Anda di halaman 1dari 35

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, penulis mengucapkan puji dan syukur  yang sebesar-


besarnya kepada Allah SWT atas rahmat, hidayah dan petunjuk-Nya yang
berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan  Makalah ini.        

Adapun judul dari Makalaah ini “Asuhan Keperawatan Perioperatif


Pada Ny. R dengan Tindakan Operasi Laparoscopy Cholelhitiasis”.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu syarat untuk melengkapi tugas di
kamar bedah. Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak baik berupa saran, bimbingan dan dukungan moril dan
materil akhirnya makalah ini dapat diselesaikan.

Penulis  menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk


itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
sendiri dan semua pihak yang membacanya. Amin.

                                                                               

 Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................
KATA PENGANTAR...........................................................................................
DAFTAR ISI.........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................
B. Tujuan Penulisan...................................................................................
C. Manfaat Penulisan.................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Cholelithiasis
1. Definisi.............................................................................................
2. Etiologi.............................................................................................
3. Manifestasi Klinis............................................................................
4. Patofisiologi.....................................................................................
5. Komplikasi.......................................................................................
6. Pemeriksaan Penunjang....................................................................
7. Penatalaksanaan Medis....................................................................
B. Konsep Laparacopy
1. Definisi ............................................................................................
2. Etiologi ............................................................................................
3. Manifestasi Klinis…………………………………………………
4. Patofisiologi………………………………………………………..
5. Komplikasi…………………………………………………………..
6. Pemeriksaan Penunjang………………………………………………
7. Penatalaksanaan Medis……………………………………………….
C. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian …………………………………………………………
2. Diagnose Keperawatan……………………………………………..
3. Rencana Keperawatan………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini penyakit batu empedu (cholelitiasis) yang terbatas pada
kantung empedu biasanya asimtomatis dan menyerang 10 – 20 % populasi
umum di dunia. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan ultrasonografi
abdomen. Kira-kira 20% wanita dan 10 % pria usia 55 sampai 65 tahun
memiliki batu empedu. Cholesistektomi diindikasikan pada pasien simtomatis
yang terbukti menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi
laparoskopi untuk Cholesistektomi sama dengan indikasi open
Cholesistektomi. Karena teknik minimal invasif memiliki aplikasi diagnosis
dan terapi dibanyak pembedahan, bedah laparoskopi meningkat
penggunaannya baik pada pasien rawat inap ataupun rawat jalan.
Teknik laparoskopi atau pembedahan minimal invasif diperkirakan
menjadi trend bedah masa depan. Sekitar 70-80 persen tindakan operasi di
negara-negara maju akan menggunakan teknik ini. Di Indonesia, teknik bedah
laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim dari RS Cedar Sinai
California AS mengadakan live demo di RS Husada Jakarta. Selang setahun
kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto Mangunkusumo melakukan
operasi laparoskopi pengangkatan batu dan kantung empedu (Laparoscopic
Cholecystectomy) yang pertama. Sejak 1997, Laparoscopic Cholecystectomy
menjadi prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung empedu di beberapa
rumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan klien dengan cholelitiasis
2. Tujuan khusus
a. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien dengan laparoscopy
cholelitiasis
b. Merumuskan diagnosa keperawatan yang tepat pada klien dengan
laparoscopy cholelitiasis
c. Menetapkan perencanaan keperawatan pada klien dengan
laparoscopy cholelitiasis
d. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan laaprascopy
cholelitiasis
e. Melakukan evaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada
klien dengan laparoscopy cholelitiasis
f. Mengetahui instrumen yang dipakai dalam tindakan laparacopy
g. Mengetahui langkah-langkah prosedur laparascopy cholelitiasis

C. Manfaat Penulisan
1. Bagi rumah sakit
Memberikan penanganan yang baik dan benar pada klien dengan
laparoscopy cholelitiasis
2. Bagi masyarakat
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang bagaimana cara
mengatasi masalah laparoscopy cholelitiasis
3. Bagi perawat
Mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien
laparoscopy cholelitiasis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Cholelithiasis
1. Definisi
b. Cholelitiasis
Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan kristal di
dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu atau kedua-
duanya. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa
unsur dari cairan empedu yang mengendap dan membentuk suatu
material mirip batu di dalam kandung empedu atau saluran empedu.
Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin, garam
empedu, fosfolipid dan kolesterol. Batu yang ditemukan di dalam
kandung empedu bisa berupa batu kolesterol, batu pigmen yaitu
coklat atau pigmen hitam, atau batu campuran.
Lokasi batu empedu bisa bermacam–macam yakni di
kandung empedu, duktus sistikus, duktus koledokus, ampula vateri,
di dalam hati. Kandung empedu merupakan kantong berbentuk
seperti buah alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati.
Empedu yangdisekresi secara terus menerus oleh hati masuk
kesaluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang
kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar
yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus
kanan dan kiri yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus
komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus
sistikus membentuk duktus koledokus. Pada banyak orang,duktus
koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula
vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua
saluran dan ampula dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal
sebagai sfingter oddi.
2. ETIOLOGI
Faktor predisposisi terpenting, yaitu : gangguan metabolisme yang
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan
infeksi kandung empedu.

