DISFAGIA
Oleh:
SUGIONO NAMLI
160100080
Pembimbing
dr. Iskandar Nasution, FINS, Sp.S (K)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Disfagia ”.
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Neurologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Iskandar Nasution, FINS, Sp.S(K) selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang .....................................................................................1
1.2 Tujuan ..................................................................................................1
1.3 Manfaat ................................................................................................2
BAB 3 KESIMPULAN.....................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................17
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan paper ini adalah untuk menguraikan teori-teori
tentang disfagia. Penyusunan paper ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan
pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1
2
1.3 Manfaat
Paper ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan penulis serta
pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami dan mengenal tentang
disfagia.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
o Palatopharyngeus (CN X)
Otot – otot konstriktor faring Superior, middle, and inferior (CN X)
o Cricopharyngeus (recurrent laryngeal nerve)8
c. Laring
Posterior cricoarytenoid, lateral cricoarytenoids, oblique and transverse
arytenoids (recurrent laryngeal nerve)
Aryepiglotticus (inferior laryngeal nerve)8
Proses menelan dibagi menjadi 3 fase : fase oral, faring, dan
esophageal.9
a. Fase Oral dan Fase Orofaring
Tahap orofaring berlangsung sekitar 1 detik dan terdiri dari pemindahan
bolus dari mulut melalui faring untuk masuk ke esofagus. Ketika masuk ke
faring, bolus makanan harus diarahkan ke dalam esofagus dan dicegah
untuk masuk ke lubang-lubang lain yang berhubungan dengan faring.
Dengan kata lain, makanan harus dijaga agar tidak masuk kembali ke
mulut, masuk ke saluran hidung, atau masuk ke trakea.
Posisi lidah yang menekan langit-langit keras menjaga agar makanan
tidak masuk kembali ke mulut sewaktu menelan. Kontraksi m.levator
palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas,
palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior faring akan
terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas.
Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatoglosus yang menyebabkan ismus
fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus
makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut. Uvula terangkat dan
menekan bagian belakang tenggorokan, menutup saluran hidung atau
nasofaring dari faring sehingga makanan tidak masuk ke hidung.
Makan dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasi laring dan
penutupan erat pita suara di pintu masuk laring atau glottis.
Faring dan laring bergerak ke arah atas oleh kontraksi m.stilofaring,
m.salfingofaring, m.tirohioid dan m.palatofaring.Aditus laring tertutup
oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika,
7
b. Kelainan muscular
Kelainan pada sistem musculoskeletal seperti muscular
dystrophies, spinal muscular atrophy, polymyositis, dan
dermatomyositis dapat menyebabkan disfagia.
c. Kelainan Neuropatik
Gangguan sensori nervus laryngeus dapat menyebabkan disfagia
d. Obat obatan
Beberapa obat obatan yang memiliki efek drug-induced
myopathies adalah CNS depresan, antipsikotik, kortikosteroid,
kolkisin.
e. Iatrogenic
Beberapa prosedur medis yang dapat menyebabkan disfagia adalah
laryngectomy, pharyngectomy, esophagectomy reconstructed by
gastric pull-up, head and neck surgery dan operasi yang
melibatkan plexus pharyngeal.
2.3.4 Patofisiologi
Sekitar dua decade terakhir, keterlibatan sistem saraf pusat dalam proses
menelan telah mencuri perhatian beberapa klinisi dan peneliti, hal ini
didukung dengan perkembangan teknologi yang cukup pesat dalam
membantu diagnosis disfagia, seperti magnetic resonance imaging (MRI),
transcranial magnetic stimulation (TMS), positron emission tomography
(PET), dan magneto encephalography (MEG).
Beberapa penyakit seperti stroke dapat menyebabkan disfungsi saraf
kranialis yang berperan dalam mekanisme terjadinya disfagia, seperti:
a. Nervus trigeminus
9
Sialorrhea
Berat badan turun
Perubahan dalam menu makan
Pneumonia rekuren
Perubahan dalam suara atau nada bicara
Nasal regurgitation
Gejala dan tanda yang menyertai pasien penderita disfagia pada fase
esophageal adalah :16
Sensasi lengketnya makanan pada dada atau kerongkongan
Perubahan menu makan
Pneumonia rekuren
Gejala yang menyerupai refluks gastroesofageal, seperti heartburn,
perasaan masam pada mulut
2.3.6 Penegakkan Diagnosis
Penegakkan diagnosis disfagia dapat dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan etiologi
penyebab disfagia.
Dari anamnesis, dapat ditanyakan gejala gejala yang terkait dengan
disfagia seperti yang sudah dijelaskan diatas, berapa lama gejala tersebut terjadi,
apakah keluhan mempengaruhi aktivitas, kesulitan menelan yang terjadi
melibatkan makanan cair atau padat atau keduanya dan apakah terjadi penurunan
berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan antara lain inspeksi mukosa
mulut dan pallatum molle, integritas mukosa dan kesimetrisan arcus faring. Untuk
memeriksa kemampuan dalam mengangkat faring, dapat dilakukan dengan cara
meletakkan dua jari pada laring untuk menilai pergerakkannya dan kemampuan
menelan. Pemeriksan neurologis nervus V, VII-XII, pemeriksaan gag reflex,
auskultasi cervical dan paru dan percobaan menelan menggunakan air yang
kemudian dihitung berapa lama dan butuh berapa teguk untuk menghabiskan air
tersebut dapat juga dilakukan untuk menegakkan disfagia.
12
Cerebrovascular accident
Brainstem tumors
Peripheral neuropathy
Cricopharyngeal achalasia
Scleroderma
2.3.8 Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana disfagia adalah mengurangi aspirasi, meningkatkan
kemampuan pasien untuk mengunyah dan menelan dan mengoptimalkan status
nutrisi pasien. Penatalaksanaan disfagia tergantung pada masing-masing diagnosis
penyakit penyebab keluhan disfagia tersebut, karena disfagia hanya suatu gejala
yang dikeluhkan dari salah satu manifestasi klinis dari suatu penyakit (underlying
disease). 19,20,21
a. Disfagia Orofaringeal
Pilihan tatalaksana untuk disfagia orofaringeal sedikit terbatas,
karena gangguan neuromuscular dan neurological yang mendasari jarang
dapat ditatalaksana dengan terapi farmakologi maupun tindakan
pembedahan, kecuali pada Penyakit Parkinson dan myasthenia.
Mengidentifikasi faktor risiko terjadinya aspirasi merupakan hal yang paling
penting untuk diperhatikan untuk menentukan jenis tata laksana yang
dipilih.
1. Terapi nutrisi dan makanan.
13
b. Disfagia Esofageal
Pilihan tatalaksana pada disfagia esofageal
BAB 3
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Jalil, A., Katzka D., Castell D., Approach to the Patient With Dysphagia,
The American Journal of Medicine (2015) 128, 1138.e17-1138.e23
2. Warnecke, T., Dziewas, R., Wirth, R. et al. Dysphagia from
a neurogeriatric point of view. Z Gerontol Geriat 52, 330–335 (2019).
https://doi.org/10.1007/s00391-019-01563-x
3. United States. Congress. House. Resolution expressing the sense of the
Congress that a National Dysphagia Awareness Month should be
established. 110th Congress. 2nd session. H. Con. Res. 195 (2008).
Washington, DC: United States Government Printing Office, 2008.
Available at: http://thomas.loc.gov/cgibin/query/z?c110:H.CON.RES.195:
4. Matsuo K, Palmer JB. Anatomy and physiology of feeding and
swallowing: normal and abnormal. Phys Med Rehabil Clin N Am.
2008;19(4):691–vii. doi:10.1016/j.pmr.2008.06.001
5. Arjun S Joshi, 2011. Pharynx Anatomy. Available From:
http://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview#showall
6. Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007. Bab IX Nyeri Tenggorok.
Dalam: Efiaty A.S., Nurbaiti I., Jenny B. dan Ratna D.R.. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta, 2007.
Edisi ke-6: 212-215; 217-218.
7. Gray H. Chapter 35: Mediastinum. Standring S, ed. Gray’s Anatomy: The
Anatomical Basis of Clinical Practice . 40th ed. New York, NY: Churchill
Livingstone Elsevier; 2008. 939-57.
8. Cook IJ, Dodds WJ, Dantas RO, Massey B, Kern MK, Lang IM, Brasseur
JG, Hogan WJ. Opening mechanisms of the human upper esophageal
sphincter. Am. J. Physiol. 1989 Nov;257(5 Pt 1):G748-59.
9. Clavé P, de Kraa M, Arreola V, Girvent M, Farré R, Palomera E, Serra-
Prat M. The effect of bolus viscosity on swallowing function in neurogenic
dysphagia. Aliment. Pharmacol. Ther. 2006 Nov 01;24(9):1385-94.
10. Syafrita, S. Symposium and Workshop Bronchoesophagology. Neurologi
FK UNAND/RS DR M DJAMIL PADANG
11. Bussell SA, González-Fernández M. Racial disparities in the development
of dysphagia after stroke: further evidence from the Medicare database.
Arch Phys Med Rehabil. 2011 May. 92(5):737-42.
12. Suntrup-Krueger S, Kemmling A, Warnecke T, et al. The impact of lesion
location on dysphagia incidence, pattern and complications in acute stroke.
18