Kelompok 3
PRESEPTOR INSTITUSI
A. Definisi
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika
terjadi fraktur, jaringan lunak yang berada disekitarnya juga ikut terganggu. Fraktur
femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang femur, yang biasanya disertai
dengan luka pada sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, dan kerusakan
pembuluh darah (Smeltzer & Bare, 2015). Tulang yang mendapatkan tekanan terus
menerus di luar kapasitas dapat mengalami keretakan tulang. Pada kelompok usia tua
(lanjut usia), massa tulang yang rendah cenderung mengalami fraktur. Dengan benturan
kecil, dapat menyebabkan fraktur karena massa tulang yang rendah tidak mampu
menahan daya benturan (Sagaran, Manjas, & Rasyid, 2017).
B. Etiologi
Menurut Sagaran et al. (2017), penyebab terjadinya fraktur terdiri dari cedera traumatic
dan cedera patologik, yaitu sebagai berikut:
1. Cedera Traumatik
a. Cedera langsung
Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan. Seperti ketika sebuah benda bergerak menghantam area tubuh di
atas tulang.
b. Cedera tak langsung
Cedera tak langsung berarti ketika suatu kontraksi kuat dari otot menekan tulang.
Dengan kata lain, titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan. misalnya jatuh
terpeleset di kamar mandi
2. Cedera Patologik
Cedera patologik yaitu keadaan yang dapat menyebabkan frakktur bila tulang
itu sendiri rapuh atau underlying diseases. Dalam hal ini kerusaka tulang akibat
proses penyakit dimana dengan traua minor dapat mengakibatkan fraktur. Hal
tersebut dapat juga tejadu pada keadaan berikut:
a. Tumor Tulang
Tumor tulang (kanker) dapat bersifat jinak atau ganas. Tumor tulang ganas
termasuk osteosarcoma, fibrosasarkoma, kondrosarkoma, dan sarcoma Ewing.
Biasanya terdapat mass atau lesi yang dapat dirasakan pada lokasi tumor.
a. Infeksi (Osteomielitis)
Osteomielitis merupakan infeksi piogenik berat pada tulang dan jaringan
sekitar. Osteomyelitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi pada tulang yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, atau fungal). Staphylococcus
aureus merupakan organisme tersering yang menginfeksi. Selain itu juga
ditemuka Escherichia coli, pseudomonas, klebsiella, salmonella, dan organisme
Proteus.
b. Rakhitis
Rakhitis merupakan suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
vitamin D yang memppengaruhi semua jaringan tulang yang lain, biasanya
disebabkan oleh kegagalan absorbs vitamin D dan asupan kalsium atau fosfat
yang rendah.
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari fraktur menurut Black & Hawks (2014), yaitu sebagai berikut:
1. Deformitas
Deformitas pada lokasi fraktur disebabkan karena adanya pembengkakan dari
perdarahan lokal. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas
rotasional, atau angulasi. Dibandingkan yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki
deformitas yang nyata.
2. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada lokasi
fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
3. Memar (ekimosis)
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur
4. Spasme Otot
Sering mengiringi fraktur, spasme otot involunteer sebenarnya berfungsi sebagai
bidai/perlindungan alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri
biasanya terus-menerus, meningkat jika fraktur tidak dimobilisasi. Hal ini terjadi
karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan, atau cedera pada struktur
sekitarnya.
6. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur. Kelumpuhan dapat
terjadi dari cedera saraf.
7. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan antar
fragmen fraktur yang menciptakan sensasi dan suara deritan.
8. Perubahan neurovascular
Cedera neurovascular terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vascular
yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba
nadi pada daerah distal dari fraktur.
D. Klasifikasi
1. Klasifikasi secara umum
Secara umum, frakture diklasifikasikan sebagai : (Bucholz, 2006 dalam
Mahartha, 2015)
a. Fraktur terbuka : Fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui
luka pada kulit dan jaringan lunak, dapat terbentuk dari dalam maupun luar
b. Fraktur tertutup: Fraktur dimana kulit tidak ditembus oleh fragmen tulang,
sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan/dunia luar.
c. Fraktur komplikasi: fraktur yang disertai dengan komplikasi seperti malunion,
delayed union, nounion dan infeksi tulang
Metode klasifikasi palsing sederhana adalah berdasarkan pada apakah fraktur
tertutup atau terbika. Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh di atas lokasi
cedera. Sedangkan fraktur terbuka memiliki ciri dimana robeknya kulit di atas cedera
tulang (Black & Hawks, 2014).
