Anda di halaman 1dari 12

Naskah Publikasi

PERBEDAAN KADAR GLUKOSA DARAH SEBELUM DAN SETELAH


HEMODIALISIS PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK
DI RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU

DWI FITRI MARETA


H1A012050

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2016
PERBEDAAN KADAR GLUKOSA DARAH SEBELUM DAN SETELAH
HEMODIALISIS PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK
DI RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU

Dwi F Mareta1, Noor D Erlinawati1, Zaini Dahlan2


1) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu
2) Departemen Penyakit Dalam RSUD dr. M. Yunus Bengkulu

ABSTRAK
Latar Belakang: Hipoglikemia adalah salah satu komplikasi hemodialisis yang jika tidak
ditangani segera dapat menyebabkan syok hipoglikemik, sehingga perlu dicermati oleh
praktisi kesehatan begitu pula pasien hemodialisis itu sendiri. Hal ini juga didukung
belum terdapatnya data laboratorium kadar glukosa darah setelah hemodialisis.
Metode: Desain penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan jenis penelitian
before and after test. Penelitian menggunakan sampel yang diambil dengan metode
concecutive sampling pada semua pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu bulan Desember 2015. Kriteria sampel adalah pasien
yang melakukan hemodialisis, patuh menjalani hemodialisis, dan bersedia menjadi
sampel. Data glukosa darah diambil dengan menggunakan metode finger prick kemudian
dianalisis dengan analisis eksperimental menggunakan data numerik. Analisis sebaran
data diuji dengan uji Saphiro-wilk dengan nilai p> 0,05. Analisis hubungan antara dua
variabel numerik dengan uji t berpasangan. Analisis pemberian asupan makanan selama
dan sebelum hemodialisis akan diolah dengan program Nutri Surveys 2007.
Hasil Penelitian: Rerata kadar glukosa darah sebelum hemodialisis adalah 136,620,04
mg/dL dan setelah hemodialisis adalah 90,1721,03 mg/dL. Hasil uji t berpasangan
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kadar glukosa darah sebelum dan setelah
hemodialisis dengan nilai p = 0,000 < 0,05.
Kesimpulan: Berdasarkan dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan kadar glukosa darah sebelum dan setelah hemodialisis pada pasien gagal ginjal
kronik di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu.
Kata kunci: kadar glukosa darah, hemodialisis, gagal ginjal kronik

THE DIFFERENCE IN BLOOD GLUCOSE LEVEL OF PRE AND POST


HAEMODIALYSIS IN CHRONIC RENAL FAILURE PATIENTS AT DR.
M. YUNUS BENGKULU HOSPITAL

ABSTRACT
Background: Hypoglycaemia is one of the complications of haemodialysis which if not
treated immediately can cause hypoglycemic shock, so as to be seen by health care
practitioners as well as patients on haemodialysis itself. It is also supported by the absent
of laboratory data about blood glucose levels after haemodialysis.
Methods: This study design was experimental research with before and after test. 18
samples were taken with consecutive sampling method in all patients with chronic renal
failure underwent maintenance haemodialysis in dr. M. Yunus Bengkulu. The included
subjects were patients underwent maintenance hemodialysis, obey all procedures of
haemodialysis, and willing to be sampled. Measurement of blood glucose level by finger
prick method and then analyzed using the experimental analysis of numerical data.
Analysis of the data distribution by Shapiro-Wilk test with p> 0,05. Analysis of the

1
relationship between two numerical variables with paired t test. Analysis of food intake
during and before haemodialysis will be processed by the program Nutri Surveys 2007.
Result: The mean of blood glucose levels before haemodialysis was 136,620,04 mg/dL
and after haemodialysis was 90,1721,03 mg/dL. The result from paired t test showed
that there were differences in blood glucose levels before and after haemodialysis with p
= 0,000 <0,05.
Conclusion: Based on this study it could be concluded that there were differences in
blood glucose levels before and after haemodialysis in chronic renal failure patients at dr.
M. Yunus Bengkulu Hospital.
Keywords: blood glucose levels, haemodialysis, chronic renal failure

PENDAHULUAN

Gagal ginjal adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya penurunan
fisiologis ginjal secara menetap hingga pada suatu derajat memerlukan terapi
pengganti. Terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy) tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal1. Di sebagian
besar negara di dunia, hemodialisis masih merupakan terapi pengganti ginjal
utama selain peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal pada penyakit ginjal
kronik tahap terminal2.
Berdasarkan WHO Mortality Database of South East Asian Region tahun
20102012, tercatat pasien End Stage Renal Disease (ESRD) di dunia berjumlah
250.217 jiwa3. Menurut United State Renal Data System (USRDS), terhitung total
insidensi End Stage Renal Disease (ESRD) di Amerika Serikat pada kuartal 4
tahun 2014 adalah 29.864 orang. Pada tahun 2011, jumlah pasien gagal ginjal
yang menjalani terapi hemodialisis bertambah sebanyak 12.804 orang. Hal ini
menggambarkan bahwa terjadi peningkatan yang cukup tinggi dari tahun
sebelumnya4. Pada tahun 2015 sampai sekarang tercatat jumlah pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di Instalasi Hemodialisis RSUD
dr. M. Yunus Bengkulu berjumlah 174 orang5.
Dari berbagai jenis terapi pengganti, salah satu terapi yang sering digunakan
adalah hemodialisis6. Hemodialisis atau cuci darah adalah suatu terapi pengganti
yang berfungsi untuk menyaring darah dan membuang zat-zat toksik yang tidak
diperlukan oleh tubuh. Namun di sisi lain, hemodialisis juga dapat menyebabkan
komplikasi yaitu hipoglikemia. Terdapat 74,8% pasien gagal ginjal kronik yang
menjalani hemodialisis mengalami penurunan kadar glukosa darah bermakna
setelah hemodialisis7. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian Sakla dan

2
Sherif (2015) yang mendapatkan 32,8% pasien hemodialisis yang mengalami
hipoglikemia post-haemodialysis.
Pada studi ini, peneliti mengkaji perbedaan kadar glukosa darah sebelum
dan setelah hemodialisis mengingat bahwa hipoglikemia merupakan salah satu
komplikasi yang sering terjadi setelah hemodialisis sehingga hal ini perlu
dicermati oleh praktisi kesehatan yang berada di Instalasi Hemodialisis RSUD dr.
M. Yunus Bengkulu. Jika keadaan hipoglikemi ini dibiarkan terus menerus tanpa
penanganan yang tepat maka dapat menyebabkan terjadinya syok hipoglikemik
yang merupakan kasus gawat darurat dan dapat meningkatkan mortalitas.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dengan desain
penelitian one group pre-post test. Sampel penelitian ini adalah pasien gagal
ginjal kronik yang melakukan hemodialisis di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu
bulan Desember 2015 yang diambil dengan menggunakan teknik consecutive
sampling dan menandatangani informed consent. Estimasi besar sampel diperoleh
minimal 15 sampel ditambah dengan drop out 20% maka jumlah sampel pada
penelitian ini adalah sebesar 18 orang. Pasien hemodialisis dengan riwayat DM,
mengonsumsi obat-obatan yang dapat menaikkan kadar glukosa darah, perokok
berat, mengonsumsi minuman yang mengandung glukosa selama hemodialisis
berlangsung, pasien yang tidak mengikuti proses hemodialisis dengan sempurna
(minimal 4 jam), menolak untuk dilakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum
dan setelah hemodialisis serta pasien drop out atau mengundurkan diri dari
penelitian tidak diikutsertakan dalam penelitian ini.
Data primer diperoleh dari pengisian form identitas meliputi usia, status
pekerjaan, riwayat hemodialisis, riwayat penyakit, riwayat jaminan kesehatan, dan
riwayat merokok. Pencatatan asupan makanan subjek dari mulai bangun tidur
sampai sebelum menjalani hemodialisis untuk meminimalisir bias terhadap kadar
glukosa darah. Kemudian dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum
dan setelah subjek menjalani hemodialisis dengan menggunakan glukometer
(GlucoDr) dengan validitas yang telah teruji dan spesimen darah perifer jari
tangan sebanyak 1 mikroliter (1 L).

3
Pada penelitian ini pasien tidak dipuasakan sehingga untuk meminimalisir
bias terhadap kadar glukosa darah maka peneliti memberikan makanan dengan
jenis dan takaran yang sama kepada subjek penelitian selama menjalani
hemodialisis. Data asupan makanan selama hemodialisis dicantumkan di bagian
hasil.

HASIL
Sebaran karakteristik pasien terbanyak berada pada kelompok usia 3554
tahun dengan rerata usia 50,0011,83 tahun dan sebagian besar pasien berjenis
kelamin laki-laki (61,1%). Seluruh subjek penelitian perempuan bekerja sebagai
ibu rumah tangga (38,9%) dan laki-laki bekerja sebagai swasta (16,7%). Sebaran
karakteristik riwayat hemodialisis pasien terbanyak pada kelompok 1224 bulan
dengan penyebab utamanya adalah penyakit ginjal hipertensi (72,2%) dan
didapatkan seluruh subjek penelitian menggunakan BPJS (100%).

Tabel 1. Sebaran Karakteristik Subjek Penelitian


Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)
Usia
25 34 tahun 1 5,6
35 54 tahun 11 61,1
55 tahun 6 33,4
Jenis Kelamin
Laki-laki 11 61,1
Perempuan 7 38,9
Status Gizi
BB kurang 4 22,2
Normal 10 55,6
Berisiko 1 5,6
Obes I 3 16,7
Pekerjaan
PNS 2 11,1
Swasta 3 16,7
Pedagang 1 5,6
IRT 7 38,9
Petani 2 11,1
Dll 3 16,7
Riwayat Hemodialisis
< 12 bulan 4 22,2
1224 bulan 7 38,9
> 24 bulan 7 38,9
Riwayat Penyakit
Hipertensi 13 72,2
Dll 5 27,8
Jaminan Kesehatan
BPJS 18 100

4
Analisis asupan makanan subjek penelitian selama hemodialisis
menunjukkan kandungan serat yang cukup tinggi yaitu 1,9 gram dalam jagung
dan kandungan protein yang cukup tinggi yaitu 20,2 gram dalam daging ayam8,9.

Tabel 2. Analisis Makanan yang Diberikan pada Subjek Penelitian Selama Hemodialisis
Kandungan Nutrisi Jagung Kuning Segar (67 g) Daging Ayam (75 g)
Energi (kkal) 72,4 213,7
Karbohidrat (g) 16,8 0
Protein(g) 2,2 20,2
Lemak (g) 0,9 14,2
Serat (g) 1,9 0

Asupan makanan subjek sebelum menjalani hemodialisis mungkin dapat


mempengaruhi hasil pengukuran kadar glukosa darah subjek penelitian sehingga
perlu pencatatan asupan makanan subjek dari mulai bangun tidur sampai sebelum
menjalani hemodialisis (Food Record).

Tabel 3. Asupan Makanan Subjek Penelitian Sebelum Hemodialisis (n= 18)


Hasil Pengukuran
Asupan
Sesi Pagi (n= 4) Sesi Siang (n= 10) Sesi Malam (n= 4)
Energi (kkal) 497,93229,55* 587,11239,15* 820,08175,64*
Karbohidrat (%) 51,75 46,6 43,75
Protein (%) 13 15,9 17,25
Lemak (%) 35,25 37,5 39
Keterangan: *nilai dalam MeanSD

Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sebelum hemodialisis didapatkan


rerata 135,6720,04 mg/dL dan rerata kadar glukosa darah setelah hemodialisis
adalah 90,1721,03 mg/dL serta hasil analisis uji T berpasangan yang
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kadar glukosa darah sebelum dan
setelah hemodialisis dengan nilai p= 0,000 <0,05.

5
Tabel 4. Kadar Glukosa Darah Sebelum dan Setelah Hemodialisis serta Perubahannya
(n = 18)
Kadar Glukosa Darah Hasil Pengukuran (mg/dL) p
Kadar glukosa darah sebelum HD 135,6720,04*
0,000***
Kadar glukosa darah setelah HD 90,1721,03*
KGD prepost HD -40,50(-92 -26)**
Keterangan: nilai dalam *MeanSD, **median(minmax), p (nilai signifikansi), ***uji T
berpasangan

PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebaran usia subjek penelitian
terbanyak berada pada kelompok usia 3554 tahun dengan rerata 50,0011,83
tahun . Sesuai dengan data renal unit yang masuk pada tahun 2012, menunjukkan
distribusi usia pasien hemodialisis di Indonesia umumnya berada pada kelompok
usia 4554 tahun10. Hal ini dapat disebabkan karena seiring bertambahnya usia,
semakin berkurangnya fungsi ginjal yang berhubungan dengan penurunan fungsi
ginjal baik secara anatomis maupun fisiologis.
Jenis kelamin pasien hemodialisis di Instalasi Hemodialisis RSUD dr. M.
Yunus Bengkulu sebagian besar adalah laki-laki. Hal ini mungkin terjadi karena
perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola hidup sehat
daripada laki-laki serta lebih patuh dalam menjalani pengobatan dibandingkan
laki-laki. Pranandari dan Supadami (2015) membuktikan bahwa laki-laki
memiliki risiko 2 kali lebih besar daripada perempuan untuk mengalami gagal
ginjal kronik.
Status gizi pasien sebagian besar dalam kategori normal dengan rerata IMT
20,8811,83 kg/m2. Biasanya pada pasien hemodialisis terjadi malnutrisi atau
yang biasa dikenal dengan Protein-Energy Malnutrition (PEW). Salah satu
penyebab PEW adalah asidosis metabolik dan asupan makanan yang buruk10.
Asidosis metabolik menyebabkan terjadinya destruksi ireversibel rantai asam
amino sehingga menyebabkan degradasi protein khususnya protein otot11. Jadi
dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan status gizi seseorang hanya dengan IMT
tidak dapat dijadikan sebagai parameter sehingga diperlukan pemeriksaan lain
yang lebih kuat yaitu pemeriksaan serum albumin dan transthyretin12.

6
Distribusi pekerjaan subjek penelitian terbesar adalah ibu rumah tangga
pada pasien perempuan sedangkan pasien laki-laki pada umumnya bekerja sebagai
swasta. Seseorang yang bekerja dengan aktivitas diam (duduk) dalam waktu yang
lama misalnya ibu rumah tangga, pekerja kantor, supir sangat berisiko menderita
sakit ginjal apalagi jika orang tersebut mengonsumsi air putih dalam jumlah yang
minimal yaitu 1,5 liter/hari13.
Berdasarkan penelitian didapatkan juga sebagian besar pasien merupakan
pasien yang sudah menjalani hemodialisis cukup lama atau sekitar lebih dari 2
tahun. Semakin lama pasien menjalani hemodialisis maka pasien akan semakin
patuh dalam menjalani hemodialisis karena mereka sudah berada dalam tahap
menerima dan mengerti manfaat jika dilakukan hemodialisis serta akibat jika tidak
dilakukan hemodialisis14.
Distribusi penyebab gagal ginjal kronik pada pasien hemodialisis di RSUD
dr. M. Yunus Bengkulu terbanyak adalah karena penyakit ginjal hipertensi
(72,2%). Penelitian Sujadmi dan Pranandari (2015) telah membuktikan bahwa
pasien dengan riwayat penyakit hipertensi memiliki risiko mengalami gagal ginjal
kronik 3,2 kali besar daripada pasien tanpa riwayat hipertensi.
Pada penelitian ini pasien tidak dipuasakan sehingga untuk meminimalisir
bias terhadap kadar glukosa darah maka peneliti memberikan makanan berupa
jagung 67 gram dan daging ayam 75 gram. Jagung tergolong ke dalam makanan
dengan indeks glikemik (IG) yang rendah. Salah satu faktor yang menyebabkan
jagung memiliki IG rendah adalah kandungan serat dan amilosa dalam jagung
yang tinggi8. Keberadaan serat pangan yang tinggi ini dapat menyebabkan laju
peningkatan glukosa darah lambat sehingga insulin yang dibutuhkan untuk
mentransfer glukosa ke dalam sel-sel tubuh dan mengubahnya menjadi energi
semakin sedikit15. Selain itu, kandungan amilosa yang tinggi dalam jagung
menyebabkannya tidak mudah tergelatinisasi dan akibatnya sulit dicerna16 yang
pada akhirnya respon glukosa darah lebih rendah sehingga menyebabkan indeks
glikemiknya cenderung lebih rendah.
Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani terbaik yang
kaya akan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis oleh tubuh. Kandungan
protein di dalam daging ayam sekitar 18,2%, menempati posisi kedua setelah

7
daging sapi yaitu 19,8%9. Selain itu, untuk menyingkirkan lemak berlebih yang
dapat mempengaruhi absorbsi makanan dan sensitivitas insulin serta mencegah
total energi yang terlalu tinggi maka kulit pada daging ayam dipisahkan, sehingga
pemberian daging ayam ini tidak terlalu berpengaruh terhadap kadar glukosa
darah subjek penelitian.
Dari analisis food record pasien hemodialisis sesi pagi, siang, dan malam
yang disesuaikan dengan rekomendasi nutrisi harian pasien hemodialisis,
didapatkan bahwa asupan energi, karbohidrat, protein, dan serat yang tidak
adekuat serta asupan lemak yang sedikit berlebih17. Asupan yang tidak adekuat
pada pasien hemodialisis dapat disebabkan karena asupan makanan yang kurang,
gangguan metabolisme, dan proses dari hemodialisis itu sendiri. Jadi dapat dilihat
bahwa pengaruh terhadap kadar glukosa darah selama hemodialisis cukup kecil.
Pada penelitian ini didapatkan perbedaan yang signifikan antara kadar
glukosa darah sebelum dan setelah hemodialisis pada pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisis dengan nilai p= 0,000 <0,05. Terlihat dari
penurunan rerata kadar glukosa darah setelah hemodialisis. Penurunan kadar
glukosa saat hemodialisis dapat disebabkan karena penggunaan cairan dialisat
bikarbonat yang tidak mengandung glukosa, asupan makanan yang tidak adekuat
serta gangguan metabolisme glukosa yang terjadi pasien gagal ginjal kronik.
Penggunaan cairan dialisat bikarbonat tanpa glukosa ini dapat menyebabkan
status katabolik pasien mirip dengan keadaan puasa dan menyebabkan glukosa
pada kompartemen darah bergerak menuruni gradien konsentrasi yang lebih
rendah sehingga kadar glukosa dalam darah menurun18. Pada penelitian lain
didapatkan bahwa penurunan kadar glukosa darah setelah hemodialisis juga dapat
disebabkan karena glukosa yang berdifusi ke dalam eritrosit akibat perubahan pH
sitoplasma eritrosit yang menimbulkan kondisi metabolisme anaerob sehingga
eritrosit memerlukan glukosa lebih untuk mempertahankan homeostasisnya19.
Kelemahan dari penelitian ini adalah bias yang cukup besar dapat terjadi
karena pemberian makanan selama hemodialisis serta makanan yang dikonsumsi
sebelum menjalani hemodialisis sehingga diperlukan pemilihan makanan yang
ketat. Selain itu, bias juga dapat terjadi karena masih terdapat kekurangan dalam
pencatatan jumlah asupan bahan makanan subjek penelitian (food record).

8
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, didapatkan perbedaan yang
signifikan antara kadar glukosa darah sebelum dan setelah hemodialisis pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSUD dr. M. Yunus
Bengkulu dengan nilai p= 0,000 < 0,05. Saran dari penelitian ini, sebaiknya pasien
hemodialisis di RSUD dr. M. Yunus Bengkulu harus lebih memperhatikan
kejadian penurunan kadar glukosa darah post hemodialisis yang dapat terjadi.
Salah satunya dengan mempertahankan asupan makanan yang mengandung
karbohidrat, protein, dan lemak sesuai dengan standar nutrisi harian pasien
hemodialisis. Selain itu, para praktisi kesehatan di Instalasi Hemodialisis RSUD
dr. M. Yunus Bengkulu harus lebih memperhatikan gejala-gejala hipoglikemia
pada pasien hemodialisis sehingga dapat melakukan penanganan secara cepat dan
tepat. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perbandingan kadar glukosa
darah antara pasien hemodialisis yang menggunakan cairan dialisat dengan
glukosa dan tanpa glukosa untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih baik.
Asupan makanan subjek penelitian sebelum menjalani hemodialisis juga harus
dicatat secara rinci untuk mengetahui seberapa besar bias yang dihasilkan akibat
makanan tersebut.