1. Perubahan komposisi empedu


Faktor tersebut merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu
empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol mengekresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang
berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu untuk membentuk
batu empedu.
2. Statis empedu
Keadaan tersebut dalam kandung empedu dapat mengakibatkan
supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan
unsur-unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau
spasme spingter oddi, atau keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor
hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin ) dapat dikaitkan
dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu.
3. Infeksi kandung empedu
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam
pembentukan batu. Mukus meningkatakn viskositas empedu dan unsur
sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan.
Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu ,dibanding panyebab
terbentuknya batu.
Adapun faktor – faktor lain penyebab terjadinya cholelithiasis, antara
lain adalah usia yang semakin bertambah, penyakit tersebut juga paling
sering terjadi pada gender wanita, pengaruh pola hidup,
pengkonsumsian obat-obatan untuk menurunkan kadar serum
kolesterol.
3. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala akut
Tanda : epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme, saat akan
melakukan inspirasi pada pernafasan ketika di raba akan terdapat
nyeri tekan, kandung empedu membesar  dan nyeri, ikterus ringan.
Gejala : Rasa nyeri (kolik empedu) yang menetap, mual dan
muntah, febris (38,5°C)
2. Gejala kronis
Tanda : biasanya tak tampak gambaran pada abdomen, kadang
terdapat nyeri di kuadran kanan atas.
Gejala : rasa nyeri (kolik empedu), tempat : abdomen bagian atas
(mid epigastrium), sifat : terpusat di epigastrium menyebar ke arah
skapula kanan, mual dan muntah, intoleransi dengan makanan
berlemak, flatulensi, eruktasi (bersendawa).
4. PATOFISIOLOGI
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap, yaitu :
1. Pembentukan empedu yang supersaturasi
2. Nukleasi atau pembentukan inti batu
3. Berkembang karena bertambahnya pengendapan
Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pe
mbentukan
semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol 
terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) de
ngan kolesterol turun
di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media 
yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pem
bentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh m
antel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol 
yang berlebihan, atau kadar asam empedu 
rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti 
pengendapan kolesterol.  Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kole
sterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pe
ngendapan.  Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, frag
men parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan 
untuk dipakai sebagai benih pengkristalan.
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempa
t anion ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin
) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonju
gasi karena adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjug
asi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranfera
se tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubi
n tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak 
larut dalam air tapi larut dalam lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pen
gendapan 
bilirubin tak terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jar
ang terjadi.

5. PATHWAY
Terlampir

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Radiologi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prose
dur diagnostik pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan c
epat dan akurat, dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan i
kterus.Disamping itu, pemeriksan USG tidak membuat pasien terpajan r
adiasi inisasi. Prosedur ini akan memberikan 
hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya 
sehingga kandung empedunya berada dalam keadan distensi. Pengguna
an ultra sound berdasarkan pada gelombang suara yang dipantulkan ke
mbali. Pemeriksan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empe
du atau duktus koleduktus yang mengalami dilatasi.
2. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tersedia atau bila hasil USG
meragukan. Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu
empedu dan mengkaji kemampuan kandung empedu untuk melakukan
pengisisan, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengososngkan
isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien jaundice, karena
liver tidak dapat menghantarkan media kontras kandung empedu yang
mengalami obstruksi.

3. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding
kandung empedu telah menebal.
4. ERCP (Endoscopic Retrograde Colangiopancreatografi)
Pemeriksaan ini memungkinkan visualisasi struktur secara langsung ya
ng hanya dapat dilihat pada saat laparatomi. Pemeriksaan ini meliputi in
sersi endoskop serat optik yang fleksibel ke dalam esofagus hingga men
capai duodenum pars desendens.
Sebuah kanula dimasukan ke dalam duktus koleduktus serta duktus pan
kreatikus,
kemudian bahan kontras disuntikan ke dalam duktus tersebut untuk men
entukan
keberadaan batu di duktus dan memungkinkan visualisassi serta evaluas
i percabangan bilier.

7. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Kenaikan serum kolesterol
2. Kenaikan fosfolipid
3. Penurunan ester kolesterol
4. Kenaikan protrombin serum time
5. Kenaikan bilirubin total, transaminase (Normal < 0,4 mg/dl)
6. Penurunan urobilirubin
7. Peningkatan sel darah putih: 12.000 - 15.000/iu (Normal : 5000 - 10.00
0/iu)
8. Peningkatan serum amilase, bila pankreas terlibat atau bila ada batu di
duktus utama (Normal: 17 - 115 unit/100ml).

8. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Penatalaksanaan non bedah
a. Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien yang mengalami inflamasi
akut kandung empedu sembuh dengan istirahat, cairan infus,
penghisapan nasogastrik, analgesik, dan antibiotik. Intervensi
bedah harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang
lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika kondisi paisen memburuk.
Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein. Pemasangan pipa
lambung bila terjadi distensi perut. Observasi keadaan umum dan
vital sign.
Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk
mengatasi syok. Pemeberian antibiotik sistemik dan vitamin K
( anti koagulpati ).
b. Disolusi medis
Oral Disolution Therapy adalah car penghancuran batu
dengan pemberian obat-obatan herbal. Ursodeoxycholic acid lebih
dipilih dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic, karena efek
samping yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic,
seperti terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan
hiperkolesterolemia sedang
c. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk
menghancurkan batu kolesterol dengan memasukkan suatu cairan
pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter perkutaneus
melalui hepar atau alternatfi lain melalui kateter nasobilier. Larutan
yang dipakai adalah methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan
dengan suatu alat khusus ke dalam kandung empedu dan biasanya
mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya digunakan untuk kasus dengan
batu kolesterol radiolusen. Larutan yang digunakan dapat
menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan adanya
kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu.
d. ESWL/ litotrispi gelombang elektrosyok
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut
berulang (repeated shock wave) yang diarahkan pada batu empedu
didalam kandung empedu atau duktus koledukus dengan memecah
batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen.
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun lalu.
Manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya
terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk
menjalani terapi ini..
e. ERCP
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung, dan ke dalam usus halus. Zat kontras
radioopak massuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang
didalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka
agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbay saluran akan
berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil
dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000
penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi,
sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut.
ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran
empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat.
2. Penatalaksanaan bedah
a. Kolesistektomi terbuka
Indikasi yang paling umum untuk dilakukan kolesistektomi
terbuka adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
Operasi ini merupakan standart terbaik untuk penanganan pasien
dengan koletiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna
yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris

b. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laporoskopik mulai diperkenalkan pada tahun
1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara
laparoskopi. 80-90% batu emepdu di Inggris dibuang dnegan cara ini
karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal
(0,10-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi
pada jantung dan paru-paru. Kadnung empedu diangkat melalui
selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil didinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dngan kolelitiasis simtomatik
tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada
pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus
koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibanding
prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan dirumah
sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali
bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang
belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan
dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laposrasokpi.
9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
5. Perikolesistitis
6. Peradangan pankreas (pankreatitis)
7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis
9. Hidrop kandung empedu
10. Empiema kandung empedu
11. Fistel kolesistoenterik
12. Batu empedu sekunder (Pada 26% penderita, saluran menciut kembali 
dan batu empedu muncul lagi)
13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)

B. Konsep Laparoscopy Cholelhitiasis


Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan
minimally invasive dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga
peritoneum untuk membuat ruang antara dinding depan perut dan
organ viscera, sehingga memberikan akses endoskopi ke dalam
rongga peritoneum tersebut.Teknik laparoskopi atau pembedahan
minimally invasive diperkirakan menjadi trend bedah masa depan.
Di Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di
awal 1990-an ketika tim dari RS Cedar Sinai California AS
mengadakan live demo di RS Husada Jakarta. Selang setahun
kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto
Mangunkusumo melakukan operasi laparoskopi pengangkatan batu
dan kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy) yang
pertama. Sejak 1997, Laparoscopic Cholecystectomy menjadi
prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung empedu di
beberapa rumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di
Indonesia.
Beberapa keuntungan dari tindakan laparascopy ini antara
lain :
1) Nyeri pasca bedah jauh lebih ringan
2) Membantu menegakkan diagnosa lebih akurat
3) Proses pemulihan lebih cepat
4) Rawat inap lebih singkat
5) Luka bekas operasi lebih kecil

