Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Hipertiroid
a. Definisi
Hipertiroid adalah kelainan patologis dimana hormon tiroid
disintesis dan disekresikan secara berlebihan oleh kelenjar tiroid.
Produksi hormon tiroid yang tinggi menyebabkan kadar hormon
tiroid tinggi dalam aliran darah, disebut tiroksikosis (Farwell et al.,
2018). Tiroksikosis dengan hipertiroid atau hipertiroid primer adalah
kadar hormon tiroid tinggi ditandai dengan penyerapan iodium yang
normal atau tinggi. Tiroksikosis tanpa hipertiroid disebabkan oleh
pelepasan hormon tiroid-preformed ke sirkulasi darah akibat
penyerapan iodium yang rendah (De Leo et al., 2016).
Hipertiroid terbagi menjadi hipertiroid primer dan subklinis.
Hipertiroid primer ditandai dengan kadar TSH rendah dan
peningkatan kadar hormon tiroid, yaitu T4, T3 atau keduanya.
Hipertiroid subklinis ditandai dengan kadar TSH rendah, tetapi kadar
T4 dan T3 normal. Umumnya diagnosis hipertiroid ditegakkan
dengan tes fungsi tiroid yang terdiri dari pemeriksaan TSH, FT4, dan
FT3 (De Leo et al., 2016).

b. Etiologi Hipertiroid
1) Tiroksikosis dengan Hipertiroid
Penyebab hipertiroid utama di daerah cukup iodium
adalah penyakit Grave’s yang disebabkan berbagai faktor, antara
lain gangguan sistem imun dan terjadinya autoantibodi yang
merangsang sel-sel folikel tiroid untuk mengikat reseptor TSH
sehingga kadar TSH rendah (Hall, 2016). Berdasarkan studi
Marino et al. (2015), memberikan bukti bahwa faktor genetik
memengaruhi penyakit Graves, antara lain gen pengatur imun

5
6

yaitu HLA region, CD40, CTLA4, PTPN22, dan FCRL3,


autoantigen tiroid seperti gen tiroglobulin dan reseptor TSH,
serta risiko penyakit Graves 17-35% pada monozigot kembar.

Tabel 2.1. Etiologi tiroksikosis dengan hipertiroid


Penyebab Penyakit
Peningkatan stimulasi kelenjar tiroid:
a) Antibodi reseptor TSH Penyakit Graves
b) Gangguan sekresi TSH Sekresi TSH oleh pituitary adenoma;
kelenjar pituitary resisten terhadap
hormon tiroid
c) Sekresi hCG berlebih Tumor tropoblastik (choriocarcinoma
atau hydatidiform mole); hyperemesis
gravidarum

Autonomi fungsi tiroid:


Aktivasi mutasi pada reseptor Hiperfungsi adenoma, multinodular
TSH atau protein G2α goiter, hipertiroid non-autoimun

Sumber: De Leo et al., 2016.

Faktor risiko non genetik penyakit Graves antara lain stres


psikologis, merokok, dan hormon seks wanita (Wiersinga, 2013;
Marino et al., 2015). Prevalensi penyakit Graves pada wanita
yang tinggi, disebabkan oleh hormon seks dan faktor kromosom,
seperti inaktivasi kromosom X yang miring, diduga sebagai
pemicu (Brix et al., 2012). Faktor-faktor lain seperti infeksi
bakteri Yersinia enterocolitica dimana mekanisme molekulernya
meniru reseptor TSH, defisiensi vitamin D dan selenium,
kerusakan kelenjar tiroid, dan imunomodulasi (Marino et al.,
2015).
Penyebab hipertiroid utama lainnya adalah toxic
multinodular goiter dan solitary toxic adenoma yang lebih
sering terjadi pada lansia. Nodul tiroid memproduksi hormon
tiroid secara berlebih karena sinyal dari TSH atau antibodi
reseptor TSH. Penyebab lainnya termasuk hormon tirotropin
yang menyebabkan tiroksikosis dan tumor tropoblastik, dimana
reseptor TSH distimulasi oleh kadar TSH yang berlebih dan
chorionic gonadotropin (Beck-Peccoz et al., 2013; Hershman,
2013).
7

Gambar 2.1. Patogenesis autonomi tiroid (De Leo et al., 2016).

2) Tiroksikosis tanpa Hipertiroid


Tabel 2.2. Etiologi tiroksikosis tanpa hipertiroid
Penyebab Penyakit
Inflamasi dan pelepasan hormon:
a) Autoimun kelenjar tiroid Silent thyroiditis, post-partum
thyroiditis
b) Infeksi virus Tiroiditis subakut
c) Efek keracunan obat Obat yang menyebabkan tiroiditis
(amiodarone, litium, interferon α)
d) Infeksi bakteri atau jamur Acute suppurative thyroiditis
e) Radiasi Tiroiditis radiasi

Ekstra sumber hormone:


a) Asupan berlebih hormon Hormon tiroid eksogen berlebih
tiroid (iatrogenic atau factitious)
b) Hipertiroid ektopik Struma ovarii, metastase kanker
(produksi hormon tiroid tiroid
diluar kelenjar tiroid)
c) Konsumsi makanan Tiroksikosis hamburg
terkontaminasi

Paparan iodium berlebih:


Efek Jod-Basedow Iodium menginduksi hipertiroid
(iodium, obat-obatan
mengandung iodium, agen
radiografik)
Sumber: De Leo et al., 2016.

Pasien dengan silent thyroiditis, post-partum thyroiditis,


subacute painful thyroiditis, dan kerusakan tirosit menyebabkan
pelepasan hormon tiroid preformed ke sirkulasi darah. Obat-
obatan seperti litium, interferon α, dan amiodarone dapat
8

menyebabkan disfungsi tiroid dan tiroksikosis dengan


mekanisme yang sama dengan tiroiditis (Fatourechi et al.,
2003).

c. Gejala Klinis Hipertiroid


1) Tanda dan Gejala Tiroksikosis
Kelebihan hormon tiroid memengaruhi sistem organ yang
berbeda-beda yang dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3. Manifestasi klinis tiroksikosis


Sistem Organ Gejala Tanda
Konstitusional Penurunan berat badan Penurunan berat badan
meskipun nafsu makan
meningkat; intoleransi
panas, berkeringat, dan
polydipsia

Neuromuskular Tremor, gugup, gelisah, Tremor ekstremitas,


kelelahan, tidur hiperaktif, hiperfleksia,
terganggu, konsentrasi kelemahan pada otot
rendah panggul

Kardiovaskular Palpitasi Takikardia, hipertensi


sistolik, detak jantung tidak
teratur (fibrilasi atrium)

Paru-paru Dispnea, nafas pendek Takipnea

Gastrointestinal Hiperdefekasi, mual, Nyeri perut


muntah

Kulit Keringat meningkat Kulit hangat dan lembab

Reproduksi - Gangguan menstruasi

Mata (Penyakit Diplopia, iritasi pada Proptosis, retraksi kelopak


Graves) mata, kelopak mata mata, edema periorbital,
bengkak, nyeri pada infeksi konjungtiva dan
retro-orbital kemosis, oftalmoplegia
Sumber: De Leo et al., 2016.

