OLEH:
SERLIN MOHAMAD UMAR
C01416090
KEPERAWATAN C 2016
3. Patofisiologi
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada
yang diabsorpsinya. Fraktur pada tualng dapat menyebabkan edema
jaringan lemak, persarafan keotot dan sendi terjanggu, dislokasi sendi,
ruptur tendon, kerusakan syaraf, dan kerusakan pembuluh darah.
Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi
dan tekanan memuntir, fraktur dapat disebabkan oleh pukulan
langsung, gaya meremuk, gerakan memuntir mendadak dan bahkan
kontraksi ekstrem, sehingga tulang mengalami kegagalan menahan
tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan. Fraktur
akan mempengaruhi jaringan sekitarnya yaitu kerusakan pada saraf
sensori, kerusakan jaringan lemak dapat menyebabkan luka terbuka
sehingga memungkinkan terjadinya infeksi. Untuk kerusakan
pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan, inflamasi, dan
rupture tendon sehingga terjadinya penekanan saraf akan
menyebabkan nyeri. Selain itu juga akan mempengaruhi korteks tulang
dan periosteum sehingga akan mengalami deformitas dan pemendekan
tulang, hal itu menyebabkan ekstremitas terganggu.
Apabila tulang hidup normal dan mendapat kekerasan yang cukup
menyebabkan patah, maka sel-sel tulang mati.Perdarahan biasanya
terjadi di sekitar tempat patah dank e dalam jaringan lunak di sekitar
tulang tersebut.Jaringan lunak biasanya juga mengalami
kerusakan.Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur.Sel-sel
darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan sisa
sel mati dimulai.Di tempat patah terbentuk bekuan fibrin (hematom
fraktur) dan berfungsi sebagai jalan untuk melekatnya sel-sel
baru.Aktivitas osteoblas segera terangsang dan terbentuk tualng baru
imatur yang disebut kalus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang
sejati.Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perrlahan
mengalami klasifikasi.Penyembuhan memerlukan beberapa minggu
sampai beberapa bulan.(Corwin, 2001)
Fraktur di bagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup
.tertutup bila tidak ada hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar .sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar oleh karenaperlukaan di kulit(smelter 2002).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya di sekitar tempat patah
kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut . jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan .reaksi perdarahan biasanya timbul
hebat setelah fraktur .sel-sel darah putih dan sel anast berkumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktifitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang di sebut
callus.bekuan fibrin direabsorbsidan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati.insfusiensi pembuluh darah
atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan
yang tidak di tangani dapat menurunkan pembuluh darah atau
penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang
tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer.bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan
,oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya
serabut syaraf maupun jaringan otot.komplikasi ini dinamakan sindrom
compartment( Brunner 2002)
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik,
gangguan metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang
turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah
akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP
menurun maka terjadi peubahan perfusi jaringan. Hematoma akan
mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka
penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan
mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan ganggguan rasa
nyaman nyeri(brunner 2002).
4. ManifestasiKlinis
1) Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah
dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti
:
a. Rotasi pemendekan tulang.
b. Penekanan tulang.
2) Bengkak : Edema muncul secara cepat dari lokasi dan
ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan denganfraktur.
3) Echimosis dari perdarahanSubculaneous.
4) Spasme otot spasme involunters dekatfraktur.
5) Tenderness /keempukan.
6) Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur didaerah yangberdekata
7) Kehilangan sensasi (matirasa, mungkin terjadi dari rusaknya
syaraf/perdarahan).
8) Pergerakanabnormal.
9) Dari hilangnyadarah.
10) Krepitasi(Bare 2002 ).
5. Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada klien dengan fraktur tertutup adalah sebagai
berikut :
1) Terapi non farmakologi, terdiri dari:
a. Proteksi, untuk fraktur dengan kedudukan baik.
Mobilisasi saja tanpa reposisi, misalnya pemasangan
gips pada fraktur inkomplet dan fraktur tanpa
kedudukanbaik.
b. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips. Reposisi
dapat dalam anestesi umum ataulokal.
c. Traksi, untuk reposisi secaraberlebihan. Untuk
menghilangkan / mengurangi rasa sakit pada leher dan
bokong. Ada dua macam traksi, yaitu:
2) Traksi Kulit (skin traction)
3) Traksi Skeletal (skeletal traction). Traksi skeletal untuk jangka
pendek pada fraktur femur tibia proksimal. Traksi skeletal
untuk jangka panjang pada fraktur femur femur distal.
