Anda di halaman 1dari 31

BAGIAN ILMU THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2021

UNIVERSITAS PATTIMURA

ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

Disusun oleh:

Ayu Febriyanti Abbas

2020-84-056

Pembimbing:

dr. Julu Manalu, Sp. THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan cinta kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan referat guna penyelesaian
tugas kepaniteraan klinik pada bagian THT-KL dengan judul “ANGIOFIBROMA
NASOFARING BELIA”.
Dalam penyusunan referat ini, banyak pihak yang telah terlibat untuk
penyelesaiannya. Oleh karena itu, penulis ingin berterima kasih kepada:
1. dr. Julu Manalu, Sp, THT-KL selaku dokter spesialis pembimbing referat, yang
membimbing penulisan referat ini sampai selesai.

2. Orangtua dan semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa disebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa sesungguhnya referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan banyak masukan berupa kritik
dan saran yang bersifat membangun untuk perkembangan penulisan referat diwaktu
yang akan datang.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Ambon, Januari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I ……………………………………………………………………………..1
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
BAB II ……………………………………………………………………………..3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 3
2.1 ANATOMI FARING ...................................................................... 3
2.2 FISIOLOGI FARING ................................................................... 12
ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA ...................................... 12
2.3 DEFENISI .......................................................................... 12
2.4 EPIDEMIOLOGI................................................................ 13
2.5 ETIOLOGI.......................................................................... 13
2.6 PATOGENESIS ................................................................. 14
2.7 GEJALA KLINIK .............................................................. 18
2.8 DIAGNOSIS ....................................................................... 19
2.9 DIAGNOSIS BANDING ................................................... 24
2.10 HISTOPATOLOGI .......................................................... 24
2.11 PENATALAKSANAAN.................................................. 24
2.12 KOMPLIKASI.................................................................. 25
2.13 PROGNOSIS .................................................................... 26
BAB III ...................................................................................................................... 27
PENUTUP .................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 28

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Hippocrates pertama kali mendeskripsikan tumor ini pada abad ke-5 SM. Pada
tahun 1940, Friedberg menyebutkan juvenile angiofibroma . istilah juvenile masih
menjadi perdebatkan karena JNA dapat terjadi pada pasien yang lebih tua pula. Namun
karena sebagian besar kasus terjadi pada rentan usia 14-25 tahun, sehingga dipakai
istilah juvenile. Prevalensi pada laki-laki dapat diekspresikan oleh reseptor androgen
(AR) yang tinggi yang menunjukkan bahwa JNA tergantung pada androgen.1
Angiofibroma nasofaring juvenile jarang ditemukan, tumor jinak ini secara histologis
terjadi terutama pada remaja laki-laki.2 Tingkat kejadian Juvenile Nasopharyngeal
Angiofibroma (JNA) adalah 0,05% sampai 0,5% dari semua tumor kepala dan leher,
tetapi merupakan tumor yang paling sering di nasofaring.3
Tumor ini digolongkan sebagai tumor vaskular jinak yang terletak di nasofaring
posterior. JNA diketahui menyebar invasive lokal dengan pertumbuhan progresif yang
dapat berkontribusi pada morbiditas serta dihubungkan dengan kelainan intracranial
dan perdarahan masif meskipun bukan proses keganasan.3 Neoplasma yang sangat
vaskular ini memiliki kecenderungan untuk mengikis tulang dan merusak struktur
anatomi sekitarnya.2 Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori, salah satunya
adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik
angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung.3
Gejala umum yang muncul yaitu obstruksi hidung dan epitaksis, jika lebih lanjut
maka tumor dapat disertai dengan pembengkakan wajah dan gangguan penglihatan
atau neurologis.4 Berdasarkan gambaran klinis dan radiologis, JNA diklasifikasikan
berdasarkan tiga jenis. Tipe I meliputi lesi yang mendasar terlokalisasi pada rongga
hidung, sinus paranasal, nasofaring atau fossa pterigopalatina. Tipe II adalah JNA yang
meluas ke fossa orbita dengan ekstensi anterior dan/atau fossa kranial tengah minimal
namun dura mater utuh. Dan tipe III adalah lobus tumor massif seperti calabash di fossa
kranial tengah.1
Manifestasi klinis pasien dengan JNA yaitu obstruksi hidung yang
berkepanjangan dan epitaksis berulang. Keterlibatan intracranial dapat dicurigai pada
pasien dengan pembengkakan wajah ipsilateral, proptosis, paresis otot ekstraokular,
penurunan ketajaman visual, gejala ini dapat terjadi tanpa gejala klinis tambahan.
Sehingga diagnosis penyakit intracranial didasarkan pada pencitraan radiologis, dan
pengetahuan rute penyebaran intracranial.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI FARING


