Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PENDAHULUAN

KASUS GAGAL GINJAL KRONIK

Diajukan untuk memenuhi tugas Stase Keperawatan Medikal Bedah di Ruangan

Hemodialisa

Disusun Oleh :

Suryadi Alamsah

402018036

Program Studi Profesi Ners

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH BANDUNG

2018
TINJAUAN TEORITIS

A. Tinjauan Teori CKD


1. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi Ginjal
Ginjal merupakan suatu organ yang terletak retroperitoneal pada dinding
abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3.
Ginjal kanan terletak lebih rendah dari yang kiri karena besarnya lobus hepar.
Ginjal dibungkus oleh tiga lapis jaringan. Jaringan yang terdalam adalah kapsula
renalis, jaringan pada lapisan kedua adalah adiposa, dan jaringan terluar adalah
fascia renal. Ketiga lapis jaringan ini berfungsi sebagai pelindung dari trauma dan
memfiksasi ginjal (Tortora, 2011).
Ginjal memiliki korteks ginjal di bagian luar yang berwarna coklat terang dan
medula ginjal di bagian dalam yang berwarna coklat gelap. Korteks ginjal
mengandung jutaan alat penyaring disebut nefron. Setiap nefron terdiri dari
glomerulus dan tubulus. Medula ginjal terdiri dari beberapa massa-massa triangular
disebut piramida ginjal dengan basis menghadap korteks dan bagian apeks yang
menonjol ke medial. Piramida ginjal berguna untuk mengumpulkan hasil ekskresi
yang kemudian disalurkan ke tubulus kolektivus menuju pelvis ginjal (Tortora,
2011).

b. Fisiologi Ginjal
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi
kimia darah dan lingkungan dalam tubuh dengan mengekresikan zat terlarut dan air
secara selektif. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui
glomerulus dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam jumlah yang
sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air di eksresikan
keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpulan urin (Sylvia A. Price, 2006).
Menurut Sherwood (2011), ginjal memiliki fungsi yaitu:
1) Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
2) Memelihara volume plasma yang sesuai sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri.
3) Membantu memelihara keseimbangan asam basa pada tubuh.
4) Mengekskresikan produk-produk sisa metabolisme tubuh.
5) Mengekskresikan senyawa asing seperti obat-obatan.

Ginjal mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri. Ginjal kemudian akan
mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah. Zat-zat yang diambil dari darah pun
diubah menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Setelah
ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang tersebut
merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka urin yang
ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra (Sherwood, 2011).
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresi. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar
cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula Bowman.
Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara bebas sehingga
konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan
plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi
tidak difiltrasi, kemudian di reabsorpsi parsial, reabsorpsi lengkap dan kemudian
akan dieksresi (Sherwood, 2011).

2. Definisi
Gagal ginjal kronik/ESRD merupakan gangguan fungsi renal yang progresif
dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang dapat menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare,
2008).
Penyakit ginjal yang berat dapat dibagi dalam dua kategori umum, (1) Gagal
ginjal akut, yaitu hampir seluruh kerja ginjal tiba-tiba berhenti tetapi yang nantinya
dapat membaik mendekati fungsi normal. (2) Gagal ginjal kronis, yaitu ginjal secara
progresif kehilangan fungsi nefronnya satu per satu yang secara bertahap
menurunkan keseluruhan fungsi ginjal (Guyton & Hall, 2014).

3. Klasifikasi
Menurut Harrison (2012), berikut ini adalah klasifikasi dari GGK berdasarkan
GFR, yaitu:
a. Stadium I : kerusakan ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) normal atau
hampir normal, tepat atau diatas 90 ml per menit
b. Stadium II : Laju filtrasi glomerulus antara 60 dan 89 ml per menit (kira-kira
50% dari nilai normal) dengan tanda-tanda kerusakan ginjal
c. Stadium III : laju filtrasi glomerulus antara 30 sampai 50 ml per menit (25%
sampai 50% dari nilai normal) dengan hanya sedikit nefron yang tersisa
d. Stadium IV : Laju filtrasi glomerulus antara 15 sampai 29 ml per menit (12%
sampai 25% dari nilai normal)
e. Stadium V : Gagal ginjal stadium lanjut, laju filtrasi glomerululs kurang dari 15
ml per menit (< 12% dari nilai normal) terbentuk jaringan parut dan atropi
tubulus ginjal