Posisi pasien operasi Laparascopy Chole adalah pasien tidur


terlentang dalam posisi anti trendelenburg, miring kekiri 30°
kearah operator, operator berada disebelah kiri pasien, asisten dan
instrumen sebelah kanan pasien
4. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna
namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi
kandung empedu. Batu empedu dapat terjadi dengan atau tanpa factor
resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak factor resiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya batu empedu.
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena batu
empedu dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormone
esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh
kandung empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan resiko terkena batu empedu. Penggunaan pil
kontrasepsi dan terapi hormone (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitis
pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena batu empedu meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung
untuk terkena batu empedu dibandingkan dengan orang usia yang
lebih muda
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko
lebih tinggi untuk terjadi batu empedu. Ini dikarenakan dengan
tingginy BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun
tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat yang cepat (seperti setelah
operasi gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur
kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi
kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai resiko
lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko
terjadi batu empedu. Ini mungkin disebabkan oleh kandung
empedu lebih sedikit berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu empedu adalah
crhon disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutirisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu
tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada
makanan/nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk
terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
5. Manifestasi Klinis
b. Nyeri daerah midepigastrium
c. Mual dan muntah
d. Tachycardia
e. Diaphoresis
f. Demam
g. Flatus, rasa beban epigastrium, heart burn
h. Nyeri abdominal atas kronik
i. Jaundice
4. Patofisiologi
.........................................................Batu empedu yang ditemukan pada kandung emp
klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu
kolesterol, batu pigmen dan batu campuran. Lebih dari 90 % batu
empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol)
atau batu campuran ( batu yang mengandung 20-50% kolesterol). 10 %
sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung <20%
kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain
adalah keadaan stasis kandung empedu, pengosongan kandung empedu
yang tidak sempurna dan kosentrasi kalsium dalam kandung
empedu.Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip
batu yang terbentuk di dalam kandung empedu.
Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid
membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi
bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh
(kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk
nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam kandung
empedu, kemudian lama kelamaan tersebut bertambah ukuran,
beragregasi, melebur dan membentuk batu. Factor motilitas kandung
empedu dan biliary stasis merupakan predisposisi pembentukan batu
campuran.
5. Komplikasi
Komplikasi dari kolelitiasis diantaranya adalah :
a. Empiema kandung empedu, terjadi akibat perkembangan
kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi
superinfeksi empedu yang tersumbat disertai kuman kuman
pembentuk pus.
b. Hidrops atau mukokel kandung empedu terjadi akibat sumbatan
berkepanjangan duktus sitikus.
c. Gangren, gangrene kandung empedu menimbulkan iskemia dinding
dan nekrosis jaringan berbercak atau total.
d. Perforasi : Perforasi lokal biasanya tertahan oleh adhesi yang
ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Perforasi
bebas lebih jarang terjadi tetapi mengakibatkan kematian sekitar
30%.
e. Pembentukan fistula
f. Ileus batu empedu : obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan
oleh lintasan batu empedu yang besar kedalam lumen usus.
g. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porcelain.

