APENDISITIS
Oleh :
PRECEPTOR:
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan karunia-Nya sehingga Referat ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya dengan judul “APENDISITIS”.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa referat ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisannya, penggunaan tata bahasa, dan
dalam penyajiannya sehingga penulis menerima saran dan kritik konstruktif dari
semua pihak. Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada, semoga dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada dr. Horizon MN,
Sp.B yang telah membimbing dan mengarahkan saya dalam menyelesaikan
referat ini. Penulis juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah bekerja
sama membantu menyusun referat ini.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
BAB I
1. Latar Belakang................................................................................................1
BAB II
2.1 Anatomi dan Fisiologi....................................................................................3
2.2 Definisi...........................................................................................................5
2.3 Klasifikasi.......................................................................................................6
2.4 Etiologi...........................................................................................................6
2.5 Patofisiologi....................................................................................................7
2.6 Gambaran Klinis.............................................................................................7
2.7 Diagnosis........................................................................................................9
2.8 Komplikasi...................................................................................................13
2.9 Diagnosa Banding........................................................................................13
2.10 Tatalaksana.................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Anatomi Apendiks Vermiformis......................................................3
Gambar 2.2 Lokasi dari apendiks dan caecum.....................................................4
Gambar 2.3 Variasi regio anatomis pada apendiks..............................................5
DAFTAR TABEL
PENDAHULUA
1. Latar Belakang
Apendisitis adalah salah satu kasus bedah abdomen yang paling sering terjadi di dunia.
Apendektomi menjadi salah satu operasi abdomen terbanyak di dunia. Sebanyak 40% bedah
emergensi di negara barat dilakukan atas indikasi apendisitis akut (Lee et al., 2010; Shrestha et
al., 2012).
masalah abdomen yang paling sering [ CITATION Dar10 \l 1057 ]). Apendiksitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang terjadi. Insidensi
pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak daripada wanita[ CITATION Mut13 \l 1057 ].
Apendisitis ditemukan pada semua kalangan dalam rentang usia 21-30 tahun[ CITATION
Aji14 \l 1057 ]). Komplikasi apendisitis yang sering terjadi yaitu apendisitis perforasi yang dapat
menyebabkan perforasi atau abses sehingga diperlukan tindakan pembedahan [CITATION Har42
\l 1057 ].
Prevalensi tindakan bedah di Amerika Serikat tahun 2009 dari 27 juta orang yang
menjalani operasi setiap pelayanan kesehatan, pasien dengan infeksi pada daerah operasi
abdomen akan menjalani perawatan dua kali lebih lama di rumah sakit daripada yang tidak
mengalami infeksi [ CITATION Jit10 \l 1057 ]). Berdasarkan Data Tabulasi Nasional
Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009, tindakan bedah menempati urutan ke 11
dari 50 pertama penyakit di rumah sakit se-Indonesia dengan persentase 12.8% yang diperkirakan
32% diantaranya merupakan tidakan bedah laparatomi [ CITATION Aji14 \l 1057 ]. Laporan
meningkat dari 162 kasus pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada tahun 2006 dan 1.281 kasus
penderita apendiksitis mencapai 591.819, pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang dan insiden ini
menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya (Depkes RI, 2013).
Penderita apendiksitis yang dirawat di rumah sakit pada tahun 2013 sebanyak 3.236 orang dan
pada tahun 2014 sebanyak 4.351 orang (Depkes RI, 2013). Apendisitis merupakan salah satu
menganggap apendiksitis merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional karena
TINJAUAN PUSTAKA
3
4
c) Paracolic.
Variasi pada posisi apendiks, usia pasien dan tingkat inflamasi inilah yang
membuat manifestasi klinik pada apendicitis secara terkenal tidak konsisten.
Berdasarkan kejadian menurut posisi apendiks yang dilaporkan 65,28% pada
retrocaecal; 31,01% pelvic; 2,26% subcaecal; 1% preileal dan 0.4% untuk right
paracolic/postileal[ CITATION Bah07 \l 1057 ]. Arteri apendikular mewakilkan
keseluruhan suplai arteri akhir organ yang berasal dari arteri ileocolic. Jika terjadi
thrombosis pada arteri ini akan terbentuk gangrene dan kemudian perforasi. Vena dari
apendiks mengalir menuju vena ileocolic yang kosong ke vena mesenteric
superior.Beberapa kanal limfatik yang tipis akan melewati mesoapendiks untuk menuju
ke nodus ileocaecal. GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat pada
organ apendiks dapat mensekresi Imunoglobulin (IgA) yang berfungsi sebagai alat
pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pengangkatan organ apendiks ini tidak akan
mempengaruhi sistem imun dalam tubuh karena jumlah jaringan limfe yang
perbandingannya sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlahnya di seluruh
tubuh[ CITATION Sja07 \l 1057 ].
