Anda di halaman 1dari 40

PROPOSAL PENELITIAN

KAITAN ANTARA HbA1C DENGAN BERATNYA MANISFESTASI


KLINIS NEUROPATI DIABETIK PERIFER PADA PENDERITA
DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT
UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR

Disusun oleh:
dr. Ni Wayan Mirah Wilayadi, S.Ked

PPDS ILMU PENYAKIT DALAM


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa atas anugerahNya
sehingga usulan penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Usulan penelitian ini diajukan
untuk ujian seleksi PPDS I Ilmu Penyakit Dalam Universitas Udayana Denpasar semester
genap tahun akademik 2021/2022.
Berkat petunjuk, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, segala hambatan dalam
penyusunan Usulan Penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis
menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak
yang telah memberikan masukan, arahan dan bimbingan untuk perbaikan usulan penelitian
ini.
Akhir kata, meskipun tulisan ini belum sempurna, penulis berharap semoga
bermanfaat bagi pembaca dan tidak lupa mohon masukan dan sarannya untuk
penyempurnaan.

Penulis

dr. Ni Wayan Mirah Wilayadi, S.Ked

ii
DAFTAR ISI

COVER...............................................................................................................................i
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
ABSTRAK .......................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1


1.1. Latar belakang ......................................................................................................1
1.2. Rumusan masalah .................................................................................................2
1.3. Tujuan penelitian ..................................................................................................2
1.4. Manfaat penelitian ................................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 4


2.1. Diabetes Melitus ...................................................................................................4
2.2. Glycocylated Haemoglobin (HbA1c) ...................................................................5
2.3. Neuropati Diabetik ............................................................................................... 6
2.4. Neuropati Diabetik Perifer (NDP) ........................................................................7
2.5. Hubungan Hiperglikemia dengan Neuropati Diabetik Perifer ........................... 19

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................................22


3.1. Rancangan Penelitian ........................................................................................ 22
3.2. Tempat Penelitian .............................................................................................. 22
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................................23
3.4. Besar Sampel .....................................................................................................24
3.5. Teknik Pengambilan Sampel .............................................................................24
3.6. Variabel Penelitian ............................................................................................ 24
3.7. Batasan Operasional ......................................................................................... 24
3.8. Alat Pengumpul Data ........................................................................................ 25
3.9. Pengolahan dan Analisis Data ...........................................................................25

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

iii
ABSTRAK

Neuropati merupakan komplikasi tersering yang berhubungan dengan Diabetes Melitus (DM) dan
Neuropati Diabetik Perifer (NDP) merupakan bentuk paling umum dari Neuropati Diabetik (ND)
yang berhubungan dengan morbiditas dan disabilitas yang signifikan menurunkan kualitas hidup.
Prevalensi NDP diperkirakan bervariasi, NDP juga sering terlihat pada penderita DM yang memiliki
masalah dengan tidak terkontrolnya glukosa darah yang salah satunya dapat dinilai dari kadar
Glycocylated Haemoglobin (HbA1c). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan kadar
HbA1C dengan beratnya manifestasi klinis NDP pada penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah.
Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol terhadap penderita DM tipe 2 yang menjalani
pengobatan di poliklinik Diabetes dan Saraf RSUP Sanglah. NDP diperiksa dengan menggunakan
MDNS. Seluruh data dianalisis dengan analisis statistik. Data karakteristik dianalisis secara
deskriptif.Analisis bivariat untuk uji hipotesis variabel bebas dan variabel tergantung berskala
nominal dengan metode Chi-Square.Tingkat hubungan antar variabel dinilai
dengan Odds Ratio dan tingkat kemaknaan dengan α = 5%.

Kata Kunci : DM tipe 2, HbA1c, Neuropati Diabetik Perifer

iv
v
BAB I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronis yang umum ditemukan di hampir
semua negara. Diperkirakan ada sekitar 285 juta orang dewasa dengan diabetes pada tahun
2010, jumlah ini akan terus meningkat secara global karena adanya penuaan populasi,
pertumbuhan ukuran populasi, urbanisasi, dan tingginya prevalensi obesitas dan
perubahan gaya hidup.1 Neuropati merupakan komplikasi tersering yang berhubungan
dengan Diabetes Melitus (DM) dan Sensorimotor Diabetic Peripheral Neuropathy atau
Neuropati Diabetik Perifer (NDP) merupakan bentuk paling umum dari Neuropati
Diabetik (ND) yang berhubungan dengan morbiditas dan disabilitas yang signifikan
menurunkan kualitas hidup. DM perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik
progresif, jumlah penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang
ditimbulkan.2
Berdasarkan penelitian epidemiologi di Indonesia didapatkan prevalensi DM sebesar
1,5-2,3% pada penduduk yang berusia lebih dari 15 tahun, bahkan di daerah urban
prevalensi DM sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%. Prevalensi tersebut
meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan dengan negara maju, sehingga DM merupakan
masalah yang sangat serius bagi kesehatan masyarakat Indonesia...3
NDP merupakan ND yang paling sering ditemukan, yang bermanifestasi progresif
lambat, simetris dengan pola gloves and stocking. Prevalensi NDP diperkirakan bervariasi
berdasarkan kriteria yang digunakan dalam mendiagnosis NDP, secara umum diketahui
bahwa setidaknya 50% pasien dengan diabetes terkena NDP. Konsensus San Antonio
merekomendasikan bahwa diagnosis ND paling sedikit memenuhi satu dari lima kategori
yang diukur yaitu skor gejala, skor pemeriksaan fisik, quantitative sensory testing (QST),
cardiovascular autonomic function (cAFT) dan elektrodiagnostik. Berdasarkan uraian
diatas, maka deteksi dini NDP sangat penting pada pasien dengan diabetes karena
pencegahan bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas, tetapi tidak ada baku emas untuk
mendiagnosis polineuropati.4
Penderita DM akan memiliki masalah dengan saraf perifer yang dapat terjadi kapan
saja, tetapi risiko NDP akan meningkat berhubungan dengan umur dan lamanya
menderita DM. Jumlah terjadinya NDP tertinggi terjadi pada penderita yang menderita
61
DM sekurangnya 25 tahun. NDP juga sering terlihat pada penderita DM termasuk ND.
Hal ini memperkirakan bahwa terdapat faktor lain yang juga ikut berperan selain kontrol
glukosa darah dan durasi penyakit.5 Keparahan dan durasi hiperglikemia memainkan
peranan penting dalam patogenesis ND. Tetapi pada praktek klinis didapatkan bahwa
penderita DM dengan nyeri neuropati atau berkembangnya neuropati berbeda pada orang-
orang yang memiliki nilai HbA1c dan durasi menderita DM yang hampir mirip. Dari hal
ini, diperoleh suatu gagasan bahwa hiperglikemia saja tidak cukup untuk perkembangan
proses neuropati.6
Erdoğan (2012), pada penelitiannya mendapatkan adanya perbedaan eksitabilitas
yang signifikan pada dua kelompok diabetes yang memiliki nilai gula darah yang sama.
Hasil ini memperkirakan bahwa hiperglikemia tidak cukup berperan dalam perkembangan
NDP. Respon personal dari masing-masing pasien terhadap hiperglikemia dan fungsi
saluran ion diperkirakan juga memainkan peranan penting dalam perkembangan NDP.
Penelitian atau studi kasus kontrol oleh Purwata tahun 2010 pada 59 kasus Nyeri
Neuropati Diabetik (NND) di RSUP Sanglah didapatkan 11 orang dengan kadar HbA1c
yang rendah dan 48 orang dengan kadar yang tinggi, sedangkan pada kelompok kontrol
dari 51 orang didapatkan 18 orang dengan kadar HbA1c rendah dan 33 orang dengan
kadar yang tinggi dengan OR = 2.380 dengan CI 95% (0.996- 5.688) dan p > 0,05.
Hubungan ini secara statistik tidak bermakna, jadi kadar HbA1c yang tinggi tidak terbukti
meningkatkan risiko NND. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa
hingga saat ini masih terdapat pendapat bahwa nilai HbA1c normal atau rendah masih
memiliki risiko untuk terjadinya NDP pada penderita DM tipe 2, sehingga penelitian ini
mencoba mencari kaitan antara HbA1C dengan beratnya manifestasi klinis di RSUP
Sanglah.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana kaitan antara HbA1C dengan beratnya manifestasi klinis NDP pada penderita
DM tipe 2 di RSUP Sanglah?

1.3. Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui hubungan kadar HbA1C dengan beratnya manifestasi klinis NDP pada
penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah.

