Anda di halaman 1dari 49

Case Report Session

AKALASIA DAN MONOPARESE

Oleh :
Siti Syiehan Muhdalin 204031008
Salssabila Muslim 204031007

Pembimbing :
dr. Linda Efanita, Sp.PD, FINASIM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RS DR. ACHMAD MOCHTAR
BUKITTINGGI
2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Case
Report Session Kepaniteraan Klinik senior Ilmu Penyakit Dalam RSAM Bukit
Tinggi dengan judul “Akalasia dan Monoparese” ini dengan sebaik-baiknya.
Adapun tujuan dari penyusunan Case Report Session ini adalah untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior di RSAM Bukit Tinggi. Selain itu,
penyusunan Case Report Session ini juga bertujuan agar penulis lebih memahami
tentang Thalasemia.
Dalam penulisan Case Report Session ini, penulis banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada dr. Linda Efanita, Sp.PD
FINASIM selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penyusunan
Case Report Session .
Kritik dan saran membangun tentu sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan dan perbaikan di masa mendatang. Akhir kata, semoga Case
Report Session ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa kedokteran dalam
memecahkan masalah tentang Akalasia dan Monoparese.

Bukittinggi, 10 Agustus 2021

Penulis

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2. Tujuan Penulisan............................................................................... 2
1.3. Manfaat Penulisan............................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Disfagia............................................................................................ 3
2.1.1 Definisi........................................................................................... 3
2.1.2 Epidemiologi.................................................................................. 3
2.1.3 Klasifikasi....................................................................................... 4
2.1.4 Etiologi .......................................................................................... 7
2.1.5 Manifestasi klinis........................................................................... 9
2.1.6 Patofisiologi................................................................................... 10
2.1.7 Diagnosis........................................................................................ 11
2.1.8 Penatalaksanaan............................................................................ 12
2.1.9 Komplikasi ................................................................................... 14
2.1.10 Prognosis .................................................................................... 14
2.2. Diabetes Melitus............................................................................. 15
2.2.1 Definisi........................................................................................... 15
2.2.2 Epidemiologi.................................................................................. 15
2.2.3 Faktor Resiko................................................................................. 15
2.2.4 Klasifikasi ...................................................................................... 15
2.2.5 Patofisiologi................................................................................... 16
2.2.6 Gejala ............................................................................................ 16
2.2.7 Diagnosis........................................................................................ 16
2.2.8 Penatalaksanaan............................................................................ 17
2.2.9 Komplikasi ................................................................................... 19

II
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Disfagia biasanya mengacu pada kesulitan dalam makan sebagai akibat
dari gangguan dalam proses menelan. Disfagia dapat menjadi ancaman serius
bagi kesehatan seseorang karena risiko aspirasi pneumonia, malnutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, dan obstruksi jalan napas. Sejumlah etiologi
telah dikaitkan dengan disfagia pada populasi dengan kondisi neurologis dan
non-neurologic
Gangguan yang dapat menyebabkan disfagia dapat mempengaruhi
proses menelan pada fase oral, faring, atau esofagus. Anamnesis secara
menyeluruh dan pemeriksaan fisik dengan teliti sangat penting dalam diagnosis
dan pengobatan disfagia. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan
leher, mulut, orofaring, dan laring. Pemeriksaan neurologis juga harus
dilakukan. Pemeriksaan endoskopi serat optik pada proses menelan mungkin
diperlukan. Gangguan menelan mulut dan faring biasanya memerlukan
rehabilitasi, termasuk modifikasi diet dan pelatihan teknik dan manuver
menelan.
Parese adalah kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak
lengkap atau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau
gerakan terganggu. Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk
satu atau lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas
bagian yang terkena. Terjadinya parese dapat disebabkan oleh berbagai etiologi,
baik akibat adanya masalah pada sistem saraf pusat atau saraf tepi.
Disfagia dan monoparese dapat menurunkan quality of life dari pasien.
Pada laporan kasus ini, akan dibahas mengenai disfagia dan monoparese pada
seorang pasien.

1.2 Tujuan Penulisan


1.2.1 Tujuan Umum

1
Case report session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
di bagian Ilmu Penyakit Dalam RS DR. Achmad Mochtar dan diharapkan agar
dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para
pembaca.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan penulisan dari case report session ini adalah untuk mengetahui
uraian kasus pada seorang pasien dengan akalasia dan monoparese.

1.3 Manfaat Penulisan


Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai akalasia maupun
monoparese.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan
kerongkongan (osefagus), panjangnya ± 12 cm. Letaknya setinggi vertebra
servikalis IV ke bawah setinggi tulang rawan krikoidea. Faring di bentuk oleh
jaringan yang kuat dan jaringan otot melingkar, kantung fibromuskuler yang
bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian
bawah. Di dalam faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kumpulan kelenjar limfe
yang banyak mengandung limfosit untuk mempertahankan tubuh terhadap
infeksi, menyaring dan mematikan bakteri / mikroorganisme yang masuk
melalui jalan pencernaan dan pernafasan. Faring berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui
isthmus faucium, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui
aditus pharyngeus, dan ke bawah berhubungan esofagus. Faring berlanjut ke
oseofagus untuk pencernaan makanan.

Gambar 2.1 Anatomi Faring

2.1.2 Anatomi Esofagus

Esofagus merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan


lambung, panjangnya sekitar 9 sampai dengan 25 cm dengan diameter sekitar

3
2,54 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di bawah lambung.
Esofagus berawal pada area laringofaring, melewati diafragma dan diatus
esofagus. Esofagus terletak dibelakang trakea dan didepan tulang punggung
setelah melalui toraks menembus diafragma masuk ke dalam abdomen
menyambung dengan lambung.
Lapisan terdiri dari 4 lapis yaitu mucosa, submucosa, otot (longitudinal
dan sirkuler), dan jaringan ikat renggang. Makanan atau bolus berjalan dalam
oesofagus karena gerakan peristaltik, yang berlangsung hanya beberapa detik
saja.

Fungsi esofagus adalah menggerakkan makanan dari faring ke lambung


melalui gerak peristaltis. Mukosa esofagus memproduksi sejumlah besar mucus
untuk melumasi dan melindungi esofagus tetapi esofagus tidak memproduksi
enzim pencernaan.

Gambar 2.2 Anatomi Esofagus


2.1.2.3 Anatomi Laring
Larynx (laring) atau tenggorokan merupakan salah satu saluran
pernafasan (tractus respiratorius). Laring membentang dr laryngoesophageal
junction dan menghubungkanfaring (pharynx) dg trachea. Laring terletak
setinggi Vertebrae Cervical IV – VI.

4
Gambar 2.3 Anatomi Laring

Laring dibentuk oleh beberapa cartilage, antara lain :

 Cartilago epiglottica
Cartilago elastic berbentuk daun terletak di posterior dr radix linguae.
Berhubungan dg corpus ossis hyoidea di anterior nya dan cartilage thyroidea di
posterior nya. Sisi epiglottis berhubungan dg cartilage arytenoidea mll plica
aryepiglottica. Sdgkn di superiornya bebas dan membrane mucosa nya melipat
ke depan dan berlanjut meliputi permukaan posterior lidah sbg plica
glossoepiglottica mediana et lateralis. Dimana diantaranya terdapat cekungan
yg disebut dg valecullae

 Cartilago thyroidea
Terdiri atas 2 lamina cartylago hyaline yg bertemu di linea mediana anterior mjd
sebuah tonjolan sudut V yg disebut dg Adam’s apple/ commum adamum/
prominentia piriformis
(jakun). Pinggir posterior tiap lamina menjorok ke atas membentuk cornu
superior dan ke bawah membentuk cornu inferior. Pd permukaan luar lamina
terdapat line oblique sbg tempat melekatnya m. sternothyroideus, m.
thyrohyoideeus, dan m. constrictor pharyngis inferior.