Pharynx terletak di belakang cavum nasi, cavum oris, dan larynx dan dibagi
menjadi bagian-bagian nasopharynx, oropharynx dan laryngopharynx. Pharynx
berbentuk seperti corong, dengan bagian atasnya yang lebar, terletak di bawah cranium
dan bagian bawahnya yang sepit dilanjutkan sebagai oesophagus setinggi vertebra
cervicalis ke enam.5

Gambar 1.1 Penampang sagittal melalui hidung, mulut, pharynx, dan larynx untuk memperlihatkan
bagian-bagian pharynx.5
Pharynx mempunyai dinding musculomembranosa yang tidak sempurna
dibagian depan. Ditempat ini, jaringan musculomembranosa diganti oleh apertura
nasalis posterior (choanae), isthmus faucium (pembukaan ke rongga mulut), dan aditus

3
larynges. Melalui tuba auditive, membrana mucosa juga berhubungan dengan
membrana mucosa dari cavitas tympani.5
2.1.1 Otot-otot pharynx
Otot-otot dinding pharynx terdiri dari musculus constrictor pharyngis superior,
medius, dan inferior, yang serabut-serabutnya berjalan hampir melingkar, dan
musculus stylopharyngeus serta musculus salphingopharyngeus yang serabut-
serabutnya berjalan dalam arah hampir longitudinal. Ketiga otot-otot constrictor
mengelilingi dinding pharynx untuk berinsersi pada sebuah pita fibrosa atau raphe yang
terbentang dari tuberculum pharyngeus pars basilaris os occipitale ke bawah sampai ke
oesophagus. Ketiga otot-otot ini saling tumpeng tindih, sehingga musculus constrictor
pharyngis medius terletak di sisi luar bagian bawah musculus constrictor pharyngis
superior dan musculus constrictor pharyngis inferior terletak di luar bagian bawah
musculus constrictor pharyngis medius. 5

4
Gambar 1.2 Ketiga musculus constrictor pharynges. Tampak pula nervus laryngeus superior dan
nervus laryngeus reccurens.5

5
Gambar 1.3 Pharynx dilihat dari belakang. A. perhatikan ketiga musculus constrictor dan posisi
musculus stylopharyngeus. B. Sebagian besar dinding posterior pharynx dibuang untuk
memperhatikan naso, oro, dan laryngopharynx.5

Bagian bawah musculus constrictor pharyngis inferior yang berasal dari cartilago
cricoidea, disebut musculus cricopharyngeus. Serabut-serabut musculus
cricopharyngeus ini berjalan horizontal di sekeliling bagian paling bawah dan paling
sempit pharyrrx, dan berfungsi sebagai sphinter. Killian's dehiscence adalah area pada
dinding posterior pharyrx diantara bagian atas musculus constrictor pharyngis inferior
yang tertekan dan bagian sphinter di sebelah bawah,.musculus cricopharyngeus.5

6
Tabel 1.1 Otot-otot pharynx5
2.1.2 Dinding dalam pharynx
Pharynx dibagi dalam tiga bagian: nasopharyrx, oropharynx, dan
laryngopharynx.5
Nasopharynx
Nasopharynx terletak di atas palatum molle dan di belakang rongga hidung. Di
dalam submucosa atap terdapat kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsilla
pharyngea. Isthmus pharyngeus adalah lubang di dasar nasopharynx di antara pinggir
bebas palatum molle dan dinding posterior pharynx. Pada dinding lateral terdapat
muara tuba auditiva, berbentuk elevasi yang disebut elevasi tuba. Recessus pharyngeus
adalah lekukan kecil pada dinding pharynx di belakang elevasi tuba. Plica
salpingopharyngea adalah lipatan vertikal membrana mucosa yang menutupi
m.salphingopharyngeus.5
Oropharynx
Oropharynx terletak dibelakang cavum oris. Dasar dibentuk oleh sepertiga
posterior lidah dan celah antara lidah dan epiglotis. Pada garis tengah terdapat plica
glossoepiglottica mediana, dan plica glossoepigloftica lateralis pada masing-masing
sisi. Lekukan kanan dan kiri dari plica glossoepiglottica mediana disebut vallecula.
Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus atau arcus palatoglossus dan

