Anda di halaman 1dari 21

Referat

APENDISITIS

Oleh :

Ikbal Zaenur Ridwan, S. Ked

Siti Aulia Nur Rahmah, S. Ked

Teringet Ginting, S. Ked

Zenira Sari Pitaloka, S. Ked

PRECEPTOR:

dr. Horizon MN, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

RSUD JENDERAL AHMAD YANI KOTA METRO

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan karunia-Nya sehingga Referat ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya dengan judul “APENDISITIS”.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa referat ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisannya, penggunaan tata bahasa, dan
dalam penyajiannya sehingga penulis menerima saran dan kritik konstruktif dari
semua pihak. Namun terlepas dari semua kekurangan yang ada, semoga dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
Penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih kepada dr. Horizon MN,
Sp.B yang telah membimbing dan mengarahkan saya dalam menyelesaikan
referat ini. Penulis juga berterima kasih kepada rekan-rekan yang telah bekerja
sama membantu menyusun referat ini.

Akhirnya semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu


pengetahuan, khususnya di bidang kedokteran. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
selalu melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Aamiin.

Kota Metro, September 2021

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv

BAB I
1. Latar Belakang................................................................................................1

BAB II
2.1 Anatomi dan Fisiologi....................................................................................3
2.2 Definisi...........................................................................................................5
2.3 Klasifikasi.......................................................................................................6
2.4 Etiologi...........................................................................................................6
2.5 Patofisiologi....................................................................................................7
2.6 Gambaran Klinis.............................................................................................7
2.7 Diagnosis........................................................................................................9
2.8 Komplikasi...................................................................................................13
2.9 Diagnosa Banding........................................................................................13
2.10 Tatalaksana.................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1 Anatomi Apendiks Vermiformis......................................................3
Gambar 2.2 Lokasi dari apendiks dan caecum.....................................................4
Gambar 2.3 Variasi regio anatomis pada apendiks..............................................5

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Frekuensi Gejala yang Sering Muncul..................................................8


Tabel 2.2 Frekuensi Tanda yang Sering Muncul...................................................9
Tabel 2.3 Tanda Klasik Apendisitis pada Pasien dengan Nyeri Abdomen...........10
Tabel 2.4 Alvarado Score......................................................................................10
BAB I

PENDAHULUA

1. Latar Belakang
Apendisitis adalah salah satu kasus bedah abdomen yang paling sering terjadi di dunia.

Apendektomi menjadi salah satu operasi abdomen terbanyak di dunia. Sebanyak 40% bedah

emergensi di negara barat dilakukan atas indikasi apendisitis akut (Lee et al., 2010; Shrestha et

al., 2012).

Apendisitis merupakan peradangan apendik vermivormis, dan merupakan penyebab

masalah abdomen yang paling sering [ CITATION Dar10 \l 1057 ]). Apendiksitis dapat

ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang terjadi. Insidensi

pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak daripada wanita[ CITATION Mut13 \l 1057 ].

Apendisitis ditemukan pada semua kalangan dalam rentang usia 21-30 tahun[ CITATION

Aji14 \l 1057 ]). Komplikasi apendisitis yang sering terjadi yaitu apendisitis perforasi yang dapat

menyebabkan perforasi atau abses sehingga diperlukan tindakan pembedahan [CITATION Har42

\l 1057 ].

Prevalensi tindakan bedah di Amerika Serikat tahun 2009 dari 27 juta orang yang

menjalani operasi setiap pelayanan kesehatan, pasien dengan infeksi pada daerah operasi

abdomen akan menjalani perawatan dua kali lebih lama di rumah sakit daripada yang tidak

mengalami infeksi [ CITATION Jit10 \l 1057 ]). Berdasarkan Data Tabulasi Nasional

Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2009, tindakan bedah menempati urutan ke 11

dari 50 pertama penyakit di rumah sakit se-Indonesia dengan persentase 12.8% yang diperkirakan

32% diantaranya merupakan tidakan bedah laparatomi [ CITATION Aji14 \l 1057 ]. Laporan

Departemen Kesehatan (Depkes) mengenai kejadian laparatomi atas indikasi apendiksitis

meningkat dari 162 kasus pada tahun 2005 menjadi 983 kasus pada tahun 2006 dan 1.281 kasus

pada tahun 2007 [ CITATION Aji14 \l 1057 ].