4. Etiologi
Menurut Kowalak (2013), beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
penyakit CKD atau ESRD, antara lain :
a. Penyakit vaskuler (hipertensi, nefrosklerosis)
b. Obstruksi renal (batu ginjal)
c. Diabetes mellitus
d. Obesitas
e. Infeksi kronis
5. Patofisiologi
Patofisiologi GGK pada awalnya tergantung dari penyakit yang mendasarinya.
Namun, setelah itu proses yang terjadi adalah sama. Pada diabetes melitus, terjadi
hambatan aliran pembuluh darah sehingga terjadi nefropati diabetik, dimana terjadi
peningkatan tekanan glomerular sehingga terjadi ekspansi mesangial, hipertrofi
glomerular. Semua itu akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi yang
mengarah pada glomerulosklerosis (Sudoyo, 2009). Tingginya tekanan darah juga
menyebabkan terjadi GGK. Tekanan darah yang tinggi menyebabkan perlukaan
pada arteriol aferen ginjal sehingga dapat terjadi penurunan filtrasi (NIDDK, 2014).
Pada glomerulonefritis, saat antigen dari luar memicu antibodi spesifik dan
membentuk kompleks imun yang terdiri dari antigen, antibodi, dan sistem
komplemen. Endapan kompleks imun akan memicu proses inflamasi dalam
glomerulus. Endapan kompleks imun akan mengaktivasi jalur klasik dan
menghasilkan Membrane Attack Complex yang menyebabkan lisisnya sel epitel
glomerulus (Sudoyo, 2009).
Terdapat mekanisme progresif berupa hiperfiltrasi dan hipertrofi pada nefron
yang masih sehat sebagai kompensasi ginjal akibat pengurangan nefron. Namun,
proses kompensasi ini berlangsung singkat, yang akhirnya diikuti oleh proses
maladaptif berupa nekrosis nefron yang tersisa. Proses tersebut akan menyebabkan
penurunan fungsi nefron secara progresif. Selain itu, aktivitas dari renin-
angiotensinaldosteron juga berkontribusi terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresivitas dari nefron (Sudoyo, 2009). Hal ini disebabkan karena aktivitas renin-
angiotensin-aldosteron menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
vasokonstriksi dari arteriol aferen (Tortora, 2011).
Pada klien GGK, terjadi peningkatan kadar air dan natrium dalam tubuh. Hal
ini disebabkan karena gangguan ginjal dapat mengganggu keseimbangan
glomerulotubular sehingga terjadi peningkatan intake natrium yang akan
menyebabkan retensi natrium dan meningkatkan volume cairan ekstrasel.
Reabsorbsi natrium akan menstimulasi osmosis air dari lumen tubulus menuju
kapiler peritubular sehingga dapatterjadi hipertensi (Tortora, 2011). Hipertensi
akan menyebabkan kerja jantung meningkat dan merusak pembuluh darah ginjal.
Rusaknya pembuluh darah ginjal mengakibatkan gangguan filtrasi dan
meningkatkan keparahan dari hipertensi (Saad, 2014).
Gangguan proses filtrasi menyebabkan banyak substansi dapat melewati
glomerulus dan keluar bersamaan dengan urin, contohnya seperti eritrosit, leukosit,
dan protein (Harrison, 2012). Penurunan kadar protein dalam tubuh mengakibatkan
edema karena terjadi penurunan tekanan osmotik plasma sehingga cairan dapat
berpindah dari intravaskular menuju interstitial (Kidney Failure, 2013).
Perpindahan cairan dari intravaskular menuju interstitial menyebabkan penurunan
aliran darah ke ginjal. Turunnya aliran darah ke ginjal akan mengaktivasi sistem
reninangiotensin-aldosteron (Tortora, 2011).
Gagal ginjal kronik menyebabkan insufisiensi produksi eritropoetin (EPO).
Eritropoetin merupakan faktor pertumbuhan hemopoetik yang mengatur
diferensiasi dan proliferasi prekursor eritrosit. Gangguan pada EPO menyebabkan
terjadinya penurunan produksi eritrosit dan mengakibatkan anemia (Tortora, 2011).
6. Patways
7. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis menurut Baughman (2000) dapat dilihat dari berbagai fungsi
sistem tubuh, yaitu :
a. Manifestasi kardiovaskular : hipertensi, pitting edema, edema periorbital,
friction rub pericardial, pembesaran vena leher, gagal jantung kongestif,
perikarditis, disritmia, kardiomiopati, efusi pericardial, tamponade pericardial.
b. Gejala dermatologis : gatal hebat (pruritus), warna kulit abu-abu, mengkilat dan
hoperpigmentasi, serangan uremik tidak umum karena pengobatan dini dan
agresif, kulit kering, bersisik, ecimosis, kuku tipis dan mudah rapuh, rambut
tipis dan kasar, memar (purpura).
c. Gejala gastrointestinal : nafas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan pada
mulut, anoreksia, mual, muntah dan cegukan, penuruan aliran saliva, haus, rasa
kecaap logam dalam mulut, kehilangan kemampuan penghidung dan pengecap,
parotitis dan stomatitis, peritonitis, konstipasi dan diare, perdarahan dari saluran
gastrointestinal.
d. Perubahan neuromaskular : perubahan tingkat kesadaran, kacau mental,
ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot dan kejang
e. Perubahan hematologis : kecenderungan perdarahan
f. Keletihan dan letargik, sakit kepala, kelemahan umum
g. Klien secara bertahap akan lebih mengantuk, karakterristik pernafasan menjadi
kusmaul dan terjadi koma

8. Komplikasi
Menurut Kowalak (2013), menyebutkan bahwa komplikasi dari penyakit CKD
atau ESRD antara lain :

a. Kelebihan cairan
b. Hiperkalemia
c. Asidosis metabolik
d. Hipertensi
e. Gangguan mineral dan tulang
f. Anemia
g. Komplikasi kardiopulmoner
h. Disfungsi seksual

9. Prosedur Diagnostic
a. Laboratorium
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronik menurut Doenges (2000) dan
Kowalak (2013) adalah :
1) Volume urin, biasnya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak ada
(anuria).
2) Warna urin, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, pertikel koloid, fosfat atau urat.
3) Klirens kreatinin, mungkin menurun
4) Pemeriksaan darah lengkap
5) GDA, pH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,35) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau
hasil akhir katabolisme prtein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.
6) Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan)
7) Magnesium fosfat meningkat
8) Osmolaritas serum: lebih beasr dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urin.
9) Peningkatan kadar ureum, kreatinin, natrium dan kalium.

b. Radiologi
1) Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan bladder/KUB):
menunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung kemih, dan adanya obstruksi
(batu).
2) Pielogram ginjal : mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler, masa.
3) Sistouretrogram berkemih; menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks
kedalam ureter dan retensi.
4) Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista,
obstruksi pada saluran perkemuhan bagian atas.
5) Biopsy ginjal: mungkin dilakukan secara endoskopik, untuk menentukan
seljaringan untuk diagnosis hostologis.
6) Endoskopi ginjal dan nefroskopi: dilakukan untuk menentukan pelis ginjal
(keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif).
7) Elektrokardiografi (EKG): mungkin abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
8) CT scan untuk mendeteksi massa retroperitoneal (seperti penyebararn tumor).
9) Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendeteksi struktur ginjal, luasnya
lesi invasif ginjal.