7
palatofaringeus dengan tonsila palatina di antaranya. Arcus palatoglossus adalah
lipatan membrana mucosa yang menutupi musculus palatoglossus. Celah di antara
kedua arcus palatoglossus disebut isthmus faucium dan merupakan batas antara rongga
mulut dan pharynx. Arcus palatopharygeus adalah lipatan rnembrana mucosa yang
menutupi musculus palatopharyngeus. Recessus di antara arcus palatoglossus dan
palatopharyngeus diisi oleh tonsilla palatina.5
Laryngopharynx
Laryngopharynx terletak di belakang aditus laryngis. Dinding lateral dibentuk
oleh cartilago thyroidea dan membrana thyrohyoidea. Recessus piriformis, merupakan
cekungan pada membrana mucosa yang terletak di kanan dan kiri aditus laryngis.5
2.1.3 Persarafan sensorik membrana mucosa pharynx
Nasopharynx oleh nervus maxillaris (V2), oropharynx oleh glossopharyngeus.
Dan laryngopharynx oleh (di sekitar aditus larynges) ramus laryngeus internus dari
nervus vagus.5
Persarafan faring terdiri atas saraf sensorik, motoric, dan sekretoris. Berasal dari
cabang n. glossopharyngeus (N. IX) dan n. vagus (N.X) ( n. laringeus superior). cabang
ini bersama serabut simpatis postganglioner truncus symphaticus akan membentuk
plexus pharyngeus. Selain itu berperan juga serabut saraf n. maxillaris.6

8
Gambar 1.4 Persarafan sensoris faring.6

2.1.4 Vaskularisasi pharynx


Pharynx mendapatkan darah dari arteria pharyngica ascendens, cabang-cabang
tonsilar arteria facialis, cabang-cabang arteria maxillaris, dan arteria lingualis.5

9
Gambar 1.5 Pembuluh darah dan saraf faring.6

10
Gambar 1.6 Pembuluh darah dan saraf faring.6
2.1.5 Aliran limfe pharynx

Limfe dialirkan dari pharynx langsung menuju ke nodi lymphoidei cervicales


profundi atau tidak langsung melalui nodi retropharyngeales atau paratracheales, baru
menuju nodi lymphoidei cervicales profundi.5

11
2.2 FISIOLOGI FARING
Fungsi utama dari faring adalah untuk respirasi, menelan, resonansi suara dan
artikulasi. Fungsi faring dalam menelan memiliki 3 fase yaitu, fase oral, fase faringal,
dan fase aseofagal. Pada fase oral, bolus makanan akan di salurkan dari mulut menuju
faring dengan gerakan involuntary, dimana bolus makanan secara peristaltic di
esofagus menuju lambung.7
Fungsi faring yang lain adalah artikulasi. Dimana proses ini diakibatkan karena
Gerakan pendekatan palatum mole kearah dinding belakang faring. Gerakan tersebut
terjadi sangat cepat yang melibatkan musculus salpingofaring dan musculus
palatofaring. Saat gerakan penutupan musculus levator veli palatini akan menarik
palatum mole ke belakang.7

ANGIOFIBROMA NASOFARING BELIA

2.3 DEFENISI
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring
yang secara histologik jenis, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus
paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan.8 Angiofibroma merupakan tumor yang relative jarang ditemukan. Secara
histopatologi tumor ini mengandung 2 unsur yaitu jaringan ikat fibrosa dan pembuluh
darah tersebut tidak memiliki jaringan ikat elastik ataupun otot.9
JNA tampak jelas, berlobul ditutupi mukosa nasofaring. Tumor ini terdiri dari
cabang-cabang vascular ireguler dan berproliferasi dalam suatu stroma fibrosa.
Pembuluh darah tumor secara tipikal mempunyai dinding tipis, tidak memiliki lapisan
elastis, lapisan otot tidak lengkap atau bahkan tidak ada, sehingga mudah terjadi
perdarahan. Ruang stromal terbuat dari sel-sel yang bisa berbentuk seperti poros atau
bintang menyebabkan tumor dapat sangat keras atau kenyal bahkan relatif lembut
tergantung jumlah sel-sel yang mengisi ruang stromal tumor.3

