Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma merupakan suatu cedera atau rudapaksa yang dapat mencederai
fisik maupun psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa
vulnus (luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial
(sprain), putus atau robekan (avulsie atau rupture), gangguan pembuluh darah
dan gangguan saraf. Cedera pada tulang menimbulkan patah tulang (frakture)
dan dislokasi. Fraktur juga dapat terjadi di ujung tulang dan sendi ( intra –
artikuler) yang sekaligus menimbulkan dislokasi (Helmi, 2011)
Fraktur didefinisikan sebagai hilangnya atau adanya gangguan integritas
dari tulang, termasuk cedera pada sumsum tulang, periosteum, dan jaringan
yang ada di sekitarnya. Yang dimaksud dengan fraktur ekstrimitas adalah
fraktur yang terjadi pada komponen ekstrimitas atas (radius, ulna, dll) dan
ekstrimitas bawah (femur, tibia, fibula, dll). Tulang femur merupakan tulang
pipa terpanjang dan terbesar di dalam tulang kerangka pada bagian pangkal
yang berhubungan dengan asetabulum menbentuk kepala sendi yang disebut
kaput femoris (Parahita & Kurniyanta, 2012).
Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa terjadi
akibat trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian). Apabila seseorang mengalami fraktur pada bagian ini, pasien
akan mengalami perdarahan yang banyak dan dapat mengakibatkan penderita
mengalami syok.Fraktur femur dapat menyebabkan komplikasi, morbiditas
yang lama dan juga kecacatan apabila tidak mendapatkan penanganan yang
baik (Noor, 2016).
Komplikasi yang timbul akibat fraktur femur antara lain perdarahan,
cedera organ dalam, infeksi luka, emboli lemak, sindroma pernafasan.
Banyaknya komplikasi yang ditimbulkan diakibatkan oleh tulang femur
adalah tulang terpanjang, terkuat, dan tulang paling berat pada tubuh manusia
dimana berfungsi sebagai penopang tubuh manusia. Selain itu pada daerah

1
tersebut terdapat pembuluh darah besar sehingga apabila terjadi cedera pada
femur akan berakibat fatal (Muttaqin, 2011).
World Health Organization (WHO) mencatat pada tahun 2011-2012
terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 juta orang menderita fraktur
akibat kecelakaan lalu lintas (WHO, 2011). Menurut Depkes RI 2011, dari
sekian banyak kasus fraktur di indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah
akibat kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur
lainnya yaitu sekitar 46,2% (Noorisa, et al, 2017)
Kasus fraktur femur merupakan yang paling sering yaitu sebesar 39%
diikuti fraktur humerus (15%), fraktur tibia dan fibula (11%), dimana
penyebab terbesar fraktur femur adalah kecelakaan lalu lintas yang biasanya
disebabkan oleh kecelekaan mobil, motor, atau kendaraan rekreasi (62,6%)
dan jatuh dari ketinggian (37,3%) dan mayoritas adalah pria (63,8%).2,3
Insiden fraktur femur pada wanita adalah fraktur terbanyak kedua (17,0 per
10.000 orang per tahun) dan nomer tujuh pada pria (5,3 per orang per
tahun).4,5 Puncak distribusi usia pada fraktur femur adalah pada usia dewasa
(15 - 34 tahun) dan orang tua (diatas 70 tahun) (Desiartama & Aryana, 2017).
Terjadinya fraktur mengakibatkan adanya kerusakan syaraf dan
pembuluh darah yang menimbulkan rasa nyeri. Nyeri terus menerus dan
bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang
menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. Nyeri yang timbul pada fraktur
bukan semata-mata karena frakturnya saja, namun karena adanya luka
jaringan disekitar tulang yang patah tersebut dan pergerakan fragmen tulang
(Fakhrurrizal, 2015).
Oleh karena itu dari latar belakang yang telah di paparkan diatas kami
tertarik untuk membahas makalah mengenai Trauma Muskuloskeletal yang
dikhususkan pada kasus Fraktur Femur. Diharapkan nantinya dapat
memahami lebih lanjut mengenai kasus yang terjadi pada sistem
muskuloskeletal yaitu pada kasus faktur femur serta mengetahui peran
perawat dalam penatalaksanaan fraktur femur pada kasus gawat darurat.

2
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana asuhan keperawatan penanganan pada pasien fraktur femur
?
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui dan memahami definisi fraktur femur
1.3.2 Untuk mengetahui dan memahami etiologi fraktur femur
1.3.3 Untuk mengetahui dan memahami tanda gejala fraktur femur
1.3.4 Untuk mengetahui dan memahami pathway fraktur femur
1.3.5 Untuk mengetahui dan memahami manajemen penanganan
kegawatdaruratan
1.3.6 Untuk mengetahui dan memahami peran dan fungsi perawat gawat
darurat

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KonsepTrauma Muskuloskeletal


2.1.1 Konsep Fraktur
a. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah diskontuinitas dari jaringan tulang yang
biasanya disebabkan adanya kekerasanyang timbul secara mendadak.
Fraktur dapat terjadi akibat trauma langsung maupun tidak langsung.
Gambar klinis fraktur meliputi nyeri diatas atau didekat tulang yang
fraktur, pembengkakan (dari darah, linfe, dan eksudat yang
menginfiltrasi jaringan dan gangguan sirkulasi (Noor, 2016)
Fraktur dapat terjadi dengan patahan tulang dimana tulang
tetap berada di dalam (fraktur tertutup) atau keluar dari kulit (fraktur
terbuka). Fraktur ujung tulang yang sangat tajam dan menyebabkan
kerusakan jaringan lunak disekitar patahan tulang, misalnya : otot,
saraf, pembuluh darah dan kulit. Fraktur tertutup sama bahayanya
dengan fraktur terbuka karena luka dari jaringan lunak disekitar
patahan tulang menyebabkan perdarahan yang banyak. Sangat
penting untuk mengetahui adanya luka didekat patahan tulang,
karena dapat menjadi pintu masuk dari kontaminasi dengan kuman.
b. Penyebab fraktur
Menurut (Soetikno, Ristaniah, 2013) terdapat beberapa penyebab
fraktur, antara lain :
1. Fraktur terjadi ketika tekanan yang menimpa tulang lebih besar
daripada daya tahan tulang, seperti benturan dan cedera.
2. Fraktur terjadi karena tulang yang sakit, ini dinamakan fraktur
patologi yaitu kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau
osteoporosis.

4
c. Jenis-jenis fraktur
1. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya megalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2. Fraktur Tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi
pada sebagian dari garis tengah tulang.
3. Fraktur tertutup (fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit
4. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks) merupakan fraktur
dengan luka pada kulit atau mebran mukosa sampai ke patahan
kaki. 1)
Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat, yaitu :
Derajat I :
a) Luka < 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
c) Fraktur sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif ringan
d) Kontaminasi minimal
Derajat II :
a) laserasi > 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
c) Fraktur kominutif sedang
d) Kontaminasi sedang
Derajat III :
a) Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot. dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur derajat tiga terbagi atas :
b) Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas/flap/avulse atau fraktur
segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma
berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
c) Kehilangann jaringan lunak dengan fraktur tulang yang
terpapar atau kontaminasi massif.Luka pada pembuluh
arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.

5
5. Sesuai pergerseran anatomisnya fraktur dibedakan menjadi tulang
bergeser/tidak bergeser. Jenis khusus fraktur dibagi menjadi:
a) Greensick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang
sisi lainnya membengkok.
b) Transversal, fraktur sepanjang garis tengah tulang.
c) Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang
(lebih tidak stabil dibanding transversal).
d) Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang.
e) Kominutif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa
fragmen.
f) Depresi, fraktur dengan fragmen patahan terdorng ke dalam
(sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
g) Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi
pada tulang belakang).
h) Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit
(kista tulang, penyakit Paget, metastasi tulang, tumor).
i) Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo
pada perlengkatannya.
j) Epfiseal, fraktur melalui epifisis
k) Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen
tulang lainnya.
(Muttaqin, 2011)
2.1.2 Definisi Fraktur Femur
Menurut Noor (2016) Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas
pada paha, kondisi ini secara klinis bias berupa fraktur femur terbuka
yang disertai adanya kerusakan lunak (oytot, kulit, jaringan saraf, dan
pembulu darah)dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung pada paha.
Fraktur tertutup pada femur dapat menyebabkan perdarahan yang
banyak, dan dapat mengancam jiwa. Pada fraktur pelvis dapat terjadi
beberapa fragmen fraktur pada beberapa tempat dan setiap fraktur dapat
menyebabkan kehilangan darah yang banyak.