9
DAFTAR RUJUKAN

1. Suwitra K (2009). Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,


Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II.
Edisi ke 5. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp:
103540.

2. Suhardjono (2015). Hemodialisis: Prinsip dasar dan pemakaian kliniknya.


Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyono AW, Simadibrata M, Setyohadi B, Syam AF
(eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi ke 6. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, pp: 21926.

3. World Health Organization (2013). WHO mortality database: Health statistics


and information systems. Available from
http://www.who.int/healthinfo/mortality_data/en/. Accessed on October 29th 2015

4. Indonesian Renal Registry (2012). 5th annual report of Indonesia Renal


Registry. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI). Available from
http://www.pernefri-inasn.org. Accessed on October 25th 2015.

5. Rekam medik (2015). Data terolah: Instalasi hemodialisis RSUD Dr. M. Yunus
Bengkulu.

6. National Kidney and Urologic Disease Clearinghouse (2006). Treatment


methods for kidney failure hemodialysis. National Institute of Diabetes and
Digestive and Kidney Disease NIH Publication, pp: 46667.

7. Jasim AH, Mueen HM, Aljubawee AA (2015). Asymptomatic hypoglycemia


after hemodialysis in non-diabetic patients with use of glucose-free dialysate
solutions. Medical Journal Babylon., pp: 10815.

8. Arif AB, Budiyanto A, Hoerudin (2013). Nilai indeks glikemik produk pangan
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. J Litbang Pert., pp: 919

9. Sediaoetama AD (2000). Ilmu gizi untuk mahasiswa dan profesi. Jakarta: Dian
Rakyat

10. Fouque D (2013). Nutrition support in chronic kidney disease (CKD). France:
Nutritional support in renal failure. France: ESPEN LLL Programme.

10
11. Heng AE and Noel JM (2010). A general overview of malnutrition in normal
kidney function and in chronic kidney disease. NDT., pp: 118-24.

12. Cano N (2013). Nutrition support in maintenance haemodialysis (MHD)


patients. France: Nutritional support in renal failure. France: ESPEN LLL
Programme.

13. Brunner, Suddarth (2004). Keperawatan medikal bedah. Edisi ke 8. Jakarta:


EGC.

14. Sapri A (2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan dalam


mengurangi asupan cairan pada penderita gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis di RSUD dr. H. Moeloek Bandar Lampung. Available from
http://www.indonesiannursing.com/2008. Accessed on December 30th 2016

15. Suarni, Widowati S (2006). Struktur, komposisi dan nutrisi jagung. Makassar:
Seminar dan lokakarya nasional jagung, pp: 41026

16. Rimbawan, Siagian A (2004). Indeks glikemik pangan. Jakarta: Penebar


Swadaya

17. Whitham D, Parpia AS (2014). Diabetes mellitus and chronic kidney disease
(Stages 15). In: Byham-Gray LD, Burrowes JD, Chertow GM (eds). Nutrition in
Kidney Disease 2nd edition. New York: Humana Press.

18. Sakla SSS, Sherif MM (2015). Blood glucose fluctuation in diabetic and non
diabetic hemodialysis patients. International Journal of Advanced Research., pp:
15419.

19. Takahashi A, Kubota T, Shibahara N, Terasaki J, Kagitani M, Ueda H, Inoue


T, Katsuoka Y (2004). The mechanism of hypoglycemia caused by hemodialysis.
Clin Nephrol., pp: 362-8.

11

Anda mungkin juga menyukai