12
2.4 EPIDEMIOLOGI
Tingkat kejadian juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) adalah 0,05%
sampai 0,5% dari semua tumor kepala dan leher, dengan insiden sekitar 1:150.000,.
Tetapi merupakan tumor yang paling sering di nasofaring. Predileksi kuat JNA pada
remaja laki-laki usia 14-15 tahun, walaupun dilaporkan pada rentang usia 10-25 tahun.
Perjalanan JNA pada umumnya lambat, gejala biasanya 6-12 bulan sebelum diagnosis
ditegakkan, diperkirakan 70% pasien telah sedikitnya stadium II pada saat diagnosis.3,4
Angiofibroma di luar nasofaring sangat jarang dan cenderung pada pasien yang
lebih tua dan banyak pada wanita, tumor kurang bersifat vaskular dan kurang agresif
dibandingkan JNA. Sesekali terdapat kasus pada pria yang lebih tua yang dilaporkan.
Kasus pada wanita juga sempat dilaporkan, namun harus ditinjau berdasarkan tinjauan
patologis dan yang genetik yang ketat. Insiden ini tampak lebih tinggi pada Timur
Tengah dan India dibandingkan dengan Eropa.4

2.5 ETIOLOGI

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan.
Salah satu di antaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat
perlekatan spesfik angifibroma adalah di dinding postolateral atap rongga hidung.
Faktor ketidak-seimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab
adanya kekurangan androgen atau kelebihan estrogen. Anggapan ini didasarkan juga
atas adanya hubungan erat antara tumor dengan jenis kelamin dan umur. Banyak
ditemukan pada anak atau remaja laki-laki. Sehingga tumor ini disebut juga
angifibroma nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma).3,8

Tumor ini hampir eksklusif ditemukan pada remaja laki-laki, memunculkan


banyak spekulasi dan bukti tidak langsung pengaruh endokrin atau hormonal pada
perkembangan tumor ini. Keberadaan androgen, reseptor estrogen, dan progesteron
serta ekspresi kuat reseptor VEGF, TGF-β, dan FGF telah tercatat pada pembuluh
darah dan stroma tumor. Analisis genetik mengindikasikan hilangnya gen AR pada

13
kromosom Y sebagian atau lengkap dan didapatkannya gen AR pada kromosom X.
Kelainan kromosomal yang paling sering terdeteksi adalah gen AR pada kromosom 4,
6, 8, dan X serta hilangnya gen AR pada kromosom 17, 22, dan Y.3

2.6 PATOGENESIS
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan laeral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah mukosa,
sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas kearah bawah
membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan kearah anterior
akan mengisis rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral dan memipihkan
konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah foramen sfenopalatina,
masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila.8
Bila meluas terus, akan masuk ke fosa intratemporal yang akan menimbulkan
benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di wajah. Apabila tumor telah mendorong salah satu
atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada wajah, yang di sebut “muka
kodok”. Perluasan ke intracranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa serebri
anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise.8

14
Gambar 1.4 Spesimen kasar yang menunjukkan massa tumor dengan area vascular. 1

Gambar 1.5 Fotomikrograf menunjukkan penampakan pembuluh darah yang kaku


(H&E, x100).1

15
Gambar 1.6 Fotomoikrograf menunjukkan stroma fibroseluler dan banyak pembuluh
darah di pinggiran.1

16
Gambar 1.7 Histologi angifibroma belia yang khas. Fotomikrograf berasal dari bagian jaringan yang di
proses sedemikan kemudian di warnai dengan hmatoksilin-eosin. Pembesaran menggunakan
photomicrogrpas memungkinkan hasil jaringan yang detail, sedangkan jika digunakan sediaan akan
kurang terlihat. (A) Tumor depan tanpa kapsul (tanda bintang). Terdapat kelenjar dan pembuluh darah
yang mengalami emboli masing-masing terlihat di kiri bawa dan kanan gambar. (B) Inti tumor. Lumina
yang melebar dari pembuluh berdinding tipis “kosong” dan stroma kolagen (tanda bintang) terlihat. (C)
Kapal “tanduk rusa” (D) Lapisa pembuluh darah “myoid” yang berkembang secara bervariasi. Sel yang
menyerupai serat otot (panah). (E) Peningkatan seluler dan eosinophilia dari mantel yang dipotong
secara tangensial (tanda bintang) membedakannya dari stroma yang berdekatan. (F) kapal dengan
lapisan myoid yang tidak lengkap mununjukkan kemungkinan adanya “celah” dalam kontuinitas lapisan
endotel dan kebocoran plasma (panah). (G) inti sel stroma spindle. Perhatikan tidak adanya mitosis.
Berbentuk multinuklir (panah) (H) Stellate dan sel stroma sudut (panah). (I) Matriks miksoid (tanda
bintang) di sekitar pembuluh darah.4

Pencitraan CT dan MRI mengindikasikan JNA berasal dari dalam pterygo-


palatine fossa pada bukaan kanal pterygoid. Melalui pterygopalatine fossa, tumor
meluas medial ke nasal posterior dan nasofaring, secara submucosal menyebabkan
obstruksi nasal. Selanjutnya tumor menyebar ke arah superior menuju sfenoid dan
orbita, menyebabkan gangguan penglihatan. Secara lateral menuju fossa infra temporal
menyebabkan penonjolan klasik pada pipi dan secara anterior menuju kavum nasal dan
sinus.3
Radiologi mengindikasikan erosi basis prosesus pterygoid dan penyebaran
tumor menuju kanal vidian/kanal pterygoid. JNA intrakranial hampir selalu ekstradural
dan biasanya pada fossa kranial media. Penyebaran intrakranial JNA dilaporkan pada
20% kasus. Penyebaran ke fossa kranial media biasanya melalui salah satu dari tiga
rute, yaitu melalui fisura orbital inferior menuju orbita dan penyebaran posterior dari
tumor orbital melalui fisura orbital superior ke fossa kranial media, penyebaran tumor
pada sinus spenoid dengan erosi pada dinding lateral, serta penyebaran tumor melalui
basis pterygoid dan cancellous diploe tulang sfenoid yang selanjutnya menyebabkan
erosi superior greater wing of sphenoid dengan penyebaran ke fossa kranial media.3

17
2.7 GEJALA KLINIK
Gejala khas JNA adalah obstruksi nasal unilateral (80%-90%) pada pasien
remaja laki-laki dengan rinorea dan epistaksis (45%-60%) unilateral berulang. Nyeri
kepala (25%) dan nyeri wajah mungkin muncul apabila terjadi sumbatan sinus
paranasal, atau gangguan fungsi tuba Eustachius dengan otitis media sekretorik
unilateral. Gejala yang kurang umum termasuk sakit kepala (25%) sekunder akibat
obstruksi sinus paranasal dan gangguan pendengaran konduktif akibat otitis media
serosa akibat kompresi tuba Eusthacius. Perluasan yang progresif dapat menyebabkan
gejala sinonasal dan pembengkakan wajah 10%-40%. Deficit visual dan neurologis
dapat muncul ketika orbit, dasar tengkorak atau endocardium terpengaruh. Gejala
umummnya muncul setelah 6 bulan hingga satu tahun sebelum diagnosis. Penyebaran
tumor ke kavum sinonasal dapat menyebabkan rinosinusitis kronik. Proptosis dan
perubahan penglihatan mengindikasikan keterlibatan orbita. 8
Pembengkakan pipi, defisit neurologis, perubahan penghidu, rhinolalia clausa,
dan otalgia juga mungkin terjadi. Penyebaran tumor ke anterior dapat mengganggu
ductus nasolakrimal mengakibatkan dakriosistitis. Pemeriksaan fisik rinoskopi anterior
menunjukkan banyak sekret mukopurulen pada kavum nasal yang umumnya
mengaburkan tumor dari penglihatan pemeriksa. Beberapa pasien mengalami
penonjolan tumor keluar dari lubang hidung anterior. Palatum sering bergeser ke
inferior karena desakan tumor yang berwarna merah muda atau kemerahan mengisi
nasofaring. Palpasi transpalatal mencatat konsistensi tumor kenyal, namun palpasi
tidak dianjurkan mengingat risiko perdarahan sangat tinggi.8

18
Gambar 1.8 Tampilan nasal endoskopi dari fossa hidung kanan selama operasi endokopi pada pasian
dengan angiofibroma belia. Tumor mumcul sebagai massa yang berlobus, bertangkai dengan permukaan
halus dan perdarahan fokal, terletak di rongga hidung posterior. MT, Turbinat Tengah, IT, Turbinate
inferior, S, septum dan T, tumor.4

2.8 DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Gejala yang
paling sering ditemukan (lebih dari 80%) ialah hidung tersmubat yang progresif dan
epitaksis berulang yang massif. Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya
penimbunan secret, sehingga timbul rinorea kronis yang di ikuti oleh gangguan
penciuman. Tuba eusthacius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat
biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah meluas ke intracranial. Pada pemeriksaan
fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor yang konsistensinya kenyal,
warnya bervariasi dari abu-abu sampai merah muda . Bagian tumor terlihat berwarna
keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu-
abu.8
Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih banyak komponen
fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan

19
adanya ulserasi. Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang
diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologic konvesional CT Scan serta pemeriksaan
arteriografi. Pada pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala potongan antero-
posterior, lateral dan posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut sebagai
tanda “Holam Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga
fisura pterigopalatina melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di
daerah nasofaring. Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak secara
tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya.8
Pemeriksaan Magnetik Resonansi Imaging (MRI) dilakukan untuk menentukan
batas tumor terutama yang telah meluas ke intrakranial. Pada pemeriksaan arteriografi
arteri karotis eksterna akan memperlihatkan vaskularisasi tumor yang biasanya berasal
dari cabang a.maksila intrena homolateral. Arteri maksilaris interna terdorong ke depan
sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring
kearah fosa pterigomaksila. Selain itu, masa tumor akan terisi oleh kontras pada fase
kapiler dan akan mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikkan.8
Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi thrombosis
intravascular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan mempermudah pengangkatan
tumor. Pemeriksaan kadar hormonal dan pemeriksaan imunohistokimia terhadap
reseptor estrogen, progesterone dan androgen sebaiknya dilakukan untuk melihat
adanya gangguan hormonal. Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan,
sebab akan mengakibatkan perdarahan.8
Untuk menentukan derajat atau stadium tumor umumnya saat ini menggunakan
klasifikasi Session dan Fisch.8
Klasifikasi menurut Session sebagaia berikut:
Stadium IA Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal
Stadium IB Tumor meliputi nares posterior dan atau nasifaringeal dengan
meluas sedikitnya 1 sinus paranasal
Stadium IIA Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila

20
Stadium IIB Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang
orbita
Stadium IIIA Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke
intrakranial
Stadium IIIB Tumor telah meluas ke intracranial dengan atau tanpa meluas
ke sinus kavernosus
Tabel 1.2 Klasifikasi tumor menurut Session8

Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut :


Stadium I Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa
mendestruksi tulang
Stadium II Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal
dengan destruksi tulang
Stadium III Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau
regio parasellar
Stadium IV Tumor menginvasi sinus kavernosus, regio chiasma optic dan
atau fossa pituitary
Tabel 1.3 Klasifikasi tumor menurut Fisch.8

Karakteristik pencitraan JNA adalah tipikal dan diagnostik; biopsi atau


angiografi untuk konfirmasi diagnosis tidak diperlukan. CT dan MRI dapat
memberikan informasi lengkap. CT tetap merupakan pilihan awal yang
menggambarkan sebagian besar tanda-tanda radiologi khas dan penyebaran serta
destruksi tulang dan ketepatan lokasi tumor. Bertambahnya lesi massa di nasofaring
biasa terjadi, namun tidak selalu terutama pada kasus-kasus kekambuhan.3
Karakteristik temuan CT:3
1. Lengkungan anterior dinding maksila posterior (Holman-Miller sign).
2. Erosi dasar sinus sfenoid dan penyebaran tumor yang berdekatan dari nasofaring
ke sinus sfenoid.

21
3. Erosi basis pterygoid.
4. Distribusi tumor khas dengan lobul yang bertambah banyak dan tumor berbatas
tegas melibatkan fossa infra temporal, menyebar melalui fisura orbital inferior,
orbits posterior, dan fisura orbital superior.
5. Erosi dan perluasan kanal vidian.

Gambar 1.9 Erosi pada dasar sinus sfenoid3


MRI memberikan gambaran jaringan lunak lebih baik. Tumor dapat
menampilkan gambaran salt and pepper dengan komponen fibrosa tumor berwarna
putih dan komponen vaskular angiomatosa berwarna gelap. Gambaran penyebaran
tumor akan lebih jelas dengan kontras gadolinium. MRI berguna untuk penilaian tumor
intrakranial yang berbatasan dengan sinus kavernosus dan internal carotid artery
(ICA) dan untuk evaluasi lanjutan tumor residual/tumor berulang.3

22
Gambar 1.10 Penampakan salt and pepper3
Angiografi memberi informasi suplai vascular mayor dan untuk embolisasi pre-
operatif. Arterial mayor yang menyuplai tumor-tumor ini adalah internal maxillary
artery ipsilateral yang khas dengan pembuluh darah tambahan ascending pharyngeal
artery dan cabang-cabang ICA kavernosa atau sistem carotid eksternal kontralateral.3

Gambar 1.11 Gambaran angiografi suplai vascular JNA.3

23
2.9 DIAGNOSIS BANDING
Polip hidung, polip antrokoanal, teratoma, ensefalokel, dermoid, inverted
papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skuamosa.10

2.10 HISTOPATOLOGI
Tumor ini merupakan lesi berkapsul semu ditandai dengan komponen vaskular
tidak beraturan, terdiri dari sejumlah pembuluh darah dengan kaliber berbeda-beda
dengan lapisan endotel tunggal, tertanam pada stroma fibrosa kaya kolagen dan fibrosa.
Pembuluh darah berdilatasi dan terorganisir dalam kelompok tanpa serat elastin di
dindingnya, serta lapisan otot tidak lengkap pada pembuluh darah besar dan sama
sekali tidak ada pada pembuluh darah yang lebih kecil. Kurangnya lapisan otot pada
pembuluh darah menjelaskan kecenderungan terjadi epistaksis pada pasien JNA.
Secara histologis JNA melibatkan sel endotel vascular atau fibroblas. 1,3

2.11 PENATALAKSANAAN
Secara umum telah diterima bahwa pengobatan pilihan untuk angifibroma
ekstrakranial adalah eksisi bedah. Pendekatan menggunakan endoskopi telah
dikenalkan dalam pembedahan angiofibroma yang mempunyai banyak keuntungan
dibandingkan dengan menggunakan pendekatan tradisional, karena tidak ada bekas
sayatan eksternal, peningkatan tingkat kekambuhan, morbiditas yang lebih rendah dan
tingkat komplikasi yang lebih rendah. Pilihan pengobatan terbaik untuk JNA
intracranial masih kontroversional, dengan pendukung radioterapi menekankan tingkat
kekambuhan yang tinggi dan morbiditas pasca operasi terkait dengan reseksi
kraniofasial yang luas.2
Pembedahan merupakan tatalaksana utama JNA. Pilihan lain meliputi
kemoterapi, terapi hormonal, radiasi, dan embolisasi yang saat ini hanya sebagai
pengobatan pelengkap. Pendekatan bedah ditentukan oleh lokasi tumor, penyebaran,
dan keahlian pembedah. Teknik harus mempertimbangkan efek pembedahan pada
tulang kraniofasial pada pasien laki-laki usia muda, yang masih tumbuh sampai usia

24
20 tahun. Faktor-faktor yang dapat membatasi pertumbuhan wajah meliputi
peningkatan jaringan lunak dan periosteum, diseksi mukoperiosteum langit-langit,
etmoidektomi, osteotomi fasial, serta penggunaan fiksasi metal. Pembedahan pada
JNA memerlukan perencanaan matang, meliputi penyusutan tumor dengan pemberian
anti-androgen dan devaskularisasi tumor dengan embolisasi. Anti-androgen flutamide
merupakan golongan antagonis androgen non-steroid; diberikan selama 6 minggu (10
mg/kg/ hari) mengurangi volume tumor (rata-rata pengurangan 16,5 %, maksimum
40%). Efikasi masih terbatas pada pasien post pubertas, tidak efektif pada pasien
prepubertas karena kadar testosteron minimal atau bahkan tidak ada. Embolisasi pre-
operatif rutin dilakukan karena dapat menurunkan kehilangan darah intra-operatif dan
meningkatkan area pembedahan, sehingga eksisi tumor komplit dapat dicapai.3
Teknik pembedahan JNA meliputi pembedahan terbuka dan pembedahan
endoskopik atau kombinasi. Reseksi endoskopik sangat direkomendasikan untuk
tumor stage I-IIIA dari sistem staging Radkowski karena rendahnya kehilangan darah
intraoperatif, masa rawat inap, serta kekambuhan dibandingkan pendekatan tradisional
pembedahan terbuka. Kontraindikasi pembedahan endoskopik yaitu pada tumor
residual yang melibatkan area kritis (ICA, nervus optikus, sinus kavernosa, dura).
Radiasi dilaporkan efektif, namun tidak selalu tepat untuk populasi remaja. Radiasi
mungkin digunakan sebagai terapi primer untuk lesi tingkat lanjut dan tidak dapat
direseksi.3

2.12 KOMPLIKASI
Komplikasi jangka panjang yang potensial seperti:3
a. Transformasi maligna,
b. Karsinoma tiroid,
c. Sarkoma jaringan lunak dan tulang,
d. Karsinoma sel basal,
e. Hipopituarism,

25
f. Katarak,
g. Atrofi nervus optikum,
h. Osteoradionekrosis,
i. Osteomyelitis basis kranial,
j. Dan retardasi pertumbuhan wajah disebabkan radiasi tidak direkomendasikan.

2.13 PROGNOSIS
Tidak terdapat perbedaan angka kekambuhan yang signifikan antara pendekatan
eksternal dan teknik endoskopik, tetapi dipengaruhi oleh perbedaan sistem staging dan
strategi follow up. Studi Sun dkk, mengidentifikasi tiga faktor prediktif yang mungkin
meningkatkan kekambuhan, yaitu usia saat diagnosis (di bawah 18 tahun), ukuran
tumor (>4 cm), dan staging berdasarkan klasifikasi Radkowski.3

26
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring
yang secara histologic jenis, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai
kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus
paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak diajukan. Salah
satu di antaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan
spesfik angifibroma adalah di dinding postolateral atap rongga hidung. Faktor ketidak-
seimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab adanya kekurangan
androgen atau kelebihan estrogen.

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah
mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah
bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Gejala khas JNA
adalah obstruksi nasal unilateral (80%-90%) pada pasien remaja laki-laki dengan
rinorea dan epistaksis (45%-60%) unilateral berulang. Pembengkakan pipi, defisit
neurologis, perubahan penghidu, rhinolalia clausa, dan otalgia juga mungkin terjadi.
Diagnosis biasanya hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Gejala yang paling
sering ditemukan (lebih dari 80%) ialah hidung tersmubat yang progresif dan epitaksis
berulang yang massif. Pembedahan merupakan tatalaksana utama JNA. Pilihan lain
meliputi kemoterapi, terapi hormonal, radiasi, dan embolisasi yang saat ini hanya
sebagai pengobatan pelengkap. Pendekatan bedah ditentukan oleh lokasi tumor,
penyebaran, dan keahlian pembedah.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Makhasana JAS, Kulkarni MA, Vaze S, Shroff AS. Juvenile nasopharyngeal


angiofibroma. J Oral Maxillofac Pathol. 2018;20(2):330.
2. Gołąbek W, Szymańska A, Szymański M, Czekajska-Chehab E, Jargiełło T.
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma with intracranial extension – diagnosis
and treatment. Otolaryngol Pol. 2020;74(2):1–7.
3. Dewi NMAW. Tatalaksana Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. CDK-
262. 2018;45(3):202–5.
4. Lopez F, Triantafyllou A, Snyderman C, Hunt J, Suarez C. Nasal juvenile
angiofibroma: Current perspectives with emphasis on management. Head
Neck. 2017;36(10):1391.
5. Snell RS. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Suwahjo Ardy LYA, editor.
Jakarta: EGC; 2012.
6. Paulsen F, Waschke J, editors. Sobotta. Atlas Anatomi Manusia. Kepala,
Leher, dan Neoroanatomi. 23rd ed. Jakarta: EGC; 2015.
7. Guyton H. buku ajar fisiologi kedokteran Edisi kesebelas. 11th ed. jakarta:
EGC; 2011.
8. Soepardi, Efiaty Arsyad. Iskandar, Nurbiati. Bashiruddin, Jenny. Restuti RD,
editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan . Telinga Hidung Tenggorokan kepala leher.
7th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. 176–178 p.
9. Budiman BJ, Prijadi J. Diagnosis dan Penatalaksanaan Angiofibroma Septum
Nasi. J Kesehat Andalas [Internet]. 2018;2(1):51–6. Available from:
http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/860/724
10. Hajar ST, Hafni. Angiofibroma Nasofaring Belia. Makal Kedokt Nusant.
2018;38(3):251–3.

28

Anda mungkin juga menyukai