2. Klasifikasi garis patah tulang
a. Greenstick : Fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok
b. Transversal : Fraktur yang memotong lurus pada tulang
c. Spiral : Fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang, obliq, yaitu fraktur yang
garis patahnya miring membentuk sudut melintasi tulang.
3. Klasifikasi bentuk patah tulang [ CITATION Apl13 \l 1057 ]
a. Komplet : garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen
tulang biasanya bergeser
b. Inkomplet : hanya sebgian retakan pada sisi tulang
c. Kompresi : Fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan tulang lain
d. Vulsi : Fragmen tulang tertarik oleh ligament
e. Communited (segmental) : Fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa
bagian
f. Simple : Fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh
g. Fraktur dengan perubahan posisi : yaitu ujung tulang yang patah berjauhan dari
tempat yang patah,
h. Fraktur tanpa perubahan posisi : yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang
normal
i. Fraktur komplikata : yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang terlihat
E. Komplikasi
Komplikasi fraktur bergantung pada jenis cedera, usia pasien, dan adanya masalah
kesehatan lain (komorbiditas), dan penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan,
seperti warfarin, kortikosteroid, dan NSAID. Pengkajian yang berkelanjutan dari status
neurovaskular pasien untuk adanya komplikasi sangatlah penting agar dapat melakukan
intervensi yang cepat untuk meminimalkan efek samping yang ada. Adapun komplikasi
dari fraktur menurut Black & Hawks (2014) dan Kowalak, Welsh, & Mayer (2017),
yaitu:
1. Syok hipovolemik atau traumatik
Komplikasi ini dapat terjadi akibat pendarahan (baik kehilangan darah eksternal
maupun internal) dan kehilangan cairan eksternal ke jaringan yang rusak.
2. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Hal-hal yang perlu diwaspadai adalah jika tungkai pasien
yang cedera pucat dan teraba dingin, perubahan pada kemampuan pasien untuk
menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai, parestesia, atau adanya keluhan nyeri
yang meningkat.
3. Sindrom kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan bawah dilapisi oleh jaringan fasia yang
keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika otot mengalami pembengkakan.
Edema yang terjadi sebagai respons terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan
tekanan kompartemen yan dapat mengurangi perfusi darah kapiler. Jika suplai darah
lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolik jaringan, maka terjadi iskemia.
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang
terbatas. Hal ini disebabkan oleh hal-hal yang menurunkan ukuran kompartemen,
termasuk gaya kompresi eksternal seperti gips yang ketat atau faktor-faktor internal
seperti perdarahan atau edema.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk fraktur menurut Black & Hawks (2014), yaitu
sebagai berikut:
1. Radiografi (Sinar-X)
Penggunaan posisi radiologis (anteroposterior dan lateral) yang tepat sangat
penting untuk mengkaji kecurigaan fraktur dengan tepat. Temuan rontgen yang tidak
normal antara lain edema jaringan lunak atau pergeseran tulang setelah cedera.
Radiografi dari tulang yang patah akan menunjukkan perubahan pada kontur
normalnya dan sirupsi dari hubungan sendi yang normal. Radiografi biasanya
dilakukan sebelum reduksi fraktur, setelah reduksi, dan kemudian secara periodik saat
penyembuhan tulang.
2. CT-Scan
Tomografi komputer dapat digunakan untuk mengetahui adanya fraktur.
Kelebihan dari CT-Scan adalah bisa melihat gangguan (hematoma) pada struktur lain
(pembuluh darah).
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah pemeriksaan yang menggunakan magnet besar untuk menghasilkan
gambaran yang detail pada jaringan lunak dan tulang. MRI digunakan untuk mendeteksi
kondisi yang memengaruhi tendon, ligamen, dan otot.
G. Penatalaksanaan
Beberapa penatalaksanaan menurut Nurarif & Kusuma (2015); Black & Hawks
(2014), adalah sebagai berikut:
1. Rekognisi /Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya. Petugas medis harus teliti memeriksa area yang cedera dan melakukan
anamnesis pasien. Detail dari cedera penting untuk menentukan kemungkinan tipe
fraktur dan cedera yang berhubungan.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Yaitu upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimal. Dengan kata lain, untuk mengembalikan kelurusan, posisi, dan
panjang fragmen tulang sedekat mungkin. Metode reduksi terbagi atas:
a. Reduksi Tertutup
Untuk melakukan reduksi tertutup, petugas medis memberikan traksi manual
untuk menggerakkan fragmen tulang dan mengembailkan kelurusan tulang.
