APENDISITIS
DISUSUN OLEH:
dr. Aqib Asyraf Ablisar
PEMBIMBING:
dr. Tiar Lusiana Sihombing
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan kasus kami yang
berjudul “Apendisitis”.
Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat untuk menyele-
saikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di De-
partemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pem-
bimbing, dr. Tiar Lusiana Sihombing yang telah meluangkan waktunya dan
memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga dapat
selesai tepat pada waktunya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk laporan kasus ini. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak yang terlibat dalam
pelayanan kesehatan di Indonesia.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..............................................................................................i
Daftar Isi........................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.............................................................................1
1.2. Tujuan..........................................................................................2
1.3. Manfaat........................................................................................2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Apendiks......................................................................................3
2.1.1. Anatomi Apendiks.............................................................3
2.1.2. Fisiologi Apendiks.............................................................4
2.1.3. Histologi Apendiks............................................................5
2.2. Apendisitis...................................................................................5
2.2.1. Definisi...............................................................................5
2.2.2. Etiologi dan Patogenesis....................................................6
2.2.3. Patofisiologi.......................................................................7
2.2.4. Gejala Klinis......................................................................8
2.2.5. Diagnosis...........................................................................9
2.2.6. Diagnosis Banding...........................................................14
2.2.7. Penatalaksanaan...............................................................15
2.2.8. Komplikasi.......................................................................17
2.2.9. Prognosis..........................................................................19
BAB III. STATUS PASIEN.......................................................................20
BAB IV. DISKUSI.......................................................................................23
BAB V. KESIMPULAN............................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................26
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan
Penyakit pada apendiks merupakan salah satu kegawatdaruratan medis yang
menyebabkan seseorang perlu di rawat di rumah sakit, dan tindakan apendektomi
merupakan salah satu prosedur bedah emergensi yang paling sering dilakukan di
dunia. Apendisitis merupakan peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak
maupun dewasa.1,2
Angka insidensi dari apendisitis adalah sekitar 100 per 100.000 penduduk.
Risiko seseorang untuk menderita apendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan
6,7% untuk perempuan dengan angka insidensi tertinggi dijumpai pada usia
dekade kedua. Insidensi tertingginya terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun dan
perempuan usia 15-19 tahun. Apendisitis ini jarang terjadi pada bayi dan anak-
anak di bawah usia 2 tahun.Setiap tahunnya, terdapat sekitar 250.000 kasus apen-
disitis yang terjadi di Amerika Serikat.1,2,3
Di Indonesia angka insiden apendisitis cukup tinggi, terlihat dengan adanya
