Anda di halaman 1dari 47

RESUME

“ LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN


KEPERAWATAN PADA SISTEM MUSCULOSKELETA”

OLEH:
SERLIN MOHAMAD UMAR
C01416090
KEPERAWATAN C 2016

PROGRAM STUDY NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
2018
LAPORAN PENDAHULUAN
DENGAN DIAGNOSA MEDIS FRAKTUR

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. Pengertian
Fraktur adalah putusnya hubungan suatu tulang atau tulang
rawan yang disebabkan oleh kekerasan (PTICE 2010).Fraktur
atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer 2010).Fraktur tertutup adalah bila tidak ada hubungan
patah tulang dengan dunia luar. Fraktur terbuka adalah fragmen
tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensial untuk
terjadi infeksi (Sjamsuhidajat,2006).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang femur
yang biasterjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas,
jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami oleh
laki-laki dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan
perdarahan yang cukup banyak, mengakibatkan pendertia jatuh
dalam syok (Multakin 2008). Beberapa pengertianfraktur
menurut para ahli antara lain :
Fraktur adalah terputusnya kontunuitas tulang, fraktur terjadi
ketika tekanan yang kuat diberikan pada tulang normal atau
tekanan yang sedang pada tulang terkena penyakit, misalnya
osteoporosis (Grace & Borley, 2007)
Fraktur atau yang sering kali disebut dengan patah tulang,
adalah sebuah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh
trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudur dari tenaga
tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang
akan menentukkan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau
tidak lengkap (Price & Wilson, 2006) dalam Wijaya & Putri,
2013)
Fraktur tulang terjadi apabila resistensi tulang terhadap
tekanan menghasilkan daya untuk menekan. Ketika terjadi
fraktur apda sebuah tulang, maka periosteum serta pembuluh
darah di dalam korteks, sumsum tulang, dan jaringan lunak di
sekitarnya akan mengalami disrupsi, hematoma akan terbentuk
diantara kedua ujung patahan tulang serta di bawah periosteum,
dan akhirnya jaringan granulasi menggantikan hematoma
(Wong, 2009)
2. Etiologi
Menurut Sachdeva (2008), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu
a. CederaTraumatik. Cedera traumatik pada tulang dapat
disebabkan oleh
1) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit
diatasnya.
2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh
dari lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur
dan menyebabkan frakturklavikula.
b. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari
otot yang kuat.
1) FrakturPatologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit
dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur
dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut:
a. Tumor Tulang ( Jinak atau Ganas ) : pertumbuhan
jaringan baru yang tidak terkendali danprogresif.
b. Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai
akibat infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah
satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh
defisiensi Vitamin D yang mempengaruhi semua
jaringan skelet lain, biasanya disebabkan kegagalan
absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium
atau fosfat yangrendah.
d. Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang
yang berutgas di kemiliteran
c. SecaraSpontan
Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya
pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.

3. Patofisiologi
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar daripada
yang diabsorpsinya. Fraktur pada tualng dapat menyebabkan edema
jaringan lemak, persarafan keotot dan sendi terjanggu, dislokasi sendi,
ruptur tendon, kerusakan syaraf, dan kerusakan pembuluh darah.
Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat menahan kompresi
dan tekanan memuntir, fraktur dapat disebabkan oleh pukulan
langsung, gaya meremuk, gerakan memuntir mendadak dan bahkan
kontraksi ekstrem, sehingga tulang mengalami kegagalan menahan
tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan. Fraktur
akan mempengaruhi jaringan sekitarnya yaitu kerusakan pada saraf
sensori, kerusakan jaringan lemak dapat menyebabkan luka terbuka
sehingga memungkinkan terjadinya infeksi. Untuk kerusakan
pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan, inflamasi, dan
rupture tendon sehingga terjadinya penekanan saraf akan
menyebabkan nyeri. Selain itu juga akan mempengaruhi korteks tulang
dan periosteum sehingga akan mengalami deformitas dan pemendekan
tulang, hal itu menyebabkan ekstremitas terganggu.
Apabila tulang hidup normal dan mendapat kekerasan yang cukup
menyebabkan patah, maka sel-sel tulang mati.Perdarahan biasanya
terjadi di sekitar tempat patah dank e dalam jaringan lunak di sekitar
tulang tersebut.Jaringan lunak biasanya juga mengalami
kerusakan.Reaksi peradangan hebat timbul setelah fraktur.Sel-sel
darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan sisa
sel mati dimulai.Di tempat patah terbentuk bekuan fibrin (hematom
fraktur) dan berfungsi sebagai jalan untuk melekatnya sel-sel
baru.Aktivitas osteoblas segera terangsang dan terbentuk tualng baru
imatur yang disebut kalus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang
sejati.Tulang sejati menggantikan kalus dan secara perrlahan
mengalami klasifikasi.Penyembuhan memerlukan beberapa minggu
sampai beberapa bulan.(Corwin, 2001)
Fraktur di bagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup
.tertutup bila tidak ada hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar .sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar oleh karenaperlukaan di kulit(smelter 2002).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya di sekitar tempat patah
kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut . jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan .reaksi perdarahan biasanya timbul
hebat setelah fraktur .sel-sel darah putih dan sel anast berkumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktifitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang di sebut
callus.bekuan fibrin direabsorbsidan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati.insfusiensi pembuluh darah
atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan
yang tidak di tangani dapat menurunkan pembuluh darah atau
penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang
tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer.bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan
,oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya
serabut syaraf maupun jaringan otot.komplikasi ini dinamakan sindrom
compartment( Brunner 2002)
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma
gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik,
gangguan metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang
turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah
akan mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP
menurun maka terjadi peubahan perfusi jaringan. Hematoma akan
mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edem lokal maka
penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan
mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan ganggguan rasa
nyaman nyeri(brunner 2002).

4. ManifestasiKlinis
1) Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah
dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti
:
a. Rotasi pemendekan tulang.
b. Penekanan tulang.
2) Bengkak : Edema muncul secara cepat dari lokasi dan
ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan denganfraktur.
3) Echimosis dari perdarahanSubculaneous.
4) Spasme otot spasme involunters dekatfraktur.
5) Tenderness /keempukan.
6) Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari
tempatnya dan kerusakan struktur didaerah yangberdekata
7) Kehilangan sensasi (matirasa, mungkin terjadi dari rusaknya
syaraf/perdarahan).
8) Pergerakanabnormal.
9) Dari hilangnyadarah.
10) Krepitasi(Bare 2002 ).
5. Penatalaksanaan
Penatalaksaan pada klien dengan fraktur tertutup adalah sebagai
berikut :
1) Terapi non farmakologi, terdiri dari:
a. Proteksi, untuk fraktur dengan kedudukan baik.
Mobilisasi saja tanpa reposisi, misalnya pemasangan
gips pada fraktur inkomplet dan fraktur tanpa
kedudukanbaik.
b. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips. Reposisi
dapat dalam anestesi umum ataulokal.
c. Traksi, untuk reposisi secaraberlebihan. Untuk
menghilangkan / mengurangi rasa sakit pada leher dan
bokong. Ada dua macam traksi, yaitu:
2) Traksi Kulit (skin traction)
3) Traksi Skeletal (skeletal traction). Traksi skeletal untuk jangka
pendek pada fraktur femur  tibia proksimal. Traksi skeletal
untuk jangka panjang pada fraktur femur  femur distal.
Adapun jenis-jenis traksi dalam ortopedi sebagai berikut :
(1) Bucks extension
a) Traksi kulit
b) Sering pada ekstremitas inferior
c) Digunakan pada fraktur femur, pelvis dan lutut
(2) Bryant’s traction
a) Disebut juga Gallow’s traction
b) Pada anak < 1 tahun
c) Dislokasi sendi panggul
d) Skin traksi
(3) Weber Extensionsapparat
a) raksi kulit dan traksi skeletal
b) Fraktur batang femur pada anak-anak
c) Cotrel traction
d) Untuk terapi skoliosis
e) Tindakan pendahuluan sebelum operasi dan
pemasangan gips.
4) Terapi farmakologi, terdiri dari:
a. Reposisi terbuka, fiksasieksternal.
b. Reposisi tertutup kontrol radiologi diikutiinterial.
Terapi ini dengan reposisi anatomi diikuti dengan fiksasi
internal. Berikan antibiotik untuk kuman gram positif
dan negatif dengan dosis tinggi. Lakukan pemeriksaan
kultur dan resistensi kuman dari dasar luka fraktur
terbuka. (Smeltzer,2010).

