Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

INTUSUSEPSI

Pembimbing:
dr. Ahmad Affandi, Sp.B

Oleh:
Laras Bani Waseso
182.0221.137

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASAR MINGGU
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 17 FEBRUARI 2020 – 25 APRIL 2020
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
INTUSUSEPSI

Disusun Oleh:
Laras Bani Waseso
182.0221.137

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Departemen Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Minggu

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal Februari 2020

Mengetahui,

Pembimbing Kepala SMF Bedah

dr. Ahmad Affandi, SpB dr. R. Siddhi Andika, SpU

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat
ini. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik
bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta di RSUD Pasar
Minggu Jakarta periode 17 Februari 2020 – 25 April 2020.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dr. Ahmad Affandi, SpB
selaku pembimbing referat ini, dan kepada seluruh dokter yang telah membimbing
selama kepaniteraan. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun agar referat ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Terima kasih atas perhatiannya, semoga referat ini dapat memberikan
manfaat bagi pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.

Jakarta, Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................2
BAB III PENUTUP ..............................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

I. 1 Latar Belakang
Intususepsi adalah proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal
masuk ke dalam lumen usus bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi
usus dan dapat menjadi strangulasi, kemudian mengalami komplikasi yang
berujung pada sepsis dan kematian. Intususepsi merupakan salah satu
kegawatdaruratan yang umum pada anak. Kelainan ini harus dikenali dengan
cepat dan tepat serta memerlukan penanganan segera karena miss-diagnosis atau
keterlambatan diagnosis akan meningkatkan angka morbiditas.
Estimasi insidensi akurat dari intususepsi tidak tersedia untuk sebagian
besar negara berkembang, demikian juga di banyak negara maju. Berdasarkan
usia, intususepsi paling banyak dialami oleh anak usia kurang dari 1 tahun dengan
puncak usia 4-8 bulan. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki paling banyak
mengalami intususepsi dengan rasio yang berbeda di masing-masing wilayah
dimana rasio laki-laki dan perempuan untuk wilayah Asia adalah 9:1. Berdasarkan
penelitian epidemiologi intususepsi di Singapura tahun 1997-2004, insidensi
intususepsi mengalami penurunan dan tidak terkait dengan musim.
Gejala klasik yang paling umum dari intususepsi adalah nyeri perut yang
sifatnya muncul secara tiba‐tiba, kolik, intermiten, berlangsung hanya selama
beberapa menit. Gejala awal lain yang sering dikeluhkan yaitu muntah. Kerusakan
usus berupa nekrosis hingga perforasi usus dapat terjadi antara hari ke 2-5 dengan
puncaknya pada hari ke 3 setelah gejala klinis terjadi. Hal tersebut akan
memperberat gejala obstruksi yang ditimbulkan oleh intususepsi dan akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Di negara maju, outcome dari pasien dengan intususepsi memiliki
prognosis yang lebih baik karena diagnosis yang tegak secara dini diikuti dengan
prosedur terapi yang kurang invasif seperti reduksi barium enema.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Anatomi
Intestinum tenue terbentang dari pylorus gastricus sampai junctura
ileocaecalis. Intestinum tenue dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu: duodenum,
jejunum dan ileum.
a. Duodenum
Duodenum merupakan saluran berbentuk huruf C dengan panjang sekitar
25 cm yang melengkung di sekitar caput pancreatis. Duodenum dimulai dari
sphincter pyloricus gastrici, dan berakhir dengan berlanjut sebagai jejunum.
Bagian pertama duodenum mempunyai omentum minus yang melekat pada
pinggir atasnya dan omentum majus yang melekat pada pinggir bawahnya. Sisa
duodenum lainnya terletak di retroperitoneal.