peningkatan jumlah pasien dari tahun ketahun. Berdasarkan data yang diperoleh
dari Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008, kasus apendisitis akut yang ter-
catat pada tahun 2005 sebanyak 65.755 kasus dan pada tahun 2007 jumlah kasus
apendisitis sebanyak 75.601 orang. Ditahun 2008 jumlah kasus apendisitis 7%
dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Dalam periode 1
tahun ( 1 Januari 2015 s/d 31 Desember 2015) dari data rekam medis pasien di RS
Dr M Djamil Padang, didapat 126 pasien dengan kasus appendisitis.4
Apendisitis ini merupakan kegawatdaruratan medik yang apabila dibiarkan
dan tidak ditangani dapat mengalami ruptur dan mengakibatkan infeksi pada peri-
toneum (peritonitis). Tatalaksana yang tepat dari apendisitis akan menekan angka
mortalitas dari pasien.3
1
2
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan dari laporan kasus ini adalah :
1. Penulis dan pembaca diharapkan dapat mengerti dan memahami tentang
apendisitis
2. Penulis dan pembaca diharapkan mampu menerapkan teori terhadap
pasien dengan apendisitis
3. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap
kasus apendisitis serta melakukan penatalaksanaan yang tepat, cepat,
dan akurat
1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap penulis
dan pembaca terutama yang terlibat dalam bidang medis dan juga memberikan
wawasan kepada masyarakat umum agar lebih mengetahui dan memahami tentang
apendisitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Apendiks
2.1.1. Anatomi Apendiks
Apendiks vermiformis atau yang seringkali disebut dengan apendiks
merupakan organ sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengan-
dung banyak jaringan limfoid. Pada orang dewasa, panjang rata-rata dari apendiks
adalah 6 hingga 9 cm. Diameter luarnya bervariasi antara 3 hingga 8 mm sedan-
gkan diameter lumennya bervariasi antara 1 hingga 3 mm. Dasar dari apendiks
melekat pada permukaan sekum dengan bagian lainnya bebas. Apendiks ditutupi
seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah mesenterium in-
testinum tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek, yang dinamakan
mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteri, vena dan saraf.1,5
3
4
menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dan umbilikus. Lokasi dari
bagian basis apendiks selalu konstan, yaitu pada titik pertemuan dari ketiga taeni-
ae coli sekum yang menyatu untuk membentuk lapisan otot longitudinal terluar
dari apendiks. Bagian distal dari apendiks umumnya terletak pada posisi ret-
rosekal oleh karena sekum akan mengalami rotasi selama proses tumbuh kembang
anak.5,13
Posisi apendiks sangat bervariasi dibandingkan dengan organ lainnya den-
gan posisi yang paling sering adalah retrosekal (74%), pelvis (21%), parasekal
(2%), subsekal (1,5%), preileal (1%) dan postileal (0,5%).6,7,12
2.2. Apendisitis
2.2.1. Definisi
Apendisitis adalah inflamasi akut pada apendiks yang terletak pada
kuadran bawah kanan dari rongga abdomen (Smeltzer & Bare, 2002). Apendiks
menjadi meradang akibat invasi bakteri pada dindingnya, biasanya didistal dari
obstruksi lumennya. Obstruksi dapat disebabkan oleh fekalit, biji-bijian atau
cacing dalam lumen.7
2.2.2. Etiologi dan Patogenesis
Obstruksi pada lumen merupakan etiologi paling sering pada apendisitis
akut. Fecalith merupakan penyebab obstruksi lumen apendiks yang paling sering.
Penyebab lain yang mungkin adalah pembesaran dari jaringan limfoid, peng-
gumpalan barium dalam pemeriksaan x-ray, tumor dan parasit. Frekuensi obstruk-
si meningkat seiring dengan tingkat keparahan proses inflamasi. Fecalith dite-
mukan pada 40% kasus apendisitis akut, pada 65% kasus apendisitis gangren tan-
pa adanya ruptur apendiks, dan 90% kasus pada apendisitis gangren dengan ruptur
apendiks.8
Obstruksi oleh fecalith ditambah sekresi dari mukosa apendiks akan
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal. Kapasitas lumen dari apendiks