1
2

Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan pada tahun 2008 jumlah

penderita apendiksitis mencapai 591.819, pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang dan insiden ini

menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya (Depkes RI, 2013).

Penderita apendiksitis yang dirawat di rumah sakit pada tahun 2013 sebanyak 3.236 orang dan

pada tahun 2014 sebanyak 4.351 orang (Depkes RI, 2013). Apendisitis merupakan salah satu

penyebab untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Kementerian Kesehatan

menganggap apendiksitis merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional karena

mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2013).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2. 1 Anatomi Apendiks Vermiformis

Apendiks vermiformis pertama di temukan oleh rakyat mesir ketika melakukan


proses “memumikan”, bagian abdomen dikeluarkan dan ditaruh pada sebuah toples
dengan di depskrisikan sebagai “cacing saluran pencernaan” yang
ditemukan[ CITATION Bah07 \l 1057 ]. Apendiks vermiformis dianggap sebagai organ
paling vestigial yaitu organ sudah kehilangan atau kebanyakan fungsinya atau disebut
juga organ sisa. Apendiks vermiformis memiliki struktur tabung yang sempit, berongga,
berujung buntu disalah satu sisinya dan berhubungan dengan caecum di sisi lain. Secara
embriologi appendiks adalah terusan dari caecum dan pertama kali tergambarkan pada
bulan ke- 5 selama gestasi.5 Letak dari apendiks sendiri yaitu menempel pada aspek
posteromedial pada caecum. Organ ini adalah satu-satunya organ pada tubuh yang tidak
memiliki posisi anatomi yang konstan. Apendiks memiliki panjang normalnya sekitar 9
cm, tetapi ukuran dan bentuknya cukup bervariasi[ CITATION Mar12 \l 1057 ].

3
4

Gambar 2. 2 Lokasi dari apendiks dan caecum


Titik pelekatan apendiks vermiformis dengan caecum konsisten dengan alur
taenia coli libera yang tampak jelas mengarah ke basis apendiks vermiformis,
sementara ujung lain dari apendiks vermiformis memiliki posisi sangat
bervariasi[ CITATION Dra14 \l 1057 ]. Apendiks memiliki beberapa posisi yaitu :
a) preileal : anterior dari ileum terminal, kemungkinan berhubungan
dengan dinding tubuh.
b) postileal : posterior dari ileum terminal.

c) Paracolic.

d) retrocaecal : posterior dari caecum atau bagian bawah colon


ascendens.

e) subcaecal : inferior caecum.

f) pelvic : menggantung diatas apertura pelvis, didalam pelvis atau


dalam posisi descenden.

g) Subhepatic : paling jarang


5

Gambar 2.3 Variasi regio anatomis pada apendiks

Variasi pada posisi apendiks, usia pasien dan tingkat inflamasi inilah yang
membuat manifestasi klinik pada apendicitis secara terkenal tidak konsisten.
Berdasarkan kejadian menurut posisi apendiks yang dilaporkan 65,28% pada
retrocaecal; 31,01% pelvic; 2,26% subcaecal; 1% preileal dan 0.4% untuk right
paracolic/postileal[ CITATION Bah07 \l 1057 ]. Arteri apendikular mewakilkan
keseluruhan suplai arteri akhir organ yang berasal dari arteri ileocolic. Jika terjadi
thrombosis pada arteri ini akan terbentuk gangrene dan kemudian perforasi. Vena dari
apendiks mengalir menuju vena ileocolic yang kosong ke vena mesenteric
superior.Beberapa kanal limfatik yang tipis akan melewati mesoapendiks untuk menuju
ke nodus ileocaecal. GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat pada
organ apendiks dapat mensekresi Imunoglobulin (IgA) yang berfungsi sebagai alat
pertahanan tubuh terhadap infeksi. Pengangkatan organ apendiks ini tidak akan
mempengaruhi sistem imun dalam tubuh karena jumlah jaringan limfe yang
perbandingannya sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlahnya di seluruh
tubuh[ CITATION Sja07 \l 1057 ].