6
2.1.3 Klasifikasi Fraktur Femur
(Noor, 2016) mengemukakan fraktur femur dibagi dalam fraktur
intertrokhanter femur, subtrokhanter femur, fraktur batang femur,
suprakondiler, fraktur interkondiler, dan fraktur kondiler femur.
a. Fraktur intertrokhanter femur
Fraktur intertrokhanter adalah patah tulang yang bersifat
ekstrakapsular dari femur. Sering terjadi pada lansia dengan kondisi
osteoporosis. Fraktur ini memiliki proknosisyang baik dibandingkan
fraktur intra kapsular, dimana resiko nekrosis avaskular lebih rendah.
Pada riwayat umumnya didapat adanya trauma akibat jatuh dan
memberikan trauma langsung pada trokhanter mayor. Pada beberapa
kondisi cedera sacara memuntir memberikan fraktur tidak
langsungpada intertrokhanter. Pemeriksaan radiografik biasanya
sudah dapat menentukan diagnose fraktur intertrokhnter stabil atau
yang tidah stabil.
b. Fraktur subtrokhanter femur
Fraktur subtrokhanter femur ialah fraktur dimana garis garis
patahnya berada 5 cm distal dari kan reduksi tertutup dilakukan
dengan pemasangan traksi tulang. Pemasangan traksi tulang selama
6 – 7 minggu dilanjut dengan hip gips selama 7 minggu yang
merupakan alternative pelaksanaan pada pasien dengan usia
muda.trokhanter minor. Fraktur jenis ini dibagi dalam beberapa
klasifikasi, tetapi yang lebih sederhana dan mudah dipahami
klasifikasi fielding dan magliato, yaitu sebagai berikut.
Tipe 1 : garis fraktur satu level dengaan trokhanter minor.
Tipe 2 : garis patah berada 1 – 2 inci dibawah dari batas atas
trokhanter minor.
Tipe 3 : garis patah berada 2 – 3 inci di distal dari batas atas
trokhanter minor.
Manifestasi klinis yang didapatkan, meliputi: keluhan nyeri
local, deformitas (dengan kaki berada dalam posisi rotasi
eksternal),pembengkakan paha, krepitasi, dan ketidakmampuan

7
dalam melakukan pergerakan paha dan pinggul. Pemeriksaan
radiografi biasanya didapatkan garis fraktur pada atau dibawah
trokhanter minor, bias bersifat melintang, oblik, atau spiral.
c. Fraktur batang femur
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung
akibat kecelakaan lalu lintas di kota – kota besar atau jatuh dari
ketinggian. Patah pada daerah ini dapat menimmbulkan pendarahan
yang cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam syok,
salah satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya
luka yang berhubungan dengan daerah yang patah. Secara klinik
fraktur batang femur dibagi dalam frakut batang femur terbuka dan
tertutup.
d. Fraktur Suprakondiler Femur
Fraktur Suprakondiler fragmen bagian distal selalu terjadi
dislokasi ke posterior. Hal ini biasanya disebabkan karena adanya
tarikan dari otot-otot gastroknemius. Biasanya fraktur suprakondiler
ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi
sehingga terjadi gaya aksial dan stress valgus danvarus, dandisertai
gaya rotasi.
Manifestasi klinik yang didapat berupa : pembengkakan pada
lutut, deformitas yang jelas dengan pemendekan pada tungkai, nyeri
bila fragmen bergerak, dan mempunyai resiko terhadap sindrom
kompartemen pada bagian distal. Pada pemeriksaan berjongkok
terihat pasien tidak bisa menjaga kesejajaran. Pemeriksaan radiologis
dapat menentukan diagnosis fraktur suprakondiler.
e. Fraktur Kondiler Femur
Mekanisme traumanya biasanya berupa kombinasi dari gaya
hiperabduksi dan abduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur
ke atas.
Manifestasi klinik didapatkan adanya pembengkakan pada lutut,
hematrosis, dan deformitas pada ekstremitas bawah. Penderita juga
mengeluh adanya nyeri lokal, dan kondisi neurologis-vaskular harus

8
selalu diperiksa tentang adanya tanda dan gejala sindrom
kompartemen pada bagian distal.
f. Kolum Femoris
Fraktur collum femoris adalah fraktur yang terjadi disebelah
proksimal linea intertrochanterica pada daerah intrakapsular sendi
panggul.
Kebanyakan fraktur collum femoris pada manula terjadi secara
spontan atau disebabkan oleh trauma dengan energi rendah.Populasi
ini biasanya menderita osteoporosis senilis (Tipe 11),yang
menyebabkan kelemahan baik pada tulang kortikal maupun
irabekular collum femoris dan merupakan predisposisi terjadinya
fraktur.pada pasien muda,perlu energi yang tinggi untuk
menyebabkan fraktur collum femoris sehingga dislokasi fraktur dan
kerusakan aliran darah biasanya akan lebih besar pada kasus seperti
ini.
g. Korpus femoris
Fraktur corpus femoris adalah fraktur diafisis femur yang tidak
melibatkan daerah artikular atau metafisis.
Trauma energi tinggi seperti kecelakaan kendaraan bermotor
adalah penyebab terbanyak fraktur femur.fraktur ini sering
berhubungan dengan trauma jaringan lunak yang berat dan pada saat
yang bersamaan terjadi luka terbuka.
Trauma energi rendah dan gaya tidak langsung juga dapat
menyebabkan fraktur pada manula yang tulangnya oesteopenik atau
melemah akibat tumor.Cedera tulang patologis biasanya sebagai
akibat gaya puntiran atau spiral dan jarang disertai cedera jaringan
lunak.

9
2.2 Etiologi Fraktur Femur
Menurut (Soetikno, Ristaniah, 2013) fraktur dapat terjadi akibat hal – hal
berikut ini :
a. Peristiwa Trauma Tunggal
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba – tiba
dan berlebuihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran,
penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.
Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang
terkena dan jaringan lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan
sementara) biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan kulit
diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur
komunitif yang disertaai kerusakan jaringan lunak yang luas. Bila terkena
kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalamifraktur pada tempat yang
jauh dari tempat yang terkena kekuatan tersebut, kerusakan jaringan lunak
di tempat fraktur mungkin tidak ada.
Kekuatan dapat berupa:
1. Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral
2. Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang menyebabkan fraktur
melintang.
3. Penekukan dan penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian
melintang tetapi disertai frakmen kupu – kupu terbentuk segitiga yang
terpisah
4. Kombinasi dari pemuntiran, penekukan, dan penekanan yang
menyebabkan fraktur obliq pendek
5. Penarikan damana tendon atau ligament benar – benar menarik tulang
sampai terpisah.
b. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik).
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang itu lemah
(misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada
penyakit paget)