2.2 Definisi
2.3 Klasifikasi
Peningkatan tekanan lumen karena sekresi mukosa disertai edema yang menekan aliran
vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis.
Mulai terjadi infark karena tekanan lumen yang meningkat dan terjadinya trombosis.
d) Apendisitis Infiltrat
Proses radang apendiks yang penyebaran;nya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus,
sekum, kolon dan peritoneum sehinnga membentuk gumpalan massa yang
melekat erat satu dengan lainnya.
e) Apendisitis Abses
f) Apendisitis Perforasi
Pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga
perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah
perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik
2.4 Etiologi
Etiologi dari apendisitis ini masih belum bisa dipahami. Obstruksi dari lumen
adalah faktor yang mendominasi pada apendisitis akut. Fekalit, residu makanan yang
belum tercerna sempurna, hiperplasia limfoid, luka intraluminal, tumor, bakteri, virus
dan inflammatory bowel disease itu semua dapat berhubungan dengan inflamasi
apendiks pada apendisitis [ CITATION Jam15 \l 1057 ].
7
2.5 Patofisiologi
Apendisitis diawali oleh obstruksi lumen appendiceal, obstruksi ini diyakini
sebagai tahap penting dari terbentuknya apendisitis. Obstruksi ini dapat disebabkan
karena fekalit, hiperplasia folikel limfoid, benda asing, struktur karena fikosis akibat
peradangan sebelumnya atau neoplasma. Dalam beberapa kasus, obstruksi ini akan
mengarah pada pertumbuhan bakteri secara cepat yang berlebihan dan juga distensi
lumen karena sekresi mukus terus menerus[ CITATION Jam15 \l 1057 ]. Akibat dari
distensi lumen adalah muncul stimulasi pada saraf nyeri visceral afferent yang
menyebabkan nyeri difus pada abdomen bawah dan tengah. Distensi secara tiba-tiba
dapat menyebabkan rasa kram.Akibat tertekannya pembuluh darah vena dan arteri
menyebabkan terjadinya kongesti di pembuluh darah apendiks dan menimbulkan reflex
mual.Kemudian, thrombosis pada pembuluh darah dan nekrosis iskemik dengan
perforasi pada appendix distal dapat terjadi. Sebagai kompensasi terhadap invasi bakteri
maka tubuh mengaktivasi mediator inflamasi pada jaringan apendiks dan menyebabkan
timbulnya gejala demam, takikardi dan leukositosis dan secara progresif dapat terjadi
perforasi[ CITATION Cha15 \l 1057 ].
Gambaran klinis pada pasien apendisitis akut biasanya adalah nyeri pada
abdomen. Nyeri dimulai dari area periumbilical/epigastrium berpindah ke fossa iliaka
kanan dalam beberapa jam. Kemungkinan setelah itu muncul gejala lain seperti tidak
8
nafsu makan, mual dan muntah selama 12-24 jam. Nyeri awal pada periumbilikal
disebabkan oleh obstruksi dan inflamasi dari apendiks dan di medias melalui saraf nyeri
visceral sebagai nyeri. Ketika parietal peritoneum terlibat dapat menyebabkan nyeri
somatik yang melokalisasi, intense dan konstan yang menjalar [ CITATION Tja06 \l
1057 ]. Dalam apendisitis awal, pasien mulanya afebrile atau memiliki demam rendah.
Pada apendisitis perforasi, disertai dengan demam tinggi juga nyeri abdomen secara
menyeluruh.Pasien juga dapat mengalami diare ataupun tenesmus.
2.7 Diagnosis
bawah yang makin progresif. Keluhan utama pada pasien apendisitis akut adalah
nyeri pada abdomen. Pasien akan menjelaskan nyeri kolik pada peri-umbilikal
yang semakin nyeri pada 24 jam pertama, yang menjadi konstan dan tajam, dan
berpindah ke fossa iliaka kanan. Nyeri awal mewakilkan nyeri peralihan hasil dari
inevarsi visceral midgut dan nyeri yang terlokalisir disebabkan oleh terlibatnya
parietal peritoneum setelah proses inflamasi. Kehilangan selera makan sering
sebagai fitur yang predominan, dan konstipasi juga mual sering
muncul[ CITATION Jam15 \l 1057 ].