2.2 Definisi

Apendisitis adalah proses peradangan pada apendix vermiformis. Apendisitis


akut dengan mula gejala akut yang memerlukan pembedahan cepat dan biasanya
ditandai dengan nyeri pada kuadran abdomen kanan bawah, nyeri lepas alih, spasme
otot yang ada diatasnya, dan hiperestesia kulit, sedangkan pada apendisitis kronik
ditandai dengan penebalan fibretik dinding organ tersebut yang disebabkan oleh
peradangan akut sebelumnya [ CITATION New15 \l 1057 ]. Apendisitis merupakan
penyebab tersering nyeri abdomen akut dan memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah kompikasi yang umumnya berbahaya[ CITATION Sja07 \l 1057 ].
6

2.3 Klasifikasi

Apendisitis diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu apendisitis akut dan


kronik[ CITATION Sja07 \l 1057 ]. Apendisitis akut dibagi menjadi beberapa derajat:

a) Apendisitis akut sederhana


Terjadi peradangan di area mukosa dan submukosa yang disebabkan obstruksi
b) Apendisitis akut purulenta atau disebut juga supuratif

Peningkatan tekanan lumen karena sekresi mukosa disertai edema yang menekan aliran
vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis.

c) Apendisitis akut gangrenosa

Mulai terjadi infark karena tekanan lumen yang meningkat dan terjadinya trombosis.

d) Apendisitis Infiltrat

Proses radang apendiks yang penyebaran;nya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus,
sekum, kolon dan peritoneum sehinnga membentuk gumpalan massa yang
melekat erat satu dengan lainnya.

e) Apendisitis Abses

Massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus)

f) Apendisitis Perforasi

Pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga
perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah
perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik

2.4 Etiologi

Etiologi dari apendisitis ini masih belum bisa dipahami. Obstruksi dari lumen
adalah faktor yang mendominasi pada apendisitis akut. Fekalit, residu makanan yang
belum tercerna sempurna, hiperplasia limfoid, luka intraluminal, tumor, bakteri, virus
dan inflammatory bowel disease itu semua dapat berhubungan dengan inflamasi
apendiks pada apendisitis [ CITATION Jam15 \l 1057 ].
7

2.5 Patofisiologi
Apendisitis diawali oleh obstruksi lumen appendiceal, obstruksi ini diyakini
sebagai tahap penting dari terbentuknya apendisitis. Obstruksi ini dapat disebabkan
karena fekalit, hiperplasia folikel limfoid, benda asing, struktur karena fikosis akibat
peradangan sebelumnya atau neoplasma. Dalam beberapa kasus, obstruksi ini akan
mengarah pada pertumbuhan bakteri secara cepat yang berlebihan dan juga distensi
lumen karena sekresi mukus terus menerus[ CITATION Jam15 \l 1057 ]. Akibat dari
distensi lumen adalah muncul stimulasi pada saraf nyeri visceral afferent yang
menyebabkan nyeri difus pada abdomen bawah dan tengah. Distensi secara tiba-tiba
dapat menyebabkan rasa kram.Akibat tertekannya pembuluh darah vena dan arteri
menyebabkan terjadinya kongesti di pembuluh darah apendiks dan menimbulkan reflex
mual.Kemudian, thrombosis pada pembuluh darah dan nekrosis iskemik dengan
perforasi pada appendix distal dapat terjadi. Sebagai kompensasi terhadap invasi bakteri
maka tubuh mengaktivasi mediator inflamasi pada jaringan apendiks dan menyebabkan
timbulnya gejala demam, takikardi dan leukositosis dan secara progresif dapat terjadi
perforasi[ CITATION Cha15 \l 1057 ].