Gejala yang paling sering ditemukan yaitu kelelahan,


tremor, cemas, gangguan tidur, intoleransi terhadap panas,
keringatan, polidipsia. Tanda fisik yang sering ditemukan adalah
takikardi, tremor ekstrimitas, dan penurunan berat badan
(Devereaux et al., 2014).
9

2) Tanda dan Gejala Spesifik Hipertiroid


Tanda dan gejala termasuk oftalmopati, tiroid dermopati,
sensasi globus, disfagia, atau ortoponea karena kompresi
esofagus pada nodular gondok; dan nyeri leher pada kelenjar
tiroid (Fatourechi, 2012). Hampir semua pasien hipertiroid
memiliki oftalmopati. Lesi oftalmopati ditandai dengan kulit
menebal yang sedikit berpigmen, terutama pada area pretibial
sehingga mata terlihat menonjol dan kelopak mata membengkak
(Bartalena et al., 2014).

d. Diagnosis dan Terapi Pengobatan Hipertiroid


Kadar serum TSH diukur terlebih dahulu pada tes fungsi tiroid,
karena memiliki sensitivitas dan spesifitas tertinggi dalam diagnosis
gangguan tiroid (Ross et al., 2016).

Gambar 2.2. Asesmen hipertiroid atau tiroksikosis


(De Leo et al., 2016)
10

Jika kadar TSH rendah, kadar serum FT4, dan FT3 atau total
T3 harus diukur untuk membedakan antara hipertiroid subklinis
(dengan sirkulasi hormon normal) dan hipertiroid primer (dengan
peningkatan hormon tiroid). American Thyroid Association (ATA)
dan American Association of Clinical Endocrinologists (AACE)
merekomendasikan thyroid radioactive iodine uptake test untuk
mengetahui penyebab hipertiroid, seperti penyakit Graves atau
tiroiditis (Ross. 2011).
Terapi perawatan pada pasien hipertiroid, terdiri dari obat
antitiroid (ATD), terapi radioaktif iodium (I-131), dan pembedahan.
Ketiga pilihan terapi akan efektif dalam pengobatan pasien
hipertiroid dengan penyakit Graves, sedangkan pasien dengan
adenoma toksik atau gondok multinodular toksik harus dilakukan
terapi radioaktif iodium atau pembedahan, karena pasien ini jarang
mencapai remisi apabila diterapi dengan obat antitiroid. Terapi
dengan obat antitiroid umumnya digunakan untuk memulihkan
kondisi eutiroid sebelum dilakukan pembedahan atau terapi
radioaktif (De Leo et al., 2016).
Obat antitiroid thionamide terdiri dari propylthiouracil,
thiamazol, dan karbimazol. Semua secara aktif diangkut ke tiroid
dimana mereka menghambat oksidasi iodida dan sintesis hormon
tiroid dengan cara penghambatan pada penggabungan tiroid
peroksidase dengan iodotirosin menjadi T4 dan T3. Karbimazol
tersedia di beberapa negara-negara Asia dan dikonversi ke bentuk
aktif dengan sifat yang mirip thiamazole. Propylthiouracil dalam
dosis besar, terbukti menurunkan konversi T4 menjadi T3 di jaringan
perifer dengan menghambat proses deiodinase dari T4. Obat-obat
tersebut memiliki efek anti-inflamasi dan imunosupresif (Leger et
al., 2018).
Asosiasi Endokrinologi merekomendasikan thiamazole sebagai
obat pilihan pada hipertiroid, kecuali pada pasien hamil trimester
pertama. Thiamazole memiliki beberapa keunggulan dibandingkan
11

propiltiourasil, seperti kemanjuran yang lebih baik, waktu paruh dan


durasi aksi lebih lama, memungkinkan dosis sekali sehari
dibandingkan dengan dua hingga tiga kali sehari dosis
propylthiouracil; dan efek samping yang ditimbulkan tidak parah.
Dosis awal thiamazole tergantung pada tingkat keparahan hipertiroid
dan ukuran kelenjar tiroid (De Leo et al., 2016).
Hipertiroid ringan dengan ukuran kelenjar tiroid yang kecil
membutuhkan 10-15 mg thiamazole setiap hari, sedangkan
hipertiroid berat dengan ukuran kelenjar tiroid yang besar
membutuhkan 20-40 mg setiap hari. Fungsi kelenjar tiroid
seharusnya diperiksa 4-6 minggu setelah memulai terapi obat,
kemudian setiap 2-3 bulan setelah pasien dinyatakan dalam keadaan
eutiroid. Kadar TSH tetap rendah (< 0,3 mIU/mL) selama beberapa
bulan, oleh karena itu kadar serum T4 dan T3 harus dipantau untuk
menilai kemanjuran terapi thiamazole (Leger et al., 2018).
Pasien dengan eutiroid dianjurkan konsumsi thiamazole 5-10
mg setiap hari, dan terapi ini berlanjut selama 12-18 bulan.
Kelemahan terapi obat antitiroid adalah tingginya tingkat
kekambuhan hipertiroid setelah obat dihentikan. Kekambuhan lebih
sering terjadi dalam 6 bulan pertama setelah menghentikan obat,
tetapi jarang terjadi setelah 4-5 tahun. Risiko kekambuhan sangat
bervariasi di antara pasien dengan persentase 50-55%. Risiko
kekambuhan lebih tinggi terjadi pada pasien dengan hipertiroid
berat, gondok, rasio T3:T4 tinggi, kadar TSH terus-menerus rendah,
dan kadar TRAb yang tinggi (Leger et al., 2018).

2. Hormon Tiroid
a. Kelenjar Tiroid
Hormon tiroid diproduksi oleh kelenjar tiroid yang merupakan
kelenjar endokrin berbentuk kupu-kupu yang terletak di bagian
depan bawah leher. Kelenjar tiroid mengeluarkan tiga hormon, yaitu
tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) yang merupakan turunan iodium
12

dari asam amino tirosin, serta kalsitonin yang termasuk hormon


polipeptida. Hormon T4 dan T3 diproduksi oleh sel folikular,
sedangkan kalsitonin disekresikan oleh sel C (parafolikular).
Kalsitonin secara fungsional tidak terkait dengan hormon tiroid,
tetapi sedikit berperan dalam homeostasis kalsium (Barac-Latas,
2009).

Gambar 2.3. Struktur kelenjar tiroid (Miller et al., 2008)

b. Peran Hormon Tiroid


Hormon tiroid sangat penting untuk pertumbuhan,
perkembangan dan merangsang metabolisme di sebagian besar
jaringan tubuh, kecuali otak. Hormon tiroid meningkatkan fosforilasi
oksidatif di mitokondria, mempertahankan asam amino dan transport
elektron ke dalam sel, serta meningkatkan konsumsi oksigen di
sebagian besar jaringan. Hormon tiroid merangsang sintesis protein
yang dapat menjadi protein struktural atau enzim, mengatur
metabolisme karbohidrat, mempercepat degradasi insulin,
meningkatkan glukoneogenesis dan metabolisme lipid yang
menyebabkan penurunan kadar kolesterol darah. Hormon tiroid juga
meningkatkan sensitivitas sistem kardiovaskular dan saraf (Barac-
Latas, 2009).
13

Gambar 2.4. Regulasi normal hormon tiroid (Wilkinson et al, 2018)

