Anda di halaman 1dari 38

Referat

KOLELITIASIS

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di


Departemen Ilmu Bedah RSMH Palembang

Oleh:
Muhamad Hanif Prasetyo, S.Ked
04084821921060

Pembimbing:
dr. M Hafidh Komar, SpB-KBD

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul
Kolelitiasis

Disusun oleh :
Muhamad Hanif Prasetyo, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian/ Departemen Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya / Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin
Palembang periode 20 Januari – 30 Maret 2020.

Palembang, Februari 2020


Pembimbing

dr. M Hafidh Komar, SpB-KBD

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan berkah, rahmat, dan nikmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Kolelitiasis”. Referat ini disusun sebagai
salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Bedah RSMH
Palembang. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada dr. M Hafidh Komar, SpB-KBD selaku pembimbing yang telah
memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini, serta semua
pihak yang telah membantu hingga selesainya referat ini.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan
referat ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari seluruh pihak agar referat ini menjadi lebih baik. Semoga referat
ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan bagi penulis dan
pembaca.

Palembang, Februari 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................3
2.1 Anatomi Kandung Empedu...........................................................................3
2.2 Fisiologi Kandung Empedu...........................................................................6
2.3 Kolelitiasis.....................................................................................................10
2.3.1 Definisi....................................................................................................10
2.3.2 Epidemiologi...........................................................................................11
2.3.3 Etiologi dan Patofisiologi........................................................................12
2.3.4 Diagnosis.................................................................................................15
2.3.4.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik....................................................16
2.3.4.2 Pemeriksaan penunjang.....................................................................17
2.3.5 Penatalaksanaan......................................................................................21
2.3.6 Komplikasi..............................................................................................26
2.3.8 Prognosis.................................................................................................28
BAB III KESIMPULAN....................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................31

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Kolelitiasis adalah endapan dari komponen empedu yang akhirnya


mengeras dan membentuk batu. Kolelitiasis dapat ditemukan di dalam kandung
empedu atau di dalam duktus koledokus, atau pada kedua-duanya. Kolelitiasis
memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi, mulai dari butiran pasir hingga
sebesar bola golf. Kolelitiasis dapat terbentuk oleh 3 mekanisme utama, yaitu
supersaturasi kolesterol, sekresi bilirubin berlebihan, dan hipomotilitas kandung
empedu.(1)

Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok: pasien
dengan batu asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik dan pasien
dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut ikterus, kolangitis, dan
pankreatitis). Studi perjalanan penyakit dari 1307 pasien dengan batu empedu
selama 20 tahun memperlihatkan bahwa sebanyak 50% pasien tetap asimtomatik,
30% mengalami koltk bilier, dan 20% mendapat komplikasi. Gejala batu empedu
yang paling umum adalah kolik bilier. Keluhan ini didefmisikan sebagai nyeri di
perut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam, dan walaupun
lebih sering tanpa gejala, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri
kolik yang spesifik maka risiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus
meningkat.(2)

Di masyarakat Barat komposisi utama batu empedu adalah kolesterol.


sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien didapatkan batu pigmen pada 73%
pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien. Batu empedu umumnya ditemukan di
dalam kandung empedu, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus
sistikus ke dalam saluran empedu menjadi batu saluran empedu dan disebut
sebagai batu saluran empedu sekunder.

Di negara Barat 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga disertai
batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat

1
terbentuk secara primer di dalam saluran empedu intra-atau ekstra hepatik tanpa
melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak
ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara
Barat.

Perjalanan batu saluran empedu sekunder belum jelas benar, tetapi


komplikasi akan lebih sering dan berat dibandingkan batu kandung empedu
asimtomatik. Selain itu meski penyakit batu empedu sudah merupakan masalah
kesehatan yang penting di negara Barat, di Indonesia belum penyakit batu empedu
belum mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu
empedu juga masih terbatas. Karena itu pada referat ini akan dibahas penyakit
batu empedu (Kolelitiasis) mulai dari anatomi hingga tatalaksananya.(3)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kandung Empedu

Gambar 1. Anatomi Kandung Empedu dan organ disekitarnya.(4)

Kandung empedu (vesica felea) merupakan kantong berbentuk alpukat yang


terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu tertutup seluruhnya
oleh peritoneum visceral, tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke
permukaan hati oleh lapisan peritoneum.
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk
bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus
berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX
kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus sistikus yang berjalan dalam
omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis
membentuk duktus koledokus.(4)

3
4
Gambar 2. Bagian-bagian daripada kandung empedu dan saluran-salurannya(5)

Bagian-bagian dari kandung empedu, terdiri atas:


1. Fundus vesikafelea, merupakan bagian kandung empedu yang paling akhir
setelah korpus vesikafelea.
2. Korpus vesikafelea, bagian dari kandung empedu yang didalamnya berisi
getah empedu. Getah empedu adalah suatu cairan yang disekeresi oleh sel
hati sebanyak 500-1000 cc setiap harinya, sekresinya berjalan terus
menerus, jumlah produksi cairan empedu dapat meningkat pada saat
mencerna lemak.
3. Leher kandung empedu. Merupakan saluran pertama tempat masuknya
getah empedu ke badan kandung empedu lalu berkumpul dan dipekatkan
dalam kandung empedu.
4. Duktus sistikus. Panjangnya kurang lebih 3 ¾ cm. berjalan dari leher
kandung empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk
saluran empedu ke duodenum.
5. Duktus hepatikus, saluran yang keluar dari leher.
6. Duktus koledokus saluran yang membawa empedu ke duodenum.

5
Gambar 3. Bagian-bagian duktus biliaris: 1. Bile ducts: 2. Intrahepatic bile ducts, 3. Left and
right hepatic ducts, 4. Common hepatic duct, 5. Cystic duct, 6. Common bile duct, 7. Ampulla
of Vater, 8. Major duodenal papilla 9. Gallbladder, 10–11. Right and left lobes of liver. 12.
Spleen. 13. Esophagus. 14. Stomach. 15. Pancreas: 16. Accessory pancreatic duct, 17.
Pancreatic duct. 18. Small intestine: 19. Duodenum, 20. Jejunum 21–22. Kidneys.(4)

Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding


lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral Heister, yang
memudahkan cairan empedu masuk kedalam kandung empedu, tetapi menahan
aliran keluarnya. Saluran empedu ekstrahepatik terletak didalam ligamentum
hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas bawahnya
distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik berpangkal dari
saluran paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang meneruskan curahan
sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutnya ke
duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara
duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus
jaringan pankreas dan dinding duodenum membentuk papilla Vater yang terletak
di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot
sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum. Duktus
pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama oleh duktus koledokus di
dalam papilla Vater, tetapi dapat juga terpisah.
Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk
dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai Ductus
hepaticus communis. Ductus hepaticus bergabung dengan Ductus cysticus
membentuk Ductus choledochus.

2.2 Fisiologi Kandung Empedu


Kandung empedu memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan cairan empedu
dan memekatkan cairan empedu yang ada didalamnya dengan cara mengabsorpsi
air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh

6
sel hati. Pada individu normal, cairan empedu mengalir ke kandung empedu pada
saat katup Oddi tertutup. Dalam kandung empedu, cairan empedu dipekatkan
dengan mengabsorpsi air. Derajat pemekatannya diperlihatkan oleh peningkatan
konsentrasi zat-zat padat. Cairan empedu yang dihasilkan oleh hati mengandung
97% air, sedangkan kadar rata-rata air yang terkandung dalam cairan empedu
yang telah tersimpan didalam kandung empedu adalah 89%. Bila saluran empedu
dan duktus sistikus dijepit, maka  tekanan dalam saluran empedu akan naik
sampai kira-kira 30 mm cairan empedu dalam 30 menit dan sekresi empedu
berhenti. Akan tetapi bila saluran empedu dijepit dan duktus sistikus dibiarkan
terbuka, air akan diabsorspi dalam kandung empedu dan tekanan intrafilier naik
hanya kira-kira 100 mm cairan empedu selama beberapa jam.
Cairan yang disekresikan oleh sel-sel hepatosit dalam organ hati adalah cairan
yang berwarna kekuningan atau kecoklatan atau kuning kehijauan yang
disekresikan oleh sel-sel hati. Setiap hari sel-sel hati mensekresikan 800-1000 ml
cairan empedu dengan pH sekitar 7,6-8,6. Cairan empedu sebagian besar terdiri
atas air, garam-garam empedu, kolesterol, dan sebuah fosfolipid (lesitin), pigmen-
pigmen empedu dan beberapa ion-ion, serta zat-zat lain yang ada dalam larutan
elektrolit alkali yang mirip dengan getah pancreas. selain itu fungsi empedu untuk
membuang limbah tubuh tertentu (terutama pigmen hasil pemecahan sel darah
merah dan kelebihan kolesterol) serta membantu pencernaan dan penyerapan
lemak. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak
dan vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari
usus. Fungsi garam empedu adalah; menurunkan tegangan permukaan dari
partikel lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar
dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut, dan
membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut
dalam lemak. Hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah
diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam
empedu. Berbagai protein yang memegang peranan penting dalam fungsi empedu
juga disekresi dalam empedu.

7
Gambar 4. Struktur misel. Misel adalah agregasi dari garam empedu dan lesitin dengan inti
lypophyllic yang membawa kolesterol yang tidak larut dalam air.(6)

Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :


 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi
lemak karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam
empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar
menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas. Asam empedu membantu transpor dan
absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran
mukosa intestinal.
 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk
oleh sel- sel hati.
Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh
hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Empedu
dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu.
Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum.
Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum,
kemudian masuk kedalam darah dan menyebabkan kandung empedu berkontraksi.
Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus koledokus

8
dan sfingter Oddi mengalami relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya
empedu yang kental ke dalam duodenum.

Gambar 5. Sirkulasi garam empedu enterohepatik. Garam empedu didaur ulang di hati dan
usus kecil melalui sirkulasi enterohepatik {panah biru). Setelah berperan dalam pencernaan dan
penyerapan lemak, sebagian besar garam empedu diserap kembali oleh transportasi aktif di
terminal ileum dan dikembalikan melalui vena portal hepatik ke hati.(7)

Proses koordinasi aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :


a. Hormonal :

9
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung
empedu.
b. Neurogen :
o Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
o Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum
dan mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung
empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Secara normal pengosongan kandung empedu secara menyeluruh
berlangsung selama sekitar 1 jam. Pengosongan empedu yang lambat
akibat gangguan neurologis maupun hormonal memegang peran penting
dalam perkembangan inti batu.

2.3 Kolelitiasis

2.3.1 Definisi

Kolelithiasis adalah istilah medis yang digunakan pada penyakit batu


empedu. Batu empedu (gallstones) adalah massa padat yang terbentuk dari
endapan mineral pada saluran empedu. Kolelitiasis disebut juga batu empedu,
gallstones, biliary calculus. Sebagian besar batu empedu, terutama batu
kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu
kandung empedu ini berpindah ke dalam daluran empedu ekstrahepatik
disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolithiasis sekunder.
Batu empedu terbentuk secara perlahan dan terkadang asimtomatik
selama beberapa dekade. Migrasi batu empedu ke ductus cysticus dapat
menghalangi aliran pada kandung empedu selama terjadinya kontraksi pada
proses sekresi. Akibat dari peningkatan tegangan dinding kandung empedu
memberi sensasi nyeri (kolik bilier). Tersumbatnya ductus cysticus dalam

10
jangka waktu lebih dari beberapa jam, dapat menyebabkan peradangan
kandung empedu akut (kolesistitis akut).
Batu empedu di saluran empedu dapat mempengaruhi bagian distal pada
ampula Vater, titik di mana saluran empedu dan saluran pankreas bergabung
sebelum keluar ke duodenum. Obstruksi aliran empedu oleh batu di titik ini
dapat menyebabkan sakit perut dan sakit kuning. Cairan empedu akan stagnan
di atas sebuah batu yang mengahalangi saluran empedu akan sering
mengalami infeksi, dan bakteri dapat menyebar dengan cepat ke hati melalui
saluran empedu yang dapat mengancam jiwa, disebut ascending cholangitis.
Obstruksi saluran pankreas dapat memicu aktivasi enzim pencernaan pankreas
itu sendiri, mengarah ke pankreatitis akut.
Dalam waktu yang lama, batu empedu di kandung empedu dapat
menyebabkan fibrosis progresif dan hilangnya fungsi kandung empedu, suatu
kondisi yang dikenal sebagai kolesistitis kronis. Kolesistitis kronis
predisposisi kanker kandung empedu.