Apendiksekal fekalit dapat ditemukan pada 50% pasien dengan apendisitis


gangren yang perforasi tetapi jarang ditemukan pada pasien yang memiliki penyakit
sederhana. Berdasarkan observasi ini, proses patofisiologi berbeda dan apendisitis tidak
selalu berproses menuju perforasi. Selain itu, pada beberapa kasus apendisitis akut
yang sederhana dan teratasi secara spontan atau dengan terapi antibiotik, dan kejadian
berulang dapat terjadi[ CITATION Jam15 \l 1057 ].

Ketika perforasi terjadi, apendiks yang mengalami inflamasi akan


mengeluarkan cairan yang mengandung bakteri dan akan mengenai omentum atau
jaringan yang ada disekitarnya untuk membentuk abses. Perforasi bebas normalnya
dapat menyebabkan severe peritonitis. Pasien ini dapat mengalami thrombosis supuratif
yang infektif pada vena portal dan juga diikuti abses intrahepatik [ CITATION Jam15 \l
1057 ].

2.6 Gambaran Klinis

Gambaran klinis pada pasien apendisitis akut biasanya adalah nyeri pada
abdomen. Nyeri dimulai dari area periumbilical/epigastrium berpindah ke fossa iliaka
kanan dalam beberapa jam. Kemungkinan setelah itu muncul gejala lain seperti tidak
8

nafsu makan, mual dan muntah selama 12-24 jam. Nyeri awal pada periumbilikal
disebabkan oleh obstruksi dan inflamasi dari apendiks dan di medias melalui saraf nyeri
visceral sebagai nyeri. Ketika parietal peritoneum terlibat dapat menyebabkan nyeri
somatik yang melokalisasi, intense dan konstan yang menjalar [ CITATION Tja06 \l
1057 ]. Dalam apendisitis awal, pasien mulanya afebrile atau memiliki demam rendah.
Pada apendisitis perforasi, disertai dengan demam tinggi juga nyeri abdomen secara
menyeluruh.Pasien juga dapat mengalami diare ataupun tenesmus.

Sangat penting untuk mengidentifikasi pasien yang kemungkinan memiliki


apendisitis sedini mungkin untuk meminimalisir resiko terjadinya komplikasi. Pasien
yang memiliki gejala lebih dari 48 jam kemungkinan sudah perforasi. Apendisitis harus
dimasukan pada diagnosis banding untuk nyeri pada abdomen pada setiap pasien pada
semua umur kecuali kalau yakin organ tersebut sudah dihilangkan.
Tanda umum dari apendisitis akut adanya demam sedang dan takikardi yang
mungkin karena inflamasi yang terjadi pada apendiks.Sedangkan tanda local yang khas
adalah tenderness terlokalisir dan persisten di daerah McBurney, walaupun bergantung
dari lokasi apendiks itu sendiri.Munculnya kekakuan otot dari fossa illiaka kanan juga
dapat timbul karena inflamasi yang terjadi pada parietal peritoneum.
Pasien dengan apendisitis pelvis biasanya menunjukan adanya dysuria,
frekuensi BAK, diare atau tenesmus. Pasien dengan apendisitis ini kemungkinan hanya
mengalami nyeri di regio suprapubic pada palpasi atau pada pemeriksaan rectal atau
pelvis. Pemeriksaan pelvis pada wanita adalah suatu keharusan untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti inflammatory disease, kehamilan ektopik dan ovarian torsion.
Frekuensi gejala dan tanda yang ditunjukan dapat dilihat pada tabel berikut
ini[ CITATION Jam15 \l 1057 ].
9

Tabel 2.1 Frekuensi Gejala yang Sering Muncul


Gejala Frekuensi
Nyeri Abdomen >95%
Anoreksia >70%
Konstipasi 4-16%
Diare 4-16%
Demam 10-20%
Perpindahan nyeri ke kuadran kanan 50-60%
Bawah
Mual >65%
Muntah 50-75%
[ CITATION Jam15 \l 1057 ].