5
 Cartilago cricoidea
Merupakan cartilage yg berbentuk cincin utuh dan terletak di bawah dr cartilago
thyroidea. Cartilage ini mempunyai arcus anterior yg sempit dan lamina
posterior yg lebar. Pd bagian lateral nya ada facies articularis sirkular yg akan
bersendi dg cornu inferior cartilage thyroidea. Sdgkn di bagian atasnya terdapat
facies articularis yg akan bersendi dg basis cartilage arytenoidea.

 Cartilago arytenoidea
Merupakan cartilage kecil berbentuk pyramid yg terletak di belakang dr larynx
pd pinggir atas lamina cartilage cricoidea. Masing2 cartilago memiliki apex di
bagian atas dan basis di bagian bawahnya. Dimana bagian apex nya ini akna
menyangga dr cartilage corniculata, sdgkn pd bagian basis nya bersendi dg
cartilage cricoidea. Pd basis nya terdapat 2 tonjolan yaitu proc. Vocalis yg
menonjol horizontal ke depan merupakn perlekatan dr lig. Vocale, dan proc.
Muscularis yg menonjol ke lateral dan merupakan perlekatan dr m.
crycoarytenoideus lateralis et posterior.

 Cartilago cuneiformis (Wrisbergi)


Merupakan cartilage kecil berbentuk batang yg terdapat di dalam 1 plica
aryepiglottica yg berfungsi utk menyokong plica tsb.

 Cartilago corniculata (Santorini)


2 buah nodulus kecil yg bersendi dg apex cartilaginis arytenoidea dan merupakan
tmp lekat plica aryepiglottica shg menyebabkan pinggir atas plica aryepiglottica
dextra et sinistra agak meninggi.

 Aditus Laryngis
Merupakan pntu masuk larynx yg menghadap ke dorsocranial dan
menghadap ke laryngopharynx. Aditus laryngis memiliki syntopi :
- Ventral : pinggir atas epiglottis
- Lateral : plica aryepiglottica.

6
- Dorsocaudal : membrane mucosa antar cartilage arytenoidea.

7
Sementara itu, cavitas laryngis terbentang dr aditus laryngis hingga ke pinggir
bawah cartilage cricoidea dan di bagi menjadi 3 bagian :
1. Bagian atas (vestibulum laryngis)
Terbentang dr aditus laryngis hingga ke plica vestibularis. Rima
vstibularis adl celah di antara plica vestibularis. Sedangkan, lig.
Vestibulare terletak dlm plica vestibularis
2. Bagian tengah (Recessus laryngeus)
Terbentang dr plica vestibularis hingga setinggi plica vocalis yg berisi lig.
Vocalis. Rima glottidis adl celah di antara plico vocalis. Diantara plica
vestibularis dan plica vocalis ini terdapat recessus kecil yaitu sinus
laryngis dan ventriculus laryngis.
3. Bagian bawah. (Fossa infraglottidis)

Adapun otot yang menyusun laring dapat dibedakan menjadi otot


instrinsik dan ekstrinsik. Otot-Otot Intrinsik laring mencakup Otot yang
perlekatan di bagian laryng. Otot ini memiliki peranan untuk mengubah
panjang dan ketegangan plica vocalis dalam produksi suara dan mengubah
ukuran rima glottidis untuk masuknya udara ke paru. Otot-otot yang
termasuk dan innervasinya yakni adalah :

1. M. Cricothyroideus (R.externus n. laryngeus superior)


2. M. Cricoarytenoidea posterior (Safety Muscle) (R.Posterior n. laryngeus
inferior)
3. M. Cricoarytenoidea lateral (R. anterior n. laryngeus inferior)
4. M. Arytenoidea transversus (R. Posterior n. Laryngeus inferior)
5. M. M. arytenoidea obliquus (R. anterior n. laryngeus inferior)
6. M. Thyroarytenoidea (R. anterior n. laryngeus inferior)

Fungsi otot instrinsik laring :


1. Mengatur Rima Glottidis
a. Membuka : m.cricoarytenoidea posterior
b. Menutup : m. cricoarytenoidea lateral, m. arytenoidea transversa, m.
cricothyroidea, dan m. thyroarytenoidea
2. Mengatur ketegangan lig.vocale
a. Menegangkan : m.cricothyroidea
b. Mengendorkan : m. thyroarytenoidea
3. Mengatur aditus laryngeus
a. Membuka : m. thyroepiglotticus
b. Menutup : m. aryepiglotticus dan m. arytenoideus obliquus

Otot-Otot Ekstrinsik Laring merupakan otot-otot di sekitar


laryng yang mempunyai salah satu perlekatan pada laryng atau
os.hyoideus. Berfungsi untuk menggerakkan laryng secara keseluruhan.
Otot ekstrinsik laryng terbagi atas :

a. Otot-otot Depressor :
- m. omohyoideus
- m. sternohyoideus
- m. sternothyroideus
b. Otot-otot Elevator :
- m. mylohyoideus
- m. stylohyoideus
- m. thyrohyoideus
- m. stylopharyngeus
- m. palatopharyngeus
- m. constrictor pharyngeus medius
- m. constrictor pharyngeus inferior
Gambar 2.4 Otot penyusun laring
2.2 Fisiologi Menelan
Selama proses menelan, otot-otot diaktifkan secara berurutan dan secara
teratur dipicu dengan dorongan kortikal atau input sensoris perifer. Begitu
proses menelan dimulai, jalur aktivasi otot beruntun tidak berubah dari otot-otot
perioral menuju kebawah. Jaringan saraf, yang bertanggung jawab untuk
menelan otomatis ini, disebut dengan pola generator pusat. Batang otak,
termasuk nucleus tractus solitarius dan nucleus ambiguus dengan formatio
retikularis berhubungan dengan kumpulan motoneuron kranial, diduga sebagai
pola generator pusat.

Dalam proses menelan akan terjadi hal hal berikut :

1. Pembentukan bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik


2. Upaya sfingter mencegah terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan
3. Mempercepat masuknya bolus makanan ke dalam faring pada saat respirasi
4. Mencegah masuknya makanan dan minuman ke dalam nasofaring dan laring
5. Kerjasama yang baik dari otot-otot di rongga mulut untuk mendorong
bolus makanan ke arah lambung
6. Usaha membersihkan kembali esofagus
Gambar 2.5 Posisi epiglotis saat bernapas dan saat menelan
2.2.1 Fase Menelan

Deglutition adalah tindakan menelan, dimana bolus makanan atau cairan


dialirkan dari mulut menuju faring dan esofagus ke dalam lambung. Deglutition
normal adalah suatu proses halus terkoordinasi yang melibatkan suatu rangkaian
rumit kontraksi neuromuskuler valunter dan involunter dan dan dibagi menjadi
bagian yang berbeda.

Gambar 2.6 Tiga Fase Menelan

1. Fase Oral
Fase oral terjadi secara sadar. Fase persiapan oral merujuk kepada
pemrosesan bolus sehingga dimungkinkan untuk ditelan, dan fase propulsif
oral berarti pendorongan makanan dari rongga mulut ke dalam orofaring.
Prosesnya dimulai dengan kontraksi lidah dan otot- otot rangka mastikasi. Otot
bekerja dengan cara yang berkoordinasi untuk mencampur bolus makanan
dengan saliva dan membentuk bolus makanan kemudian mendorong bolus
makanan dari rongga mulut di bagian anterior ke dalam orofaring, dimana
reflek menelan involunter dimulai. Bolus ini bergerak dari rongga mulut
melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot intrinsik
lidah.

2. Fase Faringeal
Fase faringeal terjadi pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus
makanan dari faring ke esofagus. Aspirasi paling sering terjadi pada fase
ini.Fase faringeal pada proses menelan adalah involunter dan kesemuanya adalah
reflek, jadi tidak ada aktivitas faringeal yang terjadi sampai reflek menelan
dipicu. Reflek ini melibatkan traktus sensoris dan motoris dari nervus kranialis
IX (glossofaringeal) dan X (vagus).