Sebagian besar peran hormon tiroid dilakukan melalui


modulasi ekspresi gen. Hormon tiroid masuk ke dalam sel dan
mengikat reseptor spesifik di inti sel yang merangsang sintesis
berbagai spesies mRNA dan protein, termasuk enzim dan hormon.
Sedangkan, hormon T3 berinteraksi dengan nuclear thyroid
receptors (TR) yang merupakan faktor transkripsi yang terkait
dengan kromatin. Pembentukan kompleks T3-TR / DNA
menyebabkan aktivasi gen target, sehingga terjadi peningkatan
mRNA dan produksi protein (Barac-Latas, 2009).

c. Sintesis, Penyimpanan, dan Pelepasan Hormon Tiroid


Kelenjar tiroid menghasilkan dua hormon, yaitu 3,5,3',5'-tetra
iodotironin (tiroksin; T4) dan 3,5,3'-triiodotironin (T3). Produk
utama kelenjar tiroid adalah T4, sekitar 90%. Sebagian besar T3
(lebih dari 80%) berasal dari T4, melalui proses deiodinasi dalam
jaringan perifer (hati, ginjal, otot). Deiodinasi juga dapat
menghasilkan 3,3',5'-triiodotironin (reverse T3; rT3) yang secara
fisiologis tidak aktif (Barac-Latas, 2009).
14

Sintesis hormon-hormon ini membutuhkan asam amino tirosin


dan mineral iodium. Produksi asam amino iodinasi ini dimulai
dengan sintesis tiroglobulin yang dimodifikasi setelah proses
translasi. Iodida dioksidasi menjadi iodin di dalam tirosit. Reaksi ini
dikatalisis oleh enzim thyroperoxidase (TPO) bersama hidrogen
peroksida (H2O2). Iodium kemudian berikatan dengan posisi 3' di
cincin tirosil dan menghasilkan 3-monoiodotyrosine (MIT).
Selanjutnya penambahan iodium lain di posisi 5' pada MIT,
menghasilkan 3,5-diiodotyrosine (DIT). Hormon T4 merupakan
hasil kondensasi dari dua molekul DIT. Sebagian kecil dari DIT
dalam tiroid juga dapat berkondensasi dengan MIT untuk
membentuk T3 atau rT3. Semua proses biosintesis dalam kelenjar
tiroid dikendalikan oleh mekanisme umpan balik hipotalamus-
hipofisis-tiroid (Barac-Latas, 2009).

Gambar 2.5. Struktur kimia hormon tiroid (Barac-Latas, 2009)

Sebagian besar T4 dilepaskan dari kelenjar tiroid dalam bentuk


terikat dengan thyroxine-binding globulin (TBG), sebagian lain dari
T4 terikat pada thyroxine-binding prealbumin (TBPA) dan albumin.
Hanya 0,03-0,05% T4 dalam bentuk bebas atau tidak terikat (FT4)
yang beredar di sirkulasi. Pada jaringan perifer, T4 dikonversi
menjadi T3 atau rT3, atau dihilangkan. Waktu paruh T4 adalah 5-7
hari (Barac-Latas, 2009).
Hormon T3 dianggap sebagai hormon tiroid yang paling aktif
secara metabolik. Hormon T3 diproduksi oleh tiroid dalam jumlah
15

sedikit, sedangkan sekitar 80% dihasilkan di luar kelenjar, terutama


dari konversi T4 di hati dan ginjal. Sistem saraf mampu mengubah
T4 menjadi T3. Mayoritas T3 yang beredar di srikulasi, dalam
bentuk terikat oleh TBPA dan albumin. Sekitar 0,2% dari T3 tidak
terikat atau free T3 (FT3) pada subjek normal. Waktu paruh T3
adalah 1-2 hari (Barac-Latas, 2009).
Kadar T4 dan T3 normal dalam darah adalah 60-150 nmol/L
dan 1.0-2.9 nmol/L. Kedua hormon ini terikat protein, sekitar
99,98% untuk T4 dan 99,66% untuk T3, terutama pada TBG. Oleh
karena itu, FT4 walaupun jumlahnya sedikit tetapi valid untuk
menggambarkan keadaan hipertiroid karena tidak berikatan dengan
protein (Barac-Latas, 2009).

3. Asupan Zat Besi dan Seng


Asupan adalah jumlah zat gizi makro maupun mikro berasal dari
makanan yang masuk ke tubuh melalui saluran pencernaan. Asupan suatu
zat gizi dikatakan adekuat apabila seimbang dengan kebutuhan zat gizi
individu tersebut (Hardinsyah et al., 2016). Angka kecukupan gizi (AKG)
digunakan untuk menentukan kebutuhan gizi individu yang dibedakan
menurut usia dan jenis kelamin. Kebutuhan zat besi berdasarkan AKG,
yaitu 9 mg/hari untuk laki-laki dewasa (usia 19-59 tahun) dan 18 mg untuk
perempuan dewasa (usia 19-59 tahun). Kebutuhan seng pada laki-laki
dewasa sebesar 11 mg/hari, sedangkan kebutuhan pada perempuan dewasa
sebesar 8 mg/hari (Menkes RI, 2019).
Studi oleh Anwar et al. (2018) dan Prasetyo et al. (2018)
menunjukkan asupan seng dan zat besi yang rendah di Indonesia.
Prevalensi kurang asupan zat besi dan seng pada dewasa usia 19-49 tahun,
yaitu 36,4% dan 74,3% (Prasetyo et al., 2018). Prevalensi lebih tinggi
terdapat pada remaja usia 13-18 tahun, yaitu 71,85% defisiensi zat besi
dan 77,48% defisiensi seng (Anwar et al., 2018).
Bahan makanan sumber zat besi tertinggi adalah bahan makanan
hewani, yaitu hati ayam atau sapi (5,9 mg/100 g) daging sapi (3,6 mg/100
16

g), daging sapi giling (2,7 mg/100 g), dan telur (2,2 mg/100 g). Pada bahan
makanan nabati, kandungan zat besi relatif tinggi, yaitu biji bunga
matahari (6,4 mg/100 g), selai kacang tanah (2,1 mg/100 g), bayam (1,6
mg/100 g), dan brokoli (1 mg/100 g) (Gill et al., 2017).
Kandungan tertinggi seng berasal dari bahan makanan hewani,
terutama pada organ hati, ginjal atau daging sapi, unggas, ikan dan kerang.
Jumlah yang lebih rendah terdapat pada telur dan produk susu. Bahan
makanan yang mengandung seng dalam jumlah yang relatif tinggi, yaitu
kacang-kacangan, biji-bijian, gandum, dan serealia. Hati dan ginjal ayam
atau sapi memiliki kandungan seng tertinggi yaitu 4,2-6,1 mg/100 g (Hotz
et al., 2004).

4. Metabolisme dan Penyerapan Zat Besi

Gambar 2.6 Metabolisme zat besi (Waldvogel-Abramowski et al., 2014)

Sebagian besar protein berperan dalam metabolisme zat besi.