10. Penatalaksanaan Medis


a. Farmakoterapi
1) Obat hipertensi
2) Obat-obatan antiemetic untuk mengendalikan mual dan muntah
3) Obat natrium bicarbonate untuk mencegah keadaan hiperkalemia.
4) Suplemen untuk mengatasi anemia yaitu eritropoitein

b. Hemodialisa
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada klien dalam keadaan
sakit akutdan memerlukan terapi dialisi jangka panjng (beberapa hari hingga
beberapa minggu) atau klien dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD; end
stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau atau terapi
permanen (Smeltzer & Barre, 2008).

1) Tujuan hemodialisa
Hemodialysis untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
dan mengeluarkan air yang berlebihan (Smeltzer & Barre, 2008).
2) Indikasi hemodialisa
Hemodialysis dilakaukan jika gagal ginjal menyebabkan beberapa kondisi,
seperti enselopati uremik, pericarditis, asidosis yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan lain, gagal jantung, dan hyperkalemia (Arif Muttaqin, 2011).

3) Prinsip hemodialisa
Pada hemodialysis, aliaran darah yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh klien ke dialisa tempat darah tersebut dibersihkan dan
kemudian dikembalikan ke tubuh klien.

Sebagian besar diliser merupakan lempengen rata atau ginjal serat artifisial
berongga yang berisi ribuan tubulus sefalon yang halus bekerja sebagai membrane
semipermeable. Aliran darah melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisa
bersirkulasi disekelilingnya. Pertukaran limbah dari darah kedalam cairan dialisa
akan terjadi melalaui membrane semipermeable tubulus.

Ada 3 prinsip yang mendasari kerja hemodialysis, yaitu difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah didlam darah dikeluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah, yang memiliki konsentrasi tingggi, ke cairan
dialisa dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisa tersusun dari semua
elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kadar elektrolit
darah dapat dikembalikan dengan mengatur rendaman dialisa (dyalisate bath)
secara tepat. (pori-pori kecil dalam membrane semipermeabel tidak memunginkan
lolosnya sel darah merah dan protein).

c. Tranfusi PRC
Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma.
Sel darah merah ini didapat dengan memisahkan sebagian besar plasma dari darah
lengkap, sehingga di peroleh sel darah merah dengan nilai hematokrit 60-70%.
Volume diperkirakan150-300 mL. Sel darah merah ini disimpan pada suhu 1°-6°
Celcius. Bila menggunakan antikoagulan CPDA maka masa simpan dari sel darah
merah ini 35 hari dengan nilai hematokrit 70-80%, sedangkan bila menggunakan
antikoagulan CPD masa simpan dari sel darah merah ini 21 hari. Komponen sel
darah yang disimpan dalam larutan tambahan (buffer, dekstrosa, adenine, manitol)
memiliki nilai hematokrit 52-60% dan masa simpan 42 hari. Sediaan ini bukan
merupakan sumber trombosit dan granulosit, namun memiliki kemampuan
oksigenasi seperti darah lengkap.

1) Indikasi tranfusi PRC


Sel darah merah pekat ini digunakan untuk meningkatkan jumlah sel darah
merah pada klien yang menunjukkan gejala anemia, yang hanya memerlukan massa
sel darah merah pembawa oksigen saja misalnya pada klien dengan gagal ginjal
atau anemia karena keganasan. Pemberian unit ini disesuaikan dengan kondisi
klinis klien bukan pada nilai Hb atau hematokrit. Keuntungannya adalah perbaikan
oksigenasi dan jumlah eritrosit tanpa menambah beban volume seperti klien anemia
dengan gagal jantung.

2) Kontraindikasi tranfusi PRC


Dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah banyak dalam
waktu singkat.

3) Dosis dan cara pemberian


Pada orang dewasa, 1 unit sel darah merah pekat akan meningkatkan Hb sekitar
1 g/dl atau hematokrit 3-4%. Pemberian sel darah ini harus melalui filter darah
standar (170 𝜇). Hematokrit yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya
hiperviskositas dan menyebabkan kecepatan transfusi menurun sehingga untuk
mengatasinya maka diberikan salin normal 50-100 ml sebagai pencampur sediaan
sel darah merah dalam CPD atau CPDA-1 tetapi harus hati-hati karena dapat terjadi
kelebihan beban.

d. Penatalaksanaan supportif
1) Pemberian suplemen vitamin, khususnya vitamin B dan D
2) Suplemen zat besi dan folat untuk mengatasi anemia
3) Membatasi asupan cairan serta natrium dan kalium
11. Program Nutrisi
a. Diet merupakan faktor penting bagi klien hemodialisis mengingat adanya efek
uremia. Apabila ginjal yang rusak tidak mampu mengekresikan produk akhir
metabolisme, substansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum
klien dan bekerja sebagai racun atau toksin. Gejala yang terjadi akibat
penumpukan tersebut dikenal sebagai gejala uremik dan akan mempengaruhi
setiap system tubuh. Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah
nitrogen dan demikian akan mengurangi gejala. Diet rendah garam juga akan
mengurangi gangguan pada organ target misalnya ginjal dan jantung,
khususnya penyakit hipertensi yang peka terhadap garam. Penumpukan cairan
juga dapat terjadi dan dapat mengakibatkan gagal jantung kongestif dan edema
paru.
b. Diet rendah protein untuk membatasi produk akhir metabolisme protein yang
tidak dapat di ekskresikan oleh ginjal.
c. Diet tinggi protein bagi klien yang menjalani dialisis peritoneal secara kontinu.
d. Diet tinggi kalori untuk mencegah terjadinya ketoasidosis dan atrofi jaringan.

