Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGI KONVENSIONAL PADA PNEUMONIA

Disusun oleh:

Oktalia Metiarita, S.Ked


H1AP12041

Pembimbing :
dr. Sulastri Chen Panjaitan, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI


RSUD ARGAMAKMUR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul
Gambaran Radiologi Konvensional Pada Pneumonia. Referat ini saya susun
untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Radiologi di RSUD Argamakmur.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr.Sulastri Chen Panjaitan,
Sp.Rad, yang telah membimbing dan mengajarkan saya dalam mengetahui cara-
cara mendiagnosis suatu penyakit berdasarkan pemeriksaan radiologi sehingga
dapat membantu saya menyusun referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format
referat ini. Oleh karena itu, saya menerima segala kritik dan masukan dengan
tangan terbuka dan memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kesalahan
dalam tugas referat yang telah saya buat ini.
Akhir kata saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta
semua pihak yang ingin mengetahui tentang Gambaran Radiologi
Konvensional Pada Pneumonia

Bengkulu, Juli 2017

Penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang berkembang maupun yang sudah
maju.Pneumonia merupakan penyakit dengan angka mortalitas dan morbiditas
yang tinggi.Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru,
bronkiolus terminalis distal yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli.
Peradangan yang terjadi inilah yang menyebabkan konsolidasi dan gangguan
pertukaran udara di paru. Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan
waktu beberapa hari untuk mendapatkan hasilnya, maka pada pengobatan awal
pneumonia diberikan antibiotika secara empiris. Di Amerika dengan cara invasif
penyebab pneumonia hanya ditemukan 50%.
Di Indonesia sendiri pneumonia merupakan penyebab kematian nomor
tiga setelah penyakit jantung dan tuberkulosis.Identifikasi pneumonia harus jelas,
sehingga penegakan diagnosis pneumonia harus mencakup anamnesis dari gejala
dan riwayat, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang dari laboratorium
dan modalitas radiologi.5 Gambaran pneumonia pada modalitas radiologi
konvensional akan memberikan gambaran yang beragam sesuai dengan agen
penyebab.6,7

B. Tujuan Penulisan Referat


Untuk mengetahui gambaran radiologi konvensional pada pneumonia.

C. Manfaat Penulisan Referat


1. Referat ini diharapkan menjadi sumber rujukan dalam memahami kasus
penumonia dari sudut radiologi konvensional
2. Referat yang ditulis diharapkan bisa menjadi contoh penulisan ilmiah yang
berikutnya.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Paru
Masing-masing paru mempunyai apex (bagian atas dari paru) dan basis
(bagian dasar) yang mengikuti lengkung diafragma. Sekitar pertengahan
permukaan kiri yaitu hillus pulmonalis, suatu lekukan dimana bronchus,
pembuluh darah masuk ke paru-paru untuk membentuk konus pulmonalis.

Gambar 2.1 Anatomi Paru

Paru-paru terbagi menjadi beberapa lobus: atas, tengah, dan bawah di


kanan, dan atas dan bawah kiri. Fissura interlobaris membatasi setiap lobus paru-
paru. Paru-paru kanan dan kiri mempunyai fissura oblik Lobus bawah kiri terletak
di bawah fissura oblik kiri, lobus atas kiri terletak di atas fissure oblik kiri. Fissura
horizontal hanya ada di bagian kanan dan memisahkan lobus atas kanan dan lobus
tengah kanan.

4
B. Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat.
Pada pemeriksaan histologis terdapat pneumonitis atau reaksi inflamasi berupa
alveolitis dan penggumpalan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai
penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi. Pneumonia
komunitas (PK) adalah pneumonia yang terjadi akibat infeksi diluar RS,
sedangkan pneumonia nosokomial (PN) adalah pneumonia yang terjadi > 48 jam
atau lebih setelah dirawat di RS, baik di ruang rawat umum ataupun ICU tetapi
tidak sedang memakai ventilator. Pneumonia yang berhubungan dengan
pemakaian ventilator /PBV (Ventilator Associated Pneumonia/VAP) adalah
pneumonia yang terjadi setelah 48-72 jam atau lebih setelah intubasi tracheal.
Pada PK termasuk yang dirawat oleh perawatan akut di RS selama 2 hari atau
lebih dalam waktu 90 hari dari proses infeksi, tinggal dirumah perawatan (nursing
home atau long-term care facility), mendapat antibiotik intravena, kemoterapi,
atau perawatan luka dalam waktu 30 hari proses infeksi ataupun datang ke klinik
RS atau klinik hemodialisa.1

5
B. Etiologi1
Cara terjadinya penularan berkaitan pula dengan jenis kuman, misalnya
infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumoniae, melalui
selang infus oleh Staphylococcus aureus sedangkan infeksi pemakaian ventilator
oleh P.aeruginosa dan Enterobacter.Pada masa kini perubahan pola
mikroorganisme penyebab ISNBA akibat adanya perubahan keadaan pasien
seperti gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi lingkungan, dan
penggunaan antibiotik yang tidak tepat hingga menimbulkan perubahan
karakteristik kuman.Terjadilah peningkatan patogenitas/ jenis kuman. Terutama
S.aureus, B. Catarrhalis, H. Influenzae dan Enterobacteriae oleh adanya berbagai
mekanisme, juga dijumpai pada berbagai bakteri enterik gram negatif. 1
Etiologi pneumonia berbeda-beda ada berbagai tipe dari pneumonia, dan
hal ini berdampak kepada obat yang akan diberikan. Karena itu perlu diketahui
dengan baik pola kuman di suatu tempat.Indonesia belum mempunyai data
mengenai pola kuman penyebab secara umum, karena itu meskipun pola kuman di
luar negeri tidak sepenuhnya cocok dengan pola kuman di Indonesia, maka
pedoman yang berdasarkan pola kuman diluar negeri dapat dipakai sebagai acuan
secara umum.1
Etiologi pneumoni komunitas1
Diketahui berbagai patogen yang cenderung dijumpai pada faktor risiko
tertentu misalnya H.influenza pada pasien perokok, patogen atipikal pada lansia,
gram negatif pada pasien dari rumah jompo, dengan adanya PPOK, penyakit
penyerta kardiopulmonal/ jamak, atau pasca terapi antibiotika spektrum luas.
Ps.aeruginosa pada pasien dengan bronkiektasis, terapi steroid (>10mg/hari),
malnutrisi dan imunosupresi dengan disertai leukopeni.
Pada PK rawat jalan jenis patogen tidak diketahui pada 40%
kasus.Dilaporkan adanya Str. Pneumoniae pada 9-20%, M.pneumoniae 13-37%,
Chlamydia pneumoniae 17%.Patogen pada PK rawat inap diluar ICU.Pada 20-
70% tidak diketahui penyebabnya.Str. Pneumoniae dijumpai pada 20-60%,
H.influenzae 3-10%, dan oleh S. Aureus, gram negatif enterik, M. Pneumoniae,
C. Pneumoniae, legionella dan virus sebesar 10%. Kejadian infeksi kuman

