Anda di halaman 1dari 49

DEPARTEMEN ILMU BEDAH – RSUD KOTA BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA i

LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul ;

“ KOLELITIASIS ”

Telah diterima dan disetujui oleh dokter pembimbing klinik, sebagai salah satu syarat

untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah

di RSUD Dr. Chasbullah Abdulmadjid – Kota Bekasi

Jakarta, Februari 2020

Dokter Pembimbing Referat

dr. Raya Henri Batubara, Sp.B-KBD


DEPARTEMEN ILMU BEDAH – RSUD KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA ii

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang

Mahaesa yang telah memberikan karunia dan hikmat pengetahuan-Nya sehingga tugas

Referat dengan judul “ KOLELITIASIS ” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Tugas ini ditulis dalam rangka pemenuhan salah satu syarat menyelesaikan program

kepaniteraan klinik Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia di RSUD

Dr. Chasbullah Abdulmadjid – Kota Bekasi. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan tugas ini.

Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. Raya Henri Batubara, Sp.B-KBD selaku dokter pembimbing referat yang telah

meluangkan waktu, tenaga, serta memberikan dorongan semangat kepada penulis.

2. Kepada yang saya hormati, para dokter serta staf Departemen Ilmu Bedah atas

bimbingan yang diberikan kepada penulis.

3. Kepada orangtua, keluarga dan rekan-rekan tercinta atas dukungan dan doa yang tulus.

Penulis sadar atas segala kekurangan dan keterbatasan dalam penulisan tugas ini. Oleh

karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan di masa yang akan datang.

Akhir kata, semoga Referat ini membawa manfaat bagi para pembaca. Semoga Tuhan

Yang Maha Esa selalu menyertai kita. Amin.

Jakarta, Februari 2020

Insert Name Here


DEPARTEMEN ILMU BEDAH – RSUD KOTA BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA iii

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...............................................................................................ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................1


1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3


2.1 Definisi ................................................................................................ 3
2.2 Anatomi ............................................................................................... 3
2.3 Fisiologi ............................................................................................... 7
2.4 Epidemiologi ..................................................................................... 12
2.5 Faktor Resiko .................................................................................... 13
2.6 Etiologi .............................................................................................. 16
2.7 Klasifikasi Tipe Batu Empedu .......................................................... 17
2.8 Patogenesis ........................................................................................ 18
2.9 Patofisiologi ...................................................................................... 22
2.10 Manifestasi Klinis ............................................................................. 26
2.11 Penegakan Diagnosis ......................................................................... 28
2.11.1 Anamnesis ........................................................................... 28
2.11.2 Pemeriksaan Fisik ............................................................... 28
2.11.3 Pemeriksaan Penunjang ...................................................... 29
2.12 Penatalaksanaan ................................................................................ 39
2.13 Prognosis ........................................................................................... 45

BAB III KESIMPULAN ......................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 48


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara

barat.1 Angka kejadiannya lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat dengan

bertambahnya usia .2 Di negara Barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka

prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin (20%-40%) dan rendah di

negara Asia (3%-4%).3

Di Amerika Serikat, terhitung lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu empedu dan

dari hasil otopsi menunjukkan angka kejadian batu empedu paling sedikit 20% pada wanita

dan 8% pada laki-laki di atas umur empat puluhan. Di Inggris, sekitar 5,5 juta orang dengan

batu empedu dan dilakukan lebih dari 50 ribu kolesistektomi tiap tahunnya.4

Sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi

penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak

mempunyai keluhan. Risiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan

komplikasi relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan

serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan

terus meningkat.1

Sekitar 1 juta pasien baru terdiagnosis mengidap batu empedu per tahun, dengan dua

pertiganya menjalani pembedahan. Angka kematian akibat pembedahan untuk bedah saluran

empedu secara keseluruhan sangat rendah, tetapi sekitar 1000 pasien meninggal setiap tahun

akibat penyakit batu empedu atau penyulit pembedahan.2


Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru Ultrasonografi (USG)

maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat

dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin

kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi angka morbiditas dan moralitas.5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Kolelithiasis adalah istilah medis yang digunakan pada penyakit batu empedu. Batu

empedu (gallstones) adalah massa padat yang terbentuk dari endapan mineral pada

saluran empedu.6 Kolelitiasis disebut juga sinonimnya adalah batu

empedu, gallstones, biliary calculus.7

Kolelitiasis atau batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang

membentuk suatu material yang menyerupai batu yang dapat ditemukan dalam kandung

empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada

kedua-duanya.8

Gambar 1.

Lokasi Batu Empedu

Batu empedu terbentuk secara perlahan dan terkadang asimtomatik selama beberapa

dekade. Migrasi batu empedu ke ductus cysticus dapat menghalangi aliran pada kandung

empedu selama terjadinya kontraksi pada proses sekresi. Akibat dari peningkatan

tegangan dinding kandung empedu memberi sensasi nyeri (kolik bilier). Tersumbatnya

ductus cysticus dalam jangka waktu lebih dari beberapa jam, dapat menyebabkan

peradangan kandung empedu akut (kolesistitis akut).6


Batu empedu di saluran empedu dapat mempengaruhi bagian distal pada ampula

Vater, titik di mana saluran empedu dan saluran pankreas bergabung sebelum keluar ke

duodenum. Obstruksi aliran empedu oleh batu di titik ini dapat menyebabkan sakit perut

dan sakit kuning. Cairan empedu akan stagnan di atas sebuah batu yang mengahalangi

saluran empedu akan sering mengalami infeksi, dan bakteri dapat menyebar dengan cepat

ke hati melalui saluran empedu yang dapat mengancam jiwa, disebut ascending

cholangitis. Obstruksi saluran pankreas dapat memicu aktivasi enzim pencernaan

pankreas itu sendiri, mengarah ke pankreatitis akut.6

Dalam waktu yang lama, batu empedu di kandung empedu dapat menyebabkan

fibrosis progresif dan hilangnya fungsi kandung empedu, suatu kondisi yang dikenal

sebagai kolesistitis kronis. Kolesistitis kronis predisposisi kanker kandung empedu.6