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen


Pemeriksaaan sinar-X abdomen dapat dilakukan jika terdapat
kecurigaan akan penyakit kandung empedu dan untuk
menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun demikian, hanya
15% hingga 20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi
untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
b. Ultrasonografi.
................................................Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistog
sebagai prosedur diagnostic pilihan karena pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan cepat serta akurat, dan dapat digunakan pada
penderita disfungsi hati dan ikterus. Disamping itu, pemeriksaan
USG tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini
akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah
berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya
berada dalam keadaan distensi. Penggunaan ultrasound berdasarkan
pada gelombang suara yang dipantulkan kembali. Pemeriksaan
USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung empedu atau duktus
koledokus yang mengalami dilatasi. Dilaporkan bahwa USG
mendeteksi batu empedu dengan akurasi 95%.
c. Pemeriksaan Radionuklida atau Koleskintografi
......................................................Koleskintografi telah berhasil dalam memban
menegakkan diagnosis kolelisistitis. Dalam prosedur ini, preparat
radioaktif disuntikkan melalui intravena. Preparat ini kemudian
diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan dalam
system bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu
untuk mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan
bilier. Pemeriksaan ini lebih mahal daripada USG, memerlukan
waktu yang lebih lama untuk mengerjakannya, membuat pasien
terpajan sinar radiasi, dan tidak dapat mendeteksi batu empedu.
Penggunaannya terbatas pada kasus-kasus yang dengan
pemeriksaan USG, diagnosisnya masih belum dapat disimpulkan.
d. Kolesistografi.
.......................................................Meskipun sudah digantikan dengan USG seba
pemeriksaan pilihan, kolesistografi masih digunakan jika alat USG
tidak tersedia atau bila hasil USG meragukan. Kolangiografi oral
dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji
kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian,
memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan isinya.
Media kontras yang mengandung iodium yang diekskresikan oleh
hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada
pasien. Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan
radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu, bayangannya akan
tampak pada foto rontgen.
Preparat yang diberikan sebagai bahan kontras mencakup
asam iopanoat (Telepaque), iodipamie meglumine (Cholografin)
dan sodium ipodat (Oragrafin). Semua preparat ini diberikan dalam
dosis oral, 10-12 jam sebelum dilakukan pemeriksaan sinar-X.
sesudah diberikan preparat kontras, pasien tidak boleh
mengkonsumsi apapun untuk mencegah kontraksi dan untuk
pengosongan kandung empedu.
Kepada pasien harus ditanyakan apakah ia mempunyai
riwayat alergi terhadap yodium atau makanan laut. Jika tidak ada
riwayat alergi, pasien mendapat preparat kontras oral pada malam
harinya sebelum pemeriksaan radiografi dilakukan. Foto rontgen
mula-mula dibuat pada abdomen kuadaran kanan atas. Apabila
kandung empedu tampak terisi dan dapat mengosongkan isinya
secara normal serta tidak mengandung batu, kita dapat
menyimpulkan bahwa tidak terjadi penyakit kandung empedu.
Apabila terjadi penyakit kandung empedu, maka kandung empedu
tersebut mungkin tidak terlihat karena adanya obstruksi oleh batu
empedu. Pengulangan pembuatan kolesistogram oral dengan
pemberian preparat kontras yang kedua mungkin diperlukan jika
kandung empedu pada pemeriksaan pertama tidak tampak.
Kolesistografi pada pasien yang jelas tampak ikterik tidak
akan memberikan hasil yang bermanfaat karena hati tidak dapat
mengekskresikan bahan kontras radiopaque kedalam kandung
empedu pada pasien ikterik. Pemeriksaan kolesistografi oral
kemungkinan besar akan diteruskan sebagai bagian dari evaluasi
terhadap pasien yang telah mendapatkan terapi pelarutan batu
empedu.

7. Penatalaksanaan Medis
Laparoscopy cholelitiasis diindikasikan pada pasien simtomatis
yang terbukti menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi
laparoskopi untuk Cholesistektomi sama dengan indikasi open
Cholesistektomi.Keuntungan melakukan prosedur laparoskopi pada
cholesistektomi yaitu: laparoscopic cholesistektomi menggabungkan
manfaat dari penghilangan gallblader dengan singkatnya lama tinggal di
rumah sakit, cepatnya pengembalian kondisi untuk melakukan aktivitas
normal, rasa sakit yang sedikit karena torehan yang kecil dan terbatas,
dan kecilnya kejadian ileus pasca operasi dibandingkan dengan teknik
open laparotomi.
Namun kerugiannya, trauma saluran empedu lebih umum terjadi
setelah laparoskopi dibandingkan dengan open cholesistektomi dan bila
terjadi pendarahan perlu dilakukan laparotomi.. Kontra indikasi pada
Laparoskopi cholesistektomi antara lain: penderita ada resiko tinggi
untuk anestesi umum; penderita dengan morbid obesity; ada tanda-tanda
perforasi seperti abses, peritonitis, fistula; batu kandung empedu yang
besar atau curiga keganasan kandung empedu; dan hernia diafragma
yang besar.

C. Teknik Penyimpanan Instrumen Laparascopy

Instrumen- instrumen laparascopy idealnya disimpan dalam almari kaca


disertai dengan penghangat sebesar 45 watt.
Teknik Mensterilkan

Alat medis harus didekontaminasi secara menyeluruh sebelum


digunakan, termasuk instrumen laparascopy. Bahan untuk mensterilkan harus
mendapatkan kontak dengan permukaan alat agar proses sterilisasi pada objek
tersebut dapat terjadi. Ada 2 macam sterilisasi yang dapat digunakan, yaitu :