6
atipikal mencapai 40-60%. Infeksi patogen gram negatif bisa mencapai 10%
terutama pada pasien dengan komorbiditas penyakit lain seperti disebut diatas. Ps.
aueruginosa dilaporkan sebesar 4%.patogen pada PK rawat inap di ICU. Sebanyak
10% dari PK dirawat di ICU, 50-60% tidak diketahui penyebabnya, sekitar 33%
disebabkan oleh str. Pneumoniae. Disamping patogen yang didapatkan
peningkatan infeksi patogen gram negatif. Enterobacteriacae dijumpai pada 20%
=. 10-20% di antaranya oleh Ps. Aeruginosa terutama pasien bronkiektasis.
Pada rumah jompo lebih sering dijumpai S.aureus yang resisten methisilin
(Methycilline resistant S.aureus-MRSA), bakteri gram negatif, M.tuberculosis dan
virus tertentu (adenovirus, cyncytial virus (RSV), dan influenza).
Secara in vitro di negara barat dilaporkan adanya resisten pneumokokus
terhadap penisilin (Drugs resistant str. Pneumoniae/ DRSP) sampai sebesar 40%
kasus, yang biasanya disertai juga resisten terhadap sefalosporin, makrolid,
doksisiklin, dan trimethoprim/sulpametoksazol. Berbagai AB lain aktif terhadap
DRSP ini yaitu fluorokuinolone antipneumokokus yang baru (seperti
gatifloksasin, levofloksasin, atau moksifloksasin), juga ketolide, vankomisin atau
linezolid. Penelitian PK rawat inap di asia misalnya Indonesia atau Malaysia
mendapatkan patogen yang bukan Str. Pneumoniae sebagai penyebab tersering
PK, antara lain Kl. pneumoniae.
Etiologi kelompok pneumonia nosokomial1
Etiologi tergantung pada 3 faktor yaitu: tingkat berat sakit, adanya risiko untuk
jenis patogen tertentu, dan masa menjelang timbul onset pneumonia.hal ini dapat
dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Faktor risiko utama untuk patogen tertentu pada PN


Patogen Faktor Risiko
Staphylococcus aureus Koma, cedera kepala, influenza,
pemakaian obat IV, DM, gagal ginjal
Methicillin resisten S. aureus Pernah dapat antibiotik, ventilator > 2
hari

7
Ps. Aeruginosa Lama rawat di ICU, terapi steroid /
antibiotik, kelainan struktur paru
(bronkiektasis, kistik fibrosis),
malnutrisi
Anaerob Aspirasi, selesai operasi abdomen,
Acinobachter spp. antibiotik sebelum onset pneumonia
dan ventilasi mekanik

C. Patogenesis Pneumonia Komunitas1


Gambaran interaksi dari ketiga faktor tersebut tercermin pada
kecendrungan terjadinya infeksi oleh kuman tertentu oleh faktor perubah
(modifying factor), seperti terlihat pada tabel 2.

Tabel 2. Faktor perubah yang meningkatkan resiko infeksi oleh patogen tertentu
pada penumonia komunitas
Pneumokokus yang resisten penisilin dan obat lain
Usia > 65 tahun
Pengobatan B-laktam dalam 3 bulan terakhir
Alkoholisme
Penyakit imunosupresif ( termasuk terapi menggunakan kortikosteroid)
Penyakit penyerta yang multipel
Kontak pada klinik lansia
Patogen gram negative
Tinggal di rumah jompo
Penyakit kardiopulmonal penyerta
Penyakit penyerta yang jamak
Baru selesai mendapatkan terapi antibiotika
Pseudomonas aeruginoasa
Penyakit paru struktural (bronkiektasis)
Terapi kortikosteroid (>10mg prednisone/ hari)

8
Terapi antibiotik spektrum luas >7 hari pada bulan sebelumnya
Malnutrisi

Patogenesis Pneumonia Nosokomial1


Patogen yang sampai ke trakhea terutama berasal dari aspirasi bahan
orofaring, kebocoran melalui mulut saluran endotrakheal, inhalasi, dan sumber
bahan patogen yang mengalami kolonisasi di pipa endotrakheal. PN terjadi akibat
proses infeksi bila patogen yang masuk saluran napas bagian bawah tersebut
mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme pertahanan
inang berupa daya tahan mekanik (epitel cilia dan mukus), humoral (antibodi dan
komplemen), dan selular (leukosit polinuklear, makrofag, limfosit, dan sitokin).
Kolonisasi terjadi akibat adanya berbagai faktor inang dan terapi yang telah
dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang berat, tindakan bedah, pemberian
antibiotik, obat-obatan lain, dan tindakan invasif pada saluran
pernapasan.Mekanisme lain adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru, penyebaran
hematogen, dan akibat tindakan intubasi.
Faktor risiko terjadinya PN dapat dikelompokkan atas 2 golongan yaitu
yang tidak dapat diubah yang berkaitan dengan inang (seks pria, penyakit paru
kronik, atau gagal organ jamak) dan terkait tindakan yang diberikan (intubasi atau
selang nasogastrik).Pada faktor yang dapat diubah dapat dilakukan upaya berupa
mengontrol infeksi, desinfeksi dengan alkohol, pengawasan patogen resisten
(multidrug resistent MDR), penghentian dini pemakaian alat invasif, dan
pengaturan tatacara pemakaian AB. Faktor risiko kritis adalah ventilasi mekanik >
48 jam, lamanya perawatan di ICU, skor APACHE, adanya ARDS (acute
respiratory syndrome).Faktor risiko terjadinya infeksi pada PBV dapat dilihat di
Tabel 3.

