Anda di halaman 1dari 109

2016

Buku Modul
Kepaniteraan Klinik THT-KL

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS ANDALAS - FAKULTAS KEDOKTERAN
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT BEDAH KEPALA LEHER
RSUP dr. M. DJAMIL PADANG
Jln. Perintis Kemerdekaan 25127 Padang Sumatera Barat

Edisi 1, Januari 2016


Daftar Isi

Modul 1. Cerumen 1
Modul 2. Tonsilitis 7
Modul 3. Rinitis Alergi 20
Modul 4. Radang Telinga Tengah 46
Modul 5. Epistaksis 75
Modul 6. Benda Asing Hidung 91
Modul 7. Benda Asing Telinga 101

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL FK Unand


Tim Penyusun Modul Kepaniteraan Klinik
Bagian THT-KL

Penasehat : Ketua Bagian THT-KL FK Unand


dr. Bestari J. Budiman, SpTHT-KL(K)

Ketua : Koordinator Pendidikan (Kodik) S1 & Profesi


dr. Al Hafiz, SpTHT-KL

Sekretaris : dr. Dolly Irfandy, SpTHT-KL

Anggota : dr. Yan Edward, SpTHT-KL(K)


dr. Fachzi Fitri, SpTHT-KL, MARS
dr. Novialdi, SpTHT-KL(K)
dr. Effy Huriyati, SpTHT-KL(K)
dr. Jacky Munilson, SpTHT-KL(K)
dr. Sukri Rahman, SpTHT-KL(K)
dr. Nirza Warto, SpTHT-KL
dr. Ade Asyari, SpTHT-KL
dr. Rossy Rosalinda, SpTHT-KL

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL FK Unand


BUKU MODUL 1

MODUL CERUMEN

EDISI I

BAGIAN
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL
PADANG - 2016
WAKTU

Mengembangkan kompetensi Hari :


Sesi dalam kelas 1 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 4,5 minggu (facilitation and assessment)

PERSIAPAN SESI
Materi presentasi:
o 1 : Definisi
o 2 : Penatalaksanaan

Kasus : 1. Impacted cerumen

Sarana dan Alat Bantu Latih : (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi )


o Penuntun belajar (learning guide) terlampir
o Tempat belajar (training setting): bangsal THT, Poliklinik THT, kamar operasi,
bangsal perawatan pasca bedah THT.
o Model anatomi

REFERENSI

1. Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and Throat Disease, 2nd
edition, Thieme Medical Publishers Inc., New York, 1994, p: 71-75
2. Lee K.J, Outer Ear Infection in otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver
Science Publishers, 1989, p: 64, 67-72
3. Ballenger JJ, Penyakit Telinga Luar dalam Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok,
kepala dan leher, jilid dua, edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997, p: 338-348
4. PL Dhingra. Disease of External Ear. Elsevier, 4th Edition. 2007, p.51-5

KOMPETENSI

Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu membuat diagnosis impacted cerumen
berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan, dan dapat
memutuskan dan mampu menangani secara mandiri benda asing liang telinga.

Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan definisi dan macam-macam impacted cerumen.
2. Menjelaskan gambaran klinis impacted cerumen.
3. Dapat mendiagnosa impacted cerumen telinga.
4. Dapat melakukan tatalaksana impacted cerumen telinga dan komplikasi.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Cerumen| 1


CONTOH KASUS

Seorang laki-laki usia 22 tahun datang ke UGD dengan keluhan telinga tersumbat sejak 4
hari yang lalu. Pasien mencoba mengkorek-korek dengan cottonbud tapi keluhan telinga
tersumbat. Keluhan sekarang disertai nyeri. Pada pemeriksaan tampak serumen berwarna
kehitaman menutupi seluruh liang telinga.

Jawaban :

TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mengikuti sesi ini peserta didik terampil dalam :
1. Mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-
pemeriksaan tambahan.
2. Dokter dapat memutuskan dan mampu menangani problem itu secara mandiri hingga
tuntas.

Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
1. Menjelaskan anatomi, topografi dan fisiologi telinga.
2. Menjelaskan etiologi benda asing dan macam-macam benda asing.
3. Menjelaskan gambaran klinis dan terapi benda asing.
4. Dapat mendiagnosa benda asing liang telinga.
5. Dapat melakukan penanganan benda asing liang telinga dan komplikasi.
6. Dapat melakukan tindakan bedah pada benda asing yang terletak lebih dalam atau
tersangkut di ithmus.
7. Melakukan work-up penderita benda asing liang telinga.

EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre test dalam bentuk essay dan oral sesuai dengan
tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang dimiliki
peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri
atas :
- Anatomi dan fisiologi telinga
- Penegakan diagnosa
- Teknik operasi
- Follow up
2. Selanjutnya dilakukan small group discussion bersama dengan fasilitator untuk
membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan
dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh pada saat bedside teaching
dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam bentuk
role play dan teman-temannya (Peer Assisted Evaluation) atau kepada SP (Standardized
Patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak diperkenankan membawa
penuntun belajar, penuntun belajar yang dipegang oleh teman-temannya untuk
melakukan evaluasi (Peer Assisted Evaluation) setelah dianggap memadai, melalui

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Cerumen| 2


metode bedside teaching dibawah pengawasan fasilitator, peserta dididik
mengaplikasikan penuntun belajar kepada model anatomik dan setelah kompetensi
tercapai peserta didik akan diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan evaluator melakukan pengawasan langsung
(direct observation), dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut :
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak dilaksanakan.
- Cukup : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan terdahulu
lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
- Baik : pelaksanaan benar dan baik (efisien)
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan
penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan pasien, dan
memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
1. Self assesment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan penuntun
belajar.
2. Pendidik/fasilitas :
- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist form (terlampir)
- Penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi
- Kriteria penilaian keseluruhan : cakap/ tidak cakap/ lalai
3. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang
dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education)
4. Pencapaian pembelajaran :
- Ujian OSCA (K,P,A), dilakukan pada tahapan bedah dasar oleh kolegium I. THT
- Ujian akhir stase, setiap divisi/ unit kerja oleh masing-masing sentra
pendidikan.bedah lanjut oleh kolegium ilmu THT.
- Ujian akhir kognitif, dilakukan pada akhir tahapan bedah lanjut oleh kolegium ilmu
THT.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Cerumen| 3


MATERI BAKU

Impacted Cerumen

Definisi

Cerumen berasal dari sekresi kelenjar sebaceous, kelenjar ceruminous, rambut,


desquamated sisa-sisa sel epitel, keratin dan kotoran.

Kelenjar sebaceous memberikan cairan kaya asam lemak sementara sekresi kelenjar
ceruminous kaya lipid dan pigmen butiran. Sekresi kedua kelenjar tersebut bercampur
dengan desquamated sel epitel dan keratin gudang dari timpani yang membran dan tulang
meatus yang mendalam untuk membentuk kotoron telinga/impacted cerumen.
Cerumen memiliki fungsi pelindung seperti melumasi saluran telinga dan menjebak bahan
asing yang kebetulan masuk kanal. Ini memiliki pH asam dan bakteriostatik dan fungistatik.

Biasanya, hanya sejumlah kecil dari kotoron telinga/impacted cerumen disekresikan, yang
mengering dan kemudian dikeluarkan dari meatus dengan gerakan mengunyah dari
rahang. Seperti beberapa orang yang berkeringat lebih dari yang lain, aktivitas kelenjar
ceruminous juga bervariasi; kotoron telinga/impacted cerumen yang berlebihan mungkin
disekresikan dan disimpan sebagai plug di meatus.
Faktor-faktor tertentu lainnya seperti sempit dan berliku-liku saluran telinga, rambut kaku
atau obstruktif lesi kanal, misalnya exostosis, mungkin mendukung retensi kotoron
telinga/impacted cerumen. Mungkin mengering dan membentuk suatu massa berdampak
keras.

Gejala Klinis

Pasien biasanya mengeluhkan dengan gangguan pendengaran atau rasa telinga tersumbat.
Tinnitus dan pusing mungkin hasil dari impaksi kotoron telinga/impacted cerumen
terhadap membran timpani.
Refleks batuk karena rangsangan dari cabang auricular dari vagus kadang-kadang dapat
terjadi. Timbulnya gejala ini mungkin tiba-tiba ketika air masuk liang telinga selama mandi
atau berenang dan kotoron telinga/impacted cerumen membengkak.
Lama berdiri berdampak kotoron telinga/impacted cerumen mungkin memborok kulit
meatus dan mengakibatkan pembentukan granuloma (kotoron telinga/impacted cerumen
granuloma).

Penatalaksanaan

Pengobatan kotoron telinga/impacted cerumen terdiri dalam penghapusan oleh syringing


atau manipulasi instrumental. Kadang-kadang massa berdampak keras mungkin
membutuhkan pelunakan sebelumnya dengan pelarut kotoron telinga/impacted cerumen.
Hidrogen peroksida, parafin cair atau minyak zaitun mungkin juga mencapai hasil yang
sama. Tetes komersial mengandung agen ceruminolytic seperti paradichlorobenzene 2%
juga bisa digunakan.

Teknik Irigasi Telinga

Biasanya, air keran rebus didinginkan sampai suhu tubuh bekas. Jika terlalu dingin atau
terlalu panas itu akan merangsang labirin, seperti dalam tes kalori, dan menyebabkan

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Cerumen| 4


vertigo. Terlalu banyak kekuatan digunakan dalam irigasi dapat pecah membran timpani
terutama ketika telah infeksi atau dilemahkan oleh penyakit sebelumnya.

Pasien duduk dengan telinga yang akan dilakukan terhadap pemeriksa. Sebuah handuk
ditempatkan putaran lehernya. Sebuah nampan ginjal ditempatkan di atas bahu dan dapat
dipegang oleh pasien. Kepala pasien sedikit miring atas nampan untuk mengumpulkan
cairan kembali.

Pinna ditarik ke atas dan ke belakang dan aliran air dari jarum suntik telinga diarahkan
sepanjang posterosuperior yang dinding meatus. Tekanan air, didorong lebih dalam
untuk mengeluarkan kotoron telinga/impacted cerumen.

Liang telinga harus diperiksa kembali untuk melihat apakah semua kotoron
telinga/impacted cerumen telah dikeluarkan semuanya. Irigasi yang berlebihan atau tidak
perlu harus dihindari.
Pada akhir prosedur, liang telinga dan membran timpani harus diperiksa dan dikeringkan
dengan tampon kapas. Setiap ulserasi terlihat pada dinding meatus sebagai akibat kotoron
telinga/impacted cerumen yang terkena dampak dilindungi oleh penerapan salep
antibiotik yang sesuai.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Cerumen| 5


KEPUSTAKAAN MATERI BAKU

1. Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and Throat Disease,
Second edition, Thieme Medical Publishers Inc., New York, 1994, p: 71-75
2. Lee .K.J, Outer Ear Infection in otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver
Science Publishers, 1989, p: 64, 67-72
3. Ballenger J.J, Penyakit telinga luar dalam Penyakit Telinga, hidung dan tenggorok, kepala
dan leher, jilid dua, edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997, p: 338-348
4. PL Dhingra. Disease of Ear Nose Throat. ^th Edition. 2014.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Cerumen| 6


BUKU MODUL 2

MODUL TONSILITIS

EDISI I

BAGIAN
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL
PADANG - 2016
WAKTU

Mengembangkan Kompetensi
Sesi dalam kelas 2 X 60 menit
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 4,5 minggu

PERSIAPAN SESI

Materi presentasi:
Ananatomi dan Fisiologi cincin Waldeyer
Patogenesa terjadi hipertrofi tonsil
Indikasi dan KontraindikasiTonsilektomi
Tehnik Operasi Tonsilektomi
Perawatan Pasca Tonsilektomi
Komplikasi Tonsilektomi

Kasus : Tonsilitis Kronis Hipertrofi

Sarana dan Alat Bantu Latih :


o Penuntun belajar (learning guide) terlampir
o Tempat belajar (training setting): bangsal THT, Poliklinik THT, kamar operasi,
bangsal perawatan pasca bedah THT.
o Video

REFERENSI

1. Bailey B. J. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In : Head and Neck Surgery


Otolaryngology. Fourth Edition. Texas. Lippincott Williams & Wilkins. 2006 : 1183-97.
2. Bailey B. J. Tonsillectomy, Adenoidectomy, and UPPP. In : Pediatric and General
Otolaryngology. 2001 : 858-63.
3. Adams G. L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Highler B. A. Boeis
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta. EGC. 1997 : 327-40.
4. Rusmarjono, Soepardi E. Penyakit Serta Kelainan Faring dan Tonsil. Dalam : Soepardi E,
Iskandar N. Buku ajar ilmu kesehatan THT-KL. Ed 6 Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001:
183-4.

KOMPETENSI

Mendiagnosis dan menatalaksana Tonsilitis kronis

Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini, peserta diharapkan terampil :
1. Mengenali gejala, tanda tonsilitis kronis.
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan tentang tonsilitis kronis.
3. Melakukan keputusan untuk pemeriksaan penunjang seperti kultur & test resistensi
apus tenggorok, lab daerah dan ASTO
4. Membuat keputusan klinik untuk pemberian antibiotik yang tepat serta keputusan
tonsilektomi.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Tonsilitis| 7


GAMBARAN UMUM

Tonsil (faucial atau palatina) berjumlah sepasang, merupakan massa yang berbentuk oval
yang berlokasi di dinding lateral orofaring. Walaupun biasanya terbatas pada orofaring,
pertumbuhan tonsil bisa meluas, ditunjukkan dengan insufisiensi velofaringeal
(velopharyngeal insufficiency / VPI) atau obstruksi nasal atau obstruksi jalan nafas antara
dasar lidah dan dinding posterior faring, ditandai dengan sebuah pola gangguan obstruksi
nafas saat tidur (dan bangun). Lokasi anatomi tonsil tersebut mengakibatkan adanya
hubungan dengan penyakit pada tuba eustachius / telinga tengah dan sinus.

CONTOH KASUS

Seorang laki-laki, 17 tahun datang ke poliklinik THT-KL dengan keluhan nyeri tenggorok
sejak 4 hari lalu. Keluhan disertai demam dan batuk. Keluhan seperti ini dikeluhkan sejak 5
tahun lalu hilang timbul, dalam 1 tahun > 6 kali. Riwayat tidur mengorok +. Masih bisa
makan dan minum. Pemeriksaan fisik: Tonsil hiperemis dan hipertrofi bilateral (ukuran
T2B-T2B), detritus+/+, kripta melebar +/+.

Diskusi :
Indikasi tonsilektomi
Sindrom tidur mendengkur

TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan pembelajaran umum


Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu untuk :
1. Mengenali gejala, tanda tonsilitis kronis.
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan tentang tonsilitis kronik.
3. Melakukan keputusan untuk pemeriksaan penunjang seperti kultur & tast resistensi
apus tenggorok lab daerah dan ASTO
4. Membuat keputusan klinik untuk pemberian antibiotik yang tepat serta keputusan
tonsilektomi.

Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
1. Menjelaskan anatomi, topografi, histologi, fisiologi dan biokimia dari kelenjar tonsil
2. Menjelaskan etiologi dan macam tonsilitis khronis
3. Menjelaskan patofisiologi, gambaran klinis, terapi tonsilitis khronis
4. Menjelaskan tehnik operasi tonsilitis kronis dan komplikasinya
5. Menjelaskan penanganan komplikasi operasi yang meliputi jalan nafas, gangguan
elektrolit, gangguan hormonal, gangguan syaraf, dll

METODE PEMBELAJARAN

Tujuan 1. Menjelaskan anatomi, topografi, histologi, fisiologi dan biokimia dari


kelenjar tonsil
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Interactive lecture
Small group discussion.
Bedside teaching.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Tonsilitis| 8


Harus diketahui :
Gejala dan tanda tonsilitis
Fisiologi tonsil dan patofisiologi tonsilitis akut dan kronis

Tujuan 2. Menjelaskan etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, tonsilitis kronis


Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Interactive lecture
Journal reading and review.
Bedside teaching.
Task based medical education.

Harus diketahui :
Etiologi dan faktor predisposisi
Gejala dan temuan hasil pemeriksaan
Pilihan terapi tonsilitis kronis

Tujuan 3. Melakukan work-up penderita tonsilitis kronis yang meliputi anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Interactive lecture
Journal reading and review.
Case study
Simulation and Real Examination Exercises (Physical and Device).
Demonstration and Coaching
Practice with Real Clients.

Harus diketahui :
Faktor resiko kejadian (umur, pekerjaan, kebiasaan merokok, dll)
Gejala klinis saat anamnesis
Pemeriksaan penunjang

Tujuan 4. Menjelaskan pemilihan terapi tonsilitis kronis


Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Interactive lecture
Journal reading and review.
Simulation and Real Examination Exercises (Physical and Device).
Operative Procedure Demonstration and Coaching
Practice with Real Clients.

Harus diketahui :
Indikasi dan prosedur konservatif yaitu pemberian antibiotika,
antiradang,analgesik-antipiretik
Indikasi dan prosedur operasi

Tujuan 5. Menjelaskan tehnik operasi tonsilitis kronis dan komplikasinya


Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Interactive lecture
Journal reading and review.
Case simulation and investigation exercise.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Tonsilitis| 9


Equipment characteristics and operating instructions.

Harus diketahui :
Teknik operasi tonsilektomi
Komplikasi tindakan tonsilektomi

EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre test dalam bentuk essay dan oral sesuai dengan
tingkat masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal. Yang dimiliki
peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pre test terdiri
atas :
Anatomi, fisiologi dan patologi kel. Tonsil
Penegakan Diagnosis
Terapi (teknik operasi)
Komplikasi dan penanganannya
Follow up
2. Selanjutnya dilakukan small group discussion bersama dengan fasiliator untuk
membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan
dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh pada saat bedside teaching
dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk,
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam bentuk
role-play dengan teman-temannya (peer assited learning) atau kepada SP
(standardized patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak diperkenankan :
membawa penuntun belajar, penuntun belajar dipegang oleh teman-temannya untuk :
melakukan evaluasi (peer assisted evaluation). Setelah dianggap memadai, melalui
metoda bedside teaching dibawah pengawasan fasilitator, peserta didik
mengaplikasikan penuntun belajar kepada nodel anatomik dan setelah kompetensi
tercapai peserta didik akan diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung
(direct observation), dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut.
Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
Cukup : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien misal pemeriksaan terdahulu
lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien
Baik : pelaksanaan benar dan baik ( efisien )
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan
penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan pasien,
dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
5. Self assesment dan Peer Assisted Evaluation degnan mempergunakan penuntun belajar.
6. Pendidik/fasilitas:
- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation check list form
( terlampir )
- Penjelasan lisan dari eserta didik/diskusi
- Kriteria penelian keseluruhan : cakap/tidak cakap/lalai
7. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila perlu diberi tugas yang dapat
memperbaiki kinerja(taks-based medical education)
8. Pencapaian pembeljaran :
Ujian akhir stase
Ujian akhir kognitif.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Tonsilitis| 10


MATERI PRESENTASI

Ananatomi dan Fisiologi cincin Waldeyer


Patogenesa terjadi hipertrofi tonsil
Indikasi dan KontraindikasiTonsilektomi
Tehnik Operasi Tonsilektomi
Perawatan Pasca Tonsilektomi
Komplikasi Tonsilektomi

MATERI BAKU

Tonsilektomi :

I. Definisi
Tonsilektomi adalah tindakan pembedahan mengangkat satu atau kedua tonsila
palatina.2

II. Ruang lingkup


Tonsil (faucial atau palatina) berjumlah sepasang, merupakan massa yang berbentuk
oval yang berlokasi di dinding lateral orofaring. Walaupun biasanya terbatas pada
orofaring, pertumbuhan tonsil bisa meluas, ditunjukkan dengan insufisiensi
velofaringeal (velopharyngeal insufficiency / VPI) atau obstruksi nasal. Lebih sering lagi,
berkembang ke bawah sampai hipofaring pada ruang posterior jalan nafas antara dasar
lidah dan dinding posterior faring, ditandai dengan sebuah pola gangguan obstruksi
nafas saat tidur (dan bangun). Lokasi anatomi tonsil tersebut mengakibatkan adanya
hubungan dengan penyakit pada tuba eustachius / telinga tengah dan sinus; tetapi
tonsil dan adenoid secara bersama lebih sering mengakibatkan proses penyakit : infeksi
kronis / rekuren dan atau hiperplasia obstruktif.
Hiperplasia tonsil bisa menyebabkan posisi lidah abnormal, lidah terasa ditusuk-
tusuk, pola bicara yang abnormal, dan perubahan pertumbuhan orofasial dan
kraniofasial. Serupa dengan adenoid, hubungan antara volume orofaring, ukuran tonsil,
dan etiologi obstruksi jalan nafas atas merupakan multifaktor dan berhubungan dengan
hiperplasia tonsil, variasi anatomi, dan faktor genetik.
Permukaan dalam tonsil bersinggungan dengan fasia musculus constrictor
superior. Batas anterior adalah musculus palatoglosus (pilar anterior), dan batas
posterior adalah musculus palatopharyngeus (pilar posterior). Tonsil bisa meluas ke
inferior dan menyambung dengan jaringan tonsil lingual pada dasar lidah.
Suplai darah tonsil sangat bervariasi, tetapi secara umum disuplai dari arteri faringeal
ascendens, palatina ascendens, dan cabang dari arteri lingual dan fasial, semua cabang
arteri carotis externa. Jarang diperdarahi langsung oleh arteri carotis externa itu
sendiri. Arteri carotis interna berjalan kira-kira 2 cm di posterolateral dasar tonsil;
sehingga pada waktu pembedahan, harus diperhatikan tempat yang tepat untuk diseksi
untuk menghindari cedera pada pembuluh darah. Saluran limfatik dari tonsil yang
utama adalah ke limfonodi cervical superior dalam dan jugular; dengan demikian
penyakit inflamasi dari tonsil merupakan faktor yang signifikan pada
perkembangan abses atau adenitis cervical pada anak-anak. Inervasi sensoris berasal
dari nervus glossopharyngeal dan beberapa cabang dari nervus palatina lewat ganglion
sphenopalatina.
Struktur histologi tonsil sangat erat hubungannya dengan fungsinya sebagai organ
imunologis. Seperti adenoid, tonsil palatina tidak mempunyai limfatik aferen tetapi
mempunyai 10 sampai 30 invaginasi seperti kripte yang cabangnya terletak di dalam

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Tonsilitis| 11


parenkim tonsil dan dihubungkan dengan epitel squamous antigen-processing khusus.
Epitel ini bekerja sebagai sistem imun untuk antigen inhalasi dan ingesti. Epitel kripte
mempunya sistem kompleks sel antigen-processing khusus dan micropores yang
mengirim antigen pada cel limfoid aktif imunologis. Empat zona (atau bagian) yang
penting pada proses antigen yaitu: epitel squamous khusus, area extrafolikuler (area
kaya sel T), lapisan folikel limfoid, dan pusat germinal folikel limfoid (sel B).