Reduksi tertutup harus dilakukan segera setelah cedera untuk meminimalkan
risiko kehilangan fungsi, untuk mencegah atau menghambat terjadinya artiritis
traumatic, dan meminimalkan efek deformitas dari cedera tersebut. Alat
imobilisasi yang paling sering digunakan adalah gips (suatu alat sementarayang
terbuat dari bahan sintetik seperti fiberglass, polimer plastic thermal, atau plester
Paris (kalsium sulfat anhidrosa).
b. Traksi
Traksi adalah pemberian gaya tarik terhadap bagian tubuh yang cedera atau
kepada tungkai, sementara kontratraksi aka menarik kea rah yang berlawanan.
Gaya tarik ini dapat dicapai dengan menggunakan tangan (traksi manual) tau
dengan pemberian beban.
1) Traksi kulit (skin traksi)
Traksi kulit adalah pemberian gaya tarik secara langsung ke kulit dengan
menggunakan skin strips, sepatu bot atau bidai busa. Traksi Buck adalah jenis
traksi kulit yang paling umum (sebuh bot busa dikenakan pada tungkai paien
yang terluka dan disambungkan dengan beban yang menggantung pada ujung
tempat tidur.
2) Traksi skeletal (skeletal traksi)
Traski skeletal menggunakan pin untuk memberikan gaya pada
tulang.Dengan traksi skeletal, gaya langsung dapat diberikan setelah dokter
memasukkan pin stainless-steel melalui tulang itu sendiri. Lokasi yang paling
umum untuk insersi-pin adalah femur distal, tibia proksimal, dan ulna
proksimal.
c. Reduksi Terbuka
Reduksi terbuka dilakukan dengan pembedahan fragmen tulang direduksi. Alat
fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau
langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi
yang kuat bagi fragmen tulang.
1) OREF (Open Reduction Eksternal Fixation),adalah reduksi terbuka dengan
fiksasi internal dimana tulang di transfiksasikan di atas dan di bawahnya
fraktur, sekrup atau kawat ditransfiksi dibagian proksimal dan distal kemudian
dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain. Fiksasi eksternal ini
digunakan utnuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak.
Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur komunitif (hancur
atau remuk). Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap terjaga posisinya,
kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman
bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen tulang.
2) ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah metode penatalaksanaan
patah tulang dengan cara pembedahan reduksi terbuka dan fiksasi internal
dimana dilakukan insisi pada tempat yang mengalami cedera dan ditemukan
sepanjang bidang anatomik tempat yang mengalami fraktur.
d. Retensi/Immobilisasi
Merupakan upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna
atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu,
pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
e. Rehabilitasi
Bertujuan untuk mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan,harus segera
dimulai latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan
mobilisasi.
BAB II
KONSEP TINDAKAN ORIF
A. DEFINISI
ORIF (Open Reduction Internal Fixation), Open Reduction Internal Fixation
(ORIF) adalah suatu jenis operasi dengan pemasangan internal fiksasi yang dilakukan
ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara cukup dengan close reduction, untuk
mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur (Potter & Perry, 2005). Fungsi
ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra medullary nail, biasanya
digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur transvers.
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur bedah medis,
yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang
diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan
piring untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Brunner & Suddart, 2003).
B. TUJUAN
Ada beberapa tujuan dilakukannya pembedahan Orif (T.M. Marrelli, 2007), antara lain:
1. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas
2. Mengurangi nyeri.
3. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan dalam lingkup
keterbatasan klien.
4. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena
5. Tidak ada kerusakan kulit
C. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI
Indikasi tindakan pembedahan ORIF (American Academy of Orthopedic Surgeons,
2012):
1. Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan metode
terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang memuaskan.
2. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur intraartikular disertai
pergeseran.
3. Mal-reduksi/kegagalan
4. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada struktur otot tendon
Kontraindikasi tindakan pembedahan ORIF:
1. Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan
2. Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk
3. Terdapat infeksi
4. Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi.