2.2 ANATOMI

2.2.1 Vesica Fellea

Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah advokat

yang terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang sekitar 4-6 cm dan

berisi 30-60 ml empedu. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum

visceral, tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati

oleh lapisan peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat

bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut

kantong Hartmann.1

Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk

bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus

berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX

kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus sistikus yang berjalan dalam

omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis

membentuk duktus koledokus.9

2.1.2 Ductus

Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding

lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral Heister, yang

memudahkan cairan empedu masuk kedalam kandung empedu, tetapi menahan

aliran keluarnya. Saluran empedu ekstrahepatik terletak didalam ligamentum

hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas bawahnya

distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik berpangkal dari

saluran paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang meneruskan curahan

sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutnya ke

duktus hepatikus di hilus.1

Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.

Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara

duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus

jaringan pankreas dan dinding duodenum membentuk papilla Vater yang terletak

di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot

sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum. Duktus

pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama oleh duktus koledokus di

dalam papilla Vater, tetapi dapat juga terpisah.1

2.1.3 Perdarahan

Pembuluh arteri kandung empedu adalah a.cystica, cabang a.hepatica kanan.

V. cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta. Sejumlah arteri yang

sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.9
2.1.4 Pembuluh Limfe dan Persarafan

Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak

dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi

lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici

coeliacus. Saraf yang menuju ke kandung empedu berasal dari plexus coeliacus.9

Gambar 2.
Anatomi Kandung Empedu dan Saluran Bilier
2.3 FISIOLOGI

2.3.1 Sekresi Empedu

Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian

disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris.

Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri.

Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini

sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus

sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan

ke duodenum.9 Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :

a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak

karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu

membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi


partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan

dalam getah pankreas. Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk

akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.

b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk

buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari

penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel-

sel hati.4

2.3.2 Penyimpanan dan Pemekatan Empedu

Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml per hari.

Empedu yang disekresikan secara terus-menerus oleh sel-sel hati disimpan dalam

kandung empedu sampai diperlukan di duodenum. Volume maksimal kandung

empedu hanya 30-60 ml. Meskipun demikian, sekresi empedu selama 12 jam

(biasanya sekitar 450 ml) dapat disimpan dalam kandung empedu karena air,

natrium, klorida, dan kebanyakan elektrolit kecil lainnya secara terus menerus

diabsorbsi oleh mukosa kandung empedu, memekatkan zat-zat empedu lainnya,

termasuk garam empedu, kolesterol, lesitin, dan bilirubin. Kebanyakan absorpsi

ini disebabkan oleh transpor aktif natrium melalui epitel kandung empedu, dan

keadaan ini diikuti oleh absorpsi sekunder ion klorida, air, dan kebanyakan zat-zat

terlarut lainnya. Empedu secara normal dipekatkan sebanyak 5 kali lipat dengan

cara ini, sampai maksimal 20 kali lipat.4

2.3.3 Pengosongan Kandung Empedu

Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh

hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Empedu

dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.

Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum.


Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum,

kemudian masuk kedalam darah dan menyebabkan kandung empedu berkontraksi.

Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus koledokus

dan sfingter Oddi mengalami relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya

empedu yang kental ke dalam duodenum.4

Proses koordinasi aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :

a. Hormonal :

Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan

merangsang mukosa sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas. Hormon ini

yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.

b. Neurogen :

o Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi cairan

lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan

kontraksi dari kandung empedu.

o Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan

mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu

lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.

Secara normal pengosongan kandung empedu secara menyeluruh berlangsung

selama sekitar 1 jam. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan

neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti

batu.4
Gambar 3a. Kontraksi sfingter Oddi dan pengisian empedu ke kandung empedu.

Gambar 3b. Relaksasi sfingter Oddi dan pengosongan kandung empedu.

2.3.4 Komposisi Cairan Empedu

Tabel 1.

Komposisi Empedu

Empedu Empedu
Komponen
Hati Kandung Empedu
Air 97,5 gr/dl 92 gr/dl
Garam Empedu 1,1 gr/dl 6 gr/dl
Bilirubin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3 – 0,9 gr/dl
Asam Lemak 0,12 gr/dl 0,3 – 1,2 gr/dl
Lecithin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Na+ 145 mEq/L 130 mEq/L
K+ 5 mEq/L 12 mEq/L
Ca++ 5 mEq/L 23 mEq/L
Cl- 100 mEq/L 25 mEq/L
HCO3- 28 mEq/L 10 mEq/L

Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%)

cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik.1
2.3.5 Garam Empedu

Fungsi garam empedu adalah:

a. Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam

makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-

partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.

b. Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang

larut dalam lemak.4

Prekursor dari garam empedu adalah kolesterol. Garam empedu yang masuk

ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat

dan lithocholat. Sebagian besar (90%) garam empedu dalam lumen usus akan

diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan

bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi

disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut

misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan

terganggu.4

2.3.6 Bilirubin

Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin.

Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi biliverdin yang

segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh

albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh

glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada

malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.4

2.4 EPIDEMIOLOGI

a. Distribusi dan Frekuensi Kolelitiasis Berdasarkan Penderita


Di negara barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi

orang dewasa lebih tinggi. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara

Amerika Latin (20% hingga 40%) dan rendah di negara Asia (3% hingga 4%). Batu

empedu menimbulkan masalah kesehatan yang cukup besar, seperti ditunjukkan oleh

statistik AS ini :3

a) Lebih dari 20 juta pasien diperkirakan mengidap batu empedu, yang total

beratnya beberapa ton

b) Sekitar 1 juta pasien baru terdiagnosis mengidap batu empedu per tahun, dengan

dua pertiganya menjalani pembedahan

Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Menurut Ganesh et al

dalam penelitiannya di Kanchi kamakoti Child trust hospital, mendapatkan dari 13.675

anak yang mendapatkan pemeriksaan USG, 43 (0,3%) terdeteksi memiliki batu kandung

empedu. Semua ukuran batu sekitar kurang dari 5 mm, dan 56% batu merupakan batu

soliter. Empat puluh satu anak (95,3%) dengan gejala asimptomatik dan hanya 2 anak

dengan gejala.3

b. Distribusi dan Frekuensi Kolelitiasis Berdasarkan Tempat

Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika Serikat.

Kasus tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas, sedangkan pada anak-

anak jarang. Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat

diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan

autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20% wanita dan 8% pria.

Pada pemeriksaan autopsy di Chicago, ditemukan 6,3% yang menderita kolelitiasis.

Sekitar 20% dari penduduk negeri Belanda mengidap penyakit batu empedu yang

bergejala atau yang tidak. Persentase penduduk yang mengidap penyakit batu empedu
pada penduduk Negro Masai ialah 15-50 %. Pada orang-orang Indian Pima di Amerika

Utara, frekuensi batu empedu adalah 80%. Di Indonesia, kolelitiasis baru mendapatkan

perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian

besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan.3

2.5 FAKTOR RESIKO

Faktor resiko batu empedu memang dikenal dengan 4-F, yaitu Fatty (gemuk),

Fourty (40th), Fertile (subur), dan Female (wanita). Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau

tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki

seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko

tersebut antara lain:1,3

a. Jenis Kelamin

Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan

dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap

peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan yang

meningkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.

Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan

kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung

empedu.

b. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.

Orang dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis

dibandingkan dengan usia yang lebih muda.


c. Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk

terjadi kolelitiasis. Tingginya BMI menunjukkan kadar kolesterol dalam kandung

empedu cenderung tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi

kontraksi/pengosongan kandung empedu.

d. Makanan

Intake rendah klorida dan kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi

gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan

dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

e. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar

dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.

f. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya

kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit

berkontraksi.

g. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah Crohn disease,

diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

h. Nutrisi intravena jangka lama


Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi

untuk berkontraksi karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal

sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung

empedu.

Tabel 2.

Faktor Risiko Kolelitiasis

Faktor Risiko Kolelitiasis


- Obesitas *
- Kehamilan
- Multiparitas
- Wanita
- Obat – obatan : ceftriaxone, estrogen postmenopause
- Diet
- Penyakit ileum, reseksi atau by pass
- Peningkatan usia
*
Obesitas didefinisikan sebagai IMT > 30 kg/m2

2.6 ETIOLOGI

Etiologi batu empedu dan saluran empedu masih belum diketahui dengan

sempurna, akan tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah

gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu

dan infeksi kandung empedu.3


a. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam

pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol, mengekresi

empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini

mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya)

untuk membentuk batu empedu. Perubahan komposisi lainnya yaitu yang

menyebabkan batu pigmen adalah terjadi pada penderita dengan high heme turnover.

Penyakit hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell anemia,

hereditary spherocytosis, dan beta-thalasemia. Selain itu terdapat juga batu

campuran, batu ini merupakan campuran dari kolesterol dan kalsium bilirubinat.

Batu ini sering ditemukan hampir sekitar 90% pada penderita kolelitiasis. 3

b. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,

perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan

kontraksi kandung empedu atau spasme spingter Oddi, atau keduanya dapat

menyebabkan stasis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat

dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu. 3

c. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu.

Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan

sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya

batu dibanding panyebab terbentuknya batu. 3

2.7 KLASIFIKASI TIPE BATU EMPEDU

Ada 3 tipe batu empedu :


Gambar 4.
Tipe Batu Empedu.

a. Batu Empedu Kolesterol

Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan sisanya adalah

kalsium karbonat, kalsium palmitit, dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih

bervariasi dibandingkan bentuk batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu di dalam

kandung empedu, dapat berupa soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin

atau multifaset, bulat, berduri, dan ada yang seperti buah murbei. Batu Kolesterol

terjadi kerena konsentrasi kolesterol di dalam cairan empedu tinggi. Ini akibat dari

kolesterol di dalam darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam kantong empedu

tinggi, pengendapan akan terjadi dan lama kelamaan menjadi batu. Penyebab lain

adalah pengosongan cairan empedu di dalam kantong empedu kurang sempurna,

masih adanya sisa-sisa cairan empedu di dalam kantong setelah proses pemompaan

empedu sehingga terjadi pengendapan.

b. Batu Empedu Pigmen

Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu lumpur atau batu

pigmen, tidak banyak bervariasi. Sering ditemukan berbentuk tidak teratur, kecil-

kecil, dapat berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan,


sampai hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh. Batu pigmen

terjadi karena bilirubin tak terkonjugasi di saluran empedu (yang sukar larut dalam

air), pengendapan garam bilirubin kalsium dan akibat penyakit infeksi.

c. Batu Empedu Campuran

Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (±80%) dan terdiri atas

kolesterol, pigmen empedu, dan berbagai garam kalsium. Biasanya berganda dan

sedikit mengandung kalsium sehingga bersifat radioopaque.

