Anda di halaman 1dari 82

PROPOSAL

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN URETEROLITHIASIS


DI RSUD dr. KANUJOSO DJATIWIBOWO
BALIKPAPAN

OLEH :

NAMA : Fanny Fatmawaty

NIM : P07220116095

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
JURUSAN D-III KEPERAWATAN KELAS
BALIKPAPAN
2019

1
i

KATA PENGANTAR

i
ii

DAFTAR ISI

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gaya hidup manusia semakin hari semakin berkembang mengikuti

perubahan zaman yang mengacu dan bergerak kepada modernitas. Gaya

hidup bisa dikatakan menjadi sebuah tren dan kebutuhan bagi setiap

manusia. Modernitas dapat dijadikan sebuah acuan untuk mengarah pada

kemajuan di setiap sektor yang ada, seperti gaya hidup sehari-hari, sampai

pola pikir dan tingkah laku manusia. Gaya hidup yang modern cenderung

menyajikan dan menyediakan hal-hal yang praktis, ringkas, dan aktual

(Irianto, 2007).

Namun, gaya hidup modern seringkali diidentikkan dengan kaum

elite. Gaya hidup manusia terus berubah. Gaya hidup kota yang serba

praktis memungkinkan manusia modern sulit untuk menghindar dari fast

food. Fast food memiliki beberapa kelebihan antara lain penyajian yang

cepat sehingga tidak menghabiskan waktu lama dan dapat dihidangkan

kapan dan dimana saja, higienis dan dianggap sebagai makanan bergengsi

dan makanan gaul (Irianto, 2007).

Perubahan dari pola makan tradisional ke pola makan barat seperti

fast food yang banyak mengandung kalori, lemak dan kolesterol, ditambah

kehidupan yang disertai stress dan kurangnya aktivitas fisik, terutama di

1
2

kota kota besar mulai menunjukkan dampak dengan meningkatnya

masalah gizi dan masalah penyakit degeneratif yang mulai meningkat

(Khasanah, 2012).

Penyakit degeneratif yang bertahan lama hingga bertahun-tahun

yang masih dapat dikendalikan, namun sulit untuk sembuh (Dewi, 2016).

Menurut data dari World Health Organization (WHO) tahun 2010 sebesar

63% dari seluruh jumlah kematian disebabkan karena penyakit kronis.

Penyakit kronis meliputi penyakit jantung koroner, stroke, kanker, diabetes

mellitus, cedera, penyakit paru obstruktif kronik, batu ginjal dan penyakit

sendi/ rheumatoid arthritis (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Batu ginjal yang berdasarkan tempat terbentuknya terdiri dari

nefrolitiasis, ureterolithiasis, vesicolitiasis, batu prostat, dan batu uretra.

Batu ginjal terutama dapat merugikan karena obstruksi saluran kemih dan

infeksi yang ditimbulkannya (de jong, 2013).

Ureterolithiasis adalah suatu kondisi dimana dalam saluran kemih

individu terbentuk batu berupa kristal yang mengendap dari urin (Mehmed

& Ender, 2015). penyebab ureterolithiasis adalah pekerjaan, diet,

aktivitas/olahraga, pola makan dan minum, serta kebiasaan menahan

buang air kecil. Gaya hidup ini merupakan salah satu faktor.

Faktor pola minum k u r a n g d a r i k e b u t u h a n t u b u h yang

memicu ureterolithiasis antara lain kurang meminum air putih, banyak

mengkonsumsi jus tomat, anggur, apel, vitamin C dan soft drink. Makanan

2
3

yang mempengaruhi kemungkinan terbentuknya antara lain terlau banyak

protein hewan, lemak, kurang sayur, kurang buah, dan tingginya konsumsi

fastfood/junkfood. Mengkonsumsi suplemen makanan dan obat-

obatan tertentu juga dapat memicu terbentuknya ureterolithiasis. Sering

menahan BAK dan kegemukan juga dapat menaikkan kemungkinan

terkena ureterolithiasis (Muslim, 2009).

Penderita ureterlithiasis pada laki-laki 3- 4 kali lebih banyak

daripada wanita1- 2. Hal ini mungkin karena kadar kalsium air kemih

sebagai bahan utama pembentuk batu pada wanita lebih rendah daripada

laki-laki dan kadar sitrat air kemih sebagai bahan penghambat terjadinya

batu (inhibitor) pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. ureterlithiasis

banyak dijumpai pada orang dewasa antara umur 30-60 tahun dengan

rerata umur 42,20 tahun (pria rerata 43,06 dan wanita rerata 40,20 tahun).

Umur terbanyak penderita ureterlithiasis di negara-negara Barat 20-50

tahun1 dan di Indonesia antara 30-60 tahun3,4.

Kemungkinan keadaan ini disebabkan adanya perbedaan faktor

sosial ekonomi, budaya dan diet5 . Jenis ureterlithiasis terbanyak adalah

jenis kalsium oksalat seperti di Semarang 53,3%, Jakarta 72%. Herring di

Amerika Serikat melaporkan batu kalsium oksalat 72%, Kalsium fosfat

8%, Struvit 9%, Urat 7,6% dan sisanya batu campuran2,6.Angka

kekambuhan ureterlithiasis dalam satu tahun 15-17%, 4-5 tahun 50%, 10

tahun 75% dan 95-100% dalam 20-25 tahun.Di Indonesia penyakit

3
4

Ureterolithiasis masih menempati porsi terbesar dari jumlah pasien di

klinik urologi (Nurlina, 2008).

Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit ini di Indonesia

belum dapat ditetapkan secara pasti. Sampai saat ini angka kejadian

ureterolithiasis yang sesungguhnya belum diketahui, diperkirakan 170.000

kasus per tahun (Muslim, 2009). Dari data dalam negeri yang pernah

dipublikasi didapatkan peningkatan jumlah penderita ureterolithiasis yang

mendapat tindakan di RSUPN-Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun

mulai 182 pasien pada tahun 2006 menjadi 847 pasien pada tahun 2010

(Raharjo, 2011). Laki-laki lebih sering dibandingkan wanita (kira-kira 3:1)

dengan puncak insidensi antara dekade keempat dan kelima, hal ini kurang

lebih sesuai dengan yang ditemukan di RSUPN-CM (Raharjo, 2011).

Peningkatan jumlah penderita Ureterolithiasis berhubungan langsung

dengan faktor-faktor pembentuk batu itu sendiri. Faktor instrinsik seperti

genetik, penyakit, jenis kelamin, ras, dan usia memegang peranan sekitar

25%, sedangkan sebesar 75 % lebih dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik

seperti iklim tempat tinggal, geografis, dan gaya hidup (Muslim, 2012).

Berbagai penelitian melaporkan bahwa kekambuhan di tahun

pertama berkisar 15-27%, 4-5 tahun selanjutnya 40- 67,5%, dan 10 tahun

lebih sekitar 70-100% (Nurlina, 2010).

Gejala dari ureterolithiasis adalah rasa sakit yang berlebihan pada

pinggang, nausea, muntah, demam, hematuria. urine berwarna keruh

seperti teh atau merah. (Brunner and Suddarth, 2008).

4
5

Komplikasi dari ureterolithiasis adalah batu dapat memenuhi seluruh

pelvis renalis sehingga dapat menyebabkan obstruksi total pada ginjal,

pasien yang berada pada tahap ini dapat mengalami retensi urin sehingga

pada fase lanjut ini dapat menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya jika

terus berlanjut maka dapat menyebabkan gagal ginjal yang akan

menimbulkan gejala-gejala gagal ginjal seperti sesak, hipertensi, dan

anemia (Colella, et al., 2005; Purnomo, 2012).

Selain itu stagnansi batu pada saluran kemih juga dapat

menyebabkan infeksi ginjal yang akan berlanjut menjadi urosepsis dan

merupakan kedaruratan urologi, keseimbangan asam basa, bahkan

mempengaruhi beban kerja jantung dalam memompa darah ke seluruh

tubuh (Colella, et al., 2005; Portis & Sundaram, 2001; Prabowo & Pranata,

2014).

Terapi dan penatalaksanaan ureterolithiasis yang biasa digunakan

adalah terapi medikamentosa, pengenceran kemih, tindakan

Extracorporeal Shock Wave Litotripsy (ESWL), Ureterorenoscopic

Litotripsy (URS), Percutaneous Litotripsy (PCNL) , dan operasi terbuka

(Muslim, 2012). Setiap tindakan yang dilakukan memerlukan penanganan

medis dan keperawatan sehingga pasien dengan ureterolithiasis perlu

mengalami hospitalisasi. Penananganan pembedahan selama di rumah

sakit menjadi salah satu focus dan perhatian perawat.

