Anda di halaman 1dari 21

Paper Neurologi

DISFAGIA

Oleh:
SUGIONO NAMLI
160100080

Pembimbing
dr. Iskandar Nasution, FINS, Sp.S (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ Disfagia ”.
Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Neurologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Iskandar Nasution, FINS, Sp.S(K) selaku pembimbing yang telah memberikan
arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian diharapkan makalah ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.

Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari


kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.

Medan, 1 Maret 2020

Penulis
ii

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang .....................................................................................1
1.2 Tujuan ..................................................................................................1
1.3 Manfaat ................................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................3


2.1 Anatomi Faring, Rongga Mulut, dan Esofagus....................................3
2.2 Fisiologi Menelan .................................................................................5
2.3 Disfagia.................................................................................................7
2.3.1 Definisi.......................................................................................7
2.3.2 Epidemiologi..............................................................................7
2.3.3 Etiologi.......................................................................................7
2.3.4 Patofisiologi................................................................................8
2.3.5 Manifestasi Klinis.....................................................................10
2.3.6 Penegakkan Diagnosis..............................................................11
2.3.7 Diagnosis Banding....................................................................11
2.3.8 Tatalaksana...............................................................................12

BAB 3 KESIMPULAN.....................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................17
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara objektif, disfagia merupakan suatu keterlambatan dalam proses
perpindahan cairan dan atau bolus padat pada fase orofaring atau esofagus
ketika menelan. Secara subjektif, disfagia didefinisikan sebagai sensasi atas
keterlambatan perpindahan cairan maupun bolus makanan, baik pada fase
esophageal atau orofaringeal. Hal ini harus dapat dibedakan, mengingat
adanya berbagai macam mekanisme fungsi sensorik yang berperan dalam
merasakan sensasi disfagia, walaupun tidak terjadi keterlambatan perpindahan
bolus makanan.1
Secara epidemiologi, 1 dari 17 orang akan mengalami disfagia dalam
hidupnya. Sebuah studi pada tahun 2011 menunjukkan sekitar 11% dari
populasi Amerika Serikat menderita disfagia, 40-70% diantaranya menderita
stroke, 60-80% penderita penyakit neurodegenerative. Menurut Center for
Disease Control and Prevention, terdapat sekitar 1 juta populasi menderita
disfagia setiap tahunnya di Amerika Serikat.2
Disfagia merupakan sebuah kondisi yang jarang dilaporkan secara
global dan masih belum dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat luas.
Komplikasi yang diakibatkan oleh disfagia dapat meningkatkan biaya
pengobatan di rumah sakit akibat terjadi readmisi, kunjungan emergensi ke
instalasi gawat darurat, sampai kebutuhan alat bantu napas dan makan yang
memerlukan biaya yang tidak sedikit.3,4

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan paper ini adalah untuk menguraikan teori-teori
tentang disfagia. Penyusunan paper ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan
pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1
2

1.3 Manfaat
Paper ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan penulis serta
pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami dan mengenal tentang
disfagia.
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Faring, Rongga Mulut dan Esofagus


Untuk memahami proses menelan dan patofisiologi dari disfagia, perlu
diketahui anatomi dari rongga mulut dan faring. Lidah terdiri atas permukaan oral
dan faring. Rongga mulut dipisahkan dari faring oleh faucial pillars.5
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus
setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga
hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring
dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring
pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding
faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring)Unsur-
unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot.5,6
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta
berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan
limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa
Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.
glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna,
bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.6
2. Orofaring
4

Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum


mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga
orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus
faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.6
3. Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas
anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula.
Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang,
kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula
terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang – kadang bentuk
infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya,
epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat
bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.6
Esofagus merupakan sebuah tuba berotot dengan panjang 25 cm yang
menghubungkan faring dengan lambung. Panjang esofagus saat lahir bervariasi
antara 8 sampai 10 cm dan terukur lebih kurang 19 cm saat usia 15 tahun.
Esofagus memanjang dari batas basah cartilago cricoid ke orificium cardiaca di
lambung setentang vertebra torakalis 11.7
Esofagus memiliki 3 konstriksi dalam proses vertikal, sebagai berikut:
1. Tempat penyempitan pertama adalah pada 15 cm dari gigi insisivus atas, di
mana esofagus dimulai pada sfingter krikofaringeal; ini adalah bagian tersempit
dari esofagus dan sekitar sesuai dengan vertebra C6.
2. Tempat penyempitan kedua adalah pada 23 cm dari gigi insisivus atas, di mana
ia dilintasi oleh arkus aorta dan kiri bronkus utama
5

3. Tempat penyempitan ketiga adalah 40 cm dari gigi insisivus atas, di mana ia


menembus diafragma; Lower Esophageal Sphincter (LES) terletak pada tingkat
ini.7
2.2 Fisiologi Menelan
Proses menelan melibatkan otot – otot dan persarafan dari rongga mulut,
faring, laring dan esofagus.8
a. Rongga mulut
 Lidah
o Hypoglossus, genioglossus, hyoglossus (CN XII)
o Mylohyoid (CN V3)
 Otot – otot Mastikasi
o Masseter (CN V3)
o Temporalis (CN V3)
o Lateral and medial pterygoid (CN V3)8
b. Faring
 Tensor palitini (CN V3)
 Levator palitini (pharyngeal plexus CN IX, X)
 Otot – otot suprahyoid
o Digastric (CN V3 & CN VII)
o Stylohyoid (CN VII)
o Geniohyoid (CN XII)
o Mylohyoid (mylohyoid nerve - a branch of CN V3)
 Otot – otot infrahyoid
o Sternohyoid and sternothyroid (ansa cervicalis)
o Thyrohyoid (CN XII)
o Omohyoid (ansa cervicalis)
 Otot –otot faring ongitudinal
o Stylopharyngeus (CN IX)
o Salpingopharyngeus (CN X)
6

o Palatopharyngeus (CN X)
 Otot – otot konstriktor faring Superior, middle, and inferior (CN X)
o Cricopharyngeus (recurrent laryngeal nerve)8
c. Laring
 Posterior cricoarytenoid, lateral cricoarytenoids, oblique and transverse
arytenoids (recurrent laryngeal nerve)
 Aryepiglotticus (inferior laryngeal nerve)8
Proses menelan dibagi menjadi 3 fase : fase oral, faring, dan
esophageal.9
a. Fase Oral dan Fase Orofaring
Tahap orofaring berlangsung sekitar 1 detik dan terdiri dari pemindahan
bolus dari mulut melalui faring untuk masuk ke esofagus. Ketika masuk ke
faring, bolus makanan harus diarahkan ke dalam esofagus dan dicegah
untuk masuk ke lubang-lubang lain yang berhubungan dengan faring.
Dengan kata lain, makanan harus dijaga agar tidak masuk kembali ke
mulut, masuk ke saluran hidung, atau masuk ke trakea.
Posisi lidah yang menekan langit-langit keras menjaga agar makanan
tidak masuk kembali ke mulut sewaktu menelan. Kontraksi m.levator
palatini mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas,
palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior faring akan
terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke atas.
Selanjutnya terjadi kontraksi m.palatoglosus yang menyebabkan ismus
fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus
makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut. Uvula terangkat dan
menekan bagian belakang tenggorokan, menutup saluran hidung atau
nasofaring dari faring sehingga makanan tidak masuk ke hidung.
Makan dicegah masuk ke trakea terutama oleh elevasi laring dan
penutupan erat pita suara di pintu masuk laring atau glottis.
Faring dan laring bergerak ke arah atas oleh kontraksi m.stilofaring,
m.salfingofaring, m.tirohioid dan m.palatofaring.Aditus laring tertutup
oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika ariepiglotika,
7

plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi


m.ariepiglotika dan m.aritenoid obligus. Bersamaan dengan ini terjadi juga
pengentian aliran udara ke laring karena refleks yang menghambat
pernapasan, sehingga bolus makanan tidak akan masuk ke dalam saluran
napas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur ke arah esofagus, karena
valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaaan lurus.9
b. Fase Esofageal
Pusat menelan memicu gelombang peristaltik primer yang menyapu dari
pangkal ke ujung esofagus, mendorong bolus di depannya menelusuri
esofagus untuk masuk ke lambung.Gelombang peristaltik memerlukan
waktu sekitar 5 sampai 9 detik untuk mencapai ujung bawah
esofagus.Perambatan gelombang dikontrol oleh pusat menelan, dengan
persarafan melalui saraf vagus.Sewaktu gelombang peristaltik menyapu
menuruni esofagus, sfingter gastroesofagus melemas secara refleks
sehingga bolus dapat masuk ke dalam lambung. Setelah bolus masuk ke
lambung, proses menelan tuntas dan sfingter gastroesofagus kembali
berkontraksi.9
2.3 Disfagia
2.3.1 Definisi
Disfagia adalah gangguan menelan, baik yang di dapat maupun bawaan, dapat
disebabkan oleh gangguan struktural dan fungsional yang mengakibatkan
kesulitan dalam memindahkan makanan dan atau cairan dari rongga mulut ke
rongga perut.10
2.3.2 Epidemiologi
Gangguan menelan yang disebabkan oleh gangguan neurologis merupakan
jenis disfagia yang peling sering terjadi. Stroke merupakan penyebab paling
sering disfagia neurologis, dimana disfagia dialami oleh 51-73% pasien stroke.
Disfagia dapat menggangu proses rehabilitasi fungsional pasien stroke dan juga
merupakan penyebab utama terjadinya pneumonia pada pasien stroke.11
2.3.3 Etiologi
Disfagia dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya:12
8

a. Kelainan sistem saraf pusat

Beberapa penyakit sistem saraf pusat dapat menyebabkan disfagia,


seperti Alzheimer disease, Brain tumors, Guillain-Barré syndrome,
Huntington disease, CNS infections, Stroke, Traumatic brain injury (TBI),
Parkinson disease, Poliomyelitis, Cerebral palsy, Multiple sclerosis dan
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS).

b. Kelainan muscular
Kelainan pada sistem musculoskeletal seperti muscular
dystrophies, spinal muscular atrophy, polymyositis, dan
dermatomyositis dapat menyebabkan disfagia.
c. Kelainan Neuropatik
Gangguan sensori nervus laryngeus dapat menyebabkan disfagia
d. Obat obatan
Beberapa obat obatan yang memiliki efek drug-induced
myopathies adalah CNS depresan, antipsikotik, kortikosteroid,
kolkisin.
e. Iatrogenic
Beberapa prosedur medis yang dapat menyebabkan disfagia adalah
laryngectomy, pharyngectomy, esophagectomy reconstructed by
gastric pull-up, head and neck surgery dan operasi yang
melibatkan plexus pharyngeal.
2.3.4 Patofisiologi
Sekitar dua decade terakhir, keterlibatan sistem saraf pusat dalam proses
menelan telah mencuri perhatian beberapa klinisi dan peneliti, hal ini
didukung dengan perkembangan teknologi yang cukup pesat dalam
membantu diagnosis disfagia, seperti magnetic resonance imaging (MRI),
transcranial magnetic stimulation (TMS), positron emission tomography
(PET), dan magneto encephalography (MEG).
Beberapa penyakit seperti stroke dapat menyebabkan disfungsi saraf
kranialis yang berperan dalam mekanisme terjadinya disfagia, seperti:
a. Nervus trigeminus
9

Nervus trigeminus menginervasi lidah dan rahang atas serta


bawah. Gangguan pada saraf ini menyebabkan hilangnya sensasi
tekstur makanan dan hioangnya kemampuan untuk menggerakkan
rahang bawah dan atas untuk mengunyah dan mendorong bolus
makanan kea rah esofagus
b. Nervus fasialis
Nervus fasialis menginervasi beberapa struktur wajah termasuk
bibir, otot pipi, dan lidah. Berfungsi untuk mngecurutkan bibir
untuk mencegah keluarnya makanan dari mulut dan mencegah
drooling, menekan otot pipih kea rah gusi selama proses
mengunyah dan mencegah sisa makanan yang mengisi rongga
antara pipi dan gusi, serta berfungsi merasakan anya bolus saat
makanan berada pada bagian anterior lidah.
c. Nervus glosofaringeus
Saraf ini menginervasi bagian posterior lidah dan orofaring.
Gangguannya akan menimbulkan hilangnya rasa dan sensasi
tekstur dan menunda terpicunya tahap menelan selanjutnya (fase
faringeal)
d. Nervus vagus
Saraf ini menginervasi faring, laring dan esofagus. Saraf ini
sangat vital dalam mencetuskan tahapan faringeal dari proses
menelan dan mendorong blus makanan masuk ke faring dan terus
ke esofagus. Bersmaan dengan itu, nervus vagus menyebabkan
kontraksi pita suara, sehingga menutup trakea dan melindungi
jalan nafas dari makanan dan minuman.
e. Nervus hipoglosus
Saraf ini menginervasi lidah yang berfungsi menyiapkan bolus
makanan dan mendorongnya kea rah faring. Gangguannya
menyebabkan ketidakmampuan mengontrol makanan dan
mendorongnya dari rongga mulut ke faring, sehingga makanan
dan berkumpul di rongga mulut.
10

Telah diketahui dengan baik bahwa sruktur medulla terlibat secara


bermakna, namun keterlibtan jaringan kortek dan subkortek juga sudah terbukti
dalam proses menelan. Jaringan tersebut meliputi kortek sensorimotor primer dan
sekunder, kortek premotorik, insula, girus singular, area motorik tambahan, area
integrasi sensorimotor dan ganglia basalis. Jaringan ini akan teraktivasi dengan
kuat oleh rangsangan sensorik, sehingga adanya gangguan gangguan informasi
afferent, akan menimbulkan penghambatan pada kontrol kortikal sehingga ke
efektifan proses menelan akan terganggu.
Baru – baru ini ditemukan bahwa terdapat spesialisasi hemisfer yang
berbeda pada masing – masing tahap penelanan. Diduga hemisfer kiri lebih
dominan pada fase oral, sedngkan hemisfer kanan lebih dominan pada fase
faringeal. Telah terlihat adanya plastisitas pada jaringan saraf yang terlibat dalam
proses menelan, sebagai refleks fisiologis terhadap penyakit yang berbeda dan
berhubugan dengan lokasi lesi secara neuroanatomi.
Disfagia pada stroke terjadi karena hilangnya konektivitas di dalam
jaringan saraf yang mengontrol proses menelan, gangguan ini tidak saja terjadi
pada hemisfer yang mengalami gangguan akibat strokenya, tapi juga terjadi pada
hemisfer yang tidak dikenai. Sehingga perbaikan fungsi menelan sangat
tergantung pada kompensasi reorganisasi pada hemisfer yang tidak dikenai.
Berbeda dengan lesi unilateral supratentorial seperti yang terjadi pada
amyotropik laterosklerosis (ALS), adaptasi kortikal tidak mungkin terjadi,
sehingga aktivitas kortikal akan terus menurun sesuai progesifitas penyakit.
Pada penyakit Parkinson, adaptasi serebral pada proses menelan,
terlindungi karena yang terganggu adalah jalur motoric, namun gangguan menelan
akhirnya terjadi juga terutama pada fase lanjut penyakit.10,13,14,15
2.3.5 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda yang menyertai pasien penderita disfagia pada fase oral
atau faringeal adalah:16
 Batuk atau tersedak sewaktu menelan
 Sulit memulai untuk menelan
 Sensasi terlekatnya makanan kerongkongan
11