2.3.2 Epidemiologi
Penyakit batu empedu merupakan salah satu masalah yang paling umum
yang mempengaruhi saluran pencernaan. Laporan otopsi menunjukkan
prevalensi batu empedu dari 11% menjadi 36 %. Prevalensi batu empedu
berhubungan dengan banyak faktor, termasuk usia, jenis kelamin, dan latar
belakang etnis. Kondisi tertentu predisposisi yang pengembangan batu empedu.
Obesitas, kehamilan, faktor makanan, penyakit Crohn, reseksi ileum terminal,
operasi lambung, sferositosis herediter, penyakit sel sabit, dan talasemia yang
semua yang berhubungan dengan peningkatan risiko mengembangkan batu
empedu.(8)
Wanita tiga kali lebih mungkin untuk mengembangkan batu empedu
dibandingkan laki-laki, dan kerabat tingkat pertama pasien dengan batu
empedu memiliki prevalensi dua kali lipat lebih besar.(9)

11
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting
di negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis,
sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas.
Sekitar 5,5 juta penderita batu empedu ada di Inggris dan 50.000
kolesistektomi dilakukan setiap tahunnya. Kasus batu empedu sering
ditemukan di Amerika, yaitu pada 10 sampai 20% penduduk dewasa. Setiap
tahun beberapa ratus ribu penderita ini menjalani pembedahan. Dua per tiga
dari batu empedu adalah asimptomatis dimana pasien tidak mempunyai
keluhan dan yang berkembang menjadi nyeri kolik tahunan hanya 1-4%.
Sementara pasien dengan gejala simtomatik batu empedu mengalami
komplikasi 12% dan 50% mengalami nyeri kolik pada episode selanjutnya.
Risiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi
relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu menimbulkan masalah
serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan
penyulit akan terus meningkat.

Gambar 6. Faktor-faktor yang menyebabkan Formasi Batu Empedu(6)

Di negara Barat 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga


disertai batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu
dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intra-atau ekstra-hepatik tanpa
melibatkan kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak
ditemukan pada pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara
Barat.(3)

12
2.3.3 Etiologi dan Patofisiologi
Garam empedu, lecitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar
(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik
dan asam chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3%
protein dan 0,3% bilirubin. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh
hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi
mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi
normal kalau diperlukan.(10)
Pembentukan batu empedu terjadi akibat adanya zat tertentu dalam
empedu yang mengalami peningkatan konsentrasi hingga mendekati batas
kelarutannya. Ketika empedu terkonsentrasi di kandung empedu, kelarutan
empedu akan menjadi jenuh dengan zat ini, yang kemudian akan mengendap
menjadi larutan kristal mikroskopis. Kristal terjebak dalam larutan kandung
empedu, kandung empedu akan memproduksi lumpur. Seiring waktu, kristal
tumbuh dan membentuk agregasi dan akhirnya berupa batu makroskopik.
Oklusi saluran oleh lumpur dan / atau batu akan menyebabkan komplikasi dari
penyakit batu empedu. 5
Dua zat utama yang terlibat dalam pembentukan batu empedu adalah
kolesterol dan kalsium birubinate.
a. Batu Empedu Kolesterol
Sel-sel hati mensekresi kolesterol ke dalam empedu bersama
dengan fosfolipid (lesitin) dalam bentuk gelembung membran kecil
bulat, disebut vesikel unilamellar. Sel-sel hati juga mengeluarkan garam
empedu, yang bersifat emulsi kuat yang nantinya diperlukan untuk
pencernaan dan penyerapan lemak makanan.
Garam empedu dalam empedu memisahkan vesikel unilamelar
untuk membentuk agregat larut disebut mixed micelles. Hal ini terjadi
terutama di kandung empedu, di mana empedu terkonsentrasi oleh
reasorpsi elektrolit dan air.

13
Dibandingkan dengan vesikel (yang dapat menimpan hingga 1
molekul kolesterol untuk setiap molekul lesitin), mixed micelles
memiliki daya dukung rendah kolesterol (sekitar 1 molekul kolesterol
untuk setiap 3 molekul lesitin). Jika cairan empedu mengandung
proporsi yang relatif tinggi kolesterol, akan membentuk empedu
terkonsentrasi, pemisahan vesikel secara progresif dapat menyebabkan
keadaan di mana vesikel residual terlampaui. Pada tahap ini, empedu
jenuh dengan kolesterol, dan akan terbentuknya kristal kolesterol
monohidrat. Kolesterol sangat nonpolar dan tidak larut dalam air dan
empedu. Kelarutan kolesterol bergantung pada konsentrasi relatif dari
kolesterol, garam empedu, dan lesitin (fosfolipid utama dalam empedu).
Penampakannya biasanya berwarna hijau namun dapat juga putih atau
kuning. Batu kolesterol dapat terbentuk jika empedu mengandung
terlalu banyak kolesterol dibadingkan dengan garam empedu.
Dengan demikian, faktor utama yang menentukan apakah batu
empedu kolesterol akan membentuk adalah (1) jumlah kolesterol yang
disekresikan oleh sel-sel hati, relatif terhadap lecithin dan garam
empedu, dan (2) tingkat konsentrasi dan tingkat stasis empedu di
kandung empedu.