10
2.3 Tanda Gejala Fraktur Femur
a. Fraktur Intertrokhanter Femur
Pada riwayat umumnya didapat adanya trauma akibat jatuh dan
memberikan trauma langsung pada trokhanter mayor. Pada beberapa
kondisi cedera sacara memuntir memberikan fraktur tidak langsungpada
intertrokhanter. Pemeriksaan radiografik biasanya sudah dapat
menentukan diagnose fraktur intertrokhnter stabil atau yang tidah stabil.
b. Fraktur Subtrokhanter Femur
Manifestasi klinis yang didapatkan, meliputi: keluhan nyeri local,
deformitas (dengan kaki berada dalam posisi rotasi
eksternal),pembengkakan paha, krepitasi, dan ketidakmampuan dalam
melakukan pergerakan paha dan pinggul. Pemeriksaan radiografi biasanya
didapatkan garis fraktur pada atau dibawah trokhanter minor, bias bersifat
melintang, oblik, atau spiral.
c. Fraktur Batang Femur
Manifestasi klinis fraktur femur hamper sama pada klinisfraktur umum
tulang panjang seperti nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstremitas atas karena kontraksi otot, krepitasi, pembekakan, dan
perubahan warna local pada kulit yang terjadi akibat trauma dan
pendarahan yang mengikuti fraktur.tanda ini mungkin baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.
d. Fraktur Suprakondiler Femur
Manifestasi klinik yang didapat berupa : pembengkakan pada lutut,
deformitas yang jelas dengan pemendekan pada tungkai, nyeri bila
fragmen bergerak, dan mempunyai resiko terhadap sindrom kompartemen
pada bagian distal. Pada pemeriksaan berjongkok terihat pasien tidak bisa
menjaga kesejajaran. Pemeriksaan radiologis dapat menentukan diagnosis
fraktur suprakondiler.
e. Fraktur Kondiler Femur
Manifestasi klinik didapatkan adanya pembengkakan pada lutut,
hematrosis, dan deformitas pada ekstremitas bawah. Penderita juga
mengeluh adanya nyeri lokal, dan kondisi neurologis-vaskular harus selalu

11
diperiksa tentang adanya tanda dan gejala sindrom kompartemen pada
bagian distal.
(Noor, 2016)
f. Kolum Femoris
1. Ketidakmampuan menahan beban. Waspada karena terkadang pasien
dapat bergerak.
2. Secara klinis tingkat memendk dan rotas ke eksterna
3. Nyeri pada rotasi dan nyeri tekan diatas kolum femoris
g. Korpus Femoris
Gejala klinis pada fraktur korpus femoris, antara lain :
1. Nyeri, bengkak, nyeri tekan, deformitas dan kehilangan fungsi
mengindikasi adanya fraktur.
2. Deformitas bervariasi tergantung pada tingkat fraktur dalam kaitannya
dengan perlekatan otot dan aksinya.
3. Femur yang membesar secara cepat mengesankan adanya perdarahan
yang besar dan sedang berlangsung
4. Waspada akan adanya cedera lain yang terlibat, seperti cidera
ligamentut lutut, fraktu/dislokasi panggul dan fraktur suprakondilar,
yang mana semuanyan dapat sulit dinilai.
5. Kerusakan vaskular/neurologis dapat terjadi dan harus dicari.
(Soetikno, 2013)

12
2.4 Pathway
a. Pathway Fraktur Femur Terbuka
Trauma langsung pada
paha

Ketidakmampuan tulang paha dalam menahan


beban trauma

Salah satu fragmen tulang yang patah dapat menembus kulit


Cedera langsung akan menembus atau merobek kulit di atas fraktur

Fraktur Femur
Terbentuknya Terbuka Kerusakan jaringan
hubungan tulang lunak

Ketidakmampuan
melakukan Kerusakan saraf Kerusakan Kerusakan
pergerakan kaki Spasme otot otot, kulit vaskular

Hambatan Nyeri Kerusakan Pembengkakan


mobilitas integritas lokal
Resiko tinggi jaringan
infeksi
Resiko
Resiko tinggi sindrom
Traksi infeksi kompartemen
Terapi bedah
fiksasi interna
dan eksterna

Kerusakan
Respon Ketidaktahuan Pasca bedah arteri dan
psikologis teknik banyak darah
mobilisasi yang hilang
Port de entree
Ansietas
Gangguan Resiko Resiko tinggi
citra tubuh malunion, syok
delayed union, Pemenuhan hipovolemik
non-union informasi

13
b. Pathway Fraktur Femur Tertutup

Trauma pada paha, osteoporosis tulang femur, tumor, dan keganasan


pada paha

Ketidakmampuan tulang femur


dalam menahan beban

Fraktur femur tertutup

Terputusnya hubungan Kerusakan jaringan


tulang Malunion, non-union, lunak
dan delayed union

Ketidakmampuan
melakukan pergerakan Terapi imobilisasi Kerusakan saraf
kaki Traksi Spasme otot
Terapi bedah
fiksasi interna dan
Hambatan fiksasi eksterna Nyeri Kerusakan
mobilitas fisik vaskular
Resiko tinggi
trauma
Pembengkakan
Pasca bedah lokal
Ketidaktahuan
Kerusakan teknik mobilisasi Port de entree Resiko sindrom
vaskular kompartemen

Resiko malunion, Resiko tinggi


Ansietas kontraktur sendi infeksi

Pemenuhan Informasi

(Muttaqin, 2011)

14
2.5 Manajemen Penanganan Kegawatdaruratan Fraktur Femur
Menurut (Krisanty et.al, 2016) terdapat beberapa manajemen penanganan
keperawatan kegawatdaruratan antara lain :
a. Pengelolaan Pasien Fraktur Femur
Persiapan klien meliputi 2 keadaan berbeda, yang pertama pra RS (Pra
hospital), dimana seluruh kejadian idealnya berlangsung dalam koordinasi
dengan dokter di RS. Fase kedua adalah fase RS (In hospital), dimana
dilakukan persiapan untuk menerima klien sehingga dapat dilakukan
resusitasi dalam waktu cepat.
1. Tahap Pra RS
Koordinasi yang baik antara dokter di RS dengan petugas lapangan
akan menguntungkan klien. Sebaiknya RS sudah diberitahukan sebelum
klien diangkat dari tempat kejadian. Yang harus diperhatikan adalah
menjaga airway, breathimg, kontrol perdarahan dan syok, imobilisasi
klien dan pengiriman ke RS terdekat yang cocok, sebaiknya ke pusat
trauma. Harus diusahakan untuk mengurangi waktu tanggap (respons
time). Jangan sampai terjadi bahwa semakin tinggi tingkatan paramedik
semakin lama klien berada di TKP. Saat klien dibawa ke RS harus ada
data tentang waktu kejadian, sebab kejadian, riwayat klien dari
mekanismen kejadian dapat menerangkan jenis perlukan dan beratnya
perlukaan.
2. Fase RS
Saat klien di RS segera dilakukan survai primer dan selanjutnya
lakukan resusitasi dengan cepat dan tepat.
b. Survei Primer pada Klien Fraktur Femur
1. Airway (A)
Penilaian kelancaran airway pada klien yang mengalami fraktur
femur, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang
disebabkan benda asing. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
melindungi vertebra servikal karena kemungkinan patahnya tulang
sevikal harus selalu diperhitungkan.

15
Dalam hal ini dapat dilakukan chin lift, tetapi tidak boleh
mengakibatkan hiperekstensi leher. Cara melakukan chin lift dengan
menggunakan jari – jari satu tangan yang diletakkan dibawah
mandibula, kemudian mendorong dagu anterior. Ibu jari tangan yang
sama sedikit menekan bibir bawah untuk membuka mulut dan jika
diperlukan ibu jari dapat diletakkan di dalam mulut dibelakang gigi seri
untuk mengangkat dagu.
Jaw thrust juga merupakan teknik untuk membebaskan jalan nafas.
Tindakan ini dilakukan menggunakan dua tangan masing – masing satu
tangan dibelakang angulus mandibula dan menarik rahang ke depan.
Bila tindakan ini dilakukan memakai face – mask akan dicapai
penutupan sempurna dari mulut sehingga dapat dilakukan ventilasi
yang baik.
Jika kesadaran klien menurun pembebasan jalan nafas dapat
dipasang guedel (oro – pharyngeal airway) dimasukkan ke dalam mulut
dan diletakkan dibelakang lidah. Cara terbaik adalah adalah dengan
menekan lidah memakai tong spatel dan memasang alat ke arah
posterior. Alat ini tidak boleh mendorong lidah ke belakang, karena
dapat menyumbat faring. Pada klien sadar tidak diboleh dipakai alat ini,
karena dapat menyebabkan muntah dan terjadi aspirasi. Cara lain dapat
dilakukan dengan memasukkan guedel secara terbalik sampai
menyentuh palatum molle, lalu alat diputar 1800 dan letakkan
dibelakang lidah.
Naso – pharingeal airway juga merupakan salah satu alat untuk
membebaskan jalan nafas. Alat ini dimasukkan pada salah satu lubang
hidung yang tidak tersumbat secara perlahan dimasukkan sehingga
ujungnya terletak di farings. Jika pada saat pemasangan mengalami
hambatn berhenti dan pindah ke lubang hidung satunya. Selama
memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa
tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi leher.