9
Tabel 3. Faktor risiko terjadinya infeksi pada PBV
Terapi dalam 90 hari sebelumnya
Perawatan RS dalam 5 hari atau lebih
Frekuensi tinggi kuman resisten AB di RS atau lingkungan pasien
Faktor risiko PPK:
- Rawat RS 2hari atau lebih dalam 90 hari terakhir
- Berdiam di rumah jompo
- Terapi infus dirumah ( termasuk antibiotika)
- Dialisis kronik dalam 30 hari
- Perawatan luka di rumah
- Anggota keluarga terinfeksi patogen multi-resisten
Penyakit imunosupresif dengan atau tanpa terapi

D. Klasifikasi Pneumonia1
a. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
1. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
2. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/ nosocomial
pneumonia)
3. Pneumonia aspirasi
4. Pneumonia pada penderita Immunocompromised pembagian ini penting
untuk memudahkan penatalaksanaan.1
b. Berdasarkan bakteri penyebab
1. Pneumonia bakterial/ tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca
infeksi influenza.
2. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
3. Pneumonia virus.
4. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).1

10
c. Berdasarkan predileksi infeksi
1. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi dan
orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya : pada
aspirasi benda asing atau proses keganasan
2. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan
paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan
orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
3. Pneumonia intersisial.1

E. Diagnosis1
Mikroorganisme penyebab infeksi akan mengarahkan kepada pemilihan
terapi empiris antibiotik yang tepat. Diagnosis pneumonia didasarkan kepada
riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang diteliti dan pemeriksaan
penunjang.
Anamnesis. Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang
berhubungan dengan faktor infeksi:
- Evaluasi faktor pasien/predisposisi:PPOK (H. influenzae), penyakit kronik,
kejang/tidak sadar (aspirasi gram negatif, anaerob), penurunan imunitas
((kuman gram negatif), pneumocystic carinii, CMV, legionella, jamur,
Mycobacterium), kecanduan obat bius (Staphylococcus).
- Bedakan lokasi infeksi: PK (Streptococcus pneumoniae, H. Influenzae, M.
Pneumoniae), rumah jompo, PN (Staphylococcus aureus), gram negatif.
- Usia pasien: bayi (virus), muda (M. Pneumoniae), dewasa (S. Pneumoniae)
- Awitan: cepat, akut, rusty coloured sputum ( S. Pneumoniae); perlahan,
dengan batuk, dahak sedikit (M. Pneumoniae).
Pemeriksaan fisik. Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia, dan keadaan
klinis. Perhatikan gejala klinis yang mengarah pada tipe kumam penyebab
/patogenitas kuman dan tingkat berat penyakit:

11
- Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. Pneumoniae,
Streptococcus spp, Staphylococcus. Pneumonia virus ditandai dengan
mialgia, malaise, batuk kering dan nonproduktif.
- Awitan lebih insidious dan ringan pada orang tua / imunitas menurun akibat
kuman yang kurang patogen/oportunistik, misalnya; klebsiella, pseudomonas,
enterobacteriaceae, kuman anaerob, dan jamur.
- Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa demam,
sesak napas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki
nyaring, suara napas bronkial). Bentuk klasik pada PK primer berupa
bronkopneumonia, pneumonia lobaris,atau pleuropneumonia. Gejala atau
bentuk yang tidak khas dijumpai pada PK yang sekunder (didahului penyakit
dasar paru) ataupun PN. Dapat diperoleh untuk bentuk manifestasi lain
infeksi paru seperti efusi pleura, pneumothoraks/ hidro pneumo thoraks.Pada
pasien PN atau dengan gangguan imun dapat dijumpai gangguan kesadaran
oleh hipoksia.
- Warna, konsistensi dan jumlah sputum penting untuk diperhatikan.
Pemeriksaan penunjang.
- Pemeriksaan laboratorium. Leukositosis umumnya mendandai adanya
infeksi bakteri; leukosit normal / rendah dapat disebabkan oleh infeksi virus /
mikoplasma atau pada infeksi yang berat sehingga tidak terjadi respon
leukosit, orang tua atau lemah. Leukopenia menunjukkan depresi imunitas,
misalnya neutropenia pada infeksi kuman gram negatif atau S. Aureus pada
pasien dengan keganasan dan gangguan kekebalan. Faal hati mungkin
terganggu.
- Pemeriksaan bakteriologis. Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi
nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi jarum transtorakal, torakosentesis,
bronkoskopi, atau biopsi. Untuk tujuan terapi empiris dilakukan pemeriksaan
apus Gram, Burri Gin, Quellung test dan Z.nielsen. Kuman yang predominan
sputum yang disertai PMN yang kemungkinan merupakan penyebab infeksi.
Kultur kuman merupakan pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat
untuk evaluasi terapi selanjutnya.

12
- Pemeriksaan khusus. Titer antibodi terhadap virus, legionella, dan
mikoplasma. Nilai diagnostik bila titer tinggi atau ada kenaikan titer 4 kali.
Analisis gas darah dilakukan untuk menilai tingkat hipoksia dan kebutuhan
oksigen.
- Pada pasien PN/PK yang rawat inap perlu diperiksakan analisa gas darah dan
kultur darah.
- Pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan radiologik toraks merupakan pemeriksaan yang sangat penting.
Pemeriksaan paru tanpa pemeriksaan rontgen saat ini dapat dianggap tidak lengkap. Suatu
penyakit paru belum dapat disingkirkan dengan pasti sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologik. Selain itu,berbagai kelainan dini dalam paru juga sudah dapat dilihat dengan
jelas pada foto rontgen sebelum timbul gejala-gejala klinis. Foto rontgen yang dibuat
pada suatu saat tertentu dapat merupakan dokumen yang abadi dari penyakit seorang
penderita, dan setiap waktu dapat dipergunakan dan diperbandingkan dengan foto yang
dibuat pada saat berikutnya.13

Posisi Pada Foto Thorax13,14

Posisi PA (Postero Anterior)

Pada posisi ini film diletakkan di depan dada, siku ditarik kedepan supaya
scapula tidak menutupi parenkim paru.

13
Posisi AP (Antero Posterior)
Dilakukan pada anak-anak atau pada pasien yang tidak kooperatif. Film
diletakkan dibawah punggung, biasanya scapula menutupi parenkim paru. Jantung
juga terlihat lebih besar dari posisi PA. Clavicula juga terangkat.

Posisi Lateral Dextra & Sinistra

Posisi ini hendaknya dibuat setelah posisi PA diperiksa. Buatlah proyeksi


lateral kiri kecuali semua tanda dan gejala klinis terdapat di sebelah kanan, maka
dibuat proyeksi lateral kanan,berarti sebelah kanan terletak pada film. Foto juga
dibuat dalam posisi berdiri.

14
Posisi Lateral Dekubitus

Foto ini hanya dibuat pada keadaan tertentu,yaitu bila klinis diduga ada
cairan bebas dalam cavum pleura tetapi tidak terlihat pada foto PA atau lateral.
Penderita berbaring pada satu sisi (kiri atau kanan). Film diletakkan di muka dada
penderita dan diberikan sinar dari belakang arah horizontal.
Posisi Apikal (Lordotik)

Hanya dibuat bila pada foto PA menunjukkan kemungkinan adanya


kelainan pada daerah apex kedua paru. Proyeksi tambahan ini hendaknya hanya
dibuat setelah foto rutin diperiksa dan bila ada kesulitan menginterpretasikan
suatu lesi di apex.

15
Posisi Oblique

RAO (Right Anterior Oblique)

LAO (Left Anterior Oblique)

Foto posisi oblique, dapat menunjukkan area retrocardia, sudut posterior ruang
costophrenica dan dinding dada.
LAO: terlihat area maksimum dari paru-paru kiri dengan susunan serabut-
serabut bronkiolus, tampak trakea, tampak gambaran paru-paru kanan yang
mengalami pemendekkan, tampak jantung, arcus aorta dan aorta
RAO: terlihat area maksimum dari paru-paru kanan dengan susunan serabut-
serabut bronkiolus, tampak trakea, tampak gambaran paru-paru kiri yang
mengalami pemendekkan, posisi ini dapat untuk melihat gambaran atrium

16
kiri, pulmonary arteri, bagian anterior dari apex ventrikel kiri dan ruang
retrocardiac kanan. Bila diberi kontras (OMD) foto RAO dapat untuk melihat
jelas bagian esofagus.

Posisi Ekspirasi
Adalah foto toraks PA atau AP yang diambil pada waktu penderita dalam
keadaan ekspirasi penuh. Hanya dibuat bila foto rutin gagal menunjukkan adanya
pneumothorak yang diduga secara klinis atau suatu benda asing yang terinhalasi)
American Thoracic Society merekomendasikan posisi PA (posteroanterior)
dan lateral (jika dibutuhkan) sebagai modalitas utama yang di gunakan untuk
melihat adanya pneumonia. Gambaran pneumonia pada foto thorax sebenarnya
sama seperti gambaran konsolidasi radang. Prinsipnya jika udara dalam alveoli
digantikan oleh eksudat radang, maka bagian paru tersebut akan tampak lebih
opak pada foto Rontgen. Jika kelainan ini melibatkan sebagian atau seluruh lobus
disebut lobaris pneumoniae, sedangkan jika berupa bercak yang mengikutsertakan
alveoli secara tersebar maka disebut bronchopneumoniae. (16,19)

Gambar 2.2 Pneumonia pada foto toraks PA dan lateral

Adapun gambaran radiologis foto thoraks pada pneumonia secara umum antara
lain: (16-19)
a. Perselubungan padat homogen atau inhomogen
b. Batas tidak tegas, kecuali jika mengenai 1 segmen lobus

17
c. Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru
mengecil. Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/seperti pada
atelektasis.
d. Air bronchogram sign adalah bayangan udara yang terdapat di dalam
percabangan bronkus yang dikelilingi oleh bayangan opak rongga udara
yang akan tampak jelas jika udara tersebut tergantikan oleh cairan/eksudat
akibat proses inflamasi. Pada saat kondisi seperti itulah, maka dikatakan
air bronchogram sign positif (+). (4,19,20)

Gambar 2.3 Gambaran Air Bronchogram pada pneumonia.

Berdasarkan letak anatomis dibagi menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris,


pneumonia lobularis (bronkopneumonia), dan pneumonia interstitialis
(bronkiolitis).

1. Pneumonia Lobaris9,10
Pada pneumonia lobaris bisa ditemukan perselubungan paru lobus atas
dengan batas yang tegas, walaupun pada mulanya kurangjelas. Volume paru tidak
berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru mengecil.Tidak tampak deviasi
trachea / septum / fissura/ seperti pada atelektasis.

18
Gambar2.5 Pneumonia Lobaris, sillhoute sign (+) (lobus media) proyeksi
PA dan Lateral

Gambar2.6 Konsolidasi pada batas sisi diafragma kiri dengan gambaranair


bronchogramsdi segmen basal posterior lobus bawah kiri

19
Pneumonia lobus superior dextra (lateral)

Gambar 2.7 Lobar pneumonia lobus superior

Perselubungan homogen berada diatas fisura minor menunjukkan lobar


pneumonia lobus superior.

Gambar2.8 Pneumonia lobus tengah paru kanan sillhoute sign (+) lobus media
proyeksi PA

20
Pneumonia lobus tengah kanan proyeksi PA

Gambar 2.9 Batas kanan jantung tertutup perselubungan Silhoutte sign (+)
lobus media

Sillhoute sign adalah suatu tanda adanya dua bayangan benda (objek)
yang berada dalam satu bidang seakan tumpang tindih. Tanda ini bermanfaat
untuk menentukan letak lesi paru ; jika batas lesi dengan jantung hilang, berarti
lesi tersebut berdampingan dengan jantung atau di lobus medius kanan. Maka
akan disebut sebagai sillhoute sign (+)4,22

Pneumonia lobus tengah kanan proyeksi lateral

Gambar 2.10 Konsolidasi anterior dari fisura mayor dan inferior dari fisura minor
(lobus media)

21
Pneumonia lobus inferior kanan proyeksi PA

Gambar 2.11 Batas kanan jantung jelas, infiltrat alveolar pada paru lapang bawah
kanan, silhoutte sign (-) bukan pada lobus media

Pneumonia lobus inferior kanan proyeksi lateral

Gambar 2.12 Infiltrat terletak posterior dari fisura mayor

22
2. Bronkhopneumonia/Pneumonia Lobularis
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang
mempunyai pola penyebaran bercak, teratur dalam satu atau lebih area
terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di
sekitarnya.Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area berbercak.
Bronkopneumonia adalah proses multi fokal yang dimulai pada bronkiolus
terminalis dan respiratorius dan cenderung menyebar secara segmental. dapat juga
disebut pneumonia lobularis dan menghasilkan konsolidasi yang tidak homogen.
Pada foto thoraks tampak infiltrat peribronkhial yang semiopak dan tidak
homogen didaerah hillus yang menyebabkan batas jantung menghilang, penyebab
paling sering oleh S.aureus dan organisme gram negatif.