Tabel 2.2 Frekuensi Tanda yang Sering Muncul


Signs Frequency
Abdominal tenderness >95%
Right lower quadrant tenderness >90%
Rebound tenderness 30-70%
Rectal tenderness 30-40%
Cervical motion tenderness 30%
Rigidity ~10%
Psoas sign 3-5%
Rovsing’s sign 5%
Palpable mass <5%
[ CITATION Jam15 \l 1057 ].

2.7 Diagnosis

Penegakan diagnosis pada apendisitis akut dapat ditegakan melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tersebut meliputi :
a. Anamnesis
Apendisitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada semua pasien
dengan nyeri abdomen akut yang sesuai dengan manifestasi klinis diatas yakni
mual, muntah pada keadaan awal yang diawali dengan nyeri perut kuadran kanan
10

bawah yang makin progresif. Keluhan utama pada pasien apendisitis akut adalah
nyeri pada abdomen. Pasien akan menjelaskan nyeri kolik pada peri-umbilikal
yang semakin nyeri pada 24 jam pertama, yang menjadi konstan dan tajam, dan
berpindah ke fossa iliaka kanan. Nyeri awal mewakilkan nyeri peralihan hasil dari
inevarsi visceral midgut dan nyeri yang terlokalisir disebabkan oleh terlibatnya
parietal peritoneum setelah proses inflamasi. Kehilangan selera makan sering
sebagai fitur yang predominan, dan konstipasi juga mual sering
muncul[ CITATION Jam15 \l 1057 ].

b. Pemeriksaan Fisik

Pada tanda vital kadang ditemukannya berupa takikardi ringan ataupun


peningkatan suhu. Pada pemeriksaan fisik pasien dilakukan pemeriksaan di titik
McBurney (sepertiga distal garis antara umbilikus dan spina iliaka anterior
superior atau SIAS kanan)untuk mengetahui adanya tenderness, guarding dan
juga rebound, lalu dilakukan pemeriksaan Rovsing’s sign (nyeri pada kuadran
kanan bawah ketika dilakukan palpasi di kuadran kiri bawah) untuk mengetahui
terjadinya iritasi pada baian peritoneal. Setelah itu dilakukan pemeriksan Psoas
sign (perlahan mengekstensi paha kanan pasien dengan posisi pasien berbaring
kearah kiri) untuk membuktikan adanya inflamasi local ketika otot illiopsoas, lalu
dilakukan juga pemeriksaan Obturator sign ( internal rotasi pada paha kanan
pasien yang difleksikan dengan posisi pasien supinasi)untuk menunjukan adanya
indikasi terjadi iritasi dekat obturator internus[ CITATION Cha15 \l 1057 ].
Penjelasan lebih detail untuk pemeriksaan fisik dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.
Tabel 2. 3 Tanda Klasik Apendisitis pada Pasien dengan Nyeri Abdomen
Maneuver Findings
Rovsing’s sign Palpating in the left lower quadrant
causes pain in the right lower quadrant
Obturator sign Internal rotation of the hip causes pain,
suggesting the possibility of
an
inflamed appendix located in the pelvis
Illiopsoas sign Extending the right hip causes pain along
posterolateral back and
hip,
11

suggesting retrocecal appendicitis.


[ CITATION Jam15 \l 1057 ].

c. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis pada apendisitis dapat ditegakan melalui beberapa tes yaitu
pemeriksaan darah lengkap terutama sel darah putih, analisa urin, dan juga
patologi untuk mendapatkan bukti yang menunjang. Investigasi untuk apendisitis
akut yang harus dilakukan yaitu[ CITATION Hum06 \l 1057 ] :
1. Analisa urin : hampir 40% dapat muncul keabnormalan
2. Test kehamilan : menyingkirkan adanya kehamilan pada wanita
3. Pemeriksaan darah lengkap : neutrophil (75%), predominan leukositosis (80-
90%)
4. C reactive protein : dapat terjadi peningkatan konsentrasi