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian
tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberrikan arah
terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantung pada tahap ini
a. Anamnesa
1) IdentitasKlien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor rekam
medik, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis.
2) KeluhanUtama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri.Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung
dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian
yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan: (1)
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor memperberat dan faktor yang memperingan/
mengurangi (2) nyeriQuality of Pain: seperti apa rasa nyeri
yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti
terbakar, berdenyut, atau menusuk. (3) Region : radiation,
relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi. (4)
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuanfungsinya. (5) Time: berapa lama nyeri
berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam
hari atau sianghari.
3) Riwayat PenyakitSekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan
sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam
membuat rencana tindakan terhadap klien.Ini bisa berupa
kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya
bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh
mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui
mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka
kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan
penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama
tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-
penyakit tertentu seperti kanker tulang yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit
untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat PenyakitKeluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi
pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik
6) RiwayatPsikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat
7) Pola-Pola FungsiKesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien
melakukan olahraga atau tidak
(2) Pola Nutrisi danMetabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat
besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia.Selain itu juga
obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas
klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur
humerus dan fraktur tibia tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri
dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan
atautidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien.Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanyatidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien, seperti memenuhi
kebutuhan sehari hari menjadi berkurang. Misalnya
makan, mandi, berjalan sehingga kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain.
b. PemeriksaanFisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis).Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana
spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit
tetapi lebihmendalam.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut
Definisi : Pengalaman sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang
dari 3 bulan.
a. Gangguan Integritas Kulit/jaringan
Definisi : Kerusakan kulit (dermis dan/atau
epidermis) atau jaringan (membrane mukosa, kornea,
fasia, otot, tendon, tulang, kartilango, kapsul sendi
dan/atau ligament)
b. Perfusi Perifer tidak efektif
Definisi : Penurunan sirkulasi darah pada level
kapiler yang dapat menganggu metabolism tubuh
c. Resiko Infeksi
Definisi : Beresiko mengalami peningkatan
terserang organism patogenik

3. Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA
NO KEPERAWA NOC NIC
TAN
1 Nyeri Akut NOC : Pain Management
(D.0077)  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri
secara komprehensif
 Pain control, termasuk lokasi,
 Comfort level karakteristik, durasi,
Kriteria Hasil : frekuensi, kualitas dan faktor
 Mampu mengontrol presipitasi
nyeri (tahu penyebab  Observasi reaksi nonverbal
nyeri, mampu dari ketidaknyamanan
menggunakan tehnik  Gunakan teknik komunikasi
nonfarmakologi untuk terapeutik untuk mengetahui
mengurangi nyeri, pengalaman nyeri pasien
mencari bantuan)  Kaji kultur yang

 Melaporkan bahwa mempengaruhi respon nyeri

nyeri berkurang  Evaluasi pengalaman nyeri


dengan menggunakan masa lampau

manajemen nyeri  Evaluasi bersama pasien dan

 Mampu mengenali tim kesehatan lain tentang

nyeri (skala, intensitas, ketidakefektifan kontrol nyeri

frekuensi dan tanda masa lampau

nyeri)  Bantu pasien dan keluarga

 Menyatakan rasa untuk mencari dan

nyaman setelah nyeri menemukan dukungan

berkurang  Kontrol lingkungan yang

 Tanda vital dalam dapat mempengaruhi nyeri

rentang normal seperti suhu ruangan,


pencahayaan dan kebisingan
 Kurangi faktor presipitasi
 Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non
farmakologi dan inter
personal)
 Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi
 Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
 Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
 Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri
 Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
 Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teraturEvaluasi
efektivitas analgesik, tanda
dan gejala (efek samping)
2 Gangguan NOC : Pressure Management
Integritas  Tissue integrity: skin  Anjurkan pasien untuk
Kulit and menggunakan pakaian yang
 Mucous membranes longer
 Hemodyalis akses  Hidari kerutan pada tempat
Kriteria Hasil : tidur
 Integritas kulit yang  Jaga kebersihan kulit agar
baik bisa tetap bersih dan kering
dipertahankan (sensasi,  Mobilisasi pasien (ubah
elastisitas temeratur, posisi pasien) setiap dua jam
hidrasi, pigmentasi) sekali
 Tidak ada luka/lesi  Monitor kulit akan adanya
pada kulit kemerahan
 Perfusi jaringan baik  Oleskan lotion atau
 Menunjukkan minyak/baby oil pada daerah
pemahaman dalam yang tertekan
rpses perbaikan kulit  Monitor tanda dan gejala
dan mencegah infeksi pada area insisi
terjadinya cedera  Bersihkan area sekitar jahitan
berulang atau staples menggunakan
lidi kapas steril
 Gunakan preparat antiseptic
sesuai program

3 Perfusi NOC : Peripheral Sensation


Perifer tidak  Circulation status Management (Manajemen
Efektif  Tissue perfusion : sensasi Perifer)
cerebral  Monitor adanya daerah
Kriteria Hasil : tertentu yang hanya peka
Mendemonsrasikan terhadap
status sirkulasi yang panas/dingin/tajam/tumpul
ditandai dengan :  Gunakan sarung tangan utuk
 Tekanan systole dan proteksi
diastole dalam rengkan  Batasi gerakan pada kepala,
yang diharapkan leher, dan punggung
 Tidak ada ortostatik  Monitor kemampuan BAB
hipertensi
 Tidak ada tanda-tanda
peningkatan
intrakarnial (tidak
lebih dari 15 mmHg)
Mendemonstrasikan
kemampuan kognitif
yang ditandai dengan
 Berkomunikasi dengan
jelas dan sesuai
kemampuan
menunjukkan
perhatian, konsentrasi,
dan orientasi
 Memperoses informasi
4 Resiko Setelah dilakukan KONTROL INFEKSI
Infeksi tindakan keperawatan  Bersihkan lingkungan setelah
selama....x24 jam status dipakai pasien lain
kekebalan pasien  Pertahankanteknikisolasi
meningkat dengan  Batasipengunjungbilaperlu
indilaktor :  Cuci tangan sebelum dan
 tidakdidapatkaninfeksi sesudah tindakan
berulang keperawatan
 tidakdidapatkantumor  Gunakan universal
 status precaution dan gunakan
rspirasisesuaiyangdiha sarung tanganselma kontak
rapkan temperatur dengankulit yang tidakutuh
badan sesuai yang  Berikan terapi antibiotik bila
diharapkan perlu
 integritas kulit  Observasi dan laporkan tanda
 integritasmukosa
dan gejal infeksi seperti
kemerahan,panas,nyeri,tumor
 Istirahatyangadekuat
LAPORAN PENDAHULUAN OSTEOMIELITIS

A. Konsep Medis
1. Definisi
Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit
disembuhkan daripada jaringan lunak karena terbatasnya asupan darah,
respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan
pembentukan involukrum (pembentukan tulang baru disekeliling
jaringan tulang mati). Ostemielitis dapat menjadi masalah kronis yang
akan mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan
ekstremitas (Bunner dan Suddarth (2001) dalam Cahyanti (2017)).
Osteomielitis adalah infeksi pada tulang dan sumsum tulang yang
dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau proses spesifik (M.
tuberculosa, jamur) (Mansjoer (2000) dalam Qorahman (2014).
Ostemielitis adalah infeksi akut tulang yang dapat terjadi karena
penyebaran infeksi dari darah. (ostemielits hematogen) atau yang lebih
sering, setelah kontaminasi fraktur terbuka atau reduksi (osteomielits
eksogen) (Corwin, 2001 dalam Cahyanti 2017)
Osteomielitis merupakan inflamasi akut atau kronis pada tulang
dan struktur penyerta yang terjadi sebagai akibat sekunder dari infeksi
bakteri (Chang (2009) dalam Nasrullah (2010)