3. Fase Esophageal
Fase esophageal adalah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke
lambung. Pada fase esophageal, bolus didorong kebawah oleh gerakan
peristaltik. Sphincter esophageal bawah relaksasi pada saat mulai menelan,
relaksasi ini terjadi sampai bolus makanan mecapai lambung.

2.3 Disfagia

2.3.1 Definisi
Disfagia didefinisikan sebagai kesulitan dalam mengalirkan makanan
padat atau cair dari mulut melalui esofagus. Penderita disfagia mengeluh sulit
menelan atau makanan terasa tidak turun ke lambung. Disfagia harus dibedakan
dengan odinofagia (sakit waktu menelan). Disfagia dapat disebabkan oleh
gangguan pada masing-masing fase menelan yaitu pada fase orofaringeal dan
fase esofageal.
Keluhan disfagia pada fase orofaringeal berupa keluhan adanya
regurgitasi ke hidung, terbatuk waktu berusaha menelan atau sulit untuk mulai
menelan. Sedangkan disfagia fase esofageal, pasien mampu menelan tetapi
terasa bahwa yang ditelan terasa tetap mengganjal atau tidak mau turun serta
sering disertai nyeri retrosternal. Disfagia yang pada awalnya terutama terjadi
pada waktu menelan makanan padat dan secara progresif kemudian terjadi pula
pada makanan cair, diperkirakan bahwa penyebabnya adalah kelainan mekanik
atau struktural. Sedangkan bila gabungan makanan padat dan cair diperkirakan
penyebabnya adalah gangguan neuro muskular. Bila keluhan bersifat progresif
bertambah berat, sangat dicurigai adanya proses keganasan.

2.3.2 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi :

1. Disfagia mekanik, timbul bila terjadi penyempitan lumen esofagus. Penyebab


: sumbatan lumen esofagus oleh massa tumor dan benda asing, peradangan
mukosa esofagus, striktur lumen esofagus, penekanana esofagus dari luar,
a.subklavia yang abnormal ( disfagia lusoria ).
2. Disfagia motorik, timbul bila terjadi kelainan neuromuskular yang berperan
dalam proses menelan ( N.V, N.VII, N.IX, N.X, dan N.XII ).
Penyebab : akalasia, spasme difus esofagus, kelumpuhan otot faring, dan
skleroderma esofagus.
3. Disfagia oleh gangguan emosi atau tekanan jiwa yang berat dikenal sebagai
globus histerikus.

Berdasarkan fase letaknya :


1. Fase orofaringeal: penyakit serebrovaskular, miastenia gravis, kelainan
muskular, tumor, divertikulum Zenker, gangguan motilitas/sfingter esofagus
atas.
2. Fase esofageal: inflamasi, striktur esofagus, tumor, ring/web, penekanan
dari luar esofagus, akalasia, spasme esofagus difus, skleroderma.

2.3.3 Patofisiologi
Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan tergantung dari
fase menelan yang dipengaruhinya. Keberhasilan mekanisme menelan
tergantung dari beberapa faktor, yaitu :
1. Ukuran bolus makanan
2. Diameter lumen esofagus yang dilalui ( normalnya 4cm bila kurang dari
2,5cm maka akan terjadi disfagia )
3. Kontraksi peristaltik esofagus
4. Fungsi sfingter esofagus atas dan bawah
5. Kerja otot – otot rongga mulut dan lidah

Fase Oral
Gagguan pada fase Oral mempengaruhi persiapan dalam mulut dan fase
pendorongan oral biasanya disebabkan oleh gangguan pengendalian lidah.
Pasien mungkin memiliki kesulitan dalam mengunyah makanan padat dan
permulaan menelan. Ketika meminum cairan, psien mungki kesulitan dalam
menampung cairan dalam rongga mulut sebelum menelan. Sebagai akibatnya,
cairan tumpah terlalu cepat kadalam faring yang belum siap, seringkali
menyebabkan aspirasi.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase oral sebagai berikut:
- Tidak mampu menampung makanan di bagian depan mulut karena tidak
rapatnya pengatupan bibir
- Tidak dapat mengumpulkan bolus atau residu di bagian dasar mulut karena
berkurangnya pergerakan atau koordinasi lidah
- Tidak dapat menampung bolus karena berkurangnya pembentukan oleh
lidah dan koordinasinya
- Tidak mampu mengatupkan gigi untukmengurangi pergerakan madibula
- Bahan makanan jatuh ke sulcus anterior atau terkumpul pada sulcus anterior
karena berkurangnya tonus otot bibir.
- Posisi penampungan abnormal atau material jatuh ke dasar mulut karena
dorongan lidah atau pengurangan pengendalian lidah
- Penundaan onset oral untuk menelan oleh karena apraxia menelan atau
berkurangnya sensibilitas mulut
- Pencarian gerakan atau ketidakmampuan unutkmengatur gerakan lidah
karena apraxia untuk menelan
- Lidah bergerak kedepan untuk mulai menelan karena lidah kaku.
- Sisa-sisa makanan pada lidah karena berkurangnya gerakan dan kekuatan
lidah
- Gangguan kontraksi (peristalsis) lidah karena diskoordinasi lidah
- Kontak lidah-palatum yang tidaksempurna karena berkurangnya
pengangkatan lidah
- Tidak mampu meremas material karena berkurangnya pergerakan lidah keatas
- Melekatnya makanan pada palatum durum karena berkurangnya elevasi
dan kekuatan lidah
- Bergulirnya lidah berulang pada Parkinson disease
- Bolus tak terkendali atau mengalirnya cairan secara prematur atau
melekat pada faring karena berkurangnya kontrol lidah atau penutupan
linguavelar
- Piecemeal deglutition
- Waktu transit oral tertunda

Fase Faringeal
Jika pembersihan faringeal terganggu cukup parah, pasien mungkin
tidak akan mampu menelan makanan dan minuman yang cukup untuk
mempertahankan hidup. Pada orang tanpa dysphasia, sejumlah kecil makanan
biasanya tertahan pada valleculae atau sinus pyriform setelah menelan. Dalam
kasus kelemahan atau kurangnya koordinasi dari otot-otot faringeal, atau
pembukaan yang buruk dari sphincter esofageal atas, pasien mungkin menahan
sejumlah besar makanan pada faring dan mengalami aspirasi aliran berlebih
setelah menelan.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase faringeal sebagai
berikut:
- Penundaan menelan faringeal
- Penetrasi Nasal pada saat menelan karena berkurangnya penutupan
velofaringeal
- Pseudoepiglottis (setelah total laryngectomy) – lipata mukosa pada dasar lidah
- Osteofit Cervical
- Perlengketan pada dinding faringeal setelah menelan karena
pengurangan kontraksi bilateral faringeal
- Sisa makanan pada Vallecular karena berkurangnya pergerakan posterior dari
dasar lidah
- Perlengketan pada depresi di dinding faring karena jaringan parut atau lipatan
faringeal
- Sisa makanan pada puncak jalan napas Karena berkurangnya elevasi laring
- penetrasi dan aspirasi laringeal karena berkurangnya penutupan jalan napas
- Aspirasi pada saat menelan karena berkurangnya penutupan laring
- Stasis atau residu pada sinus pyriformis karena berkurangnya tekanan
laringeal anterior
Fase Esophageal
Gangguan fungsi esophageal dapat menyebabkan retensi makanan dan
minuman didalam esofagus setelah menelan. Retensi ini dapat disebabka oleh
obstruksi mekanis, gangguan motilitas, atau gangguan pembukaan Sphincter
esophageal bawah.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan pada fase esophageal sebgai
berikut:
- Aliran balik Esophageal-ke-faringeal karena kelainan esophageal
- Tracheoesophageal fistula
- Zenker diverticulum
- Reflux

Aspirasi
Aspirasi adalah masuknya makanan atu cairan melalui pita suara.
Seseorang yang mengalami aspirasi beresiko tinggi terkena pneumonia.
Beberapa faktor yang mempengaruhi efek dari aspirasi adalah banyaknya,
kedalaman, keadaan fisik benda yang teraspirasi, dan mekanisme pembersihan
paru. Mekanisme pembersihanpasu antara lain kerja silia dan reflek batuk.
Aspirasi normalnya memicu refleks batuk yang kuat. Jika ada gangguan
sensosris, aspirasi dapat terjadi tanpa gejala.