5. Pasien dengan penurunan kesadaran
6. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
7. Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)
D. PERSIAPAN ATAU PROSEDUR DI RUANG OPERASI
1. Persiapan alat dan ruangan
a. Alat tidak steril: Lampu operasi, Cuter unit, Meja operasi, Suction, Hepafik,
Gunting
b. Alat steril: Duk besar 3. Baju operasi 4, selang suction steril, selang cuter steril,
side 2/0, palain 2/0, berbagai macam ukuran jarum.
c. Set ORIF:
- Koker panjang 2
- Klem bengkok 6
- Bengkok panjang 1
- Pinset cirugis 2
- Gunting jaringan 1
- Kom 2
- Bisturi 1
- Hand mest
- Platina 1 set
- Kasssa steril
- Gunting benang 2
- Sponge Holder 1
- Bor 1
- Hak pacul 1
- Hak sedang 1
- Hak duk 1
E. PROSEDUR PEMBEDAHAN ORIF
1. Persiapan pasien
a. Alat-alat dipersiapkan
b. Pasien di[ndahkan dari brankar ke meja operasi
c. Klien dipasangkan bedside monitor
2. Pelaksanaan operasi
a. Tim bedah melakukan cuci tangan (Scrub)
b. Tim bedah telah memakai baju operasi (Gloving)
c. Klien diintubasi dengan ET, sebelumnya dilakukan general anastesi
d. Klien diposisikan telentang dengan kepala sedikit ekstensi
e. Dalam stadium anastesi dilakukan disinfektan menggunakan betadine, kemudia di
bilas menggunakan alcohol 70%
f. Dipasang linen (doek steril) difiksasi dengan menggunakan doek klem,
selanjutnya ditutupi/dipasang doek lubang besar (mempersempit area yang akan
dioperasi)
g. Melakukan insisi dengan pisau bedah ± 10 cm, secara horizontal dari lapisan
kulit, lemak, otot
h. Melakukan pemegangan tulang menggunakanreduction, kemudian
memposisikannya pada posisi semula, kemudian memesang plate pada tulang
sambal memegang dengan retractor dan melakukan pengeburan, memasang plate
dan screw dengan obeng
i. Control perdarahan dengan cara suction atau deep dengan kassa
j. Memposisikan tulang dengan keadaan semula, mengukur panjang plate danscrew
k. Tulang di bor dan diukur kedalaman gor
l. Memasang plate dan screw pada tulang yang telah di bor
m. Mencuci dengan NaCl, dan memastikan tidak ada lagi perdarahan
n. Melakukan hecting dengan polisorb 2-0, menggunakan safil 2-0 dan pada bagian
kulit menggunakan byosin 4-0
o. Menutup luka dengan sufratulle, kasa, dan diplester
p. Daerah area operasi dibersihkan dengan NaCl 0,9% dan handuk basah
q. Operasi selesai dan mengobservasi pasien serta meleaskan ET
F. RISIKO DAN KOMPLIKASI ORIF
Tingginya risiko osteomielitis yang terjadi akibat infeksi setelah pemasangan fiksasi
internal, maka diperlukan pengawasan dan pemeriksaan yang konstan selama penanganan.
Kondisi teknik bedah yang streil dan teliti dapat mengurangi risiko tersebut, namun tidak dapat
menghilangkan resiko infeksi saat saat internal fiksasi digunakan.
Risiko dan komplikasi yang dapat terjadi akibat fiksasi internal atau ORIF adalah
kolonisasi bakteri tulang akibat kontaminasi karena adanya perangkat asing yang berada
di dalam tubuh manusia, infeksi, kekakuan, hilangnya rentang gerak, kerusakan pada otot
dan saraf, nyeri kronis terkait dengan pelatm skrup, dan pin, sindrom kompartemen, dan
deformitas [ CITATION Ame12 \l 1033 ].
G. PERAWATAN POST OPERATIF
Dilakukan utnuk meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan pada bagian yang
sakit. Dapat dilakukan dengan cara:
1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.
2. Meninggikan bagian yang sakit untuk meminimalkan pembengkak.
3. Mengontrol kecemasan dan nyeri (biasanya orang yang tingkat kecemasannya tinggi,
akan merespon nyeri dengan berlebihan)
4. Latihan otot Pergerakan harus tetap dilakukan selama masa imobilisasi tulang,
tujuannya agar otot tidak kaku dan terhindar dari pengecilan massa otot akibat latihan
yang kurang.