Gambar 2.13 Infiltrat pada paru dextra (bronkopneumonia). Paru kiri bersih, tidak
ada efusi pleura

Gambar 2.14 Pneumonia (kanan), bronkopneumonia (kiri)

23
Gambar 2.15 Tampak konsolidasi tidak homogen di lobus atas kiri dan lobus
bawah kiri.

3. Pneumonia Interstitial
Umumnya jenis pneumonia intersisial ini disebabkan oleh virus. Infeksi oleh
virus berawal dari permukaan dengan terjadinya kerusakan silia sel goblet dan
kelenjar mukus bronkioli sehingga dinding brokioli menjadi edematous. juga
terjadi edema jaringan interstisial peribronkial, kadang alveolus terisi cairan.
Tampak bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi oleh perselubungan
yang tidak merata .Pola ini ditandai dengan edema dan infiltrasi seluler inflamasi
terletak terutama di jaringan interstitial dalam septa alveolar dan interstitium
peribronchovascular.
Virus infeksi dada pada anak-anak menyebabkan bronkiolitis, terutama
pada anak di bawah usia dua tahun. Radiografi toraks menunjukkan daerah
hiperinflasi dan atelektasis

24
Gambar2.16 Infiltrat pada kedua basal paru

Gambar 2.17 Bayangan udara pada alveolus masih terlihat, diliputi oleh
perselubungan yang tidak merata.

Klasifikasi berdasarkan penyebab bakteri


1. Klebsiella Pneumoniae
Terdapat pada laki-laki yang sudah tua dengan kondisi kesehatan yang
lemah, gambarannya adalah lobarpneumonia yang sering pada bagian
kanan dan bagian lobus atas paru, volume dari paru yang terinfeksi dapat
dipertahankan atau dapat sedikit meningkat yang disebabkan oleh fissure
yang menonjol,bisa terdapat kavitas. Bayangan opak homogen dan difus

25
yang cepat membentuk abses, air fluid meniscus (+)

Gambar2.18 Konsolidasi luas pada lobus atas kanan dengan bulging pada
fissure horizontal

2. Micoplasma Pneumoniae

Gambaran nodular dan reticular (seperti jala) yang diikuti dengan bayangan
konsolidasi, dapat terjadi pada pembagian paru atau perlobus paru dan biasanya
unilateral.kavitas dan efusi pleura sangat jarang didapat.

Gambar 2.19 Penebalan kedua hilus di perihiler.Tampak infiltrat di kedua basal


paru dan lapangan tengah paru kanan.Tampak gambaran seperti jala, dan
peningkatan interstisial yang mennjol pada kedua lobus bawah paru.

26
3. Staphylococcus aureus
Disebabkan pemakaian narkoba gambarannya ada nodul bulat yang tersebar
selama beberapa hari. Terkadang kavitas dapat ditemukan pada pemeriksaan
keadaan lanjut. Pada pneumonia yang muncul adalah gambaran brokopneumonia
dengan bercak-bercak konsolidasi banyak kadang terdapat kavitas juga.

Gambar 2.20 Pneumonia ec Staphylococcus aureus

4. Streptococcus Pneumoniae
Sering pada orang muda, paling sering terjadi pada semua umur, konsolidasi
bentuk lobar, sering berada dibasal paru, tetapi juga sering diseluruh bagian paru,
gambaran volume paru normal, air bronkogram +, edema diseptum interlobular
menyebabkan garis septum.

Gambar 2.21 Pneumonia ec Staphylococcus pneumonia

27
Viral Pneumonia27

1. Herpez Varicela Zooster


Pada fase akut didapatkan penyebaran bayangan nodular yang luas sampai
berdiameter 1 cm, didukung dan ditemukan kemerahan pada kulit.

Gambar 2.22 Pneumonia et causa Infeksi Virus Varicela zoster. High density
micronodules di kedua paru.
2. Influenza Virus
Gambaran radiologi: Adanya bercak bercak konsolidasi

Gambar 2.23 Pneumonia et cause Infeksi Virus Influenza

28
F. Differential Diagnosis dari penyakit pneumonia14, 20, 27
Tuberculosis Paru (TB)
Gejala klinis TB antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3
minggu), nyeri dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam,
menggigil, keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat
badan.Gambaran radiologi bisa terdapat bayangan berawan/nodular, kavitas yg di
kelilingi bayangan opak, bayangan bercak milier, efusi pleura unilateral
(umunya), fibrotic, kalsifikasi, penebalan pleura.

Gambar 2.24 Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan , infiltrate di
paru kiri pada foto thorax proyeksi PA
Atelektasis
Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak
sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang
tidak mengandung udara dan kolaps.Memberikan gambaran yang mirip dengan
pneumonia tanpa air bronchogram.Namun terdapat penarikan jantung, trakea, dan
mediastinum ke arah yang sakit karena adanya pengurangan volume interkostal
space menjadi lebih sempit dan pengecilan dari seluruh atau sebagian paru-paru
yang sakit. Sehingga akan tampak thoraks asimetris.

29
Gambar 2.25 Atelektasis pada foto thorax proyeksi PA

Efusi Pleura
Memberi gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air
bronchogram.Terdapat penambahan volume sehingga terjadi pendorongan
jantung, trakea, dan mediastinum kearah yang sehat.Rongga thorax membesar.
Pada efusi pleura sebagian akan tampak meniscus sign, tanda khas pada efusi
pleura.

Gambar 2.26 Efusi pleura pada foto thorax posisi PA

30
Tumor Paru

Tumor paru menyerupai banyak jenis penyakit paru lain dan tidak mempunyai
awitan yang khas. Tumor paru seringkali menyerupai pneumonitis yang tidak
dapat ditanggulangi. Namun secara radiologik, gambaran tumor paru ini sangat
khas menyerupai nodul yang berbentuk koin (coin lesion). Pemeriksaan
Tomografi Komputer dapat memberikan informasi lebih banyak. Penilaian pada
massa primer paru berupa besarnya densitas massa yang dapat memberi gambaran
perselubungan yang inhomogen pada massa sifat ganas atau homogen pada massa
jinak, tepi massa tidak teratur/spikul pada massa ganas, dan batas rata pada massa
jinak. 1

Gambar 2.27 Tumor Paru

31
Tabel 6 Jenis Patogen Agen Penyebab Pneumonia dan Gambaran Radiologi yang
Dihasilkan

32
F. Penatalaksanaan
Pneumonia komunitas1
Antibiotik empirik.
Pasien pada awalnya diberikan terapi empirik yang ditujukan pada patogen
yang paling mungkin menjadi penyebab seperti tercantum pada bagan 1bila telah
ada hasil kultur dilakukan penyesuaian obat. Diluar negeri terhadap semua pasien
dianjurkan kemungkinan terapi patogen atipik yang berdasarkan faktor risikonya.
Disertai / tanpa AB lain. Pada pasien rawat inap AB harus diberikan dalam 8 jam
pertama dirawat di RS.Stratifikasi kelompok ini menjadi dasar dari pengarahan
pemberian terapi pada PK.
Pada prinsipnya terapi utama pneumonia adalah pemberian antibiotik(AB)
tertentu terhadap kuman tertentu pada suatu tipe dari ISNBA baik pneumonia