B. Tinjauan Teori Hemodialisa


1. Definisi

Hemodialisa merupakan suatu membran atau selaput semi permiabel. Membran


ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut dialisis
yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semi permiabel.
Terapi hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah
manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-
zat lain melalui membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat
pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Brunner
& Suddarth, 2001).
2. Bagian alat dan fungsi
a. Arterial – Venouse Blood Line (AVBL)
AVBL terdiri dari :
1) Arterial Blood Line (ABL)
Arterial blood line adalah tubing tubing/line plastic yang menghubungkan darah
dari tubing akses vaskular tubuh pasien menuju dialiser, disebut Inlet ditandai
dengan warna merah.

2) Venouse Blood Line


Venouse blood line adalah tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari
dialiser dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien disebut outlet ditandai
dengan warna biru. Priming volume AVBL antara 100-500 ml. Priming volume
adalah volume cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL dan kompartemen
dialiser. Bagian-bagian dari AVBL dan kopartemen adalah konektor, ujung
runcing,segmen pump,tubing arterial/venouse pressure,tubing udara,bubble
trap,tubing infuse/transfuse set, port biru obat ,port darah/merah herah
heparin,tubing heparin dan ujung tumpul.

b. Dializer /ginjal buatan (artificial kidney)


Dializer /ginjal buatan (artificial kidney) adalah suatu alat dimana proses
dialisis terjadi dan inti dari alat hemodialysis terdiri dari 2 ruang atau kompartemen
yaitu:
1) Kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah
2) Kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisat

Proses ini berfungsi menggantikan cairan dalam darah yang sudah terbuang /
tersaring oleh membrane dializer,kedua kompartemen dipisahkan oleh membran
semipermiabel. Dialiser mempunyai 4 lubang yaitu dua ujung untuk keluar masuk
darah dan dua samping untuk keluar masuk dialisat. Dializer ini berfungsi
menyaring racun racun / sisa sisa metabolism dalam tubuh dalam darah kita dan
akan di strelirkan kembali sebelum masuk ke dalam tubuh pasien. Dializer ini
memiliki membrane-membrane kecil yang digunakan untuk menyaring, Biasa nya
500mmHg tergantung spesifikasi.

c. Air Water Treatment


Air dalam tindakan hemodialis dipakai sebagai pencampur dialisat peka
(diasol). Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan air sumur,
yang harus dimurnikan dulu dengan cara “water treatment” sehingga memenuhi
standar AAMI (Association for the Advancement of Medical Instrument). Jumlah
air yang dibutuhkan untuk satu session hemodilaisis seorang pasien adalah sekitar
120 Liter.
d. Larutan Dialisat
Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi tertentu.
Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat dan dialisat bicarbonate.
Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa macam yaitu : jenis standart,
free potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk bicarbonate ada yang powder,
sehingga sebelum dipakai perlu dilarutkan dalam air murni/air water treatment
sebanyak 9,5 liter dan ada yang bentuk cair (siap pakai). Larutan pengganti dalam
darah ini harus di panaskan antara 34 - 39°C sebelum di alirkan didalam dialyzer.
e. Mesin Hemodialisis
Ada bermacam-macam mesin haemodilisis sesuai dengan merek nya. Tetapi
prinsipnya sama yaitu blood pump, system pengaturan larutan dilisat, system
pemantauan mesin terdiri dari blood circuit dan dillisat circuit dan bebagai monitor
sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan komponen tambahan seperti heparin pump,
tombol bicarbonate, control ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi, kateter vena, blood
volume monitor, settingan disesuaikan dengan kemampuan pasien biasanya
diantara 300 – 400 ml/menit.

3. Tujuan
Menurut Corwin (2008) tujuan dari pengobatan hemodialisa antara lain:
a. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi eksekresi, yaitu membuang sisa-sisa
metabolisme yang lain
b. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya
di keluar kan sebagai urin saat ginjal sehat
c. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal
d. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain

4. Prinsip Hemodialisa
Tindakan Hemodialisa memiliki tiga prinsip yaitu: difusi, osmosis dan
ultrafiltrasi. Sisa akhir dari proses metabolisme didalam darah dikeluarkan dengan
cara berpindah dari darah yang konsentrasinya tinggi ke dialisat yang mempunyai
konsentrasi rendah (Smeltzel dan Bare, 2008).
Ureum, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah
ke cairan dialisat karena unsur-unsur yang tidak terdapat dalam dialisat. Natrium
asetat atau bicarbonate yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat akan
berdifusi kedalam darah. Kecepatan difusi solut tergantung kepada koefisien difusi,
luas permukaan membrane dialiser dan perbedaan konsentrasi serta perbedaan
tekanan hidrostatik diantara membrane dialysis (Prince & Wilson, 2005).
Air yang berlebihan akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis.
Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradient tekanan; dengan
kata lain air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh klien)
ketekanan yang lebih rendah (dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui
penambahan tekanan tekanan negative yang dikenal dengan ultrafiltrasi pada mesin
hemodialisa. Tekanan negative sebagai kekuatan penghisap pada membrane dan
memfasilitasi pengeluaran air sehingga tercapainya keseimbangan (Smeltzel dan
Bare, 2008).

5. Prosedur Hemodialisa
a. Persiapan pasien
1) Melakukan skrining
2) Memeriksa hasil lab (Hb, ureum, kreatinin, kalium)
3) Melakukan informed concent
4) Menyelesaikan administrasi
5) Melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan BB
6) Menentukan akses vaskular

b. Persiapan mesin (Nipro)


1) Menyiapkan mesin
a) Sambungkan kabel listrik ke stop kontak
b) Pastikan selang mesin HD telah tersambung ke RO dan pembuangan (drainase)
c) Hidupkan saklar belakang dan depan (di monitor) ditekan lama sampai nyala
(sampai tampilan mode rinse)
d) Masukan hansen konektor merah ke cairan acid (A) dan biru ke bicarbonate (B)
e) Pilih mode dialys, tekan lama pada layar monitor dial mode
f) Kemudian tekan prep.