Gambar 1. Hubungan posterior duodenum dan pancreas. Angka


menunjukkan empat bagian duodenum.

b. Jejunum dan lleum


Jejunum panjangnya sekitar 8 kaki (2.5 meter) dan ileum panjangnya
sekitar 12 kaki (3.6 meter). Jejunum mulai dari junctura duodenojejunalis di

5
bagian atas cavitas abdominalis dan di kiri garis tengah. Jejunum lebih lebar
dalam diameter, dinding lebih tebal, dan wama lebih merah (lebih banyak
pembuluh darah) dibandingkan dengan ileum.
Lengkung-lengkung ileum menempati bagian kanan bawah cavitas
abdominalis dan cenderung tergantung ke dalam peivis. Ileum berakhir pada
junctura ileocaecalis. Lengkung-lengkung jejunum dan ileum digantungkan dari
dinding posterior abdomen oleh lipatan peritoneum yang berbentuk kipas disebut
mesenterium intestinum tenue.
c. Caecum dan Appendix
Caecum dipisahkan dari lleum terminal (Pars terminalis ilei) oleh Valva
ileocaecalis (katup Bauhin). Di dalam, dua bibir Valva membentuk Papilla ilealis
dan batas Ostium ileale. Di lateral, bibir berlanjut menjadi Frenulum ostii
ilealis. lleum terminal (Pars terminalis ilei) berisi agregasi folikel limfe (Nodi
lymphoidei aggregati), disebut juga plak Peyer, yang merupakan bagian jaringan
limfoid mukosa (MALT). Demikian pula, Appendix vermiformis berisi agregasi
besar folikel limfe dan bekerja sebagai pertahanan imun.

Gambar 2. Caecum dan Appendix


d. Colon Ascendens
Colon ascendens panjangnya sekitar 5 inci (13 cm) dan terbentang ke atas
dari caecum sampai permukaan inferior lobus hepatis dexter. Di sini, colon
6
ascendens membelok ke kiri (membentuk flexura coli dextra) dan melanjutkan
diri setragai colon transversum. Peritoneum meliputi pinggir depan dan samping
colon ascendens dan menghubungkannya ke dinding posterior abdomen. Colon
ascendens berhubungan ke posterior dengan musculus iliacus, musculus
quadratus lumbroum, dan pinggir bawah ren dexter.
e. Colon Descendens
Colon descendens panjangnya sekitar 10 inci (25 cm) dan berjalan ke
bawah dari flexura coli sinistra sampai pintu masuk pelvis, di sini colon
melanjutkan diri sebagai colon sigmoideum. Peritoneum meliputi permukaan
depan dan sisi-sisinya dan menghubungkannya dengan dinding posterior
abdomen. Colon descendens berhubungan ke posterior dengan ren sinister,
musculus quadratus lumborum, dan musculus iliacus.

f. Colon Sigmoideum
Colon sigmoideum panjangnya 10-15 inci (25-38 cm) dan mulai sebagai
lanjutan dari colon descendens yang terletak di depan pintu atas panggul. Di
bawah, colon sigmoideum berlanjut sebagai rectum, yang terletak di depan
vertebra sacralis ketiga. Colon sigmoideum tergantung ke bawah masuk ke
dalam cavitas pelvis dalam bentuk lengkung dan dihubungkan dengan dinding
posterior pelvis oleh mesocolon sigmoideum yang berbentuk seperti kipas.

II. 2 Definisi
Kata “intususepsi” berasal dari kata Latin intus (dalam) dan suscipere
(untuk menerima). Intususepsi adalah invaginasi dari satu bagian usus ke bagian
lainnya. Tiga silinder dinding usus terlibat. Silinder dalam dan tengah adalah usus
invaginasi (intussusceptum), dan silinder luar adalah penerima usus invaginasi
(intussuscipiens). Intususepsi merupakan salah satu penyebab paling sering
obstruksi usus akut pada bayi dan balita.