III. Indikasi Operasi

A. Obstruksi
1. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi.
2. Gangguan bernafas saat tidur.
a. Obstructive sleep apnea syndrome
b. Upper airway resistance syndrome
c. Obstructive hypoventilation syndrome
3. Gagal tumbuh
4. Cor pulmonale
5. Abnormalitas menelan
6. Abnormalitas berbicara
7. Abnormalitas orofacial/dental
8. Gangguan limfoproliferatif

B. Infeksi
1. Tonsilitis rekuren/kronis
2. Tonsilitis dengan :
a. Abses nodus cervical
b. Obstruksi jalan nafas akut
c. Penyakit jantung katup
3. Tonsilitis persisten dengan :
a. Sore throat persisten
b. Nodus cervical yang nyeri
c. Halitosis
4. Tonsilolithiasis
5. Status karier streptococcal yang tidak responsif terhadap terapi medis pada
anak-anak atau keluarga yang beresiko
6. Abses peritonsial yang tidak responsif terhadap terapi medis atau pada
pasien dengan tonsilitis rekuren atau abses rekuren

C. Neoplasma
Tersangka neoplasma, baik benigna maupun maligna

IV. Kontra Indikasi Operasi

1. Diskrasia darah.
2. Tonus otot yang lemah.

V. Diagnosis Banding.
Tumor Tonsil.

VI. Pemeriksaan penunjang


1. Laboratorium darah : Hb, Hct, AL, AT, BT, CT, HBsAg

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Tonsilitis| 12


2. Foto rontgen dada, EKG, SGOT / SGPT untuk usia lebih dari 40 tahun

Persiapan pra operasi :

Anamnesis.
Jelaskan prosedur dan standar operasi pada pasien/ keluarganya.
Jelaskan tujuan operasi dan hasil yang diharapkan.
Pemeriksaan Fisik.
Evaluasi indikasi dan kontra indikasi operasi.
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium darah : Hb, Hct, AL, AT, BT, CT, HBsAg
b. Foto rontgen dada, EKG, SGOT / SGPT untuk usia lebih dari 40 tahun

Menurut Byron J. Bailey


Alat :
1. Lampu kepala
2. Retraktor McIvor
3. Pisau Dean dan Fischer
4. Bantalan

Kutub superior dari salah satu tonsil di pegang dengan klem Allis dan di tarik ke
depan ke arah garis tengah. Mukosa di sekitar kutub superior tonsil di insisi dengan
menggunakan pisau lengkung pada pertemuan antara tonsil dan musculus pilar. Insisi ke
arah anterior dan inferior menuju kutub inferior tonsil. Ujung pisau masuk ke dalam
mukosa dan kemudian menelusuri tepi pilar posterior tonsil.
Langkah selanjutnya adalah sangat penting. Pisau Dean digunakan untuk
memisahkan otot pilar tonsil dari kapsul tonsil. Sangat penting untuk mengatasi
perdarahan dan memastikan bahwa semua tonsil dan kapsulnya telah diangkat. Kapsul
diangkat dari landasan otot fossa tonsilar dengan menggunakan tekanan dengan tepi pisau
Fischer. Pembuluh darah yang tampak, bisa di electrocoagulated sebelum dipisahkan atau
di cauter setelah di klem dengan hemostat. Diseksi dilanjutkan sampai tonsil melekat
dengan hanya satu pembuluh darah dan mukosa di kutub inferior. Lingkaran logam
(kawat) masuk mengelilingi tonsil, melingkari perlekatan kutub inferior dengan
pergerakan yang lambat dan mantap, lingakaran dieratkan sampai tonsil lepas. Saat
perlekatan kutub inferior tonsil dilepas, biasanya terjadi perdarahan, yang diatasi dengan
meletakkan dua buah kapas pada fossa tonsilar.
Pedarahan dicegah dengan meletakkan kapas pada sisi tonsilektomi sementara
prosedur yang sama dilakukan pada sisi kontralateral. Setelah menyelesaikan tonsilektomi
yang kedua, kassa dilepas dari nasofaring, dan daerah tersebut diirigasi dengan larutan
saline untuk membersihkan clotting. Inspeksi nasofaring dengan cermin dilakukan dengan
menarik kedua kateter karet untuk membuka daerah tersebut. Perdarahan diatasi dengan
kassa atau elektrokoagulasi. Kassa diangkat dari sisi tonsilektomi yang pertama, dan
kemudian dasar tonsil diamati dengan cermat. Perdarahan kecil diatasi dengan
elektrokoagulasi, dan perdarahan besar dengan klem dan ligasi menggunakan benang
catgut 2,0 atau 3,0 atau Vicryl pada jarum semisirkuler. Dapat dilihat kumpulan pembuluh
darah dekat kutub superior dan inferior di setiap tonsil.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Tonsilitis| 13


Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Tonsilitis| 14
Menurut John Jacob Ballenger
1. Tehnik Diseksi-jerat
Dengan anestesi umum, pasien dalam posisi supinasi dengan kepala ekstensi (posisi
Rose). Tonsil dipegang dengan cunam vulselum, satu bilah dipasang pada kutub atas
dan yang lainnya di kutub bawah. Insisi dimulai dari kutub atas dan diteruskan ke
depan dan belakang di antara pilar tonsil. Tujuannya untuk membentuk huruf U
terbalik di bagian setengah atas tonsil, hal ini terutama untuk melindungi pilar
posterior tonsil. Insisi dilakukan hanya pada mukosa. Jika jaringan tonsil terkena, maka
akan timbul kesulitan dalam menemukan bidang diseksi.
Tonsil akan terangkat dari tempatnya oleh traksi cunam vulselum dengan cara yang
dapat merenggangkan insisi mukosa anterior. Melalui insisi tersebut, dimasukkan
gunting bengkok Metzenbaum atau alat diseksi lainnya untuk memisahkan kapsul
tonsil dari dasarnya. Biasanya pilar anterior dipisahkan terlebih dahulu baru kemudian
kutub atas. Pada waktu kutub atas ini telah terlihat, cunam vulselum dipakai kembali
untuk memegang kutub atas. Pilar posterior dapat terlihat dengan mengangkat kutub
atas dan bagian tersebut dibebaskan dari tonsil. Jari juga dapat dipakai sebagai alat
diseksi.
Jika diseksi telah dilakukan sampai hanya tinggal kutub bawah yang tetap melekat,
maka jerat dapat dengan mudah digunakan. Cunam dimasukkan melewati gelang dan
tonsil dipegang kembali. Kemudian jerat melewati bagian tonsil yang bebas, selanjutnya
dikencangkan untuk memotong kutub bawah rata dengan lidah. Jika masih ada sisa
tonsil pada plika triangularis harus dipegang dengan cunam dan dikeluarkan dengan
jerat atau gunting.
Perdarahan dapat dijahit dengan benang (catgut), diikat, atau dengan elektrodesikasi.
Seringkali lebih enak jika menggunakan pengikatan dengan simpul hidup melewati
hemostat yang memegang titik perdarahan dan mengikatnya tepat di ujung alat.
2. Tehnik Sluder Guillotine
Intinya adalah menggunakan spatula berlubang dan tonsil didorong masuk ke
dalamnya dengan jari. Pisau pemotong yang terletak dalam spatula, didekatkan untuk
memotong tonsil seolah-olah seperti guillotine.
3. Tehnik Sluder Ballenger
Prinsipnya hampir sama dengan yang diatas (no. 2), tetapi tonsil tidak dipotong tetapi
dikelupas asmpai kapsulnya.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Tonsilitis| 15


Menurut Lore and Medina
A. Dengan mouth gag Jennings dan penekan lidah, tonsil dicengkram dengan klem Allis
atau klem tonsil lain yang serupa. Ahli anestesi menggunakan suction Yankauer untuk
menarik palatum molle. Dengan menarik palatum, dan traksi tonsil keluar, mukosa pilar
posterior tonsil terlihat. Mukosa pilar posterior diinsisi dimulai dari kutub superior.
B. Sisa mukosa pada kutub superior dan mukoas pilar anterior diinsisi dan klep
mencengkram kapsul di kutub superior. Bagian belakang pisau (Neivert) digunakan
untuk memisahkan kapsul tonsil dari fossanya.
C. Klem digunakan dalam posisi horizontal, dan diseksi secara tumpul dilakukan di kutub
superior untuk melihat pembuluh darah kutub superior.
D. Pembuluh darah ini diklem di bagian proximal dan dipotong di bagian distal dengan
gunting.
E. Benang catgut 2.0 atau 3.0 diletakkan di sekeliling klem pembuluh darah dan diikat
dengan menggunakan klem lain.
F. Pilar anterior di retraksi dengan retraktor Herd, kapsul dipisahkan secara diseksi
tumpul. Gunting Metzenbaum juga bisa digunakan untuk diseksi.
G. Saat diseksi mencapai kutub inferior, senar digunakan untuk mengangkat tonsil secara
utuh.
H. Bila terdapat sisa jaringan limfoid di kutub inferior, diangkat dengan menggunakan
senar
I. Fossa diinspeksi, dan perdarahan di klem dan diikat. Jahitan di bagian di dalam
dihindari, karena arteri carotis intera bisa terkena. Setelah mengatasi perdarahan,
letakkan kassa pada fossa untuk beberapa menit.
J. Pengikatan perdarahan bisa dengan pengikat dari ruder. Setelah pendarahan diklem,
benang cat gut 2,0 atau 3,0 setelah diikat simpul yang bisa digerakkan dimasukkan
kepengikat ruder, diluwib back disekeliling pembuluh darah yang diklem kemudian
dieratkan.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Tonsilitis| 16


Komplikasi Operasi5

DURANTE OPERASI

1. Trauma pada gigi, bibir, lidah, dinding faring dan tuba eustachius (pada
adenoidektomi).
2. Dislokasi sendi rahang (temporomandibular joint), jika membuka mulut terlalu lebar
atau kesalahan pemasangan mouth gag
3. Trauma pada vertebra servikal karena hiperekstensi kepala
4. Perdarahan, mungkin terjadi karena :
a. Jaringan tonsil yang tertinggal (rest tonsil)
b. Baru saja infeksi, atau ada kelainan darah (gangguan faktor pembekuan)
c. Riwayat abses peritonsil sebelumnya (scar/fibrotik)
d. Terdapat pembuluh darah yang terbuka
5. Sumbatan jalan nafas karena darah terkumpul di daerah faring sehingga menyebabkan
sumbatan mekanik jalan nafas

POST OPERASI (Recovery)

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Tonsilitis| 17


1. Perdarahan (8 jam pertama), kemungkinan penyebabnya adalah :
a. Ikatan pembuluh darah terlepas
b. Tekanan darah meningkat
c. Hilangnya vasokonstriktor adrenalin (lokal)
d. Bekuan darah terlepas
e. Peningkatan tekanan vena karena terbatuk (mulai sadar)
2. Sumbatan jalan nafas karena terkumpulnya darah di saluran nafas atas (faring)
3. Spasme laring karena ekstubasi terlalu cepat atau terkumpulnya darah pada jalan nafas
4. Shock hipovolemik

Post Operasi (Kemudian)

1. Perdarahan sekunder, biasanya terjadi hari ke 5-10 karena peradangan, selaput fibrin
yang menutup fosa tonsilaris terlalu cepat lepas, ikatan pembuluh darah terlepas, iritasi
karena batuk-batuk dan trauma akibat makanan yang terlalu keras.
2. Nyeri alih ke telinga / otalgia, karena terganggunya tuba eustachius
3. Otitis media akut (infeksi sekunder melalui tuba eustachius)
4. Odema palatum molle dan uvula, akibat trauma
5. Sepsis lokal
6. Komplikasi paru, misal atelektasis, pneumonia dan abses paru, terjadi karena aspirasi
darah / debris/ fragmen tonsil, atau perluasan infeksi dari saluran nafas atas.
7. Komplikasi jantung

Perawatan Post Operasi5


1. Sangat penting mengamati perdarahan, sehingga disarankan pasien tidur miring tanpa
bantal.
2. Kompres es di sekitar leher
3. Awasi tekanan darah dan nadi secara teratur
4. Mengawasi terjadinya dehidrasi, karena biasanya setelah operasi, pasien tidak tertarik
untuk makan dan minum
5. Pemberian antibiotik segera setelah operasi untuk mencegah infeksi dan mengurangi
nyeri
6. Pemberian minuman dingin dan makanan lembut untuk beberapa hari pertama, untuk
menghindari terjadinya perdarahan.

KEPUSTAKAAN MATERI BAKU

1. Bailey B. J. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In : Head and Neck Surgery


Otolaryngology. Fourth Edition. Texas. Lippincott Williams & Wilkins. 2006 : 1183-97.
2. Bailey B. J. Tonsillectomy, Adenoidectomy, and UPPP. In : Pediatric and General
Otolaryngology. 2001 : 858-63.
3. Adams G. L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : Highler B. A. Boeis
Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta. EGC. 1997 : 327-40.
4. Rusmarjono, Soepardi E. Penyakit Serta Kelainan Faring dan Tonsil. Dalam : Soepardi E,
Iskandar N. Buku ajar ilmu kesehatan THT-KL. Ed 5 Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2001:
183-4.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL - Tonsilitis| 18


BUKU MODUL 3

MODUL RINITIS ALERGI

EDISI I

BAGIAN
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL
PADANG - 2016
WAKTU

Mengembangkan Kompetensi Hari :


Sesi di dalam kelas 2 X 60 menit
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 4,5 minggu

PERSIAPAN SESI

Materi presentasi:
Definisi RA, klasifikasi RA
Patogenesis reaksi alergi tipe I
Patofisiologi reaksi alergi pada Rinitis Alergi
Metoda diagnostik Rinitis Alergi
Guideline Penatalaksanaan Rinitis Alergi dari ARIA WHO

Kasus : Rinitis alergi tanpa komplikasi

Sarana dan Alat Bantu Latih :


o Penuntun belajar (learning guide) terlampir
o Tempat belajar (training setting): bangsal THT, Poliklinik THT.
o Video

REFERENSI :

1. John H Krause, Stephen J Chadwick, Bruce R Gordon, M Jennifer Derebery .


Allergy and Immunology An Otolaringic approach, Lippincott Williams & Wilkins
A Walters Kluwer Co, Philadelphia. Baltimore. New York. London 2002 part I, II,
III and V.
2. Byron J Bailey . Head and Neck Surgery Otolaryngology , Lippicontt Williams
& Wilkins A Wolter Kluwer Co. Philadhelpia 2001 p 274-290.
3. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology
Philadelphia: WB Saunders Co; 1991.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 20


KOMPETENSI

Mampu membuat diagnosis Rinitis alergi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisik serta dapat melakukan / menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang. Dokter
dapat memutuskan terapi yang sesuai dengan guideline penyakit dan kemampuan /
situasi penderita dan dapat melakukan edukasi yang tepat kepada penderita

Keterampilan

Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil dalam :


1. Mengenali gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita rhinitis alergi dan
menginterpretasi hasilnya.
3. Mengenali adanya manifestasi penyakit alergi lain seperti asma bronkhial, urtika, alergi
obat, alergi makanan dari anamnesis/ pemeriksaan fisik.
4. Memutuskan pemeriksaan penunjang /laboratorium yang diperlukan dan
menginterpretasi hasil pemeriksaan
5. Menetapkan diagnosis dan mengklasifikasikan RA yang dihadapi
6. Memutuskan dan memberikan pengobatan RA yang sesuai dengan guideline .
7. Mengevaluasi hasil pengobatan dan merencanakan tindakan selanjutnya sesuai
guideline
8. Memberikan penyuluhan / penjelasan tentang RA untuk mengurangi paparan
sehingga mencegah kekambuhan

GAMBARAN UMUM

Rinitis alergi (RA) merupakan manifestasi penyakit alergi yang banyak dijumpai di
klinik THT baik pada anak maupun dewasa. Pada survey anak sekolah usia 13 dan 14
tahun didapatkan gejala RA sebanyak 18%. Penderita sering mengeluhkan penyakitnya
sudah berlangsung bertahun-tahun. Bagi dokter, gejala klinik RA cukup jelas sehingga
mudah dikenali, meskipun demikian untuk memastikan apakah betul suatu RA harus
dilakukan anamnesis , pemeriksaan fisik yang teliti dan jika memungkinkan dipastikan
dengan pemeriksaan alergi baik in vitro maupun in vivo. Masalahnya penderita sering
merasa terganggu dengan gejala RA, tetapi belum mengetahui faktor pencetusnya
sehingga mereka merasa tidak dapat menghindarinya. Penderita juga sering khawatir bila
terus menerus harus minum obat. Jika sudah diketahui pasti bahwa penyakitnya adalah
RA maka dapat dilakukan edukasi kepada penderita sehingga dapat mengurangi paparan
terhadap alergen penyebab. Dengan menguasai patofisologi RA dan mengetahui berbagai
obat anti alergi maka sebagian besar gejala RA dapat diatasi dengan pengobatan yang
tepat ( aman dan terjangkau). Jika memungkinkan dapat diberikan terapi yang dapat
merubah perjalanan penyakit RA seperti pemberian imunoterapi alergen spesifik. Jika
terdapat kasus yang sudah dengan komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung atau
asma bronkhial maka pengobatan RA bersamaan dengan pengobatan komplikasinya,
dapat mengurangi kemungkinan terulangnya terjadi komplikasi tersebut.

CONTOH KASUS

Tn M, umur 40 tahun datang ke klinik THT-KL dengan keluhan sering mengalami


bersin-bersin >5 kali hampir setiap pagi selama kurang lebih 7 tahun. Selain bersin-bersin
juga disertai hidung gatal dan keluar ingus cair, jernih dan banyak dari kedua lubang
hidung. Hidung tersumbat pada malam hari, tetapi tidurnya tidak terganggu. Keluhan

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 21


bertambah hebat jika penderita terkena debu dan keluhan berkurang setelah minum obat
flu yang dibeli sendiri. Penderita belum pernah berobat ke dokter. Penderita masih dapat
melakukan kegiatan sehari-hari, tetapi dirasakan terganggu dalam pekerjaanya. Tidak
ada gangguan tidur, tidak demam dan tidak batuk. Daya penciuman berkurang saat
keluhan muncul dan membaik setelah minum obat.
Riwayat alergi lain seperti asama pada penderita tidak ada. Anak ke dua penderita
menderita sakit yang sama. Riwayat alergi pada orang tua penderita tidak diketahui dan
sudah meninggal. Pada pemeriksaan fisik hidung didapatkan mukosa hidung pucat, konka
edem dan ingus cair. Septum nasi deviasi ringan ke kiri. Telinga dan tenggorok dalam
batas normal. Tes kulit cara prick hasilnya positif ( +++) terhadap alergen tungau debu
rumah ( D farinei dan D pterinosinus), human danders dan kecoa.

Jawaban :
Rinitis alergi dapat mengenai semua umur dan jenis kelamin. Keluhan / gejala klinik
yang berupa hidung gatal, rinore dan obstruksi hidung mungkin dapat dijumpai semua
pada seorang penderita dengan derajat gangguan yang bervariasi. Untuk mendapat
riwayat manifestasi alergi keluarga dapat ditanya dari orang tua, saudara kandung atau
anak penderita.
Septum deviasi dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit RA, tetapi untuk
melakukan koreksi operatif harus dipertimbangkan kontribusinya terhadap gejala klinik /
keluhan penderita karena keluhan dari RA penderita tidak akan hilang setelah dilakukan
operasi.
Selain pemeriksaan tersebut pemeriksaan naso endoskopi perlu dilakukan jika setelah
pengobatan RA tidak ada perbaikan yang nyata, untuk menilai derajat obstruksi dari
septum deviasinya atau kemungkinan kelainan anatomi lain.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih
pengetahuan dan ketrampilan serta perilaku yang terkait dengan pencapaian kompetensi
dan ketrampilan yang diperlukan dalam mengenali dan menatalaksana penyakit Rinitis
Alergi tersebut diatas, yaitu :
1. Menguasai menjelaskan patogenesis timbulnya gejala dan tanda rinitis alergi .
2. Trampil melakukan dan menginterpretasi hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
penderita rhinitis alergi
3. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan RA yang dihadapi
4. Mampu melakukan dan menginterpretasi pemeriksaan tes kulit.
5. Memutuskan pemeriksaan penunjang laboratorium yang diperlukan dan
menginterpretasi hasil nya.
6. Mampu memberikan pengobatan yang sesuai dengan guideline RA dan kemampuan
ekonomi serta pekerjaan penderita .
7. Mampu memberikan edukasi kepada penderita tentang RA.

Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti sesi ini setiap peserta didik diharapkan mampu untuk :
1. Mengenali gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita rhinitis alergi
3. Mengenali adanya manifestasi penyakit alergi lain seperti asma bronkhial, urtika, alergi
obat , alergi makanan dan adanya riwayat keluarga alergi.
4. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan RA yang dihadapi

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 22


5. Memutuskan pemeriksaan penunjang /laboratorium yang diperlukan dan
6. menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang.
7. Mampu memutuskan pengobatan yang sesuai .
8. Mampu memberikan penyuluhan / penjelasan tentang RA.
9. Mampu mengenali komplikasi RA seperti OME, sinusitis dan polip hidung

Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti sesi ini setiap peserta didik diharapkan mampu :
1. Menjelaskan patogenesis gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Menetukan diagnosis klinik RA berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik hidung.
3. Mengklasifikan RA yang dihadapi menurut klasifikasi WHO-ARIA.
4. Menjelaskan pengobatan yang harus diberikan kepada penderita dan dapat
memberikan arahan sesuai dengan penyakit dan daya beli penderita.
5. Menentukan indikasi, kontra indikasi untuk dilakukan tes alergi
6. Mengenali gejala dan tanda jika terjadi reaksi sistemik selama IT dan mengatasinya.

METODE PEMBELAJARAN

Tujuan 1. Mampu menjelaskan patogenesis timbulnya gejala serta tanda rinitis


alergi
Untuk mencapai tujuan ini dipilih metoda/proses pembelajaran dengan cara :
Interactive lecture
Small group discussion
Text book review
Peserta didik harus tahu :
1. Definisi RA
2. Fase-fase reaksi alergi tipe I ( sensitisasi, aktifasi dan elisistasi)
3. Berbagai mediator pada reaksi alergi tipe I yang berperan pada gejala RA

Tujuan 2. Trampil melakukan dan menginterpretasi hasil anamnesis dan


pemeriksaan
fisik penderita rhinitis alergi
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses /pembelajaran melalui :
Small group discussion
Stase di klinik alergi
Presentasi kasus
Peserta didik harus tahu :
1. RA merupakan penyakit yang diturunkan dan dapat mempunyai manifestasi
penyakit alergi yang berbeda-beda pada penderitanya maupun pada
keluarganya.
2. Gejala serta tanda Rinitis alergi yang khas/ sering didapatkan

Tujuan 3. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan RA


yang
dihadapi
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
Text book review
Small group discussion
Stase di klinik alergi
Peserta didik harus tahu :
1. Gejala dan tanda Rinitis alergi

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 23


2 . Konsep tentang kualitas hidup
3. Klasifikasi RA menurut WHO-ARIA.

Tujuan 4. Memutuskan pemeriksaan penunjang laboratorium yang diperlukan


dan menginterpretasi hasil nya.
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
Text book review
Small group discussion
Stase di klinik alergi
Peserta didik harus tahu :
1 Prinsip pemeriksaan in vitro dan metoda pemeriksaan in vitro untuk IgE.
2. Indikasi pemeriksaan in vitro dan nilai normalnya
3. Peran hasil pem in vitro dalam menegakan diagnosis RA.

Tujuan 5. Mampu memberikan pengobatan yang sesuai dengan guideline RA


(ARIA -WHO) dan kemampuan ekonomi serta pekerjaan penderita .
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
Text book review
Small group discussion
Stase di klinik alergi
Peserta didik harus tahu :
1. Guideline penatalaksanaan RA dari WHO-ARIA
2. Berbagai macam antihistamin yang ada : klasifikasi, prinsip kerja efektifitas,
dosis dan keamanan masing masing .
3. Kortikosteroid : indikasi, efektifitas, jenis sediaan, dosis , cara pakai dan
keamanan
4. Macam-macam dekongestan hidung: indikasi, dosis cara pakai dan
keamanan

Tujuan 6. Mampu memberikan edukasi kepada penderita tentang RA.


Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
Text book review
Small group discussion
Stase di klinik alergi
Presentasi kasus

Peserta didik harus tahu :


1. Cara menjelaskan terjadinya gejala rhinitis alergi kepada penderita
2. Berbagai jenis allergen yang sering berperan penting pada penyakit alegi
hidung
3. Ekologi dermatophagoides ( dust mite) yang sangat berperan pada rhinitis
alergi di daerah tropis
4. Cara menjelaskan kepada penderita teknik mengurangi paparan alergen
5. Cara menjelaskan prognosis penyakit alergi dengan berbagai cara
pengobatan yang dipilih.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 24


Tujuan 8. Mampu mengenali komplikasi RA seperti sinusitis, OME dan polip
hidung
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
Text book review
Small group discussion
Stase di klinik alergi
Presentasi kasus

Peserta didik harus tahu :


1. Patogenesis sinusitis, OME dan polip hidung pada penderita RA .
2. Tanda dan gejala sinusitis, OME dan polip hidung
3. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pasti sinusitis, polip hidung dan
OME.

Rangkuman

Rinitis alergi adalah penyakit yang banyak ditemukan, dapat mengenai semua jenis
kelamin dan umur. Meskipun tidak fatal, RA menurunkan kualitas hidup serta
produktifitas penderitanya dan dapat komplikasi. Pengobatan dapat secara medika
mentosa dan imunoterapi. Hal penting yang harus diberikan kepada penderita selain
pengobatan adalah edukasi.

INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF

A. Kuesioner sebelum pembelajaran


1. Rinitis alergi merupakan manifestasi reaksi hipersensitifitas type I yang gejalanya
terdiri atas gejala reaksi fase segera dan reaksi fase lambat . B / S
2. Mediator kimia yang berperan pada timbulnya semua gejala rinitis alergi adalah
histamin. S / B
3. Penilaian pada hasil tes kulit / tes alergi adalah berdasarkan adanya bentol dan
flare yang merupakan efek histamin. B /S.

Jawaban :

B. Kuesioner tengah pembelajaran


1. Yang menyebabkan kegagalan tes kulit adalah :
A. Minum obat yang mengandung anti histamin
B. Penderita sedang mengalami serangan alergi berat
C. Penderita yang takut suntik
D. Penderita yang tidak alergi
2. Jika terjadi tanda-tanda reaksi sistemik selama tes alergi atau sesudah IT, maka
yang harus dilakukan pertama kali adalah :
A. Berikan oksigen
B. Ukur tensi dan nadi
C. Berikan adrenalin sub kutan/im
D. Berikan antihistamin
E. Berikan kortikosteroid

Jawaban :

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 25


KEGIATAN NILAI
I. PERSIAPAN TES KULIT TUSUK
1. Menyiapkan alat dan ekstrak alergen untuk tes alergi
2. Periksa obat emergensi untuk mengatasi jika terjadi reaksi
sistemik/ anafilaksi
3. Menyiapkan posisi pasien
4. Melakukan tindakan desinfeksi pada lokasi tes alergi
5. Menyiapkan formulir hasil dan inform consent
II. PROSEDUR TES KULIT TUSUK
1. Desinfeksi daerah volar lengan bawah , jika perlu cuci dulu dengan
sabun ( jika sebelumnya pasien mengenakan body lotion)
2. Teteskan larutan kontrol positif ( histamin) dan kontrol negatif (
phenol/ bufer fosfat, saline pada bagian proksimal lengan bawah
dengan jarak minimal 2 cm.
3. Daerah ulnar kontrol (+) histamin dan daerah radial kontrol (-)
larutan saline.
4. Tusuk dengan jarum disposibel ukuran 26 G atau lanset darah atau
alat tes kulit yang lain intra kutan/ dengan tusukan superfisial
tanpa mengeluarkan darah.
5. Tunggu kurang lebih 5-10 menit, dan baca hasilnya. Beri tanda
dan ukur bentol pada histamin dan pada kontrol.
6. Jika terdapat bentol diameter minimal 3 mm pada histamin dan
negatif pada saline, lanjutkan dengan teteskan jenis alergen yang
tersedia dengan jarak tetesan minimal 2 cm dan lakukan tusukan
yang sama. Hasilnya ditunggu paling lama 15 menit.
7. Ukur bentol yang terjadi pada masing-masing jenis alergen dan
bandingkan dengan besar bentol dari kontrol histamin. Jika sama
atau lebih besar dari kontrol histamin dinilai positip ( +++).
8. Selama tes kulit perhatikan penampilan pasien dan tanyakan jika
terdapat keluhan, ngantuk, lemes atau terasa mual karena
keadaan tersebut dapat merupakan petanda reaksi sistemik.
9. Jika terdapat gejala reaksi sistemik, segera pasien dibaringkan
tanpa bantal, ukur tensi dan nadi.
10. Meskipun belum selesai penilaian, bila ada ancaman reaksi sistemik
berupa shock segera berikan adrenalin sub kutan dan tes alergi
dihentikan dan dapat diulang lain kali dengan persiapan
pengobatan sebelumnya

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 26


MATERI PRESENTASI

Definisi dan klasifikasi Rinitis Alergi

Rinitis alergi : kelainan hidung karena proses inflamasi mukosa hidung yang
dimediasi oleh hipersensitifitas tipe I, dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin,
rinore dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan.

Klasifikasi RA :

Berdasarkan terdapatnya simptom :


1. RA Intermiten, 2. RA Persisten
kurang dari 4 hari/ minggu , lebih dari 4hari/ minggu
atau bila kurang dari 4 minggu sudah lebih dari 4 minggu

Berdasarkan beratnya gejala :


1. Ringan, 2. Sedang sampai berat
jika tidak terdapat salah satu Jika didapatkan satu atau lebih hal
dari hal-hal sebagai berikut : hal sebagai berikut

gangguan tidur
gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga
gangguan pekerjaan atau sekolah
simptom dirasakan mengganggu.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 27


Patogenesis rekasi alergi tipe I

Skema patogenesis rekasi alergi tipe I


Alergen

Sel APC
(mukosa) alergen dipecah
peptida ( 7-14 aa.)
+ MHC klas II kel limfe + Lien

sel Th0 ( TCR + mol CD4) orang atopy


MHC klas II + ligand pd APC

(+)

Th1 Th2
( IL-2 , IFN- ) IL-3, IL-4, IL-5, IL-9

sel B sel eosinofil

IgE

Sirkulasi jaringan
sel basofil sel mast

IgE pd sel mast dan basofil


( penderita sudah sensitif/
tersensitisasi )
Paparan alergen
ulang yang sama
Degranulasi sel mast dan basofil

Mediator penyebab gejala RA

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 28


Patofisiologi reaksi alergi pada Rinitis Alergi

Skema patogenesis reaksi alergi pada Rinitis Alergi


Sel mast/ basofil degranulasi
Mediator

Preformed mediators Newly mediators


Histamin Prostaglandin
Heparin Leukotrien C4, D4, E4
Triptase Leukotrien B
Kininogenase

Efek mediator kimia pada rinitis alergi

Saraf Kelenjar Pembuluh darah

Gatal mukus vasodelatasi


Refleks eksositosis penebalan mukosa
Bersin rinore permaibilitas meningkat
malaise

Metoda diagnostik Rinitis Alergi

ANAMNESIS
Anamnesis dimulai dengan pertanyaan yang meliputi gejala di hidung
Gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :
- Bersin-bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan)
- Rinore (ingus bening encer)
- Hidung tersumbat ( menetap/ berganti-ganti)
- Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga
Selain itu perlu ditanyakan :
- Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau persisten. .
- Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan timbulnya
rinitis
- Riwayat atopi di keluarga
- Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi
Pemeriksaan penunjang :
- Tes alergi
- Naso endoskopi
- Pemeriksaan IgE spesifik

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 29


Guideline Penatalaksanaan Rinitis Alergi dari ARIA WHO
Diagram panajemen Rinitis Alergi

RINITIS ALERGI Dengan co morbid


Tanpa co morbid
RA tdk terkontrol
Co morbid terkontrol Asma br kontrol
Kel anatomi operasi
Infeksi AB
Polip operasi
intermitent persistent Sinusitis kronik
operasi

ringan Sedang- berat ringan Sedang- berat

Edukasi + avoidance Edukasi + Edukasi + avoidance


* avoidance * *
Antihistamin oral/ Antihistamin oral *
*Topical Antihistamin oral * Steroid topical **
Kromolin sodium Nasal dekongestan Decongestan *

Tak terkontrol ? Tak terkontrol ?

Steroid topical
**
IMUNOTERAPI SPESIFIK * / ** / ***
Tak terkontrol ?

Tak terkontrol ?

Keterangan :
Obstuksi Rinore >>
* Rumah sakit Kabupaten >>
** RS Provinsi/ RS Pendidikan Sp THT
atau bila tersedia di aapotik
*** RS rujukan Nas/ RS pendidikan Sp THT
Operatif antikholinergik

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 30


MATERI BAKU

Rinitis Alergi

Pendahuluan

Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang banyak dijumpai, tetapi karena tidak
bersifat fatal maka sementara ini belum mendapat perhatian yang serius baik dari
penderita maupun petugas kesehatan. Data epidemiologik secara nasional belum
didapatkan di Indonesia. Angka yang ada biasanya di dasarkan pada kejadian di Rumah
sakit atau dari survey yang tidak cukup menggambarkan kejadian di seluruh masyarakat.
Pedoman ini penatalaksanaan RA sebagian besar didasarkan pada konsep dokumen ARIA (
Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) yang disusun berdasarkan atas inisiatif
kelompok kerja WHO. Konsep semacam guidelines untuk penatalaksanaan rinitis alergi
ini disesuaikan dengan kemungkinan fasilitas yang ada di berbagai RS di Indonesia.
Untuk penatalaksanaan rinitis alergi ( RA) secara garis besar dibuat tahapan sebagai
berikut :
1. Definisi
2. Klasifikasi
3. Diagnosis & identifikasi alergen
4. Eliminasi alergen
5. Farmakoterapi
6. Imunoterapi

1. Definisi

Rinitis alergi : kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa
hidung yang dimediasi oleh hipersensitifitas / alergi tipe I, dengan gejala karakteristik
berupa hidung gatal, bersin-bersin, rinore dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel
secara spontan maupun dengan pengobatan.

2. Klasifikasi
Klasifiksi rinitis alergi yang didasarkan atas waktu paparan dan jenis alergen menjadi
RA musiman/ seasonal dan RA sepanjang tahun/ perennial sekarang dianggap tidak
memuaskan. Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :
- ada beberapa daerah dimana pollen dan mould terdapat sepanjang tahun
- simptom RA perenial tidak terjadi sepanjang tahun
- kebanyakan penderita tersensitisasi terhadap banyak alergen yang berbeda, oleh
karena itu simptomnya dapat terjadi sepanjang tahun.
- pada sebagian kasus rinitis perenial mengalami eksaserbasi ketika terpapar pollen
- banyak penderita alergi terhadap pollen juga alergi terhadap mite
- karena efek priming pada mukosa hidung oleh pollen konsentrasi rendah dan inflamasi
minimal persisten pada penderita rinitis, simptom tidak secara strick berhubungan
dengan musim
Oleh karena itu pembagian RA selain berdasarkan atas seasonal dan perennial diusulkan
suatu perubahan dalam klasifikasi RA seperti termuat dalam dokumen ARIA yang
tampaknya memang lebih praktis dan mudah sbb.:

Berdasarkan terdapatnya simptom :


1. RA Intermiten, bila simptom terdapat :

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 31


kurang dari 4 hari/ minggu, atau bila kurang dari 4 minggu
2. RA Persisten, bila simptom terdapat :
lebih dari 4 hari/minggu, dan bila lebih dari 4 minggu

Berdasarkan beratnya gejala :


1. Ringan, berarti tidak terdapat salah satu dari hal-hal sebagai berikut :
gangguan tidur, gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga, gangguan
pekerjaan atau sekolah, simptom dirasakan mengganggu.
2. Sedang-berat, berarti didapatkan satu atau lebih hal-hal sebagai berikut:
gangguan tidur, gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga, gangguan
pekerjaan atau sekolah, simptom dirasakan mengganggu

3. Diagnosis dan identifikasi alergi

3.1. Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan
pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai
tempat tinggal / kerja dan pekerjaan penderita.

Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :


- Bersin-bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan), Rinore (ingus bening encer)
- Hidung tersumbat (menetap/ berganti-ganti), Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit
atau telinga.
- Kadangf disertai : Mata gatal, berair atau kemerahan, Hiposmia / anosmia, Post nasal
drip atau batuk kronik

Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau persisten.


- Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap pekerjaan,
sekolah, tidur dan aktifitas sehari-hari.

Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis


asma bronkhial, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan

Riwayat atopi di keluarga


Apakah ada anggota keluarga, dari ayah atau dari ibu yang pernah menderita salah satu
penyakit alergi tersebut diatas.

Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi


Lingkungan di rumah, tempat kerja, sekolah, apakah ada hubungan antara kegemaran
atau hobi penderita yang dapat memprovokasi timbulnya gejala.
Penderita rinitis alergi dapat berkembang menjadi keadaan hiperreaktifitas hidung
terhadap iritan non spesifik seperti asap rokok, bau merangsang, udara dingin, polutan,
bau parfum, bau deodoran dsb.

Riwayat pengobatan dan hasilnya


Efektifitas obat yang dipergunakan sebelumnya dan macam pengobatan yang sudah
Diterimanya dan Compliance/ kepatuhan berobat

3. 2. Pemeriksaan Fisik
- Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum hidung

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 32


Perhatikan adanya pembengkakan / edem dari konka inferior / media yang diliputi
sekret encer bening, mukosa pucat dan edem. Keadaan anatomi hidung lainnya seperti
septum nasi. Perhatikan pula kemungkinan adanya polip nasi.
- Nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia)
Adakah gambaran konka bulosa atau polip nasi kecil di meatus medius dan keadaan
kompleks ostiomeatal.

3. 3. Pemeriksaan Penunjang
Pertimbangkan keadaan / kondisi di seluruh R.S
- Uji kulit (Uji tusuk / Prick test ) paling sesuai karena mudah dilakukan, dapat
ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak.anak. Mempunyai sensitifitas dan
spesifisitas tinggi terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik.
- Intradermal skin test / Skin End Point Titration Test (bila tersedia)
- IgE serum total (kurang bermanfaat), nilai normal dewasa 100 150 IU/ml
- IgE serum spesifik ( mahal )
- Pemeriksaan sitologis / histologis, bila diperlukan untuk :
a. Menentukan antara alergi / non alergi dan rinitis akibat infeksi
b. Menindak lanjuti respons terhadap terapi
c. Melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung
Pemeriksaan ini lebih sering dilakukan untuk keperluan penelitian karena memerlukan
ketrampilan laboratorium.
- Test provokasi hidung/ nasal challenge test (bila tersedia), dilakukan bila ada keraguan
dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif,
tetapi hasil tes alergi selalu negatif.
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut :
- Untuk mendiagnosis rinitis okupasional
- Untuk penelitian.
- Foto polos sinus paranasal : bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal
- CT Scan / MRI sinus paranasal : atas indikasi, dilakukan bila :
a. Untuk menentukan adakah komplikasi seperti sinusitis
b. Tidak ada respons terhadap terapi
c. Direncanakan tindakan operatif

Teknik melakukan tes alergi/ tes kulit.


Persiapan tes kulit :
1. Jelaskan apa yang akan dilakukan pada penderita dan tujuannya.
2. Pastikan penderita tidak mengkonsumsi obat/ makanan yang mempunyai efek
antialergi.
- antihsitamin minimal 3 kali periode washout ( 72 jam)
- steroid sistemik 2 minggu
3. Periksa tekanan darah sebelum tes alergi untuk membandingkan jika sewaktu-
waktu terjadi reaksi sistemik
4. Pastikan tidak mengalami serangan alergi berat 24 jam sebelumnya ( asma
bronkhial ).
5. Sediakan semprit 1 cc dan epineprin ampul
6. Jelaskan kemungkinan timbul tanda dan gejala reaski alergi sistemik dari ringan
sampai yg berat selama tes alergi
7. Tanda tangan informed consent..
8. Desinfeksi daerah lokasi tes kulit ( bag volar lengan bawah)

Prosedur tes kulit

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 33


1. Teteskan lar kontrol positif ( HISTAMIN) dan bufer fosfat atau kontrol negatif.
2. Biasakan untuk histamin sebelah radial dan bufer sisi ulnar dengan jarak
minimal 2 jari.
3. Tusuk dengan jarum disposibel steril ( no 26G) / lanset sedalam lapisan epikutan,
dicukit tepat ditempat tetesan , jangan sampai berdarah. Reaksi ditunggu selama
5-10 menit. Jika sudah terbentuk bentol merah minimal diameter 3 mm pada
tempat histamin dan tidak terbentuk pada bufer atau maksimal diameter bentol
1mm maka dilanjutkan dengan penetesan alergen yang akan diperiksa. Biasakan
selalu mulai dari proksimal sisi radial ke distal dengan jarak kurang-lebih 1 jari,
kemudian naik ke sisi ulnar. Reaksi tes kulit dibaca 10-15 menit .
4. Penilaian hasil dibandingkan dengan reaksi histamin pada masing-masing
penderita.
Positip ( +++ ) : jika bentol diameternya minimal 3 mm atau sama dengan reaksi
histamin
Positip (++) : lebih kecil dari histamin
Positip (+) : diameter bentol kurang lebih 1 mm
Hasil tes kulit dianggap positip jika terjadi bentol pada alergen sedikitnya sama
dengan bentol dari reaksi histamin.
Jika gejala sangat mendukung tetapi tes kulit hasil lebih kecil dari histamin
atau diameter bentol < 3 mm dapat diulang atau dilanjutkan dengan tes kulit
intra kutan atau pemeriksaan penunjang lain.seperti pemeriksaan IgE dan
eosinofil sekret hidung.
5. Perhatikan selama tes kulit : kemungkinan terjadi reaksi alergi sistemik.
Gejala : pasien mendadak mengeluh lemes, mual, seperti mau pingsan, penderita
tampak pucat. Bila terdapat gejala tersebut penderita diminta segera
lapor.
Jika terdapat gejala tersebut : segera tidurkan penderita tanpa bantal, periksa tensi
dan nadi .
Bila ada gejala shock : suntikan epineprin 0.2 cc subkutan/ intramuskular.
Amati nadi, tensi dan pernapasan dalam 5 menit. Jika belum ada perbaikan dapat
ulangi epineprin setelah 10 menit diikuti pemberian steroid im, pasang infus.

Diferensial diagnosis
Penyakit yang perlu dibedakan dengan rinitis alergi adalah :
1. Rinitis infeksi ( virus , bakteri atau penyebab lain.)
2. Rinitis karena okupasi / pekerjaan
3. Drug-induced rhinitis
4. Rinitis Hormonal
5. NARES
6. Rinitis karena iritan
7. Rinitis vasomotor
8. Rinitis atropi
9. Rinitis idiopatik

4. Eliminasi Alergen
4.1. Yang sangat berperan pada rinitis alergi di negara tropis seperti Indonesia adalah
house dust mite (tungau debu rumah), pet dander dan alergen kecoa.

Cara menghindari :
Esensial :
- Membungkus kasur dan bantal dengan bahan khusus ( yang tidak tembus mite), tetapi

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 34


mahal sehingga tidak dapat diterapkan pada semua kasus.
- Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan air
panas (> 55oC). Hasil yang sama mungkin dapat dicapai dengan menjemur cucian
dibawah sinar matahari langsung.
Optimal :
a. Menggunakan lantai rumah dengan bahan yang dapat dibersihkan seperti :
- dari keramik, bahan plastik, dari kayu
b. Sedikit mungkin menggunakan furniture dari kain/ kain berbulu
c. Menggunakan penghisap debu integral dg filter HEPA dan kantong yang
bahannya tebal
d.Gunakan korden yang dapat dicuci
e. Mainan dari kain/ berbulu yang dapat dicuci.

4.2. Binatang piaraan ( kucing dan anjing)


Anjing dan kucing merupakan masalah alergi di beberapa daerah/ keluarga.Yang
bersifat alergenik tidak hanya dander nya saja, tetapi juga saliva, sekresi sebasea yang
membentuk partikel di udara dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu usaha
pencegahan sulit. Cara yang paling sederhana tetapi kadang sangat sulit yaitu dengan tidak
memelihara binatang tersebut dan bila pernah, membersihkan karpet, kasur dan kursi
dengan penghisap debu berulang-ulang.
Pada dasarnya menghindari alergen tampaknya efektif , hanya saja penderita
seringkali penderita sensitif terhadap beberapa allergen, sukaar dicaapai hasil yang
maksimal. Bagaimanapun sulitnya, karena pada penderita alergi paparan alergen akan
memicu timbulnya gejala, maka penjelasan dengan edukasi tentang alergen apa yang harus
dihindari dan bagaimana menghindarinya harus dijelaskan kepada penderita rinitis alergi.

5. Farmakoterapi

Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast yang
dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada reseptornya di
permukaan sel tersebut. Histamin merupakan mediator yang berperan besar pada
timbulnya gejala rinitis alergi pada reaksi fase cepat, sedangkan mediator lain yang
tergolong newly formed mediator dan mediator dari sel eosinofil berperan pada reaksi fase
lambat yang menyebabkan inflamasi dan hiperreaktifitas non spesifik yang dapat menetap
berhari-hari.
Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah :
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan terhadap
penyakitnya
5. Merubah jalannya penyakit/ pengobatan kausal
Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat ditempuh langkah-langkah
berikut :
5.1. Antihistamin
Histamin (H1) merupakan mediator utama penyebab timbulnya gejala rinitis alergi,
oleh karena itu sampai saat ini antihistamin merupakan pilihan pertama untuk
pengobatan rinitis alergi. Antihistamin bekerja dengan cara menghambat efek mediator
histamin pada tingkat reseptor histamin. Obat ini sangat efektif untuk mengurangi gejala
rinitis (hidung gatal, bersin dan rinore), meskipun kurang efektif untuk gejala hidung
tersumbat.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 35


Sekarang didapatkan banyak macam antihistamin, tetapi secara garis besar
dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1 generasi baru.
Antihistamin klasik yang disebut juga antihistamin generasi I pemakaiannya terbatas
karena bersifat sedatif.
Contoh :
Diphenhydramin, Prometazin, Tripolidin, Chlorpheniramine, Incidal, Avil,
Polaramine, Tavegyl, Incitin
Selain mempunyai efek antihistamin, anti-H1 klasik juga mempunyai efek antikholinergik,
dapat menyebabkan gangguan pada jantung dan tidak selektif pada reseptor histamin H1
perifer karena dapat menembus sawar darah otak sehingga bersifat sedatif. Diantara
antihistamin klasik tersebut, chlorpheniramine mempunyai sifat sedatif yang paling
ringan.
Antihistamin generasi baru yang disebut juga long acting antihistamine karena
bekerja lama ( 24 jam) dan tidak menembus sawar darah otak sehingga tidak bersifat
sedatif. Antihistamin generasi baru dapat digolongkan menjadi dua generasi yaitu
antihistamin generasi II dan generasi III. Antihistamin generasi II merupakan antihistamin
dengan selektifitas terhadap reseptor H1 yang lebih baik dibandingkan generasi I, dan
bersifat non sedasi bila diberikan sesuai dosis rekomendasi. Namun seringkali dibutuhkan
dosis yang lebih besar daripada dosis yang direkomendasikan, sehingga efek sedasinya
menjadi meningkat pula. Antihistamin generasi II dimetabolisme di hati oleh enzim
sitokrom P450 subtipe3A4 yang juga dipakai untuk metabolisme obat lain seperti
golongan azol (ketoconazole) dan golongan makrolida. Oleh karena itu pemakaian
antihistamin generasi II bersamaan dengan obat-obatan tersebut harus dihindari.
Pemakaian beberapa antihistamin generasi II ternyata dapat menyebabkan gangguan
jantung akibat blokade pada potassium channel jantung sehingga memperpanjang interval
QT yang dapat menimbulkan torsades de point yang berakibat kematian.

Contoh antihistamin generasi II :


Terfenadine, Astemizole, Oxatomide, Loratadin, Fexofenadin dan cetirizin.
Antihistamin generasi III merupakan metabolit aktif dari antihistamin generasi II dan
mempunyai selektifitas yang sangat tinggi terhadap reseptor H1 sehingga mempunyai sifat
non sedatif sejati (non dose dependent) dan tidak memiliki sifat antikolinergik. Karena
merupakan metabolit aktif, antihistamin generasi III tidak dimetabolisme di hati sehingga
kemungkinan interaksi obat kecil sehingga relatif lebih aman untuk digunakan pada
penderita penyakit hati, ginjal serta pasien usia lanjut. Saat ini antihistamin generasi III
yang tersedia dipasaran adalah :
Fexofenadine
Desloratadine.
Selain karakteristik non sedatif dan mempunyai efek anti H1 spesifik, antihistamin baru
dilaporkan mempunyai efek anti alergi yang lebih luas karena :
- dapat mengurangi penglepasan PGD2 dan kinin ( fexofenadine, loratadin, terfenadin)
- menekan kemotaksis eosinofil ( fexofenadine , cetirizine )
- mengurangi ekspresi ICAM-1 ( fexofenadine, terfenadin, loratadin , cetirizine)
- menekan penglepasan berbagai macam sitokin (IL-4, IL-5, IL-1) dan leukotrien
(fexofenadine)
Pada dasarnya antihistamin mempunyai efektifitas yang sama, meskipun terdapat
variasi individual antar penderita. Karenanya ada kemungkinan bahwa suatu antihistamin
mungkin kurang responsif pada seseorang, sementara antihistamin lain mungkin lebih
responsif. Demikian pula efek sedasi suatu antihistamin. Terdapat variasi individual
terhadap efek sedasi antihistamin baik yang golongan sedasi maupun non sedasi.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 36


Keamanan antihistamin:
1. Salah satu keterbatasan antihistamin klasik/ generasi pertama adalah adanya efek
sedasi, sehingga tidak dianjurkan bagi penderita yang memerlukan konsentrasi tinggi
dalam aktifitas sehari-harinya.. Efek antikolinergik juga harus diwaspadai karena pada
beberapa kasus pemakaian yang lama dapat mengganggu aktifitas saluran kencing dan
dapat mengganggu penglihatan serta gangguan jantung.
2. Hampir semua antihistamin di metabolisme di hati kecuali yang merupakan bentuk
metabolit aktif ( fexofenadine & cetirizine ). Oleh karena itu pemakaiannya harus
diperhatikan pada penderita yang mempunyai kelemahan fungsi hati. Hal lain yang
harus diperhatikan adalah ekskresi antihistamin generasi II sebagian besar melalui
ginjal (urine) sehingga pemakaiannya harus hati-hati pada penderita kerusakan ginjal.
Pemilihan antihistamin untuk penderita penyakit ginjal sebaiknya mengutamakan
antihistamin yang sebagian besar ekskresinya melalui faeces (mis : Fexofenadine).
3. Belakangan ini dilaporkan adanya efek antihistamin klasik dan generasi II ke jantung
karena dapat menyebabkan perpanjangan interval QT yang dapat berakibat terjadinya
takhikardi ventrikuler. Efek ini dose dependent terutama jika diberikan bersamaan
dengan obat makrolide dan golongan ketokonazole. Perpanjangan interval QT
dihubungkan dengan kejadian torsades de pointes. Contoh antihistamin generasi II
tersebut adalah terfenadin dan astemizol, sehingga pemakaiannya harus sangat hati-
hati terutama bila ada kecurigaan kelainan jantung atau diperlukan obat makrolide dan
golongan ketokonazol pada penderita tsb pada saat yang bersamaan. Di beberapa
negara obat tersebut sudah ditarik dari peredaran
Dewasa ini dipasarkan pula antihistamin pemakaian topikal sebagai obat semprot
hidung yaitu azelastin dan levocobastin. Obat ini bekerja sangat efektif dan bekerjanya
sangat spesifik pada reseptor H1 perifer. Pemakaian topikal memungkinkan
konsentrasi obat yang lebih tinggi di target organ sementara efek samping sistemik
minimal.
Antihistamin klasik mungkin mempunyai efektifitas klinik yang setara dibanding
antihistamin yang baru, tetapi antihistamin generasi baru, khususnya generasi II dan
III harus dipertimbangkan sebagai pilihan pertama untuk pengobatan rinitis alergi,
kecuali jika antihistamin baru sukar/ tidak dapat diperoleh atau tidak terjangkau oleh
penderita. Bila terpaksa menggunakan antihistamin klasik dan generasi II maka
penderita harus diberi penjelasan yang cukup tentang efek samping obat tersebut.
Antihistamin H1 topikal harus diberikan 2 4 kali sehari untuk mendapatkan
efektifitas yang cukup dan pemakaiannya dianjurkan untuk kasus-kasus yang ringan.

Tabel Antihistamin Baru


Nama Dosis Lama Kerja Metabolisme di hati Efek ke jantung

Cetirizine 10mg OD 24 jam tidak tidak


Fexofenadin 120mg OD 24 jam tidak tidak
Loratadin 10mg OD 24 jam ya tidak
Terfenadin 120mg OD 24 jam ya bila diberikan
60 mg BID bersama dengan
makrolide & ketokonazole
Astemizol 10mg OD beberapa hari ya --

5.2.Dekongestan hidung

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 37


Obat-obat dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya pada
reseptor alfa-adrenergik. Ada beberapa sediaan yang dipakai dalam klinik yang dapat
dipakai secara oral maupun topikal:
- agonis alfa-1 adrenergik ( phenyleprin )
- agonis alfa2 adrenergik ( efedrin, pseudoefedrin, amfetamin)
- obat-obat mencegah re-uptake nor-adrenalin ( cocain, phenylpropanolamin )
Pemakaian topikal sangat efektif untuk menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak
efektif untuk keluhan bersin & rinore. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit,
berlangsung kurang lebih 1 jam untuk epineprin dan 8-12 jam untuk oxymetazolin.
Pemakaian oral seperti : ephedrin, phenyleprin, phenylpropanol amin dan
pseudoephedrin.
Efek dekongestan mulai terjadi dalam 30 menit, berlangsung sampai 6 jam atau 8-24 jam
yang berbentuk sustained release. Efektifitasnya lebih lemah dibanding pemakaian topikal,
tetapi pemakaian lama tidak menyebabkan efek rebound vasodilatasi.

Keamanan :
Pemakaian vasokonstriktor topikal dapat menimbulkan rasa hidung terbakar,
kering atau ulserasi mukosa dan bahkan perforasi septum. Pemakaian lebih dari 10 hari
dapat menyebabkan takhyphilaksis, pembengkakan mukosa dan mengakibatkan drug
induce rhinitis ( rinitis medika mentosa ).
Pemakaian sistemik ( dose dependent ) dapat menimbulkan efek samping :
- iritabel, pusing, sakit kepala, tremor dan insomnia.
- takhikardi dapat terjadi pada wanita hamil, hipertensi dan
- kadang-kadang halusinasi.
Pemakaian harus ekstra hati-hati pada :
- penyakit kardiovaskuler ( hipertensi, miokard infark)
- gloucoma, hipertrofi prostat dan ibu hamil
- Karena resiko terjadinya rinitis medikamentosa, pemakaian topikal terbatas < 10 hari
- Pemakaian topikal harus untuk mengatasi obstruksi hidung yang hebat bersamaan
dengan obat lain.
- Pemakaian pada anak-anak < 1th harus sangat hati-hati karena batas yang sempit
antara dosis terapi dan dosis toksik
- Secara umum tidak dianjurkan memberikan resep pada penderita :
- Penderita umur > 60 th, Wanita hamil, Hipertensi, Hipertrofi prostat
- Gloucoma , Kelainan jiwa dan pemakai beta blokers

5.2. Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral


Kombinasi kedua obat ini dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang tidak
dipengaruhi oleh antihistamin.
Tetapi harus diingat bahwa :
- Farmakokinetik kedua obat ini tidak sama dan biasanya diberikan BID.
- Sedikit trial klinik yang menunjukan kelebihannya dibanding dengan pemakaian
antihistamin saja.
- Kombinasi antihistamin sedatif dengan dekongestan oral, efek sedasinya tidak
berkurang karena stimulasi vasokonstriktor.

5. 3. Glukokortikosteroid

Pemberian sistemik
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo steroid
intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung cara ini relatif sedikit dan tidak ada

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 38


penelitian komparatif mengenai cara mana yang lebih baik dan hubungannya dengan dose
response.

Efektifitas dan keamanan :


Glukokortikoid sistemik mempunyai kerja anti-inflamasi yang luas dan efektif untuk
hampir semua gejala rinitis, terutama sumbatan hidung dan tidak dapat membau. Tidak
ada laporan keamanan untuk pemberian depo glukokortikoid ulangan. Pemberian oral
lebih dipilih karena lebih murah, dan dosisnya lebih dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Pemberian depo akan mengakibatkan penglepasan yang terus menerus sepanjang hari dan
menekan HPA- axis dan juga dapat berakibat atrofi jaringan lokal. Pemberian depo
intranasal pada konka yang bengkak dan polip harus dihindari, karena dapat menyebabkan
efek samping yang serius ( kebutaan ).

Kontra indikasi :
Kontra indikasi untuk glukokortikoid sistemik adalah :
- Glaukoma, herpes keratitis, DM, instabilitas psikologis, osteporosis
- hipertensi berat, TBC atau infeksi kronik spesifik.
Sebaiknya dihindari pemakaiannya pada : Anak- anak dan wanita hamil.

Glukokortikoid topikal
Pemakaian topical glukokortikoid berhasil setelah ditemukan sediaan topikal yang
mempunyai eefek anti-inflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada
reseptornya serta bila mencapai hati akan di-deaktifasi dengan cepat sehingga tidak
mencapai sirkulasi sistemik. Dengan demikian sediaan topikal ini tepat untuk pengobatan
rinitis alergi karena dapat dicapai konsentrasi yang tinggi pada reseptornya di mukosa
hidung dengan resiko efek sistemik yang minimal.

Beberapa sediaan glukokortikoid topikal :


- Beclometason propionat
- Budesonide
- Flunisolide
- Triamcinolone acetonide
- Fluticasone propionat
- Mometasone fuorate
Efek anti-inflamasi intranasal karena glukokortikoid pada sel dapat menekan banyak fase
proses inflamasi. Banyak sel yang berperan pada inflamasi alergi di hidung dipengaruhi,
misalnya :
- APC ( sel Langhans): sangat sensitif, dipengaruhi up-take dan prosesnya.
- Jumlah sel APC berkurang secara bermakna setelah pemberian kortikosteroid topical.
- Eosinofil ( terutama intra epithelial) dan produknya juga berkurang secara bermakna.
- Influk basofil dan sel mast di lapisan epitel juga berkurang
- Beberapa sel seperti makrofag dan neutrofil tidak terpengaruh tidak mempunyai
efek samping pada respon imun dan infeksi bakteri.
- Glukokortikoid mengurangi penglepasan pembentukan mediator: histamin,
prostanoids, leukotrien yang mungkin karena berkurangnya sel dalam mukosa.

Efek samping :
Preparat glukokortikoid topikal dapat dipakai dalam waktu lama tanpa atrofi mukosa. Efek
yang dilaporkan :
- rasa kering, terbentuk krusta, epistaksis ringan ( transien), perforasi septum pernah
dilaporkan, efek menekan HPA axis, dilaporkan pada Dexametason topikal, pernah

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 39


dilaporkan menghambat pertumbuhan anak ( beclometason) , pernah dilaporkan
adanya sentral retinopti, pada wanita hamil tidak dilaporkan meningkatnya efek
teratogenik pada pemakaian topikal untuk asma.

Dari meta-analisis, pemakaian glukokortikoid lebih efektif dibanding antihistamin


untuk pengobatan rinitis alergi sedang dan berat. Meskipun demikian dalam klinik harus
dipertimbangkan :
- kesukaan penderita , ketaatan penderita , kemudahan mendapatkan obat
- keterjangkauan obat

5.4. Golongan kromolin


Yang dipakai pada rinitis alergi adalah disodium kromoglikat dan sodium
nedocromil. Efeknya adalah menstabilkan sel mast dari proses degranulasi/ pelepasan
mediator. Efeknya terhadap gejala bersin, rinore lebih baik dari pada terhadap hidung
tersumbat.
- Meskipun efektif kromolin pada rinitis alergi kurang dibanding anti H1.
- Pada anak dan wanita hamil, kromolin dapat dianjurkan pemakaiannya karena sangat
aman.

6. Imunoterapi
Imunoterapi spesifik adalah memberikan allergen yang sesuai dengan hasil tes
kulit, dosisnya secara bertahap dinaikan sampai dosis maksimal yang tidak menimbulkan
serangan/ gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang simptomnya pada
paparan alergen penyebab. Secara klinik imunoterapi pada rinitis alergi terbukti efektif.
Terdapat beberapa cara imunoterapi : injeksi sub kutan, pernasal, sub lingual, oral dan
lokal.
Injeksi sub kutan lebih banyak dipraktekan. Imunoterapi sublingual/ peroral masih
banyak diteliti dan mulai bayak dipakai. Kemungkinan terjadi efek samping anafilaksi
sistemik pada suntikan imunoterapi pada rinitis alergi lebih kecil daripada penderita asma.
Meskipun demikian resiko terjadinya reaksi anafilaksi sitemik mengakibatkan
keterbatasan pengobatan ini. Pemberian imunoterapi spesifik harus diberikan oleh
spesialis yang berpengalaman atau terlatih dan menyadari kemungkinan terjadinya efek
samping sistemik dan mampu untuk mengatasinya bila sewaaktu-waktu terjadi.
Pemberian imunoterapi yang ideal dengan menggunakan cara end point titration ( SET).
Pemberian imunoterapi cara klasik dilakukan dengan memberikan suntikan
allergen dari konsentrasi rendah, dosis rendah secara perlahan, bertahap sampai dicapai
dosis maksimal/ optimal. Kerugian cara ini, mungkin makan waktu yang lebih lama untuk
mencapai dosis maintenance, atau justru mulai dengan dosis yang terlalu tinggi bagi
penderita tersebut sehingga ada resiko reaksi sistemik. Keuntungan dapat dilakukan
dimana saja asal tersedia alergennya, mengetahui tehnik dan menyadari resiko dan tahu
bagaimana mengatasinya.

Imunoterapi alergen spesifik


Indikasi :
1. IT hanya diberikan kepada penderita RA yang mempunyai hasil tes kulit positip dan
alergen yang positip secara klinis ada hubungannya dengan timbulnya gejala RA.
2. IT diberikan pada penderita RA persisten sedang sampai berat yang tidak puas/
berhasil dengan pengobatan medika mentosa.
3. IT diberikan pada penderita yang bersedia berobat dengan teratur dan waktu lama.
4. Penderita yang setuju dengan IT ( informed consent).

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 40


Prosedur Pemberian IT.
1. Metoda suntikan (sub kutan)
2. Dosis dinaikan bertahap setiap minggu / 2X seminggu yang tiap kali naik 0,1cc, sampai
dosis maksimal bisa diterima (1 cc), atau dosis maksimal yang dapat diterima
3. Extrak yang dipilih sesuai hasil tes kulit ( yang hasil baik terhadap mite/ house dust
mite).
4. Jika sudah tercapai dosis optimum/ maksimum dilajutkan dengan dosis maintenance
1 minggu sekali sampai gejala klinis membaik dan stabil atau 10 X. Dilanjutakan
dengan 2minggu sekali . Jika tetap stabil sampai 5X dilanjutkan dengan 1 bulan sekali
sampai total waktu pengobatan 2- 3 tahun .
5. Perhatikan waktu suntikan : kemungkinan terjadi reaksi sistemik saperti waktu tes
kulit. Kemungkinan lebih besar terutama saat menaikan dosis. Jika terjadi reaksi
diatasi seperti pada tes kulit. Jika terjadi reaksi sistemik maka dosis suntikan
selanjutnya diturunkan dan ditetapkan sebagai dosis maksimal.
6. Reaksi sistemik yang paling sering terjadi antara 10-20 menit setelah suntik sehingga
penderita tidak diperkenankan langsun g pulang setelah IT.
7. Selama IT diperbolehkan memberikan obat simptomatik jika perlu. Yang perlu
dihindari adalah steroid sistyemik yang lama (lebih dari 1 minggu).

Imunoterapi hanya boleh dilakukan jika :


1. Jelas disebabkan oleh adanya IgE ( tes kulit atau IgE spesifik)
2. Bila jelas ada hubungan klinis antara hasil tes kulit dan timbulnya gejala
3. Oleh/ atas tanggungjawab dokter karena adanya resiko reaksi anafilaksi.
4. Berat dan lamanya keluhan ( ukuran obyektif seperti gangguan sekolah/ kerja)
perhatikan fungsi paru: penderita asma berat tidak dianjurkan. Untuk pend asaa harus
ada monitoring fungsi paru.
5. Bila respon terhadap pengobatan lain ( farmakoterapi) tidak memuaskan pend.
6. Tersedia vaksin/allergen yang terstandarisasi dan berkualitas.
7. Kontraindikasi relatif : menggunakan beta bloker, terdapat penyakit imunologis,
penderita yang tidak dapat taat berobat
8. Faktor sosial : beaya, pekerjaan penderita

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 41


ALGORITMA
Pilek tidak sembuh-sembuh 4 minggu / lebih.
Hidung gatal, bersin-bersin, ingus encer, hidung tersumbat (bergantian/ hilang timbul)
Riwayat penyakit alergi di bagian tubuh lain, Riwayat alergi keluarga (+)

Rhinoskopi anterior* dan Naso-endoskopi**


Mukosa hidung pucat, sekret cair/tidak ada sekret
Udem / hipertrofi
Ya Tidak Rhinitis lain,
Periksa eosinofil sekret hidung */** Sinusitis?
Bila negatif dan ada gejala, diulang sp.3 x Polip?
Kelainan
Negatif anatomi?
Positif

Tes alergi/tes kulit */**/***


Positif Negatif Test intrakutan **/***

RHINITIS ALERGI Positif Negatif


Ada ko-morbid? NARES

Tidak Kontrol Ko-morbid


Ya terkontrol
RHINITIS ALERGI Comorbid terkontrol
Tanpa comorbid

INTERMITTENT PERSISTENT

Ringan Sedang-Berat Ringan Sedang-Berat

Edukasi + avoidance* Edukasi+avoidance* Edukasi+avoidance*


Antihistamin Antihistamin oral*/AH Steroid topical*
oral/antihistamin + + dekongestan* oral
dekongest oral Steroid topical*
Tidak
terkontrol Tidak Tidak
t terkontrol terkontrol
Steroid topikal*/** t t
Tidak IMUNOTERAPI SPESIFIK*/**/***
terkontrol Dengan/tanpa farmakoterapi
t
Tidak terkontrol
Keterangan:
* RS.Kabupaten
t
EVALUASI ULANG
** RS Provinsi/
RS Pendidikan Sp.THT
**/***
atau bila tersedia di apotik Dikutip dari Guideline Penyakit THT di Indonesia, PIT Perhati-KL,2001 dan
*** RS rujukan Nasional dimodifikasi lay-outnya tanpa mengubah substansi dan alurnya (Purnaman
S.Pandi dan Damayanti Soetjipto)

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 42


Pilek tidak sembuh-sembuh 4 minggu / lebih.
Hidung gatal, bersin-bersin, ingus encer, hidung tersumbat (bergantian/ hilang timbul)
Riwayat penyakit alergi di bagian tubuh lain, Riwayat alergi keluarga (+)

Rhinoskopi anterior* dan Naso-endoskopi**


Mukosa hidung pucat, sekret cair/tidak ada sekret
Udem / hipertrofi
Ya Tidak Rhinitis lain,
Periksa eosinofil sekret hidung */** Sinusitis?
Bila negatif dan ada gejala, diulang sp.3 x Polip?
Kelainan
Negatif anatomi?
Positif

Tes alergi/tes kulit */**/***


Positif Negatif Test intrakutan **/***

RHINITIS ALERGI Positif Negatif


Ada ko-morbid? NARES
Tidak Kontrol Ko-morbid
Ya terkontrol
RHINITIS ALERGI Comorbid terkontrol
Tanpa comorbid

INTERMITTENT PERSISTENT

Ringan Sedang-Berat Ringan Sedang-Berat

Edukasi + avoidance* Edukasi+avoidance* Edukasi+avoidance*


Antihistamin Antihistamin oral*/AH Steroid topical*
oral/antihistamin + + dekongestan* oral
dekongest oral Steroid topical*
Tidak
terkontrol Tidak Tidak
t terkontrol terkontrol
Steroid topikal*/** t t
Tidak IMUNOTERAPI SPESIFIK*/**/***
terkontrol Dengan/tanpa farmakoterapi
t
Tidak terkontrol
Keterangan:
* RS.Kabupaten
t
EVALUASI ULANG
** RS Provinsi/
RS Pendidikan Sp.THT
**/***
atau bila tersedia di apotik Dikutip dari Guideline Penyakit THT di Indonesia, PIT Perhati-KL,2001 dan
*** RS rujukan Nasional dimodifikasi lay-outnya tanpa mengubah substansi dan alurnya (Purnaman
S.Pandi dan Damayanti Soetjipto)

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 43


KEPUSTAKAAN MATERI BAKU

1. John H Krause, Stephen J Chadwick, Bruce R Gordon, M Jennifer Derebery . Allergy and
Immunology An Otolaringic approach, Lippincott Williams & Wilkins A Walters Kluwer
Co, Philadelphia. Baltimore. New York. London 2002 part I, II, III and V.
2. Byron J Bailey . Head and Neck Surgery Otolaryngology , Lippicontt Williams &
Wilkins A Wolter Kluwer Co. Philadhelpia 2001 p 274-290.
3. Niels Mygind . NASAL ALLERGY Blackwell Scientific Publications,Second edition 1978.
4. Couwenberge P, Bachert C, Passalacqua G, Bousquet J, Canonica GW, Durham SR, at al.
Position paper : Consensus statement on the treatment of allergic rhinitis Allergy 2000 ;
55: 116-134.
5. Bosquet J, van Cauwenberge P, Khaltaev N. Allergic rhinitis and its impact on asthma J
Allergy Clin Immunol 2001; 108 : S 147-334.
6. Baraniuk JN. Pathogenesis of Allergic rhinitis J Allergy Clin Immunol 1997; 99: S763-72.
7. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology Philadelphia: WB
Saunders Co; 1991.
8. Lund VJ. Definition and classification of Rhinitis Allergy 1994; Suppl 19 : 5- 34.
9. Nalbone VP, Naclerio RM. Allergy and Immunology In Bailey BJ, Pillsbury III HC, Driscoll
BP, editors, Head and Neck Surgery Otolaryngology. Second edit Philadelphia :
Lippincot-Raven 1998: 101-116.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Rinitis Alergi | 44


BUKU MODUL 4

MODUL RADANG TELINGA TENGAH

EDISI I

BAGIAN
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAHKEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL
PADANG - 2016
WAKTU

Mengembangkan kompetensi Hari:


Waktu:
Sesi dalam kelas
Seksi praktik dan pencapaian 2 x 60 menit (kuliah/ diskusi)
kompetensi 4 minggu

PERSIAPAN SESI

Materi presentasi: RADANG TELINGA TENGAH


o 1: Anatomi telinga o 12 & 13 : Diagnosis OMSK
o 2: Etiologi otitis media o 14-17 : Pengobatan OMSK
o 3: Patogenesis otitis media o 18 & 19 : Komplikasi OMSK
o 4: Otitis media akut o 20-25 : Algoritma OMSK
o 5 : Timpanosentesis
o 6 & 7 : OMSK
o 8 : Patogenesis OMSK
o 9 : Jenis OMSK
o 10 & 11 : OMSK tipe bahaya

Kasus
o Kasus : Otitis Media Akut stadium perforata

REFERENSI

1. Bailey B. J, Johnson J. T Middle ear and Temporal Bone Trauma in Head and Neck
Surgery-Otolaryngology, Fourth edition, Volume two, Lippincott Wilkins, 2006
2. Lee K.J, Trauma in Otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver Science
Publishers, 1989
3. Scott & Brown

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 46


KOMPETENSI

Mampu membuat diagnosis radang telinga tengah berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan-pemeriksaan tambahan.

Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan anatomi , topogarafi, fisiologi telinga
2. Menjelaskan etiologi dan macam-macam radang telinga tengah
3. Menjelaskan patofisiologi, gambaran klinis, dan terapi radang telinga tengah
4. Menjelaskan pemeriksaan penunjang diagnosis
5. Menjelaskan komplikasi dan radang telinga tengah
6. Menjelaskan teknik operasi pada radang telinga tengah dan komplikasinya
7. Melakukan perencanaan tatalaksana penderita radang telinga tengah
8. Melakukan terapi awal terhadap radang telinga tengah

GAMBARAN UMUM

Radang telinga tengah atau yang sering disebut sebagai otitis media adalah inflamasi/
peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah. Banyak klasifikasi otitis media
yang diajukan oleh para ahli. Secara mudah otitis media dibagi menjadi otitis media
supuratif dan otitis media non supuratif. Dari segi waktu, otitis media terdiri atas otitis
media akut dan kronis. Kejadian otitis media dipengarhi oleh berbagai faktor, antara lain
usia, gizi, tingkat sosio-ekonomi, faktor imunitas dan kekerapan menderita infeksi saluran
napas atas (ISPA).

Otitis media akut (OMA) terdiri atas beberapa stadium, yaitu stadium oklusi tuba, stadium
hiperemis, stadium supurasi, stadium perforasi, dan stadium resolusi. Tanda dan gejala
klinik tergantung dari stadium OMA. Apabila tidak mengalami penyembuhan yang
sempurna penyakit ini dapat berlanjut enjadi otitis media efusi (OME) atau otitis media
supuratif kronik (OMSK). OMSK terdiri atas 2 tipe, yaitu OMSK tipe aman (tipe mukosa/
tipe jinak) dan OMSK tipe bahaya (tipe tulang). OMSK tipe bahaya ditandai dengan adanya
kolesteatoma.

Diagnosis otitis media ditegakkan berdasarkan pemeriksan otoskopi/ otomikroskopi.


Komplikasi gangguan pendengaran dapat diketahui dengan pemeriksaan penala serta
pemeriksaan audiometri. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan radiologi baik
konvensional maupun tomografi komputer dapat membantu memvisualisasikan derajat
destruksi tulang.

Komplikasi otitis media antara lain komplikasi intratemporal dan intrakranial. Komplikasi
intratemporal yang dapat terjadi adalah gangguan pendengaran, destruksi tulang dan
paresis fasialis. Sedangkan komplikasi intrakranial dapat berupa meningitis, ensefalitis,
hidrosefalus dan trombosis sinus lateralis. Tatalaksana otitis media dapat berupa terapi
konservatif maupun operatif

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 47


CONTOH KASUS

Kasus 1.
Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa orang tuanya ke Instalasi Gawat Darurat
pada malam hari dengan keluhan keluar cairan dari telinga kiri sejak 2 hari. Pasien
menderita batuk pilek sejak 1 minggu dan demam tinggi 3 hari yang lalu. Keadaan umum
pasien saat datang: kompos mentis, subfebris. Pemeriksaan otoskopi kanan liang telinga
lapang, membran timpani utuh, hiperemis. Sedangkan telinga kiri: terdapat sekret mukoid
di liang telinga kiri dan terdapat perforasi sentral pada membran timpani.

Diskusi :
1. Lengkapkan anamnesis pada pasien ini
2. Lengkapkan pemeriksaan fisik pada pasien ini
3. Apa diagnosis kerja yang paling mungkin untuk pasien ini
4. Jelaskan patogenesisinya
5. Apa komplikasi yang mungkin terjadi
6. Bagaimana penatalaksaan pada pasien ini

Jawaban :
1. Perlu ditanyakan apakah keluhan ini timbul pertama kali ataukah berulang-ulang.
Adakah kemungkinan terjadi gangguan dengar pada anak ini. Apakah penderita
sering bernafas melalui mulut.
2. Bagaimana ukuran tonsil, bila mungkin dilihat ukuran adenoid. Bagaimana keadaan
cavum nasi. Adakah tanda-tanda infeksi pada hidung.
3. Diagnosis kerja untuk pasien ini adalah otitis media akut perforata
4. Gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor utama awal terjadinya otitis
media. Pada gangguan tersebut fungsi tuba sebagai equalizer, proteksi telinga
tengah, dan fungsi ventilasi tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian kan
terjadi tekanan negatif di telinga tengah, yang menyebabkan transudasi cairan
hingga supurasi.
5. Dapat terjadi komplikasi intrakranial seperti meningitis.
6. Pada pasien ini diberikan antibiotila yang sesuai berdasarkan kuman penyebab
terbanyak infeksi primer (hidung). Stadum Perforasi : di berikan H2O2 3% selama
3-5 hari dan diberilan antibiotika.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Pembelajaran materi ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, ketrampilan dan


perilaku yang terkait dengan kompetensi yang diperlukan, yaitu:
1. Menguasai anatomi, topografi, fisiologi telinga
2. Mampu menjelaskan etiologi dan macam-macam radang telinga tengah.
3. Mampu menjelaskan patofisiologi, komplikasi, gambaran klinis, serta mendiagnosis
kasus radang telinga tengah.
4. Dapat membuat perencanaan tatalaksana penderita radang telinga tengah (follow-
up selanjutnya).
5. Mampu menjelaskan komplikasi dan penanganan radang telinga tengah

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 48


METODE PEMBELAJARAN

Tujuan 1. Menguasai anatomi, topografi, dan fisiologi telinga


Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Belajar mandiri
Kuliah
Diskusi kelompok

Harus diketahui :
Anatomi telinga
Fisiologi telinga

Tujuan 2. Mampu menjelaskan etiologi, patofisiologi dan macam-macam radang


telinga tengah.
Belajar mandiri
Kuliah
Diskusi kelompok

Harus diketahui :
Etiologi dan predisposisi
Patofisiologi
Patogenesis penyakit

Tujuan 3. Mampu menjelaskan gambaran klinis, diagnosis, serta komplikasi kasus


radang telinga tengah.
Belajar mandiri
Kuliah
Diskusi kelompok
Visite bedside teaching
Praktik pada pasien

Harus diketahui :
Gejala (keluhan pasien)
Tanda klinis penyakit
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis kerja dan diagnosis definitive
Komplikasi penyakit
Patofisiologi komplkasi

Tujuan 4. Dapat membuat perencanaan tatalaksana penderita radang telinga


tengah
Belajar mandiri
Kuliah
Diskusi kelompok
Visite bedside teaching
Praktik pada pasien

Harus diketahui :
Tatalaksana pasien baik non pembedahan maupun pembedahan
Keperluan konsultasi dalam tatalaksana

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 49


Tujuan/ goal tatalaksana

Tujuan 5. Mampu menjelaskan komplikasi dan penanganan radang telinga tengah


Belajar mandiri
Kuliah
Grup diskusi
Visite bedside teaching
Workshop/ pelatihan
Bimbingan operasi dan asistensi
Praktik pada pasien
Continuing professional development

Harus diketahui :
Komplikasi dan tanda-tandanya
Tatalaksana komplikasi
Minimalisasi komplikasi

EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre test dalam bentuk tertulis sesuai dengan
tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang dimiliki
peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri
atas :
- Anatomi dan fisiologi telinga
- Penegakan diagnosis
- Teknik operasi
- Follow up
2. Selanjutnya dilakukan small group discussion bersama dengan fasilitator untuk
membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan
dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh pada saat bedside teaching
dan proses penilaian.
3. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan
penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan pasien,
dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
4. Pendidik/ fasilitas :
- pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist form (terlampir)
- penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi
- Kriteria penilaian keseluruhan : cakap/ tidak cakap/ lalai
5. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang
dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education)
6. Pencapaian pembelajaran :
- Ujian akhir stase.
- Ujian akhir kognitif, dilakukan pada akhir tahapan THT

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 50


MATERI PRESENTASI

LCD 1 : Anatomi Telinga

Anatomi

LCD 2 : Etiologi otitis media

Etiologi

INFEKSI

DISFUNGSI
ANATOMI/
PEJAMU FISIOLOGI

OME

ALERGI LINGKUNGAN

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 51


LCD 3 : Patogenesis otitis media

Patogenesis

Obstruksi Tuba Eustachius

Fungsional Mekanik

Intrinsik Ekstrinsik

Inflamasi :
Virus Hipertrofi
Bakteri Adenoid
KNF
ALERGI

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 52


Timpanosintesis:
Mengambil sekret
dari telinga tengah
pemeriksaan
mikrobiologi

Miringotomi:
melubangi membran
timpani untuk
mengeluarkan sekret
di telinga tengah

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 53


LCD 4 : Otitis media akut

LCD 5 : Timpanosentesis

OTITIS MEDIA SUPURATF KRONIK


Peradangan mukosa telinga tengah disertai keluar
cairan dari telinga tengah melalui perforasi
membran timpani (gendang
(gendang telinga berlubang)
berlubang)
Cairan mungkin encer atau kental, bening
atau berupa nanah
Cairan keluar dapat terus menerus atau
hilang timbul
Congek = kopok = toher = curek

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 54


LCD 6 : OMSK

LCD 7 : OMSK

JENIS OMSK

OMSK TIPE JINAK/ MUKOSA

OMSK TIPE MALIGNA/ BERBAHAYA/ TULANG

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 55


LCD 8 : Patogenesis OMSK

Tipe jinak Tipe bahaya

LCD 9 : Jenis OMSK

OMSK tipe bahaya

Perforasi di attik atau marginal


Bau sekret khas
Destruksi tulang
Komplikasi:
ekstrakranial: gangguan pendengaran, paresis n.
fasialis
intrakranial (abses otak, meningitis hidrosefalus, dll)

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 56


LCD 10 : OMSK tipe bahaya

LCD 11 : OMSK tipe bahaya

Diagnosis OMSK

Riwayat otorea kronis lebih dari 2 bulan


Otorea bisa terus menerus atau hilang timbul
(intermittent)
Otoskopi: perforasi membran timpani
Audiometri nada murni:
Tuli konduktif
Tuli campur
Tuli saraf

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 57


LCD 12 : Diagnosis OMSK

Diagnosis OMSK

Pemeriksaan rontgen mastoid posisi Schuller bukan


pemeriksaan rutin, kalau dilakukan akan dapat
menilai tingkat perkembangan pneumatisasi mastoid
dan dapat menggambarkan perluasan penyakit.
CT scan: high resolution
Pemeriksaan mikrobiologi sekret telinga, apabila
dapat dilakukan akan sangat membantu menentukan
antibiotik yang sesuai, tetapi pengobatan dengan
antibiotik lini pertama tidak harus menunggu hasil
pemeriksaan ini.

LCD 13 : Diagnosis OMSK

PENGOBATAN

OMSK tipe jinak:


jinak:
Konservatif
Operatif
OMSK tipe bahaya:
bahaya:
Operatif

Tujuan pengobatan:
Mengeradikasi infeksi
Mencegah komplikasi
Memperbaiki pendengaran

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 58


LCD 14 : Pengobatan OMSK

Secara umum

Pengobatan OMSK tetap harus melihat keadaan


kasus per-
per-kasus.
kasus.
Harus diusahakan drainase sekret secara optimal.
Penampilan sekret yang keluar:
keluar:
- berwarna hijau kebiruan Pseudomonas
- kuning pekat Staphylococcus,
- berbau busuk sering kali mengandung golongan
anaerob.
anaerob.

LCD 15 : Pengobatan OMSK

Operasi

Tujuan:
Tujuan:
Eradikasi infeksi telinga kering
Mencegah komplikasi
Dengan/
Dengan/ tanpa rekonstruksi pendengaran

Yang mempengaruhi rekurensi:


rekurensi:
Sifat kolesteatoma (anak,
anak, dewasa)
dewasa)
Operasi hasil operasi
Teknik,
Teknik, operator, fasilitas

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 59


LCD 16 : Pengobatan OMSK

LCD 17 : Pengobatan OMSK

KOMPLIKASI OMSK

Ketulian
Kelumpuhan saraf wajah
Infeksi otak 7,5%
meningitis
ensefalitis
Hidrosefalus
trombosis sinus lateralis
Kematian (akibat OMSK tipe bahaya)
bahaya)

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 60


LCD 18 : Komplikasi OMSK

Komplikasi Intra Temporal

N. VII Labirinitis Petrositis Tromboflebitis


Abses sinus lateral
subperiosteal Fistel labirin

Antibiotik dosis Antibiotik dosis CT scan CT scan


tinggi + tinggi +
mastoidektomi + mastoidektomi
Dekompresi saraf
Antibiotik dosis Antibiotik dosis
tinggi + tinggi +
Antibiotik dosis mastoidektomi + mastoidektomi
tinggi + Petrosektomi
mastoidektomi

Pemilihan antibiotik idealnya


berdasarkan pemeriksaan mikrobiologik
dan tes sensitifitas kuman

LCD 19 : Komplikasi OMSK

Otore kronis

Otoskopi

MT utuh MT perforasi

OMSK

Onset, progresifitas,
predisposisi, penyakit
sistemik, fokus infeksi,
riwayat pengobatan

Komplikasi - Komplikasi +
kolesteatom - kolesteatom
(OMSK benigna)
+
(OMSK bahaya)
OE difus
Otomikosis
Dermatitis eksim Lihat Lihat
OE maligna Lihat
algoritma 1 algoritma 2 algoritma 3
Miringitis granulomatosa

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 61


LCD 20 : Algoritma

kolesteatom -
Algoritma
(OMSK benigna)
1

OMSK OMSK aktif


Stimulasi tenang Cuci telinga, Antib. Topikal,
epitelialisasi Antibiotik sist.
tepi perforasi
Otore menetap
Perforasi Perforasi
menutup > 1 minggu Antib.
menetap Berdasarkan
PemeriksaanMO
Ro. Mastoid
Tuli (Schuller x-ray)
konduk Tuli Menetap > 3 bulan
Audiogram
tif - konduktif +

Ideal: timpanoplasti dengan atau


tanpa mastoidektomi Ideal: mastoidektomi+ timpanoplasti

Figure 1

LCD 21 : Algoritma

Algoritma 2
kolesteatoma +
(OMSK bahaya)

OMSK tipe bahaya bersifat progresif,


Pilihan
kolesteatom yang semakin luas akan
mendestruksi tulang yang dilewatinya. Atikotomi anterior
Timpanoplasti dinding utuh (Canal wall up
Infeksi sekunder akan menyebabkan tympanoplasty)
keadaan septik lokal dan Timpanoplasti dinding runtuh (canal wall
down tympanoplasty)
nekrosis septik di jaringan lunak yang
dilalui kolesteatom dan di jaringan Atticoantroplasti
sekitarnya juga menyebabkan destruksi Dan sebagainya
jaringan lunak yang mengancam akan
terjadinya komplikasi-komplikasi.
Satu-satunya cara pengobatan adalah
bedah

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 62


LCD 22 : Algoritma

Algoritma 3
OMSK +KOMPLIKASI

INTRA INTRA
KRANIAL TEMPORAL

Abses ekstra dura


Abses subperiosteal
Abses subdura
Paresis fasial
Tromboflebitis sinus lateral
Labirinitis
Meningitis
Petrositis
Abses otak
Meningitis otikus
Lihat algoritma 5
Lihat algoritma 4

LCD 23 : Algoritma

PROTOKOL PENATALAKSANAAN PASIEN OMSK DENGAN


Algoritma KECURIGAAN KOMPLIKASI INTRA KRANIAL 16
Rawat inap
4 Periksa sekret telinga
Antibiotik dosis tinggi intravena 7-15 hari, obat ajuvan
Konsul spesialis saraf/saraf anak
CT scan+kontras

CT scan tidak dapat dilakukan


Abses intrakranial
Hidrosefalus otitik - Abses intrakranial
Hidrosefalus otitik
+ Pengobatan medikamentosa bersama
spesialis Bedah Saraf

Keadaan Keadaan Konsul


Umum Umum Bedah Saraf KU Mastoidekto- KU Mastoidekto-
baik buruk baik mi dalam buruk mi dalam
bius umum bius lokal
Mastoidekto- Pertimbangkan
mi dalam mastoidektomi Bedah Saraf tidak operasi
bius umum dalam bius
lokal
Medikamentosa 1-2 bln, monitor
Bedah Saraf: operasi perkembangan komplikasi
dengan CT scan tiap 1 2 minggu

KU baik KU buruk
Mastoidektomi Mastoidekto- Pertimbangkan
bersama bedah Mastoidektomi mi dalam mastoidektomi
saraf kemudian bius umum dalam bius
lokal

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 63


LCD 24 : Algoritma

Pengobatan OMSK dengan sangkaan


komplikasi intrakranial

Ampicillin I.V. 200-400 mg. / Kg. /hari


Chloramphenicol I.V. 4x 1-1.5 g / hari (dewasa)
Metronidazol 3x 500 mg. /hari (prn)
Gentamycin 3-5 mg / kg BB / hari dalam 3
dosisi bila kuman penyebabnya P. aeruginosa.
Kortikosteroid, diamox, mannitol, antituberkulosis bila
dianjurkan oleh bagian Kesehatan Anak atau Bagian
Penyakit Dalam.
Sulfametoxazole + trimetoprim menggantikan ampicillin
pada kasus alergi penisilin.
Sefalosporin generasi ke 3 menggantikan ampisilin dan
chloramphenikol bila demam menetap.

MATERI BAKU

Otitis Media Akut

Definisi
Peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum
mastoid dan sel mastoid. Secara mudah otitis media dibagi atas otitis media non supuratif
dan otitis media supuratif. Dari segi waktu, otitis media dibagi menjadi otitis media akut
dan otitis media kronik.

Ruang Lingkup
Faktor Presdiposisi
Otitis media akut terjadi karena
1. Pertahanan tubuh terganggu
2. Sumbatan tuba Eustachius
3. Infeksi saluran napas atas
4. Bentuk anatomi tuba
5. Alergi

Patogenesis
Gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor utama awal terjadinya otitis
media. Pada keadaan tersebut fungsi tuba sebagai equalizer, proteksi telinga tengah, dan
fungsi ventilasi tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan demikian akan terjadi tekanan
negatif di telingah tengah, yang menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi.
OMA terdiri atas beberapa stadium, yaitu (1) stadium oklusi tuba; (2) stadium
hiperemis (presupurasi); (3) stadium supurasi; (4) stadium perforasi; (5) stadium resolusi.
Keluhan dan gejala klinik tergantung dari stadium tersebut.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 64


Gejala Klinis
1. Rasa nyeri dalam telinga (otalgia)
2. Demam
3. Riwayat batuk dan pilek
4. Rasa penuh ditelinga atau kurang dengar

Terapi
Tergantung dari stadiumnya
1. Stadium Oklusi : diberikan obat tetes hidung HCL efedrin 0,5%, pemberian antibiotik.
2. Stadium Presupurasi : analgetika, antibiotika (biasanya golongan ampicillin atau
penisilin) dan obat tetes hidung.
3. Stadium Supurasi : diberikan antibiotika dan obat-obat simptomatik. Dapat juga
dilakukan miringotomi bila membran timpani menonjol.
membran timpani masih utuh untuk mencegah perforasi.
4. Stadium Perforasi : Diberikan H2O2 3% selama 3-5 hari dan diberikan antibiotika
yang adekuat.

Komplikasi
1. Absess subperiosteal
2. Meningitis
3. Abses Otak

Daftar Pustaka

1. Lee. K. J, Infections of the ear in otolaryngology Head and Neck Surgery, Mc Graw-Hill
Companies North America 2003, P: 474
2. Ballenger J.J, Peradangan Akut Telinga Tengah dalam Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher, Jilid dua, Edisi 13, bina rupa aksara, Jakarta, 1997, h: 385.
3. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Penyakit Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok Edisi keenam. Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2007. h: 64-77.

Otitis Media Supuratif Kronis (Omsk)

Definisi
Infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar
dari telinga tengah lebih dari 2 bulan, terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin
encer atau kental, bening atau berupa nanah .

Ruang lingkup
OMSK terdiri dari 2 tipe yaitu: tipe aman ( tipe tubotimpanal/ tipe mukosa) dan tipe
bahaya (tipe atikoantral, tipe tulang).

1. OMSK tipe aman


Proses peradangan terbatas pada mukosa saja dan biasanya tidak mengenai tulang.
Perforasi terletak di sentral, jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK
tipe ini tidak terdapat kolesteatoma. Pada OMSK tipe aman terdiri atas fase tenang (kering)
dan fase aktif.

Pemeriksaan penunjang

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 65


Kultur dan tes resistensi, foto mastoid (posisi Schuller), CT scan temporal (jika perlu dan
memungkinkan), dan audiometri.

Terapi
Konservatif, bila sekret keluar terus menerus dapat diberi H2O2 3 %, antibiotik, obat tetes
telinga (dengan pertimbangan).

Indikasi operasi
Bila perforasi masih menetap setelah 3 bulan pengobatan medikamentosa maka idealnya
dapat dilakukan operasi, yaitu timpanoplasti dengan atau tanpa mastoidektomi. (Lihat
Algoritma 1 dan 2)

2. OMSK tipe atikoantral


OMSK ini ditandai dengan perforasi yang letaknya marginal atau di atik, dapat mengenai
tulang, disertai dengan kolesteatoma, sering menimbulkan komplikasi berbahaya.

Pemeriksaan penunjang
Kultur dan tes resistensi, foto mastoid (posisi Schuller), CT scan temporal (jika perlu dan
memungkinkan), dan audiometri.

Terapi
Operasi (Algoritma 3)

Komplikasi
Intrakranial: Abses ekstradural, abses subdural (empiema), tromboflebitis sinus
sigmoudeus/sinus lateral, meningitis, abses otak, hidrosefalus otitis
Intratemporal: Gangguan pendengaran, paralisis fasial, labirinitis.

Tatalaksana OMSK tipe bahaya dengan komplikasi intrakranial dapat dilihat di Algoritma 4.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 66


LCD 25 : Algoritma

PROTOKOL PENATALAKSANAAN PASIEN OMSK DENGAN


Algoritma KECURIGAAN KOMPLIKASI INTRA KRANIAL 16
Rawat inap
4 Periksa sekret telinga
Antibiotik dosis tinggi intravena 7-15 hari, obat ajuvan
Konsul spesialis saraf/saraf anak
CT scan+kontras

CT scan tidak dapat dilakukan


Abses intrakranial
Hidrosefalus otitik - Abses intrakranial
Hidrosefalus otitik
+ Pengobatan medikamentosa bersama
spesialis Bedah Saraf

Keadaan Keadaan Konsul


Umum Umum Bedah Saraf KU Mastoidekto- KU Mastoidekto-
baik buruk baik mi dalam buruk mi dalam
bius umum bius lokal
Mastoidekto- Pertimbangkan
mi dalam mastoidektomi Bedah Saraf tidak operasi
bius umum dalam bius
lokal
Medikamentosa 1-2 bln, monitor
Bedah Saraf: operasi perkembangan komplikasi
dengan CT scan tiap 1 2 minggu

KU baik KU buruk
Mastoidektomi Mastoidekto- Pertimbangkan
bersama bedah Mastoidektomi mi dalam mastoidektomi
saraf kemudian bius umum dalam bius
lokal

Timpanomastoidektomi

Definisi
Mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy) adalah tindakan membuka korteks
mastoid dari arah permukaan luarnya, membuang jaringan patologis seperti tulang yang
nekrotik atau jaringan lunak serta jaringan granulasi.

Ruang Lingkup
Terdapat OMSK yaitu radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan
riwayat keluarnya sekret dari telinga (otore) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau
hilang timbul. Juga dapat dilakukan pada eksplorasi kasus mastoiditis koalesen yang tidak
memberikan respons baik dengan terapi konservatif.

Indikasi Operasi
- OMSK tipe aman, dengan perforasi menetap lebih dari 3 bulan dengan keadaan keluar
cairan berulang dan gangguan pendengaran
- Mastoiditis koalesen
- Abses subperiosteal retroaurikular

Kontra Indikasi Operasi


- Pada only hearing ear
- Pada telinga yang secara signifikan lebih baik sedang pendengaran kontralateral tidak
dapat ditolong dengan alat bantu dengar.
- Pasien dengan risiko apabila dilakukan pembedahan
- Keadaan yang tidak memungkinkan dilakukan perawatan pascaoperasi dengan baik
- Otitis eksterna maligna
- Tumor telinga

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 67


Pemeriksaan Penunjang
- Audiometri nada murni, dapat disertai audiometri tutur
- Foto mastoid (Schuller)
- CT scan temporal (jika perlu dan memungkinkan)
- Kultur dan tes sensitivitas sekret telinga

Teknik Operasi
- Digunakan anestesi umum. Dapat dilakukan dengan anestesi lokal jika anestesi umum
dikontraindikasikan.
- Dapat dilakukan insisi endaural. Insisi retroaurikular memberikan pemaparan yang
lebih baik.
- Mastoidektomi superfisialis:
Bor korteks mastoid dengan landmark segitiga Mc Ewen, dengan mengidentifikasi
dinding posterior liang telinga, linea temporalis dan spina Henle. Identifikasi tegmen
timpani, tegmen mastoid, sinus sigmoid dan kanalis semisirkulatis lateralis
Mastoidektomi dalam
- Identifikasi aditus ad antrum, fosa inkudis, solid angle dan N. Fasialis pars vertikal.
Bila ada jaringan patologis/ jaringan granulasi dibersihkan
- Identifikasi inkus, inkudimaleolar join dan maleus serta periksa mobilitas osikel dan
patensi aditus ad antrum. Bila perlu dilakukan timpanotomi posterior.
- Pasang tandur yang sudah disiapkan dengan salah satu teknik pemasangan graft
(inlay, underlay, overlay, inlay-underlay), sesuai dengan tipe timpanoplasti yang
dilakukan
- Diletakkan tampon liang telinga yang sudah dilapisi oleh salep antibiotik, yang
terdiri atas tampon dalam dan tampon luar.
- Luka operasi ditutup dengan jahitan lapis demi lapis
- Bila perlu dipasang pipa salir di daerah insisi

Komplikasi
- Paralisis fasial
- Cedera sinus (sinus sigmoid, sinus petrosal superior dan bulbus jugularis)
- Cedera dura
- Subluksasi inkus
- Ekstraksi inkus
- Tuli nada tinggi traumatik
- Anakusis
- Stenosis meatal
- Fiksasi tulang maleus dan inkus

Perawatan Poscaoperasi
- Verban mastoid diganti setiap hari
- Drain dilepas apabila sudah tidak ada darah
- Pemberian antibiotik sesuai kultur dan tes resistensi hingga
- Pasien meninggalkan rumah sakit segera setelah drain dilepas.
- Jahitan dibuka pada hari ke 6-7 atau setelah luka operasi kering
- Tampon dalam dikeluarkan setelah 1-2 minggu

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 68


Daftar Pustaka
1. Tos, M. Mannual of Middle Ear Surgery, Vol. 2, Thieme Medical Publishers Inc. New
York, 1993, 96-105
2. Johnson, GD; Simple Mastoid Operation, dalam Glascock-Shambaughs Surgery of the
Ear, 5th edition, BC Decker Inc. Ontario, 2003, 487-97.
3. Frootko, NJ. Reconstruction of the Middle Ear, dalam Scott Browns Otolaryngology,
Vol.3, 6th edition, Butterworth Heinemann, Oxford, 1997, 3/11/1-25.
4. Helmi, Otitis Medis Supuratif Kronis, Balai Penerbit FK-UI, Jakarta, 2005, 147-150

Mastoidektomi Modifikasi

Kompetensi
Dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan mastoidektomi modifikasi
(konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi dan sebagainya).
Selain itu selama pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan
mastoidektomi modifikasi.

Definisi
Modifikasi dari mastoidektomi radikal dengan mempertahankan pendengaran yang masih
tersisa

Indikasi
Kolesteatoma dengan otore yang kronis atau berulang dimana fungsi koklea yang tersisa
adalah hal yang dipertimbangkan dari timpanoplasti masa depan dan ketika exteriorisasi
kolesteatoma diinginkan.
Pada kasus-kasus dengan kolesteatoma pada atik, antrum atau prosesus mastoid.

Anestesi
Biasanya dilakukan dengan anestesi umum. Anestesi lokal bisa dilakukan pada kasus-kasus
yang tidak memungkinkan pasien dibius.

Teknik operasi
1. Insisi postaural atau endaural
2. Retraksi jaringan lunak dan memaparkan daerah mastoid. Daerah mastoid mulai dari
pangkal posterior tulang zigoma sampai ke belakang sudut suprameatal dan diatas
linea temporalis sampai ke bagian bawah tip mastoid dibuka dengan cara mengelevasi
periosteum dan meretraksi luka insisi.
3. Mengangkat tulang dan membuka atik dan antrum. Dengan bantuan bor tulang
diangkat dari daerah sudut supra meatal, spine of henle, pangkal tulang zigoma sampai
ke bagian atas dinding anterior meatus, bagian atas dinding superior meatus juga
diruntuhkan. Tindakan ini akan memaparkan daerah antrum dan atik. Kemudian
dilakukan identifikasi daerah tegmen mastoid dan kanalis semi sirkularis.
4. Angkat jaringan patologis. Kolesteatoma, granulasi dan mukosa yang tidak sehat
diangkat. Inkus dan kepala dari maleus perlu untuk diangkat apabila kolesteatoma
meluas ke arah medial, tetapi sedapat mungkin dipertahankan.
5. Facial ridge direndahkan
6. Kavum mastoid dihaluskan dengan bor pemoles, kemudian irigasi dengan normal
saline.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 69


7. Rekonstruksi mekanisme pendengaran. Pars tensa dari membran timpani dan telinga
tengah apabila sehat, dibiarkan/tidak diganggu. Bila penyakit meluas ke telinga tengah,
hanya jaringan ireversibel yang dibuang. Rekonstruksi dari membran timpani atau
rantai osikel, apabila rusak dapat dilakukan (mastoidektomi dengan timpanoplasti)
8. Meatoplasti dan penutupan luka operasi sama pada mastoidektomi radikal.

Komplikasi operasi
Cedera nervus fasialis.
Perikondritis daun telinga.
Kebocoran dura atau sinus sigmoid.
Labirintitis
Trauma telinga dalam

Pemeriksaan penunjang
1. Kultur dan tes resistensi
2. Rontgen Mastoid
3. CT scan temporal (jika perlu dan memungkinkan)
4. Audiometri nada murni, dapat disertai audiometri tutur

Perawatan pascabedah
Perban mastoid (perban melingkari kepala) dibuka keesokan harinya, diganti dengan
perban biasa yang menutup luka operasi dan liang telinga. Perban tersebut dibuka pada
hari ke 7 sekaligus buka jahitan kulit. Tampon liang telinga bagian luar sebaiknya diangkat
sekalian, tampon liang telinga dalam diangkat pada minggu ke 2.
Setelah itu, bila dianggap perlu pasien diinstruksikan meneteskan obat tetes telinga
pada malam hari. Pemberian antibiotik oral pasca operasi tergantung tanda-tanda infeksi
yang ditemukan waktu operasi dan lamanya operasi serta keyakinan operator terhadap
bersihnya lingkungan tempat operasi dilakukan.

Follow-up
Evaluasi operasi dipantau secara periodik 1mingu pascaoperasi, 2 minggu, 4 minggu, 6
minggu, 8 minggu dan 12 minggu. Selanjutnya setiap 6 bulan-tahun sekali untuk mencegah
terjadinya debris dan infeksi. Audiometri nada murni dilakukan setelah 2 3 bulan
pascaoperasi.

Daftar Pustaka
1. Chole RA, Brodie HA, Jacob A. Surgery of the Mastoid and Petrosa. In Byron J. Bailey &
Jonas T. Johnson Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2. 4th. Lippincott Williams
& Willimns. Philadelphia. 2006. p: 2101-2
2. Dhingra PL. Radical Mastoidectomy. In. Diseases of Ear, Nose and Throat. 3th Ed.
Elsevier. New Delhi. 2004. p: 466-7
3. Glasscock ME, Shambaugh GE. The Open Cavity Mastoid Operations. 4th Ed. W.B.
Saunders Company. Philadelphia. 1990. p: 231-2
4. Helmi. Bedah Telinga Tengah untuk Otitis Media Supuratif Kronis. Penerbit FK UI
Jakarta. 2005. h: 170

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 70


Mastoidektomi Radikal

Kompetensi
Dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan mastoidektomi radikal
(konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi dan sebagainya).
Selain itu selama pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan
mastoidektomi radikal.

Definisi
Tindakan membuang seluruh sel-sel mastoid di rongga mastoid, meruntuhkan
seluruh dinding belakang liang telinga, pembersihan seluruh sel mastoid yang mempunyai
drainase ke kavum timpani yaitu membersihkan total sel-sel mastoid disudut sinodural,
didaerah segitiga Trautmann, disekitar kanalis facialis, disekitar liang telinga yaitu di
prosesus zigomatikus, juga di prosesus mastoideus sampai ke ujung mastoid. Kemudian
membuang inkus dan maleus, hanya stapes atau sisa yang dipertahankan, sehigga
terbentuk kavitas operasi yang merupakan gabungan rongga mastoid, kavum timpani dan
liang telinga.

Indikasi
OMSK tipe bahaya
Tumor telinga

Kontraindikasi
Otitis media kronik tipe benigna dengan perforasi sentral dan tanpa kolesteatom.
Otitis media akut dengan mastoiditis.
Otitis media tuberculosis.
Otitis media sekretori persistent atau otitis media alergi kronik.

Pemeriksaan penunjang
1. Kultur dan tes resistensi
2. Rontgen Mastoid (Schuller)
3. CT scan temporal (jika perlu dan memungkinkan)
4. Audiometri nada murni, audiometri tutur

Setelah memehami, menguasai dan mengerjakan modul ini maka diharapkan seorang
dokter ahli mempunyai kompetensi serta penerapannya dapat dikerjakan di RS pendidikan
dan RS jaringan pendidika, serta dapat dipergunakan oleh program studi disiplin ilmu
terkait.

Anestesi
Biasanya dilakukan dengan anestesi umum. Lokal anestesi dilakukan hanya pada kasus
yang tidak memungkinkan pasien dibius.

Teknik operasi
Dilakukan insisi postaural atau endaural
Retraksi jaringan lunak dan memaparkan daerah mastoid. Daerah mastoid mulai dari
pangkal posterior tulang zigoma sampai ke belakang sudut suprameatal dan diatas linea
temporalis sampai ke bagian bawah tip mastoid dibuka dengan cara mengelevasi perios
Mastoidektomi superfisialis:
Identifikasi tegmen timpani dan tegmen mastoid
Identifikasi sinus sigmoid

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 71


Identifikasi kanalis semisirkularis
Mastoidektomi dalam:
Identifikasi aditus ad antrum
Identifikasi fossa inkudis dan osikel
Identifikasi kanalis fasialis
Mengangkat jaringan patologis berupa jaringan granulasi dan kolesteatoma
Meruntuhkan bridge
Merendahkan dinding posterior

Meatoplasti. Suatu flap dasar lateralnya pada konka yang berasal dari posterior dan
superior dinding meatus dan masuk ke dalam kavum mastoid melapisi daerah fasial
ridge.Tindakan ini membantu epitelisasi kavum mastoid. Kartilago konka dapat
dilepaskan untuk memperlebar meatus dan mempermudah melihat dan melakukan
tindakan pada kavum timpani.
Jika kavum mastoid sangat besar dan kolesteatoma bersih, maka dilakukan obliterasi
dengan muskulus temporal atau jaringan lunak, hati-hati pada sisa penyakit
(kolesteatoma) yang tertinggal di bawah.
Menutup luka operasi. Kavum timpani ditutup dengan kain kasa, yang diberi antibiotik
atau antiseptik, dan luka operasi dijahit satu persatu.

Komplikasi operasi
1. Paralisis nervus facialis.
2. Perikondritis daun telinga.
3. Kebocoran dura atau sinus sigmoid.
4. Labirintitis.
5. Kista coklat atau mukus.
6. Kolesteatome berulang.
7. Terbentuknya jaringan granulasi.

Perawatan pascabedah
Perban mastoid (perban melingkari kepala) dibuka keesokan harinya, diganti dengan
perban biasa yang menutup luka operasi dan liang telinga. Perban tersebut dibuka pada
hari kalierikutnya jahitan dibuka pada hari ke 7. Tampon dalam dikeluarkan pada hari ke
10-14, kecuali terjadi infeksi dapat diganti sebelum hari ke 10.
Setelah itu, bila dianggap perlu pasien di instruksikan meneteskan obat tetes telinga.
Pemberian antibiotik oral pascaoperasi tergantung tanda-tanda infeksi yang ditemukan
waktu operasi dan lamanya operasi serta keyakinan operator terhadap bersihnya
lingkungan tempat operasi dilakukan.

Follow-up
Evaluasi operasi dipantau secara periodik 1mingu pascaoperasi, 2 minggu, 4 minggu,
6 minggu, 8 minggu dan 12 minggu. Selanjutnya setiap 6 bulan-tahun sekali untuk
mencegah terjadinya debris dan infeksi. Audiometri nada murni dilakukan setelah 2 3
bulan pascaoperasi.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 72


Daftar Pustaka
1. Chole RA, Brodie HA, Jacob A. Surgery of the Mastoid and Petrosa. In Byron J. Bailey &
Jonas T. Johnson Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2. 4th. Lippincott Williams
& Willimns. Philadelphia. 2006. p: 2101
2. Dhingra PL. Radical Mastoidectomy. In. Diseases of Ear, Nose and Throat. 3th Ed.
Elsevier. New Delhi. 2004. p: 463-5
3. Glasscock ME, Shambaugh GE. The Open Cavity Mastoid Operations. 4th Ed. W.B.
Saunders Company. Philadelphia. 1990. p: 230-1
4. Helmi. Bedah Telinga Tengah untuk Otitis Media Supuratif Kronis. Penerbit FK UI
Jakarta. 2005. h: 161-70

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Radang Telinga Tengah | 73


BUKU MODUL 5

MODUL EPISTAKSIS

EDISI I

BAGIAN
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAHKEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL
PADANG - 2016
WAKTU

Mengembangkan Kompetensi Hari: 35


Waktu:
Sesi di dalam kelas 2 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktik dan pencapaian
kompetensi 4 minggu (facilitation and assessment)

PERSIAPAN SESI

Materi presentasi: Epistaksis


- Epistaksis
- Definisi dan ruang lingkup
- Epistaksis anterior
- Epistaksis posterior
- Algoritma dan Prosedur

Kasus : 1. Trauma
2. Penyakit Olser-Weber-Rendu
3. Juvenile angiofibroma

Sarana dan Alat Bantu Latih:


1. Model anatomi, video
2. Penuntun belajar
3. Tempat belajar (training setting): UGD, Bangsal THT, Klinik THT, Kamar operasi,
bangsal perawatan pasca bedah THT

REFERENSI

1. Kirchener JA, Yanagisawa E, Crelin ES. Surgical anatomy of the etmoidal arteries. Arch
Otolaryngol 1961;74:382-386.
2. Lang J. Clinical anatomy of the nose, nasal cavity and paranasal sinuses. New York:
Thieme Medical Publishers, 1989.
3. Porteus ME, Burn J, Proctor SJ. Heriditery haemorrahigic teleangiectasia: a clinical
analysis. J Med Genet 1992;29:527-530.
4. El-Silimy O. Endonasal endoscopy and posterior epistaxis. Rhinology 1993;31:119-
120.

KOMPETENSI

Mampu membuat diagnosis penyebab Epistaksis berdasarkan pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan-pemeriksaan tambahan. Dokter dapat memutuskan dan terapi yang relevan.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 75


Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. menjelaskan anatomi, histologi dan fisiologi dari hidung.
2. menjelaskan etiologi, macam-macam kelainan sebagai penyebab epistaksis.
3. menjelaskan patofisiologi, gambaran klinis dari epistaksis.
4. menjelaskan dan melakukan pemeriksaan penunjang dari epistaksis (contoh:
laboratorium, x-ray/CT Scan, nasoendoskopi)
5. membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksan tambahan
sehubungan dengan adanya epistaksis
6. menjelaskan dan melaksanakan terapi terhadap epistaksis
7. melakukan work-up pada penderita epistaksis (follow up selanjutnya)
8. memutuskan konsul ke bagian lain yang terkait.

GAMBARAN UMUM

Epistaksis atau perdarahan dari bagian dalam hidung dapat lokal atau sistemik, spontan
atau akibat rangsangan dan berlokasi sebeah anterior atau posterior. Epistaksis terjadi
karena adanya perubahan pada mekanisme penghentian perdarahan normal di dalam
hidung. Perubahan mekanisme penghentian perdarahan dapat disebabkan karena mukosa
yang abnormal, kelainan pembuluh darah atau kelainan pada sistem pembekuan darah.
Perkembangan patofisilogi dan pengobatan epistaksis telah meningkat dengan cepat dalam
abad terakhir ini. Sebagian besar episod epistaksis membuat penderita merasa sedikit
susah dan dapat diobati di rumah. Hanya sebagian kecil penderita ditangani oleh tenaga
medis dan beberapa penderita mengalami pedarahan berulang, yang mengancam dan
mengalami komplikasi. Pada penderita ini harus segera mendapatkan penanganan yang
terdiri dari evaluasi, pencarian penyebabnya dan terapi untuk mencegah terjadinya
hipovolemik, anemia, aspirasi atau bahkan kematian. Epistaksis berulang perlu tindakan
yang lebih intensif atau mungkin tindakan operasi.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Proses, materi dan metode pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih
pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang terkait dengan pencapaian kompetensi dan
keterampilan yang diperlukan dalam mengenali dan menatalksana epistaksis seperti yang
disebutkan di atas, yaitu:
1. Menguasai anatomi, histologi, fisiologi hidung
2. Mampu menjelaskan etiologi patofisiologi dan gambaran klinis dari epistaksis
3. Menentukan dan melakukan pemeriksaan penunujang (laboratorium, X-ray/CT Scan,
nasoendoskopi)
4. Membuat diagnosis penyebab epistaksis dari pemeriksaan dari pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
5. Melaksanakan tindakan terapi terhadap epistaksis
6. Melakukan work-up, menentukan terapi dan memutuskan melakukan konsul ke bagian
lain yang terkait

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 76


METODE PEMBELAJARAN

Tujuan 1. Menguasai anatomi, histologi, fisiologi hidung


Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Interactive lecture
Small group discussion
Bedside teaching

Harus mengetahui:
- Anatomi hidung
- Gambaran dan karakteristik histologi hidung
- Fisiolgi dan patofisiologi hidung

Tujuan 2. Mampu menjelaskan etiologi, patofisiologi dan gambaran klinis dari


epistaksis
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Interactive lecture
Journal reading and review
Bedside teaching

Harus mengetahui:
- Etiologi dan faktor predisposisi
- Patofisiologi klinik
- Gejala (keluhan pasien)
- Tanda (temuan hasil pemeriksaan
- Gambaran klinik

Tujuan 3. Menentukan dan melakukan pemeriksaan penunjang (laboratorium, x-


ray/CT Scan dan nasoendoskopi)
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Interactive lecture
Journal reading and review
Case simulation and investigation exercise

Tujuan 4. Membuat diagnosis epistaksis dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembeljaran berikut ini:
Interactive lecture
Journal reading and review
Case study
Simulation and real examination exercises (physical and device)
Demonstration and coaching
Practice with real clients

Harus mengetahui:
- Metode standar anamnesis
- Gejala dan tanda pasti adanya epistaksis
- Pemeriksaan penunjang yang sensitif dan spesifik
- Memilah diagnosis banding dan menentukan diagnosis kerja
- Rencana pengobatan atau tatalaksana pasien

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 77


Tujuan 5. Melaksanakan tindakan terapi terhadap penderita epistaksis
Untuk mencapai ujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Interactive lecture
Journal reading and review
Operative procedure demonstration and coaching
Practice with real clients

Harus mengetahui:
- Prosedur konservative
- Prosedur operatif
- Prosedur alternatif

Tujuan 6. Melakukan work-up, menentukan terapi dan memutuskan untuk


melakukan rujukan epistaksis
Untuk mencapai tujuan maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Journal reading and review
Case study
Simulation and real examination exercises (physical and device)
Demonstration and coaching

Harus mengetahui:
- Rencana kerja follow-up
- Jenis-jenis terapi yang dianjurkan
- Kondisi atau situasi penting untuk membuat keputusan untuk merujuk

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 78


PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS/
PEMASANGAN TAMPON ANTERIOR

1 Peganglah speculum hidung dengan cara : ibu jari pada joint, jari telunjuk
diletakkan pada dorsum hidung dan jari lainnya pada batang spekulum untuk
memegang.
2 Masukkan speculum ke nostril kiri/kanan, speculum harus selalu terbuka dan
diarahkan ke superior dan jangan ke lantai hidung. Inspeksi akan lebih baik
dengan menekan puncak hidung.
3 Berikan anestesi topical untuk menekan rasa tidak nyaman, risiko apnea,
bradycardia, dan hipotensi yang diakibatkan blocking the nasal-vagal reflex.
Tampon kapas yang telah diberi larutan pantocaine 1% atau lidocaine (dengan
atau tanpa 1-2 tetes larutan epinefrin 1 : 1.000) disimpan di rongga hidung
selama 3-5 menit.
Evaluasi sumber perdarahan setelah tampon kapas dibuka.
4 Pasanglah tampon hidung anterior yang telah dilapisi salep antibakteri ke dalam
rongga hidung.
5 Tampon dipasang dengan cara berlapis-lapis (layering) mulai dari dasar hidung
ke koana di belakang dan sampai setinggi konkha media di atas. Sangat mungkin
untuk memasukkan tampon sedemikian banyak ke dalam masing-masing rongga
hidung,
6 Hal-hal yang harus diperhatikan :
- Tampon tidak boleh mengenai columella, karena bagian ini sangat mudah
mengalami trauma.
Ujung tampon tidak boleh ada yang keluar ke orofaring ataupun terlihat di
orofaring di belakang palatum molle, hal ini dapat menyebabkan iritasi, rasa
tidak enak pada pasien dan akan berbahaya bila tampon sampai ke saluran
aerodigestive dan dapat menyebabkan komplikasi.
7 Setelah tampon terpasang dengan baik di dalam rongga hidung ;
- Pasanglah kasa + plester di anterior untuk menahan tampon supaya tidak
keluar.
Pada pemasangan tampon hidung bilateral :
- Berilah oksigen yang telah dihumidifikasi
Penderita harus berada dalam obserbasi yang baik.
8 Berilah antibiotik profilaksis selama pemasangan tampon.
9 Tampon hidung anterior dibuka setelah terpasang selama 48 jam, bila epistaksis
masih (+), lakukan kembali pemasangan tampon hidung anterior.
10 Bila epistaksis sangat masif, lakukan cross match untuk kemungkinan dilakukan
transfusi + pasang infus untuk rehidrasi.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 79


Macam teknik tindakan penatalaksanaan epistaksis anterior

1. Teknik kauter.
Teknik ini adalah yang terbaik untuk perdarahan septum bagian depan. Tindakan
pertama adalah memasang tampon kecil pada hidung bagian depan 5 menit kemudian
dilepas bila ini gagal, penderita diperintahkan untuk menekan ala nasi kanan dan kiri
menjepit septum dengan jarinya.
Anstesi lokal: kasa basah 1 % lidokain yang ditetesi dengan 1 atau 2 tetes epinefrin 1:
100.000, dimasukkan kedalam hidung bagian depan, didiamkan selama 3-5 menit,
kemudian diambil.
Probe dipanaskan diatas api dan dimasukkan kedalam kristal asam chromic, kristal
melekat pada ujung probe. Probe dipanaskan kembali sampai kristal mencair
membentuk seperti bola. (Gb.1) Asam chromic tunggu dingin ditandai dengan berubah
warna merah coklat. Probe ditempatkan atau ditempelkan pada titik perdarahan selama
2 detik, pada tempat tersebut akan berubah warna menjadi kuning. Sisa bahan korosif
dinetralisir dengan cairan perak nitrat 10% dengan kapas aplikator sampai berwarna
merah.
Asam Chromic bahan yang sangat korosif.
Kauter juga dapat dilakukan dengan bahan asam trichloracetic 30% atau perak nitrat
kemudian dibilas dengan normal salin.
Kauter juga dapat dilakukan dengan mempergunakan kauter bipolar.

Gb 1. Kauter asam chroic dan Ag NO3

2. Pemasangan tampon anterior


Tampon rongga hidung berupa kasa pita lebar 3 cm, pemasangan mulai dari atas
sampai bawah yang sebelumnya sudah dibasahi dengan antibiotik. Pemasangan
tampon sampai konka inferior. (Gb-2)
Teknik lain adalah dengan mempergunakan potongan sarung tangan jari yang diisi
dengan pita kasa ditempatkan pada dasar hidung sampai koana. Hal ini menguntungkan
karena tampon tidak lepas masuk ke nasofaring. Pada ujung luar potongan sarung
tangan diikat dengan benang kemudian dilekatkan pada vestibulum dengan plester.
(Gb-3)
Indikasi teknik ini adalah perdarahan dari bagian superior dan inferior rongga hidung
yang tidak dapat diatasi dengan kauter dan tidak diperlukan tampon posterior.
Anestesi topikal dengan lidokain setelah hidung dibersihkan dengan suction.
Alternatif lain dengan mempergunakan Folley cateter yang dibungkus dengan dua
potongan sarung tangan jari dimasukkan kedalam rongga hidung, kemudian balon
dikembangkan.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 80


Perhatikan:
1. Tampon terpasang jangan lerlalu lama, tidak lebih dari 3 x 24 jam.
2. Ujung tampon jangan sampai masuk ke nasofaring, bila dalam pemeriksaan
didapatkan ada ujung pita kasa masuk ke faring harus dilakukan pemotongan
dengan gunting. Namun alangkah baiknya dilakukan pemasangan tampon ulang.

Gb-2. Pemasangan tampon anterior

Gb-3. Modifikasi pemasangan tampon anterior

3. Ligasi arteri etmoid anterior.


Indikasinya adalah perdarahan arteri dari bagian superior rongga hidung yang tidak
dapat dikontrol dengan berbagai macam tamon.

Prinsip tindakan
Insisi melengkung pada medial kantus (Insisi Killian) sisi lateral hidung. Jarngan lunak
dan periosteum disingkirkan. Periosteum orbital dari dinding mediat tulang orbital
dilepas dengan elevator sampai tampak arteri etomidalis, arteri dijepit dan diikat. (Gb-

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 81


15) Selama melakukan manipulasi hindari penekanan yang berlebihan pada daerah
orbita. Tutup luka lapis demi lapis.
Anestesi yang diberikan pada ligasi transmaksila dan etmoid adalah anestesi umum
dengan intubasi endotrakeal.

Gb-15 Ligasi etmoid anterior

Epistaksis Posterior

Definisi:
Terjadinya suatu perdarahan dari dalam hidung bagian posterior.

Ruang lingkup:
Epistaksis anterior mencakup perdarahan dalam hidung posterior ( a. Maksilaris interna)
yang dapat disebabkan karena proses lokal maupun sistemik.

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium, nasoendoskopi, X-Ray, kalau perlu CT Scan.
Penatalaksanaan.
Penatalaksanaan pada epistaksis anterior adalah bergantung dari derajat perdarahan yang
ada dan dari mana sumber perdarahaan

A. Pemasangan tampon posterior


Indikasinya adalah:
1. Perdarahan posterior yang tidak dapat dikontrol dengan tampon anterior.
2. Perdarahan yang berasal dari nasofaring yang dapat terjadi setelah adenoidektomi,
fraktur basis kranii, tumor atau kelainan pembuluh darah.

Prinsip tampon posterior :


Tampon dipasang dalam nasofaring melalui mulut dan benang yang mengikat tampon
dilekatkan pada nostril. Kemudian diikuti dengan pemasangan tampon anterior.Persiapan
sebelum tindakan pada orang dewasa dapat diberikan meperidine hydrochlorie 50-10 mg.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 82


Bila terjadi kehilangan darah dalam jumlah banyak, cairan infus harus diberikan, periksa
golongan darah dan tes reaksi silang.
Anestesi:
Pada anak, pemasangan tampon dapat dilakukan dengan anetesi umum. Perlu dilakukan
pemeriksaan adanya sisa adenoid bila baru selesai dilakukan operasi adenoidektomi. Pada
orang dewasa anestesi lokal pada hidung dan nasofaring dengan lidokain 1-2% ditambah
dengan epinefrin 1: 100.000.

Peralatan:
1. Kasa tampon Belloq yang diikat dengan 3 tali, besarnya tampon bergantung dari
luasnya nosofaring.
2. Kateter Nelaton.
3. Nasal dressing forceps.
4. Kasa pita untuk tampon anterior.
5. Alat suction

Cara pemasangan:

Masukkan Nelaton kateter melalui lobang hidung sampai ke faring. Dengan forsep ujung
Nelaton dijepit ditarik keluar melalui rongga mulut. Ujung tali tampon yang terdiri dari 2
tali diikatkan pada ujung Nelaton kateter. Nelaton ditarik kembali sehinga tali masuk ke
nasofaring, hidung dan keluar melalui nostril. Benang dilepas dari Nelaton kateter, benang
ditarik, dibantu dengan jari telunjuk tampon dimasuk ke dalam nasofaring. Setelah tampon
Belloq terpasang dengan baik, pasang tampon anterior. Dua benang yang di nostril difiksasi
dengan gulungan kasa kecil. Ujung 1 benang yang masih berada di mulut difiksasi dengan
plester pada pipi. Benang ini jangan dipotong karena berguna untuk membantu saat
melepas tampon. (Gb 4-10) Akhir-akhir ini telah diciptakan oleh H. Masing yaitu tampon
hidung yang berbentuk balon yang dapat diisi udara dan adanya pipa ventilasi untuk
bernafas. Balon dikembang dengan semprit. Besar kecilnya tekanan udara disesuaikan
dengan cara mengontrol perdarahan yang melalui lubang hidung dan faring. (Gb-11)

Gb-4 Tampon Belloq

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 83


Gb-5

Gb-6

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 84


Gb-7

Gb-8

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 85


Gb-9

Gb-10

Gb-11

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 86


Perhatian:
1. Perlu perlindungan antibiotik selama terpasang tampon baik tampon anterior maupun
posterior.
2. Pada kasus yang kritis tampon dapat terpasang selama 8 hari, namun hal ini amat
sangat berbahaya karena dapat terjadi septikemi, perlu pengawasan yang ketat.
3. Pada pemasangan tampon seringkali menyebabkan gangguan fungsi tuba Eustachii,
OME dapat terjadi. Periksa membrana timpani.

Penglepasan tampon.
Pada penderita yang merasa cemas perlu diberi analgetik sebelum penglepasan tampon.
Lepas benang yang berada di nostril, kemudian lepas tampon anterior. Bila masih terjadi
perdarahan masang tampon anterior yang baru, tali diikatkan kembali. Bila tidak, tampon
posterior dapat dilepas dengan cara menarik tali yang berada di mulut. Salep antibiotik
dapat diberikan setelah dilakukan penglepasan tampon.

B. Ligasi arteri pada epistaksis

1. Ligasi transmaksila pada arteri maksila interna.


Indikasinya adalah perdarahan dari arteri segmen posteroinferior hidung yang tidak
dapat dikontrol dengan berbagai macam tampon.

Prinsip tindakan
Antrum maksila dibuka dengan pendekatan Caldwell Luc, lapisan mukosa sinus bagian
fosa pterygomaksila dilepas. Pengambilan tulang dinding posterior dengan pahat atau bor
diamond, diusahakan jangan merusak periosteum. Insisi periostium secara menyilang,
kemudian dibuka, terpapar struktur fosa pterygomaksila. Arteri maksilaris interna dan
cabangnya sangat mudah diidentifikasi dengan menyingkirkan lemak terlebih dahulu.
Arteri maksilaris interna tampak berwarna perak dan berdenyut. Arteri maksila interna
dipisahkan dari jaringan sekitarnya dengan forcep tumpul, kemudian dijepit dengan klip
perak atau diikat dengan benang, bila memungkinkan juga dilakukan pada cabang-
cabangnya. (Gb12-14) Kembalikan periosteum dan mukosa ke posisi semula. Jahit luka
insisi pada bukal. Setelah operasi ligasi ini tidak diperkenankan tindakan antrostomi
melalui meatus inferior, karena amat sangat berbahaya.

Tindakan ini memerlukan mikroskop atau loupe.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 87


Gb-12

Gb-13

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 88


Gb-14

KEPUSTAKAAN MATERI BAKU

1. Kirchener JA, Yanagisawa E, Crelin ES. Surgical anatomy of the etmoidal arteries. Arch
Otolaryngol 1961;74:382-386.
2. Lang J. Clinical anatomy of the nose, nasal cavity and paranasal sinuses. New York:
Thieme Medical Publishers, 1989.
3. Porteus ME, Burn J, Proctor SJ. Heriditery haemorrahigic teleangiectasia: a clinical
analysis. J Med Genet 1992;29:527-530.
4. El-Silimy O. Endonasal endoscopy and posterior epistaxis. Rhinology 1993;31:119-120.
5. Strong EB, Bell DA, Johnson LP, et al. Intractable epistaxis: transantral ligation vs.
Embolisation: efficacy review and cost analysis. Otolraryngol Head Neck Surg
1995;113:674-678.
6. Shaw CB, Wax MI, Wetmore SJ. Epistaxis:a comparison of treament. Otolaryngol Head
Neck Surgery 1993;109:60-65.
7. Naumann HH. Head and Neck Surgery, Face and Facial Skull, volume 1, 1980.
8. Apler CM, Meyer EN, Eibling DE. Decision Making in Ear Nose and Throat Disorder,
2001.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Epistaksis | 89


BUKU MODUL 6

MODUL BENDA ASING HIDUNG

EDISI I

BAGIAN
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAHKEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL
PADANG - 2016
WAKTU

Mengembangkan Kompetensi Hari:


Sesi didalam kelas
Sesi praktek dan pencampaian 1x 45 menit
kompetensi 4,5 minggu

PERSIAPAN SESI

Materi presentasi: KORPUS ALIENUM HIDUNG


1 : jenis korpus alienum
2 : tehnik pemeriksaan
3 : metoda diagnostik korpus alienum hidung
4 : Guidline penatalaksanaan korpus alienum hidung

Kasus : korpus alienum hidung

Sarana dan Alat Bantu Latih :


o Penuntun belajar (learning guide) terlampir
o Tempat belajar (training setting): bangsal THT, Poliklinik THT, kamar
operasi, bangsal perawatan pasca bedah THT.

REFERENSI

1. Byron J Bailey :Head &Neck Surgery-Otolaryngology ,Lippicont William & Wilkins A


Wolter Kluwer CO.Philadhelpia 2001 p 307
2. R.S.Dhillon FRCS, C.A.East FRCS: Ear,Nose and Throat &Head and Neck
Surgery,Churchil Livingstone Edinburgh LondonNew York Piladhia Sidney
Toronto1999 p 36-37
3. W Becker,M.D,Richard A.b,M.D.,Paul H.Holinger,M.D.; ATLAS OF
otorhinolaryngology and Bonchoesophagology
4. M.Eugene Tardy,Epistaxis, Rhinofima, Furunkulosis, benda asing di hidung, rinolith,
atresia coana; Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher; J.J Ballenger
Edisi 13, Binarupa Aksara, Jakarta Indonesia, 1994 p 118-9

KOMPETENSI

Mampu membuat diagnosis Corpus alienum berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik
serta dapat menangani kasus2 tersebut secara mandiri dan tuntas

Keterampilan

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:


1. melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita dg Corpus alienum hidung
2. mengenali gejala dn tanda adanya corpus alienum dalam rongga hidung
3. mengklasifikasikan jenis corpus alienum
4. menetapkan diagnosis
5. melakukan ekstraksi /pengambilan corpus alienum hidung dengan tuntas dan
mengevaluasinya.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Hidung | 91


GAMBARAN UMUM

Angka kejadian korpus alienum hidung cukup banyak ,terutama pada anak balita
Ada 2 katagori yang kita kenal yaitu korpus alienum organik seperti lintah(sering kita
jumpai pada petani yang bekerja disawah,dirawa),larva lalat dll, sedang korpus alienum
anorganik seperti mote (manik-manik),kerikil, kertas/tisu, logam dll.sering dijumpai
pada anak2 yg hiperaktif atau sebaliknya pada anak2 dg retardasi mental.
Tehnik pengambilan hampir sama kecuali pada organik ( terutama lintah)
Dimana sebelumnya kita meneteskan air tembakau kedalam lubang hidung untuk
melepaskan hisapan lintah.
Gejala utama adalah hidung tersumbat tiba2 biasanya unilateral ,anosmia ataupun
hiposmi,setelah lebih 2-3 hari sekret mukos, mukopurulen,kadang2 berbau dan pada
organik dirasakan ada yang bergerak-gerak didalam rongga hidung,hidung makin hari
makin tersumbat (lintah).

CONTOH KASUS

Seorang anak laki2 umur 4th datang keklinik THT dibawa ibunya dengan hidung pilek 1
sisi (kiri) dan berbau.kurang lebih 1minggu anak,tidak demam,tidak merasa sakit daerah
hidung,pilek tak berkurang setelah diberi obat pilek.pada pemeriksaan rinoskopi
anterior:tampak mukosa hidung kemerahan,edem,sekret mukopurulen.pasase udara
dikavum nasi kiri terganggu,terlihat sesuatu benda berwarna hitam sebesar biji asam.

Diskusi :

Must To Know
1.Gejala dan tanda korpus alienum hidung.
2.jenis korpus alienum
3.cara pemeriksaan THT rutin
4.peralatan yang diperlukan
5.tehnik pengambilan

TUJUAN PEMBELAJARAN

Proses, materi dan metoda pembelajaran yang disiapkan bertujuan untuk alih
pengetahuan, ketrampilan dan perlaku yang terkait dengan pencapaian kompetensi dan
ketrampilan yang diperlukan dalam mengenali dan menata laksana korpus alienum hidung
yaitu:
1.menguasai anatomi hidung (kavum nasi) dan fisiologi
2.mampu mengenali jenis korpus alienum
3.mampu melakukan pemeriksaan dan membuat diagnosis
4.mampu melaksanakan tindakan pengambilan dengan tehnik yang baik

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Hidung | 92


METODE PEMBELAJARAN

Tujuan 1. Anatomi dan fisiologi hidung


Untuk mencapai tujuan tersebut dengan :
-small group discussion
-interactive lecture
-contoh kasus

Harus diketahui :
Anatomi kavum nasi dan fisiologinya

Tujuan 2. Terampil .melakukan pemeriksaan dan membuat diagnosis


Untuk mencapai tujuan tersebut :
Dengan :small group discussion
interactive lecture
latihan ketrampilan memeriksa dg rinoskopi anterior

Harus diketahui :
Cara memeriksa rinoskopi anterior dengan benar

Tujuan 3. Mampu membedakan korpus alienum organik ataupun anorganik


Untuk mencapai tujuan tersebut :
Dengan small group discussion
Menunjukkan contoh /jenis korpus alienum

Harus diketahui :
Cara melihat dan membedakan jenis korpus alienum

Tujuan 4: Mampu/mempunyai ketrampilan dalam penatalaksanaan korpus alienum


hidung.
Untuk mencapai tujuan tersebut:
Small group discussion
Video
Interactive

Harus diketahui :
Melakukan tindakan ekstraksi korpus alienum

Rangkuman

Korpus alienum sangat sering dijumpai pada anak balita terutama pada anak yang
hiperaktif ,tetapi juga banyak dijumpai pada anak dg retardasi mental.pada petani yang
bekerja disawah ataupun dirawa=rawa juga kadang2 ditemukan .Penanganan yang
diberikan tergantung pada jenis korpus alienum
Hal penting yang harus diperhatikan adalah cara anamnesa dan pemeriksaan awal bila kita
menemukan pasien dengan korpus alienum.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Hidung | 93


EVALUASI

1. Pada tahap awal pertemuan diberikan pengantar kuliah tentang korpus alienum
dengan ilustrasi gambar.
Karena bahan dan ilustrasi gambar yang ada hanya sedikit maka peserta didik
diharapkan mencari bahan dan gambar dari text book ataupun internet untuk
menambah wacana.
2. Dilakukan diskusi dengan instruktur pembimbing untuk membahas kekurangan
materi pembelajaran yang ada dan tehnik/ketrampilan ekstraksi
3. Diakhir penilaian peserta didik diberi masukkan dan bila perlu diberi tugas untuk
bisa lebih terampil .
4. Pencapaian pembelajaran pendidikan

INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF

Kuesioner sebelum pembelajaran (pre test)

1. Pada anak2 kavum nasi merupakan rongga yang cukup luas


sebab
Korpus alienum organik sering dijumpai pada anak yang hiperaktif

2. Simptom yang sering dijumpai pada korpus alienum hidung kecuali


a.sakit
b.demam
c.ingus kuning kental
d.obstruksi nasi
e. hiposmia

3. Selain lampu kepala maka peralatan lain yang harus disiapkan adalah:
1.pinset
2.suction
3.ekstraktor
4.spekulum

Kuesioner tengah pembelajaran

1 . seorang petani pada waktu sore hari setelah menanam padi merasa hidung kanan
tersumbat,malam hari hidung terasa semakin tersumbat.terasa gatal.kemudian pergi
kedokter .pada waktu diperiksa rinoskopi anterior tampak massa merah ke
hitaman,lunak dan sulit diangkat tindakan yang akan saudara lakukan adalah sbb :
A. angkat dgn ekstraktor
B .jepit dg pinset
C. tetesi air tembakau
D. C kemudian A
E. betul semua

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Hidung | 94


PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PENATALAKSANAAN KORPUS ALIENUM HIDUNG

- Persiapkan peralatan yang diperlukan:Lampu kepala ,spekulum hidung,ekstraktor,


pinset dll
- Posisi pasien duduk tegak dihadapan pemeriksa
- anak2 dipangku dengan posisi seperti dalam gambar

- kepala difiksasi oleh asisten


- lampu kepala yang telah terpasang difokuskan kelubang hidung.

- pasang spekulum hidung,tampak korpus alienum anorganik


- dengan alat ekstraktor yang dimasukkan kedalam
Lubang hidung,dibelakang korpus alienum anorganik, kemudian perlahan ditarik
kedepan melewati lubang hidung

- korpus alienum organik (lintah)


- setelah spekulum hidung terpasang teteskan air tembakau kedalam lubang hidung
.biarkan 2-5 menit
Lintah akan terlepas dari mukosa hidung kemudian ditarik dengan pinset/aligator

- bersihkan kavum nasi/suction


- evaluasi
- selesai

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Hidung | 95


MATERI PRESENTASI

LCD 1: Jenis korpus alienum

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Hidung | 96


LCD 2:Tehnik Pemeriksaan

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Hidung | 97


LCD 3 :Metoda Diagnosa

Anamnessis :
Anamnesis dimulai dengan pertanyaan yang meliputi gejala dihidung:
1. hidung tersumbat.
2. sekret dalam hidung
3. rasa sakit ada/tidak
4. makin lama dirasa makin tersumbat/tidak
5. waktu (sudah berapa lama)/kapan mulai dirasakan

LCD 4 :Guideline penatalaksaan korpus alienum hidung

Korpus alienum dapat dikeluarkan lewat nares anterior tanpa/dengan


anastesi umum .Cunam yang ujungnya dapat memegang degan
baik dapat digunakan untuk obyek yang kasar dan mudah dipegang.
Untuk manik2/mote dan merjan pengait/ekstraktor bengkok lebih berguna.
Bagian yang bengkok dari pengait dimasukkan dibelakang obyek dan ditarik
kedepan, obyek akan terdorong keluar.

MATERI BAKU

Korpus Alienum Hidung

Korpus alienum dapat berupa benda hidup/organik dan benda mati /anorganik .
Korpus alienum Organik

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Hidung | 98


Myasis hidung disebabkan lalat #common Blow# (#screw-worn#) dan lalat botol hijau
yang bertelur didalam kavum nasi. Lalat ini hidup didaerah hangat, kering. Lalat #screw-
worm# (Cochliomia Americana) serangga yang sering mengganggu di Amerika. Telur2
menetas dalam 24 jam setelah diletakkan dihidung. Dapat merusak mukosa dan kartilago.
Kadang2 dapat invasi ke intrakrania, meskipun jarang menyebabkan meningitis yang fatal

Gejala

Mirip sinsitis akut, sekret mukopurulen, unilateral, bau busuk


Obstruksi hidung seringkali total pada sisi yang kena.
Larva/ulat/lintah melekat erat pada jaringan. pada kasus berat dapat terjadi distruksi
mukosa dan kartilago.

Korpus alienum An Organik

Adalah segala jenis substansi yang tidak bergerak yang cukup kecil dan dapat masuk dalam
rongga hidung.
Korpus alienum dapat dikelurakan lewat nares anterior dengan /tanpa anastesi umum
(mis peluru pada luka tembak /kecelakan lalu lintas)

KEPUSTAKAAN MATERI BAKU

1. Byron J Bailey : Head &Neck Surgery-Otolaryngology, Lippicont William & Wilkins A


Wolter Kluwer CO. Philadhelpia 2001 p 307
2. R.S.Dhillon FRCS, C.A.East FRCS: Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery,
Churchil Livingstone Edinburgh LondonNew York Piladelphia Sidney Toronto1999 p
36-37
3. W Becker, M.D, Richard A.b,M.D., Paul H.Holinger, M.D.; ATLAS OF otorhinolaryngology
and Bonchoesophagology
4. Pengalaman pribadi Prof.dr.Bambang.S.S dalam praktek
4. M. Eugene Tardy, Epistaxis, Rhinofima, Furunkulosis, benda asing di hidung, rinolith,
atresia coana; Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher; J.J Ballenger
Edisi 13, Binarupa Aksara, Jakarta Indonesia, 1994 p 118-9

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Hidung | 99


BUKU MODUL 7

MODUL BENDA ASING TELINGA

EDISI I

BAGIAN
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAHKEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL
PADANG - 2016
WAKTU

Mengembangkan kompetensi Hari :


Sesi dalam kelas 1 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 4,5 minggu (facilitation and assessment)

PERSIAPAN SESI
Materi presentasi:
o 1: Definisi
o 2 : Macam-macam benda asing telinga
o 3 : Penatlaksanaan
o 4 : Komplikasi

Kasus : 1. Benda asing telinga

Sarana dan Alat Bantu Latih : ( disesuaikan dengan pencapaian kompetensi )


o Penuntun belajar (learning guide) terlampir
o Tempat belajar (training setting): bangsal THT, Poliklinik THT, kamar operasi,
bangsal perawatan pasca bedah THT.
o Model anatomi

REFERENSI

1. Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and Throat Disease,
Second edition, Thieme Medical Publishers Inc., New York, 1994, p: 71-75
2. Lee .K.J, Outer Ear Infection in otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver
Science Publishers, 1989, p: 64, 67-72
3. Ballenger J.J, Penyakit telinga luar dalam Penyakit Telinga, hidung dan tenggorok,
kepala dan leher, jilid dua, edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997, p: 338-348
4. David, William, Alexander, Outer Ear Infection to the External ear in Otolaryngology
head and Neck Surgery, Seventh Edition, The C>V> Mosby Company, Missouri, 1988,
P; 396-402

KOMPETENSI

Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu membuat diagnosis benda asing liang telinga
berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan, dan dapat
memutuskan dan mampu menangani secara mandiri benda asing liang telinga.

Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan etiologi benda asing dan macam-macam benda asing.
2. Menjelaskan gambaran klinis dan terapi benda asing.
3. Dapat mendiagnosa benda asing liang telinga.
4. Dapat melakukan penanganan benda asing liang telinga dan komplikasi.
5. Dapat melakukan tindakan bedah pada benda asing yang terletak lebih dalam atau
tersangkut di ithmus.
6. Melakukan work-up penderita benda asing liang telinga.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Telinga | 101


CONTOH KASUS

Seorang laki-laki usia 22 tahun datang ke UGD dengan keluhan telinga kemasukan
binatang sejak 4 jam yang lalu ketika sedang berbaring di lantai. Keluhan disertai nyeri
karena binatang masih bergerak dan akhirnya berhenti bergerak 1 jam yang lalu setelah
ditetesi minyak kelapa. Pada pemeriksaan tampak serangga menutupi liang telinga.

Jawaban :

TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mengikuti sesi ini peserta didik terampil dalam :
1. Mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan-
pemeriksaan tambahan.
2. Dokter dapat memutuskan dan mampu menangani problem itu secara mandiri hingga
tuntas.

Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
1. Menjelaskan anatomi, topografi dan fisiologi telinga.
2. Menjelaskan etiologi benda asing dan macam-macam benda asing.
3. Menjelaskan gambaran klinis dan terapi benda asing.
4. Dapat mendiagnosa benda asing liang telinga.
5. Dapat melakukan penanganan benda asing liang telinga dan komplikasi.
6. Dapat melakukan tindakan bedah pada benda asing yang terletak lebih dalam atau
tersangkut di ithmus.
7. Melakukan work-up penderita benda asing liang telinga.

EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre test dalam bentuk essay dan oral sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang
dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas :
- Anatomi dan fisiologi telinga
- Penegakan diagnosa
- Teknik operasi
- Follow up
2. Selanjutnya dilakukan small group discussion bersama dengan fasilitator untuk
membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang
berkenaan dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh pada saat
bedside teaching dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam bentuk
role play dan teman-temannya (Peer Assisted Evaluation) atau kepada SP
(Standardized Patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak diperkenankan
membawa penuntun belajar, penuntun belajar yang dipegang oleh teman-temannya
untuk melakukan evaluasi (Peer Assisted Evaluation) setelah dianggap memadai,

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Telinga | 102


melalui metode bedside teaching dibawah pengawasan fasilitator, peserta dididik
mengaplikasikan penuntun belajar kepada model anatomik dan setelah kompetensi
tercapai peserta didik akan diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan evaluator melakukan pengawasan langsung
(direct observation), dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut :
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
- Cukup : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan
terdahulu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
- Baik : pelaksanaan benar dan baik (efisien)
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan
penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan pasien,
dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
1. Self assesment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan penuntun
belajar.
2. Pendidik/ fasilitas :
- Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist form (terlampir)
- Penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi
- Kriteria penilaian keseluruhan : cakap/ tidak cakap/ lalai
3. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas
yang dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education)
4. Pencapaian pembelajaran :
- Ujian OSCA (K,P,A), dilakukan pada tahapan bedah dasar oleh kolegium I.
THT
- Ujian akhir stase, setiap divisi/ unit kerja oleh masing-masing sentra
pendidikan bedah lanjut oleh kolegium ilmu THT.
- Ujian akhir kognitif, dilakukan pada akhir tahapan bedah lanjut oleh
kolegium ilmu THT.

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Telinga | 103


MATERI BAKU

Benda Asing Liang Telinga

Definisi
Terdapatnya benda asing pada liang telingayang pada keadaan normal tidak dijumpai
Macam-macam benda Asing:
1. Benda Hidup ; cacing, nyamuk, semut, lalat dan lainya
2. Benda Mati ; organik dan non organik
Organik; kacang, daun dan lainnya
Non-Organik ; batu, kancing, dan lainnya.

Faktor Predisposisi:
1. Anak-anak
2. Mental retardasi

Ruang Lingkup
1. Benda Asing liang telinga menyebabkan obstruksi, ketulian dan kadang-kadang
kerusakan membrana timpani.
2. Benda asing organik sangat mudah mengembang dan menyebabkan obstruksi, ketulian,
inflamasi dan nyeri.
3. Benda asing anorganik akan menunjukkan gejala dalam waktu yang lama.

Penatalaksanaan
1. Benda asing serangga harus dimatikan terlebih dahulu dengan menyemprotkan eter,
alkohol, minyak, air garam kedalam liang telinga dan kemudian diekstraksi dengan
menggunakan forcep
2. Benda asing organik yang kecil dapat diektraksi dengan pengait benda asing atau forcep.
3. Benda asing organik higroskopis mudah mengembang bila terkena cairan, oleh
karenanya benda asing higrosopis dihindari agar tidak terkena cairan.
4. Benda asing anorganik yang terlihat dapat diekstraksi dengan pengait kecil dan bila
tidak terlihat cukup disemprot dengan cairan.
5. Bila kasusnya sulit misalnya benda asing terdapat di ismus atau ressus anterior, perlu
dilakukan insisi endaural atau insisi post aurikuler
(jangan menggunakan alkohol bila terdapat perforasi sebab ototoksik)

KEPUSTAKAAN MATERI BAKU

1. Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and Throat Disease,
Second edition, Thieme Medical Publishers Inc., New York, 1994, p: 71-75
2. Lee .K.J, Outer Ear Infection in otolaryngology and Head and Neck Surgery, Elseiver
Science Publishers, 1989, p: 64, 67-72
3. Ballenger J.J, Penyakit telinga luar dalam Penyakit Telinga, hidung dan tenggorok, kepala
dan leher, jilid dua, edisi 13, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1997, p: 338-348
4. David, William, Alexander, Outer Ear Infection to the External ear in Otolaryngology head
and Neck Surgery, Seventh Edition, The C>V> Mosby Company, Missouri, 1988, P; 396-
402

Buku Modul Kepaniteraan Klinik THT-KL Benda Asing Telinga | 104

Anda mungkin juga menyukai