2) Memasang blood line


a) Pasang ABL (arteri blood line) warna merah
- Pasang chamber arteri
- Ujung ditutup untuk ke dialyzer
- Ujung lain yang ada konektornya untuk dipasang ke matkan (gelas ukur)
- Pasang segmen pump (dari kiri ke kanan, bagian segmen yang ada cabang kecil
buat heparin pump dipasang dibagian bawah bagian pompa)
- Pasang sensor arteri
b) Memasang VBL (vena blood line) warna biru
- Pasang chamber vena
- Sensor vena dipasang
- Ujung konektor dipasang ke matkan.
c) Pasang dialyzer
- Sambungkan sesuai dengan warna merah ke merah dan biru ke biru posisi
dialyzer biru ke atas
- Pasang NaCl dan infus set, lalu sambungkan selang infus set ke port ABL.
3) Rinsing
a) Bilas selang ABL dengan gravitasi (mengalirkan NaCl sampai ujung ABL pada
matkan), jika sudah keluar, di klem lalu simpan/gantungkan diatas tiang.
b) Bilas selanjutnya VBL dan dialyzer dengan cara :
- Pilih mode prime
- Isi setengah liter
- Lalu nyalakan pompa/QB/Blood pump dengan cara menekan di layar ON/OFF
atur kecepatan dengan memutarkan tombol dibawahnya 150-300
- Isi chumber arteri ¾ nya
- Isi dialyzer dengan NaCl lalu tepuk-tepuk sampai bersih dari udara dan busa
renalin, jika sudah bersih dari udara, QB di off.

4) Priming
a) Sambungkan ABL + konektor + VBL (klem ditutup sebelum disambungkan)
b) Klem ABL + VBL dibuka kembali lalu digantungkan
c) Nyalakan kembali QB 200-300
d) Biarkan NaCl bersirkulasi
e) Posisi dialyzer biru diatas.

5) Soaking
Soaking dilakukan setelah dialisat siap yang ditandai dengan conductivity 13,8-
14,5 dan di monitor ada tulisan preparation complete, lalu :
a) Tekan bypass pada monitor
b) Buka copler merah dan biru, sambungkan ke dialyzer sesuai warna merah dan
biru
c) Posisi dialyzer biru dibawah
d) Tekan kembali bypass pada monitor (cairan dialisat akan membilas masuk ke
dialyzer ke ruang kompartemen dialysate.

6) Priming dalam
a) Tekan UF goal, atur 0,2 L (200 ml)
b) Atur estimasi UF time dengan 0:05 atau 5 menit
c) Tekan dialsis pada monitor.
Setelah selesai, berikan heparin sirkulasi (2000 uo/0,4cc) dengan cara :
- Tekan bypass
- Masukan heparin melalui port injeksi

c. Persiapan mesin (Fresinius 4008B)


1) Persiapan mesin : sambungkan listrik, tekan tombol power dibelakang mesin
dan tombol on sampai lampu depan mesin hidup
2) Masukan hanson conector merah ke acid dan bibag serbuk
3) Tekan test
4) Pasang blood line, letakan chamber arteri, masukan segment pump BL dari
bagian sensor arteri, pasang BL Venus Line, pasang chamber vena pada
tempatnya, letakan ujungnya ke matkan (gelas ukur)
5) Pasangkan masing-masing ujung yang lain baik arteri line maupun venus line
ke dialyzer
6) Isi NaCl ke ABL (arteri line merah) lalu klem apabila sudah sampai ujung
selang pada matkan, lalu digantung di atas dan VBL (vena line biru) di matkan,
buka tutup konektor
7) Tekan prime untuk mulai rinsing, tekan QB 200-300 dan isi chamber arteri ¾
sampai batas. Tepuk-tepuk dialyzer
8) Bebaskan dialyzer dari udara
9) Apabila dialyzer sudah bebas dari udara, hentikan QB, klem ujung vena line
pada matkan
10) Lakukan sirkulasi tertutup dengan menyambungkan ABL dan VBL dengan
klem terbuka
11) Isi chamber vena, dengan menekan ke atas level air, maka seketika mode prim
berubah menjadi mode dialise dan lanjutkan prime
12) QB mode on, kecepatan 200-300 ml/menit
13) Bila cairan dialisat sudah siap (lihat conductivity 13,7-14,2) dan dilayar terdapat
tulisan Preparation, artinya cairan dialisat siap, maka lakukan soaking dengan
cara buka coopler disamping mesin. Kemudian sambungkan coopler sesuai
warna pada dialyzer dan balikan posisi warna menjadi merah diatas dan biru
dibawah. Pastikan coopler tertutup kembali
14) Lanjutkan UF dalam setting 200 ml/ 5 menit
15) Setelah 5 menit selesai, berikan heparine sirkulasi 0,4 dan jangan lupa tekan off
flow dialisat
16) Kecilkan QB 100, lalu matikan
17) Tutup 4 klem : ABL, VBL, infus set dan port infus blood line
18) Sambungkan ABL dengan AV shunt dan VBL ke matkan
19) Nyalakan QB lalu perhatikan darah mengalir dan mendekati ujung VBL, lalu
klem VBL dan stop QB bersamaan
20) Ambil ujung VBL pada matkan, lalu sambungkan VBL ke fistula AV shunt
dengan teknik air ketemu air (perhatikan jangan sampai ada gelembung)
21) Setting UF goal dan time. Naikan QB dan perhatikan tekanan vena dan arteri
22) Setting heparine pump on
Efektifitas hemodialisa dilakukan 2 – 3 kali dalam seminggu selama 4 – 5 jam
atau paling sedikit 10 – 12 jam perminggunya (Black & Hawk, 2005). Sebelum
dilakukan hemodilisa maka perawat harus melakukan pengkajian pradialisa,
dilanjutkan dengan menghubungankan klien dengan mesin hemodialisa dengan
memasang blood line dan jarum ke akses vaskuler klien, yaitu akses untuk jalan
keluar darah ke dialiser dan akses masuk darah ke dalam tubuh. Arterio Venous
(AV) fistula adalah akses vaskuler yang direkomendasikan karena kecendrungan
lebih aman dan juga nyaman bagi pasien (Smeltzer dan Bare, 2008).