16
2. Breathing (B)
Jalan nafas yang tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran
gas yang terjadi ada saat bernafas muntlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi yang baik dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi
fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Dada klien
harus dibuka untuk melihat pernafasan yang baik. Auskultasi dilakukan
persiapan untuk menerima klien sehingga dapat dilakukan resusitasi
dalam waktu cepat.
a) Tahap Pra RS
Koordinasi yang baik antara dokter di RS dngan petugas lapangan
akan menguntungkan klien. Sebaiknya RS sudah diberitahukan
sebelum klien diangkat dari tempat kejadian. Yang harus
diperhatikan adalah menjagan airway, breathing, kontrol perdarahan
dan syok, imobilisasi klien dan pengiriman ke RS terdekat yang
cocok, sebaiknya ke pusat trauma. Harus diusahakan untuk
mengurangi waktu tanggap (respons time). Jangan sampai terjadi
bahwa semakin tinggi tingkatan paramedik semakin lama klien
berada di TKP. Saat klien dibawa ke RS harus ada data tentang
waktu kejaidan, sebab kejadian, riwayat klien dari mekanisme
kejadian dapat menerangkan jenis perlukaan dan beratnya perlukaan.
b) Fase RS
Saat klien berada di RS segera dilakukan survai primer dan
selanjutnya lakukan resusitasi dengan cepat dan tepat.
3. Circulation (C)
Kontrol perdarahan vena dengan menekan langsung sisi area
perdarahan. Curigai hemoragi internal (pleural, pericardial, atau
abdomen) pada kejadian syok lanjut dan adanya cedera pada dada dan
abdomen. Atasi syok, dimana klien dengan fraktur biasanya mengalami
kehilangan darah. Kaji tanda – tanda syok yaitu penurunan tekanan
darah, kulit dingin, lembab dan halus. Harus diingat bahwa banyaknya
darah yang hilang berkaitan dengan fraktrur femur dan pelvis.

17
Pertahankan tekanan darah dengan infus IV, plasma atau plasma
ekspander sesuai indikasi. Berikan transfusi darah untuk terapi
komponen darah sesuai ketentuan setelah tersedia darah. Berikan
analgesik sesuai ketentuan untuk mengontrol nyeri . pembebatan
ekstremitas dan pengendalian nyeri penting dalam mengatasi syok yang
menyertai fraktur femur.
c. Survei Sekunder Pasien Fraktur Femur
1. Kaji riwayat trauma
Sangat penting untuk mengetahui riwayat trauma, karena penampilan
luka terkadang tidak sesuai dengan parahnya cidera. Jika ada saksi
seseorang dapat menceritakan kejadiannya sementara petugas
melakukan penelitian seluruh badan klien. Pada klien yang gelisah,
usahakan mendapatkan data riwayat trauma, karena riwayat trauma ini
menjadi sangat penting pada trauma ekstremitas, pada beberapa
mekanisme yang menyebabkan penting pada trauma ekstremitas tidak
terlihat pada saat pemeriksaan awal.
2. Kaji seluruh tubuh dengan pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki
secara sistematis, inspeksi adanya laserasi, bengkak dan deformitas.
3. Kaji kemungkinan adanya fraktur multipel.
4. Kaji adanya nyeri pada area fraktur dan dislokasi.
5. Kaji adanya krepitasi pada area fraktur.
6. Kaji adanya perdarahan dan syok, terutama pada fraktur femur dan
pelvis.
7. Kaji adanya sindrom kompartemen.
Fraktur terbuka atau tertutup, atau kompresi, dapat menyebabkan
perdarahan atau hematoma pada area yang tertutup sehingga
menyebabkan penekanan pada saraf, pembuluh darah dan kegagalan
sirkulasi. Gejala yang dapat dilihat; nyeri, edema, denyut nadi hilang,
perestesi, dan kelumpuhan.
8. Kaji tanda-tanda vital secara kontinu.

18
d. Pemeriksaan Penunjang
MenurutNurarif & Kusuma (2015). Beberapa pemeriksaan yang dapat
dilakukan pada klien dengan fraktur femur, diantranya:
1) Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma
2) Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3) Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4) Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna
pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
5) Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
6) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai
persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah yang bermakna
akibat cedera atau tindakan pembedahan.

2.6 Peran dan Fungsi Perawat Gawat Darurat


2.6.1 Peran dan Fungsi Secara Umum
Perawat menurut UU RI. No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan,
perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan
melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki,
diperoleh melalui pendidikan keperawatan. Perawat adalah seseorang
yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dengan
melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses penuaan. Peran
adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan dari masyarakat
sesuai dengan kedudukannya di masyarakat. Peran perawat adalah
seperangkat tingkah laku yang dilakukan oleh perawat sesuai dengan
profesinya. Peran perawat adalah tingkah laku perawat yang diharapkan
oleh orang lain untuk berproses dalam sistem sebagai pemberi asuhan,
pembela pasien, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan, dan
pembaharu (Susanto, 2012 dalam Sekar, 2015).

19
a. Peran Perawat
Peran perawat dalam melakukan perawatan diantaranya:
1. Care giver atau Pemberi Asuhan Keperawatan
Perawat memberikan asuhan keperawatan profesional kepada
pasien meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi
hingga evaluasi. Selain itu, perawat melakukan observasi yang
kontinu terhadap kondisi pasien, melakukan pendidikan
kesehatan, memberikan informasi yang terkait dengan kebutuhan
pasien sehingga masalah pasien dapat teratasi.
2. Client advocate atau Advokator
Perawat sebagai advokator berfungsi sebagai perantara antara
pasien dengan tenaga kesehatan lain. Perawat membantu pasien
dalam memahami informasi yang didapatkan, membantu pasien
dalam mengambil keputusan terkait tindakan medis yang akan
dilakukan serta memfasilitasi pasien dan keluarga serta
masyarakat dalam upaya peningkatan kesehatan yang optimal
3. Client educator atau Pendidik
Perawat sebagai pendidik menjalankan perannya dalam
memberikan pengetahuan, informasi, dan pelatihan ketrampilan
kepada pasien, keluarga pasien maupun anggota masyarakat
dalam upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan
(Susanto, 2012). Perawat sebagai pendidik berperan untuk
mendidik dan mengajarkanm individu, keluarga, kelompok dan
masyarakat, serta tenaga kesehatan lain sesuai dengan tanggung
jawabnya. Perawat sebagai pendidik berupaya untuk memberikan
pendidikan atau penyuluhan kesehatan kepada klien dengan
evaluasi yang dapat meningkatkan pembelajaran.
4. Change agent atau Agen pengubah
Perawat sebagai agen pengubah berfungsi membuat suatu
perubahan atau inovasi terhadap hal-hal yang dapat mendukung
tercapainya kesehatan yang optimal. Perawat mengubah cara
pandang dan pola pikir pasien, keluarga, maupun masyarakat

20
untuk mengatasi masalah sehingga hidup yang sehat dapat
tercapai.
5. Peneliti
Perawat sebagai peneliti yaitu perawat melaksanakan tugas untuk
menemukan masalah, menerapkan konsep dan teori,
mengembangkan penelitian yang telah ada sehingga penelitian
yang dilakukan dapat bermanfaat untuk peningkatan mutu asuhan
dan pelayanan keperawatan. Perawat sebagai peneliti diharapkan
mampu memanfaatkan hasil penelitian untuk memajukan profesi
keperawatan.
6. Consultant atau Konsultan
Perawat sebagai tempat untuk konsultasi bagi pasien, keluarga
dan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan yang dialami
klien. Peran ini dilakukan oleh perawat sesuai dengan permintaan
klien.
7. Collaborator atau Kolaborasi
Peran perawat sebagai kolaborator yaitu perawat bekerja sama
dengan anggota tim kesehatan lainnya dalam memberikan
pelayanan kepada klien.
b. Fungsi perawat
Fungsi keperawatan mandiri (independen), fungsi keperawatan
ketergantungan (dependen), dan fungsi keperawatan kolaboratif (
interdependen ) (Kustanto, 2004 dalam Sekar, 2015).
1. Fungsi Independen
Tindakan perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada ilmu
keperawatan. Oleh karena itu, perawat bertanggung jawab
terhadap akibat yang timbul dari tindakan yang diambil.
Contoh tindakan perawat dalam menjalankan fungsi independen
adalah:
a) Pengkajian seluruh sejarah kesehatan pasien/keluarganya dan
menguji secara fisik untuk menentukan status kesehatan pada
kasus pasien yang mengalami fraktur femur mencari riwayat