7
Gambar 3. Intususepsi

II. 3 Epidemiologi
Intususepsi terjadi di seluruh dunia dengan kejadian sekitar 1 hingga 4
pada 2000 bayi dan anak-anak. Kebanyakan seri melaporkan lebih banyak laki-
laki daripada perempuan dengan intususepsi, biasanya dengan rasio 2: 1 atau 3: 2.
Intususepsi dilaporkan terjadi dalam jumlah yang lebih besar pada bayi dan anak
Kaukasia.
Meskipun intususepsi dapat dilihat pada semua usia anak mulai dari
prenatal hingga remaja akhir (dan juga pada orang dewasa dan hewan), 75% kasus
terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan dan 90% pada anak-anak dalam 3 tahun.
Lebih dari 40% terlihat antara usia 3 dan 9 bulan.
Dalam uterus, intususepsi dapat menyebabkan atresia usus, paling sering
atresia ileum. Intususepsi perinatal pada bayi baru lahir (0,3% dari semua
intususepsi) lebih mungkin disebabkan oleh proses patologis seperti pada pasien
yang lebih tua. Kadang-kadang, ujung intususceptum yang terputus dapat
ditemukan di bagian distal usus.
Intususepsi telah dilaporkan dalam keluarga dan kerabat (kembar identik,
kasus saudara kandung, serta pada ayah dan anak laki-laki), tetapi sejarah mereka
tampaknya menunjukkan penyebab virus yang umum daripada penyebab genetik.

8
Tidak ada bukti yang menunjukkan kemungkinan intususepsi yang meningkat
pada saudara kandung begitu satu anak dari keluarga tersebut terpengaruh.
Frekuensi intususepsi menunjukkan variasi musiman yang biasanya
berkorelasi dengan infeksi virus (pernapasan, gastrointestinal, atau keduanya),
dengan sebagian besar kasus terlihat pada Mei, Juni, dan Juli. Insiden penyakit
virus sebelumnya telah dilaporkan setinggi 20%.
Anak-anak dengan intususepsi telah digambarkan sebagai yang umumnya
sehat, kokoh, berkembang dengan baik, dan bergizi baik, mendukung pernyataan
klasik Hirschsprung: "Saya tidak pernah melihat anak yang kekurangan gizi
dengan intususepsi." Seri dari Afrika Selatan dan Chicago tidak dapat
mengkonfirmasi pengamatan ini. Anak-anak dengan intususepsi menunjukkan
persentil berat badan lebih rendah terlepas dari status sosial ekonomi.

II. 4 Etiologi
Etiologi intususepsi dibagi menjadi dua yaitu idiopatik dan kausal.
1. Intususepsi Idiopatik
Intususepsi idiopatik memiliki etiologi yang tidak jelas. Salah satu teori
untuk menjelaskan kemungkinan etiologi intususepsi idiopatik adalah bahwa hal
itu terjadi karena Peyer patch yang membesar; hipotesis ini berasal dari 3
pengamatan: (1) penyakit ini sering didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas,
(2) wilayah ileokolika memiliki konsentrasi tertinggi dari kelenjar getah bening di
mesenterium, dan (3) pembesaran kelenjar getah bening sering dijumpai pada
pasien yang memerlukan operasi. Apakah Peyer patch yang membesar adalah
reaksi terhadap intususepsi atau sebagai penyebab intususepsi, masih tidak jelas.
2. Intususepsi Kausal
Pada penderita intususepsi yang berusia lebih dari dua tahun, adanya
kelainan usus dapat menjadi penyebab intususepsi seperti: inverted Meckel’s
diverticulum, polip usus, leiomioma, leiosarkoma, hemangioma, blue rubber blep
nevi, lymphoma dan duplikasi usus. Divertikulum Meckel adalah penyebab paling
utama, diikuti dengan polip seperti sindrom peutz-jeghers, dan duplikasi
9
intestinal. Lead point lain diantaranya lymphangiectasias, perdarahan submukosa
dengan Henoch-Schönlein purpura, trichobezoars dengan Rapunzel
syndrome, caseating granulomas yang berhubungan dengan tuberkulosis
abdominal.
Intususepsi dapat juga terjadi setelah laparotomi, yang biasanya timbul
setelah dua minggu pasca bedah, hal ini terjadi akibat gangguan peristaltik usus,
disebabkan manipulasi usus yang kasar dan lama, diseksi retroperitoneal yang luas
dan hipoksia lokal.