6. Indikasi
Secara ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 15
mL/menit,LFG kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang
dari 5 mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis.Selain indikasi tersebut
juga disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti
edema paru,hiperkalemia,asidosis metabolic berulang,dan nefropatik diabetic (Smeltzer,
2002).
Pada umumnya indikasi dari terapi hemodialisa pada gagal ginjal kronis adalah laju
filtrasi glomerulus (LFG) sudah kurang dari 5 mL/menit,sehingga dialisis dianggap baru
perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut dibawah:
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b. K serum >6 mEq/L
c. Ureum darah > 200 mg/DL
d. Ph darah <7,1
e. Oliguria atau anuria berkepanjangan ( > 5hari)

7. Kontra indikasi
Menurut corwin (2008) menjelaskan bahwa kontra indikasi dari hemodialisa
adalah hipotensi yang tidak responsif terhadap presor,penyakit stadium
terminal,dan sindrom otak organic. Kontra indikasi dari hemodialisa adalah tidak
mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa,akses vaskuler
sulit,instabilitas hemodinamik dan koagulasi.Kontra indikasi hemodialisa yang lain
diantaranya adalah penyakit Alzheimer,demensia multi infark, sindrom
hepatorenal,sirosis hati lanjut dengan ensefalopati dan keganasan lanjut (Smeltzer,
2008).

8. Komplikasi
Selama proses hemodialisis sering muncul komplikasi yang berbeda-beda untuk
setiap pasien. Menurut Smeltzer dan Bare (2008) salah satu komplikasi selama
hemodialisis antaralain :
a. Intradialytic Hypotension (IDH) : Intradialytic Hypotension adalahtekanan
darah rendah yang terjadi ketika proses hemodialisis sedang berlangsung. IDH
terjadi karena penyakit diabetes millitus, kardiomiopati, left ventricular
hypertrophy (LVH), status gizi kurang baik, albumin rendah, kandungan Na
dialysate rendah, target penarikan cairan atau target ultrafiltrasi yang terlalu
tinggi, berat badan kering terlalu rendah dan usia diatas 65 tahun.
b. Kram otot; Kram otot yang terjadi selama hemodialisis terjadi karena target
ultrafiltrasi yang tinggi dan kandungan Na dialysate yang rendah.
c. Mual dan muntah Komplikasi mual dan muntah jarang berdiri sendiri, sering
menyertai hipotensi dan merupakan salah satu presensi klinik disequillibrium
syndrom. Bila tidak disertai gambaran klinik lainnya harus dicurigai penyakit
hepar atau gastrointestinal.
d. Sakit kepala; Penyebab tidak jelas, tapi bisa berhubungan dengan dialisat acetat
dan disequillibrium syok syndrome (DDS).
e. Emboli udara; Emboli udara dalam proses hemodialisis adalah masuknya udara
kedalam pembuluh darah selama prose hemodialisis.
f. Hipertensi Keadaan hipertensi selama proses hemodialisis bisa diakibatkan
karena kelebihan cairan, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron, kelebihan
natrium dan kalsium, karena erythropoietin stimulating agents dan pengurangan
obat anti hipertensi

C. Tinjauan Teori Asuhan Keperawatan pada Kasus CKD/ESRD


1. Pengkajian
a. Identitas Pasien
Terdiri dari Nama, No. Medrek, umur (lebih banyak terjadi pada usia 30-60
tahun), Agama, Jenis Kelamin (Pria lebih berisiko daripada wanita), Pekerjaan,
Status perkawinan, Alamat, Tanggal Masuk, Yang mengirim, Cara masuk rs dan
diagnosa medis; Nama Identitas Penanggung Jawab meliputi : Nama, Umur,
Hubungan dengan pasien, Pekerjaan dan Alamat.

b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama merupakan hal-hal yang dirasakan oleh klien sebelum masuk ke
rumah sakit. Pada klien dengan gagal ginjal kronik biasanya didapatkan keluhan
utama bervariasi, mulai dari urine keluar sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah
samapi penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual, muntah, mulut
terasa kering, rasa lelah, napas bau (ureum), dan gatal pada kulit (Muttaqin, 2011).

2) Riwayat Kesehatan Sekarang


Biasanya klien mengalami penurunan frekuensi urine, penurunan kesadaran,
perubahan pola napas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya napas bau
amoniak, rasa sakit kepala, nyeri panggul, penglihatan kabur, perasaan tak berdaya
dan perubahan pemenuhan nutrisi (Muttaqin, 2011).

3) Riwayat Kesehatan Dahulu


Biasanya klien kemungkinan mempunyai riwayat penyakit gagal ginjal akut,
infeksi saluran kemih, payah jantung, penggunaan obat-obat nefrotoksik, penyakit
diabetes melitus, dan hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi faktor
predisposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-
obatan di masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian
dokumentasikan (Muttaqin, 2011).