Beberapa protein seperti ferritin atau transferin adalah protein utama yang
memuat zat besi darah, sedangkan peptida nya seperti iron regulatory
proteins (IRP), hepcidin, dan matriptase (Mt2) adalah penentu utama
regulasi zat besi pada tingkat fisiologis yang berbeda. Protein lainnya,
yaitu divalent metal transporter-1 (DMT1), ferroportin (FPN1), dan
transferrin receptors (Tfrs) berhubungan dengan ferroxidase seperti
17

duodenal sitokrom B, ceruloplamin (Cp) dan heme carrier protein


(HCP1), yang terlibat dalam transportasi membran seluler dari zat besi.
Protein lain seperti mioglobin (Mb), Hb, dan banyak enzim berbeda adalah
produk akhir metabolisme zat besi, karena mereka membutuhkan zat besi
untuk fungsinya (Waldvogel-Abramowski et al., 2014).
Diet dengan kandungan 15 mg zat besi, hanya 10% zat besi yang
diserap. Penyerapan besi adalah hasil dari kompleks mekanisme yang
terjadi di usus bagian atas, terutama dalam duodenum dan jejunum
proksimal. Berbagai protein transporter besi hadir pada enterosit. Besi
non-heme dikaitkan dengan berbagai protein penyimpanan, termasuk
ferritin, sedangkan besi heme hadir dalam hemoprotein seperti Mb atau
Hb. Heme dipisahkan dari hemoprotein, sedangkan zat besi non-heme
stabil dalam bentuk tereduksi (Fe2+) pada pH asam dalam lambung. Besi
non-heme ditangkap oleh beberapa kompleks yang dapat mengganggu
penyerapannya, terutama fitat atau tanin yang berasal dari tanaman.
Asam askorbat dan komponen asam lainnya yang berasal dari makanan
bisa meningkat penyerapan besi (Waldvogel-Abramowski et al., 2014).

Gambar 2.7. Penyerapan zat besi (Waldvogel-Abramowski et al., 2014)


18

5. Metabolisme dan Penyerapan Seng


Seng dilepaskan dari makanan sebagai ion bebas selama pencernaan.
Ion bebas ini berikatan dengan ligan endogen atau eksogen di lumen usus.
Ligan adalah sebuah ion atau molekul netral yang mampu mengikat atom
atau ion logam dengan senyawa kompleks. Ion seng kemudian diabsorpsi
secara transelular di duodenum dan jejunum. Transportasi seng ke dalam
enterosit dilakukan secara kinetik dengan bantuan transporter. Seng
diserap secara pasif melalui rute paraseluler ketika asupan seng tinggi.
Transporter spesifik seng, yaitu zinc transporter protein-1 (ZnTP-1) yang
dapat memfasilitasi seng melintasi membran basolateral enterosit ke dalam
sirkulasi darah (Hotz et al., 2004).
Sistem peredaran darah portal membawa seng yang diserap langsung
ke hati, kemudian seng diambil dan dilepaskan secara cepat ke sirkulasi
darah untuk dikirimkan ke jaringan lain yang membutuhkan. Sebagian
besar seng yang beredar (70%) terikat dengan albumin, dan segala kondisi
yang mengubah kadar serum albumin memiliki efek sekunder pada kadar
seng. Kadar serum seng menurun bersamaan dengan kadar albumin selama
kehamilan, karena peningkatan volume plasma. Kadar serum seng juga
menurun akibat hipoalbuminemia yang menyertai malnutrisi akibat
kekurangan energi protein. Perubahan kadar serum seng juga dipengaruhi
oleh penyerapan seng di jaringan. Infeksi, trauma akut, dan stres yang
menyebabkan peningkatan sekresi kortisol dan sitokin dapat meningkatkan
penyerapan seng di jaringan, sehingga mengurangi kadar serum seng (Hotz
et al., 2004).
Kadar serum seng meningkat ketika kondisi puasa karena pelepasan
oleh otot selama katabolisme, namun setelah makan, kadar serum seng
menurun yang berkaitan dengan perubahan hormon dan transportasi seng
ke jaringan yang membutuhkan. Meskipun kadar serum seng hanya
mewakili 0,1% dari seng di seluruh tubuh, sirkulasi kadar serum seng
sangat cepat (± 150 kali per hari) untuk memenuhi kebutuhan jaringan.
Selama 24 jam, sekitar sepertiga hingga seperempat dari total seng tubuh
19

(± 450 mg seng) mengalami pertukaran antara aliran darah dan jaringan


(Hotz et al., 2004).
Seng yang hilang melalui saluran pencernaan sekitar 50% dari total
seng yang diekskresikan. Sejumlah besar seng (± 3-5 mg) disekresikan ke
usus dari pankreas setiap waktu makan, dan sekresi seng di empedu dan
usus juga mengandung sejumlah besar seng. Sekresi seng oleh organ
gastrointestinal mungkin melebihi jumlah seng yang dikonsumsi dalam
makanan. Namun, banyak dari seng yang disekresikan ke usus kemudian
diserap kembali, dan proses ini merupakan pengaturan keseimbangan seng.
Rute lain dari ekskresi seng yaitu urin, sekitar 15% dari total seng yang
diekskresikan. Selain itu, deskuamasi sel epitel, keringat, cairan semen,
rambut, dan darah menstruasi, menyumbang sekitar 17% dari total
ekskresi seng. Ekskresi seng dalam feses <1 mg/hari ketika diet standar
dikonsumsi oleh individu yang sehat. Kehilangan seng melalui urin
menurun sekitar 95%, karena efek glukagon dan transporter seng di ginjal
(Hotz et al., 2004).
Ekskresi seng dalam feses meningkat, apabila total seng yang diserap
meningkat. Ekskresi seng menurun ketika asupan seng berkurang atau
kebutuhan seng yang meningkat karena pertumbuhan atau menyusui. Saat
asupan seng berkurang, tubuh mengalami keseimbangan seng negatif
selama periode waktu tertentu. Keseimbangan seng negatif mengakibatkan
kehilangan seng dari tempat penyimpanan atau zinc pool; jumlah yang
hilang tergantung pada lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
keseimbangan seng kembali. Hilangnya seng memengaruhi fungsi seng
didalam tubuh, misalnya penurunan fungsi kekebalan tubuh. Konsekuensi
fungsional biasanya tidak terlihat sampai kapasitas mekanisme adaptif ini
terlampaui (Hotz et al., 2004).

6. Komponen Makanan Memengaruhi Penyerapan Zat Besi dan Seng


a. Fitat
Komponen makanan yang menunjukkan dampak menghambat
pada penyerapan seng dan zat besi adalah fitat. Myo-inositol
20

hexaphosphate atau asam fitat terdiri dari cincin enam kelompok


ester fosfat. Fitat merupakan molekul penyimpan fosfor dengan
kandungan tertinggi pada biji-bijian, termasuk serealia, kacang-
kacangan, dan polong-polongan, serta kandungan yang lebih rendah
terdapat didalam buah-buahan dan sayuran hijau (Lonnerdal, 2000).