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pada apendisitis dapat ditegakan melalui beberapa tes yaitu
pemeriksaan darah lengkap terutama sel darah putih, analisa urin, dan juga
patologi untuk mendapatkan bukti yang menunjang. Investigasi untuk apendisitis
akut yang harus dilakukan yaitu[ CITATION Hum06 \l 1057 ] :
1. Analisa urin : hampir 40% dapat muncul keabnormalan
2. Test kehamilan : menyingkirkan adanya kehamilan pada wanita
3. Pemeriksaan darah lengkap : neutrophil (75%), predominan leukositosis (80-
90%)
4. C reactive protein : dapat terjadi peningkatan konsentrasi
B. Pemeriksaan Urin
Urinalisis berguna pada kasus yang diragukan mengarah pada infeksi
saluran kemih yang menyerupai apendisitis. Namun, apendiks terinflamasi
yang berbatasan dengan ureter atau kantung kemih dapat menyebabkan sterile
pyuria atau hematuria. Setiap wanita dalam usia kehamilan harus melakukan
tes kehamilan bila dicurigai kehamilan ektopik[ CITATION Tja06 \l 1057 ].
C. Radiografi
Pemeriksaan radiografi jarang membantu dalam menegakan diagnosa
apendisitis. Pada pemeriksaan abdomen polos dapat menunjukkan pola gas di
saluran cerna yang tidak spesifik. Pemeriksaan ini dilakukan jika
dikhawatirkan adanya kondisi lain seperti fekalit dikuadran kanan bawah,
obstruksi saluran atau ureterolithiasis, hampir <5% akan menunjukkan adanya
fekalit dengan gambaran opaque di bagian kuadran kanan bawah abdomen.
Kemunculan dari fekalit bukanlah diagnosis dari apendisistis, walaupun
kemunculan pada letak dimana pasien mengeluhkannya. Sensitivitas
keseleuruhan pada alat Utrasonography adalah 86% dan spesifikasi 85%.
Ultrasonography, terutama dengan teknik intravaginal terbukti sebagian
identifikasi paling berguna untuk patologi pelvis pada wanita. Penemuan USG
pada apendisitis yaitu adanya penebalan dinding, dan meningkatnya diameter
apendiks dan juga adalnya cairan bebas.
Pemeriksaan menggunakan Computed termography (CT) memiliki
sensitivitas 76-100% dan spesifitas 83-100% , pemeriksaan ini berguna
terutama jika dicurigai sudah terbentuknya abses. Penemuan pada CT adalah
termasuk dilatasi >6 mm dengan penebalan dinding, lumen yang tidak terisi
dengan kontras enterik, dan jaringan berlemak yang terurai atau udara disekitas
apendiks, yang mengarah pada inflamasi.
Selain pemeriksaan lab seperti diatas bisa dilakukan juga penilaian
berdasarkan Skor Alvarado, Skor Alvarado ini memiliki sensitivitas 96% dan
spesifitas 81% dalam penegakan diagnosis apendisitis. Berdasarkan Skor
13
2.8 Komplikasi
Komplikasi pada apendisitis akut adalah terjadinya rupture atau perforasi karena
obstruksi terus menerus pada lumen sehingga menimbulkan gangrene distal.Ruptur
muncul pada 15-25 persen pasien dengan kejadian tinggi pada anak- anak dan
geriatric.Gejala terjadinya rupture kadang terjadinya penurunan nyeri (hanya 4 persen)
karena hilangnya secara tiba-tiba distensi abdomen pada beberapa pasien. Peningkatan
suhu dan juga peningkatan leukosit daripada kasus apendisitis akut biasa juga bisa
terjadi.
d. Peritonitis primer
e. Pelvic inflammatory disease
2.10 Tatalaksana
Jika pada pasien apendisitis akut tidak terdapat kontraindikasi, memiliki riwayat
medis yang kuat dan juga pemeriksaan fisik dengan didukung oleh pemeriksaan
laboratorium harus segera dilakukan apendiktomi. Sedangkan pada paeisn dengan
perforasi terutama dengan abses disarankan untuk diberikan antibiotic terlebih dahulu
lalu dikakukan apendektomi.
Seluruh pasien harus dipersiapkan secara keseluruhan untuk pembedahan dan
mengkoreksi keabnormalan pada cairan dan elektrolit. Pasien yang hendak melakukan
operasi sebaiknya diberikan antibiotic profilaksis untuk mengurangi terjadinya infeksi
pada area yang dioperasi dan abses intra-abdominal, pemilihan antibiotic berdasarkan
mikrobiologi local dan resistensi obat pada pasien. Apendiktomi dapat berupa terbuka
atau laparascopic. Apendiktomi secara terbuka atau tradisional dilakukan oleh metode
standar dengan beberapa bantuan dari insisi. Laparoscopic apendiktomi digunakan
sekitar 60% pada semua apendektomi termasuk perforasi.Laparoskopik disertai dengan
nyeri post-operatif yang sedikit dan kemungkinan jangka waktu yang pendek untuk
pulih pada aktivitas normal. Pasien yang melakukan laparoskopik juga memiliki luka
infeksi yang sedikit.