Sistem scoring dan algoritma telah diusulkan untuk membantu diagnosis


pada apendisitis akut namun belum digunakan secara luas. Tes laboratorium ini
diperlukan untuk membantu menyingkirkan diagnosis banding.
A. Hitung Jumlah Leukosit
Leukosit adalah grup heterogen dari sel bernukleus yang dapat
ditemukan di sirkulasi darah selama kita hidup. Leukosit diklasifikasikan
menjadi granulosit, limfosit dan monosit, granulosit memiliki 3 variasi yaitu
neutrofil (PMN), eosinofil dan basofil.Konsentrasi normal di dalam darah
bervariasi antara 4000sel/mm3dan 10.000 sel/mm3. Leukosit memiliki peran
penting dalam fagositosis dan imunitas dalam menghadapi infeksi. Leukosit
dapat dievaluasi dengan beberapa teknik yang dapat dilakukan di laboratorium,
salah satunya yang paling mudah adalah hitung jumlah leukosit dan hitung
jenis leukosit[ CITATION Blu90 \l 1057 ].
Hitung jumlah leukosit dapat dilakukan secara manual dengan
perhitungan Neubauer, namun pada laboratorium berteknelogi modern
menggunakan automated hematology analyzers untuk perhitungan jumlah
leukosit. Alat ini memberikan hasil yang akurat, tepat, biaya yang murah
dengan waktu yang singkat[ CITATION Ric15 \l 1057 ] . Pada kejadian
apendisitis akut perhitungan sel darah putih bisa ditemukan peningkatan pada
leukosit (leukositosis) dengan rentang 11.000 – 17.000/uL dengan neutrofilia
12

serta ditemukannya “left shift” pada hitung jenis terjadi hampirpada


>95% pasien dengan apendisits[ CITATION Tja06 \l 1057 ][ CITATION Jam15 \l
1057 ]. Pada kasus yang sudah terjadi perforasi dan gangren dapat mengalami
leukositosis tinggi (>20,000/uL).Pemeriksaan ini lebih akurat jika diikuti
dengan pemeriksaan C-reactive protein.

B. Pemeriksaan Urin
Urinalisis berguna pada kasus yang diragukan mengarah pada infeksi
saluran kemih yang menyerupai apendisitis. Namun, apendiks terinflamasi
yang berbatasan dengan ureter atau kantung kemih dapat menyebabkan sterile
pyuria atau hematuria. Setiap wanita dalam usia kehamilan harus melakukan
tes kehamilan bila dicurigai kehamilan ektopik[ CITATION Tja06 \l 1057 ].
C. Radiografi
Pemeriksaan radiografi jarang membantu dalam menegakan diagnosa
apendisitis. Pada pemeriksaan abdomen polos dapat menunjukkan pola gas di
saluran cerna yang tidak spesifik. Pemeriksaan ini dilakukan jika
dikhawatirkan adanya kondisi lain seperti fekalit dikuadran kanan bawah,
obstruksi saluran atau ureterolithiasis, hampir <5% akan menunjukkan adanya
fekalit dengan gambaran opaque di bagian kuadran kanan bawah abdomen.
Kemunculan dari fekalit bukanlah diagnosis dari apendisistis, walaupun
kemunculan pada letak dimana pasien mengeluhkannya. Sensitivitas
keseleuruhan pada alat Utrasonography adalah 86% dan spesifikasi 85%.
Ultrasonography, terutama dengan teknik intravaginal terbukti sebagian
identifikasi paling berguna untuk patologi pelvis pada wanita. Penemuan USG
pada apendisitis yaitu adanya penebalan dinding, dan meningkatnya diameter
apendiks dan juga adalnya cairan bebas.
Pemeriksaan menggunakan Computed termography (CT) memiliki
sensitivitas 76-100% dan spesifitas 83-100% , pemeriksaan ini berguna
terutama jika dicurigai sudah terbentuknya abses. Penemuan pada CT adalah
termasuk dilatasi >6 mm dengan penebalan dinding, lumen yang tidak terisi
dengan kontras enterik, dan jaringan berlemak yang terurai atau udara disekitas
apendiks, yang mengarah pada inflamasi.
Selain pemeriksaan lab seperti diatas bisa dilakukan juga penilaian
berdasarkan Skor Alvarado, Skor Alvarado ini memiliki sensitivitas 96% dan
spesifitas 81% dalam penegakan diagnosis apendisitis. Berdasarkan Skor
13

Alvarado, pasien dikategorikan menjadi resiko rendah (Skor<4), resiko sedang


(4-7) dan resiko tinggi (≥8). Pada tabel dibawah ini dijabarkan skor alvarado.