4) Riwayat kesehatan keluarga


Biasanya klien mempunyai anggota keluarga yang pernah menderita penyakit
yang sama dengan klien yaitu gagal ginjal kronik, maupun penyakit diabetes
melitus dan hipertensi yang bisa menjadi faktor pencetus terjadinya penyakit gagal
ginjal kronik.

c. Pola Persepsi dan Penanganan Kesehatan


1) Persepsi terhadap penyakit
Biasanya persepsi klien dengan penyakit ginjal kronik mengalami kecemasan
yang tinggi. Biasanya klien mempunyai kebiasaan merokok, alkohol dan obat-
obatan dalam kesehariannya.

d. Pola Nutrisi / Metabolisme


1) Pola Makan
Biasanya terjadi peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat bada
(malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual dan muntah.
2) Pola Minum
Biasanya klien minum dari kebutuhan tubuh akibat rasa metalik tak sedap pada
mulut (pernapasan ammonia).
e. Pola Eliminasi
1) BAB
Biasanya abdomen kembung, diare atau konstipasi.

2) BAK
Biasanya terjadi penurunan frekuensi urine <400ml/hari sampai anuria, warna
urine keruh atau berwarna coklat, merah dan kuning pekat.

f. Pola Aktifitas / Latihan


Biasanya kemampuan perawatan diri dan kebersihan terganggu dan biasana
membutuhkan pertolongan atau bantuan oranglain. Biasanya klien juga kesulitan
menentukan kondisi, contohnya tidak mampu bekerja dan mempertahankan fungsi
peran dalam keluarga.

g. Pola Istirahat dan Tidur


Biasanya klien mengalami gangguan tidur, gelisah karena adanya nyeri
panggul, sakit kepala, dan kram otot atau kaki (memburuk pada malam hari).

h. Pola Kognitif dan Persepsi


Biasanya tingkat ansietas pasien yang mengalami penyakit ginjal kronik ini
pada ansietas sedang sampai berat.

i. Pola Peran Hubungan


Biasanya klien tidak bisa menjalankan peran atau tugasnya sehari-hari karena
waktu perawatan yang cukup lama.

j. Pola Seksualitas dan Reproduksi


Biasanya terdapat masalah seksual berhubungan dengan penyakit yang diderita.
k. Pola Persepsi Diri dan Konsep Diri
1) Body image/gambaran diri
Biasanya mengalami perubahan fisik, fungsi alat tubuh terganggu, keluhan
dengan kondisi tubuh, pernah operasi, kegagalan fungsi tubuh, prosedur
pengobatan yang mengubah fungsi alat tubuh.

2) Role/peran
Biasanya mengalami perubahan peran karena penyakit yang diderita

3) Identity/identitas diri
Biasanya mengalami kurang percaya diri, merasa terkekang, tidak mampu
menerima perubahan, merasa kurang memiliki potensi.

4) Self esteem/harga diri


Biasanya mengalami rasa bersalah, menyangkal kepuasan diri, mengecilkan
diri, keluhan fisik.

5) Self ideal/ideal diri


Biasanya mengalami masa depan suram, terserah pada nasib, merasa tidak
memiliki kemampuan, tidak memiliki harapan, merasa tidak berdaya.

l. Pola Koping dan Toleransi Stres


Biasanya klien mengalami faktor stres; contoh finansial, hubungan dan
sebabnya, perasaan tidak berdaya, tidak ada harapan, tidak ada kekuatan, menolak,
ansietas, takut, marah, mudah tersinggung, perubahan kepribadian dan perilaku
serta perubahan proses kognitif.

m. Pola Nilai Keyakinan


Biasanya tidak terjadi gangguan pola tata nilai dan kepercayaan.

n. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum dan TTV
a) Keadaan umum klien lemah, letih dan terlilhat sakit berat.
b) Tingkat kesadaran klien menurun sesuai dengan tingkat uremia di mana dapat
mempengaruhi sistem saraf pusat.
c) TTV : RR meningkat, tekanan darah didapati adanya hipertensi.

2) Kepala
a) Rambut; biasanya klien berambut tipis dan kasar, klien sering sakit kepala, kuku
rapuh dan tipis
b) Wajah; biasanya klien berwajah pucat
c) Mata; biasanya mata klien memerah, penglihatan kabur, konjungtiva anemis,
dan sklera tidak ikterik.
d) Hidung; biasanya tidak ada pembengkakan polip dan klien bernapas pendek dan
kusmaul.
e) Bibir; biasanya terdapat peradangan mukosa mulut, ulserasi gusi, perdarahan
gusi, dan napas berbau.
f) Gigi; biasanya tidak terdapat karies pada gigi.
g) Lidah; biasanya tidak terjadi perdarahan

3) Leher; biasanya tidak terjadi pembesaran kelenjar tiroid atau kelenjar getah
bening

4) Dada / Thorak
a) Inspeksi : Biasanya klien dengan napas pendek, pernapasan kussmaul
(cepat/dalam)
b) Palpasi : Biasanya fremitus kiri dan kanan
c) Perkusi : Biasanya Sonor
d) Auskultasi : Biasanya vesicular

5) Jantung
a) Inspeksi; Biasanya ictus cordis tidak terlihat
b) Palpasi; Biasanya ictus Cordis teraba di ruang inter costal 2 linea deksta sinistr
a
c) Perkusi; Biasanya ada nyeri
d) Auskultasi; Biasanya terdapat irama jantung yang cepat

6) Perut / Abdomen
e) Inspeksi :Biasanya terjadi distensi abdomen, acites atau penumpukan cairan,
klien tampak mual dan muntah
f) Auskultasi : Biasanya bising usus normal, berkisar antara 5-35 kali/menit
g) Palpasi : Biasanya acites, nyeri tekan pada bagian pinggang, dan adanya pem
besaran hepar pada stadium akhir.
h) Perkusi : Biasanya terdengar pekak karena terjadinya acites.

7) Genitourinaria
Biasanya terjadi penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria, distensi abdome,
diare atau konstipasi, perubahan warna urine menjadi kuning pekat, merah, coklat
dan berawan.
8) Ekstremitas
Biasanya didapatkan adanya nyeri panggul, odema pada ektremitas, kram otot,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki,keterbatasan gerak sendi.