33
ataupun bentuk lain, dan AB ini dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap
kuman penyebab. Faktor-faktor yang dipertimbangkan pada pemilihan AB:
Faktor pasien.
Urgensi/ cara pemberian obat berdasarkan tingkat berat sakit ISNBA dan
keadaan umum/ kesadaran, mekanisme imunologis, umur, defisiensi
genetik/organ, kehamilan, alergi. Pasien berobat jalan dapat diberikan obat oral,
pasien sakit berat diberikan intravena.
Faktor antibiotik.
Secara praktis dipilih AB yang ampuh dan secara empirik telah terbukti
merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi kuman penyebab yang paling
mungkin pada pneumonia atau bentuk lain ISNBA berdasarkan data antibiogram
mikrobiologi dalam 6-12 bulan terakhir. Efektivitas AB tergantung kepada
kepekaan kuman terhadap AB ini, penetrasinya ke tempat lesi infeksi, toksisitas,
interaksi dengan obat lain dan reaksi pasien misalnya alergi atau intoleransi.
Faktor farmakologis.
Farmakokinetik AB mempertimbangkan proses bakterisidal dengan kadar
hambat minimal (MIC) yang sama dengan kadar bakterisidal minimal (KBM), dan
bakteriostatik dengan KBM jauh lebih tinggi daripada KHM. Untuk mencapai
efektivvitas optimal, obat yang tergolong mempunyai sifat dose dependent
(misalnya sefalosporin) perlu diberikan dalam 3-4 pemberian/ hari sedangkan
golongan concentration dependent (misal aminoglikosida, kuinolon) cukup 1-2
kali sehari namun dosis yang lebih besar.
Farmakodinamik menilai kemampuan AB untuk melakukan penetrasi ke
lokasi infeksi di jaringan dan keampuhannyaAB hingga obat ini dipakai terhadap
patogen penyebab. Obat dengan kadar intraseluler yang tinggi seperti makrolid
akan lebih efektif dalam membunuh kuman intraselular. Cara pemilihan AB
Pilihan AB dapat berupa :
a. AB tunggal. Dipilih yang paling cocok diberikan pada pasien PK yang
asalnya sehat dan gambaran klinisnya sugestif disebabkan oleh tipe kuman
tertentu yang sensitif.

34
b. Kombinasi AB. Diberikan dengan maksud untuk mencakup spektrum
kuman-kuman yang dicurigai, untuk meningkatkan aktivitas spektrum, dan
pada infeksi yang jamak.
Bila telah didapat hasil kultur dan tes kepekaan maka hasil ini dapat dijadikan
pertimbangan untuk memberikan AB yang lebih terarah atau monoterapi.
AB yang dibarikan adalah AB dengan spektrum luas, yang kemudian
sesuai hasil kultur dirubah menjadi AB spektrum sempit. Lama pemberian terapi
ditentukan berdasarkan adanya penyakit penyerta dan/atau bakteriemi, beratnya
penyakit pada onset terapi dan perjalanan penyakit pasien. Umumnya terapi
diberikan selama 7-10 hari.Untuk infeksi M.pneumoniae dan C. Pneumoniae
selama 10-14 hari, sedangkan pada pasien dengan terapi steroid jangka panjang
selama 14 hari atau lebih.
Pada terapi PK rawat inap, proses perbaikanakan terlihat 3 tahap yaitu
tahap 1. Pada saat pemberian AB IV selama 3 hari akan terlihat pasien stabil
secara klinik; kemudian terlihat perbaikan keluhan dan tanda fisik serta nilai
laboratorium. Pada fase ke 3 terlihat penyembuhan dan resolusi
penyakit.Keterlambatan perbaikan klinik dapat disebabkan patogen yang resisten
atau bakteriemi. Di samping itu faktor inang berupa usia tua, penyakit penyerta
jamak atau progresifitas penyakit. Dapat pula disebabkan oleh alkoholik,
pneumonia multilober, atau empiema.Bila keadaan klinik membaik dengan
berkurangnya batuk, afebril dalam 2x8 jam berturutan, lekositosis menurun dan
fungsi saluran cerna membaik, makan dilakukan alih terapi ke AB per oral yang
dianggap cocok dengan patogen penyebabnya.Kepulangan pasien dari rawat inap
tergantung juga kepada kondisi pasien dan adanya penyakit penyerta.
Bila belum ada respon yang baik dalam 72 jam ( terjadi pada 10% pasien),
lakukan evaluasi terhadap adanya kemungkinan patogen yang resistenm
komplikasi atau penyakitnya bukan pneumonia. Reevaluasi ditujukan kepada
faktor predisposisi dari terjadinya infeksi.Telah diketahui bahwa kuman penyebab
berbeda pada pneumonia komunitas dengan pneumonia nosokomial, dan antara
satu kasus dengan kasus lainnya. Dengan demikian tidak ada patokan tetap dalam
pemilihan jenis AB. Berdasarkan pengetahuan dan perkiraan jenis kuman

35
penyebab tingkat berat sakit PK atau PN dapat dipilih terapi awal jenis AB, yang
kemudian diikuti pemberian AB lanjutan dengan mempertimbangkan hasil
bakteriologi dan respon klinis.
Ketentuan untuk memberikan makrolid pada pasien PK berat di daerah
Asia perlu diteliti lebih lanjut.Penelitian di Malaysia terhadap pasien PK yang
diberikan makrolid dan tidak diberikan makrolid tidak didaptkanperbedaan
manfaat yang bermakna khususnya mengenai mortalitas, penggunaan ventilator,
ataupun lamanya rawat inap.Hal ini berkaitan dengan perbedaan jenis dan
kepekaan patogen penyebab PK.
Pneumonia Nosokomial.
Berdasarkan pertimbangan ada atau tidaknya onset lambat 5 hari dan
adanya faktor risiko patogen MDR, diberikan terapi empirik awal dengan terapi
AB spektrum terbatas, atau spektrum luas AB untuk patogen MDR. Terapi
segera diberikan karena keterlambatan terapi dapat mengakibatkan peningkatan
mortalitas. Pasien diberikan terapi empirik didasarkan kepada risiko infeksi MDR
dan gram negatif dalam bentuk kombinasi, dan monoterapi bila tidak ada risiko
MDR. Hal ini untuk mencegah terjadinya resistensi patogen pada saat terapi
terhadap P.aeruginosa, dan pada saat memberikan sefalosporin gen ke-3 terhadap
enterobakter. Diberikan terapi jangka pendek dalam 7 hari bila didapat respon
yang baik, dan penyebabnya bukan P. Aeruginosa.
Pada umumnya spektrum aktivitas AB apapun tidak mencakup semua
kuman penting yang biasa menjadi penyebab PN, kecuali sefpirom dan
karbapenem. Sefpirom merupakan sefalosporin gen ke-4 yang spektrumnya
mencakup sebagian besar kuman penyebab infeksi nosokomial di ruanga
umum/ICU termasuk Staphylococcus aureus dan Staphylococcus caogulase
negatif. Seperti halnya sefalosporin lain dan karbapene, sefpirom kurang aktif
terhadap MRSA. Untuk MRSA yang diperkirakan terjadi pada 20% dari infeksi
Staphylococcus dapat dipergunakan vankomisin atau linezolid.
Pada PN dengan imunitas yang normal terapi AB biasanya diberikan
selama 2 minggu dapat diperpanjang bila terdapat gangguan daya tahan
tubuh.Pasien ini biasanya menyelesaikan terapi AB parenteral di RS dan tidak ada