2. Klasifikasi
Pembagian osteomielitis yang lazim menurut Arif Mansjoer (2000)
dalam Qorahman (2014) , yaitu:
a. Osteomielitis primer, yang disebabkan penyebaran secara
hematogen dari fokus lain. Osteomielitis primer dapat dibagi
menjadi osteomielitis akut dan kronik.
b. Osteomielitis hematogen akut adalah fase sejak terjadinya
infeksi 10-15 hari. Osteomielitis hematogen akun pada
dasarnya adalah penyakit pada tulang yang sedang tumbuh.
Tulang yang sering terkena adalah tulang panjang dan tersering
femur, diikuti oleh tibia, jumerus, radius, ulna dan fibula.
Bagian tulang yangterkena adalah bagian metafisis.
c. Osteomielitis kronik, yakni jika tidak diterapi secara adekuat,
akan berkembang menjadi osteomielitis kronik.
d. Osteomielitis sekunder atau osteomielitis perkontinuitanum
yang disebabkan penyebaran kuman dari sekitarnya, seperti
bisul dan luka. Selain itu, osteomielitis juga diklasifikasikan ke
dalam:
1) Osteomielitis hematogen, yakni yang disebabkan oleh
penyebaran infeksi dari focus lain di dalam tubuh.
2) Osteomilietis eksogen, yakni yang disebabkan oleh infeksi
dari luar tubuh secara langsung. Contohnya trauma tembus
atau fraktur terbuka.
3. Etiologi
a. Staphylococcus aureus hemolyticus (koagulasi positif) sebanyak
90% dan jarang oleh Streptococcus hemolyticus
b. Haemophilus influenszae (5-50%) pada usia di bawah 4 tahun
c. Organisme lain seperti B. coli, B. aeruginosa capsulate, Prateus
mirabilis, Brucella, dan bakteri anaerob yaitu Bacterioiddes
fragilis.
d. Penyebaran hematogen dari focus infeksi di tempat lain: tonsil
yang terinfeki, infeksi gigi, infeksi saluran nafas bagian atas
e. Penyebaran infeksi jaringan lunak: ulkus dekubitus yang
terinfeksi atau ulkus vaskuler
f. Kontaminasi langsung dengan tulag: fraktur terbuka, cedera
traumatic (luka tembak dan pembedahan tulang

4. Patofisiologi
Faktor-faktor yang berperan dalam menimbulkan penyakit yaitu
virulensi organisme dan kerentanan hospes dengan status imun yang
rendah. Penyakit ini lebih terbatas pada metafisis tulang karena
pembuluh darah cenderung melingkari metafisis sehingga
memungkinkan emboli terinfeksi menyangkut di daerah itu dan lapisan
epifisis dapat mencegah penyebaran infeksi ke sendi sehingga infeksi
terkoalisir di metafisis. Itulah sebabnya mengapa infeksi terjadi pada
lapisan metafisis tulang yang mengalami pertumbuhan pada anak-
anak. Tetapi pada orang dewasa terjadi di diafisis.. Emboli yang
terinfeksi menyangkut di dalam pembuluh darah, menyebabkan
trombosis sehingga mengakibatkan nekrosis avaskuler pada bagian
korteks tulang. Respons peradangan terhadap infeksi mengakibatkan
suhu tubuh meningkat dan terjadi oedem dan mengakibatkan
terangkatnya periosteum dari tulang sehingga memutuskan lebih
banyak suplai darah. Tulang yang mengalami nekrosis dikenal sebagai
sekuestrum. Tulang dimana periosteum terangkat melapisi tulang yang
mati dikenal dengan involukrum. Pus mencari jalan keluar dari lapisan
tulang baru melalui serangkaian lubang yang dikenal dengan kloaka.
Osteomielitis paling sering disebabkan oleh staphylococcus aureus.
Organisme penyebab yang lain yaitu salmonella, streptococcus, dan
pneumococcus. Metafisis tulang terkena dan seluruh tulang mungkin
terkena. Tulang terinfeksi oleh bakteri melalui 3 jalur : hematogen,
melalui infeksi di dekatnya atau scara langsung selama pembedahan.
Reaksi inflamasi awal menyebabkan trombosis, iskemia dan nekrosis
tulang. Pus mungkin menyebar ke bawah ke dalam rongga medula atau
menyebabkan abses superiosteal. Suquestra tulang yang mati
terbentuk. Pembentukan tulang baru dibawah perioteum yang
terangkan diatas dan disekitar jaringan granulasi, berlubang oleh sinus-
sinus yang memungkinkan pus keluar.
Osteomielitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah
terjadi disebabkan adanya bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini
ditandai dengan infeksi akut pada tulang yang berasal dari bakteri yang
berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh dari tulang yang
mengalami peradangan. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak
dan disebut dengan osteomyelitis hematogenous akut. Lokasi yang
paling sering terkena adalah metaphyse yang bervaskularisasi tinggi
dan dalam masa perkembangan yang cepat. Perlambatan aliran darah
yang terjadi pada pada metaphyse distal menyebabkan mudahnya
terjadi thrombosis dan dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri.
Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung dari jaringan sekitar
terjadi akibat kontak langsung dari jaringan tulang dan bakteri akibat
trauma atau post operasi. Mekanisme ini dapat terjadi oleh karena
inokulasi bakteri langsung akibat cedera tulang terbuka, bakteri yang
berasal dari jaringan sekitar tulang yang mengalami infeksi, atau sepsis
setelah prosedur operasi.

5. Manifestasi Klinis
a. Osteomielitis eksogen biasanya disertai tanda-tanda cedera dan
peradangan di tempat nyeri
b. Pembesaran kelenjar getah bening regional
c. Pada anak mengalami keengganan menggerakkan anggota
badan yang sakit
d. Panas tinggi, anoreksia
e. Menggigil
f. Lemah dan malaise (adanya proses septicemia)
g. Nyeri tulang dekat sendi
h. Tidak dapat menggerakkan anggota tubuh bersangkutan
i. Tidak ada kelainan foto rontgen (fase akut)
j. Pembengkakan local (tanda-tanda radang akut: rubor, dolor,
kalor, tumor, fungsi larsa dan nyeri tekan
k. Fistel kronik yang mengeluarkan nanah dan kadang skuester
kecil (fase kronis)
l. Foto ditemukan skuester dan pembentukan tulang baru (fase
kronis)
m. Pada pemeriksaan laboratrium (Leukositosis, anemia, LED
meningkat)

6. Penatalaksanaan Medis
Beberapa prinsip penatalaksanaan klien osteomielitis yang perlu
diketahui perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan agar
mampu melaksanakan tindakan kolaboratif adalah sebagai berikut:
a. Istirahat dan memberikan analgesic untuk menghilangkan nyeri
b. Pemberian cairan intravena dan kalau perlu lakukan tranfusi
darah
c. Istirahat local dengan bidai dan traksi
d. Pemberian antibiotic secepatnya sesuai dengan penyebab utama
yaiu staphylococcus aureus sambil menunggu biakan kuman.
Antibiotic diberikan selama 3-6 minggu dengan melihat keadaan
umum dan endap darah klien. Antibiotic tetap diberikan hingga
2 minggu setelah endap darah normal.
e. Drainase bedah, apabila setelah 24 jam pengobatan local dan
sistemik antibiotic gagal (tidak ada perbaikan keadaan umum),
dapat dipertimbangkan drainase bedah. Pada drainase bedah, pus
periosteal dievakuasi untuk mengurangi tekanan intra-useus. Di
samping itu, pus juga digunakan untuk biakan kuman, drainase
dilakukan selama beberapa hari dan menggunakan NaCl dan
antibiotic.

7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah: sel darah putih meningkat sampai 30.000
disertai laju endap darah, pemeriksaan tier antibody anti-
stafilokokus, pemeriksaan kultur darah untuk menentukan
bakterinya (50% positif) dan diikuti uji sensitivitas. Selain itu,
juga harus diperiksa adanya penyakit anemia sel sabit yang
merupakan jenis osteomielitis yang jarang terjadi
b. Pemeriksaan feses: pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan
bila terdapat kecurigaan infeksi oleh bakteri
c. Pemeriksaan biopsy: pemeriksaan dilakukan pada tempat yang
dicurigai
d. Pemeriksaan ultra sound: pemeriksaan ini dapat memperlihatkan
efusi pada sendi
e. Pemeriksaan radiologi: pada pemeriksaan foto polos sepuluh
hari pertama, tidak ditemukan kelainan radiologis yang berarti,
dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak.
Gambaran destruksi tulang dapat dilihat setelah sepulu hari (2
minggu). Pemeriksaan radiostope akan memperlihatkan
penangkapan isotop pada daerah lesi.