Tabel 2.4. Kandungan fitat (mg fitat/100 g bahan makanan)


Bahan Makanan Fitat Bahan Makanan Fitat
Apel 63 Kunyit 324
Bayam 42 Mangga 20
Beras 126 Mie 30
Biskuit 30 Oat bar 197
Brokoli 42 Peterseli, seledri 42
Buncis 60 Sawi hijau 42
Cabai 35 Singkong 54
Daun katuk 42 Susu kedelai 374
Daun singkong 42 Tahu 374
Kacang hijau 60 Talas 54
Kacang koro 1760 Tempe 374
Kacang panjang 60 Tepung beras 30
Kangkung 42 Terigu 30
Kemangi 42 Tomat 35
Kentang 54 Ubi jalar 54
Sumber: Hotz, et al. (2004)

Fitat didistribusikan pada polong-polongan secara merata dan


terikat dengan protein, sedangkan dalam serealia, fitat terkonsentrasi
di dedak; pada jagung, mayoritas fitat terdapat di selaput biji. Fitat
memiliki ikatan yang kuat dengan mineral, karena fitat tidak bisa
dicerna atau diserap dalam saluran usus manusia, mineral yang
terikat ke fitat juga melewati usus dan tidak terserap. Efek
penghambatan fitat pada penyerapan seng tergantung dosis fitat
terhadap seng. Rasio molar fitat: seng dari makanan telah digunakan
untuk memperkirakan proporsi seng yang dapat diserap dan dihitung
sebagai berikut (Hotz et al., 2004):

Keterangan : 660 = berat molekul fitat, dan


65,4 = berat molekul seng
21

Secara umum, biji-bijian, kacang-kacangan, polong-polongan,


dan serealia utuh memiliki rasio molar fitat:seng tertinggi, yang
berkisar 22-88, sementara makanan nabati lainnya memiliki fitat:
rasio seng molar dalam kisaran 0–42. Bahan makanan hewani tidak
mengandung fitat dan karenanya mengandung rasio molar fitat:seng
setara dengan nol (Hotz et al., 2004).
Status zat besi sangat bergantung pada bioavailabilitas dan
penyerapan zat besi dari diet. Penyerapan zat besi sangat dipengaruhi
dengan komposisi diet yang dapat meningkatkan atau menghambat
penyerapan zat besi. Fitat menghambat penyerapan zat besi sebesar
18 – 82 % ketika 2- 250 mg fitat ditambahkan kedalam diet. Bekatul,
gandum, dan kacang-kacangan merupakan bahan makanan dengan
kandungan fitat yang tinggi (Teucher et al., 2004; Zijp et al., 2000).
Berdasarkan penelitian oleh Al Hasan et al. (2016), asupan
fitat ditemukan menghambat penyerapan dan biovailabilitas zat besi
dengan jumlah fitat dan zat besi yang dikonsumsi subjek penelitian
ini sebesar 695,1 mg dan 5,1 mg. Rata-rata rasio molar fitat terhadap
besi sebesar 12,8 mmol yang menandakan biovailabilitas zat besi
yang buruk karena rasio molar fitat:zat besi >1 mmol/hari (Al Hasan
et al., 2016; Ma et al., 2005). Berikut cara menghitung rasio molar
fitat:zat besi dari bahan makanan yang dikonsumsi dalam sehari.

Keterangan : 660 = berat molekul fitat, dan


55,8 = berat molekul zat besi
b. Tanin
Tanin merupakan senyawa polifenol yang larut air dan
mempunyai kemampuan mengikat yang kuat dengan protein dan
karbohidrat. Berdasarkan struktur kimianya, tanin dapat dibedakan
menjadi proantosianidin atau tanin terkondensasi, tanin terhidrolis,
phlorotanin, dan tanin kompleks. Secara alami, tanin terdapat dalam
seralia, kacang-kacangan, biji-bijian, buah, dan sayuran. Tanin
memiliki beberapa efek farmakologis antara lain, aktivitas
22

antioksidan, sifat anti-mikroba, anti-kanker, anti-radikal bebas dan


stress oksidatif (Smeriglio et al., 2017; Serrano et al., 2009).

Tabel 2.5. Kandungan tanin (mg tanin/100 g bahan makanan)


Bahan Makanan Tanin Bahan Makanan Tanin
Anggur 618 Peterseli, Seledri 5049
Beras 18,4 Pisang 680
Biskuit 4 Susu Kedelai 15
Buncis 50 Tahu 29,3
Cokelat 535 Teh 3700
Kopi 700 Teh Hijau 3700
Kunyit 576 Tempe 29,3
Mie 4 Terigu 4
Oat Bar 358 Terong 4137
Tomat 2136
Sumber: Smeriglio, et al. (2017)

Delimont et al. (2017) menyatakan konsumsi tanin dalam


bentuk tanin terhidrolisis dan asam tanat dalam studi satu kali
makan, secara umum menurunkan biovailabilitas zat besi. Studi lain
menyatakan, penyerapan zat besi menurun dalam sel yang dikultur
dengan asam tanat dan CaCl2 (kalsium klorida), namun pada sel
yang dikultur dengan asam tanat saja yang terjadi peningkatan
penyerapan zat besi meskipun dialisis zat besi rendah. Asam tanat
merupakan bentuk spesifik dari tanin jenis polifenol (Andrews et al.,
2014). Penghambatan maksimal penyerapan zat besi oleh asam tanat
sebesar 97,5% terjadi pada rasio 1:1. Penambahan ZnCl2 dengan
rasio 1:0,5 dan 1:1 juga menurunkan serapan zat besi masing-masing
sebesar 57% dan 80% (Glahn et al., 2002).
Berdasarkan studi pada sel Caco-2, asam tanat pada rasio
molar 1:50 meningkatkan serapan seng dari matriks bahan makanan
gandum dan beras (Sreenivasulu et al., 2008). Minuman berbahan
dasar anggur merah dengan kandungan asam tanat yang tinggi (99
mg/100 ml) terbukti mengikat dan merangsang penyerapan seng
dalam sel Caco-2 (Sreenivasulu et al., 2010). Namun, studi terbaru
pada hewan coba menyatakan terjadi penurunan penyerapan seng
pada kelompok yang diberikan tanin jenis proanthocyanidin
23

dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penurunan daya cerna seng


dapat disebabkan oleh pembentukan ikatan antara tanin dan seng
yang sulit dicerna dan diserap oleh tubuh (Zhong et al., 2018). Selain
itu, tanin jenis procyanidin yang berasal dari diet mampu mengubah
homeostasis seng dalam sel HepG2 manusia melalui jalur
ekstraseluler dan sitoplasma (Quesada et al., 2011).

c. Oksalat
Oksalat adalah senyawa organik yang ditemukan dalam
berbagai tumbuhan, yaitu sayuran dan buah-buahan. Bahan makanan
dengan kandungan oksalat tertinggi adalah bayam, sawi, ubi dan
kacang kedelai. Oksalat yang berasal dari diet berkontribusi sebesar
50-80% terhadap oksalat yang diekskresikan dalam urin (Huang et
al., 2020).

