Anda di halaman 1dari 38

MODUL UTAMA

RINOLOGI

MODUL II.4
RINOSINUSITIS DISERTAI POLIP

EDISI II

KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

DAFTAR ISI

A. WAKTU ...................................................................................... 2
B. PERSIAPAN SESI ...................................................................... 2
C. REFERENSI ......................................................................................... 2
D. KOMPETENSI ..................................................................................... 3
E. GAMBARAN UMUM ......................................................................... 4
F. CONTOH KASUS DAN DISKUSI ..................................................... 6
G. TUJUAN PEMBELAJARAN ............................................................... 6
H. METODE PEMBELAJARAN ............................................................. 9
I. EVALUASI .......................................................................................... 9
J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF .................. 9
K. INSTRUMEN PENILAIAN PSIKOMOTOR ...................................... 11
L. DAFTAR TILIK .................................................................................... 12
M. MATERI PRESENTASI ....................................................................... 14
N. MATERI BAKU .................................................................................... 14
O. ALGORITMA ........................................................................................ 36

1
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

A. WAKTU

Sesi didalam kelas 13 x 60 menit


Sesi dgn fasilitas pembimbing 3 x 60 menit
Sesi praktek dan pencanpaian 25 X 60 menit
kompetensi

B. PERSIAPAN SESI

 Materi Presentasi:
LCD 1. Anatomi hidung dan sinus paranasal
LCD 2. Etiologi, Patogenesis dan Patofisiologi
LCD 3. Imunopatologi, perubahan berdasarkan patogenesis, patofisiologi
LCD 4. Pemeriksan Penunjang
LCD 5. Tatalaksana

 Kasus : polip hidung

 Sarana dan Alat Bantu Latih


- Tempat Pembelajaran
-Bangsal THT, Poliklinik THT, Kamar Operasi

- Kuliah Interaktif
Ruang kuliah yang dilengkapi proyektor LCD dan sistem
audiovisual

- Diskusi Kelompok
Ruang diskusi yang dilengkapi dengan flipchart, alat tulis kantor dan
proyektor LCD serta koneksi internet

C. REFERENSI

1. David W. Kennedy, MD, FACS, FRCSI: Diseases Of The Sinuses


Diagnosis And Management, BC Decker Inc Hamilton London 2001 p 57
– 75
2. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European Position Paper on Rhinosinusitis
and Nasal Polyps 20012
3. Byron J Bailey: Head &Neck Surgery-Otolaryngology, Lippicont William
& Wilkins A Wolter Kluwer CO. Philadhelpia 2001. p 305 - 306

2
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

4. K.J. Lee, MD, FACS : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery,
Eighth edition, McGraw-Hill Medical Publishing Division CO New York
Chicago, 2003 p 704 -705

D. KOMPETENSI
Lulusan Dokter Spesialis THT-KL akan bekerja ditingkat pelayanan sekunder dan
tertier, sehingga harus memiliki tingkat kemampuan klinis yang memadai untuk
menjalankan tugasnya. Oleh karena itu ditetapkan tingkat kemampuan yang
diharapkan yang akan dicapai pada akhir pendidikan dokter spesialis THT-KL
berdasarkan kewenangan yang akan diberikan ketika bekerja di tingkat pelayanan
sekunder.

PENCAPAIAN TINGKAT KOMPETENSI


Tingkat kemampuan yang diharapkan dicapai pada akhir pendidikan Dokter
Spesialis THT-KL :
- Tingkat Kemampuan Klinis
- Tingkat Kemampuan Ketrampilan Klinis

Kemampuan Klinis
Kompetensi kemampuan klinis Polip Hidung : Tingkat Kemampuan 4 yaitu :
Mampu membuat diagnosis klinik Polip hidung berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diminta oleh dokter, serta
dapat memutuskan dan mampu menangani problem itu secara mandiri hingga
tuntas.

Keterampilan Klinis/Kemampuan untuk tindakan/prosedur


Keterampilan klinis adalah kegiatan mental dan atau fisik yang terorganisasi serta
memiliki bagian-bagian yang saling bergantung dari awal hingga akhir.
Kompetensi Ketrampilan Klinis Polip Hidung: Tingkat Kemampuan 4 .
Tingkat kemampuan 4 : Mampu melakukan secara mandiri
Memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan ini (baik konsep, teori,
prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi, dan sebagainya). Selama
pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan ini, dan
pernah menerapkan keterampilan ini beberapa kali di bawah supervisi serta
memiliki pengalaman untuk menggunakan dan menerapkan keterampilan ini
dalam konteks praktik dokter secara mandiri.
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan mempunyai ketrampilan klinis
Polip hidung berupa: polipektomi sederhana endoskopik

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:


1. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita polip hidung
2. Mengenali gejala dan tanda adanya polip dalam rongga hidung
3
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

3. Membedakan antara polip hidung, konka polipoid dan konka hipertropi


4. Menetapkan diagnosis
5. Melakukan polipektomi sederhana endoskopik
6. Menganalisis hasil pemeriksaan penunjang

E. GAMBARAN UMUM

Polip adalah proses peradangan kronik non-neoplastic mukosa sinonasal.


Polip hidung jarang berdiri sendiri, biasanya ditemukan juga pada sinus paranasal
dan dapat terjadi bersama dengan rinosinusitis, sehingga sering juga disebut polip
sinonasal atau rinosinusitis kronis dengan polip1. Rinosinusitis kronis dengan
polip dan tanpa polip memiliki kesamaan gejala utama yaitu hidung tersumbat,
beringus, anosmia dan nyeri wajah.
Secara makroskopik polip tampak sebagai massa lunak yang bertangkai,
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, dengan permukaan
licin dan agak bening (translusen) karena mengandung banyak cairan. Pada
umumnya multipel, mudah digerakkan dan tidak mudah berdarah. Polip hidung
dapat timbul dari tiap bagian mukosa hidung atau sinus paranasal dan seringkali
bilateral. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior polip hidung seringkali sukar
dibedakan dari konka hidung yang menyerupai polip (konka polipoid) dan konka
hipertropi.4,5,6
Secara mikroskopik didapatkan perubahan struktur epitel yaitu hiperplasia sel
goblet, metaplasia skuamosa serta infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil,
limfosit dan sel plasma. Selain itu, terdapat pula edema hebat lamina propria
disertai dengan akumulasi matriks protein dan penebalan membran basalis.3-5
Polip hidung sering ditemukan bersama rinosinusitis kronis dan rinitis alergi,
dapat juga berhubungan dengan sejumlah penyakit sistemik termasuk intoleransi
aspirin, asma, dyskinesia ciliary primer dan cystic fibrosis.7 Polip ini biasanya
bilateral dengan angka rekurensi yang tinggi, sedangkan polip unilateral biasanya
dihubungkan dengan polip antrokoanal yang merupakan entitas penyakit
tersendiri, merupakan kasus pembedahan serta hampir tidak pernah mengalami
rekurensi pasca operasi. Polip hidung bilateral biasanya ditemukan pada orang
dewasa dan jarang pada anak-anak di negara-negara Asia. Polip bilateral pada
anak biasanya merupakan gejala dari fibrosis kistik pada populasi Kaukasia,
sedangkan pasien polip bilateral pada anak biasanya berhubungan dengan rinitis
alergi.,5.
Woakes pada tahun 1885 melaporkan polip hidung unilateral atau bilateral
yang besar meluas ke dalam sinus paranasal dan dapat menyebabkan cacat wajah
akibat tekanan terus menerus atau peradangan kronis. Fenomena ini sangat langka
dan disebut sebagai sindrom Woakes, yang terdiri dari beberapa gejala termasuk

4
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

kerusakan dinding sinus etmoid yang menyebabkan hidung melebar, aplasia sinus
frontal dan bronkiektasis.
Bachert6 mengklasifikasikan polip hidung dalam 3 kelompok yaitu: 1) polip
antrokoanal, kebanyakan berasal dari sinus maksila dan prolaps ke arah koana;
biasanya berukuran besar, tersendiri (isolated), unilateral, non-eosinofilik dan
menyerupai kista, 2) polip idiopatik unilateral atau bilateral; kebanyakan
eosinofilik tanpa keterlibatan saluran napas bawah, 3) poliposis eosinofilik
bilateral bersamaan dengan asma dan/atau sensitivitas aspirin, 4) poliposis dengan
penyakit sistemik yang mendasari seperti fibrosis kistik, diskinesia silia primer,
sindrom Churg-Strauss atau sindrom Kartagener.
Berdasarkan penelitan terdahulu, glukokortikoid topikal intranasal
memiliki efikasi yang baik pada terapi polip hidung, sesuai dengan kriteria
kedokteran berbasis bukti, mendapatkan rekomendasi A berdasarkan bukti pada
tingkatan Ib.Error! Bookmark not defined. Hasil terapi menunjukkan
pengecilan ukuran polip disertai perbaikan gejala hidung tersumbat, pilek dan
bersin. Secara umum hal ini dapat dipahami karena glukokortikoid memiliki efek
anti-inflamasi kuat dan dapat menekan proses inflamasi yang terjadi pada polip
hidung.
Secara khusus, keberhasilan terapi glukokortikoid pada polip hidung
disebabkan oleh kemampuannya untuk menekan infiltrasi eosinofil pada mukosa
saluran napas. Glukokortikoid akan mencegah migrasi eosinofil ke jaringan
karena mampu menekan produksi sitokin kemotaktik eosinofil. Patogenesis polip
hidung yang dihubungkan dengan eosinofil dan kemampuan glukokortikoid untuk
menekan infiltrasi dan migrasi eosinofil memiliki bukti yang kuat dan sudah
banyak dipublikasikan di dunia internasional oleh negara-negara barat.
Mekanisme patogenesis ini mungkin tidak berlaku untuk populasi penderita di
Asia, karena sudah dibuktikan pula bahwa polip pada populasi Asia berbeda
dengan populasi Kaukasia. Tipe inflamasi pada polip di Asia didominasi oleh sel
neutrofil seperti yang telah dibuktikan oleh Jareoncharsri di Thailand. Hasil yang
serupa juga didapatkan pada penelitian yang telah dilakukan di Divisi Rinologi
Departemen THT FKUI – RSCM dengan mendapatkan prevalensi polip hidung
tipe neutrofil mencapai 69.4%. Polip neutrofilik di populasi Kaukasia terkait
dengan penyakit sindromik seperti fibrosis kistik, sindrom Kartagener dan
sindrom Young, sedangkan polip neutrofilik pada penderita di Asia tidak terkait
dengan faktor genetik, dan diduga berhubungan dengan angka infeksi bakterial
yang tinggi. Selain itu kebanyakan pasien polip hidung di Indonesia datang
berobat dengan polip yang sudah besar dan sudah menutup rongga hidung,
sehingga respons terapi terhadap glukokortikoid topikal intranasal kurang baik,
karena obat tidak dapat terdistribusi dengan baik ke seluruh permukaan rongga
hidung dan hanya mengenai bagian polip yang menghadap ke arah nares anterior.
Bila polip hidung gagal memberikan respons pada pemberian terapi
konservatif maksimal, dengan menggunakan berbagai kombinasi obat seperti
5
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

glukokortikoid sistemik, glukokortikoid topikal intranasanal, antibiotika,


antihistamin dan larutan pencuci hidung isotonik mau pun hipertonik yang
diberikan dalam waktu 2 – 12 minggu, maka barulah dianjurkan intervensi
pembedahan. Terapi bedah yang direkomendasikan adalah Bedah Sinus
Endoskopik Fungsional (BSEF). Untuk memaksimalkan terapi medikamentosa,
kelompok Studi Rinologi PERHATI-KL menganjurkan tindakan pengangkatan
jaringan polip semaksimal mungkin di poliklinik yang bertujuan untuk mereduksi
volume polip sehingga obstruksi mekanik dapat langsung diatasi dan
glukokortikoid topikal intranasal dapat terdistribusi dan terabsorpsi dengan lebih
merata. Selain itu jaringan polip yang diperoleh dapat diperiksa untuk
memperlihatkan gambaran histopatologi, imunohistokimia, serta pemeriksaan
biomolekuler yang lain.

F. CONTOH KASUS

Seorang laki – laki umur 25 tahun datang ke klinik THT dengan keluhan hidung
tersumbat. Sejak 1 tahun yang lalu hidung mulai terasa tersumbat. Keluhan
hidung tersumbat dirasakan pada hidung kanan maupun hidung kiri. Hidung
tersumbat secara terus menerus dan semakin lama semakin bertambah berat. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior : tampak masa berwarna putih keabu – abuan di
kedua rongga hidung, masa tampak memenuhi kedua rongga hidung.

Diskusi :
1. Gejala dan tanda polip hidung.
2. Cara pemeriksaan THT rutin
3. Peralatan yang diperlukan
4. Tehnik operasi

G. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Tujuan Umum
Mampu membuat diagnosis polip hidung berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta dapat menangani kasus tersebut secara mandiri dan
tuntas

2. Tujuan Khusus
Proses, materi dan metoda pembelajaran yang disiapkan bertujuan untuk alih
pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang terkait dengan pencapaian
kompetensi dan keterampilan yang diperlukan dalam mengenali dan
menatalaksana polip hidung yaitu:
1. Menguasai anatomi rongga hidung dan fisiologi
2. Mampu melakukan pemeriksaan rinoskopi anterior dan nasoendoskopi
6
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

3. Mampu membedakan polip hidung, konka polipoid dan konka hipertrofi


4. Mampu menegakkan diagnosis
5. Mampu melakukan tindakan polipektomi sederhana endoskopik dengan
tehnik yang baik dan benar
6. Mampu melakukan penatalaksanaan polip hidung secara komprehensif
dengan memberikan terapi medikamentosa maksimal

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:


1. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita polip hidung
2. Mengenali gejala dan tanda adanya polip dalam rongga hidung
3. Membedakan antara polip hidung, konka polipoid dan konka hipertropi
4. Menetapkan diagnosis
5. Melakukan polipektomi sederhana endoskopik

3. LINGKUP BAHASAN

Lingkup Pokok Bahasan Sub pokok bahasan


Bahasan
Pengetahuan 1. Anatomi hidung, 1.1. Struktur makroskopik
Rinologi Dasar sinus paranasal 1.2. Struktur mikroskopik
1.3. Sistem dan mekanisme
pertahanan hidung dan sinus
paranasal
2. Anatomi bedah 2.1.Anatomi batas peralihan sinus
paranasal
2.2.Anatomi dinding lateral hidung
2.3.Variasi anatomi yang
menyempitkan KOM
2.4.Daerah rawan tembus dan risiko
tinggi sebagai komplikasi
Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional
3. Aspek fisiologik 3.1.Sistem transport mukosilier
dan imunologik 3.2.Inflamasi neurogenik
hidung dan sinus 3.3.Inflamasi non-alergik
paranasal eosinofilik
3.4.Inflamasi non-alergik netrofilik.
3.5.Siklus nasal

7
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

Lingkup Pokok Bahasan Sub pokok bahasan


Bahasan
Polip Hidung 1. Faktor-faktor yang 1.1.Gangguan transport ion
berhubungan 1.2.Gangguan fungsi silia
dengan polip 1.3.Alergi
hidung 1.4.Asma
1.5.Sensitivitas aspirin
1.6.Faktor host lokal
1.7.Biofilm
1.8.Lingkungan
2. Imunopatologi 2.1.Respons imun
2.1.1. Respons imun spesifik
2.1.2. Respons imun
nonspesifik
2.2.Inflamasi
3. Perubahan 3.1.Perubahan makroskopik
berdasarkan 3.2.Perubahan mikroskopik
patogenesis & 3.3.Organ/sistem terkait = saluran
patofisiologi napas bawah dan paru
4. Patofisiologi 4.1.Hidung tersumbat
gejala polip 4.2.Beringus
hidung 4.3.Ingus belakang tenggorok
4.4.Gangguan penghidu
4.5.Nyeri wajah
5. Dasar Diagnostik 5.1.Rinoskopi anterior
5.2.Nasoendoskopi
5.3.Stadium / ukuran polip
5.4.Skoring Lund Mac-Kay
5.5.Tomografi Komputer
6. Tatalaksana 6.1.Dasar-dasar medikamentosa
6.2.Terapi medikamentosa
maksimal
6.3.Polipektomi Sederhana
Endoskopik
6.4.Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional
6.5.Panduan penatalaksanaan polip
hidung Kodi Rinologi
PERHATI-KL
7. Kesehatan 7.1.Gambaran besar masalah
masyarakat 7.2.Morbiditas dan penurunan
kualitas hidung
7.3.Pencegahan

8
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

H. METODE PEMBELAJARAN

1. Kuliah interaktif
2. Diskusi kelompok
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task based medical education
6. Demonstrasi melalui media videoklip / pasien rawat jalan / pasien kamar
bedah.
7. Praktek di poliklinik rawat jalan / tindakan operasi di kamar bedah
8. Telaah kritis kepustakaan

I. EVALUASI

1. Pada tahap awal pertemuan diberikan pengantar kuliah tentang polip hidung
dengan ilustrasi gambar. Karena bahan dan ilustrasi gambar yang ada hanya
sedikit maka peserta didik diharapkan mencari bahan dan gambar dari text
book ataupun internet untuk menambah wacana.
2. Dilakukan diskusi dengan instruktur pembimbing untuk membahas
kekurangan materi pembelajaran yang ada dan tehnik/keterampilan ekstraksi
3. Pendidik/fasilitas
a. diskusi
b. kriteria penilaian : cakap/tidak cakap, lalai
4. Diakhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila perlu diberi tugas
untuk bisa lebih terampil .
5. Pencapaian pembelajaran pendidikan

J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF

Kuesioner sebelum pembelajaran(pre test):


1. Polip hidung paling sering berasal dari sinus etmoid dan biasanya
multipel.
Sebab
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau
reaksi alergi pada mukosa hidung.

2. Simptom yang sering dijumpai pada polip hidung adalah :


a. Hidung tersumbat terus menerus
b. Hiposmia / anosmia
c. Bisa menimbulkan komplikasi sinusitis
d. Jawaban a,b,c benar

9
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

3. Selain lampu kepala maka peralatan lain yang harus disiapkan adalah:
1. Pinset
2. Suction
3. Senar polip
4. Spekulum

Kuesioner tengah pembelajaran :


1. Seorang laki – laki umur 25 tahun. 1 bulan ini hidung terasa tersumbat
makin lama makin berat. Hidung terasa tersumbat secara terus menerus.
Kemudian penderita pergi ke dokter. Pada waktu dilakukan pemeriksaan
rinoskopi anterior tampak masa berwarna putih keabu – abuan dan lunak.
Tindakan yang saudara lakukan adalah :
A. Masa di hidung langsung diekstraksi
B. Rongga hidung diaplikasi dengan vasokonstriktor
C. Dipastikan terlebih dahulu polip atau konka polipoid
D. Bila masa tersebut polip dilakukan polipektomi
E. Jawaban B, C, D benar

Kuesioner akhir pembelajaran :


Seorang laki – laki umur 25 tahun datang ke klinik THT dengan keluhan hidung
tersumbat. Sejak 1 tahun yang lalu hidung mulai terasa tersumbat. Keluhan
hidung tersumbat dirasakan pada hidung kanan maupun hidung kiri. Hidung
tersumbat secara terus menerus dan semakin lama semakin bertambah berat. Pada
pemeriksaan rinoskopi anterior: tampak masa berwarna putih keabu – abuan di
kedua rongga hidung, masa tampak memenuhi kedua rongga hidung.

Soal / Pertanyaan sesuai vignette di atas


1. Gejala dan tanda polip hidung.
2. Cara pemeriksaan THT rutin
3. Peralatan yang diperlukan
4. Tehnik operasi

10
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

K. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR

PENUNTUN BELAJAR
POLIPEKTOMI SEDERHANA ENDOSKOPIK

Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut:
1. Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau sesuai dengan seharusnya atau
prosedur tidak urut.
2. Mampu: langkah sesuai.pelatih hanya membimbing sedikit untuk perbaikan
3. Mahir: langkah dikerjakan dengan benar sesuai dg urutan aturannya
4. TD: langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)

KEGIATAN KASUS
I. PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN
1. Informed Consent
2. Tujuan tindakan: mengatasi obstruksi
mekanik, membebaskan aliran udara
melalui koana, dan memperluas area
kontak mukosa rongga hidung pada
penggunaan steroid topikal intanasal
3. Rencana tindakan dalam anestesi
umum/anestesi lokal
4. Persiapkan peralatan :
Teleskop 4 mm 0 derajat, head camera, light
source, light source cable, monitor, alcohol
swab, gunting septum, forceps Blekesley lurus,
forceps cutting lurus, ujung penghisap metal,
pompa penghisap

II. PERSIAPAN PROSEDUR TINDAKAN


1. Cuci tangan
2. Tindakan asepsis dan antisepsis (bila tindakan
dalam anestesi umum)
3. Rongga hidung pasien ditampon dengan kapas
yang dibahasi dengan Adrenalin 1/5000 dan
Xylocaine Gel selama minimal 30 menit

11
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

III. PROSEDUR TINDAKAN


1. Endoskop dipegang dengan jejari tangan kiri
2. Pinset bayonet dipegang dengan jejari tangan
kanan
3. Tampon diangkat dari dalam rongga hidung
menggunakan pinset dengan bantuan
nasoendoskopi
4. Identifikasi pangkal, tangkai, dan asal polip
5. Gunting lurus atau forceps potong lurus
dipegang dengan jejari tangan kanan
6. Potong polip pada pangkal, tangkai, atau asal
polip
7. Polip dikeluarkan melalui rongga hidung
menggunakan forceps Blekesley lurus
8. Lakukan pemotongan seluruh polip hingga
koana tidak tertutup polip
9. Perdarahan dihisap dengan ujung penghisap
10. Sumber perdarahan ditampon dengan kapas
yang dibasahi Adrenalin 1/500 dan Xylocaine
Gel selama 30 menit sampai 1 jam
11. Tampon diangkat, evaluasi perdarahan
12. Tindakan selesai
III. PASCA TINDAKAN
1. Kirim jaringan polip untuk pemeriksaan
histopatologi ke Patologi Anatomi
2. Informasikan hasil tindakan
3. Instruksi pasca tindakan: pemberian antiobiotik
dan analgetik

L. DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA

DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA


PENATALAKSANAAN POLIP HIDUNG

Berikan penilaian kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan


oleh peserta pada saat melaksanakan suatu kegiatan dengan ketentuan sebagai
berikut ini:

V: memuaskan: langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau


panduan standar.

12
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

X: tidak memuaskan: langkah atau kegiatan tidak ditampilkan sesuai dengan


prosedur atau panduan standar
T/T: tidak ditampilkan: langkah kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih

NAMA PESERTA: TANGGAL:

KEGIATAN NILAI
I. PERSIAPAN SEBELUM TINDAKAN
1. Informed Consent
2. Tujuan tindakan: mengatasi obstruksi mekanik,
membebaskan aliran udara melalui koana, dan
memperluas area kontak mukosa rongga
hidung pada penggunaan steroid topikal
intanasal
3. Rencana tindakan dalam anestesi
umum/anestesi lokal
4. Persiapkan peralatan :
5. Teleskop 4 mm 0 derajat, head camera, light
source, light source cable, monitor, alcohol
swab, gunting septum, forceps Blekesley lurus,
forceps cutting lurus, ujung penghisap metal,
pompa penghisap
II. PERSIAPAN PROSEDUR TINDAKAN
1. Cuci tangan
2. Tindakan asepsis dan antisepsis (bila tindakan
dalam anestesi umum)
3. Rongga hidung pasien ditampon dengan kapas
yang dibahasi dengan Adrenalin 1/5000 dan
Xylocaine Gel selama minimal 30 menit
III. PROSEDUR TINDAKAN

13
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

1. Endoskop dipegang dengan jejari tangan kiri


2. Pinset bayonet dipegang dengan jejari tangan
kanan
3. Tampon diangkat dari dalam rongga hidung
menggunakan pinset dengan bantuan
nasoendoskopi
4. Identifikasi pangkal, tangkai, dan asal polip
5. Gunting lurus atau forceps potong lurus
dipegang dengan jejari tangan kanan
6. Potong polip pada pangkal, tangkai, atau asal
polip
7. Polip dikeluarkan melalui rongga hidung
menggunakan forceps Blekesley lurus
8. Lakukan pemotongan seluruh polip hingga
koana tidak tertutup polip
9. Perdarahan dihisap dengan ujung penghisap
10. Sumber perdarahan ditampon dengan kapas
yang dibasahi Adrenalin 1/500 dan Xylocaine
Gel selama 30 menit sampai 1 jam
11. Tampon diangkat, evaluasi perdarahan
12. Tindakan selesai
III. PASCA TINDAKAN
1. Kirim jaringan polip untuk pemeriksaan
histopatologi ke Patologi Anatomi
2. Informasikan hasil tindakan
3. Instruksi pasca tindakan: pemberian antiobiotik
dan analgetik

M. MATERI PRESENTASI

LCD terlampir

N. MATERI BAKU

Polip hidung yang termasuk subgrup rinosinusitis kronis (RSK) ditandai


oleh adanya proses inflamasi kronik pada mukosa dinding lateral rongga hidung
dan meatus medius. Kedua kelainan ini sukar dibedakan dan baru pada akhir-akhir
ini saja kedua kelainan ini bisa dibedakan dengan jelas berdasarkan penanda
peradangan. Pada intinya polip hidung mungkin merupakan titik akhir patologik
dari beberapa penyebab dan proses patologis yang memperlihatkan berbagai
tingkat kelainan mulai dari lesi ringan terbatas hingga perubahan mukosa yang
masif dan difus sampai menyebabkan kelainan wajah yang sangat jelas seperti
14
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

pada sindroma Woakes. Mengapa polip bisa tumbuh pada orang-orang tertentu
dan tidak ada orang lain sampai sekarang masih belum dapat dijelaskan.i,ii,iii
Polip hidung tampak sebagai massa yang berbentuk seperti buah anggur
dan berasal dari dalam kompleks ostio-meatal (KOM). Di dalamnya mengandung
jaringan ikat longgar, edema, sel-sel radang dan sedikit kelenjar dan pembuluh
darah kapiler yang dilapisi oleh beberapa macam epitel terutama epitel khas
saluran pernapasan yaitu sel torak berlapis semu bersilia dengan sel-sel goblet di
antaranya. Yang perlu dikemukakan ialah polip hidung bukan merupakan edema
pada mukosa hidung normal, melainkan sesuatu proses peradangan baru akibat
adanya mediator-mediator peradangan, sitokin, molekul-molekul adesi dan
reseptor-reseptor endotel.i,ii
Polip hidung tanpa gejala bisa tumbuh dan menetap tanpa terdiagnosis
sampai terdeteksi dalam pemeriksaan klinis. Sedangkan polip hidung simtomatis
bisa juga tidak terdiagnosis karena penderitanya tidak memeriksakan diri atau
luput dari pengamatan pada pemeriksaan rinoskopi anterior karena ukurannya
masih kecil atau tersembunyi di dalam meatus medius. Dikatakan bahwa sepertiga
dari keseluruhan penderita RSK dengan polip hidung tidak memeriksakan diri ke
dokter.i,ii,iii

EPIDEMIOLOGI
Dalam suatu survei kependudukan di Skovde, Swedia, Johansson et.aliv
melaporkan prevalensi polip hidung sebesar 2.7% seluruh penduduk. Penelitian
prevalensi epidemiologik ini menggunakan naso-endoskopi dan/atau kuesioner
untuk mendapatkan angka polip hidung di masyarakat tersebut.
Hedman et al yang dikutip oleh Fokkensii melaporkan bahwa prevalensi
polip hidung sebesar 4% dari seluruh populasi, sedangkan pada penderita asma
didapatkan prevalensinya sebesar 7 sampai 15%, pada penderita alergi NSAID
(non-steroid anti inflammatory drug) prevalensi polip hidung sebesar 30% sampai
60%. Sudah sejak dahulu alergi dianggap sebagai faktor predisposisi polip hidung
didapati gejala rinore yang cair dan pembengkakan mukosa didapati pada kedua
kelainan ini; namun, data epidemiologi tidak dapat memberikan bukti mengenai
hubungan ini. Polip hidung didapati pada 0,5 sampai 1,5% penderita dengan tes
kulit positif terhadap beberapa alergen.ii,iii,iv,v
Stammbergervi,vii,viii mengamati polip hidung secara konsekutif pada 200
pasien yang akan menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) dan
mendapatkan bahwa 80% polip hidung berasal dari mukosa meatus medius,
prosesus unsinatus dan infundibulum. Pada 65% polip hidung berasal dari bula
etmoid dan hiatus semilunaris, dan 48% dari resesus frontal. Polip hidung yang
didapati di dalam bula etmoid sebesar 30%.
Dengan mempelajari gambaran klinis polip hidung bisa didapat
pengetahuan yang lebih mendalam mengenai proses peradangan di traktus
respiratorius atas, mulai dari lalulintas sel dan produk-produk inflamasinya
sampai pada profil ekspresi gen di tingkat molekuler. Proses inflamasi bereaksi,
dibangkitkan dan dipertahankan melalui jalur transduksi isyarat (signal
15
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

transduction) dan mekanisme molekular dengan cara meningkatkan atau


mengurangi regulasi ekspresi gen inflamasi. Faktor-faktor lingkungan seperti zat-
zat toksik, alergen, asap, virus dan bakteri dapat menyebabkan perubahan
perilaku dari gen. Perubahannya terjadi pada ekspresi gen, bukan pada urutan
DNA atau struktur dasar DNAnya. Namun perubahan-perubahan ini bisa menetap
pada pembelahan selama hidup sel tersebut.ix,x
Pasien dengan polip hidung secara klinis dapat dibagi menjadi 2
kelompok: pasien dengan gangguan pada seluruh saluran napas dan pasien dengan
kelainan terbatas pada rongga hidung saja. Pasien dengan kelainan seluruh
saluran napas seperti asma dengan onset lambat, fibrosis kistik, defisiensi imun
dan diskinesia primer merupakan kelompok yang sangat sulit diobati baik secara
medikamentosa maupun secara bedah. Pasien dengan kelainan terbatas pada
rongga hidung saja lebih mudah diobati tetapi lebih sulit untuk dievaluasi, karena
ada beberapa faktor dalam hidung yang mungkin ikut berperan dalam terjadinya
polip hidung.xi

ETIOLOGI
Infeksi kronik. Telah dilakukan penyelidikan terhadap beberapa jenis mikro-
organisme untuk mengetahui perannya sebagai penyebab timbulnya RSK dengan
polip hidung. Norlander et alxii menemukan polip mirip jaringan granulasi dan
polip edematosa pada sinusitis maksilaris bakterial secara eksperimental pada
kelinci. Bakteri patogen yang paling sering ditemukan ialah Streptococcus B
hemolyticus, Staphylococcus aureus, Streptococcus peneumoniae and
Haemophilus influenza. Sel-sel neutrofil yang ditemukan di dalam NP dalam
percobaan ini, bukannya eosinofil. Namun polip hidung bisa didapati pada semua
kelompok sinusitis tanpa melihat faktor penyebabnya dan tidak berhubungan
langsung dengan adanya bakteri tertentu.
Ponikau et alxiii menemukan bukti adanya jamur yang secara potensial ikut serta
menjadi penyebab dalam pembentukan polip hidung, terutama jenis Alternaria,
pada 96% dari 210 pasien RSK dengan polip yang diteliti secara konsekutif.
Walaupun hasil-hasil ini menjanjikan klarifikasi tentang mekanisme
etiopatogenesis polip hidung, namun penelitian lebih lanjut yang dilakukan secara
multisenter tidak berhasil membuktikan efektifitas pengobatan antijamur topikal
dengan cara pemberian obat semprot topikal antijamur dan bilasan hidung
antijamur yang dijalankan selama 2-3 bulan. Penelitian lain yang memberikan
terbinafine per oral selama 6 minggu pada pasien-pasien RSK tanpa polip hidung
juga tidak memberikan hasil yang memuaskan.xiii,xiv,xv
Alergi. Sudah lama banyak yang berusaha membuktikan adanya hubungan antara
alergi dengan polip hidung. Namun pada berbagai penelitian didapat hasil yang
berbeda-beda. Beberapa penelitian memperlihatkan data yang mendukung alergi
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya polip hidung, seperti yang
dilakukan oleh Settipanexvi dan Kernxvii. Mereka mendapatkan prevalensi polip
hidung sebesar 0.5 sampai 4.5% pada orang-orang dengan rinitis alergi dan 25.6%
pasien dengan alergi dibanding 3.9% pada populasi kontrol. Namun sebaliknya,
16
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

banyak juga penelitian yang tidak mendapatkan hubungan bermakna antara rinitis
alergi dengan polip hidungxviii,xix Bachert dkkx menemukan adanya hubungan
bermakna antara kadar IgE total dan IgE spesifik dengan infiltrasi eosinofilik di
dalam polip hidung. Hasil ini tidak berhubungan dengan hasil tes culit kulit.
Asma. Adanya hubungan keterlibatan saluran napas bawah dengan adanya polip
hidung dilaporkan antara 31% dan 42% kasus. Dari percontoh ini gejala klinis
yang ada antara lain mengi dan kesulitan bernapas.xi Diagnosis asma didapat pada
26% pasien dengan polip hidung, dibanding 6% pada kelompok kontrol.
Sebaliknya didapat 7% polip hidung pada pasien asma. Prevalensi polip hidung
13% pada pasien asma non-atopik dan 6% pada pasien asma atopik.xx Polip
hidung juga dilaporkan sebagai faktor pencetus timbulnya asma lambat, dengan
prevalensi sebesar 10-15%.xvi Umumnya polip hidung 2 kali lebih banyak
ditemukan pada laki-laki, walaupun proporsi penderita polip dengan asma 2 kali
lebih banyak pada wanita dibanding laki-laki. Wanita yang menderita polip
hidung 1,6 kali lebih mungkin mendapat penyakit asma dan 2,7 kali untuk
mendapat rinitis alergi.xxi

PATOFISIOLOGI
Secara mikroskopik Didalam stroma polip hidung mengandung jaringan ikat
longgar, edema, sel-sel radang dan sedikit kelenjar dan pembuluh darah kapiler
yang dilapisi oleh beberapa macam epitel terutama epitel khas saluran pernapasan
yaitu sel torak berlapis semu bersilia dengan sel goblet di antaranya. Perbedaan
mendasar mukosa pada polip nasi dan mukosa normal ialah mukosa polip
mengandung eosinofil, edema, perubahan pertumbuhan epitel dan terbentuknya
formasi kelenjar yang baru.ii,iii
Pada dekade terakhir ini diduga kuat teori reaksi inflamasi adalah penyebab
utama terbentuknya polip nasi dengan ditemukannya sel inflamasi sitokin dalam
jumlah besar. Sel inflamasi sitokin ini menyebabkan peningkatan regulasi dari
reseptor permukaan endotelial pembuluh darah dan integritas pada permukaan sel
yang terinflamasi. Pada keadaan ini telah terjadi adesi, migrasi eosinofil
mikrovaskular pada lamina propia yang disebabkan oleh pelepasan mediator-
mediator peradangan seperti interleukin (IL)-1B, tumor nekrosis faktor-alfa,
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), vascular cell
adhesion (VCAM-1), integrins (VLA 4), lymphocyte function associated antigen-1
(LFA-1) dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Eosinofil akan
teraktivasi, berdegranulasi dan melepaskan mediator inflamasi dan juga
melepaskan IL-3 dan IL-5, kedua sitokin ini berfungsi meningkatkan penarikan
eosinofil, selanjutnya sitokin ini bertanggung jawab atas penekanan apoptosis
sehingga meningkatkan kemampuan bertahan eosinofil. Keadaan tersebut
menyebabkan peningkatan pembentukan granul protein dasar yang mempunyai
efek dalam memproduksi mukus bersamaan dengan perubahan ion, sehingga
terjadi pergerakan ion sodium dan cairan dari lumen ke dalam sel dan kemudian
ke lamina propia yang terlihat sebagai edema dalam polip nasi.i-iii

17
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

Hancurnya permukaan epitel oleh meditor inflamasi yang berasal dari


eosinofil dan sel inflamasi lain menyebabkan regenerasi epitelial baru sehingga
terjadi hiperplasia sel goblet, metaplasia sel skuamosa dan hiperplasia sel basal.
Keadaan tersebut diatas mengakibatkan gangguan fungsi cystic fibrosis
transmembrane regulator (CFTR), protein yang berperan pada sekresi klorida
sehingga mengakibatkan keseimbangan sodium channel yang lebih terbuka dan
mengakibatkan peningkatan aborbsi sodium dan retensi cairan. Semua mekanisme
tersebut diatas merupakan awal patologi terjadinya polip yaitu edema.i-iii

Gambar 1. Skema mediator inflamasi polip nasiiii

Peningkatan sintesis leukotrien pro inflamasi dan penurunan sintesis


prostaglandin anti inflamasi (PGE2) juga diduga merupakan mekanisme
terjadinya rinosinusitis kronis dengan polip. Beberapa teori mendukung pemikiran
tersebut, namun tidak begitu berkembang lagi disebabkan oleh terbatasnya efikasi
klinis alur leukotrien inhibitor. Hipotesis “Staphylococcal superantigen”
menjelaskan bahwa eksotoksin mempunyai efek sel multipel termasuk sel epitel,
limfosit, eosinofil, fibroblast dan sel mast. Efek ini untuk membantu
mikroorganisme dalam mengganggu respon imun host. Efek dari host primer
adalah respon inflamasi Th2, pembentukan poliklonal lokal IgE, meningkatnya
eosinophil survival, degranulasi sel mast dan perubahan metabolisme eukosanoid.
Efek pada jaringan lokal tersebut merupakan faktor penyebab terbentuknya polip.
Hipotesis “immune barrier” menjelaskan bahwa defek pada barier mekanik dan
respon imun innate dari epitel sinonasal bermanifestasi sebagai rinosinusitis
kronis. Defek ini menyebabkan meningkatnya kolonisasi agen mikroba.
Kerusakan epitel dan disfungsi barier host menyebabkan kolonisasi S. Aureus
mensekresi superantigen yang merupakan faktor penyebab terbentuknya polip.i-iii

18
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

Mekanisme Inflamasi Dan Hubungannya Dengan Remodelling Jaringan


Pada Polip Hidung
Untuk memahami dan membedakan RSK dengan polip hidung dan tanpa polip
hidung atau rinosinusitis akut, perlu dipelajari juga gambaran histopatologi, pola
inflamasi dan profil sitokin di samping proses remodellingnya.
Bachertx mempelajari prinsip patogenetik pembentukan dan pertumbuhan
polip mulai dari polip kecil berukuran 5 mm pada pasien dengan polip hidung
bilateral. Pada polip hidung stadium dini, mukosa konka media yang tampak
normal secara makroskopis, sebenarnya secara mikroskopis sudah
memperlihatkan banyak eosinofil EG2+ subepitelial yang terlihat di dalam
kompartemen bening membentuk tudung di atas area pesudokista di sentral.
Sebaliknya, sel mastosit hampir-hampir tidak terlihat di dalam jaringan polip,
tetapi dapat ditemukan pada tangkai polip dan mukosa sekitar polip. Sedangkan
pada polip yang sudah lama, sel mastosit yang berdegranulasi dan eosinofil sering
terlihat difus di dalam jaringan polip. Polip hidung stadium dini memperlihatkan
adanya endapan fibronektin di sekitar eosinofil di dalam kompartemen bening.
Tetapi pada polip hidung stadium lanjut, fibronektin berkumpul di subepitel
membentuk struktur yang menyerupai jaring di tengah polip dan di dalam
pseudokista. Di area pseudokista sentral, didapati hanya sedikit sekali mio-
fibroblast. Selanjutnya didapati juga adanya albumin dan protein plasma di dalam
pseudokista, di dekat infiltrasi eosinofil. Penemuan ini menunjukkan adanya
pengendapan protein plasma, yang disebabkan oleh adanya inflamasi eosinofilik
di subepitel. RSK disertai polip, berbeda dengan RSK tanpa polip sering
memperlihatkan adanya kerusakan epitel, penebalan membran basalis, dan
terutama jaringan stroma yang edema sampai fibrotik, dengan sedikit pembuluh
darah dan kelenjar, tetapi tidak ada struktur saraf.
Gambaran ini berlawanan dengan RSK tanpa polip. Karena prinsip pembentukan
polip hidung adalah peningkatan eksudasi dari pembuluh darah, edema pada
lamina propria dan pembengkakan mukosa hidung, maka secara histologik polip
hidung diklasifikasikan sebagai tipe edematosa, tipe glandular dan tipe fibrosa
sesuai dengan remodelling stromanya. Delapan puluh persen pasien polip hidung
memperlihatkan EG2+ (teraktivasi), eosinofil biasanya terdapat di sekitar
pembuluh darah dan kelenjar. Terjadinya edema pada polip hidung disebabkan
karena peningkatan ekspresi saluran cairan aquaporin-1. Secara histologik polip
hidung edematosa yang khas menunjukkan adanya fibroblast and infiltrasi sel-sel
inflamasi di sekitar pembentukan pseudokista yang berisi albumin dan protein
plasma lainnya. Inflamasi eosinofilik subepitelial menunjang eksudasi aktif ini.
Pemulihan epitel saluran napas adalah proses yang sangat teratur. Proses
remodelling epitel pada polip hidung adalah proses yang rumit terdiri dari migrasi,
proliferasi dan diferensiasi sel-sel epitel, melibatkan kelompok-kelompok molekul
yang saling berinteraksi seperti faktor-faktor transkripsi, sitokin dan faktor
pertumbuhan dalam sistem yang saling terkait dan tumpang-tindih. Respon-respon
imun dan inflamasi yang meningkat di dalam polip hidung berkaitan dengan

19
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

penyembuhan jaringan dan remodelling pada jaringan yang terkena dan mungkin
berkaitan dengan beratnya penyakit dan responnya terhadap pengobatan.xxii,xxiii
Sel-sel inflamasi yang terlibat dalam polip hidung yaitu limfosit, eosinofil,
makrofag dan sel denrit, mastosit, neutrofil, sel epitelial dan sel endotelial.
Masing-masing akan diulas berikut ini. Juga akan dibahas mengenai peran
meditor-mediator inflamasi pada patomekanisme pembentukan polip.
Limfosit. Polip hidung memperlihatkan peningkatan nyata jumlah sel-sel
limfosit-T (CD3) dan limfosit-T teraktivasi (CD25) dibandingkan kelompok
kontrol.xxiii Pada RSK non-alergik dengan polip hidung tampak kecenderungan
penurunan jumlah sel CD4+ pada epitel dan peningkatan sel CD8+.ii Yang
menarik perhatian, tidak tampak adanya sel-sel T regulatory dan hampir tidak ada
sel limfosit-B naive (CD20) di dalam jaringan, meski tampak jelas lebih banyak
sel plasma dalam polip hidung (CD138) dibanding kelompok kontrol dan RSK
tanpa polip.. Superantigen (SAg) S. aureus mengikat regio-beta V dari reseptor sel
T (T-cell receptor/TCR) di luar situs ikatan-peptida. Ini membuktikan adanya
interaksi SAg S. aureus SAg-sel Tcell di dalam limfosit polip pada 35% kasus
RSK dengan polip hidung.xxiii,xxiv

20
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

Gambar 2. Tipe-tipe remodelling matriks ekstraselular pada penyakit di sinus


paranasal. Skema memperlihatkan perubahan-perubahan utama pada lamina
proria (kolom kiri) dan gambaran patologis yang sesuai (kolom kanan).
(A) Rinosinusitis kronik tanpa polip: adanya fibrosis luas tersusun membentuk
fokus-fokus (F) dan edema yang terbatas (OE).
(B) Rinosinusitis kronik tanpa polip: pulasan transforming growth factor-b1
(pembesaran awal ·100).
(C) Rinosinusitis kronik dengan polip: inflamasi subepitelial berat (IR) dan
edema masif (OE) di lamina propria dengan seberan fokus-fokus fibrotik(F).
(D) Rinosinusitis kronik dengan polip: pulasan EG2 untuk eosinofil (pembesaran
awal 100).

Eosinofil. Peningkatan jumlah eosinofil yang terlihat dengan pemulasan HE atau


EG2 IHC, merupakan ciri khas polip hidung pada orang Kaukasia. Jumlah
eosinofil jelas lebih tinggi di dalam jaringan polip hidung dibanding dalam
mukosa RSK, penyakit sinus lain dan kelompok kontrol, dan akan lebih
meningkat lagi pada kasus-kasus yang disertai penyakit asma dan/atau sensitif
terhadap aspirin, yang bukan atopi.ii,xxiv Dalam suatu penelitian yang
membandingkan persentase eosinofil (dari 1000 sel inflamasi per lapang
pandangan) pada kasus RSK dengan atau tanpa polip hidung yang belum diobati,
didapat 31 kasus RSK tanpa polip hidung yang belum diobati semua memiliki
eosinofil kurang dari 10% (rata-rata 2%), sedangkan dari 123 kasus NP yang
belum diobati, 108 percontoh memperlihatkan eosinofil lebih dari 10% rata-rata
50%). ii,xvi,xxiv Namun, inflamasi eosinofilik dalam jaringan polip dari Indonesiaxxv
dan Chinaxxiv yang dinilai dari kadar ECP dan sitokin/kemokin (IL-5, eotaksin),
tidak berbeda bermakna dari jaringan kontrol, dan jelas lebih rendah secara
bermakna daripada polip Kaukasia. Selain itu, jumlah esosinofil tidak berbeda
dengan kelompok kontrol
Makrofag dan sel dendritik. Dalam polip hidung jumlah makrofag agak
meningkat dan terdapat ekspresi dari macrophage mannose receptors (MMR),
pola alamiah pengenalan reseptor yang memiliki kemampuan untuk fagositosis
dan transduksi isyarat dari mekanisme proinflamasi. Sel-sel dendritik dapat
ditemukan di dalam polip hidung dan menunjukkan afinitas reseptor IgE yang
tinggi.ii,xxvi
Sel mastosit. Distribusi sel mastosit dalam polip hidung hampir sama dengan
kelompok kontrol, dan cenderung lebih tinggi korelasinya dengan kasus Ig-E
positif, terutama penderita asma yang bukan atopi. Tampak degranulasi sel
mastosit hebat pada polip hidung dibandingkan konka inferior. Densitas sel mast
pada lapisan epitel dan stroma berkorelasi ekspresi dengan SCF (stem cell factor)
mRNA dan protein supernatan sel epitel polip hidung.xxvi
Neutrofil. Dulu neutrofil yang didapati dalam polip hidung pada orang Kaukasia
dianggap berhubungan dengan penyakit fibrosis kistik. Memang pada kasus
fibrosis kistik didapati peningkatan jumlah neutrofil dan konsentrasi MPO yang
lebih tinggi dibanding dengan pasien tanpa fibrosis kistik. Hal ini membuktikan
21
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

adanya aktivasi nyata sel-sel neutrofil pada kistik fibrosis. Namun pada populasi
Asiaxxiv,xxv, sel yang predominan ialah neutrofil, yang tidak ada korelasinya
dengan fibrosis kistik.
Sel epitelial. Sel-sel epitel hidung manusia mengandung dan mengeluarkan IL-8,
GMCSF, eotaksin, eotaxin-2 dan RANTES. Mediator-mediator inflamasi ini
menghasilkan cukup banyak growth factors yang menarik eosinofil. Pada satu
sisi, sel-sel itu tergantung pada GMCSF, suatu sitokin penting, untuk dapat
bertahan hidup.ii Sel epitel juga melepaskan stem cell factor (SCF), suatu sitokin
yang bersifat kemotaktik dan menunjang akitivitas bertahan untuk mastosit,
dengan ekspresi SCF mRNA terkait dengan protein SCF. Maka, mastosit banyak
ditemukan pada lapisan epitel dan stroma pada polip hidung. Komposisi mukus
dalam sel epitelial polip hidung tergantung dari peningkatan ekspresi MUC8
mRNA dan penurunan regulasi ekspresi MUC5AC mRNAii,xxvii.
Sel endotelial. Sel endotelial mengekspresikan VCAM-1, dengan induksi oleh IL-
4 dan IL-13, yang berperan penting dalam pembedaan rekruitment eosinofil dan
limfosit T. Ekspresi VPF/VEGF di dalam preparat jaringan polip hidung
menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan dibanding pada preparat
jaringan mukosa hidung normal pada kelompok kontrol. VPF/VEGF dalam
jaringan polip terutama terdapat dalam sel-sel endotelial pembuluh darah, di
membran basalis dan ruang perivaskular, dan di sel epitelial, yang memegang
peranan penting dalam menginduksi angiogenesis dan mengubah permeabilitas
kapiler. Patomekanisme ini penting dalam terjadinya edema dalam polip hidung.
Peningkatan ekspresi yang sangat jelas pada polip hidung yang sangat berbeda
dengan pada mukosa hidung sehat menunjukkan bahwa mungkin VPF/VEGF
mempunyai peran penting, baik dalam pembentukan polip maupun terjadinya
edema berat pada jaringanxxiv.
Mediator inflamasi. Telah dilakukan penelitian pada polip hidung Kaukasia dan
dilaporkan tentang eosinofil, mediator inflamasi yang dihasilkannya dan macam-
macam tipe sel yang memicu mediator-mediator tersebut. Dapatlah dimengerti
karena polip hidung pada populasi Kaukasia banyak ditemukan eosinofil. Il-5
yang postif dengan pulasan khusus untuk eosinofil menunjukkan adanya
kemungkinan peran autokrin oleh sitokin ini dalam mengaktivasi eosinofil. Juga
ditemukan adanya korelasi yang kuat antara konsentrasi protein IL-5 dengan
eosinophilic cationic protein (ECP). Peran penting IL-5 ini juga ditunjang oleh
penemuan bahwa jaringan polip yang banyak mengandung eosinofil dapat diobati
dengan neutralizing anti-IL-5 monoclonal antibody (mAB). Apoptosis eosinofilik
dan penurunan eosiofilia jaringan dapat ditimbulkan oleh antibodi monoklonal
anti Il5, tapi tidak oleh anti-IL-3 atau anti-GM-CSF mAbs in vitro. Secara
keseluruhan penelitian-penelitian ini mengemukakan bahwa peningkatan produksi
IL-5 sangat mungkin akan mempengaruhi predominan dan aktivasi sel-sel
eosinofil pada polip hidung yang bebas atopiii. Wagenmann et alxxviii
mendemonstrasikan bahwa terjadi peningkatan baik sitokin tipe Th1 maupun Th2
pada polip hidung eosinofilik tanpa terpengaruh oleh alergen hasil tes kulit.

22
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

DIAGNOSIS POLIP HIDUNG


Anamnesis
Penilaian subyektif untuk rinosinusitis berdasarkan gejala: hidung tersumbat,
kongesti atau mampet, pilek atau ingus belakang hidung, kadang-kadang
didapatkan sekret mukopurulen, tekanan pada wajah, sakit kepala, hilangnya atau
penurunan fungsi penghiduii,iii.
Secara umum gejala yang sama terdapat pada rinosinusitis akut dan
rinosinusitis kronik tanpa polip dan juga rinosinusitis kronik dengan polip hidung,
tetapi pola gejala dan intensitasnya dapat berbeda. Infeksi akut dan RSK dengan
eksaserbasi akut, biasanya lebih jelas dan berat gejalanyaii,iii
Polip hidung mengakibatkan hidung tersumbat non-periodik dan tekanan
serta rasa penuh di hidung dan sinus paranasal, yang khas untuk polip etmoid.
Pada kasus yang berat, dapat menyebabkan hipertelorisme. Gangguan penghidu
merupakan gejala yang membedakan antara polip hidung dengan RSK tanpa polip
hidungii,iii.
Disamping gejala lokal, dapat terjadi gejala jauh dan sistemik, seperti
iritasi faring, laring dan trakea yang menyebabkan sakit tenggorok, disfonia, dan
batuk. Sedangkan mengantuk, kelelahan dan demam adalah gejala sistemik yang
mungkin terjadiii,iii.

Pemeriksaan
Rinoskopi anterior tidak cukup untuk melakukan pemeriksaan, tetapi lebih
merupakan langkah awal pemeriksaan untuk semua pasien dengan penyakit ini.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan dengan atau tanpa dekongestan dan
dilakukan dengan penilaian secara semi-kuantitatif adanya polip, edem, sekret,
krusta dan jaringan parut (pasca operasi) pada kondisi awal atau secara teratur
mengikuti interval waktu terapi misalnya pada bulan ke 3, 6, 9 dan 12. Penilaian
ini memiliki intervariabilitas pengukuran yang baik. Terdapat beberapa sistem
penderajatan polip hidung. Pemeriksaan nasoendoskopi dianjurkan sebagai
pemeriksaan fisik pada polip hidung karena memberikan visualisasi yang baik
pada polip, terutama polip kecil yang berada di meatus medius. Pemeriksaan ini
juga dapat menunjukkan asal polip pada meatus medius dan struktur abnormal
dari anatomi hidung. Penggunaan endoskopi juga dapat menuntun pelaksanaan
biopsi dan melakukan kultur sekret.xxix Gejala yang tidak spesifik dari polip
hidung, membuat pemeriksaan nasoendoskopi lebih unggul untuk
mengkonfirmasi diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, seperti konka
infreior yang hipertrofi, konka bulosa, hipertrofi adenoid, papiloma inverted,
tumor ganas atau bahkan meningoensefalosil.
Sistem penderajatan polip hidung secara endoskopik menurut Mackay dan
Lund (1997) dapat ditentukan sebagai berikut, yaitu, grade 0: tidak dijumpai
adanya polip; Grade 1: polip masih terbatas di meatus medius; Grade 2: polip
sudah keluar dari meatus media, bisa mencapai konka inferior atau dinding medial
konka media tapi belum memenuhi rongga hidung; Grade 3: polip yang
masif/total, memenuhi kavum nasi.xxix
23
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

Gambar 3. Polip grade 1xxix Gambar 4.Polip grade 229 Gambar 5. Polip
grade 329

Foto polos sinus paranasal tidak sensitif dan sedikit kegunaannya untuk
mendiagnosis rinosinusitis karena tingginya positif atau pun negatif palsuii.
Tomografi komputer adalah modalitas pencitraan yang dapat
mengkonfirmasi perluasan penyakit dan adanya variasi anatomi. Walau pun
demikian tetap tidak dianjurkan sebagai tahapan pertama dari diagnosis, kecuali
pada kasus unilateral dan gejala yang berat. Tomografi komputer dilakukan
sesudah pemeriksaan nasoendoskopi dan kegagalan terapi medikamentosa.
Variasi anatomi merupakan hal yang lebih penting diketahui dibanding melihat
adanya perluasan inflamasi.xxx,xxxi,xxxii
Pemeriksaan tomografi komputer dengan sistem Lund-Mc Kay
memberikan skor 0-2 tergantung adanya opasifikasi sebagian atau seluruh setiap
sinus paranasal dan kompleks ostiomeatal, dengan maksimum skor 12 per sisi.xxxiii
Johanssonxxxiv memperlihatkan korelasi antara sistem skoring 0-3 dan sistem
penenilaian yang memperkirakan persentase proyeksi polip hidung pada dinding
lateral dan persentasi volume rongga hidung yang tertutup polip. Walau pun
demikian peneliti tersebut tidak dapat menemukan hubungan antara ukuran polip
dan gejala (Level III).
Polip hidung harus dapat dibedakan dengan neoplasia dan vasculitis. Biopsi yang
dilakukan sebelum terapi juga sekaligus dapat merupakan pembanding untuk
menilai efektivitas terapi.

24
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

Gambar 6. Polip hidung33 Gambar 7. Polip hidung grade 133

Gambar 8. Polip hidung grade 233 Gambar 9. Polip hidung grade 333

Pemeriksaan aliran udara inspirasi hidung merupakan pemeriksaan yang tidak


mahal. cepat dan mudah sebagai konfirmasi gejala hidung tersumbat secara
obyektif. Hasilnya sangat baik untuk menilai perbaikan hidung tersumbat pada
polip hidung, dan memiliki perbandingan yang baik dengan rinomanometri
(Tingkat pembuktian IIb).xxxv,xxxvi Pengukuran resistensi aliran udara hidung
dengan menggunakan tekanan tetap tertentu memiliki keterbatasan dalam
penilaian RSK dengan atau tanpa polip. Pemeriksaan ini baik untuk
mengkonfirmasi perbaikan hidung tersumbat yang disebabkan oleh perbaikan
peradangan pada meatus medius, tetapi bukan yang disebabkan obstruksi mekanik
(Tingkat pembuktian IIb)Error! Bookmark not defined.

25
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

Gambar 10. Gambaran tomografi komputer polip hidung. A. Polip hidung yang
masih terletak di sentral (central disease). B. Polip hidung dengan gambaran yang
hitam semua (”white out’), menandakan polip stadium lanjut.1

Pemeriksaan histopatologi menurut klasifikasi Tos dan Morgensen, yang


dikutip oleh Couto et alxxxvii mendeskripsikan polip berdasarkan tampilan
histologisnya sebagai suatu pembengkakan stroma miksoid yang terjadi infiltrasi
eosinofil dan dilapisi oleh epitel pernapasan, dimana pada umumnya muncul
sebagai suatu hiperplasia atau metaplasia skuamosa.
Secara histologis, polip hidung diklasifikasikan sebagai berikut: 1). Polip
edematous atau eosinofilik. Terjadi pembengkakan stroma yang mengandung
banyak eosinofil, sel mast, dan hiperplasia sel goblet pada epitel pernapasan dan
terjadi penebalan membran basalis yang memisahkan epitel dari stroma yang
edematous; 2). Polip fibroinflamatori. Terjadi infiltrasi dari sel-sel inflamasi,
terutama limfosit. Hanya terjadi sedikit edema stroma dan hiperplasia sel goblet;
3). Polip dengan hiperplasia kelenjar seromukus. Tampak banyak kelenjar
seromukus beserta struktur salurannya pada stroma yang edematous; 4). Polip
dengan stroma atipik. Ditandai dengan adanya sel stroma yang aneh dan atipik.
Sel berbentuk irregular dan hiperkromatik.

26
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

Gambar 11. Polip edematous atau eosinofilik pada gambaran panoramik.


Tampak adanya pembengkakan pada daerah stroma, dengan ruangan interselular
yang luas (panah)xxxvii.

Gambar 12. Polip edematous atau eosinofilik, dengan hiperplasia sel goblet pada
epitelium (panah hitam), ruang intersel yang luas mencirikan edema stromal
(panah hijau) dan dominasi dari eosinofil (panah biru) diantara sel inflamatorik
(H&E x 40).37

27
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

Gambar 13. Polip fibroinflamatori, tanpa edema stromal dan hiperplasia sel
goblet (ciri utama). Kami juga mengobservasi infiltrasi sel inflamatorik yang
hebat dalam stroma (panah), dan dominasi dari limfosit37.

Gambar 14. Polip fibroinflamatori dengan infiltrasi hebat dari sel inflamatorik
dalam stroma (panah hijau) dan metaplasia epitel squamosa (panah hitam) (H&E
x 40)37

28
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

Gambar 15. Polip dengan hiperplasia kelenjar seromukus. Kelenjar yang


berlimpah (panah) dan struktur saluran merupakan karakteristik yang
membedakan polip ini dari polip edematous atau eosinofilik (H&E x 200)37

Gambar 16. Polip dengan stroma atipik dan sel atipikal (panah). Sel mengalami
hiperkromasi dan dengan sitoplasma seperti bintang. Terkadang seluruh polip
dapat memiliki sel atipik ini.37

TERAPI POLIP HIDUNG


Pada penelitian pengobatan polip hidung, sangatlah bermanfaat untuk melihat
secara terpisah efek dan gejala yang berhubungan dengan rinitis dan polip hidung,
dan efek terapi terhadap ukuran polip. Panduan penatalaksanaan berbasis gejala,
29
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

stadium polip dan indeks beratnya penyakit dijelaskan di bawah ini mengikuti
panduan dari European Position Paper on Rhinosinusitis & Nasal Polyps oleh
PERHATI-KL (Perhimpunan Dokter Spesialis THT – Bedah Kepala Leher
Indonesia). Kedua panduan ini menggarisbawahi pentingnya terapi maksimal
medikamentosa sebelum pembedahan.
Penelitian pembedahan sinus sulit untuk digeneralisasi karena indikasi
pembedahan pada pasien akibat kegagalan terapi maksimal medikamentosa sangat
bervariasi. Selain itu, pembedahan juga sulit untuk diestimasi atau distandardisasi
pada penelitian multi-senter, atau dikerjakan dengan teknik membuta sesuai
dengan metode statistik. Randomisasi tidak dapat dikerjakan karena akan
berbenturan dengan masalah etika. Selain itu, faktor perancu yang sangat
bervariasi akan sulit untuk menentukan populasi yang homogen dengan prosedur
terapi yang dapat diperbandingkan untuk mencegah bias evaluasi dari hasil
pembedahan sinus. Selain itu didapatkan pula faktor perancu dari usia, perluasan
dan lama penyakit, riwayat pembedahan sebelumnya, dan adanya polip hidung
yang terkait dengan keadaan sindromik tertentu seperti intoleransi aspirin, asma,
fibrosis kistik dan etiologi lainnya seperti penyakit odontogenik, autoimun dan
jamur. Pada akhirnya jenis dan lama terapi medikamentosa pre dan pasca operasi
dapat mempengaruhi hasil.ii,iii
Dalam kerangka kerja Program Penilaian Teknologi Kesehatan (Health
Technology Assesment) oleh NHS R&D di Amerika Serikat, efektivitas bedah
sinus endoskopik fungsional untuk terapi RSK dengan polip hidung dievaluasi.
Peneliti menyaring 444 artikel dan mempelajari serta mengevaluasi 33 artikel
yang dipublikasikan antara tahun 1978 – 2001. Alasan utama kriteria eksklusi
adalah publikasi dari makalah naratif atau pasien polip hidung kurang dari 50
orang. Peneliti-peneliti ini mengevaluasi 3 RCT (Randomized Clinical Trial) yang
membandingkan bedah sinus endoskopik fungsional dengan Caldwell Luc atau
prosedur endonasal konvensional (n=240), 3 penelitian non randomisasi yang
membandingkan juga berbagai modalitas bedah (n=2699) dan 27 serial kasus
(n=8208).xxxviii Penelitian ini menarik kesimpulan bahwa tingkatan pembuktian
bedah sinus endoskopik adalah Level II dan lebih dari 100 serial kasus dengan
tingkat pembuktian IV. Seluruh evaluasi menunjukkan hasil yang konsisten
bahwa pasien RSK dengan dan tanpa polip akan mendapatkan manfaat dari bedah
sinus endoskopik fungsional. Komplikasi mayor yang terjadi kurang dari 1% dan
operasi revisi dilakukan kurang dari 10% dalam 3 tahun.
Beberapa penelitian membandingkan bedah sinus yang selalu dikombinasi
dengan terapi medikamentosa dengan terapi medikamentosa saja. Bedah sinus
selalu diawali dan atau diikuti dengan berbagai jenis terapi medikamentosa
termasuk cuci hidung, steroid intranasal, steroid sistemik, dan antibiotik sistemik.
Pada penelitian observasional prospektif yang dilakukan oleh The Cooperative
Outcomes Group for ENT of the American Academy of Otolaryngology – Head
and Neck Surgery, dilibatkan 31 dokter spesialis THT serta 276 pasien RSK
dengan dan tanpa polip hidung.xxxix Terdapat 207, 164 and 117 pasien dievaluasi
tindak lanjut jangka panjang sesudah terapi 3, 6 and 12 bulan. Angka keberhasilan
30
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

adalah 40% atau lebih pada evaluasi pasca operasi. Pada 83 pasien yang dilakukan
bedah sinus endoskopik fungsional dan 118 pasien yang hanya mendapat terapi
medikamentosa saja, berdasarkan penilaian dokter yang berpartisipasi, pasien
yang mendapat terapi bedah akan berpeluang 3 kali lebih besar untuk keberhasilan
terapi dibanding pasien yang hanya mendapat terapi medikamentosa saja.
(p<0.01) Walau pun demikian, proporsi yang tidak sama ini menjadi tidak
berbeda secara signifikan jika dikoreksi terhadap skor awal dengan analisis
logistik regresi. (Level IV).
Pada penelitian Blomqvistxl 32 RSK dengan polip diterapi terlebih dahulu dengan
steroid sistemik (prednisolone selama 14 hari) dan budesonide topikal intranasal
selama 4 minggu. Kemudian bedah sinus endoskopik fungsional dilakukan pada
satu sisi dan sisi yang lain dibiarkan untuk memenuhi desain sampel dengan
kontrol randomisasi prospektif. Sesudah pembedahan, steroid topikal intranasal
diberikan selama 12 bulan pada kedua lubang hidung. Uji penghidu dilakukan
pada setiap lubang hidung secara terpisah, tampak perbaikan sesudah terapi
steroid oral dan sistemik dan tidak terdapat peningkatan perbaikan pada sisi yang
dioperasi. Pembedahan akan memberikan tambahan perbaikan dengan gejala
utama hidung tersumbat dan rinore yang menetap pada terapi medikamentosa.
Walau pun demikan terdapat 25% pasien yang tetap memerlukan pembedahan
pada sisi hidung yang belum dioperasi. Peneliti membuktikan bahwa terapi bedah
jika terdapat gejala hidung tersumbat menetap dan bukan hiposmia sebagai gejala
utama sesudah terapi steroid. (Level Ib).
Pada penelitian RCT (Randomized Clinical Trial) terbaru, 109 pasien
dengan RSK dan polip hidung ekstensif dilibatkan. Lima puluh tiga pasien secara
acak dikelompokkan untuk mendapat terapi prednison selama 2 minggu (30 mg /
hari selama 4 hari diikuti dengan pengurangan 5 mg setiap 2 hari). Seluruh pasien
mendapat budesonide topikal intranasal selama 12 minggu. Evaluasi dilakukan
berdasarkan gejala hidung, ukuran polip dan penilaian kualitas hidup dengan
kuesioner SF-36. Pada bulan ke-6 dan ke-12, perbaikan yang bermakna
ditunjukkan pada seluruh ranah SF-36, gejala hidung dan ukuran polip sesudah
terapi medikamentosa dan terapi bedah. Keuntungan bermakna didapat dari
kelompok yang diterapi bedah terhadap gejala hidung tersumbat, gangguan
penghidu dan ukuran polip sesudah 6 bulan pemilihan secara acak dan ukuran
polip sesudah 12 bulan (level Ib). Sebagai kesimpulannya adalah terapi
medikamentosa yang sesuai akan memberikan efektivitas yang sama dengan
terapi bedah. Bedah sinus endoskopik fungsional hanya dilakukan pada pasien
yang menunjukkan respons yang tidak memuaskan dengan terapi
medikamentosa.ii,iii,vii,viii,xxxviii-xl
Berbagai jenis obat direkomendasikan untuk terapi medikamentosa pada polip
hidung. EP3OSError! Bookmark not defined. merekomendasikan pada
tingkatan A untuk pemberian steroid topikal, steroid oral, cuci hidung untuk
perbaikan secara simtomatis, antimikotik topikal diberikan jika dapat dibuktikan
bahwa polip hidung akibat sinusitis jamur eosinofilik, dan antihistamin oral pada

31
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

pasien alergi. Skema penatalaksanaan terapi polip hidung dibuat berdasarkan studi
meta-analisis dalam EP3OS (Gbr. 17)ii
Sementara itu, Kelompok Studi Rinologi – Perhimpunan Dokter Spesialis THT –
Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI-KL) juga mengajukan panduan
penatalaksanaan berdasarkan penelitian yang membuktikan perbedaan tipe polip
hidung dan didukung oleh survei terhadap 100 orang dokter spesialis THT yang
datang dari seluruh Indonesia pada Kongres Nasional ke-13 di Surabaya pada
tahun 2007. Panduan penatalaksanaan polip hidung ini merupakan revisi dari
panduan yang dibuat pada tahun 2002. (Gbr. 18)xli
Evaluasi dan analisis pada kedua panduan ini, tampak bahwa keduanya
menekankan pentingnya terapi medikamentosa dan atau terapi konservatif lainnya
sebelum melakukan intervensi bedah. Perbedaan terdapat pada penderajatan
penyakit serta penentuan klasifikasi. Panduan EP3OS mengkategorisasi penyakit
berdasarkan gejala dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) menurut
perspektif pasien. Di pihak lain, panduan yang dipakai di Indonesia membuat
klasifikasi berdasarkan ukuran polip dan tipe inflamasi polip, berdasarkan
evaluasi yang dilakukan oleh dokter. Perbedaan pendekatan ini mungkin
berhubungan dengan perbedaan kultur dan latar belakang negara maju dan negara
berkembang. Walau pun demikian, secara umum dikatakan kriteria terbaik untuk
mengukur derajat penyakit harus berorientasi pada pasien. Selanjutnya parameter
klinik harus dievaluasi melalui gejala. Penilaian QoL yang memberikan nilai
tambah harus dilakukan pada setiap langkah dari penatalaksanaan untuk
menentukan arah dari penatalaksanaan. Memiliki perangkat evaluasi yang
berorientasi pada pasien akan memberikan kemudahan dalam memutuskan
intervensi bedah sesudah kegagalan terapi medikamentosa. ii,iii,vii,viii,xxxviii-xl
Pendekatan inovatif lainnya untuk negara berkembang seperti Indonesia
adalah tahapan polipektomi di poliklinik dengan anestesi lokal sebelum semua
terapi diberikan untuk mengembalikan fungsi hidung dan sekaligus
menghilangkan gejala hidung tersumbat. Prosedur sederhana ini akan
meningkatakan kepatuhan pasien untuk mengikuti tahapan selanjutnya dari
penatalaksanaan dan untuk menghemat penggunaan glukokortikoid topikal
intranasal jangka panjang pada pasien polip hidung eosinofilik. Hal ini disebabkan
polip hidung di Indonesia didominasi oleh tipe neutrofilik yang kurang respons
dengan terapi steroid, selain itu angka kekambuhannya juga rendah. Penghematan
biaya kesehatan dapat dilakukan jika pembelian glukokortikoid topikal intranasal
yang relatif mahal untuk kebanyakan orang Indonesia, yang tidak mempunyai
asuransi kesehatan dapat diseleksi dan dibatasi.xlii

32
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

KEPUSTAKAAN MATERI BAKU :

1. Rinia, AB, Kostamo K, Ebbens FA, van Drunnen CM, Fokkens WJ. Nasal
polyposis: a cellular-based approach to anwer questions, Allergy 2007:62:348-
58.
ii
2. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European Position Paper on Rhinosinusitis
and Nasal Polyps 20012
iii
3. Berstein JM, Nasal Polyps. In: Diseases of the Sinuses Diagnosis and
Management. Kennedy, Bolger, Zinreich, eds.
iv
4. Johansson L, Akerlund A, Holmberg K, Melen I, Bende M. Prevalence of
Nasal Polyps in Adults: The Skovde Population Based Study. Ann Otol
Rhinol Laryngol, 2003;113(4):679-82
v
5. Klossek JM Neukirch F, Pribil C, Jankowski R, Serrano E, Chanal et al.
Prevalence of Nasal Polyposis in France: A cross-sectional study, Case-
control Study. Allergy. 2005;60(2):233-7
vi
6. Stammberger H. An endoscopic study of tubal function and the diseased
ethmoid sinus. Arch Otorhinolaryngol. 1986;243(4):254-9.
vii
7. Stammberger H. Endoscopic endonasal surgery--concepts in treatment of
recurring rhinosinusitis. Part II. Surgical technique. Otolaryngol Head Neck
Surg. 1986;94(2):147-56.
viii
8. Stammberger H, Posawetz W. Functional endoscopic sinus surgery.
Concept, indications and results of the Messerklinger technique. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 1990;247(2):63-76.
ix
9. Liu Z, Kim J, Sypek JP, Wang IM, Horton H, Oppenheim FG, et al. Gene
expression profiles in human nasal polyp tissues studied by means of DNA
microarray. J of Allergy & Clin Immunol. 2004;114(4):783-90
x
10. Bachert C, Gevaert P, Hottapels G, Johansson SG, van Cauwenberge P.
Total and Specific IgE in Nasal Polyps is Related to Local Eosinophilic
Inflammation. J Allergy Clin Immunol. 2001;107(4):607-14.
11. xi
Downing E, Braman S, Settipane GA. Bronchial Reactivity in Patients with
Nasal Polyposis Before and After Polypectomy. J Allergy Clin Immunol.
1982;69(2):102.
xii
12. Norlander T, Fukami M, Westrin KM, et al. Formation of Mucosal Polyps
in The Nasal and Maxillary Sinus Cavities by Infection. Otolaryngol Head
Neck Surg 1993;109:522-9.
xiii
13. Ponikau JU, Sherris DA, Kern EB, Homburger HA, Frigas E, Gaffey TA,
et al. The diagnosis and incidence of allergic fungal sinusitis. Mayo Clin Proc.
1999;74(9):877-84.
xiv
14. Sasama J, Sherris DA, Shin SH, Kephart GM, Kern EB, Ponikau JU. New
paradigm for the roles of fungi and eosinophils in chronic rhinosinusitis.
Current Opinion in Otolaryngology & Head & Neck Surgery. 2005;13(1):2-8.

33
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

xv
15. Ponikau JU, Sherris DA, Kephart GM, Adolphson C, Kita H. The role of
ubiquitous airborne fungi in chronic rhinosinusitis. Current Allergy & Asthma
Reports. 2005;5(6):472-6.
xvi
16. Settipane GA, Chafee FH. Nasal polyps in asthma and rhinitis. A review of
6,037 patients. J Allergy Clin Immunol. 1977;59(1):17
xvii
17. Kern R, Schenck H-P. Allergy: a constant factor in the etiology of so-
calledmucous nasal polyps. J Allergy. 1993;4:483
xviii
18. Bunnag C, Pacharee P, Vipulakom P, Siriyananda C. A study of allergic
factor in nasal polyp patients. Ann Allergy. 1983;50(2):126-32.
xix
19. Drake-Lee AB. Histamine and its release from nasal polyps: preliminary
communication. J R Soc Med. 1984;77(2):120-4.
xx
20. Settipane G. Epidemiology of nasal polyps. In: Settipane G, Lund VJ,
Bernstein JM, Tos M., editor. Nasal polyps: epidemiology, pathogenesis and
treatment. Rhode Island: Oceanside Publications; 1997; 17-24.
xxi
21. Collins MM, Pang YT, Loughran S, Wilson JA. Environmental risk factors
and gender in nasal polyposis. Clin Otolaryngol. 2002;27(5):314-7.
xxii
22. Altuntas A, Yilmaz MD, Aktepe F, Kahveci OK, Derekoy S, Dilek H et al.
Expression and distribution of aquaporin- 1 in nasal polyps: does it have any
significance in edema formation? Am J Rhinol 2006;20:128–131.
xxiii
23. Van Zele T, Claeys S, Gevaert P, Van Maele G, Holtappels G, Van
Cauwenberge P, et al. Differentiation of chronic sinus diseases by
measurement of inflammatory mediators. Allergy. 2006 Nov;61(11):1280-9.
xxiv
24. Zhang N, Holtappels G, Claeys C, Huang G, van Cauwenberge P, Bachert
C. Pattern of inflammation and impact of Staphylococcus aureus enterotoxins
in nasal polyps from southern China. Am J Rhinol. 2006 Jul-Aug;20(4):445-
50.
xxv
25. Fauziah Hamadi. Gambaran histopatologi polip nasi di Departemen THT
RS Dr. Cipto Mangunkusumo. Skripsi Program Pendidikan Dokter Spesialis
Bidang Studi Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, Jakarta, 2004.
xxvi
26. Kowalski ML, Lewandowska-Polak A, Wozniak J, Ptasinska A,
Jankowski A, Wagrowska-Danilewicz M, et al. Association of stem cell factor
expression in nasal polyp epithelial cells with aspirin sensitivity and asthma.
Allergy. 2005;60(5):631-7.
xxvii
27. Ding, Guo Qiang, Zheng, Chun Quan.The expression of MUC5AC and
MUC5B mucin genes in the mucosa of chronic rhinosinusitis and nasal
polyposis, Am J of Rhinology,2007;21(3): 359-366(8)
28. Wagenmann M G-AM, Helmig P. Increased production of type-2 and type-1
cytokines in nasal polyps. J Allergy Clin Immunol.
2000;105(Supplement):S210.
xxix
29. Assanasen P, Naclerio RM. Medical and surgical management of nasal
polyps. Curr Opin Otolaryngol Head Neck Surg 2001; 9:27–36.

34
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

30. Kazkayasi M, Karadeniz Y, Arikan OK. Anatomic variations of the sphenoid


sinus on computed tomography. Rhinology. 2005;43(2):109-14.
xxxi
31. Erdem G, Erdem T, Miman MC, Ozturan O. A radiological anatomic
study of the cribriform plate compared with constant structures. Rhinology.
2004 Dec;42(4):225-9.
xxxii
32. Arikan OK, Unal B, Kazkayasi M, Koc C. The analysis of anterior skull
base from two different perspectives: coronal and reconstructed sagittal
computed tomography. Rhinology. 2005 Jun;43(2):115-20.
xxxiii
33. Lund VJ, Mackay IS. Staging in rhinosinusitus. Rhinology.
1993;31(4):183-4.
xxxiv
34. Johansson L, Akerlund A, Holmberg K, Melen I, Stierna P, Bende M.
Evaluation of methods for endoscopic staging of nasal polyposis. Acta
Otolaryngol. 2000;120(1):72-6.
xxxv
35. Holmstrom M, Scadding GK, Lund VJ, Darby YC. Assessment of nasal
obstruction. A comparison between rhinomanometry and nasal inspiratory
peak flow. Rhinology. 1990;28(3):191-6.
xxxvi
36. Lund VJ, Scadding GK. Objective assessment of endoscopic sinus
surgery in the management of chronic hinosinusitis: an update. J Laryngol
Otol. 1994;108(9):749-53.
xxxvii
37. Couto LGF, Fernades AM, Brandao DF, De Santi Neto D, Valera FCP,
Anselmo-Lima WT. Histological aspects of rhinosinusal polyps. Rev Bras
Otorrinolaringol 2008; 74 (2):207-12.
xxxviii
38. Dalziel K, Stein K, Round A, Garside R, Royle P. Systematic review of
endoscopic sinus surgery for nasal polyps. Health Technol Assess.
2003:7(17);iii, 1-159.
xxxix
39. Witsell DL, Stewart MG, Monsell EM, Hadley JA, Terrell JE, Hannley
MT, et al. The Cooperative Outcomes Group for ENT: A multicenter
prospective cohort study on the effectiveness of medical and surgical
treatment for patients with chronic rhinosinusitis. Otolaryngology - Head &
Neck Surgery. 2005;132(2):171-9.
xl
40. Blomqvist EH, Lundblad L, Anggard A, Haraldsson PO, Stjarne Pl. A
randomized controlled study evaluating medical treatment versus surgical
treatment in addition to medical treatment of nasal polyposis. J Allergy Clin
Immunol. 2001;107(2):224-8.
xli
41. Soetjipto D, Wardani RS, et al. Guidelines of ENT Diseases Management.
Indonesian Otorhinolarngology Head & Neck Surgery Society, 2007.
xlii
42. Wardani RS, Mangunkusumo E, Polipektomi Sederhana Endoskopik Rawat
Jalan Dilanjutkan Steroid Intranasal Sebelum Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional. ORLI, 2012;42(1): 13-22.
http://www.orli.or.id/index.php/orli/issue/view/2/showToc

35
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

O. ALGORITMA

Management Scheme For Adults with CRS with NP – EPO3S


GuidelinesiiError! Bookmark not defined.

36
II.4 – Rinosinusitis Disertai Polip Hidung

NP Management Guidelines of Rhinology Study Group –Indonesian


Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery Societyxli

37

Anda mungkin juga menyukai