Adapun jenis-jenis traksi dalam ortopedi sebagai berikut :
(1) Bucks extension
a) Traksi kulit
b) Sering pada ekstremitas inferior
c) Digunakan pada fraktur femur, pelvis dan lutut
(2) Bryant’s traction
a) Disebut juga Gallow’s traction
b) Pada anak < 1 tahun
c) Dislokasi sendi panggul
d) Skin traksi
(3) Weber Extensionsapparat
a) raksi kulit dan traksi skeletal
b) Fraktur batang femur pada anak-anak
c) Cotrel traction
d) Untuk terapi skoliosis
e) Tindakan pendahuluan sebelum operasi dan
pemasangan gips.
4) Terapi farmakologi, terdiri dari:
a. Reposisi terbuka, fiksasieksternal.
b. Reposisi tertutup kontrol radiologi diikutiinterial.
Terapi ini dengan reposisi anatomi diikuti dengan fiksasi
internal. Berikan antibiotik untuk kuman gram positif
dan negatif dengan dosis tinggi. Lakukan pemeriksaan
kultur dan resistensi kuman dari dasar luka fraktur
terbuka. (Smeltzer,2010).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut
Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang
dari 3 bulan.
a. Gangguan Integritas Kulit/jaringan
Definisi : Kerusakan kulit (dermis dan/atau
epidermis) atau jaringan (membrane mukosa, kornea,
fasia, otot, tendon, tulang, kartilango, kapsul sendi
dan/atau ligament)
b. Perfusi Perifer tidak efektif
Definisi : Penurunan sirkulasi darah pada level
kapiler yang dapat menganggu metabolism tubuh
c. Resiko Infeksi
Definisi : Beresiko mengalami peningkatan
terserang organism patogenik
3. Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA
NO KEPERAWA NOC NIC
TAN
1 Nyeri Akut NOC : Pain Management
(D.0077) Pain Level, Lakukan pengkajian nyeri
secara komprehensif
Pain control, termasuk lokasi,
Comfort level karakteristik, durasi,
Kriteria Hasil : frekuensi, kualitas dan faktor
Mampu mengontrol presipitasi
nyeri (tahu penyebab Observasi reaksi nonverbal
nyeri, mampu dari ketidaknyamanan
menggunakan tehnik Gunakan teknik komunikasi
nonfarmakologi untuk terapeutik untuk mengetahui
mengurangi nyeri, pengalaman nyeri pasien
mencari bantuan) Kaji kultur yang
A. Konsep Medis
1. Definisi
Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit
disembuhkan daripada jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah,
respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan
pembentukan involukrum (pembentukan tulang baru disekeliling
jaringan tulang mati). Ostemielitis dapat menjadi masalah kronis yang
akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan
ekstremitas (Bunner dan Suddarth (2001) dalam Cahyanti (2017)).
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang dan sumsum tulang yang
dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau proses spesifik (M.
tuberculosa, jamur) (Mansjoer (2000) dalam Qorahman (2014).
Ostemielitis adalah infeksi akut tulang yang dapat terjadi karena
penyebaran infeksi dari darah. (ostemielits hematogen) atau yang lebih
sering, setelah kontaminasi fraktur terbuka atau reduksi (osteomielits
eksogen) (Corwin, 2001 dalam Cahyanti 2017)
Osteomielitis merupakan inflamasi akut atau kronis pada tulang
dan struktur penyerta yang terjadi sebagai akibat sekunder dari infeksi
bakteri (Chang (2009) dalam Nasrullah (2010)
2. Klasifikasi
Pembagian osteomielitis yang lazim menurut Arif Mansjoer (2000)
dalam Qorahman (2014) , yaitu:
a. Osteomielitis primer, yang disebabkan penyebaran secara
hematogen dari fokus lain. Osteomielitis primer dapat dibagi
menjadi osteomielitis akut dan kronik.
b. Osteomielitis hematogen akut adalah fase sejak terjadinya
infeksi 10-15 hari. Osteomielitis hematogen akun pada
dasarnya adalah penyakit pada tulang yang sedang tumbuh.
Tulang yang sering terkena adalah tulang panjang dan tersering
femur, diikuti oleh tibia, jumerus, radius, ulna dan fibula.