1. Sterilisasi Suhu Tinggi


Teknik sterilisasi suhu tinggi menggunakan uap air sebagai
medianya, dengan mekanisme koagulasi sel protein. Suhu yang digunakan
antara 1100 – 1340 C. Tetapi, tidak semua instrumen dapat disterilkan
dengan suhu tinggi, contohnya : instrumen yang terbuat dari kaca/lensa,
karet, atau plastik
Keuntungannya :
- Tidak beracun
- Ramah lingkungan
- Waktu pemrosesan yang cepat
- Ekonomis
- Efektif untuk alat-alat logam dan tenun

Mesin Autoclave

2. Sterilisasi Suhu Rendah


Teknik sterilisasi suhu rendah digunakan untuk memproses
instrumen yang tidak tahan panas. Teknik ini dilakukan dengan
menggunakan mesin Sterrad / Plasma (hydrogen Peroxide), mesin EO
gas / ethylene oxide (EtO), atau menggunakan cairan cidex /
Glutaraldehyde (Desinfektan Tingkat Tinggi).
Sterilisasi dengan menggunakan mesin Sterrad / Plasma (hydrogen
Peroxide) membutuhkan waktu selama 45 menit. Sebelumnya, instrumen
dikemas dalam kantong medipac.

Sterilisasi dengan mesin EO gas / ethylene oxide (EtO) hanya dapat


diterapkan pada instrumen fiber optic, alat-alat anestesi, alat-alat
respirator, dan alat-alat implant. Waktu yang dibutuhkan adalah 3,5 jam.

Sterilisasi dengan menggunakan cairan cidex / Glutaraldehyde


(Desinfektan Tingkat Tinggi) digunakan untuk mensterilkan alat-alat
laparascopy. Dilakukan dengan merendam instrumen dalam campuran 16
cc cidex dan 4 liter steril water selama 30 menit. Selama proses
merendam, pastikan semua bagian instrumen terendam, atur posisi agar
tidak saling silang, untuk kabel sebaiknya direndam dalam posisi
melingkar. Selanjutnya, tutup bak perendaman, agar tidak terjadi
penguapan konsentrat cidex. Setelah perendaman selesai, bilas dengan
steril water, kemudian keringkan dengan lap kain steril.
Teknik Pencucian
Instrumen habis pakai dibersihkan dari kotoran dan darah. Kemudian
dilepas perbagian dengan hati-hati dan direndam dalam cairan cidex.

D.

Proses Keperawatan
1. Pengakajian
a. Pengkajian fase Pre Operatif
1) Pengkajian Psikologispasienmeliputi perasaan takut / cemas
dan keadaan emosi pasien
2) Pengkajian Fisik pasien pengkajian tanda-tanda vital : tekanan
darah, nadi, pernafasan dan suhu.
3) Sistem integumen pasien apakah pasien pucat, sianosis dan
adakah penyakit kulit di area badan.
4) Sistem Kardiovaskuler pasien apakah ada gangguan pada
sisitem cardio, validasi apakah pasien menderita penyakit
jantung ?, kebiasaan minum obat jantung sebelum operasi.,
Kebiasaan merokok, minum alcohol, Oedema, Irama dan
frekuensi jantung.
5) Sistem pernafasan pasien apakah pasien bernafas teratur dan
batuk secara tiba-tiba di kamar operasi.
6) Sistem gastrointestinal pasien apakah pasien diare ?
7) Sistem reproduksi pasien apakah pasien wanita mengalami
menstruasi ?
8) Sistem saraf pasien bagaimana kesadaran ?
9) Validasi persiapan fisik pasien. Apakah pasien puasa,
lavement, kapter, perhiasan, Make up, Scheren, pakaian pasien
/ perlengkapan operasi dan validasi apakah pasien alaergi
terhadap obat ?
b. Pengkajian fase Intra Operatif
Hal-hal yang dikaji selama dilaksanakannya operasi bagi pasien
yang diberi anaesthesi total adalah yang bersifat fisik saja,
sedangkan pada pasien yang diberi anaesthesi lokal ditambah
dengan pengkajian psikososial. Secara garis besar yang perlu dikaji
adalah :
1) Pengkajian mental pasienBila pasien diberi anaesthesi lokal
dan pasien masih sadar atau terjaga maka sebaiknya perawat
menjelaskan prosedur yang sedang dilakukan terhadapnya dan
memberi dukungan agar pasien tidak cemas atau takut
menghadapi prosedur tersebut.
2) Pengkajian fisikpasienTanda-tanda vital (bila terjadi
ketidaknormalan maka perawat harus memberitahukan
ketidaknormalan tersebut kepada ahli bedah).
3) Transfusi dan infuse pasien. Monitor flabot sudah habis apa
belum.
4) Pengeluaran urin pasien. Normalnya pasien akan
mengeluarkan urin sebanyak 1 cc/kg BB/jam.
c. Pengkajian fase Post Operatif
1) Status respirasi pasienMeliputi : kebersihan jalan nafas,
kedalaman pernafasaan, kecepatan dan sifat pernafasan dan
bunyi nafas.
2) Status sirkulatori pasienMeliputi : nadi, tekanan darah, suhu
dan warna kulit.
3) Status neurologis pasien meliputi tingkat kesadaran.
4) Balutan pasien meliputi : balutan luka
5) Kenyamanan pasien Meliputi : terdapat nyeri, mual dan
muntah
6) Keselamatan pasien meliputi : diperlukan penghalang samping
tempat tidur, kabel panggil yang mudah dijangkau dan alat
pemantau dipasang dan dapat berfungsi.
7) Perawatan pasien meliputi : cairan infus, kecepatan, jumlah
cairan, kelancaran cairan.
8) Nyeri pasien meliputi : waktu, tempat, frekuensi, kualitas dan
faktor yang memperberat atau memperingan
2. Asuhan Keperawatan Perioperatif