8. Komplikasi
a. Dini:
1) Kekakuan yang permanen pada persendian terdekat (jarang
terjadi)
2) Abses yang masuk ke kulit dan tidak mau sembuh sampai
tulang yang mendasarinya sembuh
3) Arthritis septic
b. Lanjut:
1) Osteomielitis kronik ditandai oleh nyeri heba, rekalsitran, dan
penurunan fungsi tubuh yang terkena.

B. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian
a. B1 (Breathing) : Pada inspeksi, didapat bahwa klien osteomielitis
tidak mengalami kelainan pernapasan. Pada palpasi toraks,
ditemukan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi,
tidak didapat suara napas tambahan.
b. B2 (Blood) : Pada inspeksi, tidak tampak iktus jantung. Palpasi
menunjukan nadi meningkat, iktus tidak teraba. Pada auskultasi,
didapatkan S1 dan S2 tunggal, tidak ada mundur.
c. B3 (Brain) : Tingkat kesadaran biasanya kompos mentis.
Kepala : Tidak ada gangguan (normosefalik, simetris, tidak
ada penonjolan).
Leher : Tidak ada gangguan (simetris, tidak ada penonjolan, reflex
menelan ada).
Wajah : Terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi atau bentuk.
Mata : Tidak ada gangguan, seperti konjungtiva tidak anemis (pada klien
patah tulang tertutup karena tidak terjadi perdarahan). Klien
osteomielitis yang desrtai adanya malnutrisi lama biasanya
mengalami konjungtiva anemis.
Telinga : Tes bisik atau Weber masih dalam keadaan normal.
Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
Mulut dan faring : Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut pucat.
Status mental: Observasi penampilan dan tingkah laku klien. Biasanya
status mental tidak mengalami perubahan.
Pemeriksaan saraf cranial :
Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan fungsi penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan normal.
Saraf III,IV,dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak
mata, pupil isokor.
Saraf V. Klien osteomielitis tidak mengalami paralisis pada otot wajah dan
reflex kornea tidak ada kelainan.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak da deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d. B4 (Bladder) : Pengkajian keadaan urine meliputi warna,
jumlah, karakteristik dan berat jenis. Biasanya klien
osteomielitis tidak mengalami kelainan pada system ini.
e. B5 (Bowel) : Inspeksi abdomen: Bentuk datar, simetris, tidak
ada hernia.
: Turgor baik, hepar tidak teraba. Perkusi: Suara timpani, ada
pantulan gelombang cairan. Auskultasi: Peristaltik usus normal
(20 kali/menit). Inguinal-genitalia-anus: Tidak ada hernia, tidak ada
pembesaran limfe, tidak ada kesulitan defekasi. Pola nutrisi dan
metabolisme. Klien osteomielitis harus mengonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-hari, seperti kalsium, zat besi, protein,
vitamin C, dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan
infeksi tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien dapat membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat, terauma kalsium atau
protein. Masalah nyeri pada osteomielitis menebabkan klien
kadang mual atau muntah sehingga pemenuhan nutrisi berkurang.
Pola eliminasi: Tidak ada gangguan pola eliminasi, tetapi tetap
perlu dikaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feces. Pada
pola berkemih, dikaji frekuensi, kepekatan, warna, bau, dan jumlah
urine.

f. B6 (Bone) : Adanya oteomielitis kronis dengan proses supurasi


di tulang dan osteomielitis yang menginfeksi sendi akan
mengganggu fungsi motorik klien. Kerusakan integritas jaringan
pada kulit karena adanya luka disertai dengan pengeluaran pus
atau cairan bening berbau khas.
2. Diagnosa Keperawatan
a. preoperatif
1) Nyeri akut yang berhubungan dengan distensi jaringan oleh
akumulasi cairan / proses inflamasi.
2) Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan nyeri dan
bengkak sendi.
3) Defisit Pengetahuan tentang kondisi atau prognosis dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan tidak mengenal sumber
informasi.
b. Intraoperatif
1) Resiko tinggi perdarahan berhubungan dengan proses pembedahan
c. Postoperatif
1) Nyeri yang berhubungan dengan inflamasi, insisi dan drainase.
2) Resiko infeksi berhubungan dengan luka insisi.
3) Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri, alat
imobilisasi dan keterbatasan menahan beban berat badan.
3. Intervensi Keperawatan
a. Preoperatif
No. Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Nyeri Akut yang Tujuan : Nyeri dapat 1. Kaji lokasi, intensitas dan
berhubungan terkontrol atau hilang. tipe nyeri.
dengan distensi Kriteria hasil : 2. Tinggikan dan dukung
jaringan oleh Melaporkan bahwa ekstremitas yang terkena.
akumulasi cairan nyeri hilang / 3. Jelaskan prosedur sebelum
/ proses terkontrol, memulai tindakan
inflamasi. menunjukkan lebih keperawatan.
nyaman dan rileks, 4. Lakukan dan awasi latihan
waktu istirahat dan rentang gerak pasif atau
aktivitas seimbang. aktif.
5. Berikan alternatif tindakan
kenyamanan, contoh
perubahan posisi.
6. Dorong menggunakan
tehnik manajemen stress,
latihan nafas dalam.
7. Kontrol dan dapat
meningkatkan kemampuan
koping dalam manajemen
nyeri, yang mungkin
menetapkan untuk periode
lebih lama.
8. Berikan obat sesuai
indikasi : narkotik dan
analgesik non narkotik

2. Hambatan Tujuan : Penggunaan 1. Dorong partisipasi pada


mobilitas fisik mobilitas dan aktivitas terapeutik atau
yang persendian meningkat. rekreasi.
berhubungan Kriteria hasil : 2. Instruksikan pasien
dengan nyeri Keikutsertaan dalam untuk bantu dalam
dan bengkak perawatan diri sendiri rentang gerak pasif atau
sendi meningkat, edema aktif pada ekstremitas
berkurang yang sakit dan yang tak
sakit.
3. Berikan atau bantu dalam
mobilisasi dengan kursi
roda, kruk, tongkat,
sesegera mungkin.
4. Awasi tekanan darah
dengan melakukan
aktivitas.
5. Berikan diet tinggi protein,
karbohidrat, vitamin dan
mineral.
3. Defisit Tujuan : Pasien dapat 1. Kaji ulang patologi,
Pengetahuan mengerti tentang prognosis dan harapan
tentang kondisi penyakitnya. yang akan datang.
atau prognosis Kriteria Hasil 2. Buat daftar aktivitas
dan kebutuhan :Menyatakan kondisi, dimana pasien dapat
pengobatan prognosis dan melakukan secara
berhubungan pengobatan, mandiri.
dengan tidak melakukan dengan 3. Dorong pasien untuk
mengenal benar prosedur yang melanjutkan latihan aktif
sumber diperlukan dan untuk sendi kaku.
informasi menjelaskan akan 4. Kaji ulang perawatan pen
tindakan. atau luka yang tepat.
5. Diskusikan perlunya
keseimbangan kesehatan,
nutrisi dan pemasukan
cairan yang adekuat.
6. Tekankan perlunya
nutrisi yang baik ;
meningkatkan diit tinggi
kalori tinggi protein
(TKTP) dan vitamin C.