14
Gambar 7. Diagram fase tricoordinate untuk penentuan indeks saturasi
kolesterol. Daerah yang diarsir mewakili cairan micelle di mana kolesterol tetap larut.
Di luar arsiran, molekul kolesterol dapat mengendap untuk membentuk kristal.(6)

b. Kalsium, bilirubin, dan pigmen batu empedu


Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme,
secara aktif disekresi ke empedu oleh sel-sel hati. Sebagian besar
bilirubin dalam empedu berupa konjugat glukuronida, yang cukup larut
air dan stabil, tetapi sebagian kecil terdiri dari bilirubin tak
terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti asam lemak, fosfat,
karbonat, dan anion lainnya, cenderung membentuk endapan tidak larut
dengan kalsium. Kalsium akan memasuki empedu secara pasif bersama
dengan elektrolit lain.
Dalam situasi tinggi kadar heme, seperti hemolisis kronis atau
sirosis, bilirubin tak terkonjugasi dapat hadir dalam empedu dengan
konsentrasi lebih tinggi dari normalnya. Kalsium bilirubinate kemudian
dapat membentuk kristal dari larutan dan akhirnya akan menjadi batu.
Seiring waktu, berbagai oksidasi menyebabkan bilirubin akan
membentuk pigmen berwarna hitam pekat, disebut dengan batu empedu
pigmen hitam. Batu pigmen hitam biasanya ukuran kecil, rapuh, hitam,
dan kadang-kadang spiculated. Di negara-negara Asia seperti Jepang,
akun batu hitam untuk persentase yang jauh lebih tinggi dari batu
empedu dibandingkan di belahan bumi Barat.

2.3.4 Diagnosis
Dapat disimpulkan diagnosis pada pasien batu empedu dilakukan
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah, ultrasonografi
(US), dan rontgen perut. Untuk kasus yang tidak terdefinisi, CT dan / atau
magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP), dan infus

15
cholangiography terkait CT (DIC-CT), endoskopi retrograde
cholangiopancreatography (ERCP), ultrasonografi endoskopi (EUS), dan
ultrasonografi intraductal (IDUS) harus dilakukan. Pemeriksaan penunjang
dilakukan sekaligus sebagai diagnosis definitif bersama dengan diagnosis
komplikasi seperti kolesistitis, kolangitis, abses hati, dan kanker empedu
(lihat teks untuk perincian)

Gambar 8. Diagram alur untuk diagnosis kolelitiasis.(11)

Penyakit batu empedu dapat diketahui melalui 4 tahap:


a. Keadaan litogenik, di mana kondisi yang memungkinkan untuk
terjadinya pembentukan batu empedu.
b. Batu empedu asimtomatik (silent stones).
c. Batu empedu simtomatik, dengan karakteristik adanya kolik bilier
episodik.
d. Komplikasi kolelitiasis.
Tanda dan gejala dari komplikasi batu empedu akibat dari efek yang
terjadi di dalam kandung empedu atau dari batu yang keluar dari kandung
empedu.

2.3.4.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Pada anamnesis, didapatkan setengah sampai dua pertiga penderita batu
kandung empedu adalah asimtomatik. Keluhan yang mungkin timbul berupa
dyspepsia yang kadang disertai intoleransi terhadap makanan berlemak.
Batu Empedu Asimtomatik (silent stone)

16
Batu empedu mungkin dapat ditemukan didalam kantung empedu
selama beberapa dekade tanpa disertai tanda dan gejala dari komplikasinya
sendiri. Pada kebanyakan kasus, batu empedu asimtomatik tidak
membutuhkan terapi. Dispepsia yang terjadi ketika mengkonsumsi makanan
berlemak sering disalah artikan dengan batu empedu, ketika iritasi lambung
atau gastroesophageal reflux merupakan tanda dan gejala utama.
Studi tindak lanjut jangka panjang menunjukkan bahwa hanya 10%
hingga 20% individu dengan batu empedu yang asimtomatik mengalami
gejala, paling umum kolik bilier. Kurang dari 3% mengalami kolesistitis
akut, dan kurang dari 1% meninggal akibat komplikasi batu empedu. Kolik
bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul secara tiba-tiba.
Batu empedu simtomatik (kolik bilier)
Nyeri yang disebut kolik bilier terjadi bila batu empedu atau sludge
berada di duktus sistikus selama kontraksi kandung empedu, meningkatkan
ketegangan dinding kandung empedu. Serangan nyeri sering terjadi setelah
menelan makanan, yang akan menyebabkan kontraksi kantong empedu dan
berdampak pada batu di saluran kistik. Obstruksi saluran kistik bersifat
sementara, berlangsung dari beberapa menit hingga beberapa jam, dan kira-
kira bersamaan dengan lamanya nyeri. Dalam kebanyakan kasus, nyeri
berlangsung selama 30 sampai 90 menit. Demam biasanya tidak didapatkan.
Kolik bilier episodik, pasien akan melokalisir nyeri pada epigastrium
atau kuadran kanan atas dan mungkin menjalar hingga ke ujung skapula
kanan. Rasa sakit mulai postprandially (biasanya dalam waktu satu jam
setelah mengkonsumsi makanan berlemak), biasanya berlangsung selama 1-
5 jam. Rasa sakit yang dialami konstan dan tidak berkurang dengan
pemberian terapi emesis, antasid, buang air besar, kentut, ataupun
perubahan posisi. Biasanya disertai dengan diaforesis, mual, dan muntah.(6)
Kalau terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada
waktu menarik nafas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh ujung

17
jari tangan sehingga pasien menarik nafas, yang merupakan tanda
rangsangan peritoneum setempat (Murphy sign).