21
trauma atau kejadian yang dialami untuk menunjang data
pasien.
b) Mengidentifikasi tindakan keperawatan yang mungkin
dilakukan untuk memelihara atau memperbaiki kesehatan.
c) Membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
d) Mendorong untuk berperilaku secara wajar.
2. Fungsi Dependen Perawat membantu dokter memberikan
pelayanan pengobatan dan tindakan khusus yang menjadi
wewenang dokter dan seharusnya dilakukan dokter.
Seperti pemasangan infus, pemberian obat, dan melakukan
suntikan. Oleh karena itu, setiap kegagalan tindakan medis
menjadi tanggung jawab dokter. Setiap tindakan perawat yang
berdasarkan perintah dokter, dengan menghormati hak pasien
tidak termasuk dalam tanggung jawab perawat.
3. Fungsi Interdependen Tindakan perawat berdasarkan pada
kerjasama dengan tim perawatan atau tim kesehatan. Fungsi ini
tampak ketika perawat bersama tenaga kesehatan lainnya
berkolaborasi mengupayakan kesembuhan pasien. Mereka
biasanya tergabung dalam sebuah tim yang dipimpin oleh seorang
dokter. Sebagai sesama tenaga kesehatan, masing-masing tenaga
kesehatan mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan
kesehatan kepada pasien sesuai dengan bidang ilmunya. Dalam
kolaborasi ini, pasien menjadi fokus upaya pelayanan kesehatan.
2.6.2 Peran dan Fungsi Perawat Gawat Darurat pada Kasus Fraktur
Femur
Menurut Oiz, Mouriska (2012) peran peran perawat gawat darurat pada
kasus fraktur femur, antara lain :
a. Menyiapkan fasilitas dan lingkungan UGD untuk kelancaran
pelayanan dan memudahkan pasien dalam menerima pelayanan
b. Melayani pasien baru sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku
c. Melakukan tindakan medis / intervensi kepada pasien sesuai dengan
kapasitasnya

22
d. Membantu dokter dalam memberika pelayanan / pertolongan
pertama kepada pasien dalam keadaan gawat dan darurat
e. Memelihara peralatan kesehatan / medis agar selalu dalam keadaan siap
pakai
f. Menciptakan hubungan kerjasama yag baik dengan pasien dan
keluarganya maupun sesama petugas
g. Mengkaji kebutuhan dan masalah kesehatan pasien sesuai dengan
batas kemampuanya, dengan cara :
1) Mengamati keadaan pasien (tanda vital, kesadaran, keadaan
mental, keluhan utama )
2) Melaksanakan anamesa
3) Menyiapkan formulir untuk penyelesaian adminitrasi, seperti:
a) Surat keteranga istirahat sakit, jika diperlukan
b) Resep obat untuk dirumah, jika diperlukan
c) Surat rujukan atau pemeriksaan ulang
d) Perincian biaya pengobatan pasien
h. Memberikan Penyuluhkan kesehatan kepada pasiendan keluarganya
sesuai dengan keadaan dankebutuhan pasien, menenai :
2) Diit
3) Pengobatan yang perlu dilanjutkan dan cara penggunaanya
4) Pentingnya pemeriksaan ulang / kontrol dirumah sakit, puskesmas
atau instalasi pelayanan kesehatan lainya
5) Cara hidup sehat, seperti pegaturan istirahat, makanan yang berizi
6) Melatih pasien menggunakan alat bantu yang digunakan.
7) Melatih pasien untuk melaksanakan tindakan Keperawatan
dirumah misalnya :
a) merawat luka
b) melatih angota gerak dan mengatur diit.
c) Kepatuhan minum obat serta pantangan yang tidak boleh
dilakukan
i. Mengatur pasien yang akan dirawat sampai keruangan yang dituju

23
j. Mengatur pasien yang akan pulang sampai dipintu keluar ruang
UGD bila keadaan memungkinkan.
k. Melakukan pengecekan alat setiap pergantian shift serta
membersihkan, merapikan, dan menyiapkan alat setelah dipakai
untuk tindakan berikutnya.
l. Melakukan pengecekan obat serta melengkapi stock obat setelah
obat dipakai degan cara mengambil pergantian obat dari pasien
m. Menyiapkan BHP untuk keperluan IGD
n. Bekerjasama untuk menjaga, memelihara, membersihkan, merapikan

alat - alat yang ada di IGD.

o. Membuat asuhan keperawatan (melengkapi status IGD)


p. Melakukan perhitungan dan pencatatan perincian biaya pasien IGD
yang dilakukan oleh shift malam dan shift pagi melaporkanya
kekeuangan setiap harinya

24
2.6.4 Penatalaksanaan Pasien Fraktur Femur di Kegawatdaruratan
Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang
ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi) (Sjamsuhidajat dkk, 2011).
A. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam
(golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan:
1. Pembersihan luka
2. Exici
3. Hecting situasi
4. Antibiotik
Ada bebearapa prinsipnya antara lain :
1. Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang
membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.
2. Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang
memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian,
menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan
perdarahan besar dengan klem.
3. Pemberian antibiotika.
4. Debridement dan irigasi sempurna.
5. Stabilisasi.
6. Penutup luka.
7. Rehabilitasi.
8. Life Saving
9. Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai
penderita dengan kemungkinan besar mengalami cidera ditempat
lain yang serius. Hal ini perlu ditekankan mengingat bahwa untuk
terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya yang cukup kuat
yang sering kali tidak hanya berakibat total, tetapi berakibat multi
organ. Untuk life saving prinsip dasar yaitu : airway, breath and
circulation.

25
10. Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang
tersebut terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui
bahwa periode 6 jam sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi
masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan setelah
waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh karena itu
penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan sebelum
golden periode terlampaui agar sasaran akhir penanganan patah
tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi prioritas
penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan prioritas
ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis,
penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
11. Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat
bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian
antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai
pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas
untuk kuman gram positif maupun negatif.
12. Debridemen dan irigasi
Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah
patah terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal
yang mati. Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan
cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah banyak
baik dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
13. Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi
fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat
patah tulang terbukanya dan fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan
2 dapat dipertimbangkan pemasangan fiksasi dalam secara
primer. Untuk derajat 3 dianjurkan pemasangan fiksasi luar.
Stabilisasi ini harus sempurna agar dapat segera dilakukan
langkah awal dari rahabilitasi penderita. (Pedoman diagnosis

26
dan terapi, UPF, 1994: 133)

B. Seluruh Fraktur
1. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimum. Dapat juga diartikan Reduksi
fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung
sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama.
Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin
untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus,
roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai
mengalami penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus
dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk
melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan.
Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan
dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup
dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya
(ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi
manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan,
sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat
immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas

27
untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk
mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang
benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek
reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme
otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi
fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh,
akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah
kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi
terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat
fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau
batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga
sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang
kuat bagi fragmen tulang.
3. OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu
dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open
reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh
stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah
memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai jaringan lunak
sekitar dalam masa penyembuhan fraktur. Penanganan
pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk
mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah
lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan
bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa
tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna),
sembuh secara anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak;
baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada
kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan).