b. Intraoperatif
No. Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Resiko tinggi Tujuan : 1. Monitor perdarahan pada
perdarahan Terjadi daerah pembedahan setelah
berhubungan perdarahan. dilakukan insisi.
dengan proses Kriteria hasil : 2. Ingatkan operator dan asisten
pembedahan Terjadi bila terjadi perdarahan hebat.
perdarahan, 3. Monitor vital sign.
TTV dalam 4. Monitor cairan
batas normal.
c. Postoperatif
No. Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil
1. Nyeri Akut yang Tujuan : Setelah 1. Kaji lokasi, intensitas dan
berhubungan dengan dilakukan tindakan tipe nyeri.
inflamasi, insisi dan keperawatan 2. Tinggikan dan dukung
drainase. diharapkan nyeri ekstremitas yang terkena.
berkurang. 3. Jelaskan prosedur sebelum
Kriteria Hasil :Klien memulai tindakan
akan mengekspresikan keperawatan.
perasaan nyerinya, 4. Lakukan dan awasi latihan
klien dapat tenang dan rentang gerak pasif atau
istirahat yang cukup, aktif.
Klien dapat mandiri 5. Berikan alternatif tindakan
dalam perawatan dan kenyamanan, contoh
penanganannya secara perubahan posisi.
sederhana. 6. Dorong menggunakan
tehnik manajemen stress,
latihan nafas dalam.
7. Berikan obat sesuai
indikasi : narkotik dan
analgesik non narkotik
2. Risiko infeksi Tujuan : Tidak terjadi 1. Berikan perawatan luka.
berhubungan dengan pesiko perluasan infeksi 2. Ganti balutan dengan
luka insisi. yang dialami. sering, pembersihan dan
Kriteria Hasil : pengeringan kulit
Mencapai waktu sepanjang waktu.
penyembuhan. 3. Berikan antibiotic sesuai
indikasi.
3. Hambatan Tujuan : Gangguan 1. Pertahankan tirah baring
mobilisasi fisik mobilitas fisik dapat dalam posisi yang di
berhubungan dengan berkurang setelah programkan.
nyeri, alat dilakukan tindakan 2. Tinggikan ekstremitas
imobilisasi dan keperawatan yang sakit, instruksikan
keterbatasan Kriteria Hasil : klien / bantu dalam
menahan beban Meningkatkan latihan rentang gerak
berat badan. mobilitas pada pada ekstremitas yang
tingkat paling tinggi sakit dan tak sakit.
yang mungkin, 3. Beri penyanggah pada
mempertahankan ekstremitas yang sakit
posisi fungsional, pada saat bergerak.
menunjukkan teknik 4. Fisioterapi / auskultasi
mampu melakukan terapi.
aktivitas.
DAFTAR PUSTAKA

Bunner. 2002. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Jakarta : EGC

Nurarif A. Huda, Hardji Kusuma.2016. Asuhan Keperawatan Praktis Jilid 1.


Jogjakarta: MediAction

Sachdela. 2008. At a glance ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Sjamuhidayat. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Sylvia. 2002. Patofisiologis Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit Edisi 6


Volume 2. Jakarta : EGC

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Edisi I. 2016.Standar Diagnosis


Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Musdalifa, Ifa. 2014. Laporan Pendahuluan Osteomielitis.


Makassar:Universitas Muslim Indonesia

Nasrullah. 2011. Laporan Pendahuluan dan Konsep Keperawatan


Osteomielitis. Malang:Univestitas Brawijaya Malang

Qorahman, W. 2014. Laporan Pendahuluan dan Asuhan Kperawatan pada


Klien dengan Osteomielitis di Ruang OK. Palangkaraya:Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan
LAPORAN PENDAHULUAN OSTEOARTHRITIS

A. Konsep Dasar Medis


1. Pengertian
Osteoarthritis (OA) adalah suatu kelainan pada sendi yang bersifat
kronik dan progresif biasanya didapati pada usia pertengahan hingga
usia lanjut ditandai dengan adanya kerusakan kartilago yang terletak di
persendian tulang. Kerusakan kartilago ini bisa disebabkan oleh stress
mekanik atau perubahan biokimia pada tubuh (American College of
Rheumatology, 2015).

Osteoarthritis merupakan salah satu tipe penyakit arthritis yang


paling umum terjadi terutama pada orang-orang dengan usia lanjut.
Penyakit ini juga disebut sebagai penyakit sendi degeneratif yang
menyerang kartilago, yaitu suatu jaringan keras tapi licin yang
menyelimuti bagian ujung tulang yang akan membentuk persendian.
Fungsi dari kartilago itu sendiri adalah untuk melindungi ujung tulang
agar tidak saling bergesekan ketika bergerak. Pada osteoarthritis,
kartilago mengalami kerusakan bahkan bisa sampai terkelupas sehingga
akan menyebabkan tulang dibawahnya saling bergesekan, menyebabkan
nyeri, bengkak, dan terjadi kekakuan sendi. Semakin lama hal ini akan
menyebabkan struktur sendi berubah menjadi abnormal hingga dapat
muncul pertumbuhan tulang baru yang dinamakan ostheophytes yang
akan semakin memperbesar gesekan dan memperparah nyeri (National
Institute of Arthritis and Muskuloskeletal and Skin Disease, 2015).

Gambar 1. A Healthy Joint (Representation

In a healthy joint, the ends of bones are encased in smooth cartilage.


Together, they are protected by a joint capsule lined with a synovial
membrane that produces synovial fluid. The capsule and fluid protect
the cartilage, muscles, and connective tissues (National Institute of
Arthritis and Muskuloskeletal and Skin Disease, 2015).

With osteoarthritis, the cartilage becomes worn away. Spurs grow out
from the edge of the bone, and synovial fluid increases. Altogether, the
joint feels stiff and sore (National Institute of Arthritis and
Muskuloskeletal and Skin Disease, 2015).

2. Klasifikasi
a. Berdasarkan Etiologi
Berdasarkan etiologinya, osteoarthritis dibagi menjadi 2
kelompok, yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer
disebut juga sebagai osteoarthritis idiopatik dimana penyebabnya
tidak diketahui. Namun demikian OA primer ini sering dihubungkan
dengan proses penuaan atau degenerasi. Osteoarthritis sekunder
terjadi disebabkan oleh suatu penyakit ataupun kondisi tertentu,
contohnya adalah karena trauma, kelainan kongenital dan
pertumbuhan, kelainan tulang dan sendi, dan sebagainya (Maya
Yanuarti, 2014).

b. Berdasarkan letaknya
Osteoarthritis dapat menyerang sendi mana pun. Akan tetapi
sendi yang paling sering terkena adalah sendi yang teletak pada
tangan, lutut, panggul, dan vertebra.

Osteoarthritis pada tangan diduga memiliki karakteristik


hereditas dimana bisa diturunkan dari keluarga. Wanita lebih
beresiko mengalami OA pada tangan dibandingkan laki-laki. Pada
kebanyakan wanita terjadi setelah menopause.

Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering mengalami


osteoarthritis. Gejala dari osteoarthritis pada lutut ini adalah
kekakuan sendi, bengkak, dan nyeri yang dapat menyebabkan
kesulitan berjalan dan melakukan aktifitas lain. Osteoarthritis pada
lutut dapat menyebabkan disabilitas.

Osteoarthritis pada sendi panggul juga merupakan kasus


tersering setelah osteoarthritis pada lutut. Gejala yang dirasakan
juga hampir sama dengan osteoarthritis pada lutut, namun bedanya
pada kasus ini gejala akan terasa pada bagian panggul.

Osteoarthritis pada vertebra dapat memunculkan kekakuan dan


nyeri pada bagian leher maupun bagian punggung bawah. Pada
beberapa kasus perubahan struktur tulang yang disebabkan oleh
penyakit ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan saraf yang
terletak di columna vertebralis.

c. Berdasarkan Derajat Keparahan


Kellgren-Lawrence mengklasifikaskan tingkat keparahan
osteoarthritis berdasarkan gambaran radiologis yang didapat.
Gambaran radiologis yang dinilai terdiri dari penyempitan joint
space, ada atau tidaknya osteophyte, subcondral sclerosis dan kista
subkondral. Dari penilaian tersebut, pengklasifikasian tingkat
keparahan osteoarthritis dikelompokan menjadi 4 grade, yaitu :

1) Grade 0 : normal
2) Grade 1 : sendi normal, terdapat sedikit osteofit
3) Grade 2 : osteofit pada dua tempat dengan sklerosis subkondral,
celah sendi normal, terdapat kista subkondral
4) Grade 3 : osteofit moderat, terdapat deformitas pada garis
tulang, terdapat penyempitan celah sendi
5) Grade 4 : terdapat banyak osteofit, tidak ada celah sendi,
terdapat kista subkondral dan sclerosis
3. Patofisiologi
Osteoartritis selama ini dipandang sebagai akibat dari suatu proses
penuaan yang tidak dapat dihindari. Namun, penelitian para pakar
terbaru menyatakan bahwa OA ternyata merupakan penyakit gangguan
homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur
proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum diketahui. Jejas
mekanis dan kimiawi diduga merupakan faktor penting yang
merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi
kartilago di dalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi
inflamasi sendi, kerusakan kondrosit, dan nyeri. Jejas mekanik dan
kimiawi pada sinovial sendi yang terjadi multifaktorial antara lain
karena faktor umur, humoral, genetik, obesitas, stress mekanik atau
penggunaan sendi yang berlebihan, dan defek anatomik (Maya
Yanuarti, 2014).

Kartilago sendi merupakan target utama perubahan degeneratif


pada OA. Kartilago sendi ini secara umum berfungsi untuk membuat
gerakan sendi bebas gesekan karena terendam dalam cairan sinovial dan
sebagai “shock absorber”, penahan beban dari tulang. Pada OA, terjadi
gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago sehingga terjadi
kerusakan struktur proteoglikan kartilago, erosi tulang rawan, dan
penurunan cairan sendi (Maya Yanuarti, 2014).

Tulang rawan (kartilago) sendi dibentuk oleh sel kondrosit dan


matriks ekstraseluler, yang terutama terdiri dari air (65%-80%),
proteoglikan, dan jaringan kolagen. Kondrosit berfungsi mensintesis
jaringan lunak kolagen tipe II untuk penguat sendi dan proteoglikan
untuk membuat jaringan tersebut elastis, serta memelihara matriks
tulang rawan sehingga fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan
baik. Kartilago tidak memiliki pembuluh darah sehingga proses
perbaikan pada kartilago berbeda dengan jaringan-jaringan lain. Di
kartilago, tahap perbaikannya sangat terbatas mengingat kurangnya
vaskularisasi dan respon inflamasi sebelumnya (Maya Yanuarti, 2014).

Secara umum, kartilago akan mengalami replikasi dan


memproduksi matriks baru untuk memperbaiki diri akibat jejas mekanis
maupun kimiawi. Namun dalam hal ini, kondrosit gagal mensintesis
matriks yang berkualitas dan memelihara keseimbangan antara
degradasi dan sintesis matriks ekstraseluler, termasuk produksi kolagen
tipe I, III, VI, dan X yang berlebihan dan sintesis proteoglikan yang
pendek. Akibatnya, terjadi perubahan pada diameter dan orientasi serat
kolagen yang mengubah biomekanik kartilago, sehingga kartilago sendi
kehilangan sifat kompresibilitasnya (Maya Yanuarti, 2014).

Pada keadaan normal, kartilago persendian berfungsi untuk


menyerap tekanan pada persendian dan memberikan bantalah sehingga
terjadi gerakan yang bebas gesekan antar tulang pada persendian (Petty
2004:140). Struktur utama kartilago adalah sel kartilago (chondrosit)
dan matriks kartilago. Matriks terdiri atas air, proteoglikan dan kolagen
(Cote, 2001: 496). Proteoglikan mengandung inti protein dengan rantai
samping glikosaminoglikan. Proteoglikan utama pada kartilago adalah
kondroitin sulfan dan keratun sulfat, yang berfungsi mendukung
stabilitas dan kekuatan dari kartilago (Cote, 2001:497). Dalam keadaan
normal, matriks kartilago setiap saat berubah secara dinamis untuk
mencapai keseimbangan. Pada kartilago terjadi proses remodeling
secara berkesinambungan. Struktur matriks kartilago (kolagen dan
proteoglikan) secara teratur dirombak oleh enzim autolitik dan
diperbarui oleh sel kartilago (chondrosit) (Cote, 2001:497).

Pada prinsipnya, pada OA terjadi kerusakan atau kehilangan


struktur kartilago persendian. Kerusakan tersebut dikarenakan tekanan
mekanis yang berlebihan pada sendi atau dan terjadi abnormalitas
proses remodeling struktur sendi (Petty, 2004:142). Sebagai respons
dari tekanan mekanis, pada persendian, terjadi erosi struktur kartilago
dengan atau tanpa didani pembentukan tonjolan tulang (osteofit) pada
daerah subchondral (Rossi, 1997:22). Persendian yang sering
mengalami OA biasanya merupakan persendian yang menumpu berat
tubuh (weight-bearing joints). Proses OA yang terjadi bersifat lokal,
progresif, dan kronis. Proses pada OA terjadi secara progresif karena
pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan antara proses katabolisme
dan perbaikan kartilago. Pada OA, matriks kartilago yang terbentuk
lebih lemah secara biomekanis sehingga lebih rentan terhadap cedera
dan kerusakan lanjut (Beckerman et al, 1993:73).

Secara histologis, proses kerusakan struktur kartilago pada OA


disebabkan oleh trauma mekanis yang dapat menimbulkan cedera pada
sel chondrosit (Ross, 1997:24). Chondrosit mengadakan respons dengan
mengeluarkan enzim proteolitik seperti protease, cathepsin, collagenase
dan metalloprotease. Enzim-enzim ini mengubah matriks kartilago,
membentuk struktur yang lebih kecil, menurunkan kekentalan matriks
yang akhirnya menurunkan kemampuan biomekanis kartilago (Ross,
1997:25). Kecepatan pengeluaran enzim dan katabolisme matriks pada
OA jauh melampaui proses yang terjadi pada sendi normal.

Proses perubahan kemampuan biomekanik, kartilago menurunkan


kemampuan sendi untuk menyangga karena terjadi peningkatan
transmisi gaya pada chondrosit dan daerah subcondral (Ross, 1997:25).
Chondrosit yang mengalami cedera melepaskan lebih banyak enzim
sedangkan daerah subcondrial dapat mengalami micro-fracture yang
dapat menimbulkan kekakuan dan penurunan elastisitas. Beberapa
produk sekunder hasil perombakan chondrosit dan proteoglikan dapat
mencetuskan peradangan pada sel-sel sinovial, lekosit
polymorphonuclear dan macrophage sehingga dapat menimbulkan
peradangan pada keseluruhan persendian (Cote, 2001:296).
Beberapa keadaan seperti trauma/jejas mekanik akan menginduksi
pelepasan enzim degradasi, seperti stromelysin dan Matrix
Metalloproteinases (MMP). Stromelysin mendegradasi proteoglikan,
sedangkan MMP mendegradasi proteoglikan dan kolagen matriks
ekstraseluler. MMP diproduksi oleh kondrosit, kemudian diaktifkan
melalui kaskade yang melibatkan proteinase serin (aktivator
plasminogen), radikal bebas, dan beberapa MMP tipe membran.
Kaskade enzimatik ini dikontrol oleh berbagai inhibitor, termasuk
TIMP dan inhibitor aktivator plasminogen. Tissue inhibitor of
metalloproteinases (TIMP) yang umumnya berfungsi menghambat
MMP tidak dapat bekerja optimal karena di dalam rongga sendi ini
cenderung bersifat asam oleh karena stromelysin (pH 5,5), sementara
TIMP baru dapat bekerja optimal pada pH 7,5 (Maya Yanuarti, 2014).

Agrekanase akan memecah proteoglikan di dalam matriks rawan


sendi yang disebut agrekan. Ada dua tipe agrekanase yaitu agrekanase 1
(ADAMT-4) dan agrekanase 2 (ADAMT-11). Enzim lain yang turut
berperan merusak kolagen tipe II dan proteoglikan adalah katepsin,
yang bekerja pada pH rendah, termasuk proteinase aspartat (katepsin D)
dan proteinase sistein (katepsin B, H, K, L dan S) yang disimpan di
dalam lisosom kondrosit. Hialuronidase tidak terdapat di dalam rawan
sendi, tetapi glikosidase lain turut berperan merusak proteoglikan
(Maya Yanuarti, 2014).

Pada osteoartritis, mediator-mediator inflamasi ikut berperan


dalam progresifitas penyakit. Selain pelepasan enzim-enzim degradasi,
faktor-faktor pro inflamasi juga terinduksi dan dilepaskan ke dalam
rongga sendi, seperti Nitric Oxide (NO), IL-1β, dan TNF-α. Sitokin-
sitokin ini menginduksi kondrosit untuk memproduksi protease,
kemokin, dan eikosanoid seperti prostaglandin dan leukotrien dengan
cara menempel pada reseptor di permukaan kondrosit dan menyebabkan
transkripsi gen MMP sehingga produksi enzim tersebut meningkat.
Akibatnya sintesis matriks terhambat dan apoptosis sel meningkat
(Maya Yanuarti, 2014).

Sitokin yang terpenting adalah IL-1. IL-1 berperan menurunkan


sintesis kolagen tipe II dan IX dan meningkatkan sintesis kolagen tipe I
dan III, sehingga menghasilkan matriks rawan sendi yang berkualitas
buruk. Pada akhirnya tulang subkondral juga akan ikut berperan,
dimana osteoblas akan terangsang dan menghasilkan enzim proteolitik
(Maya Yanuarti, 2014).

Etiopatogenesis osteoarthritis (OA) dibagi menjadi 3 stage


(tahap), yaitu stage 1, stage 2, dan stage 3. Pada stage 1 terjadi
kerusakan proteolitik pada matrix cartilago. Stage 2 melibatkan fibrilasi
dan erosi pada permukaan kartilago dan pada stage 3 produk-produk
yang dihasilkan oleh kerusakan kartilago menyebabkan suatu respon
inflamasi kronis. Setelah melalui tahap-tahap tersebut, maka akan
terjadi progressifitas lebih jauh dimana kejadian tersebut akan
menyebabkan tubuh melakukan kompensasi dengan cara terjadinya
pertumbuhan tulang baru dengan tujuan menstabilkan persendian,
namun hal ini akan merubah struktur persendian. Beberapa kelainan
juga biasa dikategorikan sebagai subsets of primary osteoarthritis yang
terdiri dari primary generalized osteoarthritis, erosive osteoarthritis, dan
condromalacia patellae. Tingkat keparahan osteoarthritis dapat
diklasifikasikan berdasarkan gambaran radiologi yang didapat. Metode
pengklasifikasian yang digunakan secara universal saat ini adalah
Sistem Kellgren-Lawrence yang terdiri dari grade I, II, III, dan IV
(Carlos J Lozada et al, 2015).

4. Etiologi
Hampir pada setiap aktivitas sehari-hari terjadi penekanan pada
sendi, terutama sendi yang menjadi tumpuan beban tubuh seperti
pergelangan kaki, lutut, dan panggul. Hal tersebut memiliki peranan
yang penting dalam terjadinya OA. Banyak peneliti percaya bahwa
perubahan degenerative merupakan hal yang mengawali terjadinya OA
primer (Carlos J Lozada et al, 2015). Sedangkan obesitas, trauma, dan
penyebab lain merupakan factor-faktor yang menyebabkan terjadinya
OA sekunder.

5. Faktor Resiko
Faktor resiko OA dibagi ke dalam faktor endogenous dan
eksogenous. Yang merupakan faktor endogenous adalah usia, jenis
kelamin, genetik, ras/suku, dan perubahan hormone post-menopause.
Sedangkan yang merupakan faktor eksogenous adalah makrotrauma,
repetitive mikrotrauma, obesitas, riwayat operasi sendi, dan gaya hidup
(merokok dan konsumsi alcohol) (Joern W.-P. Michael et al, 2010).

a. Usia
Dengan pertambahan usia akan terjadi penurunan volume
kartilago, kandungan proteoglikan, vaskularisasi kartilago, dan
perfusi kartilago. Perubahan ini dapat menyebabkan perubahan
karakteristik yang dapat ditemukan pada gambaran radiologi,
termasuk penipisan pada celah persendian, dan timbulnya
ostheopite. Namun demikian, penelitian mengenai biokimia dan
patofisiologi OA mendukung gagasan bahwa usia itu sendiri sudah
cukup menjadi penyebab OA (Carlos J Lozada et al, 2015).

b. Jenis Kelamin
Penelitian telah menunjukan bahwa OA pada laki-laki usia 60
sampai 64 tahun lebih banyak ditemukan pada lutut kanan (23 %)
dibandingkan pada lutut kiri (16,3%), sedangkan pada wanita
menunjukan distribusi yang cukup seimbang antara lutut kanan dan
kiri (lutut kanan, 24,2%; lutut kiri, 24,7%) (Joern W.-P. Michael et
al, 2010).
c. Genetik
Sebuah komponen genetik, terutama yang melibatkan beberapa
persendian dalam terjadinya OA, sudah lama diketahui. Beberapa
gen secara langsung berhubungan dengan terjadinya OA, dan
banyak yang telah ditentukan berhubungan dengan faktor-faktor
yang berkontribusi, seperti inflamasi yang parah dan obesitas
(Carlos J Lozada et al, 2015).

Gen yang dicurigai menjadi penyebab OA (seperti ADAM 12,


CLIP, COL11A2, IL 10, MMP3) juga telah diketahui memiliki
diferensial methylation. Jefferies et al melaporkan bahwa
hypomethylasi pada FURIN, yang mengkode sebuah protein
converting, memproses beberapa molekul ADAMTS terutama pada
degradasi kolagen yang mengalami OA. Diferensial methilasi di
antara gen-gen yang dicurigai menjadi penyebab OA telah
dibuktikan sebagai metode alternative terjadinya gangguan pada
aktivitas gen normal (Carlos J Lozada et al, 2015).

Selain itu, Jefferies et al menemukan bukti mengenai


hypermetilasi dan penurunan ekspresi gen kolagen tipe XI
COL11A2. Mutasi COL11A2 telah dihubungkan dengan keparahan
dan onset awal OA. Analisis oleh goup ini telah membuktikan
mekanisme yang diperkuat dengan “Gen-gen differentially
methylated”, yang merupakan efektor dan regulator utama pada OA
adalah TGFB1 dan ERG (Carlos J Lozada et al, 2015).

d. Ras
Prevalensi OA lutut pada penderita di negara Eropa dan
Amerika tidak berbeda, sedangkan suatu penelitian membuktikan
bahwa ras Afrika – Amerika memiliki risiko menderita OA lutut 2
kali lebih besar dibandingkan ras Kaukasia. Penduduk Asia juga
memiliki risiko menderita OA lutut lebih tinggi dibandingkan
Kaukasia. Suatu studi lain menyimpulkan bahwa populasi kulit
berwarna lebih banyak terserang OA dibandingkan kulit putih
(Maya Yanuarti, 2014).

e. Perubahan hormone post menopause


Meningkatnya kejadian OA pada wanita di atas 50 tahun
diperkirakan karena turunnya kadar estrogen yang signifikan
setelah menopause. Kondrosit memiliki reseptor estrogen
fungsional, yang menunjukkan bahwa sel-sel ini dipengaruhi oleh
estrogen. Penelitian yang dilakukan pada beberapa tikus
menunjukkan bahwa estrogen menyebabkan peningkatan
pengaturan reseptor estrogen pada kondrosit, dan peningkatan ini
berhubungan dengan peningkatan sintesis proteoglikan pada hewan
percobaan (Maya Yanuarti, 2014).

6. Manifestasi Klinis
Pasien dengan OA sering mengeluhkan nyeri pada saat bergerak,
biasanya terjadi ketika pergerakan dimulai atau ketika pasien mulai
berjalan. Seiring dengan progresifitas OA, nyeri terus berlanjut, dan
fungsi sendi semakin terganggu (Joern W.-P. Michael et al, 2010).