 Sialorrhea
 Berat badan turun
 Perubahan dalam menu makan
 Pneumonia rekuren
 Perubahan dalam suara atau nada bicara
 Nasal regurgitation
Gejala dan tanda yang menyertai pasien penderita disfagia pada fase
esophageal adalah :16
 Sensasi lengketnya makanan pada dada atau kerongkongan
 Perubahan menu makan
 Pneumonia rekuren
 Gejala yang menyerupai refluks gastroesofageal, seperti heartburn,
perasaan masam pada mulut
2.3.6 Penegakkan Diagnosis
Penegakkan diagnosis disfagia dapat dilakukan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan etiologi
penyebab disfagia.
Dari anamnesis, dapat ditanyakan gejala gejala yang terkait dengan
disfagia seperti yang sudah dijelaskan diatas, berapa lama gejala tersebut terjadi,
apakah keluhan mempengaruhi aktivitas, kesulitan menelan yang terjadi
melibatkan makanan cair atau padat atau keduanya dan apakah terjadi penurunan
berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan antara lain inspeksi mukosa
mulut dan pallatum molle, integritas mukosa dan kesimetrisan arcus faring. Untuk
memeriksa kemampuan dalam mengangkat faring, dapat dilakukan dengan cara
meletakkan dua jari pada laring untuk menilai pergerakkannya dan kemampuan
menelan. Pemeriksan neurologis nervus V, VII-XII, pemeriksaan gag reflex,
auskultasi cervical dan paru dan percobaan menelan menggunakan air yang
kemudian dihitung berapa lama dan butuh berapa teguk untuk menghabiskan air
tersebut dapat juga dilakukan untuk menegakkan disfagia.
12

Pemeriksaan penunjang seperti transnasal esophagoscopy dan


endoscopy dapat dilakuka untuk mengetahui etiologi disfagia.17

2.3.7 Diagnosis Banding


Beberapa diagnosis banding harus dipertimbangkan, antara lain 18

 Cerebrovascular accident

 Brainstem tumors

 Penyakit degeneratif, seperti ALS, multiple sclerosis (MS), dan


Huntington disease

 Peripheral neuropathy

 Muscular dystrophy (myotonic dystrophy, oculopharyngeal dystrophy)

 Cricopharyngeal achalasia

 lesi obstruktif seperti tumor, esophageal webs, extrinsic structural


lesions, anterior mediastinal masses, dan cervical spondylosis

 Spastic motor disorders, seperti diffuse esophageal spasm, hypertensive


lower esophageal sphincter, dan nutcracker esofagus

 Scleroderma

2.3.8 Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana disfagia adalah mengurangi aspirasi, meningkatkan
kemampuan pasien untuk mengunyah dan menelan dan mengoptimalkan status
nutrisi pasien. Penatalaksanaan disfagia tergantung pada masing-masing diagnosis
penyakit penyebab keluhan disfagia tersebut, karena disfagia hanya suatu gejala
yang dikeluhkan dari salah satu manifestasi klinis dari suatu penyakit (underlying
disease). 19,20,21
a. Disfagia Orofaringeal
Pilihan tatalaksana untuk disfagia orofaringeal sedikit terbatas,
karena gangguan neuromuscular dan neurological yang mendasari jarang
dapat ditatalaksana dengan terapi farmakologi maupun tindakan
pembedahan, kecuali pada Penyakit Parkinson dan myasthenia.
Mengidentifikasi faktor risiko terjadinya aspirasi merupakan hal yang paling
penting untuk diperhatikan untuk menentukan jenis tata laksana yang
dipilih.
1. Terapi nutrisi dan makanan.
13

Perubahan diet, yaitu dengan memberikan makanan yang lebih


lembut. Selama masih memungkinkan, pemberian makanan oral sangat
dianjurkan. Pasien harus selalu dimonitor untuk mendapatkan cairan
dan nutrisi yang cukup untuk mencegah malnutrisi dan dehidrasi.
Apabila makanan tidak dapat diberikan secara oral dapat digunakan
bantuan dengan pemasangan dari NGT.
2. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan biasanya bertujuan untuk mengurangi disfagia
akibat spastik contohnya pada cricopharyngeal myotomy, dengan
tingkat keberhasilan sekitar 60%.
3. Terapi Rehabilitatif
Tujuannya adalah untuk keamanan dari proses menelan (misalnya
mencegah aspirasi) dan efektivitas (misalnya meningkatkan kecepatan
menelan dan mengurangi residu makanan di rongga mulut dan faring).
- Compensatory Treatment Procedures
Teknik terapi ini dirancang untuk melancarkan aliran bolus
melewati rongga mulut dan faring. Terdiri atas :
 postur (chin tuck, head back, head rotation)
 peningkatan input sensoris (bolus dengan rasa berbeda,
suhu dan tekstur yang berbeda)
 modifikasi volume bolus dan kecepatan makan (volume
kecil dan kecepatan yang perlahan)
 modifikasi viskositas/tekstur makanan ( konsistensi cair
atau lunak) intraoral prosthetics (Palatal lift, obturator dan
augmentation)1,2
- Prosedur Terapi Langsung
Prosedur Terapi Langsung dirancang untuk mengubah fisiologi
menelan dengan cara mengubah komponen spesifik dari fase oral
maupun faringeal. Antara lain dengan latihan untuk memperbaiki
kekuatan, gerakan, kemampuan kontrol otot-otot menelan, dan
memperbaiki integrasi sensorimotor.
 Latihan gerak, resistensi, dan kontrol
Latihan gerak memperbaiki gerakan rahang, bibir, lidah dan
dasar lidah, konstriktor faringeal, laring, dan hyoid. Latihan ini
berguna terutama memperbaiki oropharyngeal swallow
efficiency (OPSE) untuk pasien dengan pengobatan kanker
rongga mulut, pasien Parkinson, multipel sklerosis, dan
amyotrophic lateral sclerosis.
Latihan kekuatan melibatkan teknik resistensi aktif dan
targetnya biasanya adalah otot-otot lidah, bibir, rahang, dan
suprahyoid. Kekuatan lidah biasa berkurang pada orang lanjut
usia, pasien stroke, traumatic brain injury (TBI), amyotrophic
lateral sclerosis (ALS), Parkinson, dan kanker rongga mulut
yang diradioterapi.
14

Latihan kontrol lidah memperbaiki kontrol bolus pada saat


mengunyah. Latihan Shaker adalah latihan untuk memperbaiki
pembukaan upper esophageal sphincter (UES) saat menelan.
 Prosedur Integrasi Sensori-motor
Stimulasi termal-taktil digunakan sebagai mekanisme
inisiasi untuk menstimulasi susunan saraf pusat. Dilakukan
pijatan pada arkus faucial anterior dengan kaca laring yang
dingin dan pasien diperintahkan untuk menelan. Jika
dikombinasikan dengan rangsangan asam dapat mengurangi
waktu laten dari proses menelan.
 Manuver
Manuver dirancang untuk mengubah fisiologi menelan,
khususnya fase faringeal dengan menjadikan fase faringeal
dibawah kontrol volunter.
 Supraglotis swallow dirancang untuk meningkatkan
penutupan jalan nafas sebelum dan selama menelan
pada level glottis. Pasien diinstruksikan untuk menahan
nafas, menelan, dan batuk.
 Super supraglotis swallow untuk meningkatkan
penutupan jalaN nafas sebelum dan selama menelan
pada level laringeal vestibulum dan glottis. Pasien
diinstruksikan untuk menahan nafas dalam agar
arytenoid sampai ke dasar epiglotis sehingga laringeal
vestibulum tertutup, menelan lalu batuk.
 The effortful swallow dirancang untuk meningkatkan
gerakan dasar lidah posterior selama menelan dan
memperbaiki bersihan bolus yang melewati dasar lidah.
Manuver ini berguna pada pasien dengan penurunan
gerak dasar lidah posterior, residu pada dasar lidah,
valekula, dan dinding faringeal atas. Pasien
diinstruksikan menghancurkan makanan dengan lidah
dan otot tenggorokan selama menelan yang akan
meningkatkan pembersihan bolus melewati dasar lidah
dan melalui faring atas. Manuver ini sering
dikombinasikan dengan postur chin tuck.
 The Mendelsohn maneuver dirancang untuk
meningkatkan perpanjangan elevasi laring dan gerakan
anterior selama menelan, dengan demikian
meningkatkan luas dan durasi pembukaan
cricofaringeal selama menelan. Manuver ini juga dapat
meningkatkan koordinasi faringeal selama fase
faringeal. Pasien diinstruksikan menelan seperti biasa
dan saat setengah menelan (saat laring terangkat) tahan
selama 2 detik kemudian relaksasi.
 The tongue-hold maneuver (Masako manuver)
dirancang untuk meningkatkan gerakan anterior
15

dinding faring posterior. Gerakan dinding faring


posterior lebih besar sehingga terdapat kontak dengan
dasar lidah selama menelan. Teknik ini digunakan pada
pasien dengan penurunan kontak dasar lidah dengan
dinding faring dan penurunan pembersihan bolus
melewati dasar lidah.

b. Disfagia Esofageal
Pilihan tatalaksana pada disfagia esofageal

Tabel 1. Pilihan Tatalaksana pada Disfagia Esofageal


(World Gastroenterology, 2014)
16

BAB 3
KESIMPULAN

Disfagia adalah gangguan menelan, baik yang di dapat maupun bawaan,


dapat disebabkan oleh gangguan struktural dan fungsional yang mengakibatkan
kesulitan dalam memindahkan makanan dan atau cairan dari rongga mulut ke
rongga perut. Gangguan menelan yang disebabkan oleh gangguan neurologis
merupakan jenis disfagia yang peling sering terjadi. Stroke merupakan penyebab
paling sering disfagia neurologis, dimana disfagia dialami oleh 51-73% pasien
stroke Beberapa penyakit sistem saraf pusat dapat menyebabkan disfagia, seperti
Alzheimer disease, Brain tumors, Guillain-Barré syndrome, Huntington disease,
CNS infections, Stroke, Traumatic brain injury (TBI), Parkinson disease,
Poliomyelitis, Cerebral palsy, Multiple sclerosis dan Amyotrophic lateral sclerosis
(ALS). Tujuan dari tatalaksana disfagia adalah mengurangi aspirasi,
meningkatkan kemampuan pasien untuk mengunyah dan menelan dan
mengoptimalkan status nutrisi pasien. Penatalaksanaan disfagia tergantung pada
masing-masing diagnosis penyakit penyebab keluhan disfagia tersebut, karena
disfagia hanya suatu gejala yang dikeluhkan dari salah satu manifestasi klinis dari
suatu penyakit (underlying disease). Mengidentifikasi faktor risiko terjadinya
aspirasi merupakan hal yang paling penting untuk diperhatikan untuk menentukan
jenis tata laksana yang dipilih. Terapi yang dapat dilakukan dapat dimulai melalui
perubahan diet, apabila pemberian makan tidak dapat dilakukan melalui oral,
pemasangan NGT dapat dilakukan, dan selain itu tindakan pembedahan dan atau
tindakan rehabilitatif dapat dipertimbangkan.………………………………….
17

DAFTAR PUSTAKA

1. Jalil, A., Katzka D., Castell D., Approach to the Patient With Dysphagia,
The American Journal of Medicine (2015) 128, 1138.e17-1138.e23
2. Warnecke, T., Dziewas, R., Wirth, R. et al. Dysphagia from
a neurogeriatric point of view. Z Gerontol Geriat 52, 330–335 (2019).
https://doi.org/10.1007/s00391-019-01563-x
3. United States. Congress. House. Resolution expressing the sense of the
Congress that a National Dysphagia Awareness Month should be
established. 110th Congress. 2nd session. H. Con. Res. 195 (2008).
Washington, DC: United States Government Printing Office, 2008.
Available at: http://thomas.loc.gov/cgibin/query/z?c110:H.CON.RES.195:
4. Matsuo K, Palmer JB. Anatomy and physiology of feeding and
swallowing: normal and abnormal. Phys Med Rehabil Clin N Am.
2008;19(4):691–vii. doi:10.1016/j.pmr.2008.06.001
5. Arjun S Joshi, 2011. Pharynx Anatomy. Available From:
http://emedicine.medscape.com/article/1949347-overview#showall
6. Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007. Bab IX Nyeri Tenggorok.
Dalam: Efiaty A.S., Nurbaiti I., Jenny B. dan Ratna D.R.. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta, 2007.
Edisi ke-6: 212-215; 217-218.
7. Gray H. Chapter 35: Mediastinum. Standring S, ed. Gray’s Anatomy: The
Anatomical Basis of Clinical Practice . 40th ed. New York, NY: Churchill
Livingstone Elsevier; 2008. 939-57.
8. Cook IJ, Dodds WJ, Dantas RO, Massey B, Kern MK, Lang IM, Brasseur
JG, Hogan WJ. Opening mechanisms of the human upper esophageal
sphincter. Am. J. Physiol. 1989 Nov;257(5 Pt 1):G748-59.
9. Clavé P, de Kraa M, Arreola V, Girvent M, Farré R, Palomera E, Serra-
Prat M. The effect of bolus viscosity on swallowing function in neurogenic
dysphagia. Aliment. Pharmacol. Ther. 2006 Nov 01;24(9):1385-94.
10. Syafrita, S. Symposium and Workshop Bronchoesophagology. Neurologi
FK UNAND/RS DR M DJAMIL PADANG
11. Bussell SA, González-Fernández M. Racial disparities in the development
of dysphagia after stroke: further evidence from the Medicare database.
Arch Phys Med Rehabil. 2011 May. 92(5):737-42.
12. Suntrup-Krueger S, Kemmling A, Warnecke T, et al. The impact of lesion
location on dysphagia incidence, pattern and complications in acute stroke.
18

Part 2: Oropharyngeal residue, swallow and cough response, and


pneumonia. Eur J Neurol. 2017 Apr 27.
13. Veis SL, Logemann JA. Swallowing disorders in persons with
cerebrovascular accident. Arch Phys Med Rehabil. 1985 Jun. 66(6):372-5.
14. Andrenelli E, Galli FL, Gesuita R, et al. Swallowing impairments in
Amyotrophic Lateral Sclerosis and Myotonic Dystrophy type 1: Looking
for the portrait of dysphagic patient in neuromuscular diseases.
NeuroRehabilitation. 2018. 42 (1):93-102
15. Pitts T, Bolser D, Rosenbek J, Troche M, Sapienza C. Voluntary cough
production and swallow dysfunction in Parkinson's disease. Dysphagia.
2008 Sep. 23(3):297-301.
16. Jean A. Brainstem control of swallowing: localisation and organisation of
the central pattern generator for swallowing. In: Taylor A, ed.
Neurophysiology of the jaws and teeth. New York: McMillan, 1990:294–
321
17. Logemann JA. Evaluation and Treatment of Swallowing Disorders. 2nd
ed. Austin, Tex: Pro-Ed; 1998.
18. Espitalier F, Fanous A, Aviv J, et al. International consensus (ICON) on
assessment of oropharyngeal dysphagia. Eur Ann Otorhinolaryngol Head
Neck Dis. 2018 Feb. 135 (1S):S17-S21.
19. Lazarus, Cathy L. Management of Dysphagia, Head & Neck Surgery -
Otolaryngology, 4th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2006:
Philadelphia
20. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of patients with
stroke: identification and management of dysphagia, a National clinical
guideline. June 2010
21. World Gastroenterology Organisation. World Gastroenterology
Organisation Practice Guideline : Dysphagia. 2014

Anda mungkin juga menyukai