Tabel 2.4 Skor Alvarado


Tabel Skor Alvarado Skor
Gejala Klinis Pemeriksaan
Nyeri perut yang berpindah ke kanan bawah 1
Nafsu makan menurun 1 lainya yang
Mual dan muntah 1 merupakan gold
Tanda Klinis standard dari
Nyeri lepas McBurney 1
penegakan
Nyeri tekan pada titik McBurney 2
Demam 1 diagnosis
Pemeriksaan Laboratorium apendisitis
Leukositosis 2
adalah
Shift to the left neutrophil 1
Total 10 histopatologi
karena
membedakan secara makroskopik antara apendiks normal dan apendisitis
ketika operasi terkadang sulit.

2.8 Komplikasi
Komplikasi pada apendisitis akut adalah terjadinya rupture atau perforasi karena
obstruksi terus menerus pada lumen sehingga menimbulkan gangrene distal.Ruptur
muncul pada 15-25 persen pasien dengan kejadian tinggi pada anak- anak dan
geriatric.Gejala terjadinya rupture kadang terjadinya penurunan nyeri (hanya 4 persen)
karena hilangnya secara tiba-tiba distensi abdomen pada beberapa pasien. Peningkatan
suhu dan juga peningkatan leukosit daripada kasus apendisitis akut biasa juga bisa
terjadi.

2.9 Diagnosis Banding


a. Acute Mesenteric Adenitis
Sekitar 5% pasien yang melakukan apendektomi untuk apendisitis akut ditemukan
memiliki mesenteric adenitis. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak
b. Gastroenteritis Akut
Umumnya disebabkan oleh virus disertaidengan muntah, diare, kram dan relaksasi
diantara gelombang hiperperistaltik. Penyakit ini juga dapat disebabkan oleh
bakteri seperti Salmonella
14

c. Infeksi saluran kemih


Timbul gejala pada sistem kemih dan tidak adanya kekakuan pada abdomen, sering
ditemukan nyeri pada cosyovertebral angle bukan di fossa iliaka kanan juga
pada pemeriksaan lab ditemykan bakteriuria

d. Peritonitis primer
e. Pelvic inflammatory disease
2.10 Tatalaksana
Jika pada pasien apendisitis akut tidak terdapat kontraindikasi, memiliki riwayat
medis yang kuat dan juga pemeriksaan fisik dengan didukung oleh pemeriksaan
laboratorium harus segera dilakukan apendiktomi. Sedangkan pada paeisn dengan
perforasi terutama dengan abses disarankan untuk diberikan antibiotic terlebih dahulu
lalu dikakukan apendektomi.
Seluruh pasien harus dipersiapkan secara keseluruhan untuk pembedahan dan
mengkoreksi keabnormalan pada cairan dan elektrolit. Pasien yang hendak melakukan
operasi sebaiknya diberikan antibiotic profilaksis untuk mengurangi terjadinya infeksi
pada area yang dioperasi dan abses intra-abdominal, pemilihan antibiotic berdasarkan
mikrobiologi local dan resistensi obat pada pasien. Apendiktomi dapat berupa terbuka
atau laparascopic. Apendiktomi secara terbuka atau tradisional dilakukan oleh metode
standar dengan beberapa bantuan dari insisi. Laparoscopic apendiktomi digunakan
sekitar 60% pada semua apendektomi termasuk perforasi.Laparoskopik disertai dengan
nyeri post-operatif yang sedikit dan kemungkinan jangka waktu yang pendek untuk
pulih pada aktivitas normal. Pasien yang melakukan laparoskopik juga memiliki luka
infeksi yang sedikit.
Jika tidak ada komplikasi, maka pasien dapat pulang setelah 24 – 40 jam setelah
operasi. Komplikasi post-operasi tersering adalah demam dan juga leukositosis. Jika
ditemukan keadaan ini lebih dari 5 hari maka harus dicurigai adanya abses
intraabdominal.
15
DAFTAR PUSTAKA

