Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

Diajukan untuk memenuhi tugas Stase Keperawatan Medikal Bedah diruang OK

Disusun oleh:
Suryadi Alamsah
402018036

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AISYIYAH BANDUNG
2018
A. Definisi

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan menyebabkan

pembesaran dari kelenjar prostat. Mediator utama dalam pertumbuhan kelenjar

prostat yaitu dehidrotestosteron (DHT) yang merupakan metabolit testosterone

yang dibentuk di dalam sel prostat oleh breakdown prostat (Kapoor, 2012)

B. Etiologi

Penyebab BPH belum jelas namun terdapat faktor resiko umur dan hormon

enstrogen (Mansjoer, 2000 hal 329)

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya

hiperflasia prostat tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperflasia

prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar Dehidrotesteron (DHT) dan

proses aging (menjadi tua).

Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperflasia

prostat adalah:

1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada

usia lanjut

2. Peranan dari growth factor sebagai pemicu pertumbuhan stoma kelenjar

prostat

3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati

4. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem

sehingga menebabkan menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel

kelenjar prostat menjadi kelenjar prostat menjadi berlebihan (poenomo, 2000,

hal 74-75)
C. PATOFISIOLOGI

BPH sering terjadi pada pria yang berusia 50 tahun lebih, tetpai perubahan

mikroskopis pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Penyakit

ini dirasakan tanpa ada gejala. Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab

BPH ada keterkaitan dengan adanya hormon, ada juga yang mengatakan berkaitan

dengan tumor, penyumbatan arteri, radang, gangguan metabolik/ gangguan gizi.

Hormonal yang diduga dapat menyebabkan BPH adalah karena tidak adanya

keseimbangan antara produksi estrogen dan testosteron. Pada produksi testosteron

menurun dan estrogen meningkat. Penurunan hormon testosteron dipengaruhi oleh

diet yang dikonsumsi oleh seseorang. Mempengaruhi RNA dalam inti sel sehingga

terjadi proliferasi sel prostat yang mengakibatkan hipertrofi kelenjar prostat maka

terjadi obstruksi pada saluran kemih yang bermuara di kandung kemih. Untuk

mengatasi hal tersebut maka tubuh mengadakan oramegantisme yaitu kompensasi

dan dekompensasi otot-otot destruktor. Kompensasi otot-otot mengakibatkan

spasme otot spincter kompensasi otot-otot destruktor juga dapat menyebabkan

penebalan pada dinding vesika urinaria dalam waktu yang lama dan mudah

menimbulkan infeksi.

Dekompensasi otot destruktor menyebabkan retensi urine sehingga

tekanan vesika urinaria meningkat dan aliran urine yang seharusnya mengalir ke

vesika urinaria mengalami selek ke ginjal. Di ginjal yang refluks kembali

menyebabkan dilatasi ureter dan batu ginjal, hal ini dapat menyebabkan

pyclonefritis. Apabila telah terjadi retensi urine dan hidronefritis maka dibutuhkan

tindakan pembedahan insisi. Pada umumnya penderita BPH akan menderita defisit

cairan akibat irigasi yang digunakan alat invasif sehingga pemenuhan kebutuhan

ADC bagi penderita juga dirasakan adanya penegangan yang menimbulkan nyeri

luka post operasi pembedahan dapat terjadi infeksi dan peradangan yang
menimbulkan disfungsi seksual apabilla tidak dilakukan perawatan dengan

menggunakan teknik septik dan aseptik.

D. PATHWAYS KEPERAWATAN
Perubahan Usia

Perubahan kesimbangan estrogen dan Progesteron

Testosteron menurun

Estrogen meningkat

Perubahan patologik anatomik

BPH

Retensi pada leher buli-buli dan prostat meningkat

Obstruksi saluran kemih yang bermuara di VU

Kompensasi otot detruktor Dekompensasi otot


detruktor

Spasme otot spinkter Penebalan dinding VU Retensi Urine

Nyeri suprapublik Kontraksi otot Aliran ur


Aliran urine ke ginjal
(refluks VU)
Gg. Rasa nyaman nyeri Kesulitan berkemih
Tekanan ureter ke ginjal
Kurang informasi Resiko infeksi
tentang Kerusakan fungsi ginjal
ansietas pembedahan Tindakan pembedahan

Perdarahan Perubahan Eliminasi Resiko Resiko


Berkemih Infeksi disfungsi
seksual

Keseimbangan Peregangan
Cairan terganggu
Spasme otot VU

Resiko kekurangan Nyeri(akut)


Volume cairan

(Mansjoer Arief, 2000, Long BC, 1996. Doengoes, 2000)


E. Tanda dan Gejala

Gejala-gejala pembesaran prostat jinak dikenal sebagai lower urinary Tract

Symtoms (LUTS) dibedakan menjadi gejala iritatif dan gejala obstruktif.