Bagian tulang yangterkena adalah bagian metafisis.
c. Osteomielitis kronik, yakni jika tidak diterapi secara adekuat,
akan berkembang menjadi osteomielitis kronik.
d. Osteomielitis sekunder atau osteomielitis perkontinuitanum
yang disebabkan penyebaran kuman dari sekitarnya, seperti
bisul dan luka. Selain itu, osteomielitis juga diklasifikasikan ke
dalam:
1) Osteomielitis hematogen, yakni yang disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari focus lain di dalam tubuh.
2) Osteomilietis eksogen, yakni yang disebabkan oleh infeksi
dari luar tubuh secara langsung. Contohnya trauma tembus
atau fraktur terbuka.
3. Etiologi
a. Staphylococcus aureus hemolyticus (koagulasi positif) sebanyak
90% dan jarang oleh Streptococcus hemolyticus
b. Haemophilus influenszae (5-50%) pada usia di bawah 4 tahun
c. Organisme lain seperti B. coli, B. aeruginosa capsulate, Prateus
mirabilis, Brucella, dan bakteri anaerob yaitu Bacterioiddes
fragilis.
d. Penyebaran hematogen dari focus infeksi di tempat lain: tonsil
yang terinfeki, infeksi gigi, infeksi saluran nafas bagian atas
e. Penyebaran infeksi jaringan lunak: ulkus dekubitus yang
terinfeksi atau ulkus vaskuler
f. Kontaminasi langsung dengan tulag: fraktur terbuka, cedera
traumatic (luka tembak dan pembedahan tulang
4. Patofisiologi
Faktor-faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit yaitu
virulensi organisme dan kerentanan hospes dengan status imun yang
rendah. Penyakit ini lebih terbatas pada metafisis tulang karena
pembuluh darah cenderung melingkari metafisis sehingga
memungkinkan emboli terinfeksi menyangkut di daerah itu dan lapisan
epifisis dapat mencegah penyebaran infeksi ke sendi sehingga infeksi
terkoalisir di metafisis. Itulah sebabnya mengapa infeksi terjadi pada
lapisan metafisis tulang yang mengalami pertumbuhan pada anak-
anak. Tetapi pada orang dewasa terjadi di diafisis.. Emboli yang
terinfeksi menyangkut di dalam pembuluh darah, menyebabkan
trombosis sehingga mengakibatkan nekrosis avaskuler pada bagian
korteks tulang. Respons peradangan terhadap infeksi mengakibatkan
suhu tubuh meningkat dan terjadi oedem dan mengakibatkan
terangkatnya periosteum dari tulang sehingga memutuskan lebih
banyak suplai darah. Tulang yang mengalami nekrosis dikenal sebagai
sekuestrum. Tulang dimana periosteum terangkat melapisi tulang yang
mati dikenal dengan involukrum. Pus mencari jalan keluar dari lapisan
tulang baru melalui serangkaian lubang yang dikenal dengan kloaka.
Osteomielitis paling sering disebabkan oleh staphylococcus aureus.
Organisme penyebab yang lain yaitu salmonella, streptococcus, dan
pneumococcus. Metafisis tulang terkena dan seluruh tulang mungkin
terkena. Tulang terinfeksi oleh bakteri melalui 3 jalur : hematogen,
melalui infeksi di dekatnya atau scara langsung selama pembedahan.
Reaksi inflamasi awal menyebabkan trombosis, iskemia dan nekrosis
tulang. Pus mungkin menyebar ke bawah ke dalam rongga medula atau
menyebabkan abses superiosteal. Suquestra tulang yang mati
terbentuk. Pembentukan tulang baru dibawah perioteum yang
terangkan diatas dan disekitar jaringan granulasi, berlubang oleh sinus-
sinus yang memungkinkan pus keluar.
Osteomielitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah
terjadi disebabkan adanya bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini
ditandai dengan infeksi akut pada tulang yang berasal dari bakteri yang
berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh dari tulang yang
mengalami peradangan. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak
dan disebut dengan osteomyelitis hematogenous akut. Lokasi yang
paling sering terkena adalah metaphyse yang bervaskularisasi tinggi
dan dalam masa perkembangan yang cepat. Perlambatan aliran darah
yang terjadi pada pada metaphyse distal menyebabkan mudahnya
terjadi thrombosis dan dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri.
Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung dari jaringan sekitar
terjadi akibat kontak langsung dari jaringan tulang dan bakteri akibat
trauma atau post operasi. Mekanisme ini dapat terjadi oleh karena
inokulasi bakteri langsung akibat cedera tulang terbuka, bakteri yang
berasal dari jaringan sekitar tulang yang mengalami infeksi, atau sepsis
setelah prosedur operasi.
5. Manifestasi Klinis
a. Osteomielitis eksogen biasanya disertai tanda-tanda cedera dan
peradangan di tempat nyeri
b. Pembesaran kelenjar getah bening regional
c. Pada anak mengalami keengganan menggerakkan anggota
badan yang sakit
d. Panas tinggi, anoreksia
e. Menggigil
f. Lemah dan malaise (adanya proses septicemia)
g. Nyeri tulang dekat sendi
h. Tidak dapat menggerakkan anggota tubuh bersangkutan
i. Tidak ada kelainan foto rontgen (fase akut)
j. Pembengkakan local (tanda-tanda radang akut: rubor, dolor,
kalor, tumor, fungsi larsa dan nyeri tekan
k. Fistel kronik yang mengeluarkan nanah dan kadang skuester
kecil (fase kronis)
l. Foto ditemukan skuester dan pembentukan tulang baru (fase
kronis)
m. Pada pemeriksaan laboratrium (Leukositosis, anemia, LED
meningkat)
6. Penatalaksanaan Medis
Beberapa prinsip penatalaksanaan klien osteomielitis yang perlu
diketahui perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan agar
mampu melaksanakan tindakan kolaboratif adalah sebagai berikut:
a. Istirahat dan memberikan analgesic untuk menghilangkan nyeri
b. Pemberian cairan intravena dan kalau perlu lakukan tranfusi
darah
c. Istirahat local dengan bidai dan traksi
d. Pemberian antibiotic secepatnya sesuai dengan penyebab utama
yaiu staphylococcus aureus sambil menunggu biakan kuman.
Antibiotic diberikan selama 3-6 minggu dengan melihat keadaan
umum dan endap darah klien. Antibiotic tetap diberikan hingga
2 minggu setelah endap darah normal.
e. Drainase bedah, apabila setelah 24 jam pengobatan local dan
sistemik antibiotic gagal (tidak ada perbaikan keadaan umum),
dapat dipertimbangkan drainase bedah. Pada drainase bedah, pus
periosteal dievakuasi untuk mengurangi tekanan intra-useus. Di
samping itu, pus juga digunakan untuk biakan kuman, drainase
dilakukan selama beberapa hari dan menggunakan NaCl dan
antibiotic.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah: sel darah putih meningkat sampai 30.000
disertai laju endap darah, pemeriksaan tier antibody anti-
stafilokokus, pemeriksaan kultur darah untuk menentukan
bakterinya (50% positif) dan diikuti uji sensitivitas. Selain itu,
juga harus diperiksa adanya penyakit anemia sel sabit yang
merupakan jenis osteomielitis yang jarang terjadi
b. Pemeriksaan feses: pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan
bila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri
c. Pemeriksaan biopsy: pemeriksaan dilakukan pada tempat yang
dicurigai
d. Pemeriksaan ultra sound: pemeriksaan ini dapat memperlihatkan
efusi pada sendi
e. Pemeriksaan radiologi: pada pemeriksaan foto polos sepuluh
hari pertama, tidak ditemukan kelainan radiologis yang berarti,
dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak.
Gambaran destruksi tulang dapat dilihat setelah sepulu hari (2
minggu). Pemeriksaan radiostope akan memperlihatkan
penangkapan isotop pada daerah lesi.
8. Komplikasi
a. Dini:
1) Kekakuan yang permanen pada persendian terdekat (jarang
terjadi)
2) Abses yang masuk ke kulit dan tidak mau sembuh sampai
tulang yang mendasarinya sembuh
3) Arthritis septic
b. Lanjut:
1) Osteomielitis kronik ditandai oleh nyeri heba, rekalsitran, dan
penurunan fungsi tubuh yang terkena.
b. Intraoperatif
No. Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Resiko tinggi Tujuan : 1. Monitor perdarahan pada
perdarahan Terjadi daerah pembedahan setelah
berhubungan perdarahan. dilakukan insisi.
dengan proses Kriteria hasil : 2. Ingatkan operator dan asisten
pembedahan Terjadi bila terjadi perdarahan hebat.
perdarahan, 3. Monitor vital sign.
TTV dalam 4. Monitor cairan
batas normal.
c. Postoperatif
No. Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Nyeri Akut yang Tujuan : Setelah 1. Kaji lokasi, intensitas dan
berhubungan dengan dilakukan tindakan tipe nyeri.
inflamasi, insisi dan keperawatan 2. Tinggikan dan dukung
drainase. diharapkan nyeri ekstremitas yang terkena.
berkurang. 3. Jelaskan prosedur sebelum
Kriteria Hasil :Klien memulai tindakan
akan mengekspresikan keperawatan.
perasaan nyerinya, 4. Lakukan dan awasi latihan
klien dapat tenang dan rentang gerak pasif atau
istirahat yang cukup, aktif.
Klien dapat mandiri 5. Berikan alternatif tindakan
dalam perawatan dan kenyamanan, contoh
penanganannya secara perubahan posisi.
sederhana. 6. Dorong menggunakan
tehnik manajemen stress,
latihan nafas dalam.
7. Berikan obat sesuai
indikasi : narkotik dan
analgesik non narkotik
2. Risiko infeksi Tujuan : Tidak terjadi 1. Berikan perawatan luka.
berhubungan dengan pesiko perluasan infeksi 2. Ganti balutan dengan
luka insisi. yang dialami. sering, pembersihan dan
Kriteria Hasil : pengeringan kulit
Mencapai waktu sepanjang waktu.
penyembuhan. 3. Berikan antibiotic sesuai
indikasi.
3. Hambatan Tujuan : Gangguan 1. Pertahankan tirah baring
mobilisasi fisik mobilitas fisik dapat dalam posisi yang di
berhubungan dengan berkurang setelah programkan.
nyeri, alat dilakukan tindakan 2. Tinggikan ekstremitas
imobilisasi dan keperawatan yang sakit, instruksikan
keterbatasan Kriteria Hasil : klien / bantu dalam
menahan beban Meningkatkan latihan rentang gerak
berat badan. mobilitas pada pada ekstremitas yang
tingkat paling tinggi sakit dan tak sakit.
yang mungkin, 3. Beri penyanggah pada
mempertahankan ekstremitas yang sakit
posisi fungsional, pada saat bergerak.
menunjukkan teknik 4. Fisioterapi / auskultasi
mampu melakukan terapi.
aktivitas.
DAFTAR PUSTAKA
Bunner. 2002. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta : EGC
With osteoarthritis, the cartilage becomes worn away. Spurs grow out
from the edge of the bone, and synovial fluid increases. Altogether, the
joint feels stiff and sore (National Institute of Arthritis and
Muskuloskeletal and Skin Disease, 2015).
2. Klasifikasi
a. Berdasarkan Etiologi
Berdasarkan etiologinya, osteoarthritis dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer
disebut juga sebagai osteoarthritis idiopatik dimana penyebabnya
tidak diketahui. Namun demikian OA primer ini sering dihubungkan
dengan proses penuaan atau degenerasi. Osteoarthritis sekunder
terjadi disebabkan oleh suatu penyakit ataupun kondisi tertentu,
contohnya adalah karena trauma, kelainan kongenital dan
pertumbuhan, kelainan tulang dan sendi, dan sebagainya (Maya
Yanuarti, 2014).
b. Berdasarkan letaknya
Osteoarthritis dapat menyerang sendi mana pun. Akan tetapi
sendi yang paling sering terkena adalah sendi yang teletak pada
tangan, lutut, panggul, dan vertebra.
1) Grade 0 : normal
2) Grade 1 : sendi normal, terdapat sedikit osteofit
3) Grade 2 : osteofit pada dua tempat dengan sklerosis subkondral,
celah sendi normal, terdapat kista subkondral
4) Grade 3 : osteofit moderat, terdapat deformitas pada garis
tulang, terdapat penyempitan celah sendi
5) Grade 4 : terdapat banyak osteofit, tidak ada celah sendi,
terdapat kista subkondral dan sclerosis
3. Patofisiologi
Osteoartritis selama ini dipandang sebagai akibat dari suatu proses
penuaan yang tidak dapat dihindari. Namun, penelitian para pakar
terbaru menyatakan bahwa OA ternyata merupakan penyakit gangguan
homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur
proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum diketahui. Jejas
mekanis dan kimiawi diduga merupakan faktor penting yang
merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi
kartilago di dalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi
inflamasi sendi, kerusakan kondrosit, dan nyeri. Jejas mekanik dan
kimiawi pada sinovial sendi yang terjadi multifaktorial antara lain
karena faktor umur, humoral, genetik, obesitas, stress mekanik atau
penggunaan sendi yang berlebihan, dan defek anatomik (Maya
Yanuarti, 2014).
4. Etiologi
Hampir pada setiap aktivitas sehari-hari terjadi penekanan pada
sendi, terutama sendi yang menjadi tumpuan beban tubuh seperti
pergelangan kaki, lutut, dan panggul. Hal tersebut memiliki peranan
yang penting dalam terjadinya OA. Banyak peneliti percaya bahwa
perubahan degenerative merupakan hal yang mengawali terjadinya OA
primer (Carlos J Lozada et al, 2015). Sedangkan obesitas, trauma, dan
penyebab lain merupakan factor-faktor yang menyebabkan terjadinya
OA sekunder.
5. Faktor Resiko
Faktor resiko OA dibagi ke dalam faktor endogenous dan
eksogenous. Yang merupakan faktor endogenous adalah usia, jenis
kelamin, genetik, ras/suku, dan perubahan hormone post-menopause.
Sedangkan yang merupakan faktor eksogenous adalah makrotrauma,
repetitive mikrotrauma, obesitas, riwayat operasi sendi, dan gaya hidup
(merokok dan konsumsi alcohol) (Joern W.-P. Michael et al, 2010).
a. Usia
Dengan pertambahan usia akan terjadi penurunan volume
kartilago, kandungan proteoglikan, vaskularisasi kartilago, dan
perfusi kartilago. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan
karakteristik yang dapat ditemukan pada gambaran radiologi,
termasuk penipisan pada celah persendian, dan timbulnya
ostheopite. Namun demikian, penelitian mengenai biokimia dan
patofisiologi OA mendukung gagasan bahwa usia itu sendiri sudah
cukup menjadi penyebab OA (Carlos J Lozada et al, 2015).
b. Jenis Kelamin
Penelitian telah menunjukan bahwa OA pada laki-laki usia 60
sampai 64 tahun lebih banyak ditemukan pada lutut kanan (23 %)
dibandingkan pada lutut kiri (16,3%), sedangkan pada wanita
menunjukan distribusi yang cukup seimbang antara lutut kanan dan
kiri (lutut kanan, 24,2%; lutut kiri, 24,7%) (Joern W.-P. Michael et
al, 2010).
c. Genetik
Sebuah komponen genetik, terutama yang melibatkan beberapa
persendian dalam terjadinya OA, sudah lama diketahui. Beberapa
gen secara langsung berhubungan dengan terjadinya OA, dan
banyak yang telah ditentukan berhubungan dengan faktor-faktor
yang berkontribusi, seperti inflamasi yang parah dan obesitas
(Carlos J Lozada et al, 2015).
d. Ras
Prevalensi OA lutut pada penderita di negara Eropa dan
Amerika tidak berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan
bahwa ras Afrika – Amerika memiliki risiko menderita OA lutut 2
kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia. Penduduk Asia juga
memiliki risiko menderita OA lutut lebih tinggi dibandingkan
Kaukasia. Suatu studi lain menyimpulkan bahwa populasi kulit
berwarna lebih banyak terserang OA dibandingkan kulit putih
(Maya Yanuarti, 2014).
6. Manifestasi Klinis
Pasien dengan OA sering mengeluhkan nyeri pada saat bergerak,
biasanya terjadi ketika pergerakan dimulai atau ketika pasien mulai
berjalan. Seiring dengan progresifitas OA, nyeri terus berlanjut, dan
fungsi sendi semakin terganggu (Joern W.-P. Michael et al, 2010).
7. Pemeriksaan penunjang
Pada anamnesis akan ditemukan keluhan seperti nyeri dirasakan
berangsur-angsur (onset gradual), tidak disertai adanya inflamasi (kaku
sendi dirasakan < 30 menit, bila disertai inflamasi, umumnya dengan
perabaan hangat, bengkak yang minimal, dan tidak disertai kemerahan
pada kulit) tidak disertai gejala sistemik, dan nyeri sendi saat beraktivitas.
