
Biasanya nafsu makan klien berkurang karena terjadi gangguan pada
hidung
c) Pola istirahat dan tidur
Selama inditasi klien merasa tidak dapat istirahat karena klien sering
pilek
d) Pola Persepsi dan konsep diri
Klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsep
diri menurun
e) Pola sensorik
Daya penciuman klien terganggu karena hidung buntu akibat pilek
terus menerus (baik purulen, serous, mukopurulen).
h. Pemeriksaan Fisik
a) Status kesehatan umum: keadaan umum, tanda vital, kesadaran.
b) Pemeriksaan fisik data focus hidung: nyeri tekan pada sinus,
rinuskopi (mukosa merah dan bengkak).
Data subyektif:
a) Observasi nafas:
- Riwayat bernafas melalui mulut, kapan, onset, frekwensinya
- Riwayat retensi hidung atau trauma
- Penggunaan obat tetes atau semprot hidung: jenis, jumlah,
frekwensinya, lamanya
b) Sekret hidung:
- Warna, jumlah, konsistensi secret
- Epistaksis
- Ada tidaknya krusta atau nyeri hidung.
c) Riwayat Sinusitis:
- Nyeri kepala, lokasi dan beratnya
- Hubungan sinusitis dengan musim atau cuaca
d) Gangguan umum lainnya:
- Kelemahan
Data Obyektif:
a) Demam, drainage ada: Serous, Mukppurulen, Purulen
b) Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung dan
Pucat, Odema keluar dari hidung atau-sinus yang mengalami radang
mukosa
c) Kemerahan dan Odema membran mukosa
i. Pemeriksaan penunjung:
a) Kultur organisme hidung dan tenggorokan.
b) Pemeriksaan rongent sinus
2. Diagnosis Keperawatan
1) Nyeri Akut b.d agen pencedera fisik (peradangan) d.d mengeluh nyeri,
tampak meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi meningkat, dan
sulit tidur.
2) Gangguan Persepsi Sensori b.d gangguan pendengaran d.d mendengar suara
bisikan atau melihat bayangan, merasakan sesuatu melalui indera
pendengaran, distorsi sensori, respon tidak sesuai, dan bersikap seolah
mendengar.
3) Risiko Cedera d.d hipoksia jaringan
4) Risiko Infeksi d.d efek prosedur invasif
3. Rencana Keperawatan

No Diagnosis Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional


Dx
1 Nyeri Akut b.d agen pencedera (SLKI L.08066) SIKI I.08238
fisik (peradangan) d.d Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
mengeluh nyeri, tampak keperawatan selama ..x.. jam, maka Observasi : Observasi :
meringis, bersikap protektif, diharapkan tingkat nyeri menurun 1. Identifikasi lokasi, 1. Untuk mengetahui likasi,
gelisah, frekuensi nadi dengan kriteria hasil: karakteristik, durasi, frekuensi, karakteristik, durasi,
meningkat, dan sulit tidur. 1. Keluhan nyeri menurun kualitas, intensitas nyeri frekuensi, kualitas dan
2. Meringis menurun 2. Identifikasi skala nyeri intensitas nyeri
3. Sikap protektif menurun 3. Identifikasi respons nyeri non 2. Untuk mengetahui skala
4. Gelisah menurun verbal nyeri
5. Kesulitan tidur menurun 4. Identifikasi faktor yang 3. Untuk mengetahui
6. Frekuensi nadi membaik memperberat dan memperingan bagaimana respon
7. Pola tidur membaik nyeri terhadap nyeri non verbal
8. Fokus membaik 5. Identifikasi pengetahuan dan 4. Untuk mnetahui apa saja
keyakinan tentang nyeri faktor yang memperberat
6. Identifikasi pengaruh budaya dan memperingan nyeri
terhadap respons nyeri 5. Untuk mengatahui
7. Identifikasi pengaruh nyeri pengetahuan dan
pada kualitas hidup keyakinan pasien terhadap
nyeri
8. Monitor efek samping 6. Untuk mengetahui
penggunaan analgetik pengaruh budaya terhdap
respon nyeri pasien
7. Untuk mengetahui
pengaruh nyeri terhadap
kualitas hidup pasien
8. Untuk mengetahui efek
samping penggunaan
analgetik

Terapeutik : Terapeutik :
1. Berikan teknik 1. Untuk mengurangi rasa
nonfarmakologis untuk nyeri pada klien
mengurangi rasa nyeri (mis. 2. Untuk meringankan nyeri
TENS, hipnosis, akupresur, pasien yang disebabkan
terapi musik, biofeedback) oleh lingkungan
2. Kontrol lingkungan yang 3. Agar pasien bisa istirahat
memperberat rasa nyeri (mis. dan tidur dengan nyaman
Suhu ruangan, pencahayaan, 4. Untuk mengetahui strategi
kebisingan) apa yang akan dipilih.
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Mempertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi dalam meredakan nyeri

Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode, Edukasi :
dan pemicu nyeri 1. Agar pasien mengetahui
2. Jelaskan stategi meredakan penyebab dan pemicu
nyeri nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri 2. Agar pasien mengetahui
secara mandiri bagaimana cara untuk
4. Anjurkan menggunakan meredakan nyeri
alagetik secara tepat 3. Agar pasien dapat
5. Ajarkan teknik non memonitor nyeri secara
farmakologis untuk mandiri
mengurangi rasa nyeri. 4. Agar pasien tidak slaah
menggunakan analgetik
5. Agar nyeri pasien dapat
berkurang dengan teknik
Kolaborasi : non farmakologis
1. Kolaborasi pemberian Kolaborasi :
analgetik, jika perlu 1. Untuk mempercepat
penyembuhan pasien
2 Gangguan Persepsi Sensori b.d (SLKI L.09083) Manajemen Halusinasi (I.09288)
gangguan pendengaran d.d Setelah dilakukan intervensi Observasi : Observasi:
mendengar suara bisikan atau keperawatan selama ..x.. jam, maka 1. Monitor perilaku yang 1. Mengetahui perilaku
melihat bayangan, merasakan diharapkan persepsi sensori mengindikasikan halusinasi. yang mengindikasikan
sesuatu melalui indera membaik dengan kriteria hasil: 2. Monitor dan sesuaikan tingkat pasien mengalami
pendengaran, distorsi sensori, 1. Verbalisasi mendengar bisikan aktivitas dan stimulasi halusinasi.
respon tidak sesuai, dan menurun lingkungan. 2. Mengetahui isi halusinasi
bersikap seolah mendengar. 2. Distorsi sensori menurun 3. Monitor isi halusinasi (misal pasien.
3. Perilaku halusinasi menurun kekerasan atau membahayakan 3. Untuk mengetahui
4. Respons sesuai stimulus diri). halusinasi yang dialami
membaik pasien
5. Konsentrasi membaik Terapeutik : Terapeutik :
1. Pertahankan lingkungan yang 1. Lingkungan yang aman
aman. dapat memberikan rasa
nyaman pada pasien.
2. Lakukan tindakan keselamatan 2. Mengetahui perasaan dan
ketikatidak dapat mengontrol respon pasien.
perilaku (misal limit setting, 3. Memberikan rasa saling
pembatasan wilayah, percaya.
pengekangan fisik, seklusi). 4. Memebrikan rasa nyaman
3. Diskusikan perasaan dan kepada pasien.
respon terhadap halusinasi.
4. Hindari perdebatan tentang
validitas halusinasi.
Edukasi :
1. Anjurkan memonitor sendiri Edukasi :
situasi terjadinya halusinasi. 1. Agar pasien dapat
2. Anjurkan bicara pada orang mengontrol ketika terjadi
yang dipercaya untuk halusinasi.
memberikan dukungan dan 2. Agar pasien dapat
umpan balik korektif terhadap mengurangi terjadinya
halusinasi. halusinasi dengan
3. Anjurkan melakukan distraksi mengekspresikan apa
(misal mendengarkanmusic, yang ia rasakan pada
melakukan aktivitas, dan teknik orang lain.
relaksi).
3. Teknik relaksasi dapat
memberikan rasa
ketenangan pada pasien.
4. Agar pasien dapat
mengetahui bagaimana
cara mengontrol
Kolaborasi :
halusinasi.
1. Kolaborasi Pemberian obat
Kolaborasi :
antipsikotik dan antiansietas,
1. Pemberian obat
Jika Perlu
antipsikotik dan
antiansietas akan
memberikan dampak

Minimalisasi Rangsangan ketenangan pada pasien.

(I.08241)
Observasi :
1. Periksa status mental, status
sensori dan tingkat Observasi :
kenyamanan (missal nyeri dan 1. Mengetahui faktor yang
kelelahan) meningkatkan rangsangan