Tabel 2.6. Kandungan oksalat (mg oksalat/100 g bahan makanan)


Bahan Bahan Bahan
Oksalat Oksalat Oksalat
Makanan Makanan Makanan
Alpukat 19 Kecap 30 Selai Buah 1
Anggur 2 Kentang 15 Semangka 11
Apel 1 Kol 35 Sereal Gandum 16
Bayam 400 Kopi 15,4 Singkong 8,5
Beras 2 Kucai 1 Susu sapi 3
Biskuit 10 Labu Siam 34 Susu Kedelai 4
Brokoli 2 Mangga 30 Tahu 13
Buncis 25 Melon 2 Teh 14
Cabai 10 Mie 3 Teh Hijau 14
Cokelat 5 Nanas 5,8 Tempe 77
Gula Merah 1 Nangka 10 Tepung Beras 11
Jagung 9,9 Oat Bar 4 Tepung Ketan 11
Jambu Biji 14 Pepaya 1 Tepung Tapioka 17,1
Jamur 48,5 Peterseli,Seledri 5 Terigu 8
Jeruk 10 Pir 21 Terong 29,1
Kacang Hijau 3 Pisang 524 Timun 4
Kacang Koro 7 Saos Tomat 14 Tomat 14
Kacang Panjang 18 Sawi Hijau 128,7 Ubi Jalar 100
Kacang Tanah 27 Sawi Putih 1 Wortel 14
Kangkung 20
Sumber : Bargagli, et al. (2020)
24

Penyerapan oksalat yang terjadi di usus, normalnya berkisar


10-15%. Oksalat diekresikan melalui urin, dimana terdapat
peningkatan ekskresi sebesar 2,7 mg untuk setiap 100 mg konsumsi
oksalat dengan asupan harian berkisar 50-750 mg/hari. Ekresi
oksalat urin menurun ketika asupan oksalat kurang dari 50 mg/hari
(Bargagli et al., 2020).
Viadel et al. (2006) melakukan studi penyerapan seng dan zat
besi dalam sel Caco-2 yang diberikan kacang putih, buncis, dan
lentil dengan kandungan oksalat masing-masing 96, 70, dan 164
mg/100 gram bahan makanan. Hasil studi tersebut adalah penurunan
penyerapan seng dan zat besi dari ketiga bahan tersebut. Nilai
serapan zat besi dan seng pada kacang putih, buncis, dan lentil
berturut-turut yaitu 7,1 ; 16,7 ; 6,3 nmol/cm2 per jam dan 1,2 ; 3,9 ;
3,3 nmol/cm2 per jam.
Hasil studi Halbrooks et al. (2004) menunjukkan ketika
pengambilan zat besi oleh sel, substitusi karbonat oleh oksalat secara
efektif mengunci zat besi kedalam serum transferin. Kondisi ini
menjadikan kehadiran oksalat dalam sel dapat mengganggu
metabolisme normal zat besi. Studi lainnya menyatakan bahwa ion
seng akan membentuk ikatan dengan ion oksalat dan bersaing
dengan ion kalsium. Ion seng membentuk ikatan dengan anion
oksalat dan menurunkan kejenuhan didalam sel. Kehadiran seng ini
menghambat dan menurunkan terjadinya kristalisasi kalsium oksalat,
serta berperan mencegah pembentukan batu ginjal (Barker et al.,
2020).

d. Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat dapat memengaruhi penyerapan
zat besi. Askorbat memodulasi metabolisme zat besi dengan
merangsang sintesis feritin, menghambat degradasi lisosom feritin,
dan menurunkan aliran zat besi di seluler. Selanjutnya, askorbat
melintasi membran plasma dan bertanggung jawab atas pengambilan
zat besi dari kompleks besi-sitrat dengan berat molekul rendah.
25

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa askorbat adalah modulator


dari jalur penyerapan klasik transferin-besi, yang menyediakan
hampir semua zat besi untuk kebutuhan seluler dan eritropoiesis.
Askorbat bertindak untuk merangsang penyerapan zat besi yang
bergantung pada transferin melalui mekanisme reduktif intraseluler,
askorbat bertindak merangsang mobilisasi zat besi dari endosom
(Lane et al., 2014).

Gambar 2.8. Penyerapan transferin-besi bergantung pada


askorbat (Lane et al., 2014)

7. Kadar Serum Zat Besi dan Hormon Tiroid


Reaksi fase akut hipertiroid menyebabkan perubahan dalam
metabolisme besi yang ditandai dengan peningkatan pada kadar hepcidin
dan ferritin, serta penurunan pada kadar transferin dan zat besi plasma.
Model hewan hipertiroidisme menunjukkan peningkatan kadar feritin dan
zat besi di hati, selain itu sintesis feritin hepatik meningkat, meskipun
sintesis albumin hepatik tetap tidak berubah. Kadar erythropoietin plasma
(EPO) tinggi dan erythropoiesis meningkat pada kondisi hipertiroid,
sehingga menyebabkan iron turnover meningkat karena pemanfaatan besi
yang meningkat. Sebaliknya, iron overload tidak ada yang menyebabkan
peningkatan sel darah merah. Penurunan kadar plasma besi disebabkan
penggunaan besi secara cepat menjadi heme, sehingga kadar hemoglobin
meningkat pada kondisi hipertiroid (Fischli et al., 2017).
26

Hormon tiroid yaitu T4 dan T3 berpengaruh langsung pada produksi


hepcidin. Produksi hepcidin terutama diatur pada tingkat transkripsi,
hormon T3 menstimulasi hepcidin pada mRNA sel HepG2 yang terdapat
di hati. Pada kondisi hipertiroid kadar hepcidin cenderung meningkat
walaupun masih dalam nilai normal, sebaliknya kadar hepcidin menurun
ketika pasien melakukan perawatan hingga kondisi nya eutiroid. Pada
kondisi eutiroid, kadar EPO yang menurun juga menekan produksi
hepcidin (Fischli et al., 2017).
Menurut Khatiwada et al. (2016), terdapat hubungan yang signifikan
antara status besi dan fungsi tiroid. Anemia dan kekurangan zat besi
berhubungan dengan disfungsi tiroid. Anak anemia berisiko mengalami
gangguan tiroid sebesar 5,5 kali lebih besar dibandingkan dengan anak
tidak anemia. Anak kekurangan zat besi berisiko mengalami gangguan
tiroid 1,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak cukup zat besi
(Khatiwada et al., 2016).
Hormon TSH dan FT4 berhubungan secara signifikan dengan kadar
eritrosit dan serum zat besi. Hormon tiroid memiliki peran dalam regulasi
eritropoesis dan metabolisme zat besi. Hipertiroid memengaruhi
hematopoiesis, yaitu proses pembentukan sel-sel darah. Apabila kadar
hormon tiroid meningkat maka jumlah sel darah merah juga meningkat
(Schindhelm et al., 2013; Refaat, 2015). Zat besi dibutuhkan dalam
produksi sel darah merah, karena terdapat hemoglobin yang mengandung
zat besi pada sitoplasma sel darah merah (Jagannathan-Bogdan et al.,
2013). Hormon tiroid juga terbukti mengatur ekspresi gen transferin.
Transferin adalah protein beta globulin yang mengikat dan mengangkut zat
besi dalam darah. Metabolisme besi dan fungsi tiroid saling bergantung
dan memengaruhi (Huang et al., 2008).
Rata-rata kadar zat besi di kelenjar tiroid yang normal pada laki-laki,
yaitu 222 mg/kg. Kadar zat besi pada kelenjar tiroid laki-laki usia 2-35
tahun yaitu 221 mg//kg, sedangkan pada laki-laki usia 36-80 tahun sebesar
223 mg/kg (Zaichick et al., 2018). Hasil studi pada subjek hipertiroid di
Turki menunjukkan kadar serum zat besi yang lebih tinggi dibandingkan
27

subjek hipotiroid, yaitu 89,03 dan 49,22 µg/dL (Onat et al., 2003). Hal ini
didukung penelitian selanjutnya oleh Refaat (2015) menunjukkan kadar
serum zat besi lebih tinggi pada subjek hipertiroid dibandingkan subjek
hipotiroid dan subjek sehat (99,1 vs 42,7 vs 86,6 µg/dL).

8. Kadar Serum Seng dan Hormon Tiroid


Kadar serum seng tinggi pada pasien hipertiroid, sedangkan pada
pasien hipotiroid kadar serum rendah. Asupan seng dalam jumlah besar
dapat berkontribusi pada hipertiroid atau penyakit Grave. Seng merupakan
stimulator bagi kelenjar tiroid, aktivitas tiroid yang berlebihan dapat
menyebabkan hipertiroid. Ekskresi seng di urin tinggi pada pasien
hipertiroid (Khanam, 2018).
Seng berperan dalam aktivitas reseptor hormon tiroid, terutama
triidotironin (T3). Reseptor hormon T3 membutuhkan seng untuk
mempertahankan status aktifnya secara biologis. Seng dapat mengubah
kadar hormon T4 dengan meningkatkan produksi thyroxine-binding
protein. Selain itu, seng diperlukan untuk konversi hormon T4 ke T3.
Enzim tipe 1-5’deiodinase (5’D-1) merupakan enzim kunci yang
mengubah T4 menjadi T3. Enzim ini memerlukan seng untuk menjalankan
fungsinya (Baltaci et al., 2017).
Rata-rata kadar seng di kelenjar tiroid yang normal pada laki-laki,
yaitu 103 mg/kg dan tidak dipengaruhi oleh perbedaan usia. Kadar Seng
pada kelenjar tiroid laki-laki usia 2-35 tahun yaitu 96,7 mg//kg, sedangkan
pada laki-laki usia 36-80 tahun sebesar 102,2 mg/kg (Zaichick et al.,
2018). Penelitian Kandhro et al. (2009) menunjukkan suplementasi seng
sejumlah 30 mg/hari selama 6 bulan dapat meningkatkan kadar serum
seng, menurunkan ekskresi seng di urin, dan memperbaiki parameter
hormon tiroid pada pasien gondok. Studi lain menunjukkan efek
suplementasi seng 26,4 mg/hari selama 4 bulan yang dapat meningkatkan
kadar total T3 dan menurunkan kadar serum feritin pada 2 subjek wanita
defisiensi seng (Maxwell et al., 2007).
28

B. Penelitian Relevan
Berikut ini beberapa studi yang relevan dengan penelitian ini.

Tabel 2.7. Penelitian relevan


Judul Artikel Desain
No. Variabel Hasil yang Relevan Perbedaan
(Nama, Tahun) dan Subjek
1. Associations between age Desain: Variabel terikat: Rata-rata kadar zat besi dan seng pada Perbedaan pada desain,
and 50 trace element observasional usia subjek. kelenjar tiroid laki-laki sehat yaitu 222 subjek, dan variabel.
contents and relationships analitik. Variabel bebas: dan 99,1 mg/kg.
in intact thyroid of males. Subjek: kadar 50 jenis mineral Tidak ada perbedaan kadar zat besi dan
(Zaichick et al., 2018) laki-laki sehat. pada kelenjar tiroid. seng pada kelenjar tiroid antara
kelompok subjek usia 2-35 tahun dan
36-80 tahun.

2. Statistical Evaluation of Desain: Variabel terikat: Rata-rata kadar serum zat besi dan TSH Perbedaan pada desain
Trace Metals, TSH and T4 observasional penyakit gangguan lebih tinggi pada kelompok hipotiroid, dan variabel.
in Blood Serum of Thyroid analitik. tiroid. sedangkan kadar T4 lebih tinggi pada
Disease Patients in Subjek: Variabel bebas: kelompok hipertiroid.
Comparison with Controls. pasien hipertiroid, kadar serum TSH, T4, Patogenesis penyakit tiroid memengaruhi
(Hanif et al., 2018) hipotiroid, dan Fe, Zn, Cu, Co, Mn, keseimbangan mineral esensial.
subjek sehat. Ni, Cr, Cd, dan Pb.
3. Hubungan kadar Desain: Variabel terikat: Rata-rata kadar hemoglobin dan FT4 Perbedaan pada subjek
hemoglobin dengan kadar cross sectional. kadar FT4. normal, yaitu 12,6 g/dL dan 1,5 ng/dL. dan variabel.
hormon tiroksin bebas Subjek: Variabel bebas: Terdapat hubungan positif antara kadar
(FT4) pada anak sekolah anak sekolah kadar hemoglobin. hemoglobin dengan kadar FT4.
dasar. dasar usia 9-12
(Mulyantoro et al., 2017) tahun.
29

Judul Artikel Desain


No. Variabel Hasil yang Relevan Perbedaan
(Nama, Tahun) dan Subjek
4. Iron metabolism in Grave’s Desain: Variabel terikat: Kadar ferritin lebih rendah pada Perbedaan pada desain
hyperthyroidism. prospektif ferritin, transferin, kelompok eutiroid dibandingkan dan variabel.
(Fischli et al., 2017) observasional. hepcidin. kelompok pasien grave’s hipertiroid.
Subjek: Variabel bebas: Hormon T3 secara signifikan
pasien grave’s hormon tiroid. menginduksi ekspresi mRNA hepcidin
hipertiroid dan pada sel HepG2.
eutiroid.

5. Association of Iodine and Desain: Variabel terikat: Ketika kadar serum zat besi rendah, ada Perbedaan pada subjek
Iron with Thyroid Function. cross sectional. kadar total T3, total T4, hubungan antara penurunan kadar dan variabel.
(Luo et al., 2017) Subjek: FT3, FT4, TSH. iodium urin dengan penurunan kadar
dewasa sehat. Variabel bebas: FT3.
kadar serum zat besi Ketika kadar serum zat besi tinggi,
dan iodium urin. terdapat hubungan antara penurunan
kadar iodium urin dengan peningkatan
TSH.

6. Relationship between body Desain: Variabel terikat: Semua subjek dengan gangguan tiroid Perbedaan pada desain
iron status and thyroid case control. FT3, FT4, TSH, TIBC, memiliki defisiensi zat besi. dan variabel.
profile in an adult Subjek: kadar serum zat besi, Kadar TIBC, serum zat besi, dan ferritin
population: A Hospital pasien gangguan ferritin. lebih tinggi pada kelompok pasien
based study (Shukla et al., tiroid dan subjek Variabel bebas: gangguan tiroid dibandingkan kontrol.
2017) sehat. kondisi gangguan
tiroid.

7. Association between iron Desain: Variabel terikat: Risiko anak dengan anemia dan Perbedaan pada subjek
status and thyroid function cross sectional fungsi tiroid kekurangan zat besi menderita gangguan dan variabel.
in Nepalese children Subjek: Variabel bebas: tiroid sebesar 1,939.
(Khatiwada et al., 2016) anak usia sekolah kadar Hb, serum zat Hormon TSH memiliki hubungan negatif
6-12 tahun. besi, TIBC, saturasi dengan Hb dan saturasi transferin.
transferin.
30

Judul Artikel Desain


No. Variabel Hasil yang Relevan Perbedaan
(Nama, Tahun) dan Subjek
8. Pengaruh suplementasi Desain: Variabel terikat: Pemberian suplementasi iodium dan zat Perbedaan pada desain,
ganda iodium dan zat besi randomized Kadar TSH, FT4, T3, besi dapat meningkatkan kadar ferritin subjek, dan variabel.
terhadap kadar TSH, FT4, double blind dan ferritin. dan T3.
T3, dan ferritin anak controlled trial. Variabel bebas: Pemberian suplementasi iodium dan zat
sekolah dasar. Subjek: Suplementasi iodium besi atau suplementasi zat besi saja dapat
(Muyantoro et al., 2015) anak sekolah dan zat besi. meningkatkan kadar FT4.
dasar usia 9-12 Ada mekanisme saling memengaruhi
tahun. antara ferritin, FT4, dan T3.

9. Hemoglobin, iron, and Desain: Variabel terikat: Ada defisiensi hemoglobin, zat besi, dan Perbedaan pada desain,
vitamin B12 deficiencies case control. kondisi autoimun tiroid vitamin B12, peningkatan kadar subjek, dan variabel.
and high blood Subjek: (TGA, TMA). homosistein, dan GPCA positif.pada
homocysteine levels in pasien autoimun Variabel bebas: pasien gangguan autoimun tiroid.
patients with anti-thyroid tiroid dan subjek kadar Hb, serum zat
autoantibodies. sehat. besi, vit. B12, asam
(Wang et al., 2014) folat, GPCA, serum
homosistein, dan TSH.

10. Relationship between Desain: Variabel terikat: Kadar serum seng memiliki hubungan Perbedaan pada subjek
serum zinc levels, thyroid cross sectional. volume tiroid, kadar negatif dengan volume tiroid pada pasien dan variabel.
hormones and thyroid Subjek: hormon tiroid dan gondok.
volume following pasien autoimun autoantibodi tiroid. Kadar serum seng memiliki hubungan
successful iodine tiroid, pasien Variabel bebas: positif dengan kadar anti-tiroglobulin
supplementation. gondok, dan kadar serum seng. pada pasien autoimun tiroid.
(Ertek et al., 2010) subjek sehat. Kadar serum seng berhubungan positif
dengan kadar FT3 pada subjek sehat.

11. Effect of zinc Desain: Variabel terikat: Suplementasi seng memengaruhi Perbedaan pada desain,
supplementation on thyroid Eksperimental. kadar plasma seng, penurunan kadar ferritin, peningkatan subjek, dan variabel.
hormone function. Subjek: serum ferritin, T3, T4, kadar plasma seng, T3, dan RMR pada
(Maxwell et al., 2007) wanita defisiensi FT3, FT4, TSH, dan wanita defisiensi seng.
seng. RMR.
Variabel bebas:
suplementasi seng.
31

Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, ada yang


menggunakan desain cross sectional dan subjek pasien hipertiroid seperti
penelitian ini. Variabel penelitian kadar serum zat besi, serum seng, TSH,
dan FT4 juga terdapat pada beberapa studi sebelumnya. Penelitian terkait zat
besi dan hormon tiroid yang dilakukan di Indonesia pada tahun 2018 dan
2015 menggunakan subjek anak sekolah dasar dengan desain studi cross
sectional dan eksperimental. Variabel bebas pada kedua studi tersebut adalah
kadar hemoglobin, suplementasi iodium, dan suplementasi zat besi,
sedangkan variabel terikatnya antara lain kadar TSH, FT4, T3, dan ferritin.
Penelitian relevan terkait seng dan hormon tiroid banyak berasal dari luar
negeri dengan subjek pasien hipertiroid, hipotiroid, autoimun tiroid, wanita
defisiensi seng, dan subjek sehat.
Penelitian ini melakukan analisis pengaruh asupan dan kadar serum zat
besi serta seng terhadap kadar TSH dan FT4 pada pasien hipertiroid, dimana
kombinasi variabel-variabel ini dengan analisis korelasi bivariat dan
multivariat jarang dilakukan pada penelitian sebelumnya, terutama di
Indonesia. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya terdapat pada desain,
subjek, dan variabel penelitian.
32

C. Kerangka Berpikir

Singkatan: Enzim 5’D-1 = Enzim 5’Deiodinase-1, TSH = Thyroid stimulating hormone, T4 = Tiroksin, FT4 = Free Tiroksin, T3 = Triiodothyronine

Gambar 2.8. Kerangka berpikir pengaruh asupan dan kadar serum zat besi serta seng terhadap kadar TSH dan FT4
pada pasien hipertiroid.
33

Hipertiroid disebabkan oleh autoantibodi yang merangsang sel tiroid


untuk mengikat reseptor TSH sehingga kadar TSH menjadi rendah dan
meningkatkan produksi hormon tiroid termasuk tiroksin (T4), akibatnya
kadar hormon tiroid di dalam tubuh terlalu tinggi. Penyebab lain hipertiroid
yaitu penyakit Grave’s, nodul tiroid, tiroiditis, dan asupan iodium yang lebih
dari kebutuhan. Penegakkan diagnosis hipertiroid dilakukan apabila kadar
tiroksin bebas atau Free T4 (FT4) tinggi dan kadar TSH rendah.
Kondisi hipertiroid meningkatkan produksi eritrosit (eritropoiesis) dan
menimbulkan eritrositosis. Selain itu terjadi peningkatan kadar zat besi dalam
darah dan ferritin. Asupan zat besi yang tinggi juga berkontribusi terhadap
peningkatan kadar serum zat besi pada pasien hipertiroid. Peningkatan
hepcidin pada keadaan hipertiroid memengaruhi ekspresi mRNA sel HepG2
yang memproduksi hormon tiroid T3 dan T4. Hal ini mengakibatkan
peningkatan kadar hormon T4.
Asupan seng lebih dari kebutuhan dalam jangka waktu lama dapat
berkontribusi pada hipertiroid karena sifat seng yang dapat menstimulasi
kelenjar tiroid, terutama ketika kadar serum seng juga meningkat. Seng
diperlukan enzim tipe 1-5’deiodenase yang mengkonversi hormon T4
menjadi T3, sehingga peningkatan kadar serum seng dapat memengaruhi
kadar hormon T4 dalam darah.
Beberapa faktor eksternal memengaruhi jumlah asupan zat besi dan
seng, antara lain asupan energi, asupan zat gizi makro (protein, lemak,
karbohidrat), jenis kelamin, dan usia. Fitat, tanin, dan oksalat merupakan zat
yang memengaruhi penyerapan seng dan zat besi, sedangkan vitamin C
merupakan enhancer penyerapan zat besi. Thyrozol digunakan sebagai terapi
pengobatan pada pasien hipertiroid yang dapat menurunkan kadar hormon T4
secara langsung dan meningkatkan kadar TSH secara tidak langsung.
Asupan dan kadar serum zat besi serta seng yang tinggi memengaruhi
peningkatan kadar hormon T4 pada pasien hipertiroid. Apabila hormon T4
kadarnya tinggi dalam darah, maka kadar T4 bebas (FT4) juga meningkat dan
kadar TSH menjadi rendah.
34

D. Hipotesis
1. Ada pengaruh antara asupan dan kadar serum zat besi terhadap kadar TSH
pada pasien hipertiroid.
2. Ada pengaruh antara asupan dan kadar serum zat besi terhadap kadar FT4
pada pasien hipertiroid.
3. Ada pengaruh antara asupan dan kadar serum seng terhadap kadar TSH
pada pasien hipertiroid.
4. Ada pengaruh antara asupan dan kadar serum seng terhadap kadar FT4
pada pasien hipertiroid.
5. Ada pengaruh antara asupan dan kadar serum zat besi serta seng terhadap
kadar TSH dan FT4 pada pasien hipertiroid.

Anda mungkin juga menyukai