36
kesempatan untuk dilakukan pengalihan obat(switch therapy) ke bentuk
oral.Modifikasi AB perlu dilakukan bila telah didapat hasil bakteriologik dari
bahan sputum atau darah.Respon terhadap AB dievaluasi dalam 72 jam.
Kegagalan terapi dapat disebabkan kesalahan diagnosis, kesalahan
sangkaan patogenn atau komplikasi. Kesalahan diagnosis karena terdapat penyakit
lain berupa atelektasis, emboli paru, ARDS, penyakit dasar neoplasma. Patogen
penyebab mungkin berupa MDR (bakteri, mikobakteri, virus, jamur) atau karena
salah terapi misalnya dosis yang tak adekuat atau cara pemberian yang salah.
Komplikasi yang mungkin terjadi misalnya empiema, abses paru, superinfeksi
atau demam akibat obat (drug fever).Dapat juga karena faktor inang berupa
respon imun yang menurun, obstruksi saluran napas.
Bila telah ada hasil kultur, AB dimodifikasi biladidapatkan kuman yang
resisten yang tidak tercakup dalam sepktrum AB yang sedang diberikan, atau
sebaliknya dipakai AB dengan spektrum yang lebih sempit atau lebih ringan bila
ps.aeruginosa dan anisobakter tidak ditemukan.

Terapi suportif1
1. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100mmHg atau sturasi 95-96%
berdasarkan pemeriksaaan analisis gas darah;
2. Humidifikasi dengan nebulizer untuk pengenceran dahak yang kental, dapat
disertai nebulizeruntuk pemberian bronkodilator bila terdapat bronkospasme;
3. Fisioterapi dada untuk mengeluarkan dahak, khususnya anjuran untuk batuk
dan napas dalam. Bila perlu dikerjakan fish mouth breathing untuk melancarkan
ekspirasi dan pengeluaran CO2. Posisi tidur setengah duduk untuk melancarkan
pernapasan;
4. Pengaturan cairan. Kebutuhan kapiler paru sering terganggu pada pneumonia,
dan paru lebih sensitif terhadap pembebanan cairan terutama bila terdapat
pneumonia bilateral.Pemberian cairan pada pasien harus diatur dengan baik,
termasuk pada keadaan gangguan siekulasi dan gagal ginjal. Overhidrasi yang
dimaksud mengencerkan dahak tidak diperkenankan;

37
5. Pemberian kortikosteroid pada fase sepsis berat perlu diberikan. Terapi ini tidak
bermanfaat pada keadaan renjatan septik;
6. Pertimbangkan obat inotropik seperti dobutamin atau dopaminkdang-kadang
diperlukan bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal prerenal;
7. Ventilasi mekanis. Indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada
pneumonia adalah:a. Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan O2 100%
dengan menggunakan masker. Konsentrasi O2 yang tinggi menyebabkan
penurunan kompliens paru hingga tekanan inflasi meninggi. Dalam hal ini perlu
digunakan PEEP untuk memperbaiki oksigenisasi dan menurunkan FiO2 menjadi
50% atau lebih rendah; b. Gagal napas yang ditandai dengan peningkatan CO2
didapat asidosis, henti napas, retensi sputumyang sulit diatasi secara konservatif.
8. Drainase empiema bila ada;
9.Bila terdapat gagal napas, diberikan nutrisi yang cukup kalori terutama
didapatkan dari lemak (50%), hingga dapat dihindari produksi CO2 yang
berlebihan.

G. Komplikasi1
Dapat terjadi komplikasi pneumonia ektrapulmoner, misalnya pada
pneumonia pneumokokus dengan bakteriemi dijumpai pada 10% kasus berupa
meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis, dan epiema. Terkadang
dijumpai komplikasi ekstrapulmoner non-infeksius bisa dijumpai yang
memperlambat resolusi gambaran radiologi paru, antara lain gagal ginjal, gagal
jantung, emboli paru atau infark paru, dan infark miokard akut. Dapat terjadi
komplikasi lain berupa acute respiratory distress syndrome (ARDS), gagal organ
jamak, dan komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial.

H. Pencegahan1
Pneumonia komunitas (community-acquired), dapat dicegah dengan
pemberian vaksinasi pada penghuni rumah jompo atau rumah penampungan
penyakit kronik dan usia > 65 tahun, sedangkan pencegahan pada pneumonia
nosokomial (hospital-acquired) ditujukan kepada upaya program pengawasan dan

38
pengontrolan infeksi termasuk pendidikan staf pelaksana, pelaksanaan teknik
isolasi, dan praktek pengontrolan infeksi. Salah satu contoh tindakan
pencegahannya yaitu berupa pembatasan pemakaian selang nasogastrik atau
endotrakeal atau pemakaian obat sitoprotektif sebagai pengganti antagonis H2 dan
antacid.

I. Prognosis1
Pneumonia komunitas
Kejadian PK di USA adalah 3.4-4 juta kasus per tahun, dan 20%
diantaranya perlu dirawat di RS.Secara umum angka kematian pneumonia oleh
pneumokokus adalah sebesar 5%, namun dapat meningkat pad orang tua dengan
kondisi yang buruk.Pneumonia dengan influenza di USA meupakan penyebab
kematian no. 6 dengan kejadian sebesar 59%. Sebagian besar pada lanjut usia
yaitu sebesar 89%. Mortalitas CAP yang dirawat di ICU adalah sebesar 20%.
Mortalitas yang tinggi ini berkaitan dengan faktor perubah yang ada pada
pasien.
Pneumonia nosokomial
Angka mortalitas PN dapat mencapai 33-50% yang bisa mencapai 70%
bila termasuk yang meninggal akibat penyakit dasar yang didaritanya.Penyebab
kematian biasanya adalah bakteriemi terutama oleh Ps. Aeruginosa atau
Acinobacter spp.

39
BAB III

KESIMPULAN

Pemeriksaan radiologi toraks merupakan pemeriksaan yang sangat


penting.Kemajuan pesat selama dasawarsa terkhir dalam teknik pemeriksaan
radiologik toraks dan pengetahuan untuk menilai suatu keharusan
rutin.Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini foto thorax konvensional menjadi
pemeriksaan yang sangat penting pada pneumonia.Terutama apabila dari
pemeriksaan fisik memang menunjukan kelainan di paru dan membutuhkan
pemeriksaan peunjang berupa foto thorax. Koordinasi antara pemeriksaan klinis,
laboratorium dan radiologi akan dapat menunjang penegakan diagnosis yang
tepat.
Gambaran khas pada pneumonia adalah adanya perselubungan homogen
maupun inhomogen sebagai tanda peristiwa konsolidasi yang ada di parenkim
paru, air-bronkhogram maupun silhoute sign sebagai tanda posisi lesi peradangan
itu sendiri. Namun tidak semua pneumonia membedakan antara pneumonia
atelektasis, dan efusi pleura dilihat adanya penarikan, atau pendorongan jantung,
trakea dan mediastinum ke arah yang sakit atau sehat, jadi dalam penegakkan
pneumonia sangat dipertukan gambaran radiologis untuk penegakan diagnosis
disamping pemeriksaan laboratorium.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Dahlan, Zul. Pneumonia Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor :
Aru W. Sudoyo, dkk. Jilid III Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2014 ; 2196-206
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti. Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003; hal 2-6
3. Wilson, M Lorraine. Penyakit Pernapasan Restriktif. In: Price, Sylvia A.,
Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta. Penerbit EGC.
2003; hal 804-806
4. Corr, Peter. Fot Thorax normal dan Infeksi Paru. In: Ramadhani, Dian.,
Dwijayanthi, Linda., Dharmawan, Didiek. Mengenali Pola Foto-Foto
Diagnostik (terjemahan dari Patterm Recognation in Diagnostic Imaging).
Jakarta: Penerbit EGC. 2010; hal 28, 33-5
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Nosokomial. Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003; hal 2-5
6. Djojodibroto, Darmanto. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta.
Penerbit EGC. 2007; hal 136-142
7. Kasper L, Dennis et all. Pneumonia in Harrisons Principles of Internal
Medicine 17th Edition. United States of America: McGraww Hill Companies,
Inc. 2008; Chapter 251
8. Wilson, Walter R., Sande, Mele A. Tracheobronchitis and Lower Respiratory
Tract Infections. In: Wilson, Walter R et all. Current Diagnosis and Treatment
in Infectious Disease. United States of America: McGraww Hill Companies,
Inc. 2001; Part 10
9. Ellis, Harold. Clinical Anatomy. USA. BlackWell Publishing. 2006; page 20,
23-4
10. Swartz, Mark H. Textbook of Physical Diagnosis. In: Effendi, Harjanto.,
Hartanto, Huriawati. Buku Ajar Diagnostik. Jakarta. Penerbit EGC. 1995; hal
155-7
11. Waugh, Anne., Grant, Allison. Anatomy and Physiology in Health and Illness.
Ninth Edition. Spain. Elsevier Limited. 2004; page 248, 262-3
12. Fanz, Omar., Moffat, David. Anatomy at A Glance. UK. BlackWell
Publishers Company. 2002; page 15, 17
13. Gunderman B, Richard. Essential Radiology Second Edition. New York.
Thieme Medical Publishers. 2006; page 69,78
14. Guyton C, Arthur., Hall, John E. Textbook of medical Physiology. In:
Setiawan, Irawati. Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. 1997: hal 673-4
15. McPhee, Stephen J., Papapdokis, Maxine A. Current Medical Diagnosis and
Treatment. California. McGraw Hill. 2008; Part Pulmonology
16. Nurlela Budjang. Radang Paru Tidak Spesifik. In: Rasad, Sjahriar. Radiologi
Diagnostik. Edisi Kedua Jakarta. Balai Penerbit FK UI. 2009: hal 101
17. Sutarto, Ade Satriyani., Budyatmoko, Bambang., Darmiati, Sawitri. Radiologi
Anak. In: Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua Jakarta. Balai
Penerbit FK UI. 2009: hal 400-1
18. Patel, Pradip R. Radiologi Lecture Notes. Jakarta. EMS. 2009; hal 36-7

41
19. Muller, Nestar L., Franquet Tomas., Kyung Soo, Lee. Imaging of Pulmonary
Infections 1st edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2007; Part Bacterial
Pneumonia, page 21-8
20. Muller, Nestar L., Franquet Tomas., Kyung Soo, Lee. Imaging of Pulmonary
Infections 1st edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2007; Part
Immunocompromised Host, page 161-2
21. Ketai, Loren., Lofgren, Richard., Mecholic, Andrew J. Fundamental of Chest
Radiology. Sceond Edition. Philadelphia: Elsevier, Inc. 2006; page 106-9,
110-1
22. Colak, Errol., Lofaro, Anthony. Clinical and Radilogy Atlas. Webexe. 2003:
Part Chest Imaging, air space (air bronchogram and sillhoutte sign)
23. Eastman, George W., Wald Christoph., Crossin, Jane. Getting Started in
Clinical Radiology. New York. Thieme Stuttgart. 2006; page 49-50
24. Tsue J., Betty, Lyu E, Peter. Chest Radiography. In: Atlas of the Oral and
Maxillofacial Surgery Clinics. USA. WBS. 2002; Part Viral and Bacterial
Pneumonia
25. Ahuja, A.T., Antonio, G.F., Yuen H.Y. Case Studies in Medical Imaging.
NewYork. Cambridge University Press. 2006; 23-4
26. Lee, Jaw. Aspiration of Imaging. In: Lin, Eugene C. Pneumonia. Available
from www.medscape.com updated May 25, 2011
27. Vinay, Kumar., Ramzi S, Cotran., Stanley, L, Robbins. TextBook of
Pathology. In: Hartanto, huriawati., Darmaniah, Nurwany., Wulandari, Nanda.
Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2. Jakarta: EGC. 2007; hal 537-9, 540

42

Anda mungkin juga menyukai