Jika tidak ada komplikasi, maka pasien dapat pulang setelah 24 – 40 jam setelah
operasi. Komplikasi post-operasi tersering adalah demam dan juga leukositosis. Jika
ditemukan keadaan ini lebih dari 5 hari maka harus dicurigai adanya abses
intraabdominal.
15
DAFTAR PUSTAKA
Ajidah & Haskas, Y., 2014. Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Peristaltik Usus pada
Pasien Pasca Operasi Laparotomi di Ruang Rawat Inap RSUP dr. Wahidin
Sudirohasodo Makasar. Jurnal Kesehatan STIKes Nani Hasanuddin Makasar.
Bahsin, S. et al., 2007. Vermiform Appendix and Acute Appendicitis. JK Science, Issue
9, pp. 167-70.
Blumenreich, M. S., 1990. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations. 3 ed. s.l.:s.n.
Charles Bunicardi, F. et al., 2015. Schwartz's Principles Of Sugery. X ed. s.l.:Mc Graw
Hill Education.
Darmawan, D. & Rahayuningsih, T., 2010. Keperawatan Medikal Bedah (Sistem
Pencernaan). Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Doherty, G. M., 2020. Current Diagnosis & Treatment Surgery. 15 ed. s.l.:Mc Graw
Hill.
Drake, R., Moses, K., Vogl, A. & Mitcell, A., 2014. Gray's Anatomy : Anatomy of The
Human Body. s.l.:Elsevier.
Fabyan, Dhilion, H. R., Ndraha, S. & Tendean, M., 2017. Karakteristik Penderita
Kolelitiasis Berdasarkan Faktor Risiko di Rumah Sakit Umum Daerah Koja.
Jurnal Kedokteran Meditek , pp. 50-56.
Grigor’eva , I. N. & Romanova, T. I., 2020. Gallstone Disease and Microbiome.
Microorganisms, pp. 1-16.
Haryono & Rudy, 2012. Keperawatan Medical Bedah Sistem Pencernaan.. Yogyakarta:
Gosyen Publisher.
Humes, D. J. & Simpson, J., 2006. Acute Appendicitis. BMJ.
Jameson, et al., 2015. Harrison's Principles Of Internal Medicine. 19 ed. United States:
McGraw Hills.
Jitowiyono, S. & Kristayanasari, W., 2010. Asuhan Keperawatan Neonatus.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Martini, S. & Nath, J., 2012. Martini's Fundamentals of Anatomy and Physiology. 9 ed.
San Francisco: Pearson Benjamin Cummings.
Mutaqqin, A. & Kumala, S., 2013. Gangguan Gasrtointestinal Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah Jilid I. Jakarta: Salemba Medika.
Newman D, W. A., 2015. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 29 ed. Singapura: EGC
Medical Publisher.
Paulsen, F. & Waschke, J., 2013. Sobbota Atlas Anatomi Manusia Jilid 2. 23 ed.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Price, S. A. & Wilson, L. M., 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. 6 ed. Jakarta: buku kedokteran EGC.
Raftery, A. T., Delbridge, M. S. & Wagstaff, M. J. D., 2011. Sugery. IV ed.
s.l.:Elsevier.
Rakotomena, S. D. et al., 2019. Epidemiology and Risk Factor of the Gallstone Disease
in a Southern Topical Country. European Journal of Clinical and Biomedical
Sciences, 5(6), pp. 73-78.
Richard-Chabot, D. S. & George, T. I., 2015. White blood cell counts: reference
methodology. Clinic In Laboratory Medicine.
Setiawati, S. et al., 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI ed. Jakarta: Interna
Publishing.
Sjamsuhidayat, R., Karnadihardja, W., Prasetyono, T. O. & Rudiman, R., 2007. Buku
Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidayat-De Jong. III ed. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S. & Pradipta, E. A., 2014. Kapita Selekta Kedokteran.
IV ed. Jakarta Pusat: Media Aesculaplus.
Tjandra, J. J., Clunie, G. J., Kaye, A. H. & Smith, J. A., 2006. Textbook Of Surgery. 3
ed. Melbourne: BlackWell.