2.3.4 Manifestasi Klinis

1. Disfagia Oral atau faringeal


- Batuk atau tersedak saat menelan
- Kesulitan pada saat mulai menelan
- Makanan lengket di kerongkongan
- Sialorrhea
- Penurunan berat badan
- Perubahan pola makan
- Pneumonia berulang
- Perubahan suara (wet voice)
- Regusgitasi Nasal

2. Disfagia Esophageal
- Sensasi makanan tersangkut di tenggorokan atau dada
- Regurgitasi Oral atau faringeal
- Perubahan pola makan
- Pneumonia rekuren

Keluhan lain : mual, muntah, rasa panas di dada, hematemesis, melena,


odinofagia ( rasa nyeri saat menelan ), hipersalivasi.
Kesulitan dalam membersihkan faring posterior, sering disertai dengan
regurgitasi nasal dan aspirasi pulmoner, hampir selalu berkaitan dengan
kelainan neuromuskular orofaring. Pada kasus-kasus demikian, makanan
padat dan cair keduanya dapat mencetuskan gejala- gejala.
Disfagi untuk makanan padat dan cair pada penderita yang dapat
membersihkan faring posterior mengarah pada kelainan esofagus seperti
spasme esofagus difus, akalasia atau skleroderma. Disfagi khas bersifat
intermiten dan tidak progresif.
Disfagi yang progresif lambat, pada awalnya terbatas untuk makanan
padat, pada penderita dengan riwayat refluks gastro-esofagus sebelumnya,
mengarah pada striktur peptik.
Disfagi yang cepat progresif, terutama pada penderita tua, khas untuk
lesi obstruktif ganas. Nyeri dada disertai dengan disfagi mempunyai nilai
diagnostik terbatas dan terjadi baik pada spasme esofagus maupun pada
tiap lesi obstruktif.

2.3.5 Diagnosis
Pemeriksaan fisik :

- Pada Pemeriksaan fisik, periksa mekanisme motoris oral dan laryngeal.


Pemeriksaan nervus V dan VII-XII penting dalam menentukan bukti fisik
dari disfagia orofaringeal.
- Pengamatan langsung penutupan bibir, rahang, mengunyah, pergerakan dan
kekuatan lidah, elevasi palatal dan laryngeal, salivasi, dan sensitifitas oral.
- Perabaan daerah leher
- Periksa kesadaran dan status kognitif pasien karena dapat mempengaruhi
keamanan menelan dan kemampuan kompensasinya.
- Dysphonia dan dysarthria adalah tanda disfungsi motoris struktur-struktur
yang terlibat pada menelan.
- Periksa mukosa dan gigi geligi mulut
- Periksa reflek muntah.
- Periksa fungsi pernapasan
- Tahap terakhir adalah pengamatan langsung aktivitas menelan. Setelah
menelan, amati pasien selama 1 menit atau lebih jika ada batuk tertunda
- Periksapembesaran jantung, elongasi aorta

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang

 Esofagoskopi ( pemeriksaan endoskopi untuk esofagus ), untuk melihat


langsung isi lumen esogafus dan keadaan mukosanya
 Barium meal (esofagografi)
 Fluoroskopi, untuk melihat kelenturan dinding esofagus, adanya gangguan
peristaltik, penekanan lumen esofagus dari luar, isi lumen esofagus, dan
kelainan mukosa esofagus
 Manometri esofagus untuk menilai fungsi motorik esofagus, dengan
mengukur tekanan dalam lumen esofagus dan tekanan sfingter esofagus
sehingga dapat dinilai gerakan peristaltik secara kualitatif dan kuantitatif
 CT – scan, untuk mengevaluasi bentuk esofagus dan jaringan disekitarnya
 MRI, untuk membantu melihat kelainan di otak
Gambaran rontgen :

Akalasia Striktur esofagus

Gambar CT Scan :

CT scan leher dengan kontras. A. Gambar koronal menunjukkan divertikulum


esofagus di sebelah kanan esofagus dan trakea (panah biru). B. Gambar aksial
menunjukkan divertikulum posterior trakea (panah biru).
2.3.7 Diagnosis Banding

2.3.8 Komplikasi
Disfagia menyebabkan penurunan pemasukan kkal- atau makanan yang
mengandung protein sehingga harus diperhatikan apakah pasien mengalami
kekurangan kalori protein (KKP).
Penderita disfagia akan mengalami kesulitan menelan makanan sehingga
suplai nutrisi yang dibutuhkan tubuh seperti karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, mineral, dan cairan berkurang. Dampak lanjut akan mengalami
defisiensi zat gizi dan tubuh mengalami gangguan metabolisme.
Terdapat pengobatan yang berbeda untuk berbagai jenis dysphagia.
Pertama dokter dan speech-language pathologists yang menguji dan menangani
gangguan menelan menggunakan berbagai pengujian yang memungkinkan
untuk melihat bergagai fungsi menelan. salah satu pengujian disebut dengan,
laryngoscopy serat optik, yang memungkinkan dokter untuk melihat kedalam
tenggorokan. Pemeriksaan lain, termasuk video fluoroscopy, yang mengambil
video rekaman pasien dalam menelan dan ultrasound, yang menghasikan
gambaran organ dalam tubuh, dapat secara bebas nyeri memperlihakab tahapan-
tahapan dalam menelan.
Setelah penyebab disfagia ditemukan, pembedahan atau obat-obatan
dapat diberikan. Jika dengan mengobati penyebab dysphagia tidak membantu,
dokter mungkin akan mengirim pasien kepada ahli patologi hologist yang
terlatih dalam mengatasi dan mengobati masalah gangguan menelan.
Pengobatan dapat melibatkan latihan otot ntuk memperkuat otot-otot
facial atau untuk meninkatkan koordinasi. Untuk lainnya, pengobatan dapat
melibatkan pelatihan menelan dengan cara khusus. Sebagai contoh, beberapa
orang harus makan denan posisi kepala menengok ke salah satu sisi atau
melihat lurus ke depan. Meniapkan makanan sedemikian rupa atau menghindari
makanan tertentu dapat menolong orang lain. Sebagai contoh, mereka yang
tidak dapat menelan minuman mungkin memerlukan pengental khusus
untukminumannya. Orang lain mungkin garus menghindari makanan atau
minuman yang panan ataupun dingin.
Untuk beberapa orang, namun demikian, mengkonsumsi makanan dan
minuman lewat mulut sudah tidak mungkin lagi. Mereka harus menggunakan
metode lain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi. Biasanya ini memerlukan suatu
system pemberian makanan, seperti suatu selang makanan (NGT), yang
memotong bagian menelan yang tidak mampu bekerja normal
 Berbagai pengobatan telah diajukan unutk pengobatan disfagia orofaringeal
pada dewasa. Pendekatan langsung dan tidak langsung disfagia telah
digambarkan. Pendekatan langsung biasnya melibatkan makanan,
pendekatan tidak langsung biasanya tanpa bolus makanan.
 Modifikasi diet
 Merupakan komponen kunci dalam program pengobatan umum disfagia.
Suatu diet makanan yang berupa bubur direkomendasikan pada pasien
dengan kesulitan pada fase oral, atau bagi mereka yang memiliki retensi
faringeal untuk mengunyah makanan padat.
 Jka fungsi menelan sudah membaik, diet dapat diubah menjadi makanan
lunak atau semi- padat sampai konsistensi normal.
 Suplai Nutrisi
 Efek disfagia pada status gizi pasien adalah buruk. Disfagia dapat
menyebabkan malnutrisi
 Banyak produk komersial yang tersedia untuk memberikan bantuan nutrisi.
Bahan-bahan pengental, minuman yang diperkuat, bubur instan yang
diperkuat, suplemen cair oral. Jika asupan nutrisi oral tidak adekuat, pikirkan
pemberian parenteral.
 Hidrasi
 Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi. Pemeriksaan berkala keadaan hidrasi
pasien sangat penting dan cairan intravena diberikan jika terapat dehidrasi
 Pembedahan
Pembedahan gastrostomy

2.4 Akalasia
2.4.1 Definisi
Akalasia esofagus, atau dikenal juga dengan nama Simple ectasia,
Kardiospasme, Megaesofagus, Dilatasi esofagus difus tanpa stenosis, dan
Dilatasi esofagus idiopatik adalah suatu gangguan neuromuskular. Istilah
achalasia berasal dari bahasa Yunani, a berarti tidak, chalasis berarti mengendur,
sehingga arti seutuhnya adalah “tidak bisa mengendur” dan merujuk pada
ketidakmampuan dari lower esophageal sphincter (cincin otot antara esophagus
bagian bawah dan lambung) untuk membuka dan membiarkan makanan lewat
kedalam lambung. Kegagalan relaksasi batas esofagogastrik pada proses
menelan ini menyebabkan dilatasi bagian proksimal esofagus tanpa adanya gerak
peristaltik. Penderita akalasia merasa perlu mendorong atau memaksa turunnya
makanan dengan air atau minuman guna menyempurnakan proses menelan.
Gejala lain dapat berupa rasa penuh substernal dan umumnya terjadi regurgitasi.
(Sjamsuhidajat, 2005, Bakry, 2006)

2.4.2 Etiologi

Penyebab penyakit ini sampai sekarang belum diketahui. Hanya pada


penyakit Chagas, penyebabnya telah diketahui. Secara histologik, ditemukan
kelainan berupa degenerasi sel ganglion plexus Auerbach sepanjang esofagus
pars torakal. Dari beberapa data disebutkan bahwa faktor-faktor seperti herediter,
infeksi, autoimun, dan degeneratif adalah kemungkinan penyebab dari akalasia.

Teori Genetik
Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah
mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik.
Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita
akalasia.

Teori Infeksi

Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis,


clostridia, tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio dan
measles), Zat-zat toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus
uterine pada saat rotasi saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat
mendukung faktor infeksi neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik
pada esofagus dan fakta bahwa esofagus satu- satunya bagian saluran pencernaan
dimana otot polos ditutupi oleh epitel sel skuamosa yang memungkinkan
infiltrasi faktor infeksi. Kedua,banyak perubahan patologi yang terlihat pada
akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik virus tersebut. Ketiga,
pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles dan varicella
zoster pada pasien akalasia

Teori Autoimun
Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber.
Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh
limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi
tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit
autoimun lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan
autoantibodi dari pleksus mienterikus.

Teori Degeneratif
Studi epidemiologi dari AS. menemukan bahwa akalasia berhubungan
dengan proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti
penyakit Parkinson dan depresi

2.4.3 Patofisiologi
Secara umum, esofagus dibagi menjadi tiga bagian fungsional yaitu
sfingter esofagus bagian atas yang biasanya selalu tertutup untuk mencegah
refluks makanan dari korpus esofagus ke tenggorokan. Bagian kedua yang
terbesar adalah korpus esofagus yang berupa tabung muskularis dengan panjang
20 cm, sedangkan bagian yang terakhir adalah esofagus bagian
bawah (SEB) yang mencegah makanan dan asam lambung dari gaster ke korpus
esofagus. (Bakry. 2009)
Kontraksi dan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah diatur oleh
neurotransmitter perangsang seperti asetilkolin dan substansi P, serta
neurotransmitter penghambat seperti nitrit oxyde dan ,vasoactive intestinal
peptide (VIP). (Bakry. 2009)
Menurut Castell ada dua defek penting pada pasien akalasia :

 Obstruksi pada sambungan esofagus dan lambung akibat peningkatan


sfingter esofagus bawah (SEB) istirahat jauh di atas normal dan gagalnya
SEB untuk relaksasi sempurna. Beberapa penulis menyebutkan adanya
hubungan antara kenaikan SEB dengan sensitifitas terhadap hormon gastrin.
Panjang SEB manusia adalah 3-5 cm sedangkan tekanan SEB basal normal
rata-rata 20 mmHg. Pada akalasia tekanan SEB meningkat sekitar dua kali
lipat atau kurang lebih 50 mmHg.
 Gagalnya relaksasi SEB ini disebabkan penurunan tekanan sebesar 30- 40%
yang dalam keadaan normal turun sampai 100% yang akan mengakibatkan
bolus makanan tidak dapat masuk ke dalam lambung. Kegagalan ini
berakibat tertahannya makanan dan minuman di esofagus. Ketidakmampuan
relaksasi sempurna akan menyebabkan adanya tekanan residual. Bila
tekanan hidrostatik disertai dengan gravitasi dapat melebihi tekanan residual,
makanan dapat masuk ke dalam lambung. (Bakry. 2009)
 Peristaltik esofagus yang tidak normal disebabkan karena aperistaltik dan
dilatasi ⅔ bagian bawah korpus esofagus. Akibat lemah dan tidak
terkoordinasinya peristaltik sehingga tidak efektif dalam mendorong bolus
makanan melewati SEB. Dengan berkembangnya penelitian ke arah motilitas,
secara obyektif dapat ditentukan motilitas esofagus secara manometrik pada
keadaan normal dan akalasia. (Bakry, 2009)

Mekanisme lain terjadinya akalasia dapat juga karena penurunan neuron


NCNA intramural serta pengurangan reaktivitas neuron ini terhadap asetilkolin
yang dilepaskan di praganglion. Akibat dari kelainan ini pasien dengan akalasia
memiliki tekanan istirahat yang sangat meningkat pada sfingter esofagus bagian
bawah, relaksassi reseptif meuncul terlambat, dan yang paling penting, terlalu
lemah sehingga lama fase refleks tekanan dalam sfingter jauh lebih tinggi
daripada di lambung. Selain itu, penjalaran gelombang peristaltik terhenti. Jadi
gejala akalasia berupa disfagia (kesulitan menelan), regurgitasi makanan (bukan
muntah), nyeri retrosternal dan penurunan berat badan. Komplikasi akalasia yang
berbahaya adalah esofagitis dan pneumonia, disebabkan olehaspirasi isi esofagus
(mengandung bakteri). (Siberbagl, 2006)
2.4.4 Diagnosis

Diagnosis Akalasia Esofagus ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala


klinis, gambaran radiologis, esofagoskopi dan pemeriksaan manometrik.

 Disfagia merupakan keluhan utama dari penderita Akalasia. Disfagia dapat


terjadi secara tiba-tiba setelah menelan atau bila ada gangguan emosi.
Disfagia dapat berlangsung sementara atau progresif lambat.
 Regurgitasi dapat timbul setelah makan atau pada saat berbaring. Sering
regurgitasi terjadi pada malam hari pada saat penderita tidur, sehingga dapat
menimbulkan pneumonia aspirasi dan abses paru.
 Rasa terbakar dan Nyeri Substernal dapat dirasakan pada stadium
permulaan. Pada stadium lanjut akan timbul rasa nyeri hebat di daerah
epigastrium dan rasa nyeri ini dapat menyerupai serangan angina pectoris.
 Penurunan berat badan terjadi karena penderita berusaha mengurangi
makannya.
 Gejala lain yang biasa dirasakan penderita adalah rasa penuh pada substernal
dan akibat komplikasi dari retensi makanan. Pemeriksaan Radiologik Pada
foto polos toraks tidak menampakkan adanya gelembung- gelembung udara
pada bagian atas dari gaster, dapat juga menunjukkan gambaran air fluid
level pada sebelah posterior mediastinum. Pemeriksaan esofagogram barium
dengan pemeriksaan fluoroskopi, tampak dilatasi pada daerah dua pertiga
distal esofagus dengan gambaran peristaltik yang abnormal serta gambaran
penyempitan di bagian distal esofagus atau esophagogastric junction yang
menyerupai bird-beak like appearance. (Woodfield. 2000)

2.4.5 Pemeriksaan Penunjang

Penegakan diagnosis akalasia selain dengan anamnesis dan pemeriksaan


fisik yang paripurna perlu dilakukan juga pemeriksaan penunjang yang meliputi
radiologis (esofagogram), endoskopi saluran cerna atas (SCBA), dan manometri.
(Woodfield. 2000)
Radiologis dengan bubur barium pada akalasia berat akan terlihat adanya
dilatasi esophagus akibat penumpukan barium di bagian proksimal dan terlihat
penyempitan di bagian distal membentuk paruh burung.

Pemeriksaan endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas adalah untuk melihat


mukosa bagian dalam esophagus dan melihat adanya penyempitan lumen
esophagus.

Pemeriksaan manometrik esophagus penting untuk konfirmasi


diagnostic. Karakteristik yang dapat ditemukan dalam manometrik esophagus
antara lain:
• Tonus sphingter esophagus bagian bawah (SEB) meningkat > 26 mmHg
atau > 30 mmHg, normalnya tekanan SEB <10 mmHg dengan relaksasi
normal.
• Relaksasi sphingter tidak sempurna waktu menelan.
• Aperistaltik esophagus, normalnya adalah 50-110 mmHg pada bagian
distal.
• Tekanan korpus esophagus pada keadaan istirahat lebih tinggi daripada
tekanan gaster, normalnya lebih rendah. (Woodfield. 2000)

2.4.5 Terapi
 Terapi farmakologi
Terapi secara farmakologis bertujuan untuk menurunkan tekanan
sphingter bawah esofagus (LES) dengan menggunakan pelemas otot, seperti Ca
Channel Blocker (nifedipin 10-30mg sublingual 30-45 menit sebelum makan)
atau Nitrat (isosorbide dinitrate 5 mg sublingual 10-15 menit sebelum makan).
(Eckardt.2009).

 Dilatasi balon Pneumatic


Dilatasi balon Pneumatic dilakukan dengan menggunakan balon
polyethylene, telah digunakan untuk penatalaksanaan akalasia selama lebih dari
50 tahun dan hingga kini masih diakui sebagai terapi non-bedah paling efektif
untuk akalasia. Pasien disuruh menelan suatu pipa dengan balon pada ujungnya.
Balon ditempatkan di tengah-tengah spinkter bawah esophagus, lalu balon
dikembangkan sehingga meregangkan sphingter. Berbagai jenis dan merk balon
telah digunakan dalam klinis, namun hanya sedikit data komparasi yang
menunjukkan perbedaannya dalam keefektifan dan keamananya. Komplikasi
yang ditakutkan dari metode ini adalah terjadi perforasi yang terjadi pada 1,6%
pasien dari 1065 pasien yang ditangani oleh tenaga yang berpengalaman. Hasil
studi menemukan bahwa kesuksesan terapi secara permanen terjadi pada 40%-
60% pasien setelah difollow-up selama 15 tahun, walaupun pada mayoritas
pasien harus mengulangi terapi dilatasi beberapa kali. (Eckardt.2009)

2.4.6 Komplikasi

1. Pneumonia aspirasi : infeksi paru-paru yang disebabkan oleh terhirupnya


bahan-bahan ke dalam saluran pernafasan

2. Obstruksi saluran pernafasan : kegagalan sistem pernapasan dalam


memenuhi kebutuhan metabolik tubuh akibat sumbatan saluran napas
bagian atas (dari hidung sampai percabangan trakea). Obstruksi saluran
napas atas ini sering menyebabkan gagal napas.

3. Perforasi esofagus : setiap organ pencernaan berongga bisa menjadi


berlubang atau bocor, yang menyenbabkan terlepasnya isi gastrointestinal
dan menyebabkan kejutan dan kematian jika operasi tidak dilakukan segera

4. Kanker esofagus : Merupakan pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-
sel epitel yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitar esofagus dan
menimbulkan metastase pada saluran esofagus. (Streitz JM. 1995)

2.4.7 Prognosis

Kebanyakan pasien dengan akalasia dapat diobati secara efektif. Akalasia


tidak mengurangi harapan hidup kecuali jika terjadi komplikasi menjadi
karsinoma esophagus. (M. Neubrand, dkk. 2002
2.5 Kelumpuhan/Parese

2.5.1 Definisi

Parese adalah kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak


lengkap atau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau
gerakan terganggu. Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk satu
atau lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian
yang terkena. Parese pada anggota gerak dibagi mejadi 4 macam, yaitu:

 Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas


bawah. Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.

 Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas
atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.

 Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.

2.5.2 Etiologi

Kelemahan anggota gerak bisa disebabkan oleh lesi upper motor neuron
dan motor unit. Lesi upper motor neuron dibagi lagi menjadi lesi di cortex,
subkorteks, brainstem, dan spinal cord. Lesi motor unit dibagi dari spinal motor
neuron, spinal root, saraf tepi, neuromuscular junction, dan otot.

Lesi cortex dapat disebabkan oleh iskemia, perdarahan, massa intrinsik


baik primer maupun metastasis pada tumor atau abses cerebri, massa ekstrinsik
misalnya pada SDH, dan penyakit degeneratif.

Lesi subcortex dapat disebabkan oleh iskemia, perdarahan, massa intrinsik


baik primer maupun metastasis pada tumor atau abses cerebri, imunologik pada
kasus multipel sklerosis, dan proses infeksi. Lesi pada brainstem dapat disebabkan
oleh iskemia dan proses imunologik misalnya pada kasus multiple sclerosis.

Lesi spinal cord dapat disebabkan oleh kompresi ekstrinsik misalnya


spondilosis, metastasis kanker, abses epidural; proses imunologi misalnya
multipel sklerosis, myelitis; infeksi, misalnya pada AIDS-associated myelopathy,
HTLV-I associated myelopathy, tabes dorsalis; dan defisiensi nutrisi yang
menyebabkan degenerasi subakut dari spinal cord.

Lesi spinal motor neuron misalnya pada penyakit degeneratif. Lesi spinal
root terjadi pada kasus kompresi (degenertive disc disease), imunologi pada kasus
Guillain Barre Syndrome (GBS), infeksi pada AIDS-associated polyradiculopathy
dan Lyme Disease.

Lesi saraf tepi dapat disebabkan oleh kelainan metabolik pada kasus
diabetes mellitus, uremia, porfiria; toksin dari ethanol, logam berat, beberapa obat,
dan difteri; kekurangan nutrisi yaitu vitamin B12; inflamasi misalnya pada
poliartritis nodosa; herediter misalnya pada kasus Charcot Marie Tooth;
imunologi pada kasus paraneoplastik, paraproteinemia; infeksi pada pasien
dengan imunokompromais; dan kompresi.

Lesi pada neuromuscular junction terjadi pada myasthenia gravis, dan


gangguan toksin botulism dan aminoglikosida. Lesi pada otot terjadi pada
poliomyelitis, inclusion body myositis, muscular dystrophy; toksis glukokortikoid,
ethanol, dan AZT, infeksi trichinosis, hipotoroid, ketidakseimbangan elektrolit,
dan kelainan kongenital misalnya pada central core disease.

2.5.3 Diagnosis

Anamnesis dapat mengerucutkan diagnosis. Anamnesis harus mengarah


pada onset keluhan kelemahan, kelaianan sensoris yang menyertai, dan tanda
defisit neurologis lain. Kelemahan dan paralisis biasanya disertai dengan
abnormalitas di tempat lesi. Perlu ditanyakan adalah:

1. Onset kelemahan
2. Sifat kelemahan
3. Demam untuk mencari kemungkinan penyakit infeksi
4. Riwayat trauma
5. Riwayat makan
6. Riwayat pengobatan
7. Riwayat penyakit metabolik
8. Kemungkinan penyakit infeksi misalnya TB, HIV

Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan vital sign,


pemeriksaan nervus kranialis yang lengkap, dan refleks fisiologis maupun
patologis. Gejala klinis kelemahan dapat menggambarkan lokasi lesi baik pada
lesi upper motor neuron maupun lesi motor unit.

1. Lesi korteks serebri: hemiparesis dominan pada ekstremitas bawah,


kehilangan fungsi sensorik, kejang, homonim hemianopsia atau
quadrantanopia, afasia, apraksia
2. Lesi kapsula interna: hemiparesis dengan kelemahan yang sama, defisit
hemisensori, homonim hemianopsia atau quadrantanopia
3. Lesi brainstem: hemiparesis, namun persarafan wajah masih normal,
vertigo, mual, muntah, ataksia, disartria, kelainan pergerakan bola mata,
disfungsi beberapa nervus kranialis, sampai penurunan kesadaran
4. Lesi spinal cord: kuadriparesis bila lesi berada di atas level cervical,
paraparesis bila lesi di antara level cervical dan thoracal, dan hemiparesis
bila lesi berada di level lebih bawah lagi (Brown Sequard), terjadi
disfungsi sensorik dari sistem pencernaan dan urinari.
5. Lesi spinal motor neuron: kelemahan menyeluruh, dapat mempengaruhi
fungsi berbicara, terjadi atrofi otot tanpa kehilangan fungsi sensori
6. Lesi spinal root: terjadi kelemahan dengan tipe radikuler, kehilangan
fungsi sensori mengikuti dermatom
7. Lesi saraf tepi: dibagi menjadi polineuropati dan mononeuropati.
Polineuropati lebih banyak terjadi pada daerah distal tubuh, kaki lebih
berat daripada telapak tangan, dan biasanya simetris. Gangguan sensorik
telapak kaki juga lebih berat. Pada mononeuropati, kelemahan terjadi
sesuai dengan perjalanan saraf.
8. Lesi pada neuromuscular junction: kelemahan fatig, kadang disertai
dengan diplopia dan/ atau ptosis, tidak ada kelainan sensoris maupun
refleks.
9. Lesi pada otot: kelemahan proksimal, tidak ada gangguan sensorik,
gangguan refleks terjadi bila lesi sudah berat, kadang otot menjadi kaku
dan kencang. Keluhan pada otot kadang dapat dipengaruhi oleh rasa nyeri.

Pemeriksaan penunjang dilakukan berdasarkan kemampuan dari fasilitas


kesehatan setempat. Idealnya, pasien dengan kelemahan anggota gerak
diperiksakan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, dan serum elektrolit.

Alur diagnosis pasien dengan kelemahan dapat dilihat pada algoritma di


bawah ini. Pemeriksaan penunjang yang disarankan elektromiografi (EMG),
Nerve Conduction Studies (NCS), Magnetic Resonance Images (MRI), dan/ atau
Computed Tomography (CT) scan kepala baik tanpa maupun menggunakan
kontras. Pemeriksaan dilakukan berdasar keperluan dan indikasi.

Gambar 2.7 Algoritma Diagnosis Paresis


BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. Y
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bukittinggi
Pekerjaan : Tidak bekerja/Pensiunan
Agama : Islam
Status : Sudah menikah
Tanggal masuk rumah sakit : 05 Agustus 2021

3.2 Anamnesa
Anamnesis dilakukan dengan cara alloanamnesa pada tanggal 09 Agustus
2021 di bangsal wanita interne RSUD Dr, Achmad Mochtar Bukittinggi,
dengan :

a. Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan sulit menelan yang terasa memberat sejak tiga
hari sebelum masuk rumah sakit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
- Pasien mengeluhkan sulit menelan yang terasa memberat sejak tiga
hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan sulit menelan sudah
dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, yang semakin lama semakin
memberat. Awalnya, pasien merasa sulit untuk menelan makanan yang
padat. Setiap mencoba menelan, pasien sering tersedak. Sehingga
sekarang pasien hanya bisa menelan makanan yang diblender terlebih
dahulu.
- Pasien sering mengeluhkan nyeri perut atas kiri yang menjalar ke
punggung selama 3 bulan terakhir. Pasien mengatakan ada keluhan
asam lambung sejak 2 tahun yang lalu.
- Suara pasien mulai tidak jelas terdengar sejak 8 bulan yang lalu.
Keluarga pasien mengatakan awalnya bicara pasien terdengar tidak
jelas, makin lama suara pasien makin tidak terdengar. Sekarang pasien
berkomunikasi dengan menulis.
- Pasien mengeluhkan kelemahan pada lengan kiri sejak 2 tahun yang
lalu. Kelemahan dirasakan semakin berat hingga sekarang tidak bisa
digerakkan sama sekali. Pasien juga mengeluhkan lengan kanan dan
kaki yang mulai terasa melemah namun masih bisa digerakkan.
- Pasien diketahui pernah dirawat dibangsal neurologi dengan diagnosis
stroke batang otak pada bulan Maret 2021.
- Pasien mengatakan leher nya terasa sakit dan melemah jika banyak
bergerak atau ketika mengubah posisi.
- Pasien diketahui mengalami penurunan berat badan sebanyak 13 kg
selama 2 tahun terakhir.
- Nafsu makan biasa, tetapi pasien sulit untuk makan banyak karena
keluhan asam lambung dan sulit menelan.
- Riwayat tertelan zat korosif disangkal
- Mual dan muntah tidak ada
- Demam tidak ada
- Riwayat jatuh/trauma tidak ada
- Buang air kecil tidak ada keluhan
- Buang air besar tidak ada keluhan

c. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat stroke batang otak pada maret 2021
- Riwayat hipertensi (+)
- Riwayat dislipidemia (+)
- Riwayat DM disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Penyakit autoimun disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan yang sama
- Riwayat DM pada keluarga (+)
- Riwayat hipertensi pada keluarga (+)
- Riwayat penyakit jantung pada keluarga disangkal

e. Riwayat Pengobatan
- Pasien pernah melakukan akupuntur tiga kali untuk mengobati
kelemahan pada lengannya. Namun, tidak ada per aikan dari keluhan
pasien.
- Pada tahun 2020, pasien pernah berobat ke Surabaya untuk mengobati
kelemahan pada lengannya. Pasien mengatakan hasil pemeriksaan
dokter menunjukan adanya kecurigaan infeksi virus, namun tidak
diketahu secara pasti.
- Pada Maret 2021 pasien dirawat dibangsal neurologi RSAM
Bukittinggi dengann diagnosis stroke batang otak
- Pasien melakukan fisioterapi berupa terapi bicara dan untuk lengan
kanan sebanyak 5 kali selama 2021.

f. Riwayat Pekerjaan dan Kebiasaan


- Pasien sekarang tidak bekerja, sebelumnya bekerja di PMI dengan
aktivitas sedang
- Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal

3.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Generalisata
- Keadaan umum : Sedang
- Kesadaran : Komposmentis kooperatif
- Tekanan darah : 110/70 mmHg
- Nadi : 74 kali/ menit
- Nafas : 20 kali/menit
- Suhu : 36,9o c
- Tinggi Badan : 156 cm
- Berat badan : 43 kg
- IMT : 17,6 kg/m2 (Underweight)

b. Status Lokalisata
- Kulit
Berwarna coklat, teraba hangat, turgornya baik.
- Kepala
Normochepal, rambut hitam, tidak mudah dicabut.

- Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks pupil
(+/+)
- Telinga
Telinga luar tidak terlihat tanda-tanda peradangan dan massa, nyeri
tekan tragus tidak ada, nyeri tekan procesus mastoid tidak ada, bunyi
mendenging tidak ada, deformitas tidak ada.Pada liang telinga, sekret
(-/-), serumen (-/-).
- Hidung
Deformitas (-/-), sekret (-/-), penyumbatan (-/-), epistaksis (-/-),
penciuman normal, nyeri (-/-)
- Mulut
Mukosa bibir kering, sianosis (-), lidah kotor (-), caries (-), tonsil
ukuran T1-T1, uvula di tengah, faring hiperemis (-), gangguan
mengecap (-).
- Leher
JVP : 5+1 cmH2O
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran KGB
Kelenjar Tiroid : tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid
Deviasi Trakea : tidak terdapat deviasi trakea
Tumor : tidak ada
Kaku kuduk : tidak ada
- Thorak
Paru
Inspeksi : Normochest, sikatrik(-), pergerakan dinding dada
simetris kiri kanan.
Palpasi : Fremitus sama di kedua lapangan paru
Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba pada 1 jari medial linea
midclavikula sinistra RIC V
Perkusi : Atas : Linea parasternalis RIC II sinistra
Kanan : Linea parasternalis dextra RIC III-IV
Kiri :1 Jari medial linea midklavicula sinistra
RICV
Auskultasi : Bunyi jantung S1 S2 Irama reguler, gallop (-/-),
murmur (-/-)

- Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak membuncit, sikatrik (-); spider navy
(-); pelebaran vena (-)
Auskultasi : Bising usus normal ; bruit (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), nyeri lepas(-), Hepar tidak teraba,
Lien tidak teraba, ballotement (-/-)
Perkusi : Timpani, asites (-)

- Genitalia: tidak dilakukan pemeriksaan


- Punggung:
Inspeksi : Gibbus (-), Skoliosis kifosis lordosis (-),
pergerakan simetris kiri kanan
Palpasi : Fremitus sama di kedua lapang paru
Perkusi : Sonor di daerah lapang paru
Auskultasi : Vesikuler di seluruh lapang paru
- Pembuluh darah:
A. Temporalis teraba, A. Carotis teraba, A. Brachialis teraba, A.
Radialis teraba, A. Femoralis teraba, A. Poplitea teraba, A. Tibialis
posterior teraba, A. Dorsalis pedis teraba
- Ekstremitas superior
Inspeksi : Deformitas (-/-) edema (-/-), hiperpigmentasi (-/-),
hipopigmentasi (-/-), ulkus (-/-), clubbing finger
(-/-)
Palpasi : Akral teraba hangat (+/+), edema (-/-), kekuatan
otot 444/000
Refleks
Fisiologis kiri: positif kanan: positif
Patologis kiri: negatif kanan: negatif

Sensibilitas
Halus : positif
Kasar : positif
- Ekstremitas inferior
Inspeksi : Deformitas (-/-), edema (-/-), hiperpigmentasi
(-/-), hipopigmentasi (-/-), ulkus (-/-),
Palpasi : Akral dingin, edema (-/-), kekuatan otot 555/555
Refleks
Fisiologis kiri: positif kanan: positif
Patologis kiri: negatif kanan: negatif
Sensibilitas
Halus : positif
Kasar : positif
3.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal


Lab. Darah
Hb 13,2 g/dl 12-14 g/dl
Ht 39,3 % 37-47 %
Leukosit 6,99 103/UL 5-10 103/UL

Eritrosit 4,35 106/UL 4-5 106/UL

Trombosit 268 103/UL 150-450 103/UL


MCV 90,3 fL 79-99 fL
MCH 30,3 Pg 27,0-31,0 Pg

MCHC 33,6 g/dl 33,0-37,0


Kimia klinik
ALT/SGPT 24 U/L 6-41
AST/SGOT 31 U/L 6-40
Creatinine 0,44 mg/dl 0,51-1,17
Glukosa 90 mg/dl 74-106
Ureum 20,2 mg/dl 16,6-48,5

Kolesterol 191 mg/dl <200


triglisedrida 99 mg/dl 0-150
HDL 35,7 mg/dl 35-80
LDL 135 mg/dl 0-130
Elektrolit
Kalium 4,01 mEq/l 3,5-5,5
Natrium 142,1 mEq/l 135-147
Khlorida 113,4 mEq/l 100-106

Gambar Ekg
Ditemukan irama sinus rhythm, dengan frekuensi 75x/menit.

3.5 Diagnosis
Diagnosis utama : Striktur Esoga
Diagnosis sekunder : Hipertensi dalam pengobatan

3.6 Penatalaksanaan
Nonfarmakologi:
 Bedrest

Farmakologi:
 IVFD Tutofusin 1 kolf/ 8 jam
 Inj Pantoprazole 1 kali sehati (IV)
 Eritromisin 3 kali 500 PO
 Amlodipin 1 kali 5 mg PO
Rencana Pemeriksaan
Endoskopi

3.7 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad malam
- Quo ad fungsionam : dubia ad malam
- Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB 4
PEMBAHASAN

Seorang pasien perempuan usia 59 tahun datang ke RSAM Bukittinggi


pada tanggal 6 Agustus 2021 dengan keluhan utama pasien sulit menelan yang
terasa memberat sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengeluhkan sulit menelan yang terasa memberat sejak tiga hari
sebelum masuk rumah sakit. Keluhan sulit menelan sudah dirasakan sejak 3 bulan
yang lalu, yang semakin lama semakin memberat. Awalnya, pasien merasa sulit
untuk menelan makanan yang padat. Setiap mencoba menelan, pasien sering
tersedak. Sehingga sekarang pasien hanya bisa menelan makanan yang diblender
terlebih dahulu.
Suara pasien mulai tidak jelas terdengar sejak 8 bulan yang lalu. Keluarga
pasien mengatakan awalnya bicara pasien terdengar tidak jelas, makin lama suara
pasien makin tidak terdengar. Sekarang pasien berkomunikasi dengan menulis.
Pasien juga mengeluhkan kelemahan pada lengan kiri sejak 2 tahun yang
lalu. Kelemahan dirasakan semakin berat hingga sekarang tidak bisa digerakkan
sama sekali. Pasien juga mengeluhkan lengan kanan dan kaki yang mulai terasa
melemah namun masih bisa digerakkan.
Pasien diketahui memiliki riwayat tekanan darah tinggi yang baru
terdiagnosis. Sekarang pasien dalam pengobatan hipertensinya. Pasien juga
pernah dirawat di bagian Neurologi RSAM dengan diagnosis stroke batang otak
pada Maret 2021. Riwayat penyakit diabetes melitus dan penyakit autoimun
disangkal.
Keluhan sulit menelan pada pasien ini disebut dengan disfagia. Disfagia
dapat disebabkan oleh …………….. Pasien ini ditemukan adanya tanda disfagia
yang tidak dapat menelan makanan padat maupun cair. Kelainan disfagia pada
pasien ini bersifat progresif, dimana disfagia terasa semakin lama semakin
memberat. Selain itu, temuan pasien…….. Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan pasien ini lalu didiagnosis akalasia.
Selain akalasia, disfagia pada pasien ini juga dapat disebabkan oleh
striktur esofagus ec susp. Massa. Oleh karenanya, diperlukan pemeriksaan
lanjutan pada pasien ini untuk mencari penyebab pasti darii disfagia. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan misalnya endoskopi saluran cerna atas,
esofagusgrafi, atau pemeriksaan barium meal. Adapun pada pasien ini diketahui
telah direncanakan untuk melakukan endoskopi.
Selain keluhan disfagia, pasien juga mengeluhkan kelemahan pada
anggota geraknya. Pasien mengatakan kelemahan pada lengan kiri sudah terasa
sejak 2 tahun yang lalu. Lengan kiri pasien tidak bisa digerakkan sama sekali,
sementara itu lengan kanan pasien sudah mulai terasa agak melemah namun masih
bisa digerakkan untuk melakukan aktivitas. Adapun tungkai kanan dan kiri pasien
tidak terasa adanya kelemahan.
Berdasarkan gejala diatas, pasien dapat dikatakan mengalami monoparese.
Monoparese dapat disebabkan…………….. Riwayat penyakit stroke batang otak
pada pasien ini juga mendukung (?)
Pemberian terapi pada pasien saat ini masih bersifat simptomatik. Pasien
diberikan IVFD Tutofusin 1 kolf/ 8 jam untuk mengoreksi kekurangan elektrolit
karena kurangnya intake makanan pada pasien ini, pemberian Inj Pantoprazole 1
kali sehari intrvena, Eritromisin 3 kali 500 per oral, Amlodipin 1 kali 5 mg per
oral sebagai obat hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai