Anda di halaman 1dari 23

IV.

4 – Tonsilitis

MODUL UTAMA
LARING FARING

MODUL IV.4
TONSILITIS

EDISI II

KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015
0
IV.4 – Tonsilitis

DAFTAR ISI

A. WAKTU........................................................................................................2
B. PERSIAPAN SESI........................................................................................2
C. REFERENSI.................................................................................................2
D. KOMPETENSI.............................................................................................3
E. GAMBARAN UMUM.................................................................................3
F. CONTOH KASUS & DISKUSI...................................................................4
G. TUJUAN PEMBELAJARAN.......................................................................4
H. METODE PEMBELAJARAN.....................................................................4
I. EVALUASI...................................................................................................4
J. INSTRUMEN PENILAIAN.........................................................................6
K. DAFTAR TILIK............................................................................................8
L. MATERI PRESENTASI.............................................................................11
M. MATERI BAKU..........................................................................................11

1
IV.4 – Tonsilitis

A. WAKTU

Mengembangkan Kompetensi Frekuensi


Sesi di dalam kelas 8 X 60 menit (classroom session)
Sesi Pratikum 18 2 X 60 menit (coaching session)
Sesi Praktik dan pencapaian 35 X 60 menit (facilitation and
kompetensi assessment)

B. PERSIAPAN SESI

1. Materi TONSILITIS, meliputi:


Slide 1: Anatomi, histopatologi dan fisiologi tonsil dan cincin Waldeyer
Slide 2: Etio-patogenesis terjadi tonsilitis
Slide 3: Penatalaksanaan tonsilitis
Slide 4: Indikasi dan kontraindikasi tonsilektomi dan atau adenoidektomi
Slide 5: Teknik operasi tonsilektomi dan atau adenoidektomi
Slide 6: Perawatan pasca tonsilektomi dan atau adenoidektomi
Slide 7: Komplikasi tonsilektomi dan atau adenoidektomi

2. Contoh Kasus :
Tonsilitis kronik
Seorang laki-laki, 10 tahun datang ke poliklinik THT-KL dengan keluhan
nyeri tenggorok sejak 4 hari lalu. Keluhan disertai demam dan batuk.
Keluhan seperti ini dikeluhkan sejak 5 tahun lalu hilang timbul, dalam 1
tahun > 6 kali. Riwayat tidur mengorok +. Masih bisa makan dan minum.
Pemeriksaan fisik: Tonsil hiperemis dan hipertrofi bilateral (ukuran T3-
T3), detritus+/+, kripta melebar +/+.

3. Sarana dan Alat Bantu Latih :


 Alat pemeriksaan THT rutin dan set tonsilektomi
 Tempat belajar (training setting): bangsal THT-KL, Poliklinik
THT-KL, kamar operasi, bangsal perawatan pasca bedah THT-KL.

C. REFERENSI

1. Bailey B. J. Adenotonsilar Disease in Children In : Head and Neck


Surgery Otolaryngology. Fourth Edition. Texas. Lippincott Williams &
Wilkins. 2014 : 1430-1441.
2. Bailey B. J. Tonsillectomy, Adenoidectomy, and UPPP. In : Pediatric and
General Otolaryngology. 2001 : 858-63.

2
IV.4 – Tonsilitis

3. Adams G. L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam :


Highler B. A. Boeis Buku Ajar Penyakit THT-KL. Edisi 6. Jakarta. EGC.
1997 : 327-40.
4. Rusmarjono, Soepardi E. Penyakit Serta Kelainan Faring dan Tonsil.
Dalam : Soepardi E, Iskandar N. Buku ajar ilmu kesehatan THT-KL-KL.
Ed 7. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2007: 183-4.
5. Safar P, Escarraga LA, Chang F. Upper airway obstruction in the
unconscious patient. J Appl Physiol 1959;14:760-4.
6. Ballenger J. J. Tonsil. Dalam : Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. Edisi 13. Jakarta. Binarupa Aksara. 1994 : 352-7.
7. Lore M. J, Medina J. E. Tonsillectomy and Adenoidectomy. In : An Atlas
of Head and Neck Surgery. Fourth Edition. New York. Elsevier Saunders.
2005 : 770-2
8. Dhingra PL. Tonsillitis. Dalam: Disease of Ear, Nose and Throat. 6 th Ed.
New Delhi. Elsevier. 2015: 239-43

D. KOMPETENSI

1. Kompetensi Umum
a. Mampu mendiagnosis tonsilitis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan tambahan yang diperlukan
b. Mampu melakukan tatalaksana tonsilitis

2. Kompetensi Khusus
Setelah mengikuti sesi ini, peserta diharapkan terampil :
a. Menjelaskan anatomi, histologi dan fisiologi tonsil
b. Menjelaskan etiologi dan patofisiologi tonsilitis
c. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan tentang tonsilitis
d. Melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti: kultur &
test resistensi apus tenggorok, laboratorium darah dan ASTO
e. Mampu tatalaksana medikamentosa tonsilitis
f. Mampu melakukan tonsilektomi dan atau adenoidektomi

E. GAMBARAN UMUM

Tonsil merupakan salah satu jaringan limfoid (cincin Waldeyer) yang sering
mengalami infeksi. Infeksi pada tonsil sering berulang yang mengakibatkan
hipertrofi tonil dan mengakibatkan komplikasi lokal (seperti otitis media dan
abses leher dalam) maupun komplikasi sistemik (endokarditis,
glomerulonefritis dan artritis). Tatalaksana tonsilitis berupa konservatif dan
operatif.

3
IV.4 – Tonsilitis

F. CONTOH KASUS & DISKUSI

Seorang laki-laki, 10 tahun datang ke poliklinik THT-KL dengan keluhan


nyeri tenggorok sejak 4 hari lalu. Keluhan disertai demam dan batuk. Keluhan
seperti ini dikeluhkan sejak 5 tahun lalu hilang timbul, dalam 1 tahun > 6 kali.
Riwayat tidur mengorok +. Masih bisa makan dan minum. Pemeriksaan fisik:
Tonsil hiperemis dan hipertrofi bilateral (ukuran T3-T3), detritus+/+, kripta
melebar +/+.

G. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi cincin Waldeyer
2. Menjelaskan etiologi, patofisiologi dan histopatologi tonsilitis
3. Menjelaskan gambaran klinis dan terapi tonsilitis
4. Mampu mendiagnosis tonsilitis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang
5. Mampu tatalaksana konservatif
6. Mampu melakukan tonsilektomi dan atau adenoidektomi
7. Mampu melakukan tatalaksana komplikasi tonsilektomi dan atau
adenoidektomi
8. Mampu melakukan perawatan pasca tonsilektomi dan atau adenoidektomi

H. METODE PEMBELAJARAN

1. Literatur Reading
2. Referat
3. Bimbingan Referat
4. Jurnal Reading
5. Praktik Lapangan (Poliklinik)
6. Skills Lab
7. Praktik Lapangan (OK)
8. Bedside Teaching

I. EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre test dalam bentuk essay, oral, Mini
CEX, CbD, sesuai dengan tingkat masa pendidikan, yang bertujuan untuk
menilai kinerja awal. Yang dimiliki peserta didik dan untuk
mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pre test terdiri atas :
 Anatomi, fisiologi dan patologi tonsil
 Penegakan Diagnosis
4
IV.4 – Tonsilitis

 Terapi (teknik operasi)


 Komplikasi dan penanganannya
 Follow up
2. Selanjutnya dilakukan “small group discussion” bersama dengan fasiliator
untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-
hal yang berkenaan dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan
diperoleh pada saat bedside teaching dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, peserta didik diwajibkan untuk,
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar
dalam bentuk role-play dengan teman-temannya (peer assited learning)
atau kepada SP (standardized patient). Pada saat tersebut, yang
bersangkutan tidak diperkenankan : membawa penuntun belajar, penuntun
belajar dipegang oleh teman-temannya untuk : melakukan evaluasi (peer
assisted evaluation). Setelah dianggap memadai, melalui metoda bedside
teaching dibawah pengawasan fasilitator, peserta didik mengaplikasikan
penuntun belajar kepada model anatomik dan setelah kompetensi tercapai
peserta didik akan diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung (direct observation), dan mengisi formulir penilaian sebagai
berikut.
 Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
 Cukup : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien misal
pemeriksaan terdahulu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada
pasien
 Baik : pelaksanaan benar dan baik ( efisien )
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk
mendapatkan penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan
dibicarakan di depan pasien, dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
5. Self assesment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan
penuntun belajar.
6. Pendidik/fasilitas:
 Pengamatan langsung dengan memakai evaluation check list form
(terlampir)
 Penjelasan lisan dari eserta didik/diskusi
 Kriteria penelian keseluruhan : cakap/tidak cakap/lalai
7. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila perlu diberi tugas
yang dapat memperbaiki kinerja (taks-based medical education)
8. Pencapaian pembelajaran :
 Ujian post test, DOPS
 Ujian OSCE

5
IV.4 – Tonsilitis

J. INSTR PENILAIAN KOGNITIF & PSIKOMOTOR

1. Instrumen Penilaian Kompetensi Kognitif


1. Apakah diagnosis yang paling mungkin pada kasus ini?
a. Tonsilitis Akut
b. Rinofaringitis akut
c. Tonsilitis kronis
d. Hipertrofi tonsil
e. Adenoiditis
Jawaban: C
2. Pada pasien tersebut di atas dilakukan pemeriksaan fisik dan didapati
tonsil T3-T3 dengan muara kripte melebar dan detritus jika ditekan,
plika anterior tampak hiperemis, dan dari palpasi didapati pembesaran
limfono di cervialis, maka manajemen pada pasien ini adalah :
a. Dilakukan pengobatan dengan analgetik sistemik
b. Disarankan untuk tonsilektomi
c. Disarankan untuk adenoidektomi
d. Diterapi antibiotic golongan kuinolon
Jawaban: B
3. Of the following is not part of the summary statement from the 2010
ClinicalPractice Guideline on Tonsillectomy?
a. In children with abnormal polysomnography and hypertrophic
tonsils, tonsillectomy can provide a means to improve health.
b. Children undergoing tonsillectomy do not need perioperative
antibiotics .
c. Children undergoing tonsillectomy will benefit from
perioperative antibiotics .
d. Clinicians should evaluate their rates of primary and secondary
postoperative hemorrhage annually.
e. A single dose of intraoperative intravenous dexamethasone
during tonsillectomy
Jawaban: C
4. What is the best treatment option?
a. Observation with symptomatic treatment of fever and sore throat
b. One-week course of amoxicillin
c. Admit to the hospital for IV antibiotics until afebrile for at least
4 8 hours, and then
d. switch to an oral antibiotic such as amoxicillin and claculanic
acid
e. Excisional lymph node biopsy with systemic chemotherapy
Jawaban: A

5. Which of the following is the next appropriate step in management?


a. Confirmation with GABHS culture on blood agar
6
IV.4 – Tonsilitis

b. Symptomatic therapy
c. Treatment with amoxicillin
d. Treatment with azithromycin
e. Treatment with acetaminophen
Jawaban: C
6. What is the best diagnostic procedure?
a. Fine-needle aspirate biopsy
b. Small incisional biopsy of single node with frozen sections and
cultures
c. Biopsy with permanent hematoxylin/ eosin sections, and
immunohistochemistry andcytogenetics studies
d. Needle aspirate of enlarged node with fungal and atypical
mycobacterial cultures
Jawaban: C

2. Instrumen Penilaian Kompetensi Psikomotor

PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR TONSILEKTOMI DISEKSI-JERAT

Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu
untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

KEGIATAN KASUS
I. PERSIAPAN OPERASI
1. Informed consent
2. Jelaskan tujuan operasi dan hasil yang diharapkan
3. Jelaskan prosedur dan standar operasi pada pasien/
keluarganya
4. Evaluasi ulang indikasi dan kontra indikasi operasi

7
IV.4 – Tonsilitis

KEGIATAN KASUS
II. PROSEDUR OPERASI
1. Pasien dalam posisi terlentang, kepala ekstensi.
2. Dipasang mouth gag Davis sesuai dengan ukuran rongga mulut
pasien.
3. Pole atas tonsil dipegang dengan klem kemudian ditarik kearah
medial
4. Lakukan insisi secara tajam antara massa tonsil dan pillar
dengan menggunakan sickle knife mulai dari pole atas tonsil.
5. Selanjutnya insisi dilanjutkan secara gentle.
6. Kemudian dilakukan diseksi tonsil menggunakan disektor
sampai tinggal pedikel tonsil di pole inferior. Diseksi juga
dapat dilakukan dengan menggunakan electrosurgery/
diathermy, radiofrequency ablation, coblation, harmonic
scalpel, thermal welding, carbon dioxide laser, micro
debrider.
7. Pedikel di klem dengan Negus Artery Forceps, tonsil
digunting.
8. Perdarahan dirawat dengan cara ligasi menggunakan benang
Silk 2-0.
9. Hal yang sama dilakukan pada tonsil sisi kontralateral.
10. Dilakukan evaluasi pada fossa tonsil, bila ada perdarahan
dilakukan hemostasis.
11.Mouth gag Davis dilepas
IV. PASCA OPERASI
1. Observasi jalan nafas, perdarahan, tekanan darah, suhu dan
nadi secara teratur
2. Disarankan pasien tidur miring tanpa bantal
3. Kompres es di sekitar leher
4. Mengawasi terjadinya dehidrasi
5. Pemberian antibiotik segera setelah operasi
6. Pemberian minuman dingin dan makanan lembut untuk
beberapa hari pertama, untuk menghindari terjadinya
perdarahan
7. Medikamentosa
a. Antibiotika oral
b. Analgetika oral
c. Terapi simtomatis sesuai indikasi

8
IV.4 – Tonsilitis

K. DAFTAR TILIK

Penilaian Kinerja Keterampilan (ujian akhir)


DAFTAR TILIK PENILAIAN
PROSEDUR TONSILEKTOMI DISEKSI JERAT
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang
diperagakan oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur,
dengan ketentuan seperti yang diuraikan dibawah ini:
: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur
atau panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih

PESERTA: __________________________ TANGGAL :______________

KEGIATAN KASUS
I. PERSIAPAN OPERASI
1. Informed consent
2. Jelaskan tujuan operasi dan hasil yang diharapkan
3. Jelaskan prosedur dan standar operasi pada pasien/
keluarganya
4. Evaluasi ulang indikasi dan kontra indikasi operasi

9
IV.4 – Tonsilitis

KEGIATAN KASUS
II. PROSEDUR OPERASI
1. Pasien dalam posisi terlentang, kepala ekstensi.
2. Dipasang mouth gag Davis sesuai dengan ukuran
rongga mulut pasien.
3. Pole atas tonsil dipegang dengan klem kemudian
ditarik kearah medial
4. Lakukan insisi secara tajam antara massa tonsil dan
pillar dengan menggunakan sickle knife mulai dari
pole atas tonsil.
5. Selanjutnya insisi dilanjutkan secara gentle.
6. Kemudian dilakukan diseksi tonsil menggunakan
disektor sampai tinggal pedikel tonsil di pole inferior.
Diseksi juga dapat dilakukan dengan menggunakan
electrosurgery/ diathermy, radiofrequency ablation,
coblation, harmonic scalpel, thermal welding,
carbon dioxide laser, micro debrider.
7. Pedikel di klem dengan Negus Artery Forceps, tonsil
digunting.
8. Perdarahan dirawat dengan cara ligasi menggunakan
benang Silk 2-0.
9. Hal yang sama dilakukan pada tonsil sisi
kontralateral.
10. Dilakukan evaluasi pada fossa tonsil, bila ada
perdarahan dilakukan hemostasis.
11. Mouth gag Davis dilepas
IV. PASCA OPERASI
1. Observasi jalan nafas, perdarahan, tekanan darah,
suhu dan nadi secara teratur
2. Disarankan pasien tidur miring tanpa bantal
3. Kompres es di sekitar leher
4. Mengawasi terjadinya dehidrasi
5. Pemberian antibiotik segera setelah operasi
6. Pemberian minuman dingin dan makanan lembut
untuk beberapa hari pertama, untuk menghindari
terjadinya perdarahan
7. Medikamentosa
a. Antibiotika oral
b. Analgetika oral
c. Terapi simtomatis sesuai indikasi

10
IV.4 – Tonsilitis

L. MATERI PRESENTASI

 Slide 1. Pendahuluan
 Slide 2. Ananatomi dan Fisiologi cincin Waldeyer
 Slide 3. Patogenesa terjadi hipertrofi tonsil
 Slide 4. Indikasi dan KontraindikasiTonsilektomi
 Slide 5. Tehnik Operasi Tonsilektomi
 Slide 6. Perawatan Pasca Tonsilektomi
 Slide 7. Komplikasi Tonsilektomi

M. MATERI BAKU

1. Anatomi, Histologi dan Fisiologi Cincin Waldeyer


Tonsil (faucial atau palatina) berjumlah sepasang, merupakan organ yang
berbentuk oval yang berlokasi di dinding lateral orofaring, di fossa
tonsilaris diantara plika palatoglossus dan plika palatofaringeus. 3,4 Organ
ini beserta adenoid merupakan bagian dari lingkaran jaringan limfoid yang
disebut cincin Waldeyer,). Tonsila palatina diliputi oleh selapis tipis epitel
yang menjorok masuk ke dalam parenkimnya membentuk kripte-kripte. 5
Diantara kapsula tonsil dengan otot faring terdapat jaringan ikat yang
longgar .
Permukaan dalam tonsil bersinggungan dengan fasia muskulus konstriktor
superior. Batas anterior adalah muskulus palatoglosus (pilar anterior), dan
batas posterior adalah muskulus palatopharyngeus (pilar posterior). Tonsil
bisa meluas ke inferior dan menyambung dengan jaringan tonsil lingual
pada dasar lidah.3
Suplai darah tonsil sangat bervariasi, tetapi secara umum disuplai dari
arteri faringeal ascendens, palatina ascendens, dan cabang dari arteri
lingual dan fasial, semua cabang arteri carotis externa. Jarang diperdarahi
langsung oleh arteri carotis externa itu sendiri. Arteri carotis interna
berjalan kira-kira 2 cm di posterolateral dasar tonsil; sehingga pada waktu
pembedahan, harus diperhatikan tempat yang tepat untuk diseksi untuk
menghindari cedera pada pembuluh darah. Saluran limfatik dari tonsil
yang utama adalah ke limfonodi cervical superior dalam dan jugular;
dengan demikian penyakit inflamasi dari tonsil merupakan faktor yang
signifikan pada perkembangan abses atau adenitis cervical pada anak-
anak. Inervasi sensoris berasal dari nervus glossopharyngeal dan beberapa
cabang dari nervus palatina lewat ganglion sphenopalatina.3,5
Lokasi anatomi tonsil tersebut mengakibatkan adanya hubungan dengan
penyakit pada tuba eustachius / telinga tengah dan sinus; tetapi tonsil dan
adenoid secara bersama lebih sering mengakibatkan proses penyakit :
infeksi kronik / rekuren dan atau hiperplasia obstruktif.3
Hiperplasia tonsil bisa menyebabkan posisi lidah abnormal, lidah terasa
ditusuk-tusuk, pola bicara yang abnormal, dan perubahan pertumbuhan
11
IV.4 – Tonsilitis

orofasial dan kraniofasial. Serupa dengan adenoid, hubungan antara


volume orofaring, ukuran tonsil, dan etiologi obstruksi jalan napas atas
merupakan multifaktor dan berhubungan dengan hiperplasia tonsil, variasi
anatomi, dan faktor genetik.3
Struktur histologi tonsil sangat erat hubungannya dengan fungsinya
sebagai organ imunologis. Seperti adenoid, tonsil palatina tidak
mempunyai limfatik aferen tetapi mempunyai 10 sampai 30 invaginasi
seperti kripte yang cabangnya terletak di dalam parenkim tonsil dan
dihubungkan dengan epitel squamous antigen-processing khusus. Epitel
ini bekerja sebagai sistem imun untuk antigen inhalasi dan ingesti. Epitel
kripte mempunya sistem kompleks sel antigen-processing khusus dan
micropores yang mengirim antigen pada cel limfoid aktif imunologis.
Empat zona (atau bagian) yang penting pada proses antigen yaitu: epitel
squamous khusus, area extrafolikuler (area kaya sel T), lapisan folikel
limfoid, dan pusat germinal folikel limfoid (sel B). 3
Tonsil dan adenoid merupakan jaringan limfoid utama pada traktus
aerodigestivus. Keduanya terlibat dalam imunitas lokal maupun sistemik.
Adenoid juga menjadi target organ pada stimulasi alergi, yang dapat
berakibat terjadinya hipertrofi. Efek adenotonsilektomi terhadap
keseluruhan integritas sistem imun hanyalah minimal. Meskipun tidak
ditemukan adanya efek samping setelah ekstirpasi kedua organ ini, namun
keduanya memang berperan dalam fungsi imunitas yang tidak boleh
dikesampingkan begitu saja, terutama pada masa awal kanak-kanak.
Sehingga tindakan mengambil adenoid dan tonsilapalatina harus disertai
adanya definisi penyakit klinis yang jelas.3
2. Patofisiologi Tonsilitis
Patogenesis infeksi dan inflamasi pada tonsil dan adenoid dipengaruhi oleh
lokasi tonsil yang letaknya di orofaring, nasofaring dan dasar lidah
membentuk suatu cincin pertahanan imunitas (Waldeyer’s ring). Organ ini
akan memproses antigen virus, bakteri dan mikroorganisme lain, sehingga
mudah terkena infeksi dan pada akhirnya dapat menjadi fokus infeksi.
Infeksi virus yang diikuti infeksi bakteri sekunder mungkin merupakan
salah satu mekanisme dari infeksi akut menjadi infeksi kronis, tetapi hal
ini juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, pejamu, alergi dan
penggunaan antibiotik yang luas dan gizi.1

3. Tonsilitis
Tonsilits dibagi menjadi tonsilitis akut dan tonsilitis kronis.
a. Tonsilitis Akut :
 Acute Catarrhal/ superficial tonsillitis
 Acute follicular tonsillitis
 Acute parenchymatous tonsillitis
 Acute membranous tonsillitis
b. Tonsilitis Kronis :
 Chronic follicular tonsillitis
12
IV.4 – Tonsilitis

 Chronic parenchymatous tonsillitis


 Chronic fibroid tonsillitis
 Tonsilitis alergi (lihat di Modul Alergi Imunologi)
Diagnosis banding tonsilitis kronik yaitu hipertrofi tonsil dan tumor tonsil.

4. Tatalaksana Tonsilitis
Tatalaksana tonsilitis berupa medikamentosa dan operatif berupa
tonsilektomi dan atau adenoidektomi. Antibiotika yang diberikan adalah
golongan penisilin masih merupakan terapi pilihan.
Prosedur pengangkatan tonsila palatina dapat berupa pengangkatan tonsil
secara total (tonsilektomi) atau secara parsial (tonsilotomi). Pada adenoid
hipertrofi dilakukan adenoidektomi.
4.1 Tonsilektomi :
Tonsilektomi didefinisikan sebagai suatu tindakan bedah yang
mengangkat keseluruhan jaringan tonsil palatina, termasuk kapsulnya
dengan melakukan diseksi ruang peritonsiler diantar kapsula tonsil dan
dinding muskuler tonsil. Tindakan ini dapat dilakukan dengan atau tanpa
adenoidektomi. 1,2
Indikasi Operasi
a. Obstruksi 3,6,7
Hiperplasia/hipertrofi tonsil yang menyebabkan gangguan berupa:
1) Gangguan bernapas saat tidur.
 Obstructive sleep apnea syndrome
 Upper airway resistance syndrome
 Obstructive hypoventilation syndrome
2) Gagal tumbuh
3) Cor pulmonale
4) Gangguan menelan
5) Gangguan berbicara
6) Abnormalitas orofacial/dental
7) Gangguan limfoproliferatif3

b. Infeksi
1) Tonsilitis rekuren/kronik6,7
2) Tonsilitis dengan :
 Abses nodus cervical
 Obstruksi jalan napas akut
 Penyakit jantung katup
3) Tonsilitis persisten dengan :
 Sore throat persisten
 Nodus cervical yang nyeri
 Halitosis
4) Tonsilolithiasis

13
IV.4 – Tonsilitis

5) Status karier streptococcal yang tidak responsif terhadap terapi


medis pada anak-anak atau keluarga yang beresiko6,7
6) Abses peritonsial yang tidak responsif terhadap terapi medis atau
pada pasien dengan tonsilitis rekuren atau abses rekuren3
7) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam6
8) Terjadi 3 atau lebih infeksi tonsil dalam satu tahun dengan
pengobatan adekuat6

c. Neoplasma
Tersangka neoplasma, baik benigna maupun maligna.5,6
(Cummings, 2005; HTA, 2004; HTA Ireland 2013)
Ada pula indikasi dengan menggunakan kriteria Paradise 8, yaitu :
1) ≥ 7 episode tonsilitis per tahun dengan pengobatan adekuat
2) ≥ 5 episode tonsilitis per tahun dalam 2 tahun terakhir
3) ≥ 3 episode tonsilitis per tahun dalam 3 tahun berturut-turut
Tonsilitis dengan gejala nyeri tenggorok disertai paling tidak 1 dari
gejala berikut:
1) Demam ≥ 38,3 °
2) Cervical limfadenopati
3) Tonsilar eksudat
4) Positif kultur Streptokokus beta hemolitikus

4.2 Adenoidektomi
Adenoidektomi adalah tindakan pengangkatan adenoid, dapat
dilaksanakan dengan atau tanpa tonsilektomi.
a. Indikasi Adenoidektomi:
1) Hipertrofi Adenoid
2) Adenoiditis yang menyebabkan
 Otitis Media Rekuren
 Sinusitis Akut Rekuren
 Sinusitis Kronik Pada Anak
3) Obstructive Sleep Apnea Syndrome

b. Kontra Indikasi Operasi


1) Kelainan darah, seperti hemofilia, diskrasia darah, anemia
2) Risiko tinggi pembiusan umum (general anesthessia)
3) Palatoskizis

c. Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium darah: Darah rutin, BT, CT dan atau PT, APPT
2) Bila perlu: kultur resistensi (swab tenggorok),
rhinopharyngolaryngoscope (RFL) (lihat Modul Refluks Laringo-
Faring), Foto Kepala AP dan Lateral sentrasi adenoid,
polysomnography (lihat Modul OSAS)
3) Foto rontgen dada, EKG untuk usia lebih dari 35 tahun
14
IV.4 – Tonsilitis

d. Teknik Operasi
Terdapat banyak variasi teknik tonsilektomi dan adenoidektomi.
Sejarah pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah
dilakukan pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan
menggunakan jari tangan6. Selama bertahun-tahun, berbagai teknik
dan instrumen untuk tonsilektomi telah dikembangkan. Sampai saat
ini teknik tonsilektomi yang optimal dengan morbiditas yang rendah
masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan
dan kekurangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak
digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.6
Tonsilektomi dapat dilakukan dengan pisau, protected
electrocautery blade, scalpel harmonic, koblasi, mikrodebrider, atau
laser. Hemostatis dapat dilakukan dengan elektrokauter, ligasi, jahitan,
maupun thrombin. Jaringan adenoid dapat dieksisi dengan kuret,
adenotom, atau powered instrument. Seiring waktu berbagai
instrumen dan teknik tonsilektomi telah berkembang, yang pertama
kali dikembangkan adalah teknik guillotine di abad ke-18.10
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir
abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk
mengangkat tonsil. Greenfield Sluder pada sekitar akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20 merupakan seorang ahli yang sangat
merekomendasikan teknik Guillotine dalam tonsilektomi. Beliau
mempopulerkan alat Sluder yang merupakan modifikasi alat
Guillotin.5 Hingga kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih
banyak digunakan. Hingga dikatakan bahwa teknik Guillotine
merupakan teknik tonsilketomi tertua yang masih aman untuk
digunakan hingga sekarang. Kepustakaan menyebutkan beberapa
keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi anestesi kecil, biaya
kecil.6
Frampton et al dalam penelitiannya menyatakan bahwa guillotine
merupakan metode tonsilektomi yang efektif dan efisien waktu
dengan perdarahan intraoperative yang lebih sedikit dan nyeri post
operatif yang lebih ringan dibandingkan teknik cold diseksi. 10
Sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum dengan
endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka
mulut Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi dengan
cara diseksi.6 . Saat ini teknik inilah yang paling sering digunakan.
Teknik cold dissection (diseksi dingin) meliputi eksisi tonsil
menggunakan gunting dan disektor tonsil tumpul. dengan
menggunakan anestesi umum dengan intubasi endotrakeal.10 Teknik
operasi meliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis tengah,
insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar
tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu
dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan.

15
IV.4 – Tonsilitis

Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan


disamping teknik diseksi standar, yaitu: 6,7,10
1) Elektrokauteri
2) Radiofrekuensi
3) Skalpel harmonic
4) Coblation
5) Intrakapsular parsial tonsilektomi
6) Laser6,7, 10

e. Diseksi
 Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan
operasi.
 Pembiusan dengan endotracheal , posisi kepala penderita
hiperektensi dengan bantal dibawah bahu penderita.
 Desinfeksi dengan larutan antiseptik , kemudian ditutup dengan
kain steril berlubang.
 Dipasang retraktor mulut.
1) Diseksi Menurut Lore and Medina
a) Dengan mouth gag Jennings dan penekan lidah, tonsil
dicengkram dengan klem Allis atau klem tonsil lain yang serupa.
Suction Yankauer digunakan untuk menarik palatum molle.
Dengan menarik palatum, dan traksi tonsil keluar, mukosa pilar
posterior tonsil terlihat. Mukosa pilar posterior diinsisi dimulai
dari kutub superior.
b) Sisa mukosa pada kutub superior dan mukoas pilar anterior
diinsisi dan klem mencengkram kapsul di kutub superior. Bagian
belakang pisau (Neivert) digunakan untuk memisahkan kapsul
tonsil dari fossanya.
c) Klem digunakan dalam posisi horizontal, dan diseksi secara
tumpul dilakukan di kutub superior untuk melihat pembuluh
darah kutub superior.
d) Pembuluh darah ini diklem di bagian proximal dan dipotong di
bagian distal dengan gunting.
e) Benang catgut 2.0 atau 3.0 diletakkan di sekeliling klem
pembuluh darah dan diikat dengan menggunakan klem lain.
f) Pilar anterior di retraksi dengan retraktor Herd, kapsul dipisahkan
secara diseksi tumpul. Gunting Metzenbaum juga bisa digunakan
untuk diseksi.
g) Saat diseksi mencapai kutub inferior, senar digunakan untuk
mengangkat tonsil secara utuh.
h) Bila terdapat sisa jaringan limfoid di kutub inferior, diangkat
dengan menggunakan senar
i) Fossa diinspeksi, dan perdarahan di klem dan diikat. Jahitan di
bagian di dalam dihindari, karena arteri carotis intera bisa terkena.

16
IV.4 – Tonsilitis

Setelah mengatasi perdarahan, letakkan kassa pada fossa untuk


beberapa menit.
j) Pengikatan perdarahan bisa dengan pengikat dari ruder. Setelah
pendarahan diklem, benang cat gut 2,0 atau 3,0 setelah diikat
simpul yang bisa digerakkan dimasukkan ke pengikat ruder,
diluwib back disekeliling pembuluh darah yang diklem kemudian
dieratkan.

17
IV.4 – Tonsilitis

2) Teknik Diseksi Menurut Byron J. Bailey1


Alat :
a) Lampu kepala
b) Retraktor McIvor
c) Pisau Dean dan Fischer
d) Bantalan
Kutub superior dari salah satu tonsil di pegang dengan klem Allis dan di
tarik ke depan ke arah garis tengah. Mukosa di sekitar kutub superior
tonsil di insisi dengan menggunakan pisau lengkung pada pertemuan
antara tonsil dan musculus pilar. Insisi ke arah anterior dan inferior menuju
kutub inferior tonsil. Ujung pisau masuk ke dalam mukosa dan kemudian
menelusuri tepi pilar posterior tonsil.
Kapsul diangkat dari landasan otot fossa tonsilar dengan menggunakan
tekanan dengan tepi pisau Fischer/disektor tonsil. Pembuluh darah yang
tampak, bisa di electrocoagulated sebelum dipisahkan atau di cauter
setelah di klem dengan hemostat. Diseksi dilanjutkan sampai tonsil
melekat dengan hanya satu pembuluh darah dan mukosa di kutub inferior.
Lingkaran logam (kawat) masuk mengelilingi tonsil, melingkari perlekatan
kutub inferior dengan pergerakan yang lambat dan mantap, lingakaran
dieratkan sampai tonsil lepas. Saat perlekatan kutub inferior tonsil dilepas,
biasanya terjadi perdarahan, yang diatasi dengan meletakkan dua buah
kapas pada fossa tonsilar.
Pedarahan dicegah dengan meletakkan kapas pada sisi tonsilektomi dan
atau adenoidektomi sementara prosedur yang sama dilakukan pada sisi
kontralateral. Setelah menyelesaikan tonsilektomi dan atau adenoidektomi,
kassa dilepas dari nasofaring, dan daerah tersebut diirigasi dengan larutan
saline untuk membersihkan clotting. Inspeksi nasofaring dengan cermin
dilakukan dengan menarik kedua kateter karet untuk membuka daerah
tersebut. Perdarahan diatasi dengan kassa atau elektrokoagulasi. Kassa
diangkat dari sisi tonsilektomi dan atau adenoidektomi yang pertama, dan
kemudian dasar tonsil diamati dengan cermat. Dapat dilihat kumpulan
pembuluh darah dekat kutub superior dan inferior di setiap tonsil.
Perdarahan kecil diatasi dengan elektrokoagulasi, dan perdarahan besar
dengan klem dan ligasi menggunakan benang catgut 2,0 atau 3,0 atau
Vicryl pada jarum semisirkuler.

18
IV.4 – Tonsilitis

19
IV.4 – Tonsilitis

f. Komplikasi Anestesi 6:
1) Laringospasme
2) Gelisah pasca operasi
3) Mual muntah
4) Kematian saat induksi dengan hipovolemi
5) Hipotensi
6) Henti jantung
7) Hipersensitif obat anestesi

g. Komplikasi Operasi1,6,7,10
1) Perdarahan
2) Nyeri
3) Airway obstruction
4) Postoperatif pulmonary edema
5) Dehidrasi
6) Insufisiensi velofaringeal
7) Stenosis nasofaring
8) Lesi di bibir, lidah, gigi
9) Pneumonia

5. Durante Operasi
a. Trauma pada gigi, bibir, lidah, dinding faring dan tuba eustachius
(pada adenoidektomi).
b. Dislokasi sendi rahang11 (temporomandibular joint), jika membuka
mulut terlalu lebar atau kesalahan pemasangan mouth gag
c. Trauma pada vertebra servikal karena hiperekstensi kepala
d. Perdarahan1,6,7,11,15, mungkin terjadi karena :
 Jaringan tonsil yang tertinggal (rest tonsil)
 Baru saja infeksi, atau ada kelainan darah (gangguan faktor
pembekuan)
 Riwayat abses peritonsil sebelumnya (scar/fibrotik)
 Terdapat pembuluh darah yang terbuka
e. Sumbatan jalan nafas karena darah terkumpul di daerah faring
sehingga menyebabkan sumbatan mekanik jalan nafas1,4,6,14
5.1 Post Operasi (Recovery)
a. Perdarahan (8 jam pertama), kemungkinan penyebabnya adalah :
 Ikatan pembuluh darah terlepas
 Tekanan darah meningkat
 Hilangnya vasokonstriktor adrenalin (lokal)
 Bekuan darah terlepas
 Peningkatan tekanan vena karena terbatuk (mulai sadar)
b. Sumbatan jalan nafas karena terkumpulnya darah di saluran nafas atas
(faring)
c. Spasme laring karena ekstubasi terlalu cepat atau terkumpulnya darah
pada jalan nafas
20
IV.4 – Tonsilitis

d. Shock hipovolemik

5.2 Post Operasi (Kemudian)


a. Perdarahan sekunder, biasanya terjadi hari ke 5-10 karena peradangan,
selaput fibrin yang menutup fosa tonsilaris terlalu cepat lepas, ikatan
pembuluh darah terlepas, iritasi karena batuk-batuk dan trauma akibat
makanan yang terlalu keras.
b. Nyeri alih ke telinga / otalgia6,7,11,15, karena terganggunya tuba
eustachius
c. Otitis media akut (infeksi sekunder melalui tuba eustachius)
d. Odema palatum molle dan uvula, akibat trauma
e. Sepsis lokal
f. Komplikasi paru, misal atelektasis, pneumonia dan abses paru, terjadi
karena aspirasi darah / debris/ fragmen tonsil, atau perluasan infeksi
dari saluran nafas atas.
g. Komplikasi jantung
h. Dehidrasi dan malnutrisi7,15

5.3 Perawatan Post Operasi6,10, 15


a. Sangat penting mengamati perdarahan, sehingga disarankan pasien tidur
miring tanpa bantal.
b. Kompres es di sekitar leher
c. Awasi tekanan darah dan nadi secara teratur
d. Mengawasi terjadinya dehidrasi, karena biasanya setelah operasi, pasien
tidak tertarik untuk makan dan minum
e. Pemberian antibiotik segera setelah operasi untuk mencegah infeksi
f. Pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri
g. Pemberian minuman dingin dan makanan lembut untuk beberapa hari
pertama, untuk menghindari terjadinya perdarahan.

6. KEPUSTAKAAN MATERI BAKU

a. Bailey B. J. Adenotonsilar Disease in Children In : Head and Neck


Surgery Otolaryngology. Fourth Edition. Texas. Lippincott Williams &
Wilkins. 2014 : 1430-1441.
b. Bailey B. J. Tonsillectomy, Adenoidectomy, and UPPP. In : Pediatric
and General Otolaryngology. 2001 : 858-63.
c. Adams G. L. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam :
Highler B. A. Boeis Buku Ajar Penyakit THT-KL. Edisi 6. Jakarta.
EGC. 1997 : 327-40.
d. Rusmarjono, Soepardi E. Penyakit Serta Kelainan Faring dan Tonsil.
Dalam : Soepardi E, Iskandar N. Buku ajar ilmu kesehatan THT-KL-
KL. Ed 7. Jakarta. Balai Penerbit FKUI, 2007: 183-4.
e. Safar P, Escarraga LA, Chang F. Upper airway obstruction in the
unconscious patient. J Appl Physiol 1959;14:760-4.
21
IV.4 – Tonsilitis

f. Ballenger J. J. Tonsil. Dalam : Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok,


Kepala dan Leher. Edisi 13. Jakarta. Binarupa Aksara. 1994 : 352-7.
g. Lore M. J, Medina J. E. Tonsillectomy and Adenoidectomy. In : An
Atlas of Head and Neck Surgery. Fourth Edition. New York. Elsevier
Saunders. 2005 : 770-2
h. Dhingra PL. Tonsillitis. Dalam: Disease of Ear, Nose and Throat. 6 th Ed.
New Delhi. Elsevier. 2015: 239-43

22

Anda mungkin juga menyukai