Fillingham dan Douglass (2009) menyebutkan bahwa resiko

perdarahan (hematuria), resiko infeksi, nyeri, perubahan jumlah urin, dan

5
6

perforasi ureter adalah hal yang muncul dan memerlukan perhatian

khusus. Selama perawatan, pasien dengan batu saluran kemih terutama

pasca pembedahan memiliki banyak resiko sehingga perawat perlu

melakukan pemantauan khusus terutama hidrasi dan perdarahan sampai

kondisi pasien stabil. Proses penyembuhan pasien, perawat juga

memerlukan tindakan mandiri keperawatan untuk mencegah kekambuhan

berulang dengan melakukan edukasi keperawatan termasuk didalamnya

discharge planning. Hal ini menjadi sangat penting mengingat tingginya

angka kekambuhan pasca pengobatan ureterolithiasis.

Edukasi yang tepat adalah mengenai perubahan gaya hidup yang

mampu mengurangi faktor resiko ureterolithiasis di kemudian hari.

Sebagai contoh perawat dapat melakukan tindakan pengenceran kemih

dengan memotivasi banyak minum air putih dan melakukan edukasi

mengenai pentinganya pengenceran kemih.

Penyakit ureterolithiasis menjadi salah satu kasus yang

membutuhkan perhatian perawat dalam pemberian asuhan keperawatan

kesehatan masyarakat perkotaan karena prevalensinya di Indonesia yang

terus meningkat (Nurlina, 2008).

Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis ingin mengetahui secara

nyata pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan ureterolithiasis

yang dirawat di Rumah Sakit Kanudjoso Djatiwibowo.

6
7

B. Rumusan Masalah

Sebagaimana yang telah diuraikan pada latar belakang, maka rumusan

masalah pada karya tulis ilmiah ini adalah bagaimanakah asuhan

keperawatan pada klien ureterolithiasis di RSUD dr. Kanujoso djatiwibowo

Balikpapan.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum
Tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran pelaksanaan

asuhan keperawatan pada klien ureterolithiasis di RSUD dr. Kanujoso

Djatiwibowo Balikpapan.

2. Tujuan khusus
a. Mengkaji klien ureterolithiasis di RSUD dr. Kanujoso

Djatiwibowo Balikpapan.

b. Menegakkan diagnosa keperawatan pada klien ureterolithiasis di

RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan.

c. Menyusun perencanaan keperawatan Pada Klien ureterolithiasis di

RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan.

d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien ureterolithiasis di

RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan.

e. Mengevaluasi asuhan keperawatan Pada klien ureterolithiasis di

RSUD dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan

7
8

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan pengalaman belajar

dilapangan dan dapat meningkatkan pengetahuan peneliti tentang

asuhan keperawatan Pada klien Ureterolithiasis di RSUD dr.

Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan.

2. Bagi tempat penelitian


a. Klien

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

tentang tindakan keperawata yang seharusnya sesuai dengan

asuhan keparawatan klien dengan ureterolithiasis di RSUD Dr.

Kanudjoso Djatiwibowo Balikpapan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau

saran dan bahan dalam merencanakan asuhan keperawatan

ureterolithiasis di RSUD Dr. Kanudjoso Djatiwibowo Balikpapan.

3. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah keluasan ilmu

dibidang keperawatan dalam asuhan keperawatan klien

ureterolithiasis dan sebagai literatur dalam pembuatan Proposal.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Pengertian

Urolithiasis adalah suatu kondisi dimana dalam saluran kemih

individu terbentuk batu berupa kristal yang mengendap dari urin (Mehmed

& Ender, 2015). Pembentukan batu dapat terjadi ketika tingginya

konsentrasi kristal urin yang membentuk batu seperti zat kalsium, oksalat,

asam urat dan/atau zat yang menghambat pembentukan batu (sitrat) yang

rendah (Moe, 2006; Pearle, 2005). Urolithiasis merupakan obstruksi benda

padat pada saluran kencing yang terbentuk karena faktor presipitasi

endapan dan senyawa tertentu (Grace & Borley, 2006).

Urolithiasis merupakan kumpulan batu saluran kemih, namun secara

rinci ada beberapa penyebutannya. Berikut ini adalah istilah penyakit batu

bedasarkan letak batu antara lain: (Prabawa & Pranata, 2014):

a. Nefrolithiasis disebut sebagai batu pada ginjal

b. Ureterolithiasis disebut batu pada ureter

c. Vesikolithiasis disebut sebagai batu pada vesika urinaria/ batu buli

d. Uretrolithisai disebut sebagai batu pada ureter

9
2. Etiologi

Penyebab terjadinya ureterlithiasis secara teoritis dapat terjadi atau

terbentuk diseluruh salurah kemih terutama pada tempat-tempat yang

sering mengalami hambatan aliran urin (statis urin) antara lain yaitu sistem

kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalis

(stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi intravesiko kronik, seperti

Benign Prostate Hyperplasia (BPH), striktur dan buli-buli neurogenik

merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan

batu (Prabowo & Pranata, 2014).

Menurut Grace & Barley (2006) Teori dalam pembentukan batu

saluran kemih adalah sebagai berikut:

a. Teori Nukleasi

Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batu berasal dari inti batu

yang membentuk kristal atau benda asing. Inti batu yang terdiri dari

senyawa jenuh yang lama kelamaan akan mengalami proses

kristalisasi sehingga pada urin dengan kepekatan tinggi lebih beresiko

untuk terbentuknya batu karena mudah sekali untuk terjadi kristalisasi.

b. Teori Matriks Batu

Matriks akan merangsang pembentukan batu karena memacu

penempelan partikel pada matriks tersebut. Pada pembentukan urin

seringkali terbentuk matriks yang merupakan sekresi dari tubulus

ginjal dan berupa protein (albumin, globulin dan mukoprotein) dengan

sedikit hexose dan hexosamine yang merupakan kerangka tempat

10
diendapkannya kristal-kristal batu.

c. Teori Inhibisi yang Berkurang

Batu saluran kemih terjadi akibat tidak adanya atau berkurangnya

faktor inhibitor (penghambat) yang secara alamiah terdapat dalam

sistem urinaria dan berfungsi untuk menjaga keseimbangan serta salah

satunya adalah mencegah terbentuknya endapan batu. Inhibitor yang

dapat menjaga dan menghambat kristalisasi mineral yaitu magnesium,

sitrat, pirofosfat dan peptida. Penurunan senyawa penghambat tersebut

mengakibatkan proses kristalisasi akan semakin cepat dan

mempercepat terbentuknya batu (reduce of crystalize inhibitor).

Batu terbentuk dari traktus urinarius ketika konsentrasi subtansi

tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat

meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi

subtansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal mencegah

kristalisasi dalam urin. Kondisi lain yang mempengaruhi laju

pembentukan batu mencakup pH urin dan status cairan pasien (batu

cenderung terjadi pada pasien dehidrasi) (Boyce, 2010; Moe, 2006)

Penyebab terbentuknya batu dapat digolongkan dalam 2 faktor antara

lain faktor endogen seperti hiperkalsemia, hiperkasiuria, pH urin yang

bersifat asam maupun basa dan kelebihan pemasukan cairan dalam

tubuh yang bertolak belakang dengan keseimbangan cairan yang

masuk dalam tubuh dapat merangsang pembentukan batu, sedangkan

faktor eksogen

11
seperti kurang minum atau kurang mengkonsumsi air mengakibatkan

terjadinya pengendapan kalsium dalam pelvis renal akibat

ketidakseimbangan cairan yang masuk, tempat yang bersuhu panas

menyebabkan banyaknya pengeluaran keringat, yang akan

mempermudah pengurangan produksi urin dan mempermudah

terbentuknya batu, dan makanan yang mengandung purin yang tinggi,

kolesterol dan kalsium yang berpengaruh pada terbentuknya batu

(Boyce, 2010; Corwin, 2009; Moe, 2006)

3. Manifestasi Klinis
Urolithiasis dapat menimbulkan berbagi gejala tergantung pada letak batu,

tingkat infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih (Brooker, 2009).

Beberapa gambaran klinis yang dapat muncul pada pasien urolithiasis:

a. Nyeri

Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri

kolik dan non kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi batu

pada saluran kemih sehingga terjadi resistensi dan iritabilitas pada

jaringan sekitar (Brooker, 2009). Nyeri kolik juga karena adanya

aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter meningkat

dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada saluran kemih. Peningkatan

peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat

sehingga terjadi peregangan pada terminal saraf yang memberikan

sensasi nyeri (Purnomo, 2012).

Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul ginjal karena

terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Purnomo, 2012) sehingga

12
menyebabkan nyeri hebat dengan peningkatan produksi prostglandin E2

ginjal (O’Callaghan, 2009). Rasa nyeri akan bertambah berat apabila

batu bergerak turun dan menyebabkan obstruksi. Pada ureter bagian

distal (bawah) akan menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada pria

dan labia mayora pada wanita. Nyeri kostovertebral menjadi ciri khas

dari urolithiasis, khsusnya nefrolithiasis (Brunner & Suddart, 2015).

b. Gangguan miksi

Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin (urine flow)

mengalami penurunan sehingga sulit sekali untuk miksi secara spontan.

Pada pasien nefrolithiasis, obstruksi saluran kemih terjadi di ginjal

sehingga urin yang masuk ke vesika urinaria mengalami penurunan.

Sedangkan pada pasien uretrolithiasis, obstruksi urin terjadi di saluran

paling akhir sehingga kekuatan untuk mengeluarkan urin ada namun

hambatan pada saluran menyebabkan urin stagnansi (Brooker, 2009).

Batu dengan ukuran kecil mungkin dapat keluar secara spontan setelah

melalui hambatan pada perbatasan uretero- pelvik, saat ureter

menyilang vasa iliaka dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli

(Purnomo, 2012).

c. Hematuria

Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering

mengalami desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang keluar.

Keadaan ini akan menimbulkan gesekan yang disebabkan oleh batu

sehingga urin yang dikeluarkan bercampur dengan darah (hematuria)

13
(Brunner & Suddart, 2015). Hematuria tidak selalu terjadi pada pasien

urolithiasis, namun jika terjadi lesi pada saluran kemih utamanya ginjal

maka seringkali menimbulkan hematuria yang masive, hal ini

dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya dan memiliki sensitivitas

yang tinggi dan didukung jika karakteristik batu yang tajam pada

sisinya (Brooker, 2009)

d. Mual dan muntah

Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi ketidaknyamanan

pada pasien karena nyeri yang sangat hebat sehingga pasien mengalami

stress yang tinggi dan memacu sekresi HCl pada lambung (Brooker,

2009). Selain itu, hal ini juga dapat disebabkan karena adanya stimulasi

dari celiac plexus, namun gejala gastrointestinal biasanya tidak ada

(Portis & Sundaram, 2001)

e. Demam

Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke tempat

lain. Tanda demam yang disertai dengan hipotensi, palpitasi,

vasodilatasi pembuluh darah di kulit merupakan tanda terjadinya

urosepsis. Urosepsis merupakan kedaruratan dibidang urologi, dalam

hal ini

harus secepatnya ditentukan letak kelainan anatomik pada saluran

kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dan segera dilakukan terapi

berupa drainase dan pemberian antibiotik (Purnomo, 2012)

14
f. Distensi vesika urinaria

Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria

akan menyebabkan vasodilatasi maksimal pada vesika. Oleh karena itu,

akan teraba bendungan (distensi) pada waktu dilakukan palpasi pada

regio vesika (Brooker, 2009)

4. Patofisiologi

Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya aliran urin dan

menyebabkan obstruksi, salah satunya adalah statis urin dan menurunnya

volume urin akibat dehidrasi serta ketidakadekuatan intake cairan, hal ini

dapat meningkatkan resiko terjadinya urolithiasis. Rendahnya aliran urin

adalah gejala abnormal yang umum terjadi (Colella, et al., 2005), selain

itu, berbagai kondisi pemicu terjadinya urolithiasis seperti komposisi batu

yang beragam menjadi faktor utama bekal identifikasi penyebab

urolithiasis.

Batu yang terbentuk dari ginjal dan berjalan menuju ureter paling

mungkin tersangkut pada satu dari tiga lokasi berikut

a. sambungan ureteropelvik

b. titik ureter menyilang pembuluh darah iliaka dan

c. sambungan ureterovesika.

Perjalanan batu dari ginjal ke saluran kemih sampai dalam kondisi

statis menjadikan modal awal dari pengambilan keputusan untuk

tindakan pengangkatan batu. Batu yang masuk pada pelvis akan

membentuk pola koligentes yang disebut batu staghorn.

15
1) Faktor Resiko

Pada umumnya urolithiasis terjadi akibat berbagai sebab yang

disebut faktor resiko. Terapi dan perubahan gaya hidup merupakan

intervensi yang dapat mengubah faktor resiko, namun ada juga

faktor resiko yang tidak dapat diubah. Faktor yang tidak dapat

diubah antara lain: umur atau penuaan, jenis kelamin, riwayat

keluarga, penyakit-penyakit seperti hipertensi, diabetes mellitus

dan lain-lain.

a) Jenis Kelamin

Pasien dengan urolithiasis umumnya terjadi pada laki-laki 70-

81% dibandingkan dengan perempuan 47-60%, salah satu

penyebabnya adalah adanya peningkatan kadar hormon

testosteron dan penurunan kadar hormon estrogen pada laki-laki

dalam pembentukan batu (Vijaya, et al., 2013). Selain itu,

perempuan memiliki faktor inhibitor seperti sitrat secara alami

dan pengeluaran kalsium dibandingkan laki- laki (NIH 1998-

2005 dalam Colella, et al., 2005; Heller, et al., 2002).

b) Umur

Urolithiasis banyak terjadi pada usia dewasa dibanding usia tua,

namun bila dibandingkan dengan usia anak-anak, maka usia tua

lebih sering terjadi (Portis & Sundaram, 2001). Rata-rata pasien

urolithiasis berumur 19-45 tahun (Colella, et al., 2005; Fwu, et

al., 2013; Wumaner, et al., 2014).

16
c) Riwayat Keluarga

Pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan urolithiasis ada

kemungkinan membantu dalam proses pembentukan batu

saluran kemih pada pasien (25%) hal ini mungkin disebabkan

karena adanya peningkatan produksi jumlah mucoprotein pada

ginjal atau kandung kemih yang dapat membentuk kristal dan

membentuk menjadi batu atau calculi (Colella, et al., 2005).

d) Kebiasaan diet dan obesitas

Intake makanan yang tinggi sodium, oksalat yang dapat

ditemukan pada teh, kopi instan, minuman soft drink, kokoa,

arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam

dapat menjadi penyebab terjadinya batu (Brunner & Suddart,

2015). Selain itu, lemak, protein, gula, karbohidrat yang tidak

bersih, ascorbic acid (vitamin C) juga dapat memacu

pembentukan batu (Colella, et al., 2005; Purnomo, 2012).

Peningkatan ukuran atau bentuk tubuh berhubungan dengan

resiko urolithiasis, hal ini berhubungan dengan metabolisme

tubuh yang tidak sempurna (Li, et al., 2009) dan tingginya Body

Mass Index (BMI) dan resisten terhadap insulin yang dapat

dilihat dengan adanya peningkatan berat badan dimana ini

berhubungan dengan penurunan pH urin (Obligado & Goldfarb,

2008). Penelitian lain juga dilakukan oleh Pigna, et al., (2014)

tentang konten lemak tubuh dan distribusi serta faktor resiko

17
nefrolithiasis menyatakan bahwa rata-rata reponden memiliki

berat badan 91,1 kg dengan rata-rata lemak total 24,3 kg.

Berdasarkan pemeriksaan pH urin dan SI asam urat dalam 24

jam serta pengukuran adiposa di berbagai bagian tubuh

didapatkan bahwa lemak tubuh sangat erat hubungannnya

dengan pembentukan batu asam urat dibanding berat badan total

dan BMI yang rendah, hal ini dapat dikarenakan adanya

kebiasaan yang buruk dalam mengontrol diet. Colella, et al.,

(2005) menyatakan kebiasaan makan memiliki kemungkinan

berhubungan dengan status sosial diatas rata-rata terhadap

kejadian urolithiasis.

e) Faktor lingkungan

Faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti letak

geografis dan iklim. Beberapa daerah menunjukkan angka

kejadian urolithiasis lebih tinggi daripada daerah lain (Purnomo,

2012). Urolithiasis juga lebih banyak terjadi pada daerah yang

bersuhu tinggi dan area yang gersang/ kering dibandingkan

dengan tempat/ daerah yang beriklim sedang (Portis &

Sundaram, 2001). Iklim tropis, tempat tinggal yang berdekatan

dengan pantai, pegunungan, dapat menjadi faktor resiko

tejadinya urolithiasis (Colella, et al., 2005).

f) Pekerjaan

Pekerjaan yang menuntut untuk bekerja di lingkungan yang

18
bersuhu tinggi serta intake cairan yang dibatasi atau terbatas

dapat memacu kehilangan banyak cairan dan merupakan resiko

terbesar dalam proses pembentukan batu karena adanya

penurunan jumlah volume urin (Colella, et al., 2005).

Aktivitas fisik dapat mempengaruhi terjadinya urolithiasis,

hal ini ditunjukkan dengan aktivitas fisik yang teratur bisa

mengurangi resiko terjadinya batu asam urat, sedangkan

aktivitas fisik kurang dari 150 menit per minggu menunjukkan

tingginya kejadian renal calculi seperti kalsium oksalat dan

asam urat (Shamsuddeen, et al., 2013).

g) Cairan

Asupan cairan dikatakan kurang apabila < 1 liter/ hari,

kurangnya intake cairan inilah yang menjadi penyebab utama

terjadinya urolithiasis khususnya nefrolithiasis karena hal ini

dapat menyebabkan berkurangnya aliran urin/ volume urin

(Domingos & Serra, 2011). Kemungkinan lain yang menjadi

penyebab kurangnya volume urin adalah diare kronik yang

mengakibatkan kehilangan banyak cairan dari saluran

gastrointestinal dan kehilangan cairan yang berasal dari keringat

berlebih atau evaporasi dari paru-paru atau jaringan terbuka.

(Colella, et al., 2005). Asupan cairan yang kurang dan tingginya

kadar mineral kalsium pada air yang dikonsumsi dapat

meningkatkan insiden urolithiasis (Purnomo, 2012).

19
Beberapa penelitian menemukan bahwa mengkonsumsi kopi dan

teh secara berlebihan dapat meningkatkan resiko terjadinya

urolithiasis. Begitu hal nya dengan alkohol, dari beberapa kasus

didapatkan bahwa sebanyak 240 orang menderita batu ginjal

karena mengkonsumsi alkohol hal ini disebabkan karena

seseorang yang mengkonsumsi alkohol secara berlebih akan

banyak kehilangan cairan dalam tubuh dan dapat memicu

terjadinya peningkatan sitrat dalam urin, asam urat dalam urin

dan renahnya pH urin. Selain itu, mengkonsumsi minuman

ringan (minuman bersoda) dapat meningkatkan terjadinya batu

ginjal karena efek dari glukosa dan fruktosa (hasil metabolisme

dari gula) yang terkandung dalam minuman bersoda

menyebabkan peningkatan oksalat dalam urin.

h) Co-Morbiditi

Hipertensi berhubungan dengan adanya hipositraturia dan

hiperoksalauria (Kim, et al., 2011). Hal ini dikuatkan oleh

Shamsuddeen, et al., (2013) yang menyatakan bahwa kalsium

oksalat (34,8%), asam urat (25%) dan magnesium (42,9%) pada

pasien hipertensi dapat menjadi penyebab terjadinya urolithiasis

dan pada umumnya diderita pada perempuan (69%).

Prevalensi pasien diabetes mellitus yang mengalami urolithiasis

meningkat dari tahun 1995 sebesar 4,5% menjadi 8,2% pada

tahun 2010 (Antonelli, et al, 2014). Urolithiasis yang

20
dikarenakan diabetes mellitus terjadi karena adanya resiko

peningkatan asam urat dan kalsium oksalat yang membentuk

batu melalui berbagai mekanisme patofisiologi (Wong, 2015).

Selain itu, diabetes mellitus juga dapat meningkatkan kadar

fosfat (25%) dan magnesium (28,6%) yang menjadi alasan

utama terjadinya renal calculi atau urolithiasis pada pasien

diabetes mellitus (Shamsuddeen, et al., 2013).

5. Pemeriksaan diagnostik
Menurut Brunner & Suddart, (2015) dan Purnomo, (2012) diagnosis

urolithiasis dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan seperti:

a. Kimiawi darah dan pemeriksaan urin 24 jam untuk mengukur kadar

kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, pH dan volume total (Portis &

Sundaram, 2001).

b. Analisis kimia dilakukan untuk menentukan komposisi batu.

c. Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya bakteri dalam

urin (bacteriuria) (Portis & Sundaram, 2001).

d. Foto polos abdomen

Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan

adanya batu radio-opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium

oksalat dan kalsium fosfat bersifat radio-opak dan paling sering

dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan batu asam urat bersifat

non opak (radio-lusen) (Purnomo, 2012).

21
Urutan radiopasitas beberapa batu saluran kemih seperti pada tabel:

Tabel 2.1 Urutan Radio-opasitas beberapa jenis batu saluran kemih

Jenis Batu Radio-Opasitas


Kalsium Opak
MAP Semio
Urat/ pak
Sistin Non-
opak
Sumber: Purnomo, 2012

e. Intra Vena Pielografi (IVP)

IVP merupakan prosedur standar dalam menggambarkan adanya

batu pada saluran kemih. Pyelogram intravena yang disuntikkan

dapat memberikan informasi tentang baru (ukuran, lokasi dan

kepadatan batu), dan lingkungannya (anatomi dan derajat

obstruksi) serta dapat melihat fungsi dan anomali (Portis &

Sundaram, 2001). Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu

semi-opak ataupun non-opak yang tidak dapat dilihat oleh foto

polos perut. Jika IVP belum dapat menjelaskan keadaan saluran

kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal, sebagai

penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd (Brunner

& Suddart, 2015; Purnomo, 2012).

f. Ultrasonografi (USG)

USG sangat terbatas dalam mendiagnosa adanya batu dan

merupakan manajemen pada kasus urolithiasis. Meskipun

demikian USG merupakan jenis pemeriksaan yang siap sedia,

pengerjaannya cepat dan sensitif terhadap renal calculi atau batu

22
pada ginjal, namun tidak dapat melihat batu di ureteral (Portis &

Sundaram, 2001). USG dikerjakan bila pasien tidak

memungkinkan menjalani pemeriksaan IVP, yaitu pada

keadaan-keadaan seperti alergi terhadap bahan kontras, faal

ginjal yang menurun, pada pada wanita yang sedang hamil

(Brunner & Suddart, 2015; Purnomo, 2012). Pemeriksaan USG

dapat menilai adanya batu di ginjal atau buli-buli, hidronefrosis,

pionefrosis, atau pengerutan ginjal (Portis & Sundaram, 2001)

6. Penatalaksanaan medis

Tujuan dalam panatalaksanaan medis pada urolithiasis adalah untuk

menyingkirkan batu, menentukan jenis batu, mencegah penghancuran

nefron, mengontrol infeksi, dan mengatasi obstruksi yang mungkin terjadi

(Brunner & Suddart, 2015; Rahardjo & Hamid, 2004).

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih

secepatnya harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih

berat. Indikasi untuk melakukan tindakan/ terapi pada batu saluran kemih

adalah jika batu telah menimbulkan obstruksi dan infeksi. Beberapa

tindakan untuk mengatasi penyakit urolithiasis adalah dengan melakukan

observasi konservatif (batu ureter yang kecil dapat melewati saluran kemih

tanpa intervensi), agen disolusi (larutan atau bahan untuk memecahkan

batu), mengurangi obstruksi (DJ stent dan nefrostomi), terapi non invasif

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), terapi invasif minimal:

ureterorenoscopy (URS), Percutaneous Nephrolithotomy, Cystolithotripsi/

23
ystolothopalaxy, terapi bedah seperti nefrolithotomi, nefrektomi,

pyelolithotomi, uretrolithotomi, sistolithotomi (Brunner & Suddart, 2015;

Gamal, et al., 2010; Purnomo, 2012; Rahardjo & Hamid, 2004).

Tabel 2.2. Penanganan medis untuk renal atau ureteral calculi

Treatment Indikasi Keterbatasan Komplikasi


ESWL 1. Radioluc Kurang efektif 1. Obstruksi
ent untuk pasien ureter oleh
calculi dengan obesitas karena
2. Batu renal < 2 dan batu yang pecahan
cm keras batu
3. Batu ureter 2. Perinephr
< 1 cm ic
hematom
a
Uretero Batu ureter 1. Invasive Striktur
s- copy 2. Biasanya uretera dan
membutuhk luka
an stent
postoperasi
ureteral
URS Batu renal < 2cm 1. Mungkin Striktur
akan uretera dan
kesulitan luka
dalam
membersihka
n frgamen
2. Biasanya
membutuhk
an stent
postoperasi
uerteral
PNCL Batu renal > 2 cm Invasive Perdarahan
Batu renal Luka pada sistem
proksimal pengumpul
> 1 cm an Luka
pada
Sumber: Portis&Sundaram, 2001

24
31

7. Pencegahan

Tindakan selanjutnya yang tidak kala penting setelah batu dikeluarkan

dari saluran kemih adalah pencegahan atau menghindari terjadinya

kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per

tahun atau kurang lebih 50% tahun dalam 10 tahun (Purnomo, 2012).

Pencegahan dilakukan berdasarkan kandungan dan unsur yang

menyusun batu saluran kemih dimana hasil ini didapat dari analisis batu

(Lotan, et al., 2013).

Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan dengan pengaturan diet

makanan, cairan dan aktivitas serta perawatan pasca operasi untuk

mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi.

Beberapa tindakan gaya hidup yang dapat dimodifikasi dalam upaya

pencegahan kekambuhan ureterlithiasis adalah:

a. Cairan

Strategi pengobatan yang umum digunakan pada urolithiasis yang

bukan disebabkan karena infeksi bakteri adalah dengan meningkatkan

konsumsi air. Peningkatan konsumsi air setiap hari dapat mengencerkan

urin dan membuat konsentrasi pembentuk ureterlithiasis berkurang.

Selain itu, saat mengkonsumsi makanan yang cenderung kering

hendaknya mengkonsumsi air yang banyak. Konsumsi air sebanyak-

banyaknya dalam satu hari minimal 8 gelas atau setara dengan 2-3 liter
per hari (Lotan, et al., 2013)

Anggraini (2015) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pencegahan

lain dapat dilakukan dengan mengkonsumsi air jeruk nipis atau jeruk

lemon yang berfungsi sebagai penghambat pembentukan batu ginjal

jenis kalsium dengan mekanisme utamanya yaitu menghambat

pembentukan batu kalsium melalui reaksi pemutusan ikatan antara

kalsium oksalat maupun kalsium posfat oleh sitrat, sehingga pada akhir

reaksi akan terbentuk senyawa garam yang larut air, endapan kalsium

tidak terbentuk dan tidak tidak terbentuk batu saluran kemih jenis batu

kalsium. Penelitian ini didukung oleh Colella, et al., (2005) dan

Purnomo, (2012) yang menyatakan bahwa asupan jeruk nipis yang

rendah dapat menyebabkan hipositraturia dimana kemungkinan dapat

meningkatkan resiko terbentuknya batu.

b. Makanan

1) Konsumsi makanan seperti ikan dan kurangi konsumsi oksalat

(seperti daging) untuk menurunkan oksalat dalam urin dan resiko

pembentukan batu oksalat (Maalouf, et al., 2010).

2) Mengurangi diet protein hewani dan purin lainnya untuk

menurunkan kadar asam urat dalam urin dan resiko pembentukan

batu asam urat (Maalouf, et al., 2010).

3) Mengurangi makanan yang mengandung tinggi kadar garam

karena dapat meningkatkan rasa haus, selain itu garam akan

32
mengambil banyak air dari dalam tubuh sehingga tubuh akan

mengalami dehidrasi tanpa disadari. Disarankan jika terlalu banyak

mengkonsumsi garam hendaknya anda imbangi dengan

mengkonsumsi banyak air yang berfungsi untuk melarutkan garam

yang ada di dalam tubuh (Maalouf, et al., 2010).

4) Meningkatkan diet kalsium untuk mengikat oksalat di usus dan

dengan demikian akan menurunkan kadar oksalat dalam urin

c. Aktivitas

Aktivitas fisik sangat dianjurkan untuk mencegah terjadinya

ureterlithiasis. Tingginya aktivitas yang dilakukan dengan diimbangi

asupan cairan yang seimbang maka ada kemungkinan akan

memperkecil resiko terjadinya pembentukan batu, latihan fisik seperti

treadmill atau aerobic ini dapat dilakukan selama 1 jam/ hari selama 5

hari atau anda dapat melakukan olahraga lari selama 20 meter/ menit

selama 5 hari (Shamsuddeen, et al., 2013).

Aktivitas fisik dapat menyebabkan kehilangan banyak cairan

sehingga memungkinkan untuk berada dalam kondisi dehidrasi tanpa

disadari maka dari itu disarankan untuk mempertahankan hidrasi

(cairan) dalam tubuh sebanyak-banyaknya selama melakukan aktivitas,

khususnya aktivitas berat seperti latihan fisik (treadmill) untuk

mengganti ciaran tubuh yang hilang saat melakukan aktivitas (Colella,

et al., 2005; Purnomo, 2012).

33
d. Dukungan sosial

Rahman, et al., (2013) dalam penelitiannya tentang hubungan antara

adekuasi hemodialisa terhadap kualitas hidup pasien menyatakan bahwa

dukungan sosial merupakan salah satu indikator yang dapat

mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Dukungan sosial dapat

diberikan dari keluarga dan lingkungan sekitar dapat meningkatkan

keoptimisan pada diri sendiri untuk sembuh dari penyakit dan memiliki

kehidupan yang lebih baik. Dukungan yang dapat diberikan berupa

memberikan dukungan kepada orang lain untuk beradaptasi dengan

kondisinya saat ini (Guundgard, 2006).

8. Komplikasi

Batu mungkin dapat memenuhi seluruh pelvis renalis sehingga dapat

menyebabkan obstruksi total pada ginjal, pasien yang berada pada tahap

ini dapat mengalami retensi urin sehingga pada fase lanjut ini dapat

menyebabkan hidronefrosis dan akhirnya jika terus berlanjut maka dapat

menyebabkan gagal ginjal yang akan menunjukkan gejala-gejala gagal

ginjal seperti sesak, hipertensi, dan anemia (Colella, et al., 2005; Purnomo,

2012).

Selain itu stagnansi batu pada saluran kemih juga dapat

menyebabkan infeksi ginjal yang akan berlanjut menjadi urosepsis dan

merupakan kedaruratan urologi, keseimbangan asam basa, bahkan

mempengaruhi beban kerja jantung dalam memompa darah ke seluruh

34
tubuh (Colella, et al., 2005; Portis & Sundaram, 2001; Prabowo & Pranata,

2014)

B. Konsep masalah keperawatan

1. Pengertian Masalah Keperawatan

Masalah keperawatan atau diagnosis keperawatan merupakan suatu

penilaian klinis mengenai respons klien terhadap masalah kesehatan atau

proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun

potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi

respons klien individu, keluarga, dan komunitas terhadap situasi yang

berkaitan dengan kesehatan (tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)

2. Kriteria Mayor dan Minor

Menurut tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) menyatakan kriteria

mayor merupakan tanda atau gejala yang ditemukan 80%-100% pada klien

untuk validasi diagnosis. Sedangkan kroteria minor merupakan tanda atau

gejala yang tidak harus ditemukan, namun jika ditemukan dapat

mendukung penegakkan diagnosis.

3. Faktor yang Berhubungan

Faktor yang berhubungan atau penyebab pada masalah

keperawatan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan

status kesehatan yang mencakup empat kategori yaitu : Fisiologis, biologis

atau psikologis, efek terapi atau tindakan, lingkungan atau personal, dan

kematangan perkembanngan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)

35
4. Pathway
Faktor Idiopatik : Bp.
Faktor Intrinsik:Laki- Faktor Ekstrinsik : Bp. P
laki kemungkinan P sering kurang bekerja di pasar sering
besar terkena Batu duduk terlalu lama dan
minum air putih,
Saluran Kemih
penggemar minuman
beralkohol sebagai tukang ojek

Defisiensi kadar magnesium , sitrat prifosfor, mukoprotein, dan peptide

Resiko kristalisasi mineral

Peningkatan konsistensi larutan urine

Penumpukan kristal

Pengendapan

Batu Saluran Kemih

Sumbatan saluran kemih Farmakologi

Ketidakpatuhan
Spasme batu saat turun Kencing tidak tuntas
terapeutik
dari ureter

Gangguan eliminasi urin b.d


Nyeri akut b.d agen penurunan kapasitas kandung Defisit pengetahuan
pencedera fisiologis kemih

pemeliharaan kesehatan

Ketidakefektifan

(sumber : Price & Wilson, 2006; NANDA 2013) dan ( Standar Diagnosis

Keperawatan Indonesia dalam Tim Pokja SDKI DPP PPNI 2017

36
5. Masalah Keperawatan pada klien Ureterlithiasis
Berikut adalah uraian dari masalah yang timbul bagi klien menurut

(Nurarif, 2015) dengan menggunakan Standar Diagnosis Keperawatan

Indonesia dalam Tim Pokja SDKI DPP PPNI 2017

1. Nyeri akut

a. Definisi

Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak

atau lambat dan berintesitas ringan hingga berat yang berlangsung

kurang dari 3 bulan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017)

b. Penyebab

1) Agen pencedera fisiologis ( mis.inflamasi, iskemia,neoplasma )

2) Agen pencedera kimiawi ( mis. terbakar, bahan kimia iritan )

3) Agen pencedra fisik ( mis. amputasi, terbakar, terpotong,

mengangkat berat, prosedur operasi, Trauma, latihan fisik

berlebihan )

c. Kriteria Mayor dan Minor

Kriteria mayor dan minor nyeri akut menurut Tim Pokja SDKI DPP

PPNI (2017):

1) Mayor

Tanda mayor subjektif

a) Mengeluh nyeri

Tanda mayor objektif:

37
a) Tampak meringis

b) Bersikap protektif (mis.waspada,posisi menghindari nyeri)

c) Gelisah

d) Frekuensi nadi meningkat

e) Sulit tidur

2) Minor

Tanda minor objektif:

a) Tekanan darah meningkat

b) Pola nafas berubah

c) Nafsu makan berubah

d) Proses berfikir terganggu

e) Menarik diri

f) Berfokus pada diri sendiri

g) diaforesis

d. kondisi klinis

kondisi klonis menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) :

a. kondisi pembedahan

b. Cedera traumatis

c. Infeksi

d. Sindrom coroner akut

e. Glaukoma

38
2. Gangguan eliminasi urin

a. Definisi

Disfungsi eliminasi (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

b. Penyebab

Penyebab Gangguan eliminasi urin menurut Tim Pokja SDKI DPP

PPNI (2017):

1) Penurunan kapasitas kandung kemih

2) Iritasi kandung kemih

3) Penurunan kemampuan menyadari tanda – tanda gangguan

kandung kemih

4) Efek tindakan medis dan diagnostik ( mis. operasi ginjal, operasi

saluran kemih, anastesi, dan obat – obatan )

5) Kelemahan otot pelvis

6) Ketidakmampuan mengakses toilet ( mis. imobilisasi )

7) Hambatan lingkungan

8) Ketidakmapuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi

9) Outlet kandung kemih tidak lengkap ( mis. anomaly saluran

kemih kongenital )

10) Imaturita ( pada anak usia < 3 tahun )

c. Kriteria Mayor dan Minor

Kriteria mayor dan minor gangguan eliminasi urin menurut Tim

Pokja SDKI DPP PPNI (2017):

39
1) Mayor

Tanda mayor subjektif:

a) Desakan kemih ( Uregensi )

b) Urin menetes ( dribbling )

c) Sering buang air kecil

d) Nokturia

e) Mengompol

f) Enuresis

Tanda mayor objektif:

a) Distensi kandung kemih

b) Berkemih tidak tuntas ( hesitancy )

c) Volume residu urin meningkat

d. Kondisi klinis terkait

1) Infeksi ginjal dan saluran kemih

2) Hiperglikemi

3) Trauma

4) Kanker

5) Cedera/tumor/infeksi medulla spinalis

6) Neuropati diabetikum

7) Neuropati alkoholik

8) Stroke

9) Parkinson

40
3. Defisit pengetahuan

a. Definisi

Ketiadaan atau kekurangan informasi kognitif yang berkaitan dengan

topok tertentu (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

b. Penyebab

Penyebab defisit pengetahuan menurut SDKI (2017) adalah sebagai

berikut:

1) Keterbatasan kognitif

2) Gangguan fungsi kognitif

3) Kekeliruan mengikuti anjuran

4) Kurang terpapar informasi

5) Kurang minat dalam belajar

6) Kurang mampu mengingat

7) Ketidaktahuan menemukan sumber informasi

c. Kriteria mayor dan minor

Kriteria mayor dan minor defisit pengetahuan menurut SDKI (2017)

adalah sebagai berikut:

1) Mayor

Tanda mayor subjektif:

a) Menanyakan masalah yang dihadapi

Tanda mayor objektif:

a) Menunjukkan perilaku tidak sesuai anjuran

41
b) Menunjukan persepsi yang keliruan terhadap masalah

2) Minor

Tanda minor objektif:

a) Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat

b) Menunjukan perilaku berlebihan ( mis. apatis, bermusuhan,

agitasi, histeria)

d. Kondisi klinis terkait

Kondisi klinis terkait dengan defisit pengetahuan menurut SDKI

(2017):

1) Kondisi klinis yang baru dihadapi oleh klien

2) Penyakut akut

3) Penyakit kronis

4. Menejemen kesehatan tidak efektif

a. Definisi

Pola pengaturan dan pengintegrasian penanganan masalah

kesehatanke dalam kebiasaan hidup sehat sehari –hari tidak

memuaskan untuk mencapai status kesehatan yang diharapkan (Tim

Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

b. Penyebab

Penyebab menejemen kesehatan tidak efektif menurut Tim Pokja

SDKI DPP PPNI (2017) sebagai berikut:

1) Kolpleksitas system pelayanan kesehatan

42
2) Kompleksitas program perawatan/pengobatan

3) Konflik pengambilan keputusan

4) Kurang terpapas informasi

5) Kesulitan ekonomi

6) Tuntutan ekonomi

7) Tuntutan berlebihan (mis. individu, keluarga )

8) Konflik keluarga

9) Ketidakefektifan pola perawatan kesehatan keluarga

10) Ketidakcukupan petunjuk untuk bertindak

11) Kekurangan dukungan sosial

c. Kriteria mayor dan minor

Kriteria mayor dan minor manajemen kesehatan tidak efektif

menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) sebagai berikut:

1) Mayor

Tanda mayor subjektif:

a) Dispnea

Tanda mayor subjektif:

a) Mengungkapkan kesulitan dalam menjalani program

perawatan/pengobatan

2) Minor

Tidak ada tanda minor

43
d. Kondisi klinis terkait

1) Kondisi kronis ( mis. kanker, penyakit paru obstruksi kronis,

sklerosos multiple, arhtitis, gagal ginjal, hati, atau jantung

kronis)

2) Diagnosis baru yang mengharuskan perubahan gaya hidup

C. Konsep asuhan keperawatan

1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses

keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan

perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan

meliputi data biologis, psikologis, social dan spiritual.

Pada dasarnya tujuan pengkajian adalah pengumpulan data objektif

dan subjektif dari klien ( Somantri, 2009 : 109 ).

a. Biodata

Sesuai dengan etiologi penyebabnya, efusi pleura dapat timbul

pada seluruh usia. Status ekonomi ( tempat tinggal ) sangat berperan

terhadap timbulnya penyakit ini terutama yang di dahului oleh

tuberculosis paru. Klien dengan tuberculosis paru sering ditemukan di

daerah padat penduduk dengan kondisi sanitasi kurang.

1) Identitas Klien

Biodata klien mencakup nama, usia, jenis klamin, pendidikan,

status perkawinan, suku / bangsa, agama, tanggal masuk rumah

44
sakit, nomor rekam medik, tanggal pengkajian, diagnosa medis

dan alamat.

2) Identitas Penanggung Jawab

Biodata penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin,

agama, hubungan dengan klien dan alamat.

b. Riwayat Kesehatan

1) Keluhan Utama

Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong klien

mencari pertolongan atau berobat kerumah sakit, biasaanya pada

klien dengan efusi pleura di dapatkan keluhan berupa nyeri luar

bias akut/ kronis dan kolik yang menyebar ke paha dan genetal

(Dinda, 2011: hal 2).

2) Riwayat Kesehatan Sekarang

Keluhan yang sering terjadi pada ureterolithiasis ialah nyeri

pada saluran kemih yang menjalar, berat ringannya tergantung

pada lokasi dan besarnya batu, dapat terjadi nyeri/kolik renal

klien dapat juga mengalami gangguan gastrointestinal dan

perubahan. (Dinda, 2011: hal 2)

3) Riwayat Kesehatan Dahulu

Perlu ditanyakan pula apakah klien pernah menderita penyakit

seperti infeksi saluran kemih,osteoporosis dengan pemakaian

pengobatan kalsium,berkerja di lingkungan panas dan olahraga

45
wan. Hal ini perlu diketahui untuk melihat ada tidaknya

kemungkinan faktor predisposisi (Dinda, 2011: hal 2).

4) Riwayat Kesehatan Keluarga

Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita

penyakit - penyakit yang mungkin dapat menyebabkan

ureterlithiasis seperti pernah menderida ureterlithiasis, isk,

hipertensi dan sebagainya(Dinda, 2011: hal 2).

5) Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum, kesadaran, tanda-

tanda vital, berat badan, dan nilai GCS ( Glassgow Coma Scalle ).

Keadaan fisik secara keseluruhan dari semua sistem organ tubuh,

pada klien dengan Efusi pleura dilakukan pemeriksaan fisik

sebagai berikut :

a) Keadaan Umum dan Tanda - tanda Vital

Keadaan umum pada klien dengan ureterlithiasis dapat

dilakukan secara selintas pandang dengan menilai keadaaan

fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu di nilai secara umum

tentang kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis,

apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau koma.

b) Sistem Kardiovaskuler

Sistem kardiovaskuler, tidak ditemukan gangguan pada

sistem kardiovaskular. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)

46
c) Sistem Gastro Intestinal

Sistem pencernaan, Mulut dan tenggorokan: Fungsi

mengunyah dan menelan baik, Bising usus normal. (Nahdi

Tf, 2013: hal 50)

d) Sistem Muskuloskeletal

mengalami intoleransi aktivitas karena nyeri yang dirasakan

yang melakukan mobilitas fisik tertentu. (Nahdi Tf, 2013: hal

50)

e) Sistem intergumen

hangat, kemerahan, pucat. (Dian, 2011 : hal 20)

f) Sistem Perkemihan

adanya oliguria, disuria, gross hematuria, menjadi ciri khas

dari urolithiasis, nyeri yang hebat, nyeri ketok pada pinggang,

distensi vesika pada palpasi vesika (vesikolithiasis/

urolithiasis, nyeri yang hebat, nyeri ketok pada pinggang,

distensi vesika pada palpasi vesika

(vesikolithiasis/uretrolithiasis), teraba massa keras/batu

(uretrolithiasis). nilai frekuensi buang air kecil dan

jumlahnya, Gangguan pola berkemih. (Prabowo E, dan

Pranata, 2014: hal 122)

47
g) Sistem Persyarafan

Tingkat kesadaran, GCS, reflex bicara, compos mentis.

(Nahdi Tf, 2013: hal 50)

h) Sistem endokrin

Dikaji kelenjar tiroid membesar / tidak, hiperglikemi,

hipoglikemi, luka gangren, ada pus / tidak, juka ada keluhan,

data penunjang di tulis dalam kolom lain - lain. Kolom

masalah diisi dengan masalah yang ditemukan ( Nursalam,

2008 : 55 - 56 ).

6) Pola Aktivitas Sehari - hari

Menurut Wartonah 2006 : 87, pola aktivitas sehari – hari

meliputi :

a) Nutrisi

Nutrisi meliputi frekuensi makan, jenis makanan, porsi

makan, frekuensi minum serta jenis minuman, porsi dan

berapa gelas / hari.

b) Eliminasi

buang air besar ( BAB ) dan buang air kecil ( BAK )

Frekuensi, konsistensi, warna, bau dan masalah.

c) Istirahat Tidur

Lamanya tidur, tidur siang, tidur malam, masalah dan jam

tidur.

48
d) Personal Hygiene

Personal hygiene : frekuensi mandi, gosok gigi, keramas

dan gunting kuku.

e) Aktivitas meliputi

Rutinitas sehari - hari dan olah raga.

7) Data Psikososial

a) Status Emosi

Pengendalian emosi mood yang dominan, mood yang

dirasakan saat ini, pengaruh atas pembicaraan orang lain,

kestabilan emosi.

b) Konsep Diri

Bagaimana klien melihat dirinya sebagai seorang, apa yang

disukai dari dirinya, sebagaimana orang lain menilai

dirinya, klien dapat mengidentifikasi kekuatan dan

kelemahan.

c) Gaya Komunikasi

Cara klien bicara, cara memberi informasi, penolakan untuk

berespon, komunikasi nonverbal, kecocokan bahasa verbal

dan nonverbal.

d) Pola Interaksi

Kepada siapa klien menceritakan tentang dirinya, hal yang

menyebabkan klien merespon pembicaraan, kecocokan

49
ucapan dan perilaku, tanggapan terhadap orang lain,

hubungan dengan lawan jenis.

e) Pola Koping

Apa yang dilakukan klien dalam mengatasi masalah, adalah

tindakan adaptif, kepada siapa klien mengadukan masalah.

Sosial tingkat pendidikan, pekerjaan, hubungan sosial,

teman dekat, cara pemanfaatan waktu dan gaya hidup.

8) Data Spiritual

Data yang harus dikaji meliputi arti kehidupan yang penting

dalam kehidupan klien, keyakinan tentang penyakit dan proses

kesembuhan, hubungan kepercayaan dengan Tuhan, ketaatan

menjalankan ritual agama, keyakinan bantuan Tuhan dalam

proses kesembuhan yang diyakini tentang kehidupan dan

kematian.

9) Data Penunjang

a) Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah

lengkap, kimia darah (ureum, kreatinin, asam urat), dan urin

lengkap. Hasilnya ditemukan peningkatan kadar leukosit

11.700/μl (normalnya: 5000- 10.000/μl); kimia darah tidak

ditemukan peningkatan kadar ureum, kreatinin, maupun

asam urat; urin lengkap ditemukan warna keruh, epitel (+),

50
sedimen (+), peningkatan kadar eritrosit 5-7/LPB

(normalnya: 0-1/LPB), leukosit 10-11/LPB (0-5/LPB).

(Nahdi Tf, 2013: hal 48)

b) Pemeriksaan Radiologi

Pada pemeriksaan radiologi dilakukan rontgen Blass Nier

Overzicht (BNO) dan ultrasonografi (USG) abdomen.

Hasilnya pada rontgen BNO didapatkan tampak bayangan

radioopaque pada pielum ginjal setinggi linea paravertebrae

sinistra setinggi lumbal III Ukuran 1,5 x 2 cm; USG

didapatkan tampak batu pada ginjal kiri di pole atas-tengah-

bawah berukuran 1 cm x 1,2 cm x 1,8 cm; tampak pelebaran

sistem pelvicokaliseal. (Nahdi Tf, 2013: hal 48)

c) Foto polos abdomen

Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat

kemungkinan adanya batu radiopak di saluran kemih.

Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat

radiopak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain,

sedangkan batu asama urat bersifat non-opak (radiolusen)

d) Pielografi intra vena ( PIV)

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keadaan anatomi

dan fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya

batuk semi-opak ataupun batu non-opak yang tidak dapat

51
terlihat oleh foto polos perut. Jika PIV belum dapat

menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya

penurunan fungis ginjal sebagai gantinya

adalah pemeriksaan pielografi retrograde.

e) Ultrasonografi

USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani

pemeriksaan PIV, yaitu pada keadaan-keadaan : alergi

terhadap kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada wanita

yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai adanya

batu di ginjal atau di buli-buli, hidronefrosis,

pionefrosis.(Dinda, 2011:hal 3)

10) Penatalaksanaan Medis

Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih

secepatnya harus dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit

yang lebih berat. Indikasi untuk melakukan tindakan/terapi pada

batu saluran kemih adalah jika batu telah menimbulkan :

obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena sesuatu indikasi

sosial. Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah

menimbulkan hidroureter atau hidronefrosis dan batu yang

sudah menyebabkan infeksi saluran kemih, harus segera

dikeluarkan. Kadang kala batu saluran kemih tidak

menimbulkan penyulit seperti di atas tetapi diderita oleh seorang

52
yang karena pekerjaannya mempunyai resiko tinggi dapat

menimbulkan sumbatan saluran kemih pada saat yang

bersangkutan sedang menjalakankan profesinya, dalam hal ini

batu harus dikeluarkan dari saluran kemih. (Dinda, 2011:hal 3)

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosia keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon

manusia ( status kesehatan atau resiko perubahan pola ) dari individu atau

kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan

memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan,

menurunkan, membatasi, mencegah, dan mengubah

( Nursalam, 2008 : 59 ).

Menurut Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis

dan Nurarif dan Kusuma (2016), diagnosa yang mungkin muncul pada

kasus ureterlithiasis yaitu :

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis

b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penurunan kapasitas

kandung kemih

c. Defisit pengetahuan

d. Pemelihara kesehatan tidakefektif

53
3. Intervensi keperawatan

Rencaana keperawatan dengan penderita ureterlithiasis menurut

Nursalam (2008), Wong (2009), Nurarif dan Kusuma (2016) dan Doenges

(2009) adalah :

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.

Tujuan: setelah dilakukan tiondakan keperawatan nyeri akut

berkurang.

Kriteria hasil: tidak menunjukan tanda-tanda nyeri.

Intervensi keperawatan:

1) Kaji tingkat nyeri yang dialami dengan menggunakan skala

nyeri (0-10).

Rasional: mengidentifikasikan kebutuhan untuk intervensi dan

juga tanda-tanda perkembangan resolusi komplikasi.

2) Atur posisi yang nyaman dan usahakan situasi yang tenang.

Rasioanal: posisi yang nyaman dan situasi yang tenang dapat

mengurangi rasa nyeri atau mengurangi stimulus nyeri.

3) Berikan kesempatan pada pasien untuk berkomunikasi dengan

teman-temannya atau orang terdekat

Rasional: dapat mengurangi ansietas dan rasa takut sehingga

mengurangi persepsi akan intensitas rasa sakit.

4) Kolaborasi dalam pemberian obat-obatan analgetik.

Rasioanal: memberikan penurunan nyeri/ tidak nyaman

54
b. Gangguan eliminasi

Kriteria hasil:

1) Disuria

2) Sering berkemih

3) Anyang – anyangan

4) Inkontinensia

5) Nokturia

6) Retensi

7) Dorongan

Intervensi keperawatan:

Manajemen gangguan eliminasi

1) Awasi pemasukan dan keluaran serta karakteristik urine

Rasional : Memberikan informasi tentang fungsi ginjal, dan

adanya komplikasi contoh infeksi dan perdarahan

2) Tentukan pola berkemih normal dan perhatikan variasi

Rasional : Kalkulus dapat menyebabkan ekstibilitas yang

menyebabkan sensasi kebutuhan berkemih segera

3) Dorong meningkatjkan pemasukan cairan

Rasional : Peningkatan hidrasi membilas bakteri,darah dan debris

dan dapat membantu lewatnya batu.

4) Periksa semua urine catat adanya keluaran batu dan kirim ke

laboratorium untuk analisa

55
Rasional : Penemuan batu memungkinkan identifikasi tipe batu

dan mempengaruhi pilihan terapi

5) Observasi perubahan status mental,perilaku atau tingkat

kesadaran

Rasional : Akumulasi sisa uremik dan ketidak seimbangan

elektrolit dapat menjadi toksik di SSP.

6) Awasi pemeriksaan laboratorium,contoh BUN,elektrolit,kreatinin

Rasional :Peninggian BUN,kreatinin dan elektrolit

mengidentifikasikan disfungsi ginjal.

c. Defisit pengetahuan.

Tujuan : menyatakan pemahaman proses penyakit.


Kriteria hasil:

1) Perilaku hiperbola

2) Ketidakakuratan mengikuti perintah

3) Ketidaakuratan melakukan tes

Intervensi keperawatan:

1) Kaji ulang proses penyakit dan harapan di masa yang datang

Rasional : memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat

membuat pilihan berdasarkan informasi.

2) Tekankan pentingnya peningkatan pemasukan cairan , contoh 3-4

liter per hari/ 6-8 liter/ hari. Dorong pasien melaporkan mulut

56
kering, diuresis (keringat berlebihan) dan untuk peningkatan

pemasukan cairan baik bila haus atau tidak.

Rasional : pembilasan sistem ginjal menurunkan kesempatan

statis ginjal atau pembentukan batu.

3) Diskusikan program obat-obatan, hindari obat yang dijual bebas

dan membaca semua label produk/ kandungan dalam makanan

Rasional : obat-obatan diberikan untuk mengasamkan

mengakalikan urine, tergantung pada penyebab dasar

pembentukan batu.

4) Mendengar dengan aktif tentang terapi / perubahan pola hidup.

Rasional : membantu pasien berkerja melalui perasaan dan

meningkatkan rasa kontrol apa yang terjadi.

d. Menejemen kesehatan tidak efektif.

Pencegahan primer

NOC : Orientasi Kesehatan

1 Fokus menjaga perilaku kesehatan

2 Fokus pada pencegahan penyakit

3 Fokus pada menjaga kemampuan fungsional

4 Harapan bahwa individu bertanggungjawab untuk pilihan yang

berhubungan dengan kesehatan

5 Presepsi bahwa kesehatan merupakan prioritas tinggi dalam

membuat pilihan gaya hidup

57
NOC : Kontrol Resiko

1. Mecari informasi tentang risiko kesehatan

2. Mengenali faktor risiko individu

3. Mengenali kemampuan untuk merubah perilaku

4. Memonitor faktor risiko dilingkungan dan individu

5. Mengembangkan strategi yang efektif dalam mengontrol risiko

6. Memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi risiko

7. Mengenali dan memonitor perubahan status kesehatan

4. Implementasi Keperawatan

Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan

yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun

dan ditunjukkan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai

tujuan yang diharapkan. Rencana tindakkan yang spesifik dilaksanakan

untuk memodifikasi fackor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan

pada klien.

5. Evaluasi Keperawatan

Menurut Suara,Mahyar, dkk (2010) evaluasi keperawatan terdiri

dalam beberapa komponen yaitu, tanggal dan waktu dilakukan evaluasi

keperawatan, diagnosa keperawatan, dan evaluasi keperawatan. Evaluasi

keperawatan ini dilakukan dalam bentuk SOAP (subjektif, objektif,

assessment, dan planning).

58
Menurut Dermawan D.(2012) evaluasi adalah proses keberhasilan

tindakan keperawatan yang membandingkan antara proses dengan tujuan

yang telah ditetapkan, dan menilai efektif tidaknya dari proses

keperawatan yang dilaksanakan serta hasil dari penilaian keperawatan

tersebut digunakanuntuk bahan perencanaan selanjutnya apabila masalah

belum teratasi.

59
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, bentuk studi kasus untuk

mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan ureterolithiasis di RSUD dr.

Kanudjoso Djatiwibowo Balikpapan. Pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa

keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

B. Subyek penelitian

Subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian keperawatan adalah

individu dengan kasus yang akan diteliti secara rinci dan mendalam. Adapun

subyek penelitian yang akan diteliti adalah dua orang klien dengan diagnosa

medis ureterolithiasis. Dengan kriteria sebagai berikut:

1. Kriteria inklusi .

a. Subyek adalah klien dewasa yang dirawat di RSUD dr Kanudjoso

Djatiwibowo.

b. Subyek klien terdiri dari 2 orang (laki-laki maupun perempuan) yang

di rawat inap dengan ureterlithiasis.

c. Pasien dan keluarga menyetujui tindakan yang dilakukan.

2. Kriteria ekslusi

a. Klien yang tidak bersedia menjadi responden

b. Klien yang dirawat di ruang ICU

60
C. Definisi operasional

1. Asuhan keperawatan adalah bentuk pelayanan keperawatan yang

professional yang diberikan kepada klien dengan menggunakan

metodelogi proses keperawatan. Proses keperawatan sendiri meliputi

pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan

evaluasi.

2. Ureterolithiasis adalah suatu kondisi dimana dalam saluran kemih individu

terbentuk batu berupa kristal yang mengendap dari urin (Mehmed &

Ender, 2015). penyebab ureterolithiasis adalah pekerjaan, diet,

aktivitas/olahraga, pola makan dan minum, serta kebiasaan menahan

buang air kecil. Gaya hidup ini merupakan salah satu faktor.

3. Asuhan keperawatan ureterlithiasis adalah asuhan keperawatan

komperehensif yang diberikan melalui metode proses keperawatan dari

pengkajian sampai evaluasi pada klien yang mempunyai diagnose medis

ureterlithiasis dilihat dari yang tercantum dalam rekam medis.

D. Lokasi dan Waktu Penelitian

Studi kasus ini dilakukan RSUD dr. Kanudjoso Djatiwibowo

Balikpapan pada tahun 2019.

61
E. Teknik dan instrument pengumpulan data

1. Teknik pengumpulan data

Adapun cara pengumpulan data pada penyususnan studi kasus ini antara

lain :

a. Wawancara

Wawancara yaitu hasil anamnesa berisi tentang identitas klien,

keluhan utama, riwayat penyakit sekarang-dahulu-keluarga dan lain-

lain. Sumber data yang didapat bisa dari klien, keluarga atau rekam

medik.

b. Observasi dan pemeriksaan fisik

Observasi dan pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan pendekatan

IPPA (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi) pada tubuh klien.

c. Studi dokumentasi

Studi dokumentasi merupakan data yang didapatkan dari

pemeriksaan diagnostik.

F. Instrumen pengumpulan data

Alat atau instrument pengumpulan data menggunakan format

pengkajian Asuhan keperawatan medikal bedah sesuai ketentuan yang

berlaku di Poltekkes Kemenkes Kaltim.

62
G. Prosedur penelitian

1. Penelitian ini diawali dengan penyusunan proposal penelitian dengan

menggunakan metode studi kasus.

2. Setelah disetujui oleh penguji proposal maka penelitian dilanjutkan

dengan kegiatan pengajuan izin pengumpulan data di lokasi penelitian.

3. Selanjutnya kegiatan penelitian dilanjutkan dengan menjelaskan maksud,

tujuan, dan waktu pada kepala ruang atau perawat penanggung jawab di

lokasi penelitian dan meminta persetujuan untuk melibatkan subyek.

4. Kegiatan penelitian dilanjutkan dengan menemui responden yang akan

dijadikan subyek penelitian untuk menjelaskan maksud, tujuan dan

manfaat dilakukan nya penelitian serta meminta persetujuan/informed

consent.

5. Setelah melakukan informed consent maka penelitian dilanjutkan dengan

pengumpulan data melalui proses asuhan keperawatan. Data yang

didapat berupa hasil pengukuran, observasi, wawancara terhadap kasus

yang dijadikan subyek penelitian.

6. Data-data yang diperoleh selanjutnya diolah dan hasilnya dituangkan

dalam bentuk narasi.

63
I. Keabsahan data

Keabsahan data dimaksudkan untuk membuktikan kualitas data atau

informasi yang diperoleh dalam penelitian sehingga menghasilkan data

dengan validitas tinggi yang dilakukan dengan cara menggunakan traingulasi

data yaitu mengumpulkan informasi utama langsung dari klien dan keluarga,

data hasil pemeriksaan fisik dan catatan rekam medis, serta perawat

diruangan klien dirawat.

J. Analisis data

Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu pengumpulan

data sampai dengan semua data terkumpul. Analisis data dilakukan dengan

cara mengemukakan fakta, selanjutnya membandingkan dengan teori yang

ada dan selanjutnya dituangkan dalam opini pembahasan.

Teknik analisis yang digunakan dengan cara menarasikan jawaban-

jawaban dari penelitian yang diperoleh dari hasil interpretasi wawancara

mendalam yang dilakukan untuk menjawab rumusan masalah penelitian.

Teknik analisis digunakan dengan cara observasi oleh peneliti dan studi

dokumentasi yang menggunakan data untuk selanjutnya diinterpretasikan

oleh peneliti dibandingkan teori yang sudah ada sebagai bahan untuk

memberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut.

64
2
31
32
33
34
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
94

Anda mungkin juga menyukai