II. 5 Klasifikasi
Intususepsi dapat dibedakan dalam 4 tipe yaitu:

1. Enterik : usus halus ke usus halus


2. Ileosekal : valvula ileosekalis mengalami invaginasi prolaps
ke sekum dan menarik ileum di belakangnya. Valvula tersebut merupakan
apex dari intususepsi.
3. Kolokolika : kolon ke kolon.
4. Ileokoloika : ileum prolaps melalui valvula ileosekalis ke kolon.
Umumnya jenis intususepsi yang paling sering adalah intususepsi valvula
ileosekalis. Namun masih belum jelas perbandingan insidensi untuk masing-
masing jenis intususepsi. 

II. 6 Patogenesis
Patogenesis dari intususepsi diyakini akibat dari ketidakseimbangan pada
dorongan longitudinal (peristaltik) sepanjang dinding intestinal.
Ketidakseimbangan ini dapat disebabkan oleh adanya massa sebagai pencetus atau
oleh pola yang tidak teratur dari peristaltik (contohnya, ileus pasca operasi).
Gangguan elektrolit berhubungan dengan berbagai masalah kesehatan yang dapat
mengakibatkan motilitas intestinal yang abnormal, dan mengarah pada terjadinya
invaginasi. Beberapa penelitian terbaru pada binatang menunjukkan pelepasan

10
nitrit oksida pada usus, suatu neurotransmitter penghambat, menyebabkan
relaksasi dari katub ileocaecal dan mempredisposisi intususepsi ileocaecal.
Penelitian lain telah mendemonstrasikan bahwa penggunaan dari beberapa
antibiotik tertentu dapat menyebabkan hiperplasia limfoid ileal dan dismotilitas
intestinal dengan intususepsi.
Sebagai hasil dari ketidakseimbangan, area dari dinding usus terinvaginasi
ke dalam lumen. Proses ini terus berjalan, dengan diikuti area proximal dari
intestinal, dan mengakibatkan intususeptum berproses sepanjang lumen dari
intususipiens. Apabila terjadi obstruksi sistem limfatik dan vena mesenterial,
akibat penyakit berjalan progresif dimana ileum dan mesenterium masuk ke dalam
caecum dan colon, akan dijumpai mukosa intussusseptum menjadi oedem dan
kaku. Mengakibatkan obstruksi yang pada akhirnya akan dijumpai keadaan
strangulasi dan perforasi usus.
Pembuluh darah mesenterium dari bagian yang terjepit mengakibatkan
gangguan sistem balik vena sehingga terjadi kongesti, oedem, hiperfungsi goblet
sel serta laserasi mukosa usus. Hal inilah yang mendasari terjadinya salah satu
manifestasi klinis intususepsi yaitu BAB darah lendir yang disebut juga  red
currant jelly stool. Dalam kebanyakan kasus, nekrosis iskemik membutuhkan
lebih dari 72 jam untuk berkembang. Jika proses iskemik tidak terdiagnosis,
obstruksi usus, perforasi, atau sepsis menyebabkan kematian dalam waktu 5 hari.
Dalam kasus yang jarang terjadi, intususeptum dapat menjadi gangren, dan
mengelupas dan usus dapat menyatu.

11
Gambar 4. Ilustrasi Patofisiologi Intususepsi

II. 7 Manifestasi Klinis


Intususepsi harus dicurigai dengan salah satu dari dua gejala klasik (nyeri
perut atau muntah) atau dua tanda klasik (massa abdominal atau perdarahan
rektal). Sebagian besar kasus didiagnosis dalam 24 jam setelah timbulnya gejala.
Dalam kasus intususepsi berulang, diagnosis seringkali lebih mudah dan
dilakukan dalam waktu kurang dari 8 jam. Kecurigaan tingkat tinggi diperlukan
pada bayi atau balita yang memiliki riwayat sakit perut kram. Keempat tanda dan
gejala klasik hanya dapat ditemukan terlambat dalam proses penyakit dan kurang
dari 30% kasus. Pada sekitar 20% pasien, diare mendahului gejala lain dan dapat
menyebabkan diagnosis dan triase yang salah.
Tiba-tiba timbulnya sakit perut yang parah, kolik, dan intermiten, yang
membuat bayi menarik kaki mereka, adalah gejala klasik paling umum dari
12
intususepsi anak pada sekitar 85% pasien. Episode nyeri ini biasanya hanya
berlangsung beberapa menit. Setelah itu, bayi sering diam, pucat, dan berkeringat
dan kemudian kembali ke aktivitas normal untuk sementara waktu. Tidak adanya
rasa sakit, bagaimanapun, tidak mengesampingkan intususepsi tetapi dapat
menunda diagnosis. Penting untuk diketahui bahwa sekitar 15% bayi dan anak-
anak hadir tanpa rasa sakit yang jelas. Anak-anak ini sering pucat dan lesu dan
tampak cukup sakit. Bayi lebih sering mengalami muntah daripada anak-anak
yang lebih besar (hingga 45%). Muntah yang berat cenderung ditemukan pada
kasus intususepsi tertunda.
Dua tanda klasik, massa perut dan perdarahan dubur, dapat ditemukan
dengan frekuensi yang hampir sama. Massa perut yang sering melengkung,
berbentuk sosis dapat diraba di kuadran kanan atas perut sekitar 65% dari waktu
dan biasanya meluas ke kiri sepanjang kolon transversal. Massa mungkin sedikit
lunak dan dapat dihargai hanya ketika pasien berbaring diam di antara serangan
rasa sakit. Kadang-kadang massa dapat dihargai secara visual selama inspeksi
klinis. Kuadran kanan bawah mungkin datar atau kosong, sebuah temuan yang
dikenal sebagai tanda Dance.
Kadang-kadang, intususepsi melewati cukup jauh ke distal dan dapat
diraba pada pemeriksaan dubur (5%). Prolaps intususeptum keluar rektum
mungkin merupakan tanda yang serius dan dapat disalahartikan sebagai prolaps
rektum. Semakin lama gejala intususepsi berlanjut, semakin tinggi kemungkinan
okultisme atau perdarahan dubur berat. Pendarahan dubur biasanya merupakan
tanda terakhir yang terjadi. Darah memiliki tekstur seperti lendir dan, secara
klasik, penampilan jeli kismis. Hal ini paling mengkhawatirkan bagi orang tua dan
dokter. Jika ada keterlambatan dalam mencari perawatan medis sebelum acara ini,
biasanya membawa pasien ke rumah sakit dengan cepat.
Jika keterlambatan dalam diagnosis memungkinkan terjadinya iskemia
usus, demam, takikardia, dan hipotensi dapat menjadi tanda-tanda bakteremia dan
perforasi usus. Diagnosis cepat dan operasi darurat sangat penting untuk
mencegah hasil yang fatal.
13
Gambar 5. Red Currant Jelly Stool

II. 8 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis dengan keluarga dapat diketahui gejala-gejala yang timbul dari
riwayat pasien sebelum timbulnya gejala, misalnya sebelum sakit, anak ada
riwayat dipijat, diberi makanan padat padahal umur anak dibawah 4 bulan.
Pada anamnesis juga akan ditemukan gejala-gejala Trias Intususepsi yatu:
1. Anak mendadak kesakitan episodik, menangis dan mengangkat kaki (craping
pain).
2. Muntah warna hijau (cairan lambung)
3. Defekasi feses campur lendir (kerusakan mukosa) atau darah (lapisan dalam)
dan red currant jelly stool.
The Brighton Collaboration Intussuseption Working Group mendirikan
sebuah diagnosis klinis menggunakan campuran dari kriteria minor dan mayor.
Strasifikasi ini membantu untuk membuat keputusan berdasarkan tiga level dari
pembuktian untuk membuktikan apakah kasus tersebut adalah intususepsi.

14
Kriteria Mayor
1. Adanya bukti dari obstruksi usus berupa adanya riwayat muntah hijau, diikuti
dengan distensi abdomen dan bising usus yang abnormal atau tidak ada sama
sekali.

2. Adanya gambaran dari invaginasi usus, dimana setidaknya tercakup hal-hal


berikut ini: massa abdomen, massa rectum atau prolaps rectum, terlihat pada
gambaran foto abdomen, USG maupun CT Scan.

3. Bukti adanya gangguan vaskularisasi usus dengan manifestasi perdarahan


rectum atau gambaran feses red currant jelly pada pemeriksaan Rectal
Toucher.

Kriteria Minor
1. Bayi laki-laki kurang dari 1 tahun

2. Nyeri abdomen

3. Muntah

4. Lethargy

5. Pucat

6. Syok hipovolemi

7. Foto abdomen yang menunjukkan abnormalitas tidak spesifik.

Berikut ini adalah pengelompokkan berdasarkan tingkat pembuktian, yaitu :

Level 1 – Definite 
- Kriteria Pembedahan – Invaginasi usus yang ditemukan saat pembedahan

- Kriteria Radiologi – Air enema atau liquid contrast enema menunjukkan


invaginasi dengan manifestasi spesifik yang bisa dibuktikan dapat
direduksi oleh enema tersebut.
15
Kriteria Autopsi – Invagination dari usus

Level 2 – Probable 
- Dua kriteria mayor

- Satu kriteria mayor dan tiga kriteria minor

Level 3 – Possible
- Empat atau lebih kriteria minor

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya obstruksi mekanis ditandai
darm steifung dan darm counter, teraba massa seperti sosis di daerah subcostal
yang terjadi spontan (Sausage Like Sign), nyeri tekan (+), Dance’s sign (+) yaitu
sensasi kekosongan pada kuadran kanan bawah karena masuknya sekum pada
kolon ascenden. Pada rectal touche dapat ditemukan adannya : pseudoportio,
lender darah (red currant jelly), sensasi seperti portio vagina akibat invaginasi
usus yang lama.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada studi laboratorium spesifik yang membantu dalam diagnosis
intususepsi. Sebagai usus intususepsi menjadi iskemik, leukositosis terkait,
asidosis, dan kelainan elektrolit memburuk.
4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen
Didapatkan distribusi udara di dalam usus tidak merata, usus terdesak ke
kiri atas, bila telah lanjut terlihat tanda-tanda obstruksi usus dengan gambaran air
fluid level. Dapat terlihat free air bila terjadi perforasi.

16
Gambar 6. Kiri gambaran usus terdesak ke kiri atas. Kanan
gambaran air fluid level
b. Colon in loop
Foto colon in loop berfungsi sebagai diagnosis di mana terlihat gambaran
cupping sign dan mengetahui letak invaginasi. Colon in loop juga bisa sebagai
terapi dengan reposisi dengan tekanan tinggi apabila belum ada tanda-tanda
obstruksi dan kejadian kurang 24 jam

Gambar 7. Foto Colon in Loop memperlihatkan


gambaran cupping sign
c. USG
Pemeriksaan USG bisa melihat kondisi secara umum dengan
menggunakan gelombang untuk melihat gambaran usus di layar monitor. USG
membantu menegakkan diagnosis invaginasi dengan gambaran target sign pada
potongan melintang invaginasi dan pseudo kidney sign pada potongan
17
longitudinal invaginasi.
Pada USG dapat ditemukan delineasi intussuseptum dan mesenterium dalam
intussuscipiens (target dan pseudokidney signs). Penggunaan USG aman dan
tidak ada efek radiasi. USG juga membantu menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain nyeri abdomen. USG bisa mendeteksi adanya cairan (ascites),
udara dan tidak adanya suplai darah di dinding usus sehingga kemungkinan sudah
terjadinya gangren.

Gambar 8. Target sign pada USG

II.9 Tatalaksana
Pada bayi maupun anak yang dicurigai intususepsi atau invaginasi,
penatalaksanaan lini pertama sangat penting dilakukan untuk mencegah
komplikasi yang lebih lanjut. Selang lambung (Nasogastric tube) harus dipasang
sebagai tindakan kompresi pada pasien dengan distensi abdomen sehingga bisa
dievaluasi produksi cairannya. Setelah itu, rehidrasi cairan yang adekuat dilakukan
untuk menghindari kondisi dehidrasi dan pemasangan selang catheter untuk
memantau ouput dari cairan. Pemeriksaan darah lengkap dan elektrolit darah dapat
dilakukan.