72
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data mengenai pasien DM tipe 2 yang
menderita NDP dan mengetahui hubngan kadar HbA1C dengan beratnya
manifestasi klinis NDP pada komunitas penderita DM tipe 2 di RSUP Sanglah,
sehingga dapat digunakan untuk pengembangan penelitian di masa yang akan
datang.
1.4.2 Dengan mengetahui hubungan kadar HbA1C dengan beratnya manifestasi klinis
NDP diharapkan dapat dilakukan upaya deteksi dini dan penatalaksanaan optimal
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pada penderita DM tipe 2.

38
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus


Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya. Hiperglikemia kronis yang terjadi pada penderita DM berkaitan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan dari berbagai fungsi organ terutama
mata, ginjal, sistem saraf, jantung, danpembuluh darah.7
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penderita diabetes. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik seperti poliuria, polidipsia, polifagia,
dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Dapat pula disertai
keluhan lain yang berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga
cara, yaitu:
1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 gram glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa,
namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan
persiapan khusus.3
Penderita DM bila tidak dikelola dengan baik akan berpotensi mengalami
penyulit, baik penyulit yang bersifat akut maupun kronik. Menurut PERKENI 2011,
penyulit akut DM dapat berupa:

a. Hipoglikemia, diagnosis ditegakkan apabila terdapat gejala klinis seperti lapar,


gemetar, keringat dingin, pusing, gelisah, hingga koma dan disertai kadar glukosa
darah <30-60 mg/dL.
b. Ketoasidosis Diabetik (KAD), merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai
dengan peningkatan glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan
adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma

94
meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap.
c. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH), pada keadaan ini terjadi peningkatan
glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis,
osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion
gap normal atau sedikit meningkat.
Penyulit kronik dapat berupa:
a. Makroangiopati, dapat mengenai pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan
pembuluh darah otak.
b. Mikroangiopati, dapat berupa retinopati diabetik, nefropati diabetik dan neuropati
diabetik.
Untuk dapat mencegah terjadinya penyulit kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik
yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah
mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan HbA1c juga mencapai kadar yang
diharapkan, demikian pula status gizi dan tekanan darah.3,8

2.2. Glycocylated Haemoglobin (HbA1c)


HbA1c telah digunakan dalam monitor kontrol gula darah pada penderita DM selama tiga
dekade. HbA1c didefinisikan sebagai hemoglobin yang terglikosilasi secara ireversibel pada satu
atau kedua N-terminal valines dari rantai beta. Definisi ini tidak mengekslusi hemoglobin yang
terglikasi pada tempat lain, seperti rantai alpha atau beta.9
HbA1c terbentuk melalui jalur non enzimatik akibat dari hemoglobin yang normal terpapar
oleh kadar glukosa yang tingi dalam plasma. Keluaran produksi dari produk-produk glikasi pada
awalnya bersifat akut dan reversibel yang dipengaruhi oleh hiperglikemia. Produk glikasi
tersebut dibentuk di intraselular dan ekstraselular membentuk suatu gugus kombinasi glukosa
dan asam amino. Gugus ini merupakan hasil reaksi non enzimatik, yaitu proses penambahan
rantai nukleofilik membentuk gugus “shiff base adduct”. Kemudian gugus adduct ini mencapai
keseimbangan dalam hitungan jam dan perlahan-lahan mengalami perubahan bentuk menjadi
suatu bentuk yang lebih stabil daripada produk awalnya. Hal ini akan mencapaikeseimbangan
dalam periode beberapa minggu. Salah satu jenis protein terglikasi yang dimaksud adalah
HbA1c.10,11 Saat molekul hemoglobin terglikosilasi, yaitu suatu penumpukan dari hemoglobin
terglikasi dalam sel darah merah, dapat merefleksikan kadar rata-rata dari glukosa dimana sel
tersebut nantinya dikeluarkan dalam siklus hidupnya. Penilaian HbA1c dapat menilai efektifitas
terapi dengan memonitoring regulasi glukosa darah dalam jangka panjang.11
HbA1c pertama kali dikenal pada tahun 1960 sebagai bentuk glikosilasi dari hemoglobin
10
5
dan pada tahun 1970, HbA1c pertama kali diajukan sebagai indikator dari toleransi glukosa dan
regulasi glukosa pada DM. Sejak tahun 1980-an, HbA1c telah diterima sebagai indek rata-rata
kadar glukosa pada pasien DM, ukuran risiko dari perkembangan komplikasi DM, dan sebagai
ukuran dari kualitas terapi DM. Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga HbA1c
merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8 hingga 12 minggu
sebelumnya. Tes ini tidak dapat dipergunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek.
PemeriksaanHbA1c dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan atau minimal 2 kali dalam setahun. 3

2.3. Neuropati Diabetik


Neuropati Diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada
penderita DM, yang terjadi sekitar 50% dari seluruh pasien. Diagnosis ND pertama kali
diperkenalkan oleh Rollo tahun 1798 yang menggambarkan ND sebagai adanya nyeri dan
parestesi pada tungkai bawah penderita DM, dimana diagnosis ini ditegakkan setelah
mengeksklusi berbagai kondisi lainnya, seperti trauma atau adanya tekanan pada jaringan saraf,
defisiensi vitamin B1, B6, B12, E, dan Niasin, alkohol, infeksi (Lyme disease, varicella zoster,
Epstein-Barr, HepatitisC, dan HIV/AIDS), penyakit autoimun (Systemic lupus erythematosus,
Rheumatoid arthritis dan Guillain-Barre syndrome), inherited disorder (Charcot Marie-Tooth
disease dan Amyloid polyneuropathy), tumor, dan paparan zat beracun.12

2.3.1 Definisi Neuropati Diabetik


ND merupakan komplikasi tersering pada DM tipe I dan tipe II ND merupakan suatu kerusakan
saraf akibat adanya gangguan metabolisme kadar glukosa darah.13. Menurut Boulton dkk (2005),
ND merupakan kondisi disfungsi saraf perifer yang disebabkan oleh DM bukan karena penyebab
lain.
2.3.2. Klasifikasi Neuropati Diabetik
ND dapat diklasifikasi sebagai berikut:
1. Neuropati perifer yang menyebabkan nyeri atau kehilangan rasa pada jari-jarikaki,
kaki, tungkai, tangan, dan lengan.
2. Neuropati otonom yang menyebabkan perubahan pada pencernaan, usus, fungsi
kandung kemih, respon seksual dan perspirasi. Neuropati ini juga dapat
mempengaruhi saraf-saraf yang mengurus jantung dan tekanan darah, saluran
pencernaan, traktus urinarius, organ seks, kelenjar keringat, dan mata.
3. Neuropati proksimal menyebabkan nyeri di paha, panggul, atau pada bokong dan bisa
menyebabkan kelemahan pada tungkai.
11
6
4. Neuropati fokal menyebabkan kelemahan mendadak dari suatu saraf atau kumpulan
saraf yang menyebabkan kelemahan otot atau rasa nyeri dan setiap saraf di badan
dapat terkena dan bisa mengenai mata, otot muka, telinga, pelvis, panggul bawah,
paha, dan abdomen.

2.4 Neuropati Diabetik Perifer (NDP)


Neuropati merupakan komplikasi mikrovaskuler tersering yang berhubungan dengan Diabetes
dan NDP merupakan bentuk paling umum dari ND. Kelainan ini ditandai oleh nyeri, parestesi,
dan berkurangnya gejala sensorik, yang dapat mengenailebih dari 50% penderita diabetes dengan
adanya peningkatan insiden kasus baru sebesar 2% tiap tahunnya. Walaupun prevalensi NDP
diperkirakan bervariasi berdasarkan kriteria yang digunakan dalam mendiagnosis NDP, secara
umum diketahui bahwa setidaknya 50% pasien dengan diabetes terkena NDP dan sekitar 30-50%
pasien dengan prediabetes juga memiliki gejala neuropati. 14
Keparahan NDP tergantung dari lamanya menderita DM dan level kontrol glukosa darah.
Individu dengan NDP memiliki keluhan awal berupa hilangnya sensasi pada bagian distal kaki,
dimana 80% berikutnya akan menimbulkan rasa tebal dan tidak sensitif pada kaki tanpa rasa
nyeri. Saat hilangnya sensasi ini mencapai pertengahan betis maka penderita akan mulai
merasakan hilangnya sensorik dibagian distal ujung-ujung jari tangan.15 Pada penelitian Pirart
yang mengikuti 4400 pasien selama 25 tahun, dimulai dari penegakan diagnosis awal, ditemukan
12% pasien dengan NDP. Peningkatan untuk terjadinya NDP mencapai lebih dari 50% setelah
25 tahun menderita DM. Di Amerika Serikat, NDP dievaluasi pada 6487 pasien DM dengan
menilai reflek pergelangan kaki, vibrasi, pinprick, dan sensasi temperatur yang digabungkan
denganskor gejala 9 poin. Diperoleh bahwa 5% dari individu berusia 20-29 tahun menderita
NDP. Dalam peningkatan umur, 44,2% pada subjek antara 70-79 tahun. Demikian pula pada
penelitian kohort dengan 8757 pasien DM berusia 18-70 tahun, diperoleh 33% dari populasi
dengan neuropati dan terjadi peningkatan sebesar 50% pada subjek dengan umur yang lebih
lanjut. Peningkatan pasien NDP berhubungan dengan lamanya menderita DM, didapatkan pula
bahwa NDP juga terjadi pada 10-18% saat diagnosis awal dimana pasien dengan gangguan
toleransi glukosa yang dikenal sebagai prediabetes. Skrining prospektif pada pasien dengan oral
glucose tolerance test menghasilkan 30-50% pasien dengan “idiopathic” painful sensory
neuropathy dengan IGT yang memiliki gejala hampir sama dengan NDP awal dengan
predominan gangguan gejala dan tanda sensorik.16

7
12
2.4.1 Patofisiologi Neuropati Diabetik Perifer
Gejala dan tanda NDP berdasarkan perubahan patologis pada sistem saraf penderita DM,
didapatkan hilangnya serabut saraf besar dan kecil bermielin, kejadian remielinisasi segmental,
dan degenerasi aksonal. Perubahan pada struktur serabut saraf terjadi pararel dengan perubahan
pada pembuluh darah sekitarnya, seperti menebalnya dinding pembuluh darah kapiler, hiperplasi
endotel yang berperan dalam menurunkan tekanan oksigen dan hipoksia, dan penyempitan
kapiler yang meliputi serabut saraf kecil bermielin dan serabut saraf C yang tidak bermielin.14
Saat Diabetes Control and Complication Trial mengungkapkan bahwa hiperglikemia
mendasari perkembangan NDP, maka 10 tahun terakhir ini banyak dilakukan penelitian yang
memfokuskan dalam pengertian dan kerusakan vaskular pada NDP. Penelitian pada hewan dan
invitro menyatakan bahwa terdapat empat jalur utama dalam metabolisme glukosa untuk
terjadinya NDP, yaitu:
1. Peningkatan aktivitas jalur polyol yang menimbulkan akumulasi sorbitol dan
fruktosa, NADP (P)- Redox imbalance, dan perubahan pada sinyal transduksi.
2. Glikasi protein non enzimatik yang membentuk “advanced glycation endproducts”
(AGEs)
3. Aktivasi protein Kinase C (PKC) yang menginisiasi respon kaskade stres.
4. Peningkatan Hexosamine pathway flux.16
Walaupun secara inisial mekanisme tersebut terlihat berbeda, beberapa bukti penelitian
memperkirakan bahwa defek ini saling berhubungan dan secara kolektif bertanggung jawab
untuk terjadinya dan perburukan NDP. Berikut akan dijelaskan masing-masing jalur untuk
terjadinya NDP, yaitu:
a. Jalur Polyol
Kecenderungan pada jaringan yang mengalami komplikasi, kelebihan glukosa tidak
dimetabolisme melalui glikolisis yang melewati jalur polyol. Pada jalur polyol, glukosa
diubah menjadi sorbitol, kemudian menjadi fruktosa, dan hal ini berperan dalam proses
oksidasi dari nicotinamide adenine dinucleotide phosphate hydrogen (NADPH) menjadi
NADP+. Peningkatan aktivitas jalur metabolik ini selanjutnya akan menghabiskan
NADPH sehingga memerlukan regenerasi antioksidan gluthathione. Tanpa gluthatione
yang mencukupi, kemampuan sistem saraf akan menurun dan berubah menjadi Reactive
Oxygen Species (ROS), menimbulkan stres oksidatif. Sebagai tambahan, dinyatakan
bahwa saat glukosa dimetabolisme melalui jalur polyol, akan menyebabkan akumulasi
sorbitol yang nantinya akan menimbulkan stres osmotik yang mengubah potensial
antioksidan dalam sel, dan nantinya akan meningkatkan akumulasi ROS. Pengeluaran
13
8
produksi fruktosa pada jalur polyol juga menimbulkan pembentukan nonenzymatic
glycation / glycoxidation yang dapat meningkatkan ROS yang memediasi kerusakan
selular protein dan lipid. 1 6

Gambar 2.1 Jalur Polyol (Feldman dan Vincent, 2004)

b. Jalur AGE
Hiperglikemia intraseluler terlihat sebagai kejadian primer yang menginisiasi formasi
AGEs melalui advanced glycation end product pathway. Glycation atau glycosilation
merupakan kombinasi glukosa dengan protein (Schiff bases) membentuk produk
glycation awal pada suatu nilai proporsional konsentrasi glukosa. Schift basses
mengalami perbaikan yang baru menjadi produk glycation awal tipe amadori yang lebih
stabil. Reaksi ini bersifat reversibel dan tidak ada bukti yang menggambarkan bahwa
produk-produk awal ini berhubungan dengan komplikasi diabetes. Dikatakan pula bahwa
beberapa produk glycation awal ini berjalan lambat, yang merupakan reaksi kimiawi dari
serial komplek menjadi AGEs. Karena AGEs ini bersifat ireversibel, AGEs ini tidak akan
kembali menjadi normal walau hiperglikemia telah dikoreksi tetapi dikatakan bahwa
AGEs ini akan terakumulasi dalam perjalanan waktu. Bentuk AGEs di dalam sel akan
menimbulkan intra dan ekstraselular cross linking dari agregasi protein dengan protein
yang menghasilkan struktur-struktur tersier yang merusak fungsi sel tersebut.
Hiperglikemia dan tingginya aliran polyol akan meningkatkan proses ini. AGEs dapat
menimbulkan kerusakan neuronal spesifik dengan menghambat transport aksonal yang
menimbulkan degenerasi akson. Proses ini berhubungan dengan formasi AGE yang
memerlukan transisi metal yang menghasilkan makin banyak formasi AGE (Singh, 2001;
149
Feldman dan Vincent, 2004). AGEs yang berikatan dengan protein reseptor seperti
reseptor untuk advanced glycation end product (RAGE). Pada mesangial dan sel endotel,
aktivasi RAGE oleh AGEs menghasilkan suatu produk ROS. Mekanisme yang pasti
belum diketahui, tetapi diperkirakan ada peranan NADPH oksidase. Kejadian ini sendiri
dapat berkontribusi dalam stres oksidatif selular dan disfungsi. Sebagai tambahan,
dikatakan pula bahwa sinyal RAGE melalui phosphatidylinositol-3 kinase (PI-3 kinase),
ki-Ras dan mitogen activated protein kinase (MAP kinase) yang berinisiasi dan
memelihara translokasi dari NF-KB dari sitoplasma ke nukleus pada beberapa tipe sel
termasuk monosit sirkulasi dan sel endotel.17
Reseptor RAGE terdiri dari 2 NF-KB yang berikatan dengan regio promotornya
sehingga aktivitasi RAGE menimbulkan translokasi NF-KB yang menghasilkan
amplifikasi RAGE dan menimbulkan lingkaran keusakan dan oksidatif stres
berkelanjutan.16

Gamabr 2.2 Jalur AGE (Feldman dan Vincent, 2004)

c. Jalur PKC
Efek dari diabetes pada jalur PKC dikatakan sangat komplek, PKC bertanggung jawab
terhadap aktivasi dari protein esensial dan lipid di dalam sel yang berguna untuk
ketahanan hidup selular. Keseimbangan fisiologis abnormal oleh karena diabetes akan
meningkatkan stres osmotik ekstrasel. Sel yang normal berkompensasi untuk stres
dengan meningkatkan osmolaritas intrasel, seperti mengakumulasi nonpertubing organic
10
15
osmolytes, seperti sorbitol, mioinositol, dan taurine. Proses ini menurunkan taurine dan
mio-inositol. Penurunan dari taurine akan mengurangi ketahanan antioksidan, sedangkan
penurunan mio-inositol mempengaruhi sinyal intraselular phosphoinositide, penurunan
aktivitas PKC.18
Peningkatan aktivitas jalur polyol mengaktivasi PKC sebagai stimulasi osmotik
dari stress-activated protein kinase. Aktivasi PKC hampir mendekati suatu status redox
sel. Pengikatan antioksidan terhadap dopamin katalitik dari aktivitas inhibisi PKC, saat
PKC berinteraksi dengan prooksidan, dimana proses ini menjadi teraktivasi. Aktivasi
PKC akan menimbulkan aktivasi MAP-kinase dan faktor-faktor transkripsi
phosphorylasi yang akan meningkatkan ekspresi gen dan multiple stress- related gen (C-
jun kinase dan Heat shock protein) yang nantinya akan merusak sel. Walaupun aktivitas
PKC lebih baik terjadi pada retina, ginjal, dan mikrovaskular dibanding saraf, dalam
pathogenesis NDP dipercaya sebagai hasil dari efek pada aliran darah vaskular.14 Peranan
PKC kedepannya sebagai komplikasi diabetes yang diperoleh dari fakta-fakta, dikatakan
bahwa aktivasi PKC vaskular menimbulkan vasokontriksi dan iskhemi jaringan. Aktivasi
PKC memiliki bifungsional efek pada NDP. Rendahnya aktivitas PKC dapat
mengganggu aliran darah pada saraf dan konduksi saraf pada NDP. Dimana aktivitas
yang tinggi akan mengurangi fungsi saraf yang kemungkinan melibatkan regulasi
neurokimiawi.16

Gambar 2.3 Jalur PKC. 16

11
16
d. Jalur Hexosamine
Jalur Hexosamine diaktivasi saat keluaran metabolisme glikolisis terakumulasi. Jalur ini
menimbulkan perubahan pada ekspresi gen dan fungsi protein yang berkontribusi dalam
patogenis komplikasi diabetes. Sebagai contoh, beberapa protein acylglycosilated yang
diproduksi pada jalur ini merupakan faktor transkripsi yang meningkatkan protein yang
berhubungan dengan komplikasi diabetes. Protein-protein ini sering merupakan
inflamatory intermediates dan meliputi transformasi growth factor B1 yang berperan
dalam nephropati dan plasminogen-activator inhibitor yang menghambat pembekuan
darah normal, peningkatan komplikasi vaskular. Aktivasi dari jalur ini akan
meningkatkan stres oksidatif saraf pada penyakit vaskular yang menimbulkan oklusi
mikrovaskular dan memproduksi ROS.16

Jalur hexosamine berperan penting dalam DM tipe 2 melalui 2 mekanisme mayor.


Nilai batas enzyme glutamine fructose-6 phosphateamidotransferase (GFAT) secara
spesifik meningkat secara spontan pada otot binatang tikus dengan DM. Overekspresi
dari GFAT ini menyebabkan resistensi insulin dan hiperinsulinemia. Sebagai tambahan,
aktivasi dari jalur hexosamine yang menginduksi stres oksidatif melalui generasi dari
hidrogen peroksidasi intrasel. Beberapa jalur hexosamine disupresi dengan terapi

Gambar 2. 4 Jalur Hexosamine. 16

12
17
e. Stres oksidatif
Masing-masing dari keempat jalur diatas memiliki kontribusi untuk pembentukan
formasi ROS. Reaksi-reaksi ini terjadi melalui jalur polyol yang meningkatkan stres
oksidatif dengan menurunkan kofaktor yang berperan dalam ketahanan antioksidan.
Melalui produk ROS dari formasi AGEs akan meningkatkan stres oksidatif. Aktivasi
PKC menghasilkan penurunan aliran darah, angiogenesis, oklusi kapiler, inflamasi, dan
ROS. Jalur hexosamine menimbulkan oklusi makro dan mikrovaskular, iskhemia, dan
ROS. Pada neuron yang normal, produk ROS dikontrol, radikal bebas dari superoxide
dan hidrogen peroksidase penting dalam fungsi sel normal. Superoxide diproduksi oleh
rantai transfer elektron mithocondrial saat nicotinamide adenine dinucleotide (NADH)
dioksidasi menjadi NAD+.14
Saat jumlah glukosa berlebihan, terjadi kerusakan pada rantai transfer elektron
mithokondria dengan menghambat sintesis adenosine triphosphatase. Hal ini
menimbulkan lambatnya transfer elektron mitokondria, meningkatnya pelepasan elektron
yang berperan untuk kombinasi dengan molekular oksigen untuk memproduksi
superoxide serta menimbulkan aktivasi NADH yang menghasilkan superoxide sebagai
produknya. Superoxide dimetabolisme menjadi hidrogen peroksidase dan air dengan
bantuan enzim superoxide dismutase. Hidrogen peroksidase dapat dioksidasi dengan
mudah menjadi komponen selular multipel dan secara difus menembus membran. Saat
hidrogen peroksidase bereaksi dengan iron bebas, akan menghasilkan Hydroksill Radikal
yang bereaksi dengan lipid. Lipidperoksidase bersifat toksik terhadap sel dan memediasi
kematian sel, sehingga keluaran superoxide dan hidrogen peroksidase bersifat mematikan
atau menimbulkan kerusakan pada saraf-saraf .16
Peningkatan aktivitas pada jalur-jalur ini menimbulkan disfungsi endotel yang
nantinya akan menimbulkan perubahan mikroangiopati dan selanjutnya akan
menimbulkan hipoksia jaringan. Hasil selanjutnya pada kerusakan struktur saraf dan
neuropati reversibel atau penurunan kecepatan hantar saraf.15

2.4.2. Gejala Klinis Neuropati Diabetik Perifer


NDP juga disebut sebagai distal symetrical polineuropathy yamg merupakan sindrom neuropati
yang paling sering terlihat pada pasien DM. Sindrom yang lebih jarang terlihat yaitu cranial
mononeuropathies dan focal neuropathies seperti proximal motor neuropathy. NDP dimulai dari
jari-jari kaki dan secara gradual menjalar keatas. Saat mengenai ekstremitas bawah, NDP juga
mulai mengenai ekstremitas atas dengan gejala menghilangnya gejala sensorik yang mengikuti
18
13
bentuk distribusi tipikal “glove and stocking”. Defisit motorik yang signifikan secara umum
tidak terjadi pada stadium awal NDP, walau pada pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) memperlihatkan atrofi otot-otot kecil bagian bawah pada kaki sebagai gejala awal.
Kelemahan otot simptomatik terlihat pada perkembangan penyakit selanjutnya.15
Gejala nyeri seperti rasa terbakar, kesemutan dan parestesi terlihat awal pada 30% pasien.
Penting diingat bahwa gejala-gejala tersebut tidak sebagai indikator yang reliabel terhadap
keparahan atau beratnya kerusakan saraf. Pasien dengan gejala nyeri yang berat memiliki defisit
sensorik yang lebih sedikit dibandingkan pasien dengan gejala tanpa nyeri yang memiliki
keluhan rasa tebal pada kaki.19
Nyeri dan insensitif merupakan dua tanda klinis NDP. Gejala nyeri meliputi rasa
terbakar, paresthesia (pins and needle’s), hiperesthesia, dan allodynia (nyeri kontak) dapat
menimbulkan rasa stres dan biasanya memburuk pada malam hari. Nyeri ini dapat berkisar dari
rasa kesemutan pada satu atau lebih jari-jari kaki hingga nyeri berat dan nyeri neuropati yang
persisten. Pasien sering mendiskripsikan gejala mereka seperti terkena sengatan listrik yang
mengenai kaki atau seperti berjalan pada pecahan kaca.15
Diagnosis NDP biasanya tergantung dari gejala subjektif. Ekslusi penyebab neuropati
diabetik seperti alkoholisme, defisiensi vitamin B12, endokrinopati, vaskulitis, paparan logam
berat, penggunaan obat-obatan, dan keganasan merupakan hal penting karena penyebab-
penyebab ini 10% terjadi pada kasus-kasus neuropati pada penderita DM. Saat gejala tanpa tanda,
keparahan dan gejala nyeri dapat dinilai dengan visual analogue scale atau numerical rating
scale (0, tidak nyeri; 10 nyeri paling hebat).20

19
14
Tabel 2.1 Gejala Klinis Small dan Large Fibre Diabetic (Tanenberg, 2009).

Deteksi awal NDP sangat penting untuk mendapatkan pengobatan lebih awal dan sebagai
pencegahan untuk kerusakan selanjutnya. Pada praktek klinisnya, deteksi awal dimulai dengan
anamnesis riwayat penyakit dan evaluasi gejala sensorik dan motorik. Pemeriksaan fisik meliputi
inspeksi pada kaki, evaluasi reflek pergelangan kaki dan lutut, pemeriksaan sensorik meliputi
pemeriksaan vibrasi, rasa raba, dan pin prick sensation. Sistem skoring klinis dapat digunakan
untuk menilai derajat keparahan neuropati dengan menggunakan gejala dasar, reflek, dan skor
sensorik, seperti Toronto Clinical Scoring System.15

Tabel 2.2 Toronto Clinical Scoring System (Tesfaye, 2004).


Symptom Scores Reflex Scores Sensory Scores
0-6 0-8 0-5
Foot pain Knee reflexes Pinprick
Numbness Ankle reflexes Temperature
Tingling (both sides) Light touch
Weakness Vibration
Ataxia Position sense
Upper limb symptoms

20
15
Maximum score = 19
0-6 = no neuropathy; 6-8 = mild neuropathy: 9-11 = moderate neuropathy
≥ 12 = severe neuropathy

Dalam diagnosis klinis, terdapat beberapa kuisioner gejala untuk menskrining kelainan
ini. Michigan Neuropathy Screening Instrument dengan menggunakan 15 pertanyaan dapat
menilai gejala dan defisit serta efeknya terhadap kualitas hidup pasien. Hal yang sama juga dapat
dinilai dengan suatu skor yang menilai tanda klinis, yaitu Neuropathy Disability Score (NDS).
Penilaian ini sangat mudah dikerjakan dan hanya memerlukan waktu 1 hingga 2 menit. Skor
maksimal untuk defisit neuropati adalah 10 yang mengindikasikan hilangnya seluruh modalitas
sensorik dan tidak adanya reflek.21
Tabel 2.3. The Modified Neuropathy Disability Score (Boulton, 2005)

Salah satu modifikasi dari NDS adalah Michigan Diabetic Neuropathy Score (MDNS).
NDP dan stadium NDP ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik kuantitas disertai pemeriksaan
hantaran saraf. Parameter klinis yang dipilih dalam MDNS memiliki prediksi yang tinggi
terjadinya neuropati diabetika dan berkorelasi denganNDS, seperti tes vibrasi, fungsi otonom
dan konduksi saraf.16

16
21
Tabel 2.4. Stadium NDP berdasarkan MDNS (Feldman, 1994)
Stadium 0 Skor MDNS < 6, dan gambaran pemeriksaan hantaransaraf
abnormal < 2, atau tidak ada neuropati.
Stadium 1 Skor MDNS <12, dan 2 abnormalitas, pemeriksaan hantaran
saraf (neuropati ringan).
Stadium 2 Skor MDNS <29, dan 3-4 abnormalitas, pemeriksaan hantaran
saraf (neuropati sedang).
Stadium 3 Skor MDNS <46, dan 5 atau lebih abnormalitas, pemeriksaan
hantaran saraf (neuropati berat).

Alat lainnya yang mudah dikerjakan untuk skrining adalah Semmes-Weinstein


monofilament (SWMF). Pemeriksaan ini menggunakan monofilamen yang terdiri dari filamen
nilon yang dapat menilai tekanan persepsi saat dilakukan tekanan yang gentle. SWMF
merupakan suatu tes yang mudah digunakan sebagai skrining dalam mengidentifikasi pasien
NDP. Pemeriksaan ini dikatakan abnormal bila pasien tidak dapat merasakan 5,07/10 g SWMF
pada lebih dari 4 tempat dari 10 tempat yang diperiksa. 21
Quantitative Sensory Testing (QST) menggunakan suatu respon terhadap stimuli seperti
tekanan, vibrasi, dan suhu untuk memeriksa ada tidaknya neuropati. QST ini makin sering
digunakan untuk mengenal kehilangan sensasi dan iritabilitas pada saraf yang berlebihan.
Pemeriksaan elektrodiagnostik merupakan pemeriksaan yang sensitif, spesifik, dan tervalidasi
dalam menegakkan diagnosis polineuropati. Evaluasi elektrodiagnostik pada umunya meliputi
pemeriksaan konduksi saraf atau pemeriksaan kecepatan hantar saraf dan Electro Myo Graphy
(EMG) jarum. Dalam mendiagnosis polineuropati, pemeriksaan kecepatan hantar saraf dapat
memberikan informasi yang penting. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf ini tidak invasif,
terstandarisasi, dan merupakan pemeriksaan yang sensitif untuk pemeriksaanfungsional jaringan
saraf sensoris dan motoris (Dobretsov dkk, 2007).
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf sensorik merupakan pemeriksaan konduksi saraf
yang paling sensitif untuk NDP. Pada pasien asimptomatik dengan DM, diperoleh 50% pasien
dengan penurunan amplitudo Sensory Nerve Action Potential (SNAP) dan kecepatan hantar saraf
dan lebih dari 80% pasien asimptomatik memilikiabnormalitas konduksi sensorik. Abnormalitas
biasanya pertama kali terlihat pada bagian distal ekstremitas bawah (seperti saraf suralis dan
plantaris). Pada pasien dengan neuropati dengan gangguan pada SNAP, terlihat adanya latensi
distal yang memanjang dan kecepatan hantar saraf lambat. Hilangnya H-reflex atau
memanjangnya latensi dapat diperkirakan sebagai tanda awal dari penyakit ini. Abnormalitas
22
17
pada konduksi sensorik sentral dapat terlihat pada beberapa pasien yang terlihat dari adanya
pemanjangan konduksi sentral dari brainstem dan jalur somatosensorik. Quantitative sensory
testing memperlihatkan adanya penurunan persepsi vibrasi dan termal. 15
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf motorik memperlihatkan hal yang serupa pada
jaringan saraf sensorik, walaupun saraf motorik jarang telibat. Reduksi pada kecepatan hantar
saraf juga terlihat serupa pada jaringan sensorik. Latensi distalmotorik terlihat adanya sedikit
pemanjangan, terutama pada ekstremitas bawah. Demielinisasi segmental yang ditandai dengan
adanya blok konduksi dan atau temporal dispersion terjadi kurang dari 10% pasien NDP.
Pemeriksaan F-Wave memperlihatkan perlambatan difus saraf motorik. Parameter F-Wave
standar dari latensi minimal dan kronodispersi merupakan parameter yang paling sensitif dan
bernilai pada pasien dengan subclinical peripheral neuropathy. 15
Secara umum, derajat abnormalitas konduksi saraf motorik dan sensorik secara
proporsional berhubungan dengan derajat keparahan dari penyakit dan buruknya kontrol gula
darah pasien. Pemeriksaan konduksi saraf peronealis dan medianusbiasanya berkorelasi dengan
derajat keparahan status klinis.15 Pemeriksaan Elektromiografi jarum pada pasien NDP
memperlihatkan derajat potensial fibrilasi yang bervariasi dan positive sharp wave pada bagian
distal otot ekstremitas bawah, dan pada pasien NDP yang telah berlangsung lama terlihat hal
yang sama pada ektremitas atas. Terlihat pula adanya abnormalitas dari penurunan Motor Unit
Action Potential (MUAP) recruitment dan peningkatan potensial amplitudo dan durasi. Pada
single-fiber electro myo graphy pada pasien NDP memperlihatkan adanya penurunan jitter dan
densitas fiber yang konsisten dengan kerusakan aksonal.22
Pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium yang harus diperiksa untuk
menyingkirkan kausa-kausa lain dari neuropati, dimana semua hasil laboratorium harus normal
kecuali gula darah dan HbA1c pada diabetes yang tidak terkontrol dengan baik atau yang belum
diketahui (undiagnosed diabetes). Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan seperti:
eritrosit, leukosit, dan hitung jenis, elektrolit, gula darah puasa dan HbA1c, vitamin B-12 dan
kadar asam folat, thyroid-stimulating hormone dan tiroksin, Laju Endap Darah.
Pemeriksaan Imajing juga dilakukan untuk menyingkirkan kausa neuropati lainnya,
seperti MRI servikal, torakal, dan/ atau lumbal untuk menyingkirkan kausa sekunder dari
neuropati, CT mielogram adalah suatu pemeriksaan alternatif untuk menyingkirkan lesi kompresi
dan keadaan patologis lain di kanalis spinalis pada radikulopleksopati lumbosakral dan neuropati
torakoabdominal. MRI kepala dapat dilakukan untuk menyingkirkan aneurisma intrakranial,
lesi kompresi dan infark pada kelumpuhan nervus okulomotorius.15
Penilaian keparahan pada NDP dinilai dengan pemeriksaan kwantitatif dan obyektif
23
18
sebagai kriteria minimal dalam diagnosis NDP . Jika nilai kecepatan hantar saraf tidak dapat
dinilai, sebaiknya dilakukan konfirmasi diagnosis NDP hanya diagnosis posible atau probable.
Stadium NDP berdasarkan Derajat keparahan menurut Dyck adalah:
1. Stadium 0 : tidak ada abnormalitas pada kecepatan hantar saraf
2. Stadium1a: Kecepatan hantar saraf abnormal tanpa ada gejala dan tanda
3. Stadium 1b: Kecepatan hantar saraf abnormal seperti pada grade 1a dengan tanda
neurologis tipikal untuk NDP tipikal tanpa gejala neuropati
4. Stadium 2a : Kecepatan hantar saraf abnormal dengan atau tanpa tanda dan
dengan gejala neuropati tipikal
5. Stadium 2b: Kecepatan hantar saraf abnormal, seperti grade 1a, dengan derajat
kelemahan ankle dorsofleksi sedang (50%) dengan atau tanpa tanda neuropati. 15
Definisi kriteria minimal NDP , yaitu:
1. Possible NDP. Adanya tanda atau gejala dari NDP, meliputi beberapa gejala, seperti
penurunan sensasi, adanya gejala positif neuropati sensorik (contoh: asleep
numbness, prickling atau stabbing, rasa terbakar atau aching pain) yang predominan
pada jari-jari kaki, kaki, atau tungkai; atau tanda adanya penurunan sensasi yang
simetris pada bagian distal atau penurunan atau tidak adanyareflek pergelangan kaki.
2. Probable NDP. Terlihat adanya kombinasi dari tanda dan gejala dari neuropati
meliputi dua atau lebih gejala-gejala neuropati seperti penurunan sensasi bagian
distal, atau penurunan atau tidak adanya reflek pergelangan kaki.
3. Confirmed NDP. Terlihat adanya abnormalitas pada kecepatan hantar saraf dan suatu
tanda atau gejala atau tanda dari NDP. Jika kecepatan hantar saraf normal, dapat
dilakukan pemeriksaan small fiber neuropathy yang telah tervalidasi.
4. Subclinical NDP. Tidak terlihat adanya tanda dan gejala neuropati yang dikonfirmasi
dengan adanya abnormalitas dari kecepatan hantar saraf atau pemeriksaan Small fiber
neuropathy yang telah tervalidasi. 15

2.5. Hubungan Hiperglikemia dengan Neuropati Diabetik Perifer


Hiperglikemi yang berkepanjangan merupakan dasar terjadinya perkembangan ND. Hal ini
terlihat dari hasil penelitian prospektif randomisasi yang dilakukan oleh Diabetes Control and
Complications Trial (DCCT) yaitu adanya penurunan yang signifikan dari perkembangan dan
progresifitas dari klinis neuropati, kecepatan hantar saraf motorik, dan disfungsi otonom pada
pasien diabetes tipe 1 dengan kontrol gula darah yang optimal. 15
Glukosa uptake pada jaringan saraf perifer terjadi secara insulin independen sehingga
24
19
pelepasan atau hasil akhir glukosa dihubungkan dengan jalur polyol yang nantinya akan diubah
menjadi sorbitol dan fruktose oleh enzim aldose reductase dan sorbitol dehidrogenase. Sel
membran saraf dikatakan relatif impermeabel terhadap sorbitol dan fruktose, yang nantinya akan
berakumulasi pada jaringan saraf. Fruktose dan sorbitol secara osmotik aktif menimbulkan
peningkatan konsentrasi air padajaringan saraf. Kedepannya akan terjadi oksidasi atau reduksi
sel dengan penurunan kadar nicotinamide-adenine dinucleotide phosphate (NADPH) dan
gluthatione. Proses ini akan menimbulkan kaskade seperti penurunan aktivitas membran Na-K
ATPase, akumulasi sodium intra aksonal yang menyebabkan penurunan kecepatan hantar saraf
dan perubahan struktural dari jaringan saraf. Kadar mioinositol menurun karena peningkatan dari
glukosa dan sorbitol untuk uptake mioinositol pada jaringan dan sel-sel. Penurunan NADPH
yaitu suatu kofaktor untuk enzyme nitric oxide synthase, penurunan formasi nitric oxide
menimbulkan vasodilatasi yang menyebabkan kegagalan suply darah ke jaringan saraf. 16
Pada keadaan hiperglikemia, glukosa dapat incorporated non-enzymatically menjadi
protein dengan suatu unregulated glycation reaction. Reaksi glycation ini terjadi melalui dua
langkah untuk formasi HbA1c. Langkah pertama adalah formasi PreA1c yang merupakan reaksi
yang cepat dan reversibel. Langkah kedua lebih pelan dan bersifat ireversibel dengan formasi
HbA1c. Formasi Advanced Glycation End Products (AGEs) meningkat oleh karena konsentrasi
glukosa yang tinggi dan umur. Pasien dengan diabetes lama memiliki kadar minimal dua kali
lebih tinggi dari individu normal. Nilai glycation dengan fruktosa dikatakan tujuh atau delapan
kali dari dengan glukose. Glycation dari protein mielin juga berkontribusi dalam kerusakan
kecepatan hantar saraf. AGEs juga terlihat pada jaringan saraf perifer yang juga mempengaruhi
transport aksonal. AGEs juga dipercaya sebagai penyebab kerusakan jaringan karena reaktivitas
dan protein cross linking Radikal Bebas dapat merusak jaringan saraf melalui efek toksik
langsung atau mungkin disebabkan oleh penghambatan produksi Nitric Oxide (NO) oleh endotel,
yang pada akhirnya menurunkan aliran darah ke jaringan saraf.23 Pada jaringan pasien Diabetes,
generasi radikal bebas dapat dibentuk melalui proses non enzymatic glycation dan jalur polyol,
dimana kemampuan untuk menetralisir radikal bebas akan menurun karena penggunaan NADPH
sehingga meningkatkan aktivitas aldose reductase.23
Kadar gamma-linolenic acid (GLA) pada jaringan saraf akan menurun akibat dari
defisiensi insulin dan hiperglikemia menghambat aktivitas d-6-desaturase enzyme. GLA
merupakan prekusor prostanoid meliputi prostasiklin yaitu suatu vasodilator yang poten.
Defisiensi dari GLA ini akan menimbulkan penurunan aliran darah saraf penderita diabetes.16
Endoneural pembuluh darah tersumbat karena adanya hiperplasia dan pembengkakan
pada sel endotel, penebalan dinding pembuluh darah dengan debris dari degenerative pericytes
25
20
seperti suatu basement membrane material, dan oklusi lumen kapiler oleh fibrin atau agregasi
platelet. Beberapa defek lainnya pada produksi NO, peningkatan “quenching” NO oleh AGE
pada dinding pembuluh darah, defisiensi prostasiklin, dan peningkatan produksi endothelin-1
yaitu suatu peptida vasokonstriktor poten bertanggung jawab dalam peningkatan vasokonstriksi
yang dapat menimbulkan iskhemia jaringan saraf (Feldman dan Vincent, 2024). Jaringan saraf
perifer memiliki reseptor untuk Nerve Growth Factor (NGF), dimana NGF ini bertanggung
jawab dalam regenerasi saraf. Konsentrasi NGF sirkulasi menurun pada pasien DM. Pengobatan
dengan NGF dapat meningkatkan fungsi jaringan saraf perifer. Insulin like growth factor dan
neurotrophin -3 juga dapatmembantu dalam regenerasi jaringan saraf.24

Gambar 2.5. Mekanisme Hiperglikemia Menimbulkan Degenerasi Neuron.16

21
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian


Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian cross seksional untuk
mengetahui hubungan beratnya gejala klinis NDP dengan kadar HbA1C penderita DM
tipe 2.

stadium
0,1,2,3
HbA1c normal
NDP (+)
stadium
0,1,2,3
HbA1c tinggi
DM Tipe 2
HbA1c normal
NDP (-)
HbA1c tinggi

Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian Cross Seksional

3.2. Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan terhadap pasien rawat jalan di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUP Sanglah, Denpasar

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1. Populasi target
Populasi target penelitian ini adalah seluruh penderita DM tipe 2 yang
mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUP Sanglah.
3.3.2. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita DM tipe 2 yang menjalani
pengobatan di poliklinik Penyakit Dalam RSUP Sanglah Denpasar.
3.3.3 Kriteria sampel
Semua penderita DM tipe 2 yang menjalani pengobatan di poliklinik Penyakit
Dalam RSUP Sanglah Denpasar dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

22
27
3.3.3.1 Krietria Inklusi
1. Penderita yang telah terbukti menderita DM tipe 2 dan NDP.
2. Penderita berusia 20-65 tahun.
3. Penderita kooperatif dan bersedia diikutsertakan dalam penelitian dengan
menandatangani surat persetujuan bersedia sebagai sampel penelitian
(informed consent).
3.3.3.2 Kriteria Ekslusi
1. Penderita dengan riwayat penyakit ginjal kronis, penyakit hati kronis,
dislipidemia.
2. Penderita dengan infeksi HIV, Morbus Hansen.
3. Penderita dengan keganasan yang dapat menyebabkan neuropati
4. Penderita neuropati yang sedang mengkonsumsi obat-obatan seperti anti
retroviral, obat-obat kemoterapi, dan estrogen.
5. Penderita dengan riwayat paparan toksin termasuk penggunaan alkohol,
pestisida, merkuri, organofosfat, dan timbal.
4. Penderita dengan kemungkinan gangguan pada sistem saraf tepi lainnya,
seperti penyakit neuropati jebakan (Carpal Tunnel Syndrome, CervicalRoot
Syndrome)

3.4. Besar Sampel


Penghitungan besar sampel (n) pada penelitian ini ditetapkan
berdasarkan rumus (Dahlan, 2009):
n1 = n2= (Zα2PQ + ZP1Q1 +P2Q2)²

(P1-P2)²
α : kesalahan tipe I, ditetapkan 5% sehingga Zα = 1,96
 : kesalahan tipe II, ditetapkan 10% sehingga Z= 1,28
P : proporsi total = ½ (P1+P2)
P2 : proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya

P1 : proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti


Q1 : 1- P1 Q2 : 1- P2
Proporsi NDP pada penderita DM dengan kadar HbA1c tinggi adalah 0,38
(Purwata, 2010). Besar sampel berdasarkan rumus diatas didapatkan n1 = n2 = 42,78. Jadi
28
23
jumlah sampel masing-masing kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol
adalah 43 orang sehingga sampel keseluruhan berjumlah 86 orang.

3.5. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan metode sampling non random
jenis consecutive yaitu semua subjek yang datang dan memenuhi kriteria dimasukkan ke
dalam penelitian sampai jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi.

3.6. Variabel Penelitian


3.6.1. Variabel bebas : Penderita DM tipe 2 yang diperiksakan kadar HbA1c
3.6.2. Variabel terikat : Neuropati Diabetik Perifer

3.7. Batasan Operasional


1. Diabetes Melitus tipe 2 adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Diagnosis DM dapat ditegakkan jika ada keluhan
klasik, yaitu: poliuri, polidipsi, penurunan berat badan, dan pemeriksaan
glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL atau adanya gejala klasik disertai
pemeriksaan glukosa darah puasa ≥126 mg/dL (PERKENI,2011). Data
didapatkan dari rekam medis pasien. Dikelompokkan menjadi ya dan tidak
sesuai skala nominal dikotomi
2. Neuropati Diabetik Perifer ditegakkan dengan pemeriksaan MDNS (Lampiran
1). Data disajikan berskala nominal dikotomi:
a. Ya: MDNS memenuhi kriteria stadium 1, 2, 3
b. Tidak: MDNS memenuhi kriteria stadium 0
HbA1c merupakan bentuk glikosilasi dari hemoglobin yang dapat digunakan
sebagai indikator dari toleransi glukosa dan regulasi glukosapada penderita
DM. Kadar HbA1c digunakan sebagai indek rata-rata kadar glukosa pada
pasien DM, ukuran risiko dari perkembangan komplikasi DM, dan sebagai
ukuran dari kualitas terapi DM. Kadar HbA1c merupakan konsentrasi
glukosa plasma yang proporsional dalam waktu 4 minggu hingga tiga bulan
(PERKENI,2011). HbA1c diperiksa menggunakan metodeTurbidimetri, alat
automatic autoanalyzer (Cobas Integra 400 Plus analyzerdari Roche). Data
disajikan berskala kategorikal nominal dikotomi, menjadi:
29
24
a. Normal: HbA1c <7%
b. Tinggi : HbA1c ≥ 7%
3. Individu DM tipe 2 tanpa neuropati diabetik perifer yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah individu yang menderita DM tipe 2 tapi tidak
mempunyai tanda, gejala, dan pemeriksaan yang menunjukkan neuropati
diabetik perifer.

3.8. Alat Pengumpul Data


Data primer diperoleh dari penderita melalui wawancara menggunakan kuesioner
dan lembar pengumpulan data yang digunakan untuk mencatat data dasar karakteristik
penderita dari catatan medis. Alat diagnostik yang digunakan untuk menunjang diagnosis
suatu NDP adalah kuisioner MDNS. Kadar HbA1c diperiksa memakai metode
Turbidimetri, alat automatic autoanalyzer (Cobas Integra 400 Plus analyzer dari Roche).
Pemeriksaan HbA1c yang digunakan adalah HbA1c dalam 3 bulan terakhir.

3.9.Pengolahan dan Analisis Data


Analisis dan penyajian data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Analisis deskriptif untuk melihat sebaran usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan, obesitas, lama menderita DM, jenis pengobatan DM,
dan stadium NDP pada kelompok kasus dan kontrol.
2. Uji normalitas pada data yang berskala numerik meliputi usia.
3. Analisis bivariat untuk uji hipotesis variabel bebas dan variabel tergantung
berskala nominal dengan metode Chi-Square. Tingkat kemaknaan dengan p
dan hubungan antar variabel dinilai dengan Odds Ratio (OR) dengan
confidence interval (CI) 95%.
4. Analisis multivariat regresi logistik untuk mencari faktor independen.
Seluruh data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan analisis statistik.

25
30
DAFTAR PUSTAKA

1. Ping Z, Xinzhi Z, Brown J, et al. Diabetes atlas global healthcare expenditure on


diabetes for 2010 and 2030. Diabetes Res and Clin practice 2010;87:293–301.
2. Lopez, M. 2011. Diabetic Peripheral Neuropathy. Dynamic Chiropractic,
29: 1-7
3. Perkeni. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. PB Perkeni. Jakarta
4. Dobretsov, M., Romanovsky, D., Stimers, J. 2007. Early Diabetic Neuropathy:
Triggers and Mechanisms. World J Gastroenterol, 13(2): 175-191
5. Tesfaye, S. 2004. Epidemiology and Etiology of Diabetic Peripheral Neuropathies.
Advanced Studies in Medicine, 4(10G): 1014-1021
6. Erdogan, C. 2012. Comparement of Nerve Excitability among Diabetics with or
without Polyneuropathy wit Same HbA1c Levels and Diabetes Duration. Open
Access Scientific Reports, 1: 1-2
7. American Diabetes Association (ADA). 2012. Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus. Diabetes Care, 35(1): S5-S10
8. Cheung, N.W., Conn, J.J., d’Emden, M.C., Gunton, J.E., Jenkins, A.J., Ross, G.P.,
dkk. 2009. Australian Diabetes Society Position Statement: Individualization of
HbA1c Targets for Adults with Diabetes Melitus. ADS Position Statement
Individualisation of HbA1c Targets
9. Ginis, Z., Ozturk, G., Sirmali, R., Yalcindag, A., Dulgeroglu,Y., Delibasi,T., dkk.
2012. The Role of HbA1c as a screening and Diagnostic Test forDiabetes Mellitus in
Ankara. Turk j Med Sci, 42(2): 1430-1436
10. Sultanpur, C.M., Deepa, K., Kumar, S.V. 2010. Comprehensive Review on HbA1c
in Diagnosis of Diabetes Mellitus. International Journal of Pharmaceutical Sciences
Review and Research, 3(2): 119-122
11. Murugan, K., Shrivastava, D.K., Patil, S.K.B., Sweety, L., Debapriya, G., Bharti, A.,
dkk. 2010. Biochemical Investigation of Glycosylated haemoglobin in Diabetes
Assosiated Nephropathy in Chhattisgarh Population. Adv. Appl. Sci. Res,1(2): 106-
113
12. Guerrero, R.M., Hernandez, B.T., Millan, S.I., Chavez, E.P.D., Vasquez, C., Hoyos,
JR.C., dkk. 2012. H-Reflex and clinical Examination in the Diagnosis of Diabetic
Polyneuropathy. The Journal of International Medical Research, 40: 694-700
31
13. Hoogwerf, B.J. 2005. Complications of Diabetes Mellitus.
Int.J.Diab.Countries, 25: 5-24
14. Kaur, J. 2013. An Overview of Diabetic Neuropathy. Annual Review & Research in
Biology, 3(4): 994-1012
15. Tesfaye, S., Bulton, A.J.M., Dyck, P.J. Freeman, R., Horowitz, M., Kempler, P., dkk.
2010. Diabetic Neuropathies: Update on Definitions, DiagnosticCriteria, Estimation
of Severity, and Treatments. Diabetes Care, 33(10): 2285- 2293
16. Feldman, E.L., Vincent, A. 2004. The Prevalence, Impact, and Multifactorial
pathogenesis of Diabetic Peripheral Neuropathy. Advanced Studies in Medicine,
4(8A): S 642-649
17. Casellini, C.M., Vinik, A.I. 2006. Recent advances in the treatment of Diabetic
Neuropathy. Current Opinion in Endocrinology & Diabetes, 13: 147-153
18. Rajbhandari, S.M., Piya, M.K. 2005. A Brief Review on the Pathogenesis of Human
Diabetic Neuropathy: Observations and Postulations. Int J Diabetes & Metabolism,
13: 135-140
19. Llewelyn, J.G. 2003. The diabetic Neuropathies: Types, diagnosis and Management.
Jneurol Neurosurg Psychiatry, 74(II): ii15-19
20. Dobretsov, M., Romanovsky, D., Stimers, J. 2007. Early Diabetic Neuropathy:
Triggers and Mechanisms. World J Gastroenterol, 13(2): 175-191
21. Boulton, A.J.M. 2005. Management of Diabetic Peripheral Neuropathy.Clinical
Diabetes, 23(1): 9-15
22. Moscu, B., Pereanu, M. 2010. Pathological Features of DiabeticNeuropathy. AMT,
2(4): 262-264
23. Reddy, S.A., Sachan, A., Rao, P.V.L.N,S., Mohan, A. 2012. Clinical Applications of
Glycosilated Haemoglobin. J Clin Sci Res, 2: 22-33
24. Bhadada, S.K., Sahay, R.K., Jyotsna, V.P., Agrawal, J.K. 2001. Diabetic Neuropathy:
Current Concepts. Journal Indian academy of Clinical Medicine, 2(4): 305-318

32
33

Lampiran

Michigan Diabetic Neuropathy Score (MDNS)

1. Pemeriksaan neurologis

Kerusakan Sensoris Skor


Kanan Normal Menurun Tidak ada
1. Vibrasi ibu jari kaki 0 1 2 [ ]
2. Filament 10-g 0 1 2 [ ]
3. Nyeri dorsum manus ibu Nyeri Tidak nyeri [ ]
jari kaki 0 2
Kiri
1. Vibrasi ibu jari kaki 0 1 2 [ ]
2. Filament 10-g 0 1 2 [ ]
3. Nyeri dorsum manus ibu Nyeri Tidak nyeri [ ]
jari kaki 0 2
Tes Kekuatan Otot
Kanan Normal Ringan- Berat Tidak
sedang ada
1. Abduksi jari 0 1 2 3 [ ]
2. Ekstensi ibu jari 0 1 2 3 [ ]
3. Dorsofleksi ankle 0 1 2 3 [ ]
Kiri
1. Abduksi jari 0 1 2 3 [ ]
2. Ekstensi ibu jari kaki 0 1 2 3 [ ]
3. Dorsofleksi ankle 0 1 2 3 [ ]
Refleks
Kanan
1. Bisep brakii 0 1 2 [ ]
2. Trisep brakii 0 1 2 [ ]
3. Quadrisep 0 1 2 [ ]
4. Akiles 0 1 2 [ ]
Kiri
1. Bisep brakii 0 1 2 [ ]
2. Trisep brakii 0 1 2 [ ]
3. Quadrisep 0 1 2 [ ]
4. Akiles 0 1 2 [ ]
Total
34

2. Pemeriksaan ENMG
Pemeriksaan NCS dikerjakan pada ekstremitas non dominan.
a. Nervus medianus
SNAP : latensi distal : mm/s, amplitudo : mv, KHS m/s
CMAP : latensi distal : mm/s, amplitudo : mv, KHS m/s
b. Nervus ulnaris
SNAP : latensi distal : mm/s, amplitudo : mv, KHS m/s
c. Nervus suralis
SNAP : latensi distal : mm/s, amplitudo : mv, KHS m/s
d. Nervus peroneus
SNAP : latensi distal : mm/s, amplitudo : mv, KHS m/s
Interpretasi:
Nilai abnormal adalah nilai latensi distal menurun, amplitudo menurun, KHS menurun diluar
nilai normal pada rentang first and 99th percentiles .

Kesimpulan:
MDNS:
1. Skor Pemeriksaan Neurologis: .......
2. ENMG: Saraf yang abnormal: .......
3. Stadium NDP: ..............

Keterangan Cara Pemeriksaan:


1. Pemeriksaan sensoris:
a. Rangsang vibrasi. Pemeriksaan menggunakan garputala 128 Hz. Pemeriksa memegang
garpu tala dengan telunjuk dan ibu jari tangan. pemeriksaan dengan cara menempatkan
garpu tala diatas penonjolan tulang interphalang distal dorsum jari kaki pertama.
Dikerjakan pada penderita secara bilateral dengan mata tertutup.
Interpretasi setelah penderita tidak merasakan lagi vibrasi :
- Normal (skor 0) bila pemeriksa merasakan vibrasi pada telunjuk distal kurang
dari 10 detik.
- Skor 1: pemeriksa merasakan > 10 detik.
- Skor 2, penderita tidak merasakan rangsangan.
b. Pemeriksaan 10-g filament dikerjakan pada dorsum manus jari kaki pertama, diantara
nail fold dan interphalang distal. Penekanan 10-g filament secara tegak lurus, singkat
35

< 1 detik secara konsisten. Penekanan 10-g terjadi saat alat melengkung. Ditanyakan
respon penderita ya/tidak pada saat mata tertutup. Pemeriksaan dikerjakan secara
bilateral sebanyak 10 kali.
Interpretasi
- Normal (nilai 0) : 8-10 respon “ya”
- Nilai 1 : 1-7 respon “ya”
- Nilai 2 : tidak ada jawaban benar.
c. Pemeriksaan nyeri. diperiksa dengan jarum pentul.
Nyeri : pemeriksaan dengan jarum pentul di dorsum manus ibu jari kaki pertama.
Interpretasi :
- Nilai 0 : respon penderita :tidak nyeri”.
- Nilai 2 : respon penderita “nyeri”.
2. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan menggunakan palu reflek. Pemeriksaan dilakukan pada tendon Bisep,
Trisep, Patela, dan Achilles.
Interpretasi :
- Skor 0 (normal): bila sendi ada gerakan sendi dan kontraksi otot,
- Skor 1 bila reflek menurun. Hanya kontraksi otot.
- Skor 2. Tidak ada reflek
3. Pemeriksaan kekuatan otot
Interpretasi
- Nilai 0 (normal) : kekuatan otot normal, mampu melawan
tahanan maksimal pemeriksa
- Nilai 1 (ringan-sedang) : mempu melawan tahanan ringan dan sedang
pemeriksa
- Nilai 2 (berat) : penderita tidak mampu melawan gaya berat,
tahanan ringan pemeriksa
- Nilai 3 (tidak ada) : tidak ada kontraksi otot maupun gerakan
sendi.
2. Pemeriksaan studi hantaran saraf/Nerve conduction study (NCS)
1) Pemeriksaan SNAP
a. Nervus medianus
b. Nervus ulnaris
c. Nervus suralis
36

2) Pemeriksaan CMAP
d. Nervus medianus
e. Nervus peroneus

Interpretasi Stadium NDP


Stadium 0 : Skor MDNS < 6, dan gambaran pemeriksaan hantaran
saraf abnormal < 2, atau tidak ada neuropati.
Stadium 1 : Skor MDNS <12, dan 2 abnormalitas pemeriksaan
hantaran saraf (neuropati ringan).
Stadium 2 : Skor MDNS < 29, dan 3-4 abnormalitas dari
pemeriksaan hantaran saraf (neuropati sedang).
Stadium 3 : Skor MDNS < 46, dan 5 atau lebih abnormalitas hantaran
saraf (neuropati berat).

Anda mungkin juga menyukai