2.8 PATOGENESIS

2.8.1 Batu Kolesterol

Pembentukan batu kolesterol melalui tiga fase:

a. Fase Supersaturasi

Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak

larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle yang

mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima

sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap

lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada

keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai

1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap. Kada

r kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:

 Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan lecithin

jauh lebih banyak.

 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi

supersaturasi.

 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).


 Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.

 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan

ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi

enterohepatik).

 Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar

chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu

kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan bahwa

tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.

b. Fase Pembentukan Inti Batu

Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu

heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas

pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang

menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.

c. Fase Pertumbuhan Batu Menjadi Besar

Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk

bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung

empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk

akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah,

kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu

tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada

pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena

pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang
berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar

dipompa keluar. 

2.8.2 Batu Bilirubin/Batu Pigmen

Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:

a. Batu kalsium bilirubinat (batu infeksi).

b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:

a. Saturasi Bilirubin

Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan

eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada

keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin

menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b

glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal

cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja

glukuronidase.

b. Pembentukan Inti Batu

Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga

oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan

bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris

lumbricoides. sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah

dari cacing tambang.


Gambar 5.

Patogenesis Batu Empedu

Gambar 6.
Skema menunjukkan patogenesis pembentukan batu empedu.

2.9 PATOFISIOLOGI

Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan

berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu

campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung

>50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol).

Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung <20%

kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan

statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan

konsentrasi kalsium dalam kandung empedu. 14,16

Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk di

dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid

membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi

(supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan

berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang

terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut

bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung

empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan

batu empedu empedu. 14,16


Gambar 7.

Peranan Kandung Empedu dalam Kolelitiasis

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan

mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada

dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat

menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara

menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel

dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh

alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel

kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya

kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian

dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel

kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat

terjadinya peritonitis generalisata. 14,16

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat

kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus

kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang

menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis,

kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna
melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat

menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus

obstruksi.16

Diagram 1.

Patofisiologi Kolelitiasis.
2.10 MANIFESTASI KLINIK

Penyakit batu empedu dapat diketahui melalui 4 tahap:

a. Keadaan litogenik, di mana kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya

pembentukan batu empedu.

b. Batu empedu asimtomatik (silent stones).

c. Batu empedu simtomatik, dengan karakteristik adanya kolik bilier episodik.

d. Komplikasi kolelitiasis.

Tanda dan gejala dari komplikasi batu empedu akibat dari efek yang terjadi di dalam

kandung empedu atau dari batu yang keluar dari kandung empedu.10

Batu Empedu Asimtomatik

Batu empedu mungkin dapat ditemukan didalam kantung empedu selama beberapa

dekade tanpa disertai tanda dan gejala dari komplikasinya sendiri. Pada kebanyakan

kasus, batu empedu asimtomatik tidak membutuhkan terapi.10

Dispepsia yang terjadi ketika megkonsumsi makanan berlemak sering disalah artikan

dengan batu empedu, ketika iritasi lambung atau gastroesophageal reflux merupakan

tanda dan gejala utama.10

Colic Bilier

Nyeri yang disebut kolik bilier terjadi bila batu empedu atau lumpur berada di duktus

sistikus selama kontraksi kandung empedu, meningkatkan ketegangan dinding kandung


empedu. Dalam kebanyakan kasus, nyeri berlangsung selama 30 sampai 90 menit akibat

dari relaksasi.11

Kolik bilier episodik, pasien akan melokalisir nyeri pada epigastrium atau kuadran

kanan atas dan mungkin menjalar hingga ke ujung skapula kanan. Rasa sakit mulai

postprandially (biasanya dalam waktu satu jam setelah mengkonsumsi makanan

berlemak), biasnaya berlangsung selama 1-5 jam. Rasa sakit yang dialami konstan dan

tidak berkurang dengan pemberian terapi emesis, antasid, buang air besar, kentut,

ataupun perubahan posisi. Biasanya disertai dengan diaforesis, mual, dan muntah.11
Gambar 8.

Manifestasi Klinis Kolelitiasis.

2.11 PENEGAKAN DIAGNOSIS

2.11.1. Anamnesis

Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan

yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan

berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,

kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam

kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul

tiba-tiba.7

Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,

disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri

berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri

menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.7

2.11.2. Pemeriksaan Fisik

1. Batu Kandung Empedu

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti

kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema

kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan

punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif

apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena

kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien

berhenti menarik nafas.7

2. Batu Saluran Empedu

Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang

teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang

dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah

berat, akan timbul ikterus klinis.7

2.11.3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium

Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan

pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi

leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin

serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi

mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum

dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali

terjadi serangan akut.7

Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan banyak tes

biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang dinamai tes fungsi hati.

Bilirubin serum yang difraksionasi sebagai komponen tak langsung dan langsung dari

reaksi Van den bergh, dengan sendirinya sangat tak spesifik. Walaupun sering

peningkatan bilirubin serum menunjukkan kelainan hepatobiliaris, bilirubin serum bisa

meningkat tanpa penyakit hepatobiliaris pada banyak jenis kelainan yang mencakup

episode bermakna hemolisis intravaskular dan sepsis sistemik. Tetapi lebih lazim

peningkatan bilirubin serum timbul sekunder terhadap kolestatis intrahepatik, yang

menunjukkan disfungsi parenkim hati atau kolestatis ekstrahepatik sekunder terhadap

obstruksi saluran empedu akibat batu empedu, keganasan, atau pankreas jinak.15

Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum memuncak 25

sampai 30 mg per 100 ml, yang pada waktu itu eksresi bilirubin sama dengan produksi

harian. Nilai >30 mg per 100 ml berarti terjadi bersamaan dengan hemolisis atau

disfungsi ginjal atau sel hati. Keganasan ekstrahepatik paling sering menyebabkan

obstruksi lengkap (bilirubin serum 20 mg per 100 ml), sedangkan batu empedu biasanya

menyebabkan obstruksi sebagian, dengan bilirubin serum jarang melebihi 10 sampai 15

mg per 100 ml.15


Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamat-oksalat

transaminase) danAspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum glutamat-piruvat

transaminase) merupakan enzim yang disintesisi dalam konstelasi tinggi di dalam

hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tetapi

peningkatan enzim ini ( 1-3 kali normal atau kadang-kadang cukup tinggi tetapi sepintas)

bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran

empedu.15

Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel saluran

empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus

meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan

obstruksi saluran empedu. Tetapi fosfatasi alkali juga ditemukan di dalam tulang dan

dapat meningkat pada kerusakan tulang. Juga meningkat selama kehamilan karena

sintesis plasenta.15

2. Pemeriksaan Radiologis

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena

hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung

empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan

foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,

kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas

yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.7

3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk

mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal

karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu

yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh

udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung

empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.12

Ultrasonografi sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai teknik penyaring,

tidak hanya dilatasi duktus biliaris ekstra dan intra hepatik yang bisa diketahui secara

meyakinkan, tetapi kelainan lain dalam parenkim hati atau pankreas (seperti massa atau

kista) juga bisa terbukti. Pada tahun belakangan ini, ultrasonografi jelas telah ditetapkan

sebagai tes penyaring awal untuk memulai evaluasi diagnostik bagi ikterus. Bila telah

diketahui duktus intrahepatik berdilatasi, maka bisa ditegakkan diagnosis kolestatis

ekstrahepatik. Jika tidak didapatkan dilatasi duktus, maka ini menggambarkan kolestatis

intrahepatik. Ketepatan ultrasonografi dalam membedakan antara kolestatis intra dan

ekstrahepatik tergantung pada derajat dan lama obstruksi saluran empedu, tetapi jelas

melebihi 90%. Distensi usus oleh gas mengganggu pemeriksaan ini.15

Gambar 9.

Gambaran Accoustic Shadow Kasus Kolelitiasis.


4. Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif

murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat

dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus

paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis

karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan

kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.7

5. HIDA Scan (Biliary Radionuclide Scanning)

Merupakan pemeriksaan non invasive terhadap hati, kandung empedu, duktus bilier,

dan duodenum dengan informasi anatomic dan fisiologis. Technetium-labeled derivatives

of dimethyl iminodiacetic acid (HIDA) diinjeksikan secara intravena, yang kemudian

akan dibersihkan oleh sel Kupffer pada hati, dan diekskresikan ke kandung empedu.

Ambilan oleh hati akan dideteksi dalam waktu 10 menit, kandung empedu, duktus bilier,

dan duodenum akan tampak dalam waktu 60 menit pada kondisi puasa. Pemeriksaan ini

dapat digunakan untuk diagnosis kolesistitis akut, yang akan menunjukkan gambaran non

visual dari kandung empedu, yang dengan cepat mengisi duktus koledokus dan

duodenum. Hasil false positive pada pemeriksaan ini meningkat pada pasien dengan

stasis bilier dan pada pasien yang mendapatkan nutrisi parenteral. Pengisian kandung

empedu dan CBD dengan pengisian duodenum yang lambat atau tidak ada

mengindikasikan adanya obstruksi pada ampula. Kebocoran saluran bilier akibat

pembedahan pada kandung emppedu atau saluran bilier dapat dikonfirmasi dengan

pemeriksaan ini.12

6. CT – Scan

CT – Scan abdomen berada di bawah USG dalam mendiagnosis batu kandung

empedu. CT – Scan digunakan untuk menentukan kondisi dari saluran bilier


ekstrahepatik dan struktur sekitarnya. Pemeriksaan ini dilakukan paada pasien yang

dicurigai keganasan pada kandung empedu, sitem bilier ekstrahepatik, dan kaput pankrea.

Penggunaan CT – Scan sebagai prosedur untuk menyingkirkan diagnosis banding pada

ikterus obstruktif (Gambar 13). CT – Scan dapat memberikan informasi menngenai

stadium, termasuk gambaran vascular pada pasien dengan tumor periampula.13

Gambar 10.

CT – Scan pada abdomen kuadran atas terhadap pasien dengan kanker pada distal CBD.

Kanker mengobstruksi CBD dan duktus pankreatikus. 1. Vena porta. 2. Duktus

intrahepatik yang berdilatasi. 3. Dilatasi duktus sistikus dan leher kandung empedu. 4.

Dilatasi duktus hepatikus komunis. 5. Bifurkasi aarteri hepatic komunis ke dalam arteri

gastroduodenal dan. 6. Dilatasi duktus pankreatikus. 7. Vena spllenikus.

7. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)

Duktus bilier intrahepatik dapat dijangkau secara perkutaneus dengan menggunakan

jarum kecil dengan panduan fluoroskopik. Bila posisi dari duktus bilier telah dipastikan,

kateter dapat dimasukkan (Gambar 14). Melalui kateter, kolangiogram dapat dilakukan
dan terapi dapat dilakukan, seperti drainase dan pemasangan sten. PTC dapat berperan

dalam penatalaksanaan bbatu kandung empedu tanpa komplikasi, tetapi paling

bermanfaat dalam memberi tatalaksana pada striktur dan tumor duktus bilier. PTC dapat

menyebabkan kolangitis akibat perdarahan, kebocoran bilier, dan masalah lainnya akibat

penggunaan kateter.12

Gambar 11.

Skematik PTC dan drainase untuk obstruksi proksimal kolangiokarsinoma. A. Dilatasi

duktus bilier intrahepatik dimasuki oleh jarum secara perkutan. B. Kawat kecil

dimasukkan melalui jarum ke duktus. C. Kateter yang masukkan bersama kawat, kawat

lalu dilepaskan. Kolangiogram dilakukan melalui kateter. D. kateter drainaase eksternal


dipasang. E. kawat panjang dipasang melalui kateter dan melewati tumor ke duodenum.

F. sten internal dipasang.

8. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Sejak pertengahan tahun 1990, MRI dapat memberikan gambaran jelas hepar,

kandung empedu, dan pancreas. Penggunaan MRI dengan teknik dan kontras yang lebih

baru, gambaran anatomik dapat lebih jelas. MRI memiliki sensitivitas dan spesifitas 95 %

dan 89 % dalam mendeteksi koledokolelitiasis. MRCP (magnetic resonance

cholangiopancreatography) dapat menjadi pemeriksaan non invasive dalam

mendiagnosis penyakit pada salurana bilier dan pankreas.12

Gambar 12.

MRCP menunjukkan penebalan pada duktus bilier ekstrahepatik (garis) dan duktus

pankreatikus (garis berkepala).


9. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

ERCP mapu memberikan informasi mengenai kondisi saluran bilier dan duktus

pankreatikus serta melihat ampuula dari papilla Vateri. Tidak hanya sebagai diagnostik

ERCP juga mampu menjadi salah satu teknik terapetik. Pemeriksaan ERCP

membutuhkan keterampilan dan gambar yang memuaskan, serta tidak begitu dalam

seperti pada pemeriksaan PTC. Jalur endoskopi cenderung aman karena tidak kontak

dengan peritoneum.14

Gambar 13.

A. ERCP, endoskop masuk ke duodenum dan kateter pada duktus koledokus.

B. endoscopic retrograde cholangiogram, menunjukkan batu pada duktus koledokus.

Pasien ini telah menjalani gastrektomi partial Polya sehingga endoskop mencapai ampula

melalui fleksura duodenojejunal.

Endoscopic ultrasound membutuhkan endoskop yang khusus. Hasilnya sangat

tergantung pada operator, tetapi menawarkan gambaran non invasif dari duktus bilier dan

struktur sekitarnya. Ia memiliki bagian untuk biopsy, sehingga dapat digunakan pada
kasus dengan tumor. Ia juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi batu pada duktus

bilier, namun kurang sensitive bila dibandingkan dengan ERCP.12

10. Percutaneus Transhepatic Biliary Drainage (PTBD)

Pasien yang gagal dilakukan ERCP secara konvensional ditawarkan untuk

dilakkukan PTBD. Walaupun PTBD efektif, ia terkait dengan komplikasi terkait nyeri

dan kualitas hidup yang buruk. EUS-BD adalah pilihan endoskopi minimal invasif

yang ditawarkan sebagai alternative PTBD. Hal ini memiliki tingkat morbiditas mulai

mulai dari 9% hingga 67% dan mortalitas hingga 3% pada periode pasca operasi. 17

Gambar 14.

(a) 1. Transgastric. 2. Transduodenal. (b) Choledochoduodenostomy. (c)

Hepaticogastrostomy. (d) Endoskopi teknik pertemuan terpandu USG (EUS). Langkah

1: tusukan saluran empedu transgastrik dan kabel petunjuk transpapillary antegrade

penyisipan (EUS scope) Langkah 2: retrograde biliary stenting di atas kawat

transpapillary (duodenoscope). (e) Teknik antegrade.

2.12 PENATALAKSANAAN
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang

hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi

makanan berlemak.7

Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun

telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan

kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan

kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan

makanan.7 Pilihan penatalaksanaan antara lain: 14

I. Terapi Non Bedah

Terapi non bedah merupakan pilihan terapi untuk batu empedu berupa terapi

disolusi oral dengan asam empedu, asam ursodeoxycholic dan chenodeoxycholic;

contact dissolution dengan bahan pelarut organic (metil tert – butyl eter), dan

extracorporeal shock wave biliary lithotripsy. Terapi ini jarang digunakan saat ini.

Terapi disolusi oral diindikasikan batu kolesterol simtomatik dan kandung empedu

yang berfungsi dengan normal. Terapi ini hanya efektif pada batu kolesterol, oleh

karena itu tidak diindikasikan pada batu dengan gambaran radioopak atau bila

terdapat kalsifikasi pada gambaran CT – Scan. Disolusi batu tersebut berhasil pada

40 % pasien, namun angka kekambuhannya 50 % dalam 5 tahun bila terapi

dihentikan. Contact dissolution dengan pelarut organic membutuhkan kanulasi ke

kandung empedu dengan infuse pelarut ke kandung empedu. Terapi ini juga hanya

efektiif pada batu kolesterol dengan angka kekambuhan yang hampir sama dengan

disolusi oral.7,16

Extracorporeal shock wave lithotripsy merupakan terapi yang cukup

menjanjikan untuk pilihan terapi non bedah sebagai tatalaksana batu simtomatik.

Terapi ini dilakukan pada pasien dengan batu tunggal dengan diameter 0,5 – 2 cm,
dengan angka kekambuhan yang lebih rendah yaitu sekitar 20 %. Sekali lagi, hanya

sebagian kecil pasien yang mampu memenuhi criteria tindakan ini. Terapi ini tidak

pernah dianjurkan oleh FDA Amerika sebagai terapi disolusi batu empedu.7,16

II. Terapi Bedah

Biasanya hanya kasus yang menimbulkan gejala dengan episode nyeri

berulang yang akan dilakukan terapi pembedahan. Terapi definitif kasus kolelitiasis

ialah kolesistektomi elektif yang telah terbukti meningkatkan angka harapan

hidup.16

1) Kolesistektomi Laparaskopi

Kolesistektomi laparoskopi merupakan tatalaksana gold standard dalam

menangani kasus kolelitiasis. Metode ini mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan

sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu

empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian

dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi

komplikasi pada jantung dan paru.7 Kandung empedu diangkat melalui selang yang

dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.14,16

Kolesistektomi laporoskopi angatlah beragam, mulai dari mudah hingga

kompleks, hal-hal yang mempengaruhinya antara lain anatomi pasien, variasi kasus

pada tiap penderita dan factor komordibitas yang mendasarinya.16

Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya

kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah

mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien

dengan batu duktus koledokus.14


Laparoskopi diindikasikan pada kasus batu empedu simtomatik dengan kolik

bilier, kolesistitis akut atau kronis, pankreatitis batu empedu, diskinesia bilier, atau

komplikasi lain dan manifestasi penyakit batu empedu.16

Laparoskopi dikontraindikasikan pada pasien yang tidak dapat dilakukan

anestesi umum. Sebelumnya, kasus kolelitiasis dengan kehamilan, sirosis, dan

koagulopati dianggap sebagai kontraindikasi untuk laparoskopi, namun menurut

penelitian yang terbaru hal tersebut disangkal.16

Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional

adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan,

pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik.

Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan

dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat

terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.14

Gambar 15.
Peletakkan trokar pada laparoskopi kolesistektomi. Laparoskopi melalui port 10 mm di atas

umbilicus. Port tambahan lainnya pada epigastrium, subkostae sejajar garis midklavikula dan

aksilaris anterior kanan.

Gambar 16.

Metode yang salah (A) dan benar (B) dalam penarikan kandung empedu sehingga duktus

sistikus dan duktus koledokus terlihat segaris.

Gambar 17.

Diseksi triangle of Calot


Gambar 18.

Laparoskopi Kolesistektomi

2) Kolesistektomi Terbuka

Hanya sekitar 10% kolesistektomi dilakukan secara terbuka. Komplikasi yang

paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada

0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari

0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris

rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Secara umum, kolesistektomi terbuka telah

teruji aman dengan tingkat kematian kurang dari 1% bila dilakukan pada pasien

yang sehat. 14,16

Ketika curiga terdapat batu dalam saluran empedu pasien, pemeriksaan ERCP

(Endoscopy Retrograde Cholangiopancreatography) dapat dilakukan untuk

menegakkan diagnosis sebelum diputuskan untuk menjalani tindakan

kolesistektomi laparoskopi. Namun, apabila tindakan kolesistektomi laparoskopi


tidak berjalan dengan baik, maka operasi terbuka dapat dilakukan. Faktor lainnya

yang menjadi indikasi tindakan pembedahan terbuka antara lain; pasien yang

berusia diatas 60 tahun, laki-laki, berat badan lebih dari 65kg, kolesistitis akut,

riwayat operasi abdomen sebelumnya, dan diabetes yang tidak terkontrol. Indikasi

lainnya ialah terdeteksi adanya massa di kandung empedu, sindrom Mirizzi dan

ileus batu empedu.16

Perbandingan Kolesistektomi Laparoskopi dengan Kolesistektomi Terbuka

Laparoskopi dikaitkan dengan tingkat morbiditas, komplikasi dan mortalitas

yang lebih rendah dari pada tindakan kolesistektomi terbuka konvensional. Sebuah

studi menemukan bahwa tindakan kolesistektomi laparoskopi dikaitkan dengan 1,9%

dan 1% morbiditas dan mortalitas, masing-masing dibandingkan dengan operasi

terbuka yang dikaitkan dengan 7,7% dan 5% mordibitas dan mortalitas. 16

Pada pasien obesitas, laparoskopi membawa peningkatan signifikan dalam

mordibitas dan mortalitas dari pada tindakan kolesistektomi terbuka. Di sisi lain,

laparoskopi dapat dikaitkan dengan beberapa efek samping dan komplikasi termasuk

cedera saluran empedu, perdarahan atau abses sub-hepatik, yang lebih jarang terjadi

pada tindakan kolesistektomi terbuka. Cedera saluran empedu dianggap komplikasi

yang paling serius yang harus dipantau secara ketat. Tindakan cedera saluran empedu

utamanya lebih tinggi pada laparoskopi disbanding pada operasi terbuka. Komplikasi

penting lainnya adalah pendarahan akibat cedera arteri pada tindakan laparoskopi.16

2.13 PROGNOSIS

Sekitar 10 – 15 % pasien mengalami choledocholithiasis. Prognosis bergantung

pada kehadiran dan tingkat keparahan komplikasi. Namun, adanya infeksi dan halangan
disebabkan oleh batu yang berada di dalam saluran biliaris sehingga dapat mengancam

jiwa. Walaupun demikian, dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat,

hasil yang didapatkan biasanya baik.10

BAB III

KESIMPULAN

Batu empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran

empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu

di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis. Batu empedu biasanya menimbulkan gejala

dan keluhan bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu,

gambaran klinis penderita batu empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang

ringan atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).

Kejadian batu kandung empedu atau kolelitiasis di negara-negara industri antara 10-

15%. Di Amerika Serikat, insiden kolelitiasis diperkirakan 20 juta orang, dengan 70%

diantaranya didominasi oleh batu kolesterol dan 30% sisanya terdiri dari batu pigmen dan

komposisi yang bervariasi. Prevalensi tergantung pada jenis kelamin, usia, etnis, dan lain

sebagainya.
Kasus batu empedu lebih umum ditemukan pada wanita. Faktor resiko batu empedu

memang dikenal dengan 4-F, yaitu Fatty (gemuk), Fourty (40th), Fertile (subur), dan Female

(wanita). Wanita lebih beresiko mengalami batu empedu karena pengaruh hormon estrogen.

Meski wanita dan usia 40 tercatat sebagai faktor resiko batu empedu, itu tidak berarti bahwa

wanita di bawah 40 dan pria tidak mungkin terkena. Penderita diabetes mellitus, baik wanita

maupun pria, beresiko mengalami komplikasi batu empedu akibat kolesterol tinggi. Selain itu,

anak-anak pun bisa mengalami penyakit seperti ini, terutama anak dengan penyakit kolesterol

herediter.

Walaupun batu empedu dapat terjadi di mana saja dalam saluran empedu, namun batu

kandung empedu ialah yang tersering didapat. Bila batu empedu ini hanya berada dalam

kandung empedu biasanya tidak menimbulkan gejala apapun. Gejala-gejala yang biasanya

timbul bila batu ini keluar menuju duodenum melalui saluran empedu dapat menyebabkan

kolik bilier akibat iritasi, hidrops, atau empiema akibat obstruksi duktus sisitikus. Bila

obstruksi terjadi pada duktus koledokus maka dapat terjadi kolangitis ascendens, ikterus, dan

kadang-kadang sirosis bilier.

Jika batu kandung empedu tidak menimbulkan gejala biasanya pasien tidak memerlukan

tindakan operasi, namun cukup dengan pemberian obat-obatan. Meski demikian, kebanyakan

kasus batu kandung empedu yang membutuhkan tindakan operasi yang disebut

kolesistektomi. Saat ini operasi sudah biasa dilakukan dengan laparaskopi atau bedah

minimal. Dengan hanya sayatan kecil, proses pemulihannya dapat lebih cepat. Bedah minimal

juga hanya menimbulkan sedikit nyeri dan kalaupun terjadi komplikasi hanya ringan saja,

tidak seperti bedah terbuka. Ada pula kasus yang mengharuskan kandung empedu diangkat.

Walaupun organ ini sudah dibuang, seseorang tetap bisa melanjutkan kehidupannya dengan

normal dan produktif karena sebenarnya kandung empedu hanya berfungsi sebagai tempat

penampungan. Setelah menjalani pengangkatan kandung empedu, pasien sebaiknya


memperhatikan pola makan, yaitu dengan membatasi asupan makanan berlemak atau

berminyak. Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2014.570-579.
2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery).
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.459-64.
3. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 6. Jakarta:Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2016.380-4.
4. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Sistem empedu dalam : Buku Ajar Bedah. Esentials of Surgery, Edisi 12. Jakarta: EGC,
2014.
5. Brunicardi, F. Charles, Andersen, Dana K., et al. Gallbladder and the Extrahepatic Biliary
System. In : Schwartz’s Principles of Surgery. The McGraw – Hill Companies. 2015.
6. Center SA. Diseases of the gallbladder and biliary tree. Vet Clin North Am Small Anim
Pract. May 2015;39(3):543-98. Diakses pada tanggal 7 Februari 2020 melalui
(http://reference.medscape.com/medline/abstract/19524793)
7. Nakeeb, Attila, Ahrendt, Steven A., et al. Calculous Biliary Disease. In : Greenfield's
Surgery: Scientific Principles and Practice. 6th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
2012.
8. Dauer M, Lammert F. Mandatory And Optional Function Tests For Biliary Disorders.
Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2017;23(3):441-51. Diakses pada tanggal 7 Februari
2020 melalui (http://reference.medscape.com/medline/abstract/19505670)
9. Snell, RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke 6. Jakarta: EGC; 2012.
10. Douglas M. Heuman. 2015. Gallstones (Cholelithiasis). Emedicine Medscape Updated,
Jan 20, 2015. Diakses pada tanggal 7 Februari 2020 melalui
(http://emedicine.medscape.com/article/175667)
11. Gilani SN, Bass G, Leader F, Walsh TN. Collins' sign: validation of a clinical sign in
cholelithiasis. Ir J Med Sci. Aug 14 2013; Diakses pada tanggal 7 Februari 2020 melalui
(http://reference.medscape.com/medline/abstract/19685000)
12. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi IV 2012, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
13. Beckingham, IJ. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System Gallstone
Disease. Dalam: British Medical Journal Vol 13, Januari 2011: 322 (7278): 91–94.
Diakses 7 Februari 2020 melalui (http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=1119388).
14. Britton, Julian, Bickerstaff, Kenneth I., et al. Benign Diseases of The Biliary Tract.
Oxford Textbook of Surgery. Oxford University Press. 2012.
15. Keshav.S. The Gastrointestinal System at a Glance. London: Blackwell Science; 2014.
16. Al-saad MH., et al. Surgical Management of Cholelithiasis. Egypt: The Egyption Journal
of Hospital Medicine, 2020.
17. A Hedjoudje, et al. Original Article: Outcomes of endoscopic ultrasound-guided biliary
drainage: A systematic review and meta analysis. Europe: United European
Gastroenterology UEG Journal. 2019.

Anda mungkin juga menyukai