18
Pneumatic atau kontras enema masih menjadi pilihan utama untuk
diagnosa maupun terapi reduksi lini pertama pada intususepsi di banyak pusat
kesehatan. Namun untuk meminimalisir komplikasi, tindakan ini harus dilakukan
dengan memperhatikan beberapa panduan. Salah satunya adalah menyingkirkan
kemungkinan adanya peritonitis, perforasi ataupun gangrene pada usus. Semakin
lama riwayat perjalanan penyakitnya, semakin besar kemungkinan kegagalan dari
terapi reduksi tersebut.
a. Tindakan Non Operatif
1. Hydrostatic Reduction

Metode reduksi hidrostatik tidak mengalami perubahan signifikan sejak


dideskripsikan pertama kali pada tahun 1876. Meskipun reduksi hidrostatik
dengan menggunakan barium di bawah panduan fluoroskopi telah menjadi metode
yang dikenal sejak pertengahan 1980-an, kebanyakan pusat pediatrik
menggunakan kontras cairan saline (isootonik) karena barium memiliki potensi
peritonitis yang berbahaya pada perforasi intestinal.

Berikut ini adalah tahapan pelaksanaannya:

1. Masukkan kateter yang telah dilubrikasi ke dalam rectum dan difiksasi


kuat diantara pertengahan bokong.

2. Pengembangan balon kateter kebanyakan dihindari oleh para radiologis


sehubungan dengan risiko perforasi dan obstruksi.

3. Pelaksanaannya memperhatikan “Rule of three” yang terdiri atas: (1)


reduksi hidrostatik dilakukan setinggi 3 kaki di atas pasien; (2) tidak
boleh lebih dari 3 kali percobaan; (3) tiap percobaan masing-masing
tidak boleh lebih dari 3 menit.

4. Pengisian dari usus dipantau dengan fluoroskopi dan tekanan


hidrostatik konstan dipertahankan sepanjang reduksi berlangsung.

19
5. Reduksi hidrostatik telah sempurna jika media kontras mengalir bebas
melalui katup ileocaecal ke ileum terminal. Reduksi berhasil pada
rentang 45-95% dengan kasus tanpa komplikasi.

Selain penggunaan fluoroskopi sebagai pemandu, saat ini juga dikenal


reduksi menggunakan air (dilusi antara air dan kontras soluble dengan
perbandingan 9:1) dengan panduan USG. Keberhasilannya mencapai 90%, namun
sangat tergantung pada kemampuan expertise USG dari pelakunya.
Teknik non pembedahan ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
dengan reduksi secara operatif. Diantaranya yaitu : penurunan angka morbiditas,
biaya, dan waktu perawatan di rumah sakit.

2. Pneumatic Reduction

Prosedur ini dimonitor secara fluroskopi sejak udara dimasukkan ke dalam


rectum. Tekanan udara maksimum yang aman adalah 80 mmHg untuk bayi dan
110-120 mmHg untuk anak. Penganut dari model reduksi ini meyakini bahwa
metode ini lebih cepat, lebih aman dan menurunkan waktu paparan dari radiasi.
Pengukuran tekanan yang akurat dapat dilakukan, dan tingkat reduksi lebih tinggi
daripada reduksi hidrostatik. Berikut ini adalah langkah-langkah pemeriksaannya:

1. Sebuah kateter yang telah dilubrikasi ditempatkan ke dalam rectum dan


direkatkan dengan kuat.

2. Sebuah manometer dan manset tekanan darah dihubungkan dengan kateter,


dan udara dinaikkan perlahan hingga mencapai tekanan 70-80 mmHg
(maksimum 120 mmHg) dan diikuti dengan fluoroskopi. Kolum udara
akan berhenti pada bagian intususepsi, dan dilakukan sebuah foto polos.

3. Jika tidak terdapat intususepsi atau reduksinya berhasil, udara akan


teramati melewati usus kecil dengan cepat. Foto lain selanjutnya dibuat
pada sesi ini, dan udara akan dikeluarkan duluan sebelum kateter dilepas.

20
4. Untuk melengkapi prosedur ini, foto post reduksi harus dilakukan untuk
mengkonfirmasi ketiadaan udara bebas.