2.3.4.2 Pemeriksaan penunjang


Pasien dengan kolelitiasis tanpa komplikasi atau kolik bilier sederhana
biasanya memiliki hasil uji laboratorium normal. Pengujian laboratorium
umumnya tidak dilakukan kecuali kolesistitis menjadi acuan.
Batu empedu asimtomatik sering ditemukan secara kebetulan melalui
foto polos, sonogram abdomen, atau CT-Scan untuk pemeriksaan dari
proses lainnya. Foto polos ambdomen memiliki sedikit peran dalam
mendiagnosis batu empedu. Kolesterol dan pigmen batu yang radiopak akan
terlihat pada radiografi hanya 10 – 30 % dari kasus, tergantung sejauh mana
proses kalsifikasinya.Ultrasonografi abdomen adalah alat diagnostik paling
sederhana dan terbaik dan menunjukkan batu di kantong empedu, biasanya
ditunjukkan dengan penebalan dinding kantong empedu minimal atau cairan
pericholecystic. Leukositosis tidak ada pada kebanyakan kasus. Tes fungsi
hati dan serum amilase biasanya normal.
Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Namun pemeriksaan darah
lengkap dan tes fungsi hati secara rutin tetap dilakukan. Apabila terjadi
peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Selain itu peningkatan sel darah
putih juga dapat menunjukkan atau meningkatkan kecurigaan kolesistitis.
Jika dikaitkan dengan peningkatan bilirubin, alkaline phosphatase, atau
aminotransferase, kolangitis harus dicurigai. Kolestasis ditandai dengan
peningkatan bilirubin (misal bentuk terkonjugasi) dan peningkatan alkali
fosfatase. Aminotransferase serum mungkin normal atau sedikit meningkat.

18
Pada pasien dengan kolik bilier atau kolesistitis kronis, tes darah biasanya
normal.(9)
Beningkatan bilirubin mengindikasikan adanya obstruksi. Biasanya
pada kasus koledokolitiasis obstruksi menghasilkan peningkatan SGOT dan
SGPT, diikuti dengan peningkatan serum bilirubin setiap jamnya. Hal ini di
dapatkan pada 60% pasien dengan peningkatan serum bilirubin > 3 mg/dL.
Bila obstruksi menetap akan mengalami penurunan vitamin K akibat dari
absorbsi empedu. Obstruksi pada ampula Vater akan memberikan hasil
peningkatan serum lipase dan amilase.
Ultrasonography (USG)
USG abdomen adalah tes diagnostik standar untuk batu empedu. USG
merupakan pemeriksaan utama pada kasus batu empedu; sensitivitas,
spesifisitas, noninvasif, dan murah dapat mendeteksi adanya batu empedu
hingga 90%. Keuntungan lain adalah USG bersifat noninvasif, tidak
menyakitkan, tidak membuat pasien terkena radiasi, dan dapat dilakukan
pada pasien yang sakit kritis. Organ-organ yang berdekatan juga dapat
diperiksa pada saat yang sama.(11)
Batu empedu dilihat secara akustik terlihat padat dan dapat
memantulkan gelombang ultrasonik kembali ke transduser. Karena
menghalangi jalannya gelombang suara ke daerah di belakangnya, mereka
juga menghasilkan bayangan akustik. Batu empedu juga bergerak dengan
perubahan posisi. Beda dengan polip meski dapat dikalsifikasi dan
mencerminkan bayangan, tetapi tidak bergerak dengan perubahan postur.
Selain itu USG sangat berguna untuk mendiagnosis kolesistitis akut
tanpa komplikasi. Adanya dinding kandung empedu yang menebal dan
nyeri tekan lokal dapat mengindikasikan kolesistitis. Pasien memiliki
kolesistitis akut jika lapisan edema terlihat di dalam dinding kantong
empedu atau antara kantong empedu dan hati dalam hubungan dengan
kelembutan lokal. Ketika batu menghalangi leher kantong empedu, kantong
empedu bisa menjadi sangat besar, tetapi berdinding tipis. Kandung empedu
yang berkontraksi dan berdinding tebal menunjukkan kolesistitis

19
kronis.Fitus sonografi kolesistitis akut termasuk penebalan kandung empedu
(> 5 mm), cairan pericholecystic, kandung empedu distensi (> 5 cm), dan
Murphy sign sonografi. Batu empedu dapat dilihat dengan tampak masa
echogenic. Dapat bergerak bebas dengan perubahan posisi dan membentuk
bayangan akustik.(11)

Gambar 9. Ultrasonografi perut adalah skrining yang paling berguna untuk penyakit
saluran empedu. Ultrasonogram menunjukkan beberapa batu (panah) di bagian dependen
kantong empedu pada pasien dengan gambaran klinis kolesistitis dini.(6)

Gambar 10. Ultrasonografi kantong empedu. Panah menunjukkan bayangan akustik


dari batu di kantong empedu.(9)

Lain-lain

20
 Oral kolesistografi: Melibatkan pemberian senyawa radiopak secara
oral, yang diserap kemudian diekskresikan oleh hati, dan diteruskan
ke kantong empedu. Kolesistografi oral sebagian besar telah
digantikan oleh ultrasonografi.
 Biliary Radionuclide Scanning (HIDA Scan): Penggunaan utama
skintigrafi bilier adalah dalam diagnosis kolesistitis akut. Derivat
dari asam diminil iminodiacetic (HIDA) disuntikkan secara
intravena, dibersihkan oleh sel Kupffer di hati, dan diekskresikan
dalam empedu. Penyerapan oleh hati dideteksi dalam 10 menit, dan
kantong empedu, saluran empedu, dan duodenum divisualisasikan
dalam waktu 60 menit pada subjek puasa.
 CT Scan Abdomen: CT scan abdomen lebih rendah derajatnya
daripada USG dalam mendiagnosis batu empedu. Aplikasi utama CT
scan adalah untuk menentukan cabang saluran bilier ekstrahepatik
serta struktur yang berdekatan. Tes pilihan dalam mengevaluasi
pasien dengan dugaan keganasan kandung empedu, sistem empedu
ekstrahepatik, atau organ di dekatnya, khususnya, caput pankreas.
 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography: Keuntungan dari
ERC termasuk visualisasi langsung dari daerah ampullary dan akses
langsung ke saluran empedu umum distal, dengan kemungkinan
intervensi terapeutik. Tes ini jarang dilakukan untuk penyakit batu
empedu yang tanpa komplikasi, tetapi untuk batu di saluran empedu
umum, khususnya, ketika dikaitkan dengan penyakit kuning
obstruktif, kolangitis, atau pankreatitis batu empedu, ERC
merupakan prosedur pilihan diagnostik dan sering terapi.
 Percutaneous Transhepatic Cholangiography: Saluran empedu
intrahepatik diakses secara perkutan dengan jarum kecil di bawah
panduan fluoroskopi. Setelah posisi dalam saluran empedu telah
dikonfirmasi, kawat pemandu dimasukkan, dan selanjutnya kateter
dimasukkan melalui kawat. Percutaneous transhepatic
cholangiography (PTC) tidak berperan dalam tatalaksana pasien

21
dengan penyakit batu empedu non komplikasi tetapi sangat berguna
pada pasien dengan striktur saluran empedu dan tumor.