normalnya hanya 0,1 ml. Sekresi cairan pada distal apendiks yang melebihi kapa-
sitas menyebabkan peningkatan tekanan di dalam lumen apendiks. Distensi dari
apendiks akan menstimulasi serabut saraf aferen viseral yang menyebabkan rasa
sakit yang tumpul, menyebar dan tidak terlokalisir di bagian tengah abdomen dan
bagian bawah epigastrium. Distensi yang terjadi secara tiba-tiba juga menstimu-
lasi peristaltik sehingga pada beberapa nyeri viseral pada apendiks didahului oleh
kram perut. Sekresi mukosa yang berlanjut dan berkembangnya bakteri dalam
apendiks semakin meningkatkan distensi. Distensi pada tingkat ini juga menye-
babkan mual, muntah dan nyeri viseral yang berat. Tekanan pada organ yang se-
makin meningkat melebihi tekanan pada vena menyebabkan kapiler dan pembu-
luh darah venule tersumbat tetapi aliran darah arterial terus berjalan sehingga
7
apendisitis berada dalam keadaan perforasi. 2,5 Untuk membatasi proses radang ini
tubuh juga melakukan upaya pertahanan dengan menutup apendiks vermiformis
dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa peria-
pendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. 6 Pada anak-
anak dengan omentum yang lebih pendek, apendiks vermiformis yang lebih pan-
jang, dan dinding apendiks vermiformis yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh
yang masih kurang, dapat memudahkan terjadinya apendisitis perforasi. Sedan-
gkan pada orang tua, apendisitis perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan
pembuluh darah. Apendiks vermiformis yang pernah meradang tidak akan sembuh
sempurna tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan seki-
tarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan
bawah. Sehingga suatu saat, organ ini dapat mengalami peradangan akut lagi dan
dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.6
Infeksi terjadi pada tahap mukosa yang kemudian melibatkan seluruh dinding
apendiks pada 24-48 jam pertama. Adaptasi yang dilakukan tubuh terhadap infla-
masi lokal ini adalah menutup apendiks dengan struktur lain yaitu omentum, usus
halus, dan adneksa. Hal ini yang menyebabkan terbentuknya masa peria-
pendikuler, yang disebut juga infiltrat apendiks. Pada infilitrat apendiks, terdapat
jaringan nekrotik yang dapat saja terbentuk menjadi abses sehingga menimbulkan
risiko perforasi yang berbahaya pada pasien apendisits. Pada sebagian kasus,
apendisitis dapat melewati fase akut tanpa perlu dilakukannya operasi. Akan
tetapi, nyeri akan seringkali berulang dan menyebabkan eksaserbasi akut sewaktu-
waktu dan dapat langsung berujung pada komplikasi perforasi. Pada anak-anak
dan geriatri, daya tahan tubuh yang rendah dapat meyebabkan sulitnya terbentuk
infiltrat apendisitis sehingga risiko perforasi lebih besar.6
2.2.5. Diagnosis
Anamnesis
Apendisitis harus dipikirkan sebagai diagnosis banding pada semua pasien
10
dengan nyeri abdomen akut yang sesuai dengan gejala klinis yakni mual dan
muntah pada keadaan awal yang diikuti dengan nyeri perut periumbilikal yang
kemudian bergeser ke kuadran kanan bawah abdomen yang semakin progresif.
Urutan munculnya gejala memiliki peranan penting dalam diagnosis banding
apendisitis.9
Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan apendisitis akut akan tampak kesakitan dan berbaring.
Umumnya dijumpai demam dengan suhu sekitar 38oC. Pada pemeriksaan fisik
abdomen, dengan palpasi dapat dijumpai nyeri tekan pada daerah apendiks, yaitu
pada titik sepertiga bawah garis antara umbilicus dengan spina iliaka anterior su-
perior (Mc Burney’s point). Selain itu, dapat dijumpai pula nyeri lepas dan muscle
guarding. Pada auskultasi, bising usus akan berkurang.
Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium klinik, kebanyakan pasien memberikan
hasil sel darah putih yang meningkat dengan hitung jenis sel neutrofil lebih dari
12
75%. Kadar leukosit normal pada kasus apendisitis ditemukan pada 10% kasus.
Kadar leukosit yang tinggi, lebih dari 18.000/ml jarang ditemukan pada kasus
apendisits tanpa komplikasi. Kadar leukosit yang melebihi batasan tersebut
meningkatkan kemungkinan terjadinya apendisitis perforasi dengan atau tanpa
abses. Pemeriksaan kadarc-reactive protein (CRP) yang meningkat merupakan
indikator yang kuat untuk apendisitis, khususnya apendisitis dengan komplikasi.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan urinalisis pada pasien untuk membantu meny-
ingkirkan kemungkinan kelainan pada sistem saluran kemih.10,11
Pada pemeriksaan radiologis dengan menggunakan foto polos abdomen,
dapat dijumpai adanya gambaran fecalith pada sekum yang dihubungkan dengan
apendisitis. Akan tetapi, hasil temuan ini kurang berguna dalam menegakkan di-
agnosis apendisits akut. Meskipun demikian, pemeriksaan ini mungkin berguna
untuk membantu menyingkirkan diagnosis lain. Pemeriksaan radiologis lainnya
yang dapat dilakukan adalah ultrasonografi dan CT-scan.1
Pemeriksaan ultrasonografi memiliki keuntungan berupa biaya yang tidak
mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak memerlukan media kontras, dan kare-
na tidak menghasilkan radiasi, pemeriksaan ini dapat dilakukan pada wanita
hamil. Gambaran penebalan dinding apendiks dan ditemukannya cairan peria-
pendiseal meningkatkan kemungkinan diagnosis apendisitis. Apabila dilakukan
penekanan pada apendiks, ukuran diameter apendiks <5 mm dapat membantu
menyingkirkan diagnosis apendisitis. Kekurangan dari pemeriksaan ini adalah
ketepatan diagnosis sangatlah bergantung pada operatornya.1
Pada pemeriksaan CT, apendiks yang mengalami inflamasi akan tampak
berdilatasi (diameter >5 mm) dan terjadi penebalan pada dindingnya. Seringkali
ditemukan adanya bukti inflamasi pada apendiks, meliputi penebalan
mesoapendiks, terdapatnya cairan bebas. Fecalith seringkali dapat tervisualisasi
meskipun temuan ini tidaklah patognomonik untuk apendisitis. Meskipun dapat
memberikan visualisasi yang lebih akurat dari apendiks, CT juga memiliki keku-
rangan. Kekurangan tersebut meliputi biaya pemeriksaan yang mahal, paparan
13
radiasi terhadap pasien, dan keterbatasan penggunaan pada pasien hamil. Adanya
alergi terhadap iodine atau zat kontras lainnya semakin membatasi pemeriksaan
ini.
Skoring klinis
Diagnosis apendisitis secara klinis dapat ditegakkan dengan menggunakan
sistem skoring klinis, yang didasarkan pada variabel-variabel yang telah terbukti
berhubungan dengan diagnosis apendisitis sesuai dengan porsinya. Skoring Al-
varado merupakan skoring klinis untuk apendisitis yang paling sering digunakan.
Skoring ini berguna untuk menegakkan diagnosis apendisitis dan menentukan pe-
meriksaan diagnostik lanjutan yang diperlukan. The Appendicitis Inflammatory
Response Score menyerupai skor Alvarado tetapi menggunakan variabel yang
lebih spesifik dan meliputi pemeriksaan CRP. Penelitian menunjukkan bahwa The
Appendicitis Inflammatory Response Score lebih akurat dalam memprediksi apen-
disitis namun sistem skoring tersebut belum digunakan secara luas dalam pene-
gakan diagnosis apendisitis.1
6. Kehamilan ektopik
Pada penyakit ini hampir selalu ada riwayat keterlambatan haid dengan
keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus kehamilan di
luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah
perlvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksan vagina, didap-
atkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas.
7. Torsio/ruptur kista ovarium
Pada penyakit ini dapat timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang
tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vagi-
na atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat
menentukan diagnosis ini.
8. Endometriosis eksterna
Endometrium di luar rahim akan menimbukan nyeri di tempat dimana
endometriosis tersebut berada dan dapat terjadi penumpukan darah oleh karena
darah menstruasi pada daerah tersebut mungkin tidak dapat keluar.
9. Urolitiasis pielum/ureter kanan
Dijumpai adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut yang menjalar ke
inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosit pada urin sering dite-
mukan. Foto polos perut atau urografi intravena dapat memastikan diagnosis
penyakit ini.
10. Penyakit saluran cerna lainnya.
Penyakit lain yang perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding dari
apendisitis adalah peradangan pada rongga abdomen, seperti pada divertikulus
Merkel, perforasi tukak lambung atau duodenum, kolesistitis akut, pankreatitis,
obstruksi usus, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid dan mukokel
apendiks.
2.2.6. Penatalaksanaan
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan yang paling tepat dan merupakan satu-
17
satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Menurut Wibisono dan Jeo (2013),
ada hal-hal yang perlu diperhatikan:12
1. Pre-operatif
Dilakukan observasi ketat, tirah baring dan puasa. Pemeriksaan abdomen
dan rektal serta pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik. Foto abdomen
dan toraks dapat digunakan untuk mencari penyulit lain. Antibiotik intravena
spektrum luas dan analgesik dapat diberikan. Pada apendisitis perforasi perlu
diberikan resusitasi cairan sebelum operasi. Antibiotik harus segera diberikan
pada pasien suspek apendisitis dan antibiotik harus segera dihentikan setelah
operasi pada pasien tanpa perforasi. Pada pasien apendisitis yang tidak dioperasi,
antibi- otik harus diberikan paling sedikit 3 hari sampai gejala klinis infeksi
hilang. Pada apendisitis akut, dapat diberikan antibiotik berupa:
- Ampisilin 3 g/6 jam per IV atau
- Ceftriaxone 1 g/24 jam per IV + Metronidazole 500 mg/ 8 jam IV
- Ciprofloxavin 500 mg/12 jam IV
- Metronidazole 500 mg/8 jam per IV atau
- Ertapenem 1 g/24 jam per IV
Pada apendisitis dengan komplikasi, pilihannya adalah sebagai berikut:
- Meropenem 1 g/8 jam per IV atau
- Levofloxacin 750 mg/24 jam per IV + Metronidazole 500 mg/8 jam per IV
- Cefepime 2 g/8-12 jam per IV + Metronidazole 500 mg/8 jam per IV
2. Operatif
- Apendektomi terbuka dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran
kanan bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney). Pada
diagnosis yang belum jelas dapat dilakukan subumbilikal pada garis ten-
gah.
- Laparoskopi apendektomi, teknik operasi dengan luka dan kemungkinan
infeksi yang lebih kecil.
3. Paska-operatif
18
2.2.7. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi pada apendisitis akut adalah perforasi
apendiks. Adanya fekalith di dalam lumen, penderita pada usia anak-anak maupun
orang tua, dan keterlambatan diagnosis merupakan faktor yang berperan dalam
terjadinya perforasi apendiks. Insidensi perforasi apendiks pada penderita di atas
usia 60 tahun dilaporkan sekitar 60%. Faktor yang mempengaruhi tingginya insid-
ensi perforasi pada orang tua adalah gejalanya yang samar, keterlambatan pengob-
atan, adanya perubahan anatomi apendiks berupa penyempitan lumen, dan arte-
riosklerosis. Insidensi tinggi pada anak disebabkan oleh dinding apendiks yang
masih tipis, anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis,
dan proses pendinginan kurang sempurna akibat perforasi yang berlangsung cepat
dan omentum anak yang belum berkembang.6
Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri yang semakin hebat yang meliputi seluruh perut, pe-
rut menjadi distensi (tegang dan kembung). Nyeri tekan dan defans muskular ter-
jadi di seluruh perut, mungkin disertai dengan pungtum maksimum di regio iliaka
kanan, peristaltik usus dapat menurun sampai menghilang akibat adanya ileus par-
alitik. Abses rongga peritoneum dapat terjadi bila pus yang menyebar terlokalisasi
di suatu tempat, paling sering di rongga pelvis dan subdiafragma. Adanya massa
intraabdomen yang nyeri disertai demam harus dicurigai sebagai abses. Ultra-
sonogafi dapat membantu mendeteksi adanya abses. Perbaikan keadaan umum
dengan pemberian infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif, gram
19
positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan
sebelum pembedahan. Perlu dilakukan laparotomi insisi yang panjang, supaya da-
pat dilakukan pencucian rongga peritoneum dari pus maupun pengeluaran fibrin
yang adekuat secara mudah serta pembersihan abses. Akhir-akhir ini mulai
banyak dilaporkan pengelolaan apendisitis perforasi secara laparoskopi
apendektomi. Pada prosedur ini, rongga abdomen dapat dibilas dengan mudah.
Hasilnya dila- porkan tidak berbeda jauh dibandingkan dengan laparotomi
terbuka, tetapi keun- tungannya adalah lama rawat lebih pendek dan secara
kosmetik lebih baik.6
Komplikasi juga dapat terjadi setelah tindakan apendektomi. Komplikasi
yang paling sering dijumpai setelah tindakan apendektomi adalah infeksi pada
lokasi pembedahan yang terjadi pada 5-10% pasien. Hal ini biasanya terjadi pada
hari ke-4 atau ke-5 setelah operasi yang ditandai dengan rasa nyeri dan eritema
pada lokasi operasi. Tatalaksana yang dilakukan adalah drainase luka dan pember-
ian antibiotik. Selain itu, sekitar 8% pasien yang menjalani tindakan apendektomi
akan mengalami abses intra-abdomen. Pasien harus diedukasi untuk kembali ke
rumah sakit apabila dijumpai demam, malaise dan anoreksia yang terjadi dalam 5-
7 hari setelah operasi. Komplikasi lainnya yang dapat terjadi adalah ileus, pyaemia
portal dan fistula enterokutan.13
2.2.8. Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang aku-
rat serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar antara 0,2-0,8%
yang disebabkan oleh komplikasi penyakit dan akibat intervensi bedah. Pada anak,
angka ini berkisar antara 0,1-1%, sedangkan pada pasien di atas usia 70 tahun
angka ini meningkat di atas 20%, terutama akibat keterlambatan diagnosis dan
terapi.12
BAB III
STATUS PASIEN
Identitas Pasien
Nama : RLS
Jenis Kelamin : Laki Laki
Tanggal Lahir : 28 Juni 1987
Usia : 35 tahun
Alamat : Doloksanggul
Agama : Kristen
Suku : Batak
Anamnesis
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Telaah : Keluhan ini telah dialami oleh pasien sejak 1 hari yang lalu.
Pada awalnya, pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri di ulu
hati sekitar 3 hari yang lalu yang berpindah ke perut kanan
bawah. Keluhan nyeri yang dirasakan pasien seperti ditusuk-
tusuk dan bersifat terus-menerus dan semakin lama semakin
berat. Rasa nyeri juga bertambah bila pasien bergerak, batuk
ataupun mengedan. Keluhan mual dan muntah juga dijumpai
pada pasien sejak 1 hari ini, frekuensi 3 kali dengan isi air yang
bercampur dengan makanan yang dimakan oleh pasien. Penu-
runan nafsu makan dijumpai pada pasien. Keluhan demam di-
jumpai sejak 1 hari belakangan ini dan tidak tinggi. Keluhan
batuk dan sesak napas tidak dijumpai. Keluhan BAB tidak lan-
car dijumpai, pasien mengatakan BAB terakhir sejak 3 hari
yang lalu. BAK dalam batas normal.
RPT : Tidak ada
20
2
Status Lokalisata
Kepala
Mata : konjungtiva palp. inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
refleks cahaya (+/+), pupil isokor Ø 3mm/3mm
Telinga : sekret (-), deformitas (-)
Hidung : sekret (-), deformitas (-)
Tenggorokan: tidak hiperemis, dalam batas
normal Mulut : dalam batas normal
Leher : TVJ +2 cm H20, pembesaran KGB(-), pembesaran tiroid
(-)
Thorax
Paru : Inspeksi : Simetris, tidak dijumpai ketinggalan nafas
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri, kesan normal
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara pernafasan vesikuler (+/+)
Suara tambahan (-/-)
Jantung : Batas Jantung
Batas Atas : ICS II-III
Batas Kiri : 1 jari lateral LMCS
Batas Kanan : L D
2
Diagnosis
Susp. apendisitis akut
KASUS
Pasien RLS, laki laki, 35 tahun,
datang ke Puskesmas Matiti den-
gan keluhan utama nyeri perut
kanan bawah sejak 1 hari yang
lalu yang berpindah dari ulu hati
dimana nyeri ulu hati mulai di-
rasakan 3 hari yang lalu.
Keluhan mual dan muntah di-
jumpai pada pasien sejak 1 hari
ini, frekuensi 3 kali dengan isi air
yang bercampur dengan makanan
yang dimakan oleh pasien. Penu-
runan nafsu makan dijumpai pada
pasien.
Keluhan demam dijumpai sejak 1
hari belakangan ini dan tidak
tinggi.
23
2
BAB VI
KESIMPULAN
Pasien RLS, laki laki, umur 35 tahun datang ke Puskesmas Matiti dengan
keluhan utama nyeri perut kanan bawah yang dialami sejak 1 hari yang lalu yang
diawali oleh nyeri ulu hati sekitar 3 hari yang lalu yang kemudian berpindah ke
perut kanan bawah. Keluhan mual dan muntah dijumpai pada pasien sejak 1 hari
ini, frekuensi 3 kali dengan isi air yang bercampur dengan makanan yang dimakan
oleh pasien. Penurunan nafsu makan juga dijumpai. Keluhan demam juga di-
jumpai sejak 1 hari belakangan ini. Pasien di diagnosa dengan apendisitis akut
serta diberi tatalaksana berupa puasa, pemberian cairan intravena, dan dirujuk ke
rumah sakit
DAFTAR PUSTAKA
1. Liang MK, Andersson RE, Jaffe BM and Berger DH. The appendix.In:
Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al., editor. Schwartz’s Princi-
ples of Surgery 10th Ed. United States of America: Mc Graw-Hill Educa-
tion. 2015: 1241-1259
2. Warsinggih. Apendisitis Akut. Makassar: Universitas Hasanuddin. 2012: 1-
14.
3. Sitorus ASN. Karakteristik Letak Perforasi dan Usia pada Pasien yang
Didiagnosis Menderita Apendisitis Perforasi di Rumah Sakit Umum Pusat
Nasional Cipto Mangunkusumo antara Tahun 2005 hingga 2007. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009.
4. Angka kejadian apendisitis akut. Ditjen Bina YanMedik DepKes RI. 2008.
5. Tambunan FAE. Manfaat Klinis Sukralfat Secara Topikal Sebagai Terapi
Iritasi Kulit pada Peristoma.Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Su-
matera Utara. 2008: 12.
6. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
EGC;2011. hal 755-64.
7. Smeltzer, S. C & Brenda G. Bare, 2002, Brunner & Suddarth’s Edisi 8, ,
1097-1098, Jakarta, EGC.
8. Wibisono E dan Jeo WS. Kapita Selekta Kedokteran: Apendisitis Edisi 4,
volume 1. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.
9. Berger DH. The appendix.In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et
al., editor. Schwartz’s Principles of Surgery 9th Ed. United States of Ameri-
ca: Mc Graw-Hill Education. 2010.
10. Smeltzer, S. C & Brenda G. Bare, 2002, Brunner & Suddarth’s Edisi 8, ,
1097-1098, Jakarta, EGC.
11. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem: Pertahanan
26
tubuh edisi 6. Jakarta: EGC. 2007..
12. Wibisono E dan Jeo WS. Kapita Selekta Kedokteran: Apendisitis Edisi 4,
volume 1. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.
13. O’Connell PR. The appendix vermiformis. In: Bailey & Love’s Short Prac-
tice of Surgery 25th Edition. United Kingdom: Hodder Arnold. 2008.
27