Ajidah & Haskas, Y., 2014. Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Peristaltik Usus pada
Pasien Pasca Operasi Laparotomi di Ruang Rawat Inap RSUP dr. Wahidin
Sudirohasodo Makasar. Jurnal Kesehatan STIKes Nani Hasanuddin Makasar.
Bahsin, S. et al., 2007. Vermiform Appendix and Acute Appendicitis. JK Science, Issue
9, pp. 167-70.
Blumenreich, M. S., 1990. Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory
Examinations. 3 ed. s.l.:s.n.
Charles Bunicardi, F. et al., 2015. Schwartz's Principles Of Sugery. X ed. s.l.:Mc Graw
Hill Education.
Darmawan, D. & Rahayuningsih, T., 2010. Keperawatan Medikal Bedah (Sistem
Pencernaan). Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Doherty, G. M., 2020. Current Diagnosis & Treatment Surgery. 15 ed. s.l.:Mc Graw
Hill.
Drake, R., Moses, K., Vogl, A. & Mitcell, A., 2014. Gray's Anatomy : Anatomy of The
Human Body. s.l.:Elsevier.
Fabyan, Dhilion, H. R., Ndraha, S. & Tendean, M., 2017. Karakteristik Penderita
Kolelitiasis Berdasarkan Faktor Risiko di Rumah Sakit Umum Daerah Koja.
Jurnal Kedokteran Meditek , pp. 50-56.
Grigor’eva , I. N. & Romanova, T. I., 2020. Gallstone Disease and Microbiome.
Microorganisms, pp. 1-16.
Haryono & Rudy, 2012. Keperawatan Medical Bedah Sistem Pencernaan.. Yogyakarta:
Gosyen Publisher.
Humes, D. J. & Simpson, J., 2006. Acute Appendicitis. BMJ.
Jameson, et al., 2015. Harrison's Principles Of Internal Medicine. 19 ed. United States:
McGraw Hills.
Jitowiyono, S. & Kristayanasari, W., 2010. Asuhan Keperawatan Neonatus.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Martini, S. & Nath, J., 2012. Martini's Fundamentals of Anatomy and Physiology. 9 ed.
San Francisco: Pearson Benjamin Cummings.
Mutaqqin, A. & Kumala, S., 2013. Gangguan Gasrtointestinal Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah Jilid I. Jakarta: Salemba Medika.
Newman D, W. A., 2015. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 29 ed. Singapura: EGC
Medical Publisher.
Paulsen, F. & Waschke, J., 2013. Sobbota Atlas Anatomi Manusia Jilid 2. 23 ed.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Price, S. A. & Wilson, L. M., 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. 6 ed. Jakarta: buku kedokteran EGC.
Raftery, A. T., Delbridge, M. S. & Wagstaff, M. J. D., 2011. Sugery. IV ed.
s.l.:Elsevier.
Rakotomena, S. D. et al., 2019. Epidemiology and Risk Factor of the Gallstone Disease
in a Southern Topical Country. European Journal of Clinical and Biomedical
Sciences, 5(6), pp. 73-78.
Richard-Chabot, D. S. & George, T. I., 2015. White blood cell counts: reference
methodology. Clinic In Laboratory Medicine.
Setiawati, S. et al., 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. VI ed. Jakarta: Interna
Publishing.
Sjamsuhidayat, R., Karnadihardja, W., Prasetyono, T. O. & Rudiman, R., 2007. Buku
Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidayat-De Jong. III ed. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC.
Tanto, C., Liwang, F., Hanifati, S. & Pradipta, E. A., 2014. Kapita Selekta Kedokteran.
IV ed. Jakarta Pusat: Media Aesculaplus.
Tjandra, J. J., Clunie, G. J., Kaye, A. H. & Smith, J. A., 2006. Textbook Of Surgery. 3
ed. Melbourne: BlackWell.

Anda mungkin juga menyukai