Terapeutik : sensori
1. Diskusikan tingkat toleransi Terapeutik :
terhadap beban sensori (misal 1. Untuk menimalkan faktor
bising dan terlalu terang) lain yang meningkatkan
2. Batasi stimulus lingkungan beban sensori
(misal cahaya, suara dan 2. Memberikan
aktivitas) lingkunganyang nyaman
3. Jadwalkan aktivitas harian dan bagi pasien
waktu istirahat 3. Dilakukan agar pasien
4. Kombinasikan memiliki aktivitas
prosedur/tindakan dalam satu terjadwal sehingga
waktu sesuai kebutuhan. gangguan rangsangan
sensori dapat
diminimalkan.
4. Agar perawatan pasien
Edukasi : lebih efektif dan baik.
1. Ajarkan cara meminimalisasi Edukasi :
stimulus (misal mengatur 1. Dilakukan untuk
pencahayaan ruangan, memberikan lingkungan
kebisingan, membatasi yang nyaman dan
kunjungan) meminimalkan stimulus.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dalam Kolaborasi:
meminimalkan 1. Dilakukan untuk
prosedur/tindakan meminimalkan
2. Kolaborasi pemberian obat prosedur/tindakan
yang mempengaruhi persepsi 2. Dilakukan jika pasien
stimulus tidak mampu
meminimalkan stimulus
yang ada, sehingga
diberikan terapi medik.
3 Risiko Cedera d.d hipoksia (SLKI L.14136) (SIKI I.14537)
jaringan Tingkat Cedera Pencegahan Cedera Pencegahan Cedera
Setelah diberikan asuhan Observasi : Observasi :
keperawatan ...x... jam diharapkan 1. Identifikasi area lingkungan 1. Mengetahui area yang
tingkat cedera menurun dengan yang berpotensi menyebabkan berpotensi menyebabkan
kriteria hasil : cedera cedera
1. Toleransi aktivitas meningkat 2. Identifikasi obat yang 2. Mengetahui obat yang
2. Kejadian cedera menurun menyebabkan cedera berpotensi menyebabkan
3. Luka/lecet menurun cedera
4. Gangguan kognitif menurun Terapeutik : Terapeutik :
1. Sosialisasikan pasien dan 1. Diskusi bersama pasien
keluarga dengan lingkungan dan keluarga tentang
ruang rawat (mis. penggunaan kondisi yang dapat
telepon, tempat tidur, menyebabkan cedera
penerangan ruangan dan lokasi 2. Agar pasien tidak terlalu
kamar mandi) banyak beraktivitas
2. Pastikan barang-barang pribadi 3. Meminimalisir efek jika
mudah dijangkau pasien terjatuh
3. Pertahankan posisi tempat tidur 4. Diskusi mengenai latihan
di posisi terendah saat dan terapi fisik yang akan
digunakan dilakukan
4. Diskusikan mengenai latihan 5. Diskusi bersama anggota
dan terapi fisik yang diperlukan keluarga pasien mengenai
5. Diskusikan bersama anggota potensi cedera
keluarga yang dapat
mendampingi pasien
Edukasi :
1. Anjurkan berganti posisi secara Edukasi :
perlahan dan duduk selama 1. Untuk latihan fisik ringan
beberapa menit sebelum berdiri pada pasien agar dapat
kembali beraktivitas
4 Risiko Infeksi d.d efek (SLKI L.14137) (SIKI I.14539)
prosedur invasif Tingkat Cedera Pencegahan Cedera Pencegahan Cedera
Setelah diberikan asuhan Observasi : Observasi :
keperawatan ...x... jam diharapkan 1. Monitor tanda dan gejala infeksi 1. Mengetahui tanda dan
tingkat infeksi menurun dengan lokal dan sistemik gejala infeksi
kriteria hasil : Terapeutik :
1. Demam menurun 1. Batasi jumlah pengunjung Terapeutik :
2. Kemerahan menurun 2. Pertahankan aseptik pada pasien 1. Mencegah penularan
3. Nyeri menurun berisiko tinggi infeksi
4. Bengkak menurun 2. Menjaga kebersihan
5. Kadar sel darah putih membaik Edukasi : pasien
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi Edukasi :
2. Ajarkan cara memeriksa kondisi 1. Kegiatan informasi
luka atau luka operasi edukasi tanda dan gejala
3. Anjurkan meningkatkan asupan infeksi
cairan 2. Pasien dapat memeriksa
luka secara mandiri
3. Memenuhi kebutuhan
Kolaborasi : cairan dan nutrisi pasien
1. Kolaborasi pemberian Kolaborasi :
imunisasi, jika perlu 1. Meningkatkan imunitas
tubuh, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Betz, CL. 2012. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.


Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Cahyati, Yanti., Wahyuni, Tavip Dwi, dkk. 2023. Ebook Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah DIII Keperawatan Jilid II. Jakarta : Mahakarya Citra Utama.
Dan Horton Szar. 2019. Ebook Sistem Indra T.H.T.K.L dan Mata. Singapore : Elsevier Health
Service.
Haryono, Rudi., Utami, Maria Putri Sari. 2019. Keperawatan Medikal Bedah II. Yogyakarta :
Pustaka Baru Press.
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik.
Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan.
Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
Raditya, I Gede Agus Surya. 2020. Laporan Pendahuluan Pada Pasien Otitis Media Akut.
Denpasar : Poltekkes.
https://www.scribd.com/embeds/500113741/content?start_page=1&view_mode=scro\
l&access_key=key-fFexxf7r1bzEfWu3HKwf (diakses pada 10 April 2023).
Tim Admin Grup Sharing ASI-MPASI. 2015. Ebook Superbook For Supermom. Jakarta :
FMedia.

Anda mungkin juga menyukai