1. Gejala iritatif meliputi:

a. Peningkatan frekuensi berkemih

b. Nokturia (terbangun untuk miksi pada malam hari)

c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgensi)

d. Disuria (nyeri pada saat miksi)

2. Gejala obstruktif meliputi:

a. Pancaran urin melemah

b. Rasa tidak puas sehabis miksi

c. Hesistensi (bila hendak miksi menunggu lama)

d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih (straining)

e. Aliran urin tidak lancer/terputus-putus (intermittency)

f. Urin terus menetes setelah berkemih

g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan

inkontinensia karena penumpukan berlebih

h. Pada gejala yang sudah lanjut dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk

sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume

residu yang besar

3. Gejala generalisata seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah serta rasa

tidak nyaman pada epigastrik.

Tanda dan gejala dapat dilihat dari stadiumnya, yaitu:

a. Stadium I

Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine

sampai habis
b. Stadium II

 Ada retensi urine tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan

urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisi 50-150 cc

 Ada rasa tidak enak pada waktu BAK (disuria)

 Nokturia

c. Stadium III

Urine selalu tersisa 150 cc atau lebih

d. Stadium IV

Retensi Urine total buli-buli penuh, pasien kesakitan, urine menetes secara

periodik.

Untuk mengukur besarnya BPH dapat dipakai berbagai pengukuran, yaitu:

a. Rectal Grading

Dengan rectal toucher diperkirakan seberapa prostat menonjol ke dalam

lumen dari rectum. Rectal toucher sebaiknya dilakukan dengan buli-buli

kosong karena bila penuh dapat membuat kesalahan. Gradasi ini sebagai

berikut:

0-1 cm . . . . . . . grade 0

1-2 cm . . . . . . . grade 1

2-3 cm . . . . . . . grade 2

3-4 cm . . . . . . . grade 3

>4 cm . . . . . . . grade 4

b. Clinical Granding

Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya usia Urine

Sisa urine 0 cc . . . . . . . . . . . . . . . normal

Sisa urine 0-50 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 1

Sisa urine 50-150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 2


Sisa urine >150 cc . . . . . . . . . . . . . . . grade 3

Sama sekali tidak bisa kencing . . . . . . . grade 4

F. Komplikasi

Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urine karena

produksi terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi

menampung urine sehingga tekanan intravisiko meningkat dapat menimbulkan

hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal tercepat terjadi

jika infeksi karena selalu terdapat sisa urine dapat terbentuk batu endapan dalam

buli-buli. Batu ini dapat menambah keluahan iritasi dan menimbulkan hematuria

serta dapat juga menimbulkan sistitis dan bila terjadi reflek dapat terjadi

pyelonefritis. Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan

dapat menyebabkan hernia atau hemoroid.

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

 Analisis Urine pemeriksaan mikroskopis urine untuk melihat adanya

lekosit, bakteri dan infeksi

 Elektrolit, kadar ureum, kreatinin darah untuk fungsi ginjal dan status

metabolik

 Pemeriksaan PSA (Prostat Spesifik Antigen) dilakukan sebagai dasar

penentuan paknya biopsi atau sebagai deteksi dari keganasan

 Darah lengkap

 Leukosit

 Blooding time
 Liver fungsi

2. Pemeriksaan Radiologi

 Foto polos abdomen

 Prelograf intravena

 USG

 Sistoskopi

H. Penatalaksanaan

a. Observasi

b. Terapi medika mentosa (penghambat Adrenergik λ, penghambat enzim 5-λ-

reduktase, fisioterapi)

c. Terapi bedah dan terapi infasif

(Mansjoer Arif, 2000: 333)

A. Pengertian Batu buli


Batu saluran kemih adalah adanya batu di traktus urinarius. (ginjal, ureter, atau
kandung kemih, uretra) yang membentuk kristal; kalsium, oksalat, fosfat, kalsium
urat, asam urat dan magnesium.(Brunner & Suddath,2002).
Batu saluran kemih atau Urolithiasis adalah adanya batu di dalam saluran kemih.
(Luckman dan Sorensen). Dari dua definisi tersebut diatas saya mengambil
kesimpulan bahwa batu saluran kemih adalah adanya batu di dalam saluran
perkemihan yang meliputi ginjal,ureter,kandung kemih dan uretra.