2.3.5 Penatalaksaan
Penatalaksanaan pasien dengan batu empedu simtomatik harus disarankan
untuk memiliki elektif kolesistektomi laparoskopi. Sambil menunggu operasi,
atau jika operasi harus ditunda, pasien harus disarankan untuk menghindari
lemak makanan dan makanan besar. Pasien diabetes dengan batu empedu
simtomatik harus cholecystectomy segera, karena lebih rentan untuk menjadi
cholesistitis akut yang sering parah.(6) Wanita hamil dengan batu empedu
simtomatik yang tidak dapat dikelola harap menjalankan diet modifikasi
supaya aman menjalani kolesistektomi laparoskopi selama trimester kedua.
Kolesistektomi laparoskopi aman dan efektif pada anak-anak dan dewasa.
Sekitar 90 % dari pasien dengan gejala khas empedu dan batu tersebut
diberikan bebas dari gejala setelah kolesistektomi. Untuk pasien dengan gejala
atypikal atau dispepsia (kembung, bersendawa, kembung, dan intoleransi
lemak dari makanan), hasilnya tidak seperti yang menguntungkan.
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri
yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak.
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang
meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk
menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan
kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah
pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.

Non Medikamentosa

22
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi
tidak dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik
ialah:
- Pasien dengan batu empedu > 2cm
- Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resiko tinggi
keganasan
- Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut.
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien
dengan kolelitiasis simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis
akut. Pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya
diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi
batu empedu. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Pada
beberapa kasus ahli bedah dapat membuat fistula antara saluran
empedu distal dan duodenum sehingga berdekatan
(choledochoduodenostomy), sehingga memungkinkan batu empedu
dengan mudah keluar ke dalam usus.

Gambar 11. Insisi yang dilakukan pada kolesistektomi terbuka.(9)

23
Setelah anestesi umum diberikan, nasogastrictube dan kateter urin
dipasangkan pada pasien, kemudian perut dibuka. Setelah eksplorasi
perut secara umum, kantong empedu dan CBD akan terbuka dengan
jelas. Adhesi omental dipisahkan dari fundus kandung empedu dan
kandung empedu diangkat dari usus transversal. Kunci untuk
mendapatkan paparan kandung empedu yang memadai adalah: (1)
lakukan retraksi kandung empedu ke arah atas dan lateral
menggunakan dua forsep, (2) lakukan retraksi hati ke arah atas dan
sedikit ke kiri menggunakan retractor Deaver yang ditutup spon, dan
(3) lakukan retraksi CBD distal dan duodenum inferior oleh tangan
kiri asisten.

2. Kolesistektomi laparoskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990
dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopi.
Awalnya indikasi diberikan hanya pasien dengan kolelitiasis
simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin
banyaknya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan
prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan
batu duktus koledokus. Kolesistektomi Laparoskopi sekarang
menjadi prosedur standar untuk penyakit batu kandung empedu.
Selain itu cara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan
prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah
sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali
bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik.

24
Gambar 12. Penempatan trocar pada kolesistektomi laparoskopi.(6)

Kolesistektomi laparoskopi dilakukan dengan anestesi umum.


Tabung nasogastrik dan kateter kandung kemih dipasang terlebih
dulu pada pasien. Pneumoperitoneum dibuat menggunakan jarum
Veress atau kanula Hassan. Penempatan trocar untuk melakukan
operasi ditunjukkan pada gambar 6. Setelah insuflasi yang memadai
dicapai hingga 18 cm air menggunakan nitro oksida, trocar
periumbilikal ditempatkan untuk pemasangan laparoskop.
Kemudian, tiga trocar lain ditempatkan selagi masing-masing trocar
dilakukan penusukan peritoneum yang dilihat melalui laparoskop.
Asisten berdiri di sebelah kanan pasien, ahli bedah di sebelah kiri,
dan operator kamera di antara kaki pasien.
3. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa
tahun yang lalu, analisis biaya dan manfaat pada saat ini hanya
terbatas untuk pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk
menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant
asam ursodeoksilat.
4. Diet

25
Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu
adalah memberi istirahat pada kandung empedu dan mengurangi
rasa sakit, juga untuk memperkecil kemungkinan batu memasuki
duktus sistikus. Di samping itu untuk memberi makanan secukupnya
untuk memelihara berat badan dan keseimbangan cairan tubuh.
Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu
kandung empedu tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan
makanan yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan makanan
juga harus dihindarkan.

Medikamentosa
Obat disolusi batu empedu dapat dicoba dengan pemberian ursodiol. Agen
ini menekan sekresi kolesterol pada hati dan menghambat penyerapan
kolesterol pada usus. Ursodiol adalah obat yang paling umum digunakan.
Kolesterol ini dilarutkan dalam michel dan bertindak mendispersikan kolesterol
ke dalam media air.
1. Disolusi medis
Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu
jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam
xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan
hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini
dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. Kurang dari
10% batu empedu dilakukan cara ini an sukses. Disolusi medis
sebelumnya harus memenuhi criteria terapi non operatif diantaranya
batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu,
fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten.
2. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang
poten (Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu
melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam
melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini

26
invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang
tinggi (50% dalam 5 tahun).