5. Memotivasi klien untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan menyarankan
keluarga untuk selalu memberikan dukungan kepada klien.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang digunakan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.register, tanggal MRS, diagnosa
medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
biasa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor peningkat nyeri
2) Quality of Pain: seperti apa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut,atau menusuk
3) Region ; radiation, relief : apakah rasa sakit bias reda, apakah rasa sakit menjalar
atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi
4) Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bias
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya
5) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan member petnjuk
berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur.
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya.
g. Pola-pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya
dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pola nutrisi klien bias membantu menentukan penyebab masalah musculoskeletal
dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah musculoskeletal terutama pada lansia.
3) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
4) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien
menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal
lain yang perlu dikaji adalah benyuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien.
5) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketakutan akan kecacatan
akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan gambaran
tubuh.
4. Deficient Knowledge O550: Patient or designed support Assesses baselines neurological status (A.250)
X30-00126 person demonstrates knowledge of (Collect data to evaluate patient’s current neurological status)
Domain 3A the expected responses to the Identifies barriers to communication (A.520)
Behavioral responses operative or invasive procedure (Assesses factors that could affect ability to communicate,
-patient and family: The patient verbalizes the sequence comprebend, and demonsrate understanding of new information)
knowledge of events to expect before and Elicits perceptions of surgery (A.510.3)
immediately after surgery Verifies surgical procedure
The patient states realistic Encourages patient to verbalize understanding of
expectations regarding recovery procedure
from procedure Observes behavior for nonverbal cues
The patient and family members Encourages patient to verbalize possible outcomes of
identify signs and symptoms to surgery
report to the surgeon or health care Encourages patient’s expression of fear or anxiety related
provider to surgery and the outcomes of surgery
Evalutes patient’s responses
Determines knowledge level (A.530.1)
Verifies understanding of procedure and perioperative
events
Evaluates patient’s responses to identify level of
knowledge and understanding
Implements measures to provide psychological support
(Im.510)
Assesses for signs and symptoms of anxiety or fear (eg,
preoperative insomnia, muscle tenseness, tremors,
irritability, change in appetite, restlessness, diaphoresis,
tachypnea, tachycardia, elevated blood pressure, facial
pallor or flushing, withdrawn behavior)
Orient patient to environment and care routine s and
practices
Provide information and answer questions honestly
Provides an atmosphere of care and concern (eg, privacy
nonjudgmental approach, empathy, respect)
Reinforces phycisian’s explanations and clarifies any
misconception
Explain purpose of preoperative preparations before
implementation
Encourages patient participantion in decision making and
planning postoperative care
FRAKTUR Defisiensi
Tidak mampu menahan
Pengetahuan
berat badan
Merusak jaringan sekitar Pergeseran fragmen Prosedur pembedahan Kurang informasi
tulang terkait pembedahan
Post OP
Koping tidak efektif
Pelepasan Pelepasan mediator
mediator nyeri inflamasi Pemasangan gips/pen
Ansietas
Intra OP
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Orthopaedic Surgeons. (2012). The Following are the Requirements for
Internal Fixation. Guidelines Internal Fixation Under MSF settings.
AORN. (2011). Perioperatif Nursing Data Set : The Perioperatif Nursing Vacobulary (3rd ed.).
USA: AORN,Inc.
Apley, G., & Solomon, L. (2013). Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta:
Widya Medika.
Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen klinis untuk
hasil yang diharapkan. (A. Suslia, F. Ganiajri, P. P. Lestari, R. W. A. Sari, & S.
Kurnianingsih, Eds.) (8th ed.). Singapura: Elsevier.
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013). Nursing
Interventions Classification (6th ed.). Elsevier.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan
Klasifikasi 2018-2019. Jakarta: EGC.
Kowalak, J. P., Welsh, W., & Mayer, B. (2017). Buku ajar patofisiologi (EGC). Jakarta.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (5th ed.). Elsevier.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda NIC NOC. In 2. Yogyakarta: Mediaction.
Sagaran, V. C., Manjas, M., & Rasyid, R. (2017). Distribusi Fraktur Femur Yang Dirawat Di
Rumah Sakit Dr. M. Djamil, Padang (2010-2012). Jurnal Kesehatan Andalas, 6(3), 586–
589. Retrieved from http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/742/598
Sherwood, L. (2014). Fisiologi manusia dari sel ke sistem (8th ed.). Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2015). Buku ajar keperawatan medikal-bedah (8th ed.). Jakarta:
EGC.
Potter, P.A, Perry, A.G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata Komalasari,dkk.Jakarta:EGC.