B. Etiologi Batu buli


Penyebab terbentuknya batu saluran kemih sampai saat ini belum diketahui pasti,
tetapi ada beberapa faktor predisposisi terjadinya batu pada saluran kemih yaitu:
1. Infeksi
Infeksi saluran kencing dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan
menjadi inti pembentukan batu saluran kemih . Infeksi bakteri akan memecah ureum
dan membentuk amonium yang akan mengubah pH urine menjadi alkali.
2. Stasis dan Obstruksi urine
Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah pembentukan batu saluran
kemih.
3. Ras
Pada daerah tertentu angka kejadian batu saluran kemih lebih tinggi daripada
daerah lain, Daerah seperti di Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit batu
saluran kemih.
4. Keturunan
5. Air minum
kurang minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urine meningkat
6. Pekerjaan
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya batu
daripada pekerja yang lebih banyak duduk.
7. Suhu
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringat
sedangkan asupan air kurang dan tingginya kadar mineral dalam air minum
meningkatkan insiden batu saluran kemih

8. Makanan
Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani angka morbiditasbatu
saluran kemih berkurang. Penduduk yang vegetarian yang kurang makan putih telur
lebih sering menderita batu saluran kemih ( buli-buli dan Urethra ).

C. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius tergantung pada adanya
obstruksi, infeksi dan edema.
a. Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi piala ginjal serta ureter
proksimal.
b. Infeksi pielonefritis dan sintesis disertai menggigil, demam dan disuria, dapat
terjadi iritasi batu yang terus menerus. Beberapa batu menyebabkan sedikit gejala,
namun secara perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal.
c. Nyeri dalam dan terus menerus di area kontovertebral.
d. Hematuri
e. Rasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar.

D. Pemeriksaan diagnostik
1. Urinalisa ; warna mungkin kuning, coklat gelap, berdarah, secara umum
menunjukan SDM, SDP, kristal ( sistin,asam urat,kalsium oksalat), pH asam
(meningkatkan sistin dan batu asam urat) alkali (meningkatkan magnesium, fosfat
amonium, atau batu kalsium fosfat), urine 24 jam : kreatinin, asam urat kalsium,
fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat), kultur urine menunjukan ISK,
BUN/kreatinin serum dan urine; abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine)
sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada ginjal menyebabkan
iskemia/nekrosis.
2. Darah lengkap: Hb,Ht,abnormal bila psien dehidrasi berat atau polisitemia.
3. Foto Rntgen; menunjukan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada area
ginjal dan sepanjang ureter.
4. Sistoureterokopi;visualiasi kandung kemih dan ureter dapat menunjukan batu atau
efek obstruksi.
5. USG ginjal: untuk menentukan perubahan obstruksi,dan lokasi batu.

E. Penatalaksanaan
1. Therapi
a. Analgesik untuk mengatasi nyeri.
b. Allopurinol untuk batu asam urat.
c. Antibiotik untuk mengatasi infeksi.
2. Diet
Diet atau pengaturan makanan sesuai jenis batu yang ditemukan.
3. operatif
I. Fokus Keperawatan

1. Pengkajian

a. Sirkulasi

Tanda: peningkatan tekanan darah (efek pembesaran ginjal)

b. Eliminasi

Gejala: penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan, keraguan-

raguan pada berkemih awal.

 Penurunan kekuatan/ dorongan aliran urine, tetesan

 Ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan

lengkap

 Dorongan dan frekuensi berkemih

 Nokturia, disuria, hematuria

 ISK berulang, riwayat batu (status urinaria)

 Konstipasi

Tanda: massa: Padat di bawah abdomen (distensi kandung kemih) nyeri

tekan kandung kemih, hernia inguinalis, hemoroid

(mengakibatkan peningkatan tekanan abdominal yang

memerlukan pengosongan kandung kemih.

c. Makanan/ cairan

Gejala: Anoreksia, mual, muntah, penurunan BB.

d. Nyeri/ kenyamanan

Gejala: Nyeri suprapubis, panggul, atau punggung, tajam, kuat (pada

prostatisis akut)

e. Keamanan

Gejala: demam
f. Seksualitas,

Gejala: masalah tentang efek kondisi/ terapi pada kemampuan seksualitas.