5. Reduksi yang sulit membutuhkan beberapa usaha lebih. Penggunaan


glucagon (0.5 mg/kg) untuk memfasilitasi relaksasi dari usus memiliki
hasil yang beragam dan tidak rutin dikerjakan.

b. Tindakan Operatif
Apabila diagnosis intususepsi yang telah dikonfirmasi oleh x-ray,
mengalami kegagalan dengan terapi reduksi hidrostatik maupun pneumatik,
ataupun ada bukti nyata akan peritonitis difusa, maka penanganan operatif harus
segera dilakukan. Operasi yang dilakukan adalah laparotomi untuk mereduksi
usus secara manual.

Gambar 9. Reduksi usus secara manual

II. 10 Komplikasi
Intususepsi dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus. Komplikasi lain
yang dapat terjadi adalah dehidrasi dan aspirasi dari emesis yang terjadi. Iskemia

21
dan nekrosis usus dapat menyebabkan perforasi dan sepsis. Nekrosis yang
signifikan pada usus dapat menyebabkan komplikasi yang berhubungan
dengan “short bowel syndrome”. Meskipun diterapi dengan reduksi operatif
maupun radiografik, striktur dapat muncul dalam 4-8 minggu pada usus yang
terlibat.

II. 11 Prognosis

Kematian disebabkan oleh intususepsi idiopatik akut pada bayi dan anak
anak sekarang jarang di negara maju. Sebaliknya, kematian terkait dengan
intususepsi tetap tinggi di beberapa negara berkembang. Pasien di negara
berkembang cenderung untuk datang ke pusat kesehatan terlambat, yaitu lebih dari
24 jam setelah timbulnya gejala, dan memiliki tingkat intervensi bedah, reseksi
usus dan mortalitas lebih tinggi.

Mortalitas secara signifikan lebih tinggi pada bayi yang ditangani 48 jam
setelah timbulnya gejala daripada bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah
onset pertama. Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi nonoperatif dan
operatif masing-masing rata-rata 5% dan 1-4%.

22
BAB III
PENUTUP

III. 1 Kesimpulan
Intususepsi adalah kegawatdarurtan dibidang bedah. Intususepsi adalah
proses dimana suatu segmen usus bagian proksimal masuk ke dalam lumen usus
bagian distalnya sehingga menyebabkan obstruksi usus dan dapat berakhir dengan
strangulasi. Umumnya bagian yang proksimal atau disebut intususeptum masuk ke
bagian distal atau disebut intussussipien. Untuk penatalaksanaan dapat digunakan
metode non operatif dengan hydrostatic atau pneumatic reduction dan metode
operatif dengan laparotomi untuk mereduksi usus secara manual.
Mortalitas secara signifikan lebih tinggi pada bayi yang ditangani 48 jam
setelah timbulnya gejala daripada bayi yang ditangani dalam waktu 24 jam setelah
onset pertama. Angka rekurensi dari intususepsi untuk reduksi nonoperatif dan
operatif masing-masing rata-rata 5% dan 1-4%.

23
DAFTAR PUSTAKA

Coran AG, 2010, ‘Peditric Surgery Seventh Edition’, Philadelphia, PA: Elsevier.

Ignacio RC, Fallat ME, 2010, ‘Intussusception In: Holcomb GW. III, Murphy JM,
eds. Ashcraft’s Pediatric Surgery’. Philadelphia, PA: Elsevier.

Irish MS, 2011 ‘Pediatric Intussusception Surgery’ Medscape Reference, diakses


30 Juli 2019, http://emedicine.medscape.com/article/937730-
overview#showall.

Paulsen F, Waschke J, 2013, ‘Atlas anatomi Manusia : Sobotta Edisi 23’, Jakarta:
EGC.

Sabiston DC, 2010, ‘Buku Ajar Bedah. Edisi ke-1’, Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran.

Snell R, 2012, ‘Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem’, Jakarta: EGC.

Williams N, Bulstrode C, O’Connel P, ‘Bailey & Love’s Short Practice of


Surgery

25th Edition’, UK : Edward Arnold Publisher.

24

Anda mungkin juga menyukai