NO. NANDA NOC NIC


1. Pre Tujuan : cemas dapat Penurunan kecemasan
Operatif terkontrol. 1.Bina hubungan saling
Cemas b.d Kriteria hasil : percaya dengan klien /
krisis 1.Secara verbal dapat keluarga
situasional mendemonstrasikan 2.Kaji tingkat kecemasan
Operasi teknik menurunkan klien.
cemas. ·  3. Tenangkan klien dan
2.Mencari informasi dengarkan keluhan klien
yang dapat menurunkan dengan atensi
cemas ·  4.Jelaskan semua prosedur
3.Menggunakan teknik tindakan kepada klien
relaksasi untuk setiap akan melakukan
menurunkan cemas tindakan
4.Menerima status ·  5. Dampingi klien dan
kesehatan. ajak berkomunikasi yang
terapeutik
·  6. Berikan kesempatan
pada klien untuk
mengungkapkan
perasaannya.
·  7.Ajarkan teknik relaksasi
·  8. Bantu klien untuk
mengungkapkan hal-hal
yang membuat cemas.
2. Pre Tujuan : bertambah-nya Pendidikan kesehatan :
Operatif pengetahuan pasien proses penyakit
Kurang tentang penyakitnya. 1.Kaji tingkat pengetahuan
Pengetahu Pengetahuan: Proses klien.
an b.d Penyakit 2.Jelaskan proses
keterbatas Kriteria hasil : terjadinya penyakit, tanda
an 1. Pasien mampu men- gejala serta komplikasi
informasi jelaskan penyebab, yang mungkin terjadi
tentang komplikasi dan cara ·  3. Berikan informasi pada
penyakit pencegahannya keluarga tentang
dan proses 2. Klien dan keluarga perkembangan klien.
operasi kooperatif saat ·  4. Berikan informasi pada
dilakukan tindakan klien dan keluarga tentang
tindakan yang akan
dilakukan.