Takut incontinensia/ menetap selama hubungan ejakulasi.

Tanda: Pembesaran, nyeri tekan prostat

g. Penyuluhan/ pembelajaran

Gejala: Riwayat keluarga kanker, hipertensi, penyakit ginjal.

Penggunaan antihipertensi atau antidepresan, antibiotik urinari atau

agen biotik, obat yang dijual bebas untuk flu/ alergi obat

mengandung simpatometrik.

Pertimbangan: DRG menunjukkan merata selama dirawat di RS 22 hari.

Rencana pemulangan: memerlukan bantuan dengan management terapi.

Contoh: kateter.

2. Fokus Intervensi

a. Retensi urine (akut/ kronik) berhubungan dengan obstruksi mekanik

pembesaran prostat, dekompensasi otot destruktor ketidakmampuan

kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat.

Kriteria hasil:

 Berkemih dengan jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung

kemih

 Menunjukkan risedu pasca berkemih kurang dari 50 cc dengan tidak

adanya tetesan atau kelebihan aliran

Intervensi:

 Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan

Rasional: meminimalkan retensi urine, distensi berlebihan pada

kandung kemih

 Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan


Rasional: Berguna untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan intervensi

 Awasi dan catat waktu serta jumlah tiap berkemih

Rasional: Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran

perkemihan atas yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal

 Palpasi atau perkusi area suprapubic

Rasional: Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area suprapubic

 Awasi TTV dengan ketat, observasi hipertensi, edema perifer, timbang

tiap hari, pertahankan pemasukan dan pengeluaran yang akurat

Rasional: kehilangan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eliminasi

cairan dan akumulasi sisa toksik, dapat berlanjut ke

penurunan ginjal total

 Beri/dorong kateter lain dan perawtan perineal

Rasional: Menurunkan resiko infeksi

 Dorong masukan cairan sampai 300 ml sehari dalam toleransi jantung

bila diindikasikan

Rasional: Peningkatan aliran cairan mempertahankan perfusi ginjal dan

kandung kemih dan pertumbuhan bakteri

b. Nyeri (akut) berhubungan dengan iritasi mukosa, distensi kandung kemih.

Kriteria hasil:

 Pasien mengatakan nyeri hilang atau terkontrol

 Pasien tampak rileks

 Pasien mampu untuk tidur atau istirahat dengan tenang

Intervensi

 Kaji nyeri, pertahatikan lokasi, intensitas (skala 0-10), lamanya.

Rasional: memberikan informasi untuk membantu dalam menentukan

pilihan atau keefektifan intervensi


 Plester selang drainase pada paha dan kateter abdomen

Rasional: Mencegah penarikan kandung kemih dan erosi pertemuan

penis skrotal

 Pertahankan tirah baring bila diindikasikan

Rasional: Tirah baring mungkin diperlukan pada awal selama fase

retensi akut namun ambulasi dini dapat memperbaiki palo

berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik

 Beri tindakan kenyamanan, misal: membantu pasien melakukan posisi

yang nyaman, latihan nafas dalam

Rasional: Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian

dapat meningkatkan kemampuan koping

c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresia

dan drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.

Kriteria hasil:

 Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil,

nadi perifer teraba, pengisian kapiler baik dan membran mukosa

lembab

Intervensi:

 Awasi keluaran dengan hati-hati, tiap jam bila diindikasikan.

Perhatikan keluaran 100-200 ml/jam

Rasional: Deuresis cepat dapat menyebabkan kekurangan volume total

cairan, karena ketidakcukupan jumlah natrium diabsorbsi

dalam tubulus ginjal

 Dorong peningkatan pemasukan oral berdasrkan kebutuhan individu


Rasional: Pasien dibatasi pemasukan oral dalam upaya mengontrol

gejala urinaria, homeostatik pengurangan cadangan dan

peningkatan resiko dehidrasi atau hipovolemia

 Awasi TD, nadi dengan sering. Evaluasi pengisian kapiler dan

membran mukosa oral

Rasional: Memampukan deteksi dini/ intervensi hipovolemik, sistemik

 Tingkatkan tirah baring dengan kepala tinggi

Rasional: Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostatis

sirkulasi.

Anda mungkin juga menyukai