9) Sistem Integumen
Biasanya warna kulit abuabu, kulit gatal, kering dan bersisik, adanya area
ekimosis pada kulit.

10) Sistem Neurologi


Biasanya terjadi gangguan status mental seperti penurunan lapang perhatian,
ketidakmampuan konsentrasi, kehilangan memori, penurunan tingkat kesadaran,
disfungsi serebral,seperti perubahan proses fikir dan disorientasi. Klien sering
didapati kejang, dan adanya neuropati perifer.
2. Diagnosa keperawatan
Menurut NANDA NIC NOC (2015), diagnosa keperawatan yang sering muncul
pada kasus CKD yaitu :
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru, penurunan curah
jantung, penurunan perifer yang mengakibatkan asidosis laktat
b. Nyeri akut
c. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebih dan retensi cairan serta natrium
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual dan muntah, pembatasan diet dan perubahan membrane
mukosa mulut
e. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perlemahan
aliran darah ke seluruh tubuh
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi
3. Intervensi Keperawatan

Tabel 3
Intervensi keperawatan sesuai teori NANDA-NIC-NOC (2015)
Diagnosa NOC NIC
Gangguan pertukaran 1. Respiratory status : 1. Posisikan pasien untuk
gas berhubungan Gas excharge memaksimalkan ventilasi
dengan, penurunan 2. Respiratory status : 2. Monitor rata-rata
curah jantung, ventilator kedalaman, irama dan
3. Vital sign status usaha respirasi
3. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan
4. Berikan brokodilator bila
perlu

Nyeri akut 1. Pain level 1. Lakukan pengkajian nyeri


berhubungan dengan 2. Pain control secara komprehensif
agen cedera 3. Confort level termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan
faktor prepitasi
2. Gunakan teknik
komunikasi terapeutik
untuk mengetahui
pengalaman nyeri
3. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi
nyeri
4. Berikan analgetik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat

Kelebihan volume 1. Electrolit and acid 1. Pertahankan cairan intake


cairan berhubungan base balance dan output
dengan penurunan 2. Fluid balance 2. Kaji lokasi dan luas edema
haluaran urine, 3. Hydratin 3. Monitor masukan
makanan atu cairan dan
hitung intake kalori
4. Kolaborasi pemberian
diuretik jika erli
Ketidakseimbangan 1. Nutritional status : 1. Kaji adanya alergi
nutrisi kurang dari food and fluid 2. Kolaborasi dengan ahli
kebutuhan tubuh intake gizi untuk menentukan
berhubungan dengan 2. Nutritional status : jumlah kalori dan nutrisi
anoreksia nutrient intake yang dibutuhkan
3. Weight control 3. Nutrition management
4. Nutrion monitoring

Ketidakefektifan 1. Circulation status peripheral sensation


perfusi jaringan 2. Tissue perfusion : management (manajemen
perifer berhubungan cerebral sensasi perifer)
dengan perlemahan 1. Monitor adanya daerah
aliran darah ke seluruh tertentu yang hanya peka
tubuh terhadap panas, dingin,
tajam dan tumpul
2. Monitor adanya paratase
3. Batasi gerak pada kepala,
leher dan punggung
4. Kolaborasi pemberian
analgetik
Intoleransi aktivitas 1. Energy activity therapy
berhubungan dengan conservation 1. Monitor respon fisik,
keletihan 2. Avtivity tolerance emosi, social dan spritual
3. Self care : ADLs 2. Bantu untuk memilih
aktivitas konsisten yang
sesuaidengan kemampuan
fisik, psikologi dan sosial
3. Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi
diri dan penguatan
4. Kolaborasi dengan tenaga
rehabilitas medik dalam
merencanakan program
terapi yang tepat
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin & Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika

Baughman, C. Diane & Hackley JoAnn. 2000. Keperawatan Medikal bedah Buku
Saku untuk Brunner dan Suddarth, Edisi 1, Alih bahasa : Yasmin Asih, Editor
Monica Ester, Jakarta : EGC

Doenges M.E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC

Guyton A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Jakarta: EGC

Isselbacher dkk. 2012. Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13.
Alih bahasa Asdie Ahmad H. Jakarta: EGC

Jennifer P. Kowalak. 2013. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC

Kidney Failure. 2013. Edema in Chronic Kidney Disease. Diakses dari


http://www.kidneyfailureweb.com/ckd/889.html. pada tanggal 07-01-2018
pukul 15.36 WIB

Loho, Irredem K.A dkk. 2016. Gambaran Kadar Ureum Pada Klien Penyakit
Ginjal Kronik Stadium 5 Non Dialisis. Manado: Jurnal e-Biomedik (eBm),
Volume 4, Nomor 2

Nursalam, dkk.(2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem


Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.

Perry, Potter. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC

Prabowo.E, Pranata , AE, (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem


Perkemihan Pendekaatan NANDA, NIC dan NOC. Yogyakarta: Nuha Medika.
Prince Sylvia, A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit Jilid 2, Edisi
4. Jakarta : EGC

Saad. 2014. High Blood Pressure/Kidney Disease. Medical College of Wisconsin.


http://www.mcw.edu/Nephrology/ClinicalServices/HighBloodPressure.htm.
Diakses pada tanggal 02-10-2018 pukul 14.32 WIB

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2008. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth


Ed.8 Vol.2 & 3. Jakarta : EGC

Sudoyo.,et al. (2009). Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas indonesia, 581-582

Suharjo. 2004. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara

Tortora GJ, Derrickson B. 2011. Principles of Anatomy and Physiology


Maintanance and Continuity of the Human Body 13th Edition. Amerika Serikat:
John Wiley & Sons, Inc.

Wilkinson, dkk. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 9. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai