Anda di halaman 1dari 34

Referat

KOLELITIASIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di


Departemen Ilmu Bedah RSMH Palembang

Oleh:
Siti Aisyah, S.Ked 04054822022010
Retno Putri Nusantari, S.Ked 04054822022176

Pembimbing:
dr. M Hafidh Komar, SpB-KBD

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul
Kolelitiasis

Disusun oleh :
Siti Aisyah, S.Ked
Retno Putri Nusantari, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/ Departemen Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin
Palembang periode 24 Februari – 27 April 2020.

Palembang, Maret 2020


Pembimbing

dr. M Hafidh Komar, SpB-KBD

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji kepada Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan referat berjudul “kolelitiasis” ini sebagai salah
satu syarat Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus atas
segala bantuan dan bimbingan yang telah penulis dapatkan sehingga tugas ini
dapat terselesaikan, terutama kepada yang terhormat dr. M Hafidh Komar, SpB-
KBD selaku pembimbing yang telah memberikan bantuan, dan semua pihak yang
telah membantu menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat
ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu,kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa
yang akan datang. Semoga laporan ini memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.

Palembang, Maret 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................3
2.1 Anatomi Kandung Empedu...........................................................................3
2.2 Fisiologi Kandung Empedu...........................................................................6
2.3 Kolelitiasis.....................................................................................................8
2.3.1 Definisi....................................................................................................8
2.3.2 Epidemiologi...........................................................................................9
2.3.3 Etiologi dan Patofisiologi........................................................................10
2.3.4 Diagnosis.................................................................................................14
2.3.4.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik....................................................14
2.3.4.2 Pemeriksaan penunjang.....................................................................16
2.3.5 Penatalaksanaan......................................................................................21
2.3.6 Komplikasi..............................................................................................24
2.3.8 Prognosis.................................................................................................26
BAB III KESIMPULAN....................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................29

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit batu empedu atau kolelitiasis adalah kondisi adanya atau


terbentuknya batu empedu pada kandung empedu atau salurannya 1. Batu empedu
adalah endapan yang mengeras dari komponen cairan empedu. Berdasarkan
komponen pembentuknya, batu empedu diklasifikasikan menjadi batu kolesterol,
batu pigmen empedu, dan batu campuran. Kolelitiasis merupakan salah satu
masalah gastrointestinal dan penyebab tersering dilakukannya intervensi bedah.
Sekitar 500.000 prosedur kolesistektomi di Amerika Serikat telah dilakukan setiap
tahunnya. Kolelitiasis terjadi pada sekitar 10% populasi usia dewasa di Amerika
Serikat, dengan jenis batu empedu kolesterol ditemukan paling dominan pada
70% dari semua kasus dan 30% sisanya terdiri atas batu pigmen dan jenis batu
dari sejumlah komposisi lain2. Kolelitiasis lebih sering ditemukan di negara-
negara barat, akan tetapi kejadiannya meningkat di negara-negara Afrika dan Asia
selama abad ke 20. Di Indonesia prevalensi penderita batu empedu tidak diketahui
secara pasti, dikarenakan belum banyaknya publikasi resmi tentang tingkat
kejadian batu empedu di Indonesia.

Etiologi terbentuknya batu empedu bersifat multifaktorial, diantaranya


usia, jenis kelamin, dan latar belakang etnis. Selain itu, obesitas, kehamilan,
faktor makanan, penyakit Crohn, reseksi ileum terminal, operasi lambung,
sferositosis herediter, penyakit sel sabit, dan talasemia juga berhubungan dengan
peningkatan risiko berkembangnya batu empedu2. Manifestasi klinik dari batu
empedu ialah nyeri episodik (kolik bilier), inflamasi akut di kandung empedu
(kolesistitis akut) atau inflamasi di saluran empedu (kolangitis akut), komplikasi-
komplikasi akibat migrasi batu empedu ke dalam koledokus seperti pankreatitis,
obstruksi saluran empedu yang dapat mengganggu fungsi hati yakni ikterus
obstruktif sampai sirosis bilier. Sebagian besar kejadian kolelitiasis di Asia adalah
yang tidak mempunyai keluhan maupun gejala (asimptomatik)3. Risiko
penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relatif kecil.

1
Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik
yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus
meningkat.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru, maka akan
semakin banyak penderita batu kandung empedu yang dideteksi secara dini
sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin
canggihnya peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan, maka
akan sangat berdampak pada berkurangnya angka morbiditas dan mortalitas. Pada
referat ini, akan dibahas secara mendalam mengenai kolelitiasis, mulai dari
anatomi hingga bagaimana tatalaksananya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kandung Empedu


Kandung empedu (vesikafelea) adalah kantung berbentuk seperti buah pir
yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Lapisan peritoneum yang sama yang
menutupi hati juga menutupi fundus dan permukaan inferior kandung empedu.
Panjang kandung empedu sekitar 7-10 cm dengan kapasitas rerata yaitu 30-50 ml2.
Fungsi utama kandung empedu yaitu sebagai tempat mengonsentrasikan dan
menyimpan empedu yang diproduksi dari hati sampai dilepaskan ke dalam usus.
Fungsi empedu dikendalikan oleh enzim cholecystokinin pancreozymin (CCK-PZ)
yang dilepaskan dari mukosa usus halus karena adanya rangsangan makanan yang
masuk kedalam usus. CCK akan merangsang kandung empedu untuk berkontraksi
dan mengeluarkan cairan empedu yang selanjutnya akan digunakan untuk
membantu melarutkan lemak didalam usus4.

Gambar 1. Anatomi kandung empedu dan organ disekitarnya

Secara anatomis, kandung empedu terbagi menjadi corpus, fundus dan


leher yang terdiri atas tiga pembungkus yaitu serosa peritoneal di bagian luar,
jaringan otot tak bergaris di bagian tengah serta membran mukosa di bagian dalam

3
yang kemudian bersambung dengan lapisan saluran empedu. Membran mukosa
tersebut memuat sel epitel silindris yang mengeluarkan secret musin dan cepat
mengabsorbsi air dan elektrolit, tetapi tidak dengan garam atau pigemen, hal
inilah yang membuat empedu menjadi pekat. Ketika terjadi obstruksi, kandung
empedu dapat mengembang dengan daya tampung hingga lebih dari 300 mL5.

Gambar 2. Bagian-bagian kandung empedu dan salurannya5

Saluran empedu ekstrahepatik terdiri dari duktus hepatikus kanan dan kiri,
duktus hepatikus komunis, duktus cystikus, dan duktus koleodokus.
Adapun bagian-bagian dan saluran dari kandung empedu terdiri atas 5,6 :
1. Fundus Kandung Empedu
Berbentuk bulat, merupakan ujung dari kandung empedu yang sedikit memanjang
dan berada di atas tepi hati. Fundus berhubungan dengan dinding anterior
abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Sebagian besar tersusun atas otot
polos dan jaringan elastik. Merupakan tempat penampungan empedu.
2. Korpus Kandung Empedu

4
Bentuknya terbesar dari kandung empedu dan ujungnya membentuk leher dari
kandung empedu. Berisikan getah empedu yang berasal dari sekeresi sel hati
sebanyak 500-1000 cc setiap harinya.
3. Leher Kandung Empedu
Merupakan saluran tempat masuknya getah empedu pertama kali yang nantinya
akan dipekatkan kedalam kandung empedu. Saat terjadi distensi akibat bendungan
oleh batu, bagian infundibulum akan menonjol seperti kantung yang disebut
sebagai kantong Hartmann. Kantong Hartmann adalah bulbus divertikulum
kecil yang terletak pada permukaan inferior dari kandung kemih, yang
secara klinis bermakna karena proksimitasnya dari duodenum dan karena batu
dapat terimpaksi ke dalamnya.
4. Duktus Cystikus
Memiliki panjang sekitar tiga setengah sentimeter dengan diameter 2-3 mm.
Berjalan dari leher kandung empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus
sambil membentuk saluran empedu ke duodenum. Menghubungkan kandung
empedu ke duktus koledokus. Dinding lumennya mengandung katup berbentuk
spiral yang disebut katup Heister yang memudahkan cairan empedu masuk
kedalam kandung empedu, tetapi menahan aliran keluarnya.
5. Duktus hepatikus
Merupakan sebuah saluran yang keluar dari leher empedu serta juga bersama
dengan duktus cystikus akan membentuk saluran empedu (duktus koledokus).
Duktus hepatikus kiri lebih panjang dari kanan dan memiliki kecenderungan lebih
besar untuk dilatasi sebagai akibat dari obstruksi distal. Panjang duktus hepatikus
kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm dan memiliki diameter sekitar 4 mm.
6. Duktus koledokus
Saluran empedu umumnya sekitar 7–11 cm dan diameter 5-10 mm. Merupakan
saluran yang akan membawa cairan empedu ke duodenum. Duktus koledokus
berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding
duodenum membentuk papilla Vater yang terletak di sebelah medial dinding
duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur
aliran empedu ke dalam duodenum.

5
7. Duktus pankreatikus
Umumnya bermuara ditempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam
papilla Vater, tetapi dapat juga terpisah. Duktus pankreatikus memiliki dua
saluran yang mengalirkan hasil sekresi pankreas ke dalam duodenum yaitu Ductus
Wirsung, yang bersatu dengan duktus choledukus, kemudian masuk ke dalam
duodenum melalui sphincter oddi dan Ductus Sartorini, berbentuk lebih kecil dan
langsung masuk ke dalam duodenum di sebelah atas sphincter oddi. Saluran ini
memberi petunjuk dari pankreas dan mengosongkan duodenum sekitar 2,5 cm di
atas ampulla hepatopankreatik.

Gambar 3. Bagian-bagian duktus pankreatikus

2.2 Fisiologi Kandung Empedu


Sel-sel hati secara terus menerus mensekresikan empedu, namun sebagian
besar normalnya disimpan dalam kandung empedu sampai diperlukan di
duodenum7. Cairan empedu yang berada dalam kandung empedu berbeda
komposisinya dengan empedu hepar. Anion inorganik (klorida dan bikarbonat)
dan air banyak direabsorpsi melalui epitel kandung empedu, sehingga
konsenterasi cairan empedu meningkat dari 3-4 g/dL menjadi 10-15 g/dL di
kandung empedu8. Normalnya, empedu dipekatkan sebanyak 5 kali lipat, tetapi
dapat dipekatkan sampai maksimal 20 kali lipat. Penyimpanan empedu yang
terkonsenterasi menjadikan kandung empedu sebagai lokasi utama bagi presipitasi
konstituen empedu terkonsenterasi menjadi batu empedu9.
Empedu disekresikan oleh hati normalnya antara 600 – 1000 mL/hari.
Empedu memainkan peran penting dalam pencernaan dan absorbsi lemak karena

6
asam empedu dalam empedu membantu mengemulsi partikel-partikel lemak yang
besar dalam makanan menjadi banyak partikel kecil sehingga dapat dipecah oleh
enzim lipase. Absorpsi produk akhir lemak yang telah dicerna melalui membran
mukosa intestinal juga dibantu oleh asam empedu. Beberapa produk buangan
yang penting dari darah, terutama bilirubin dan kolesterol diekskresikan oleh
empedu. Garam empedu adalah zat yang paling banyak disekresikan dalam
empedu, yang banyaknya kira-kira setengah dari total zat-zat yang juga terlarut
dalam empedu. Zat lain yang juga disekresikan atau diekskresikan dalam
konsentrasi besar adalah bilirubin, kolesterol, lesitin, dan elektrolit yang biasa
terdapat dalam plasma7.
Sel-sel hepatik membentuk garam empedu menggunakan kolesterol yang
ada di plasma darah. Setiap harinya, sekitar 1 sampai 2 gram kolesterol
dipindahkan dari plasma darah dan disekresikan ke dalam empedu pada proses
sekresi garam empedu7.Garam empedu dapat melarutkan substansi-substansi
yang pada dasarnya tidak dapat larut dalam air karena molekulnya menyerupai
deterjen8.
Sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk
metabolisme lemak dalam tubuh akibatnya jumlah kolesterol dalam empedu
sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang di konsumsi. Pembentukan batu
empedu dianggap akan mudah dialami oleh orang yang melakukan diet tinggi
lemak dalam waktu bertahun-tahun7.Konsenterasi kolesterol dan perbandingan
antara asam empedu dan lesitin memengaruhi kelarutan kolesterol dalam cairan
empedu. Kolesterol akan larut pada perbandingan yang normal, sedangkan
presipitasi kristal-kristal kolesterol dalam cairan empedu dapat terbentuk pada
perbandingan yang tidak normal. Hal ini salah satu faktor awal terbentuknya batu
kolesterol8.
Mekanisme pengosongan kandung empedu adalah dari kontraksi ritmis
dindingnya, tetapi pengosongan yang efektif juga membutuhkan relaksasi
sphincter Oddi secara bersamaan, yang menjaga pintu keluar ductus biliaris
comumnis ke dalam duodenum. Rangsang yang paling poten menyebabkan
kontraksi dinding kandung empedu adalah hormon cholecystokinin (CCK). CCK

7
dilepaskan dalam darah terutama akibat kehadiran makanan berlemak dalam
duodenum. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung
empedu berlangsung buruk. Kandung empedu juga dirangsang secara kurang kuat
oleh serabut-serabut saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan
enterik usus. Keduanya adalah saraf yang sama yang meningkatkan motilitas dan
sekresi traktus gastrointestinal bagian atas7.

Gambar 4. Fisiologi Kandung Empedu7

2.3 Kolelitiasis
2.3.1 Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang terbentuk sebagai akibat
dari padatan yang mengendap. Kolelitiasis merupakan endapan satu atau lebih
komponen empedu kolesterol, bilirubin, protein, garam empedu dan asam lemak.

8
Batu empedu bisa terdapat pada kandung empedu, saluran empedu ekstra hepatik,
atau saluran empedu intra hepatik. Bila terletak di dalam kandung empedu saja
disebut kolesistolitiasis, dan yang terletak di dalam saluran empedu ekstra
hepatik (duktus koleduktus) disebut koledokolitiasis, sedang bila terdapat di
dalam saluran empedu intra hepatik disebelah proksimal duktus hepatikus kanan
dan kiri disebut hepatolitiasis. Kolesistolitiasis dan koledokolitiasis disebut
dengan kolelitiasis.
Batu empedu diklasifikasikan berdasarkan kandungan kolesterolnya
sebagai batu kolesterol atau batu pigmen. Disebut sebagai batu pigmen karena
mengandung kalsium bilirubinat dalam jumlah yang lebih dominan dibandingkan
kolesterol (kolesterol <50%). Batu pigmen selanjutnya dapat diklasifikasikan
sebagai hitam atau coklat. Batu pigmen hitam tersusun atas kalsium bilirubinat
(80%), kalsium karbonat, kalsium fosfat, glikoprotein dan sedikit kolesterol.
Dikarenakan pigmen bilirubin merupakan komponen penyusun terbanyak, maka
penyakit-penyakit tertentu yang dapat meningkatkan kadar bilirubuin seperti
anemia hemolitik dan serosis hati akan memudahkan terbentuknya batu pigmen
hitam. Batu pigmen hitam hampir selalu terbentuk didalam kandung empedu
(disebut sebagai batu primer), sedangkan batu pigmen coklelat lebih sering
terbentuk di luar kandung empedu, bisa di duktus hepatikus atau duktus
koleodukus (disebut sebagai batu sekunder). Di negara-negara Barat, sekitar 80
persen batu empedu adalah batu kolesterol dan sekitar 15-20 persen adalah batu
pigmen hitam. Batu pigmen coklat hanya mewakili sebagian kecil. Kedua jenis
batu pigmen lebih umum ditemukan di Asia2.

2.3.2 Epidemiologi
Kolelitiasis cukup umum dan dapat ditemukan pada sekitar 6% pria dan
9% wanita. Prevalensi tertinggi kolelitiasis muncul pada populasi penduduk asli
Amerika. Di negara-negara Barat, prevalensi penyakit batu empedu dilaporkan
berkisar dari sekitar 7,9% pada pria hingga 16,6% pada wanita Batu empedu
jarang ditemukan di Afrika atau Asia. Di Asia, berkisar 3% hingga 15% , hampir

9
tidak ada (kurang dari 5%) di Afrika , dan berkisar dari 4,21% hingga 11% di
Cina10.
Terlepas dari seberapa lazimnya batu empedu, lebih dari 80% orang tidak
menunjukkan gejala. Tanda nyeri bilier hanya berkembang sebesar 1% sampai 2%
pertahunnya pada individu yang sebelumnya tidak menunjukkan gejala. Individu
yang mulai mengalami gejala, dapat mengalami komplikasi selanjutnya
(kolesistitis, koledokolithiasis, pankreatitis batu empedu, kolangitis) yang terjadi
pada tingkat 0,1% hingga 0,3% per tahun11.
Prevalensi batu empedu berhubungan dengan banyak faktor, termasuk
usia, jenis kelamin, dan latar belakang etnis. Obesitas, kehamilan, faktor makanan,
penyakit Crohn, reseksi ileum terminal, operasi lambung, sferositosis herediter,
penyakit sel sabit, dan talasemia yang semua yang berhubungan dengan
peningkatan risiko mengembangkan batu empedu. Wanita tiga kali berisiko
mengalami batu empedu dibandingkan laki-laki, dan kerabat tingkat pertama
penderita dengan batu empedu memiliki prevalensi dua kali lipat lebih besar
untuk mengalami hal yang sama2. Perbedaan tampaknya disebabkan terutama oleh
estrogen, yang meningkatkan sekresi kolesterol bilier. Risiko batu empedu,
meningkat seiring bertambahnya usia. Batu empedu jarang terjadi pada anak-anak
tanpa adanya kelainan bawaan atau kelainan hemolitik. Mulai saat pubertas,
konsentrasi kolesterol dalam empedu meningkat. Setelah usia 15 tahun, prevalensi
batu empedu pada wanita AS meningkat sekitar 1% per tahun; pada pria, nilainya
lebih rendah, sekitar 0,5% per tahun. Batu empedu terus terbentuk sepanjang
kehidupan dewasa, dan prevalensinya paling besar pada usia lanjut. Insiden pada
wanita turun dengan menopause, namun pembentukan batu pada pria dan wanita
tetap meningkat sekitar 0,4% per tahun sampai akhir usia12.

2.3.3 Etiologi dan Patofisiologi2,4


Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu
campuran. Dua zat utama yang terlibat dalam pembentukan batu empedu adalah
kolesterol dan kalsium bilirubinat. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin

10
dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu
menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol,
kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi. Kristal yang terbentuk dalam kandung
empedu, akan bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu.
Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan statis
kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan
konsentrasi kalsium dalam kandung empedu. Faktor motilitas kandung empedu,
biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu
empedu.
1. Batu Kolesterol
Kolesterol merupakan komponen lemak sederhana yang didalam tubuh digunakan
untuk menyusun membrane sel dan bahan pembentuk hormone steroid serta
penyusun asam empedu. Namun jumlah kolesterol yang berlebihan dapat
menyebabkan aterosklerosis dan meningkatkan risiko terbentuknya batu empedu.
Terdapat tiga hal yang memudahkan terjadinya batu kolesterol dalam kandung
empedu :
a. Supersaturasi Kolesterol
Kolesterol disintesisi di hati dan dieksresikan dalam bentuk garam
empedu. Perubahan komposisi garam empedu akan mempengaruhi risiko
terbentuknya batu kolesterol. Secara umum, komposisi cairan empedu
yang berpengaruh terhadap terbentuknya batu bergantung pada
keseimbangan garam empedu, kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar
kolesterol atau semakin rendah kandungan garam empedu akan membuat
keadaan di dalam kandung empedu menjadi jenuh akan kolesterol
(supersaturasi).
Berdasarkan penelitian, wanita memiliki risiko lebih besar menderita batu
kandung empedu dibandingkan pria. Hal ini disebabkan karena wanita
mempunyai kadar estrogen yang lebh tinggi. Estrogen mempunyai efek
menurunkan produksi asam empedu dan meningkatkan kandungan
kolesterol dalam cairan empedu. Wanita yang mengonsumsi pil

11
kontrasepsi dan wanita post menopause yang minum hormone estrogen
mempunyai risiko 2,5 kali mengalami pembentukan batu empedu.
Kegemukan juga berkorelasi kuat dengan pembentukan batu empedu.
Lima puluh persen pasien yang mengalami kegemukan ditemukan
mempunyai batu empedu saat pembedahan. Penurunan berat badan yang
terlalu cepat akan menyebabkan hati mensintesis kolesterol lebih banyak.
Akaibatnya, kolesterol yang diekskresi juga lebih banyak dan terjadi
supersaturasi kolesterol
b. Pembentukan inti kolesterol
Faktor pembentukan inti kolesterol mempunyai peran lebih besar dalam
proses pembentukan batu dibandingkan faktor supersaturasi. Kolesterol
diangkut oleh misel dan vesikel. Misel merupakan agregat (gumpalan)
yang berisi fosfolipid (terutama lesitin), garam empedu dan kolesterol.
Apabila saturasi kolesterol lebih tinggi maka akan diangkut oleh vesikel.
Vesikel dapat digambarkan sebagai sebuah lingkaran dua lapis. Apabila
konsentrasi kolesterol sedemikian banyak, agar kolesterol tersebut dapat
terangkut, vesikel memperbanyak lapisan lingkarannya sehingga disebut
sebagai vesikel berlapis (vesicles multilamellar). Pada akhirnya di dalam
kandung empedu, pengangkut kolesterol, baik misel dan vesikel
bergabung menjadi vesikel multilapis. Vesikel ini dengan adanya protein
musin akan membentuk Kristal kolesterol. Kristal kolesterol yang
terfragmentasi pada akhirnya akan disatukan oleh protein empedu
membentuk batu kolesterol
c. Penurunan Fungsi Kandung Empedu
Kandung empedu berfungsi sebagai penyimpan cairan empedu. Cairan
tersebut akan disemprotkan keluar melalu duktus sistikus-duktus
koleodokus ke duodenum setelah sfingter oddi terbuka, apabila ada
makanan yang dikonsumsi seseorang. Menurunnya daya menyemprot dan
kerusakan dindng kandung empedu memudahkan seseorang menderita
batu empedu.

12
Daya semperot atau kontraksi yang melemah akan menyebabkan statis
empedu. Statis empedu akan membuat musin yang di produksi kandung
empedu terakumulasi, seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung
dalam kandung empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan semakin
pekat sehingga semakin menyulitkan pengosongan cairan empedu.
Pada keadaan daya kontraksi kandung empedu yang sudah menurun,
apabila didalam kandung empedu tersebut sudah terbentuk kristal maka
kristal tersebut tidak akan dapat dibuang ke duodenum. Akibatnya, proses
pembentukan batu terjadi semakin cepat. Beberapa keadaan yang dapat
mengganggu daya kontraksi kandung empedu adalah hipomotilitas
empedu, parenteral oral yang menyebabkan aliran empedu menjadi
lambat, kehamilan, cedera medulla spinalis dan penyakit kencing manis.
2. Batu Pigmen
Terdapat dua jenis batu pigmen yaitu batu pigmen cokelat dan hitam:
a. Batu pigmen cokelat
Batu pigmen coklat terbentuk akibat adanya faktor stasis (aliran lambat)
dan infeksi pada system saluran empedu. Stasis dapat disebabkan adanya
disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan parasit. Umumnya batu
pigmen coklat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu terinfeksi.
Bakteri yang sering menimbulkan infeksi di saluran empedu adalah
Escherichia Coli dan Kleibsella spp. Bakteri ini menghasilan
glukoronidase sehingga memudahkan perubahan bilirubin terkonjugasi
menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin jenis ini mudah mengendap di
saluran empedu.
b. Batu pigmen hitam
Batu pigmen hitam terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Patogenesi
terbentuknya batu pigmen hitam ini belum jelas. Umumnya terbentuk
dalam kandung empedu yang steril. Batu pigmen hitam terjadi akibat
melimpahnya bilirubin tak terkonjugasi dalam cairan empedu. Peningkatan
ini disebabkan oleh karena peningkatan sekresi bilirubin akibat hemolisis,
proses konjugasi bilirubin yang tidak sempurna (penyakit sirosis hati) dan

13
proses dekonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi ini kemudian membentuk
kompleks dengan ion kalsium bebas membentuk kalsium bilirubinat yang
mempunyai sifat sangat tidak larut. Proses asidifikasi yang tidak sempurna
menyebabkan peningkatan pH dan keadaan ini merangsang pembentukan
garam kalsium. Kalsium bilirubinat yang terbentuk akan terikat dengan
musin dan tertahan di kandung empedu. Hal ini sebagai awal proses
terbentuknya batu

2.3.4 Diagnosis
2.3.4.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik4
Penderita dengan batu empedu dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
penderita dengan batu asimptomatik, penderita dengan batu empedu simptomatik
(nyeri bilier) dan penderita dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut,
ikterus, kolangitis dan pankreatitis).
Lokasi dan ukuran batu empedu menentukan ada tidaknya keluhan atau
komplikasi pada pasien batu empedu. Sebagai contoh, batu yang terletak didalam
kandung empedu dan tidak menyumbat ruang Hartmann atau duktus cystikus atau
duktus koleodokus tidak akan memberikan keluhan apapun pada pasien. Namun
apabila batu bermigrasi ke dalam duktus sistikus dan menutup rapat duktus
sistikus maka penderita akan mengalami nyeri perut yang hebat (kolik bilier),
apabila sumbatan tersebut tidak segera lepas maka komplikasi kolesistitis akut
bisa terjadi. Demikian halnya apabila batu bermigrasi ke duktus koleodukus dan
menyumbat total saluran tersebut, maka penderita akan datang dengan keluhan
mata kuning (karena kadar bilirubin meningkat) dan bila keadaan ini dibiarkan
terus menerus, maka suatu saat penderita akan mengalami infeksi saluran empedu
atau kolangitis. Semakin kecil ukuran batu, semakin mudah batu untuk bermigrasi
ke duktus cystikus atau koleodokus.

14
Gambar 5. Kemungkinan lokasi batu di saluran empedu4

a. Batu Empedu Asimtomatik


Setengah sampai dua pertiga penderita kolelitiasis tidak menunjukkan
gejala. Keluhan yang dirasakan adalah dispepsia yang terkadang disertai
intoleran terhadap makanan berlemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas,
rasa tidak nyaman pada perut bagian kanan atas. Gejala tersebut bersifat
tidak spesifik karena bisa terjadi pada orang dewasa dengan atau tanpa
kolelitiasis.
b. Batu Empedu Simtomatik
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu
akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita
panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat
mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan
atas. Serangan kolik bilier disebabkan oleh kontraksi kandung empedu
yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat adanya sumbatan

15
saluran oleh batu. Rasa nyeri kolik bilier dapat berlangsung hingga lebih
dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Nyeri
timbul secara perlahan tetapi pada 30% kasus timbul dengan tiba-tiba.
Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan
menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago costae IX dan X
bagian kanan. Sentuhan ini akan menimbulkan nyeri tekan yang
mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi
dalam, dan menghambat pengembangan rongga dada, rasa nyeri tersebut
disebut sebagai Murphy sign.
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.
Kadang hati teraba dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar
bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila
sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.
2.3.4.2. Pemeriksaan Penunjang2
a. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Pada pasien dengan kolik bilier,
tes darah biasanya akan normal. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Peningkatan sel darah putih dapat menunjukkan atau
meningkatkan kecurigaan pada kolesistitis.
Jika dikaitkan dengan peningkatan bilirubin terkonjugasi, alkali fosfatase,
dan aminotransferase, kolangitis harus dicurigai. Apabila terjadi
penekanan duktus koledukus oleh batu (sindroma mirizzi) maka akan
ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum. Kadar fosfatase alkali serum
dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap
kali terjadi serangan akut. Fosfatase alkali merupakan enzim yang
disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Pada obstruksi saluran empedu,
aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis enzim
ini. Kadar yang sangat tinggi dapat menggambarkan obstruksi saluran
empedu. Namun, fosfatasi alkali juga dapat ditemukan di dalam tulang dan
dapat meningkat pada kerusakan tulang, juga meningkat selama kehamilan

16
karena sintesis plasenta. Biasanya pada kasus koledokolitiasis obstruksi
menghasilkan peningkatan SGOT dan SGPT. Alanin aminotransferase
(SGOT) dan Aspartat aminotransferase (SGPT) dapat mengalami
peningkatan (1-3 kali normal atau kadang-kadang cukup tinggi) bersamaan
dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran empedu.
Kolestasis, suatu obstruksi aliran empedu, ditandai oleh peningkatan
bilirubin dan peningkatan alkali fosfatase. Aminotransferase serum
mungkin normal atau sedikit meningkat. Bila obstruksi saluran empedu
lengkap, maka bilirubin serum memuncak 25 sampai 30 mg per 100 ml.
Nilai >30 mg per 100 ml terjadi bersamaan dengan hemolisis atau
disfungsi ginjal atau sel hati. Keganasan ekstrahepatik paling sering
menyebabkan obstruksi lengkap (bilirubin serum 20 mg per 100 ml),
sedangkan batu empedu biasanya menyebabkan obstruksi sebagian,
dengan bilirubin serum jarang melebihi 10 sampai 15 mg per 100 ml. Pada
60% pasien terjadi peningkatan serum bilirubin > 3 mg/dL
b. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen
Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan
akan penyakit kandung empedu. Namun hanya 15-20% batu empedu
yang mengalami cukup kalsifikasi sehingga dapat terlihat melalui
pemeriksaan sinar-X.

Gambar 6. Gambaran kolelitiasis dengan sinar-X

17
c. Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak. Kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak
di kuadran kanan atas di fleksura hepatica, hal ini terjadi pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau
hidrops. Dikarenakan nilai diagnostiknya rendah, teknik ini jarang
digunakan terutama pada penderita dengan kolik bilier.

Gambar 7. Gambaran kolelitiasis dengan foto polos abdomen

d. Pemeriksaan Ultrasonography (USG)


Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
(>90%) untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Ketepatan ultrasonografi
dalam membedakan antara kolestatis intra dan ekstrahepatik tergantung
pada derajat dan lama obstruksi saluran empedu. Saluran empedu
ekstrahepatik divisualisasikan dengan baik oleh USG, kecuali untuk
bagian retroduodenal.
Selain itu juga dapat melihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau oedem yang diakibatkan oleh peradangan maupun

18
sebab lain. Kelainan lain dalam parenkim hati atau pankreas (seperti massa
atau kista) dapat diperlihatkan dengan jelas.
Kriteria batu kandung empedu pada USG yaitu dengan acoustic
shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu. Batu
empedu terlihat padat dan dapat memantulkan gelombang ultrasonik
kembali ke transduser. Karena menghalangi jalannya gelombang suara ke
daerah di belakangnya, maka terbentuklah acoustic shadow.
Pasien memiliki kolesistitis akut jika lapisan edema terlihat di dalam
dinding kantong empedu atau antara kantong empedu dan hati. Ketika
sebuah batu menghalangi leher kandung empedu, kandung empedu dapat
menjadi sangat besar, tetapi berdinding tipis. Kandung empedu yang
berkontraksi dan berdinding tebal menunjukkan kolesistitis kronis
Pasien obesitas, pasien asites, dan pasien dengan usus buncit mungkin sulit
diperiksa secara memuaskan dengan USG.

Gambar 8. Gambaran kolelitiasis dengan USG


e. Kolesistografi Oral
Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi
kandung empedu yakni mengkaji kemempuan kandung empedu untuk
melakukan pengisian, pemekatan, berkontraksi, serta mengosongkan isi.
Media kontras yang mengandung iodium yang diekresikan oleh hati dan
dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung
empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika

19
terdapat batu empedu, bayangannya akan nampak pada foto rontgen.
Kolesistografi oral dapat gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl, obstruksi pilorus, ada
reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-
keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Kolesistografi oral sebagian besar telah digantikan oleh ultrasonografi.

Gambar 9. Gambaran kolelitiasis dengan kolesistografi

Lainnya :
- Biliary Radionuclide Scanning (HIDA Scan)
Skintigrafi bilier memberikan evaluasi noninvasif pada hati, kandung
empedu, saluran empedu, dan duodenum dengan informasi anatomi dan
fungsional. Penggunaan utama skintigrafi bilier adalah dalam diagnosis
akut kolesistitis. Turunan berlabel 99m-Technetium asam dimetil
iminodiacetic (HIDA) disuntikkan secara intravena, dibersihkan oleh sel
Kupffer di hati, dan diekskresikan dalam empedu. Penyerapan oleh hati
selama 10 menit, sedangkan pada kandung empedu, saluran empedu, dan
duodenum divisualisasikan dalam waktu 60 menit pada subjek puasa.
Pengisian kandung empedu dan saluran empedu dengan pengisian
duodenum yang tertunda atau tidak ada menunjukkan adanya obstruksi di
ampula.
- CT Scan Abdomen

20
Aplikasi utama CT scan adalah untuk menentukan cabang saluran bilier
ekstrahepatik serta struktur yang berdekatan. CT scan adalah tes pilihan
dalam mengevaluasi pasien dengan dugaan keganasan kandung empedu,
sistem empedu ekstrahepatik, atau organ terdekat, khususnya kepala
pankreas.
- Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)
Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat optik yang fleksibel ke
dalam esophagus hingga mencapai duodenum pars desenden. Sebuah
kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus dan duktus
pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus
tersebut untuk memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan
bilier. Tes ini jarang dilakukan untuk penyakit batu empedu yang tanpa
komplikasi, tetapi untuk batu di saluran empedu umum, khususnya, ketika
dikaitkan dengan penyakit kuning obstruktif, kolangitis, atau pankreatitis
batu empedu
- Percutaneous Transhepatic Cholangiography
Pemeriksaan meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung ke
dalam percabangan bilier sehingga semua komponen dalam system
bilier dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas. Percutaneous transhepatic
cholangiography (PTC) sangat berguna pada pasien dengan striktur
saluran empedu dan tumor namun tidak terlalu berperan dalam tatalaksana
pasien dengan batu empedu non komplikasi.

2.3.5 Tatalaksana
Tatalaksana kolelitiasis terdiri dari tatalaksana nonbedah dan tatalaksana
bedah. Tatalaksana nonbedah terdiri dari lisis batu dan pengeluaran secara
endoskopik.
1) Tatalaksana Bedah
Tatalaksana bedah berupa kolesistektomi secara umum diindikasikan untuk
batu kandung empedu simtomatik, pankreatitis empedu, dan diskinesia empedu.
Kolelitiasis asimtomatik yang terjadi pada penderita diabetes melitus adalah

21
indikasi untuk dilakukannya kolesistektomi elektif karena serangan kolesistitis
akut dapat menimbulkan komplikasi berat13.
Teknik operasi kolesistektomi terbuka pada sebagaian besar kasus telah
digantikan oleh teknik kolesistektomi laparoskopik yang diperkenalkan pada akhir
dekade 1980. Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasif
minimal di dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum,
sistem endokamera dan instrumen khusus melalui layar monitor tanpa melihat dan
menyentuh langsung kandung empedunya. Kolesistektomi laparoskopik telah
menjadi prosedur baku di beberapa rumah sakit untuk pengangkatan batu kandung
empedu simtomatik. Kelebihan teknik bedah laparoskopik dibandingkan dengan
teknik bedah konvensional adalah rasa nyeri yang minimal, masa pulih yang
cepat, masa rawat yang pendek dan luka parut yang sangat minimal. Komplikasi
cedera saluran empedu dari teknik ini yang umumnya terjadi pada tahap belajar
dapat diatasi pada sebagian besar kasus dengan pemasangan stent atau kateter
nasobilier dengan ERCP14.
Adanya batu primer saluran empedu perlu dicurigai apabila pada kandung
empedu tidak ditemukan batu, atau pernah dilakukan kolesistektomi, tetapi di
dalam ductus koleodukus terdapat batu apalagi bila ditemukan di saluran
intrahepatik. Pemeriksaan ERCP dapat membantu menegakkan diagnosis
sekaligus dapat untuk melakukan sfingterotomi sebagai terapi definitif atau terapi
sementara. Pada waktu laparotomi untuk kolesistektomi, perlu ditentukan apakah
akan dilakukan koledokotomi dengan tujuan eksplorasi saluran empedu (Gambar
10)

22
Gambar 10. Indikasi eksplorasi ductus choledocus pada saat dilakukan
kolesistektomi13
2) Medikamentosa
Terapi non operatif hanya digunakan dalam situasi khusus, seperti ketika
seseorang dengan batu kolesterol memiliki kondisi medis yang serius yang
mencegah operasi. Batu empedu sering kambuh dalam waktu 5 tahun setelah
pengobatan.Terdapat dua jenis terapi nonoperatif yang dapat digunakan untuk
melarutkan batu empedu kolesterol yaitu:
a. Terapi disolusi oral.
Ursodiol(Actigall) dan chenodiol (Chenix) adalah obat yang mengandung
asam empedu yang dapat melarutkan batu empedu. Ursodiol adalah obat yang
paling efektif dalam melarutkan batu kolesterol kecil. Efek samping dari obat
ini adalah diare, bersifat hepatotoksik, dan kontraindikasi jika digunakan oleh
ibu hamil. Pengobatan mungkin diperlukan selama bertahun-tahun untuk
melarutkan semua batu.
b. Shock wave lithotripsy 19
Prosedur shock wave lithotripsy dilakukan dengan menggunakan sebuah
mesin yang disebut lithotripter untuk menghancurkan batu empedu.
Lithotripter menghasilkan gelombang kejut yang melewati tubuh seseorang

23
untuk memecahkan batu empedu menjadi potongan kecil. Prosedur ini jarang
digunakan dan dapat digunakan bersama dengan ursodiol.

2.3.5 Komplikasi2
1) Kolesistitis
Distensi kandung empedu, peradangan, dan edema dinding kandung empedu
terjadi karena sumbatan oleh batu empedu pada duktus cystikus. Kolesistitis
akut adalah proses inflamasi yang dimediasi oleh toksin lisolecithin mukosa—
produk lesitin—serta garam empedu dan faktor pengaktif trombosit.
Peningkatan sintesis prostaglandin memperkuat respons inflamasi. Kandung
empedu yang membesar sehingga dapat diraba. Pada pemeriksaan USG
kolesistisis akut ialah sering ditemukan batu, penebalan dinding kandung
empedu, hidrops dan kadang-kdang terlihat eko cairan di sekelilingnya yang
menandakan adanya perikolesisitisis atau perforasi.
2) Koledokolitiasis
Koledokolitiasis ditemukan pada 6-12% pasien dengan batu di kandung
empedu. Insiden meningkat dengan bertambahnya usia. Sekitar 20–25 persen
pasien yang berusia lebih dari 60 tahun dengan batu empedu simptomatik
memiliki batu di saluran empedu dan di kandung empedu. Sebagian besar batu
saluran empedu di negara-negara Barat terbentuk akibat migrasi batu ke
saluran kistik lalu ke saluran empedu dari dalam kantong empedu. Jenis ini
diklasifikasikan sebagai batu saluran empedu sekunder, berbeda dengan batu
primer yang terbentuk di saluran empedu. Batu sekunder biasanya adalah batu
kolesterol, sedangkan batu primer biasanya dari jenis pigmen coklat.
Pada ultrasonografi didapatkan saluran empedu akan berdilatasi (diameter> 8
mm), gambaran ikterus, dan nyeri empedu memungkinkan adanya batu di
saluran empedu. Magnetic resonance cholangiography (MRC) memberikan
detail anatomi yang sangat baik dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas
masing-masing 95% dan 89%, dalam mendeteksi koledokolitiasis dengan
diameter> 5 mm. Kolangiografi endoskopi (ERCP) menjadi gold standart
untuk mendiagnosis batu saluran empedu.

24
3) Kolangitis
Kolangitis akut adalah infeksi bakteri asenden yang berhubungan dengan
obstruksi saluran empedu. Rintangan mekanis terhadap aliran empedu akibat
sumbatan empedu menjadi fasilitas bagi kontaminasi bakteri.
Kolangitis dapat muncul mulai dari penyakit ringan, intermiten, dan hingga
septikemia fulminan yang berpotensi mengancam jiwa. Presentasi yang paling
umum adalah demam, nyeri epigastrium atau kuadran kanan atas, dan ikterus
atau biasa disebut sebagai triad Charcot. Apabila tejadi kolangiolitis, biasanya
berupa kolangitis piogenik intrahepatic, akan timbul lima gejala pentade
“Reynold”, berupa tiga gejala trias Charcoat, ditambah syok, kekacauan
mentau atau penurunan kesadaran sampai koma. Leukositosis,
hiperbilirubinemia, dan peningkatan alkali fosfatase dan transaminase
mendukung diagnosis klinis kolangitis. Tes diagnostik definitif adalah ERC
dan PTC jika ERC tidak tersedia. Perawatan awal pasien dengan kolangitis
termasuk antibiotik IV dan resusitasi cairan.
4) Pankreatitis bilier
Obstruksi saluran pankreas oleh batu yang terimpaksi atau obstruksi
sementara oleh batu yang melewati ampula dapat menyebabkan pankreatitis.
5) Keganasan
Karsinoma kandung empedu adalah keganasan terbanyak kelima di saluran
pencernaan dan memiliki prognosis yang buruk. Insiden kanker kandung
empedu pada cholelithiasis tidak cukup tinggi untuk membenarkan
kolesistektomi profilaksis pada kolelitiasis asimtomatik. Sebagian besar
kanker kandung empedu ditemukan secara tidak sengaja pada saat
kolesistektomi untuk batu empedu.

2.3.6 Prognosis12
Kurang dari setengah pasien dengan batu empedu menjadi simtomatik.
Tingkat kematian untuk kolesistektomi elektif adalah 0,5% dengan morbiditas
kurang dari 10%. Tingkat kematian untuk kolesistektomi emergensi adalah 3%
-5% dengan morbiditas 30% -50%. Kolesistektomi laparoskopi tampaknya

25
dikaitkan dengan tingkat hernia insisional 8%. Sekitar 10% -15% pasien memiliki
koledokolitiasis. Prognosis pada pasien dengan koledokolitiasis tergantung pada
ada dan beratnya komplikasi. Dari semua pasien yang menolak operasi atau tidak
layak menjalani operasi, 45% tetap tanpa gejala dari koledokolitiasis sementara
55% mengalami berbagai tingkat komplikasi.

26
BAB III
KESIMPULAN

Kolelitiasis atau batu empedu adalah sebuah penyakit yang patut


diwaspadai. Penderita dengan batu empedu terbagi menjadi tiga kelompok yaitu
penderita dengan batu asimptomatik, penderita dengan batu empedu simptomatik
(nyeri bilier) dan penderita dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut,
ikterus, kolangitis dan pankreatitis). Batu empedu mungkin tidak menimbulkan
gejala selama berpuluh tahun, 70% hingga 80% pasien tetap asimtomatik seumur
hidupnya. Data yang didapat menemukan fakta bahwa sebanyak setengah sampai
dua pertiga penderita kolelitiasis tidak menunjukkan gejala, sehingga kebanyakan
penderitanya tidak menyadari bahwa diri mereka sebenarnya sedang mengidap
penyakit ini.
Lokasi dan ukuran batu empedu sangatlah menentukan ada tidaknya
keluhan ataupun komplikasi yang timbul pada penyakit ini. Komplikasi yang
sering ditimbulkan adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi
pada duktus sistikus atau duktus koledokus dengan manifestasi timbulnya nyeri
hebat mendadak pada abdomen bagian atas (kolik bilier), terutama pada bagian
tengah epigastrium. Selanjutnya nyeri dapat menjalar ke punggung dan bahu
kanan (Murphy sign). Nyeri disebabkan oleh kontraksi kandung empedu yang
tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat terdapatnya sumbatan pada saluran
empedu. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali terulang.
Nausea dan muntah kerap terjadi. Pada tahap yang lebih lanjut penderita dapat
datang dengan keadaan sklera ikterik akibat sumbatan total pada duktus
koleodokus.
Ultrasonografi (USG) merupakan perangkat yang memiliki derajat
spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu
dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Kolesistektomi
laparoskopik telah menjadi prosedur baku di beberapa rumah sakit untuk
pengangkatan batu kandung empedu simtomatik. Kelebihan teknik bedah

27
laparoskopik dibandingkan dengan teknik bedah konvensional adalah rasa nyeri
yang minimal, masa pulih yang cepat, masa rawat yang pendek dan luka parut
yang sangat minimal. Tingkat kematian untuk kolesistektomi elektif adalah 0,5%
dengan morbiditas kurang dari 10%. Apabila diagnosis dan pembedahan
dilakukan dengan cepat, maka tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini akan
semakin mengecil. Prognosis dari kolelitiasis adalah tergantung pada keberadaan
dan tingkat keparahan komplikasi.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Patricia Novak. Dorland’s Pocket Medical Dictionary 29th Edition. Elsevier.


2015.
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th
edition. hal 846-854. US : McGraw-Hill Companies. 2007
3. Tanaja J, Lopez R, Meer J. Cholelithiasis [Internet]. StatPearls. 2019 [dikutip
12 Maret 2020]. Tersedia pada: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/
NBK470440/.
4. Suharjo B. Cahyono. Batu Empedu. hal 21-37. Penerbit Kansius. Yogyakarta.
2009.
5. Robert B Trelease. Netter Surgical Review Anatomy 2 nd Edition. hal 149-150.
Elsevier. 2017.
6. Rohen JW, Yokochi C, Lutjen-Drecoll E. Atlas Anatomi Indonesia. hal 286
-287. Suyono J, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013.
7. Guyton, A. C., dan J. E. Hall. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran Edisi 12. Elsevier, Philadelphia, United States. 2011
8. Nurman, A.. Batu Empedu. Dalam: Sulaiman, H. A., H. N. Akbar, L. A.
Lesmana, dan H. M. S. Noer. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi 1. hal: 161–
164. Jayabadi, Jakarta, Indonesia. 2007
9. Sherwood, LZ., Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Hal: 595-677.
Jakarta: EGC,. 2014.
10. World J Hepatol. Concept of the pathogenesis and treatment of cholelithiasis
[Internet]. Baishideng Publishing Group Co. 2012. [dikutip 14 Maret 2020 ].
Tersedia pada https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3295849/
11. Jasmin Tanaja; Richard A. Lopez; Jehangir M. Meer. Cholelitiasis [Internet].
StatPearls Publishing LLC. 2020. [dikutip 14 Maret 2020]. Tersedia pada :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470440/

29
12. Douglas M Heuman. Gallstones (Cholelithiasis) [Internet]. WebMD LLC.
2019. [dikutip 14 Maret 2020]. Tersedia pada: https://emedicine.
medscape.com/article/175667-overview#a5
13. Sjamsuhidajat, R., dan W. de. Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4. EGC,
Jakarta, Indonesia. 2017.
14. Lesmana, L. A. Penyakit Batu Empedu. Dalam: Setiati S., I. Alwi, A. W.
Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setyohadi, dan A. F. Syam. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi 6. Hal: 2022–2027. Interna Publishing, Jakarta,
Indonesia. 2014.

30

Anda mungkin juga menyukai