28
4. ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan
internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi ORIF
untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu
dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra
Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang
dengan tipe fraktur tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction
and internal fixation) diindikasikan pada kegagalan reduksi
tertutup, bila dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih baik
dibanding yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada
fraktur intra-artikuler, pada fraktur terbuka, keadaan yang
membutuhkan mobilisasi cepat, bila diperlukan fiksasi rigid, dan
sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna
(OREF=open reduction and external fixation) dilakukan pada
fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak yang
membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan lunak,
atau debridemen ulang.
Fiksasi eksternal juga dilakukan pada politrauma, fraktur pada
anak untuk menghindari fiksasi pin pada daerah lempeng
pertumbuhan, fraktur dengan infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur
kominutif yang hebat, fraktur yang disertai defisit tulang, prosedur
pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan malunion dan
nonunion setelah fiksasi internal. Alat-alat yang digunakan berupa
pin dan wire (Schanz screw, Steinman pin, Kirschner wire) yang
kemudian dihubungkan dengan batang untuk fiksasi. Ada 3 macam
fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring
(Ilizarov dan Taylor Spatial Frame), dan fiksator hybrid.
Keuntungan fiksasi eksternal adalah memberi fiksasi yang rigid
sehingga tindakan seperti skin graft/flap, bone graft, dan irigasi
dapat dilakukan tanpa mengganggu posisi fraktur. Selain itu,
memungkinkan pengamatan langsung mengenai kondisi luka,

29
status neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan
fraktur. Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat
terjadi fraktur saat melepas fiksator, dan kurang baik dari segi
estetikPenanganan pascaoperatif meliputi perawatan luka dan
pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan
radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi. Penderita diberi
antibiotik spektrum luas untuk mencegah infeksi dan dilakukan
kultur pus dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori
tinggi protein untuk menunjang proses penyembuhan.Rawat luka
dilakukan setiap hari disertai nekrotomi untuk membuang jaringan
nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus ini selama
follow-up ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan
tampak nekrosis pada tibia sehingga direncanakan untuk
debridemen ulang dan osteotomi. Untuk pemantauan selanjutnya
dilakukan pemeriksaan radiologis foto femur dan cruris setelah
reduksi dan imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan
berhasil atau tidak. Pemeriksaan radiologis serial sebaiknya
dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan sesudah operasi
untuk melihat perkembangan fraktur. Selain itu dilakukan
pemeriksaan darah lengkap rutin.
5. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi
fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi
interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur.

30
6. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala
upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri,
perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu
segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan
berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi
peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting
otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan
harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula
diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna
memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang
memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya
gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan
menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.
7. Reposisi
Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan
imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang
berarti seperti pada fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi
dilakukan terus-menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa
minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini
dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan
terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini dilakukan pada fraktur
dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur (Nayagam, 2010).
Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan
pemasangan fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah
tulang pada fraktur kolum femur. Fragmen direposisi secara non-
operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan

31
pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur
(Nayagam, 2010).
Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (OREF)
dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan
pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja
disatukan secara kokoh dengan batangan logam di kulit luar.
Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur
dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur
terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk
terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka
fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun
jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman, pasien
dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan
perdarahan hebat, atau yang terkait dengan cedera kepala, fraktur
dengan infeksi (Nayagam, 2010).
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang
dengan pemasangan fiksasi interna (ORIF), misalnya pada fraktur
femur, tibia, humerus, atau lengan bawah. Fiksasi interna yang
dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga
plat dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara
operatif adalah dapat dicapai reposisi sempurna, dan bila dipasang
fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak diperlukan
pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi.
Indikasi pemasangan fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di
reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak stabil dan
cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur
dengan penyatuan yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck),
fraktur patologis, fraktur multiple dimana dengan reduksi dini bisa
meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan
yang sulit (paraplegia, pasien geriatri) (Nayagam, 2010;
Sjamsuhidajat dkk, 2011; Bucholz; Heckman; Court-Brown, 2006).

32
8. Imobilisasi
Pada imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar
tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak
terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan
fraktur tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting. Imobilisasi
yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya
sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin (Nayagam, 2010).
9. Rehabilitasi
Rehabilitasi berarti upaya mengembalikan kemampuan
anggota yang cedera atau alat gerak yang sakit agar dapat berfungsi
kembali seperti sebelum mengalami gangguan atau cedera
(Widharso, 2010)

33
BAB III
TINJAUAN KASUS

Nn. A 17 tahun datang ke unit gawat darurat (UGD) RSUD Kepanjen


dengan keluhan nyeri pada tungkai kanan dan tidak dapat digerakkan pasca
kecelakaan motor 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat itu pasien sedang
membawa motor sendirian memakai helm dan tidak sedang dalam keadaan
mabuk, ditabrak oleh motor dari arah sebelah kanan. Saat kejadian pasien
langsung terjatuh dan pingsan sekitar 5 menit, saat sadar pasien sudah tidak dapat
lagi menggerakkan tungkai kanannya, tungkai kiri dan anggota gerak atas tidak
ada keluhan. Riwayat sakit kepala, muntah, lupa dengan kejadian lama serta
keluar darah dari hidung/telinga tidak ada. Pasien langsung dibawa ke puskesmas
Gondanglegi dan dilakukan pemasangan spalk lalu dirujuk ke RSUD Kepanjen.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran
kompos mentis, tekanan darah 130/70 mmHg, denyut nadi 88x/menit, pernafasan
24x/menit, suhu 36,7oC, GCS 4 5 6. Pasien merasakan nyeri dengan skala nyeri 7,
pasien tampak menyeringai kesakitan. Pada pemeriksaan lokalis pada regio cruris
dextra didapatkan pada pemeriksaan Look: didapatkan pemendekan, bengkak,
deformitas, angulasi ke lateral, kulit utuh (tidak terdapat luka robek). Pada
pemeriksaan Feel: didapatkan nyeri tekan, pulsasi distal teraba, sensibilitas
normal. Pada pemeriksaan Movement: didapatkan nyeri gerak aktif, nyeri gerak
pasif, range of motion (ROM) sulit dinilai. Pada pemeriksaan Neuro vascular
distal (NVD) didapatkan A. Dorsalis pedis teraba, capillary refill time (CRT)
kurang dari 2 detik, dan sensibilitas normal. Dari pemeriksaan foto rontgen regio
femur dextra AP lateral didapatkan fraktur komplit pada femur dekstra 1/3 tengah
dengan aligment dan aposisi buruk. Kemudian pasien diberikan terapi asam
mefenamat 500 mg 3x1 tablet dan amoxicillin 500 mg 3x1 tablet, pemasangan
spalk ulang dan direncanakan untuk pemasangan internal fiksasi.

34
I. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : Nn. A
Usia : 17 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan :-
Alamat :Gondanglegi
No. Reg :141221
Tanggal Masuk : 04 Oktober 2017/08.30 WIB
Tanggal Pengkajian : 04 Oktober 2017/08.35 WIB
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri pada tungkai kanan dan tidak dapat digerakkan
pasca kecelakaan motor 3 jam sebelum masuk rumah sakit dengan skala
nyeri 7 seperti teriris – iris dan menjalar ke seluruh bagian tungkai
kanan.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Kurang lebih 3 jam sebelum masuk RS saat pasien sedang membawa
motor sendirian memakai helm dan tidak sedang dalam keadaan mabuk,
ditabrak oleh motor dari arah sebelah kanan. Saat kejadian pasien
langsung terjatuh dan pingsan sekitar 5 menit, saat sadar pasien sudah
tidak dapat lagi menggerakkan tungkai kanannya, tungkai kiri dan
anggota gerak atas tidak ada keluhan. Riwayat sakit kepala, muntah,
lupa dengan kejadian lama serta keluar darah dari hidung/telinga tidak
ada.
c. Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien tidak memilik riwayat penyakit apapun seperti hipertensi, DM,
serta tidak memiliki riwayat alergi.

35
3. Pengkajian Primer
a. Airway
-
b. Breathing
RR = 24x/menit, bentuk dada simetris, pernafasan cuping hidung (-),
tidak ada suara tambahan ronchi (-), wheezing (-).
c. Circulation
TD : 130/70 mmHg, N: 88x/menit, Dorsalis pedis teraba, capillary
refill time (CRT) kurang dari 2 detik, tidak adanya sianosis.
d. Disability
Kesadaran pasien kompos mentis, GCS E4 V5 M6 total GCS = 15,
pupil isokor, reaksi pupil terhadap cahaya (+).
e. Exposure
Look : Didapatkan pemendekan, bengkak, deformitas, angulasi
ke lateral, kulit utuh (tidak terdapat luka robek).
Feel : didapatkan nyeri tekan, pulsasi distal teraba, sensibilitas
normal.
Movement : didapatkan nyeri gerak aktif, nyeri gerak pasif, range of
motion (ROM) sulit dinilai.

36
II. Analisa Data

No Data Etiologi Problem

1 DS : Pasien mengeluh nyeri Pergerakan Nyeri akut


pada tungkai kanan dan tidak fragmen tulang
dapat digerakkan
P: klien mengatakan nyeri dan
tidak bisa digerakkan.
Q : Seperti teriris- iris
R:nyeri di tungkai kanan
S: Skala nyeri 7
T : nyeri dirasakan terus meneru
DO : Pasien tampak
menyeringai kesakitan.
2 DS : didapatkan nyeri gerak Kerusakan Hambatan
aktif integritas struktur mobilitas fisik
DO : didapatkan pemendekan, tulang
bengkak, deformitas, angulasi
ke lateral

III. Diagnosa
1) Nyeri akut berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang

37
IV. Intervensi

No. Tanggal Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi


1. 04/10/2017 Nyeri akut b.d Setelah dilakukan tindakan Secara subjektif klien Tindakan Keperawatan :
08.00 WIB pergerakan keperawatan selama 1x24 melaporkan nyeri 1. Kaji nyeri dengan skala 0 – 4
fragmen tulang jam diharapkan nyeri berkurang atau dapat 2. Lakukan manajemen nyeri
berkurang atau teradaptasi diadaptasi, dapat keperawatan
mengidentifikasikan f. Atur imobilisasi pada paha
aktivitas yang g. Lakukan pemasangan traksi kulit
meningkatkan atau secara sistematis
menurunkan nyeri, h. Manajemen lingkungan :
klien tidak gelisah, lingkungan tenang, batasi
skala nyeri 0 – 1 atau pengunjung, dan istirahatkan
teradaptasi. klien.
i. Ajarkan teknik relaksasi
pernafasan dalam jika nyeri
muncul
j. Ajarkan teknik distraksi pada saat
nyeri
k. Lakukan manajemen sentuhan
l. Berikan kesempatan waktu
38
istirahat jika terasa nyeri dan
berikan posisi yang nyaman,
misalnya waktu tidur bagian
belakang di pasang bantal kecil.
Tindakan Kolaborasi :
1. Pemberian analgetik
2. Pemasangan traksi tulang
3. Operasi untuk fiksasi interna
2. 04/10/2017 Hambatan Setelah dilakukan tindakan 1. Klien dapat ikut Tindakan Keperawatan
09.30 WIB mobilitas fisik keperawatan selama 3x24 serta dalam 1. Kaji mobilitas yang ada dan
b.d pergerakan jam klien mampu program latihan observasi peningkatan kerusakan.
fragmen tulang melaksanakan aktivitas 2. Tidak terjadi 2. Kaji secara teratur fungsi motorik
fisik sesuai dengan kontraktur sendi 3. Atur imobilisasi pada paha
kemampuannya . 3. Bertambahnya 4. Ajarkan klien untuk melakukan
kekuatan otot latihan gerakan aktif pada
4. Klien ekstremitas yang tidak sakit.
menunjukkan 5. Bantu klien melakukan latihan
tindakan untuk ROM, perawatan diri sesuai
meningkatkan toleransi.

39
mobilitas Tindakan Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli fisioterapi
untuk latihan fisik klien.

40
BAB IV
PEMBAHASAN

1. Kasus :
Pada kasus diatas pasien dilakukan pemasangan spalk sebelum dirujuk ke
rumah sakit terdekat.

Teori :
Menurut (Nayagam, 2010) imobilisasi diperlukan agar tidak terjadi dislokasi
fragmen. Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan
kakunya sendi. Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin.

Analisa Kelompok :
Berdasarkan hal tersebut, menurut analisa dari kelompok kami penanganan
yang dilakukan puskesmas sebelum merujuk pasien tersebut sangat efektif
dalam memberikan pertolongan pertama pada fraktur femur sebelum dirujuk
ke pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas lebih memadai.

2. Kasus :
Riwayat trauma pada kasus didapatkan bahwa pasien sedang membawa motor
sendirian memakai helm dan tidak sedang dalam keadaan mabuk, ditabrak
oleh motor dari arah sebelah kanan. Saat kejadian pasien langsung terjatuh
dan pingsan sekitar 5 menit, saat sadar pasien sudah tidak dapat lagi
menggerakkan tungkai kanannya, tungkai kiri dan anggota gerak atas tidak
ada keluhan. Riwayat sakit kepala, muntah, lupa dengan kejadian lama serta
keluar darah dari hidung/telinga tidak ada

Teori :
Menurut (Krisanty et.al, 2016) menyebutkan bahwa tindakan survei Sekunder
Pasien Fraktur Femur yaitu mengkaji riwayat trauma sangat penting
dilakukan untuk mengetahui riwayat trauma, karena penampilan luka
terkadang tidak sesuai dengan parahnya cidera. Jika ada saksi seseorang dapat

41
menceritakan kejadiannya sementara petugas melakukan penelitian seluruh
badan klien.

Analisa kelompok :
Menurut kelompok kami pengkajian riwayat trauma pada kasus diatas sudah
dilakukan dengan tepat, sehingga perawat dapat mengetahui dengan jelas
mengenai riwayat kesehatan pasien yang dapat menunjang pemeriksaan
selanjutnya.
3. Kasus :
Pada Kasus diatas Pasien dilakukan pemeriksaan tekanan darah, denyut nadi,
pernafasan dan suhu serta GCS dan didapatkan hasil TD 130/70 mmHg, nadi
88x/menit, RR 24x/menit, suhu 36,7oC dan GCS 4 5 6. Pada pemeriksaan
lokalis pada regio cruris dextra didapatkan pada pemeriksaan Look:
didapatkan pemendekan, bengkak, deformitas, angulasi ke lateral, kulit utuh
(tidak terdapat luka robek). Pada pemeriksaan Feel: didapatkan nyeri tekan,
pulsasi distal teraba, sensibilitas normal. Pada pemeriksaan Movement:
didapatkan nyeri gerak aktif, nyeri gerak pasif, range of motion (ROM) sulit
dinilai, krepitasi tidak dilakukan. Pada pemeriksaan Neuro vascular distal
(NVD) didapatkan A. Dorsalis pedis teraba, capillary refill time (CRT)
kurang dari 2 detik, dan sensibilitas normal.

Teori :
Menurut (Krisanty et.al, 2016) menyebutkan Saat klien di RS segera
dilakukan survai primer dan selanjutnya lakukan resusitasi dengan cepat dan
tepat.

Analisa Kelompok :
Dari kasus tersebut, didapatkan data pemeriksaan primer meliputi A,B,C,D,E
sesuai dengan teori yang dapat membantu dalam penentuan tindakan
keperawatan sesuai dengan kasus tersebut. Akan tetapi, pada kasus tersebut,
pengkajian airway tidak di lakukan secara spesifik. Selain itu, pada
pengkajian exposure juga tidak dilakukan selengkap yang seharusnya sesuai

42
teori seperti pemeriksaan jejas. Sehingga membuat hasil pemeriksaan pada
pasien tersebut kurang maksimal.

4. Kasus :
Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan sekunder salah satunya yaitu
pemeriksaan fisik dimana perawat tidak melakukan pemeriksaan ada tidaknya
krepitasi.

Teori :
Sedangkan menurut (Krisanty et.al, 2016) menyebutkan perlu dilakukan
pengkajian sekunder yaitu untuk mengetahui ada tidaknya krepitasi pada area
fraktur. Krepitasi merupakan salah satu tanda utama pada pasien fraktur.

Analisa kelompok :
Menurut kelompok kami pemeriksaan yang dilakukan pada kasus tersebut
kurang efektif dalam menentukan diagnosis untuk tindakan penanganan
selanjutnya.

5. Kasus :
Pada pengkajian kasus tersebut, pasien dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti melakukan foto rontgen regio femur dextra AP lateral dan didapatkan
fraktur komplit pada femur dekstra 1/3 tengah dengan aligment dan aposisi
buruk.

Teori :
Menurut Nurarif & Kusuma (2015) terdapat beberapa pemeriksaan yang
dapat dilakukan pada klien dengan fraktur femur salah satunya yaitu
melakukan pemeriksaan rontgen untuk menetukan lokasi/luasnya
fraktur/trauma.

Analisa kelompok :

43
Sehingga menurut analisis kelompok kami pemeriksaan yang telah dilakukan
pada kasus tersebut sudah efektif untuk mendapatkan hasil yang akurat
tentang lokasi fraktur.

6. Kasus :
Pada penangannya pasien diberikan terapi asam mefenamat 500 mg 3x1
tablet dan amoxicillin 500 mg 3x1 tablet.

Teori :
Berdasarkan teori sjamsuhidajat, dkk (2011) menyebutkan bahwa mikroba
yang ada dalam luka patah tulang sangat bervariasi tergantung dimana patah
tulang ini terjadi. Pemberian antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan
hanya saja sebagai pemikiran dasar. Sebaliknya antibiotika dengan spektrum
luas untuk kuman gram positif maupun negatif.

Analisa Kelompok :
Menurut opini kelompok kami penanganan ini sangat efektif dimana nyeri
pada fraktur tidak dapat diredakan dengan teknik relaksasi akan tetapi
memerlukan painkiller, dan meski merupakan faktur tertutup, perlu diberikan
pencegahan infeksi menggunakan antibiotik.

7. Kasus :
Pada kasus diatas pasien dilakukan pemasangan spalk ulang dan direncanakan
untuk pemasangan internal fiksasi.

Teori :
Penatalaksanaan pada kasus tersebut sesuai dengan teori sjamsuhidajat, dkk
(2011) yang menyebutkan bahwa ORIF adalah suatu bentuk pembedahan
dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur.
Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap

44
menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra
Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe
fraktur tranvers.

Analisa Kelompok :
Penatalaksanaan pada kasus tersebut sesuai dengan teori, sehingga menurut
analisis kelompok kami penatalaksanaan dilakukan spalk ulang sudah efektif
untuk menjaga fraktur agar tetap pada kondisi imobilisasi selanjutnya untuk
dilakukan internal fiksasi atau ORIF.

45
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Menurut Noor (2016) Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas pada
paha, kondisi ini secara klinis bias berupa fraktur femur terbuka yang disertai
adanya kerusakan lunak (oytot, kulit, jaringan saraf, dan pembulu darah)dan
fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada
paha.
Fraktur tertutup pada femur dapat menyebabkan perdarahan yang
banyak, dan dapat mengancam jiwa. Pada fraktur pelvis dapat terjadi
beberapa fragmen fraktur pada beberapa tempat dan setiap fraktur dapat
menyebabkan kehilangan darah yang banyak. (Noor, 2016) mengemukakan
fraktur femur dibagi dalam fraktur intertrokhanter femur, subtrokhanter
femur, fraktur batang femur, suprakondiler, fraktur interkondiler, dan fraktur
kondiler femur.
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba – tiba dan
berlebuihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran,
penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.
Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena
dan jaringan lunak juga pasti rusak. Pemukulan (pukulan sementara) biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan kulit diatasnya. Penghancuran
kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif yang disertaai kerusakan
jaringan lunak yang luas.
Peran perawat adalah seperangkat tingkah laku yang dilakukan oleh
perawat sesuai dengan profesinya. Peran perawat adalah tingkah laku perawat
yang diharapkan oleh orang lain untuk berproses dalam sistem sebagai
pemberi asuhan, pembela pasien, pendidik, koordinator, kolaborator,
konsultan, dan pembaharu (Susanto, 2012 dalam Sekar, 2015).

46
5.2 Saran
Demikian makalah yang dapat penulis paparkan mengenai Trauma
Muskuloskeletal pada Kasus Fraktur Femur. Semoga makalah ini berguna
bagi pembaca, khususnya bagi mahasiswa. Kami menyadari bahwa dalam
makalah ini masih terdapat kesalahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun kami harapkan untuk perbaikan makalah kami selanjutnya.

47
DAFTAR PUSTAKA

Asrizal, Rinaldi Aditya. 2014. Closed Fracture 1/3 Middle Femur Dextra. Jurnal
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.Volume 2, Nomor 3, Maret 2014
Amatiria, Gustop & Trisna, Efa. 2013. Pengaruh Latihan Isotonik Dan Isometrik
Terhadap Penurunan Rasa Nyeri Pasien Fraktur Femur. Jurnal Keperawatan
Vol 9, No.2
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8
volume 2, EGC, Jakarta.
Desiartama, Agus & Aryana, Wien. 2017.Gambaran Karakteristik Pasien Fraktur
Femur Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Pada Orang Dewasa Di Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2013. E-Jurnal Medika, Vol. 6 No.5,
Mei, 2017
Fakhrurrizal, Alfi. 2015. Pengaruh Pembidaian Terhadap Penurunan Rasa Nyeri
Pada Pasien Fraktur Tertutup Di Ruang IGD Rumah Sakit Umum Daerah
A.M Parikesit Tenggarong. Jurnal Ilmu Kesehatan.Vol. 3, No.2
Helmi. 2011. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika
Kusnanto. 2004. Pengantar Profesi dan Praktik Keperawatan Profesional.Jakarta:
EGC.
Kartikawati, 2013. Buku Ajar Dasar – Dasar Keperawatan Gawat Darurat.
Jakarta : Salemba Medika
Oman, Kathleen S. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta :
EGC.
Parahita, Putu Sukma & Kurniyanta, Putu. 2012. Penatalaksanaan
Kegawatdaruratan Pada Cedera Fraktur Ekstrimitas.
https://www.google.co.id/url?q=http://digilib.unimus.ac.id/download.php/Eks
trimitas/.Diakses pada tanggal 04 Oktober 2017 pukul 15.45
Mahode, Albertus Agung, et al. 2011. Terapi dan Rehabilitasi Fraktur (Treatment
& Rehabilitation of Fraktur) . Jakarta : EGC
Makmuri et al. 2007. The Correlation Between Education Levels Toward Anxiety
Level of Fracture Femur Pre-Operate Patient at Prof. Dr. Margono Soekarjo
Hospital of Purwokerto. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan.Vol.3, No.2

48
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal : Aplikasi Pada
Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta : EGC
Mouriska, Oiz (2012). Uraian Tugas Perawat UGD. Diakses pada tanggal
09/10/17 di https://www.scribd.com/doc/79325703/Uraian-Tugas-Perawat-
Ugd
Noor, Zairin. 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba
Medika
Noorisa, et al. 2017. The Characteristic Of Patients With Femoral Fracture In
Department Of Orthopaedic And Traumatology RSUDDr. Soetomo Surabaya
2013 – 2016. Journal of Orthopaedi & Traumatology Surabaya. Vol.6, No.1
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosis, Medis dan Nanda Nic – Noc Edisi Revisi Jilid 2.
Yogyakarta : Mediaction
Sjamsuhidayat R, Jong W. 2010. Buku ajar ilmu bedah edisi 3. Jakarta: Jakarta.
Soetikno, Ristaniah. 2013. Radiologi Emergensi. Bandung : PT. Refika Aditama.

Sekar, Ruli Ambar. 2015. Peran Perawat Terhadap Ketepatan Waktu tanggap
Penanganan Kasus Cedera Kepala Di Instalasi Gawat Darurat Rsud
Dr.MoewardiSurakarta.https://www.google.co.id/url?q=http://digilib.unimus.
ac.id/download.php/Ekstrimitas/.Diakses pada tanggal 04 oktober 2017 pukul
15.20 WIB

49
LAMPIRAN
BUKU

50
51

Anda mungkin juga menyukai