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan pasien saat ini
b. Riwayat kesehatan sekarang
c. Riwayat kesehatan masa lalu
Bagaimana riwayat kesehatan masa lalu pasien seperti kebiasan
pasien, aktivitas sehari-hari pasien, penyakit yang pernah dialami,
bagaimana pengobatan yang dilakukan.
d. Riwayat keadaan psikososial
1. Persepsi pasien tentang penyakitnya
2. Konsep Diri
3. Keadaan Emosi
4. Hubungan social
5. Spiritual
e. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum pasien
2) Tanda-tanda vital
3) Pemeriksaan head to toe
a. Kepala dan rambut : Bentuk kepala, Ubun-ubun, Kulit kepala,
Penyebaran dan keadaan rambut.
b. Wajah : Warna kulit, Struktur wajah
c. Mata : Kelengkapan dan kesimetrisan, Palpebra , Konjungtiva
dan sclera, Pupil, Kornea dan iris.
d. Hidung : Tulang hidung dan posisi septum nasi, Lubang hidung
e. Telinga : Bentuk telinga, Ukuran telinga, Lubang telinga,
Ketajaman pendengaran.
f. Mulut : Keadaan bibir, Keadaan gusi dan gigi, Keadaan lidah,
Keadaan bibir, Keadaan gusi, Keadaan lidah
g. Leher : Thyroid , Suara, Denyut nadi karotis, Vena jugularis
h. Pemeriksaan Integument : Kebersihan, Kehangatan, Warna,
Turgor, Kelembaban, Kelainan pada kulit.
i. Pemeriksaan Thoraks/Dada : Inspeksi thoraks, Pernafasan,
palpasi, perkusi, auskultasi toraks.
j. Pemeriksaan Abdomen : Inspeksi, Palpasi, perkusi, auskultasi.
k. Kesimetrisan : Ekstremitas atas, Ekstremitas bawah, Edema,
Kekuatan otot, Pemeriksaan Neurologi.
l. Fungsi motorik : Cara berjalan, Pronasi dan Supinasi, Romberg
test.
m. Fungsi Sensorik : Test tajam – tumpul, Test panas – dingin.
f. Pola kebiasaan sehari-hari
a. Pola Makan dan Minum : Frekuensi makan/hari, Nafsu/selera
makan, Waktu pemberian makan, Jumlah dan jenis, Waktu
pemberian cairan/ minuman.
b. Perawatan Diri / Personal Hygiene : Kebersihan tubuh, Kebersihan
gigi dan mulut, Kebersihan kuku kaki dan tangan.
c. Pola Kegiatan / Aktivitas : Klien tidak memiliki kegiatan rutin
karena penyakitnya
d. Eleminasi BAB : Pola BAB, karakter feses, Riwayat Pendarahan
e. Eleminasi BAK : Pola BAK, Karakter urine, Nyeri/rasa
terbakar/kesulitan BAK, Riwayat penyakit ginjal/ kandung kemih.
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri kronis
D.0078
Kategori : Psikologis
Subkategori : Nyeri dan kenyamanan
b. Gangguan mobilitas fisik
D.0054
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Aktivitas dan iatirahat
3. Rencana intervensi
No Diagnose NOC NIC
Subjektif :
1. Sendi kaku
2. Gerakan tidak
terorganisasi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah
DAFTAR PUSTAKA
Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi Dan Indikator Diagnostic Edisi 1. Jakarta . Dewan Pengurus
Pusat.
Cibulka, M. T., White, D. M., Woehrle, J., Harris-Heyes, M. I., Enseki, K.,
Flagerson, T. L., et al. (2009). Hip Pain and Mobility Deficits-Hip
Osteoarthritis: Clinical Practice Guidelines Linked to The International
Classification of Functioning, Disability, and Health from the Orthopaedic
Section of The American Physical Therapy Association. The Journal of
Orthopaedic & Sport Physical Therapy, 39(4): A1-A25.
Farnaghi, S., Prasadam, I., Cai, G., Friis, T., Du, Z., et al. (2016). Protective
effects of mitochondria-targeted antioxidants and statins on
cholesterolinduced osteoarthritis. The FASEB JOURNAL.
http://www.rheumatology.org/I-Am-A/Patient-Caregiver/Diseases-
Conditions/Osteoarthritis