5. Berikan penjelasan
tentang pentingnya
ambulasi dini
6. Jelaskan komplikasi
kronik yang mungkin akan
muncul
3. Intra Tujuan : resiko 1.memasang arde
Operatif combustio dapat electrocoter sesuai
Resiko diminimalisir prosedur.
cedera Ktriteria hasil : 2.memfiksasi arde secara
(combusti tidak terjadi combustio. adekuat
o b.d 3.menggunakan power
pemajana output sesuai kebutuhan
n 4.mengawasi selama
peralatan pemakaian alat
kesehatan
(pemasang
an arde
electrocou
ter)
4. Post Tujuan : kerusakan per- Pengelolaan jalan napas
Operatif tukaran gas tidak terjadi 1. Kaji bunyi paru,
Gangguan Status Pernapasan: frekuensi nafas, kedalaman
pertukara ventilasi dan usaha nafas.
n gas b.d Kriteria hasil : 2. Auskultasi bunyi napas,
efek ·  1.Dispnea tidak ada tandai area penurunan atau
samping 2.PaO2, PaCO2, pH hilangnya ventilasi dan
dari arteri dan SaO2 dalam adanya bunyi tambahan
anaesthesi. batas normal 3.Pantau hasil gas darah
3.Tidak ada gelisah, dan kadar elektrolit
sianosis, dan keletihan ·   4.Pantau status mental
·   Observasi terhadap
sianosis, terutama
membran mukosa mulut
5.Pantau status pernapasan
dan oksigenasi
·   6Jelaskan penggunaan
alat bantu yang diperlukan
(oksigen,
pengisap,spirometer)
7.Ajarkan teknik bernapas
dan relaksasi
·   8.Laporkan perubahan
sehubungan dengan
pengkajian data (misal:
bunyi napas, pola napas,
sputum,efek dari
pengobatan)
·  9.Berikan oksigen atau
sesuai dengan kebutuhan
5. Post Tujuan : kerusakan Perawatan luka
Operatif integritas kulit tidak ·  1.Ganti balutan plester dan
Kerusaka terjadi. debris
n Penyembuhan Luka: ·  2. Catat karakteristik luka
integritas Tahap Pertama bekas operasi
kulit b.d Kriteria hasil : ·  3. Catat katakteristik dari
luka post ·  Kerusakan kulit tidak beberapa
operasi ada ·  4.Bersihkan luka bekas
·  Eritema kulit tidak ada operasi dengan sabun
·  Luka tidak ada pus antibakteri yang cocok
·  Suhu tubuh antara ·  5.Sediakan perawatan luka
36°C-37°C bekas operasi sesuai
kebutuhan
6. Ajarkan pasien dan
anggota keluarga
prosedur perawatan luka
6. Post Tujuan : Nyeri dapat Manajemen Nyeri :
Operatif teratasi. ·  1. Kaji nyeri secara
Nyeri akut Kontrol Resiko komprehensif ( lokasi,
b.d proses Kriteria hasil : karakteristik, durasi,
pembedah ·      Klien melaporkan frekuensi, kualitas dan
an nyeri berkurang dg faktor presipitasi ).
scala 2-3 2.Observasi  reaksi nyeri
·      Ekspresi wajah tenang dari ketidak nyamanan.
·      klien dapat istirahat 3.Gunakan teknik
dan tidur komunikasi terapeutik
·      v/s dbn untuk mengetahui
pengalaman nyeri klien
4.Kontrol faktor
lingkungan yang
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.
5.Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologis/non
farmakologis).
·  6.Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri.
7. Kolaborasi pemberian
analgetik untuk
mengurangi nyeri.
8.Evaluasi tindakan
pengurang nyeri
DAFTAR PUSTAKA

Laurentius A. Lesmana. 2006. PenyakitBatuEmpedu. Dalam: Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Jakarta :Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Edisi Ke-4.h481-483
Friedman LS. 2007. Liver, Biliary Tract,& Pancreas. In: LM Tierney, SJ McPhee,
MA Papadakis (eds), Current Medical Diagnosis & Treatment, 46e. New York,
McGraw-Hill
R. Sjamsuhidayat. Wim de Jong. 2005. Saluran empedu dan hati. Dalam: R.
Sjamsuhidayat, Wim de Jong, ed. Buku Ajar IlmuBedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. h.
561,570-73
Bland K. I, Beenken S.W, and Copeland E.E (from e-book).  2007. Gall Blader and
ExtrahepaticBilliary System. In: Brunicardi F.C., Andersen D.K., Billiar T.R.,
Dunn D.L., Hunter J.L., Pollock R.E, ed. Schwartz’s Manual Surgery. Eight
edition. United States of America: McGraw-Hill Books Company. 
Ahrendt. S.A and Pitt.H.A. 2004.Billiary Tract. In: Townsend C.M., Beauchamp
R.D.,  Evers B.M., Mattox K.M.,ed. Sabiston Textbook of Surgery. 17th edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders. P. 1606-1608.
Dan L. Longo and Anthony S. Fauci. 2010. Gastroenterology and Hepatology.
Harrison’s 17th Edition. China: 439-455.
Concept of The Pathogenesis and treatment of cholelithiasis. World J Hepatol 2012;
4(2): 18-34 available from: URL: http://www.wjgnet.com/1948-
5182/full/v4/i2/18.htm DOI: http//dx.doi.org/10.4254/wjh.v4.i2.18.
Penatalaksanaan Batu Empedu. A. Nurman. http://www.univmed.org/wp-
content/uploads/2011/02/Vol.18_no.1_1.pdf
Pathway
ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA NY.R DENGAN
TINDAKAN OPERASI LAPARASCOPY CHOLELHITIASIS DI
INSTALASI BEDAH SENTRAL RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr.
ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

DI SUSUN OLEH :

Nila Maisarah
Nim P0 7120416018

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES ACEH
JURUSAN KEPERAWATAN BANDA CEH
PRODI D-IV KEPERAWATAN
2020

Anda mungkin juga menyukai