7. Pemeriksaan penunjang
Pada anamnesis akan ditemukan keluhan seperti nyeri dirasakan
berangsur-angsur (onset gradual), tidak disertai adanya inflamasi (kaku
sendi dirasakan < 30 menit, bila disertai inflamasi, umumnya dengan
perabaan hangat, bengkak yang minimal, dan tidak disertai kemerahan
pada kulit) tidak disertai gejala sistemik, dan nyeri sendi saat beraktivitas.
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
a. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan pasien saat ini
b. Riwayat kesehatan sekarang
c. Riwayat kesehatan masa lalu
Bagaimana riwayat kesehatan masa lalu pasien seperti kebiasan
pasien, aktivitas sehari-hari pasien, penyakit yang pernah dialami,
bagaimana pengobatan yang dilakukan.
d. Riwayat keadaan psikososial
1. Persepsi pasien tentang penyakitnya
2. Konsep Diri
3. Keadaan Emosi
4. Hubungan social
5. Spiritual
e. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum pasien
2) Tanda-tanda vital
3) Pemeriksaan head to toe
a. Kepala dan rambut : Bentuk kepala, Ubun-ubun, Kulit kepala,
Penyebaran dan keadaan rambut.
b. Wajah : Warna kulit, Struktur wajah
c. Mata : Kelengkapan dan kesimetrisan, Palpebra , Konjungtiva
dan sclera, Pupil, Kornea dan iris.
d. Hidung : Tulang hidung dan posisi septum nasi, Lubang hidung
e. Telinga : Bentuk telinga, Ukuran telinga, Lubang telinga,
Ketajaman pendengaran.
f. Mulut : Keadaan bibir, Keadaan gusi dan gigi, Keadaan lidah,
Keadaan bibir, Keadaan gusi, Keadaan lidah
g. Leher : Thyroid , Suara, Denyut nadi karotis, Vena jugularis
h. Pemeriksaan Integument : Kebersihan, Kehangatan, Warna,
Turgor, Kelembaban, Kelainan pada kulit.
i. Pemeriksaan Thoraks/Dada : Inspeksi thoraks, Pernafasan,
palpasi, perkusi, auskultasi toraks.
j. Pemeriksaan Abdomen : Inspeksi, Palpasi, perkusi, auskultasi.
k. Kesimetrisan : Ekstremitas atas, Ekstremitas bawah, Edema,
Kekuatan otot, Pemeriksaan Neurologi.
l. Fungsi motorik : Cara berjalan, Pronasi dan Supinasi, Romberg
test.
m. Fungsi Sensorik : Test tajam – tumpul, Test panas – dingin.
f. Pola kebiasaan sehari-hari
a. Pola Makan dan Minum : Frekuensi makan/hari, Nafsu/selera
makan, Waktu pemberian makan, Jumlah dan jenis, Waktu
pemberian cairan/ minuman.
b. Perawatan Diri / Personal Hygiene : Kebersihan tubuh, Kebersihan
gigi dan mulut, Kebersihan kuku kaki dan tangan.
c. Pola Kegiatan / Aktivitas : Klien tidak memiliki kegiatan rutin
karena penyakitnya
d. Eleminasi BAB : Pola BAB, karakter feses, Riwayat Pendarahan
e. Eleminasi BAK : Pola BAK, Karakter urine, Nyeri/rasa
terbakar/kesulitan BAK, Riwayat penyakit ginjal/ kandung kemih.

2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri kronis
D.0078
Kategori : Psikologis
Subkategori : Nyeri dan kenyamanan
b. Gangguan mobilitas fisik
D.0054
Kategori : Fisiologis
Subkategori : Aktivitas dan iatirahat
3. Rencana intervensi
No Diagnose NOC NIC

1. Nyeri konis Kriteria hasil : Manajemen nyeri :

Definisi : pengalaman 1. Mampu mengontrol 1. Lakukan


sensori atau emosional nyeri (tahu pengkajian nyeri
yang berkaitan dengan peenyebab nyeri, komprehensif yang
kerusaka jaringan actual mampu meliputi lokasi,
atau fungsional, dengan menggunakan tehnik karakteristik,
mendadak atau lambat non farmakologi frekuensi, dan
dan berintensitas ringan untuk mengurangi beratnya nyeri.
hingga berat dan nyeri untuk 2. Tingkatkan
konstan. Yang meeminta bantuan) Istirahat
berlangsung lebih dari 3 2. Melaporkan bahwa 3. Berikan informasi
bulan. nyeri berkurang mengenai
dengan nyeri,seperti
Gejala dan tanda mayor:
menggunakan penyebab nyeri.
Subjektif: manajemen nyeri 4. Monitor
3. Mampu mengenali penerimaan pasien
1. Mengeluh nyeri
nyeri (skala tentang manajemen
2. Merasa depresi
intensitas, frekuesi nyeri
(tertekan)
dan tanda nyeri) 5. Kolaborasi
Objektif
4. Menyatakan rasa pemberian
1. Tampak meingis nyaman setelah analgesic dengan
2. Gelisah nyeri bekurang dokter
3. Tidak mampu Sentuhan, aktivitas,
menuntaskan aktivitasnya:
aktivitas
6. Evaluasi kesiapan
Gejala dan tanda minor:
pasien ketika
Subjektif: menawarkan terapi
1. Merasa takut sentuhan.
mengalami cedera 7. Kaji lingkungan
berulang sekitar sebelum
Objektif: menawarkan terapi
sentuhan.
1. Besikap protektif
8. Tentukan bagian
(mis. Menghindari
tubuh mana yang
nyeri)
diprioritaskan
2. Waspada
untuk dilakukan
3. Pola tidur berubah
terapi sentuhan dan
4. Anoreksia
lama terapi
5. Fokus menyempit
sentuhan sehingga
6. Berfokus pada diri
mampu
sendiri
menciptakan
respon positif dari
pasien
2. Gangguan mobilitas Criteria hasil : Terapi Aktivitas,
fisik indikatornya :
1. Klien meningkat
Definisi : keterbatasan dalam aktivitas fisik 1. Kaji kemampuan
dalam gerak fisik dari 2. Mengerti tujuan dan pasien dalam
satu atau lebih peningkatan mobilisasi
ekstremitas secara mobilitas 2. Ajarkan pasien
mandiri 3. Memeerbalisasikan bagaimana
perasaan dalam merubah posisi dan
Gejala dan tanda mayor
meningkatkan berikan bantuan
:
kekuatan dan jika diperlukan.
Subjektif: kemammpuan 3. Bantu klien untuk
berpindah. mengidentifikasi
1. Mengeluh sulit
aktifitas yang
menggerakan
diinginkan.
ekstremitas
Objektif: 4. Bantu klien untuk
mengidentifikasi
1. Kekuatan otot
kelemahan dalam
menurun
level aktivitas
2. Rentang gerak
tertentu.
(ROM)menuun
Gejala da tanda minor :

Subjektif :

1. Nyeri saat bergerak


2. Enggak melakukan
pergerakan
3. Mmerasa cemas saat
bergerak
Objektif:

1. Sendi kaku
2. Gerakan tidak
terorganisasi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah
DAFTAR PUSTAKA

Kusuma dan Nurarif. 2015. Aplikasi Auhan Keperawatan Berdasarkan Diagnose


Medis Dan Nanda Nic Noc, Edisi Jilid 1, : Medi Actian Publishing.

Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi Dan Indikator Diagnostic Edisi 1. Jakarta . Dewan Pengurus
Pusat.

Cibulka, M. T., White, D. M., Woehrle, J., Harris-Heyes, M. I., Enseki, K.,
Flagerson, T. L., et al. (2009). Hip Pain and Mobility Deficits-Hip
Osteoarthritis: Clinical Practice Guidelines Linked to The International
Classification of Functioning, Disability, and Health from the Orthopaedic
Section of The American Physical Therapy Association. The Journal of
Orthopaedic & Sport Physical Therapy, 39(4): A1-A25.

Farnaghi, S., Prasadam, I., Cai, G., Friis, T., Du, Z., et al. (2016). Protective
effects of mitochondria-targeted antioxidants and statins on
cholesterolinduced osteoarthritis. The FASEB JOURNAL.

Srikulmontree, T. (2015). Ostheoarthritis. American College of Rheumatology.


Diakses dari

http://www.rheumatology.org/I-Am-A/Patient-Caregiver/Diseases-
Conditions/Osteoarthritis

Villalvilla, A., Gomez, R., Largo, R., Harrero-Beaumont, G. (2013). Lipid


sTransport and Metabolism in Healthy and Osteoarthritis Cartilage.
International Journal of Molecular Science, 14, 20793-20808

Yanuarty, M. (2014). Hubungan Antara Faktor Risiko Osteoartritis Lutut


Dengannyeri, Disabilitas, Dan Berat Ringannya Osteoartritis. Karya Tulis
Ilmiah strata satu, Univesitas Diponegoro, Semarang.

Anda mungkin juga menyukai