2.3.6 Komplikasi
Komplikasi kolelithiasis dapat berupa kolesistitis akut, koledokolitiasis
bisa bersamaan dengan kolangitis, pankreatitis, kolesistokoledokal fistula,
kolesitioduodenal dan kolesistoenteric fistula yang bisa mengarah ke
karsinoma kandung empedu.(9)

1. Kolesistitis
Kolesistitis akut adalah keadaan sekunder akibat batu empedu pada
90% hingga 95% kasus. Sumbatan duktus kistik oleh batu empedu
merupakan asal mula penyebab distensi kandung empedu,
peradangan, dan edema dinding kandung empedu. Mengapa inflamasi
hanya muncul saat obstruksi duktus sistikus tidak diketahui. Hal ini
mungkin terkait dengan durasi obstruksi duktus kistik. Awalnya,
kolesistitis akut adalah proses inflamasi yang dimediasi oleh toksin
lisolecithin mukosa—produk lesitin—serta garam empedu dan faktor
pengaktif trombosit. Peningkatan sintesis prostaglandin memperkuat
respons inflamasi. Kandung empedu yang membesar dan dapat diraba.
Pada separuh penderita dapat disertai mual dan muntah. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosir meningkat atau
dalam batas normal. Pada pemeriksaan USG kolesistisis akut ialah
sering ditemukan batu, penebalan dinding kandung empedu, hidrops
dan kadang-kdang terlihat eko cairan di sekelilingnya yang
menandakan adanya perikolesisitisis atau perforasi.
2. Koledokolitiasis
Batu pada saluran empedu dapat berukuran kecil atau besar dan
tunggal atau multipel, dan ditemukan pada 6% sampai 12% pada
pasien kolelitiasis. Insiden koledokolitiasis meningkat dengan
bertambahnya usia. Sekitar 20% hingga 25% pasien di atas usia 60

27
dengan batu empedu simptomatik juga memiliki batu di saluran
empedu serta di kantong empedu. Sebagian besar batu saluran empedu
di negara-negara Barat terbentuk akibat migrasi batu ke saluran kistik
lalu ke saluran empedu dari dalam kantong empedu. Jenis ini
diklasifikasikan sebagai batu saluran empedu sekunder, berbeda
dengan batu primer yang terbentuk di saluran empedu. Batu sekunder
biasanya adalah batu kolesterol, sedangkan batu primer biasanya dari
jenis pigmen coklat.
Nyeri yang disebabkan oleh batu di saluran empedu sangat mirip
dengan kolik bilier yang disebabkan oleh impaksi batu di saluran
kistik. Mual dan muntah sering terjadi. Pemeriksaan fisik mungkin
normal, tetapi nyeri epigastrium ringan atau kuadran kanan atas serta
ikterus sering terjadi. Gejala-gejalanya juga bisa intermiten, seperti
nyeri dan ikterus sementara.
Saluran empedu yang berdilatasi (diameter> 8 mm) pada
ultrasonografi pada pasien kolelitiasis, gambaran ikterus, dan nyeri
empedu sangat memungkinkan adanya batu di saluran empedu.
Magnetic resonance cholangiography (MRC) memberikan detail
anatomi yang sangat baik dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas
masing-masing 95% dan 89%, dalam mendeteksi koledokolitiasis
dengan diameter> 5 mm. Kolangiografi endoskopi (ERCP) menjadi
gold standart untuk mendiagnosis batu saluran empedu.
3. Kolangitis
Cholangitis adalah salah satu dari dua komplikasi utama dari batu
choledochal, di samping pankreatitis batu empedu. Kolangitis akut
adalah infeksi bakteri asenden yang berhubungan dengan obstruksi
saluran empedu. Rintangan mekanis terhadap aliran empedu akibat
sumbatan empedu menjadi fasilitas bagi kontaminasi bakteri.
Cholangitis dapat muncul mulai dari penyakit ringan, intermiten, dan
hingga septikemia fulminan yang berpotensi mengancam jiwa. Pasien
dengan kolangitis yang diinduksi batu empedu biasanya orang tua dan

28
wanita. Presentasi yang paling umum adalah demam, nyeri
epigastrium atau kuadran kanan atas, dan ikterus. Gejala klasik ini,
dikenal sebagai triad Charcot. Apabila tejadi kolangiolitis, biasanya
berupa kolangitis piogenik intrahepatic, akan timbul lima gejala
pentade “Reynold”, berupa tiga gejala trias Charcoat, ditambah syok,
kekacauan mentau atau penurunan kesadaran sampai koma.
Leukositosis, hiperbilirubinemia, dan peningkatan alkali fosfatase dan
transaminase mendukung diagnosis klinis kolangitis. Tes diagnostik
definitif adalah ERC. Dalam kasus di mana ERC tidak tersedia, PTC
diindikasikan. Baik ERC dan PTC akan menunjukkan level dan lokasi
penyumbatan, memungkinkan kultur empedu, memungkinkan
tindakan pengeluaran batu, dan memungkinkan drainase saluran
empedu dengan kateter atau stent drainase. Perawatan awal pasien
dengan kolangitis termasuk antibiotik IV dan resusitasi cairan.
4. Pankreatitis bilier
Batu empedu di saluran empedu terkait dengan pankreatitis akut.
Obstruksi saluran pankreas oleh batu yang terimpaksi atau obstruksi
sementara oleh batu yang melewati ampula dapat menyebabkan
pankreatitis. Ultrasonogram dari traktus biliaris pada pasien dengan
pankreatitis sangat penting. Jika batu empedu hadir dan pankreatitis
cukup parah, ERC dengan sphincterotomy dan ekstraksi batu dapat
dilakukan. Setelah pankreatitis membaik, kantong empedu harus
diangkat selama perawatan yang sama.
5. Fistula
Fistula bilier adalah komplikasi batu empedu yang jarang terjadi.
Biasanya dapat mempengaruhi saluran empedu atau saluran
pencernaan dan biasanya diklasifikasikan sebagai primer atau
sekunder. Fistula primer berhubungan dengan lithiasis bilier,
sedangkan fistula sekunder berhubungan dengan komplikasi bedah.
Proses fisiopatologis dimulai dengan impact batu yang berlanjut
dengan erosi kantong empedu dan dinding saluran empedu. Fistula

29
dapat berinterkasi saluran empedu dan struktur gastrointestinal
terdekat. Berdasarkan proses fisiopatologis ini, fistula kolesistoenterik
harus dianggap sebagai tahap akhir dari Sindrom Mirizzi.(12)
6. Keganasan
Karsinoma kandung empedu adalah keganasan terbanyak kelima di
saluran pencernaan dan memiliki prognosis yang buruk. Batu empedu,
terkait erat dengan kanker kandung empedu, ditemukan pada 70%
hingga 90% pasien kanker. Tetapi kanker kandung empedu terlihat
pada hanya 0,5% hingga 3% dari pasien-pasien dengan batu empedu,
sementara insiden meningkat sampai 20% ketika kantong empedu
mengalami kalsifikasi atau porselen. Insiden kanker kandung empedu
pada cholelithiasis tidak cukup tinggi untuk membenarkan
kolesistektomi profilaksis pada kolelitiasis asimtomatik. Sebagian
besar kanker kandung empedu ditemukan secara tidak sengaja pada
saat kolesistektomi untuk batu empedu.

2.3.7 Prognosis
Data menunjukkan bahwa hanya 50% pasien dengan batu empedu
menunjukkan gejala. Tingkat kematian setelah kolesistektomi laparoskopi
elektif kurang dari 1%. Namun, kolesistektomi darurat memiliki tingkat
kematian yang lebih tinggi dari kolesistektomi elektif. Masalah lain bisa berupa
masih adanya batu di saluran empedu setelah operasi, hernia insisional, dan
cedera pada saluran empedu. Beberapa persentase pasien mengalami nyeri
pasca kolesistektomi.

30
BAB III

KESIMPULAN

Kolelitiasis asimtomatik atau silent gallstones dapat ditemukan secara


kebetulan selama pemeriksaan radiologis atau pemeriksaan abdomen. Hanya 10%
hingga 20% individu dengan silent gallstones mengalami gejala kolik bilier.
Kurang dari 3% mengalami kolesistitis akut, dan lebih sedikit dari 1% meninggal
akibat komplikasi batu empedu. Telah disepakati bahwa batu empedu
simptomatik secara umum harus ditatalaksana secara konservatif, bahkan pada
penderita dengan diabetes karena memiliki gejala yang cenderung memburuk.
Tindakan kolesistektomi pada pasien-pasien dengan kolelitiasis simtomatik
bagaimanapun menjadi suatu pertimbangan rekomendasi. Hal ini sangat penting
pada pasien yang menderita diabetes, sumbatan batu empedu yang besar, atau
kandung empedu yang mengalami kalsifikasi, karena semua jenis pasien tersebut
memiliki risiko komplikasi dari kolelitiatis asimptomatik.

Biasanya nyeri pada kolik bilier dapat dirasakan pasien di kuadran kanan
atas abdomen dan sering menjalar ke punggung di daerah infrascapular dextra.
Rasa sakit dapat berlangsung dari beberapa menit hingga berjam-jam dan sering
terjadi setelah makan, terutama makanan yang mengandung banyak lemak. Mual
dan muntah mungkin dapat terjadi bersamaan dengan nyeri, tetapi demam dan
rasa tegang pada perut biasanya tidak terjadi.

Ultrasonografi abdomen adalah perangkat diagnostik paling sederhana dan


yang terbaik untuk menggambarkan batu di kantong empedu, biasanya
ditunjukkan dengan penebalan dinding kantong empedu minimal atau cairan
pericholecystic. Pada kebanyakan kasus demam atau peningkatan leukosit tidak
didapatkan. Tes laboratorium untuk fungsi hati dan serum amilase juga biasanya
normal.

Standar tatalaksana untuk kolelitiatis adalah kolesistektomi laparoskopi


dini. Setelah operasi dijadwalkan, pasien dianjurkan untuk diet rendah lemak.
Pengobatan obat analgesik diperlukan hanya selama serangan akut. Pada awal

31
kehamilan, penatalaksanaan konservatif dengan diet rendah lemak sudah tepat,
dan pendekatan diet ini ditujukan untuk menunda kolesistektomi sampai setelah
melahirkan. Jika tidak, kolesistektomi mungkin diperlukan dan dilakukan dengan
aman selama paruh kedua trimester kedua atau pada trimester ketiga jika
gejalanya memburuk atau jika komplikasi kolesistitis akut berkembang.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Wibowo S, Kanadihardja W, Sjamsuhidajat R, Syukur A. Saluran empedu


dan hati. Dlm: Buku Ajar Ilmu Bedah. 3 ed. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2010. hal. 674–82.
2. Tanaja J, Lopez R, Meer J. Cholelithiasis [Internet]. StatPearls. 2019 [dikutip
8 Februari 2020]. Tersedia pada:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470440/
3. Lesmana LA. Penyakit Batu Empedu. Dlm: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing; 2014. hal. 2020–5.
4. Rohen JW, Yokochi C, Lutjen-Drecoll E. Atlas Anatomi Indonesia. Suyono
J, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013. 286-287 hal.
5. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta: Batang Badan, Panggul,
Ekstremitas Bawah. 21 ed. Munich: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2015.
146 hal.
6. Debas HT. Biliary Tract. Dlm: Gastrointestinal Surgery: Pathophysiology and
Management. New York: Springer-Verlag New York, Inc.; 2004. hal. 192–
238.
7. Sherwood L. The Digestive System. Dlm: Introduction to Human Physiology.
8 ed. New York: Brooks/Cole; 2013. hal. 681.
8. Price S, Lorraine M. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6
ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.
9. Pham TH, Hunter JG. Gallbladder and the Extrahepatic Biliary System. Dlm:
Corbett S, editor. Schwartz Principles of Surgery. 10 ed. Washington:
McGraw-Hill Education; 2015. hal. 1309–34.
10. Sabiston DC. Sabiston Buku Ajar Bedah. Ronardy DH, editor. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1995.
11. Tazuma S, Unno M, Igarashi Y, Inui K. Evidence-based clinical practice
guidelines for cholelithiasis 2016. J Gastroenterol. 2017;52(3):276–300.
12. Crespi M, Montecamozzo G, Foschi D. Diagnosis and Treatment of Biliary
Fistulas in the Laparoscopic Era. 2016;2016(i).

33
34

Anda mungkin juga menyukai