Anda di halaman 1dari 20

SUMBER MATERI PPT REFERAT (tambahan yg ku cari sendiri wkwkwkwk)

http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-6-sistem-endokrin/62-hormon-tiroid-dan-
antitiroid/622-antitiroid
https://core.ac.uk/download/pdf/12345632.pdf
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK285548/
https://gps.camdenccg.nhs.uk/cdn/serve/pathway-downloads/1456246291-
3faec054a970a1ebf92d6e6cce27b200.pdf
https://pdfs.semanticscholar.org/562c/ff265a5aaba513d0a9a887e0fd70947ac6c2.p
df
https://pdfs.semanticscholar.org/562c/ff265a5aaba513d0a9a887e0fd70947ac6c2.p
df
https://www.academia.edu/27337909/MAKALAH_FARMAKOTERAPI_I_HIPERTIROID
_

I. PENDAHULUAN

Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi


tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Hipertiroidisme
(Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar tiroid bekerja secara
berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan di dalam darah
(Semiardjie, 2003)
Hipertiroidisme dapat timbul spontan atau akibat asupan hormon tiroid yang
berlebihan. Terdapat dua tipe hipertiroidisme spontan yang paling sering dijumpai
yaitu penyakit Graves dan goiter nodular toksik. Pada penyakit Graves terdapat dua
kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal, dan keduanya mungkin
tak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid, dan
hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Pasien mengeluh
lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab,
berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan yang meningkat, palpitasi
dan takikardi, diare, dan kelemahan serta atropi otot. Manifestasi ekstratiroidal
oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan
berkurang, lig lag, dan kegagalan konvergensi. Goiter nodular toksik, lebih sering
ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik,
manifestasinya lebih ringan dari penyakit Graves (Schteingart, 2006)
Di negara Amerika Serikat, penyakit Graves adalah bentuk yang paling umum
dari hipertiroid. Sekitar 60-80% kasus tirotoksikosis akibat penyakit Graves.
Kejadian tahunan penyakit Graves ditemukan menjadi 0,5 kasus per 1000 orang
selama periode 20-tahun, dengan terjadinya puncak pada orang berusia 20-40
tahun. Gondok multinodular (15-20% dari tirotoksikosis) lebih banyak terjadi di
daerah defisiensi yodium. Kebanyakan orang di Amerika Serikat menerima yodium
cukup, dan kejadian gondok multinodular kurang dari kejadian di wilayah dunia
dengan defisiensi yodium. Adenoma toksik merupakan penyebab 3-5% kasus
tirotoksikosis (Lee, et.al., 2011).
Prevalensi hipertiroid berdasarkan umur dengan angka kejadian lebih kurang 10
per 100.000 wanita dibawah umur 40 tahun dan 19 per 100.000 wanita yang berusia
di atas 60 tahun. Prevalensi kasus hipertiroid di Amerika terdapat pada wanita
sebesar (1 ,9%) dan pria (0,9%). Di Eropa ditemukan bahwa prevalensi hipertiroid
adalah berkisar (1-2%). Di negara lnggris kasus hipertiroid terdapat pada 0.8 per
1000 wanita pertahun (Guyton, 2007 ).
Tujuan dari penulisan untuk mengetahui penyakit hipertiroid yang mencakup
definisi, epidemiologi, etiologi, penegakkan diagnosis, patofisiologi dan
pathogenesis, penatalaksanaan pada kasus hipertiroid sehingga petugas kesehatan
dapat mengenali dan memberi terapi secara tepat.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Menurut American Thyroid Association dan American Association of
Clinical Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi
Berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan oleh
kelenjar tiroid melebihi normal. Hipertiroidisme merupakan salah satu bentuk
thyrotoxicosis atau tingginya kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun kombinasi
keduanya, di aliran darah.
Hipertiroidisme adalah sindrom yang dihasilkan dari efek metabolic yang
beredar secara berlebihan oleh hormone tiroid T4, T3 atau keduanya. Subklinis
hipertiroidisme mengacu pada kombinasi konsentrasi serum TSH yang tidak
terdeteksi dan konsentrasi serum T3, T4 normal, terlepas dari ada atau tidak
adanya tanda-tanda gejala klinis (Pauline, 2007).

B. Etiologi
Penyebab Hipertiroidisme adalah adanya Imuoglobulin perangsang tiroid
(Penyakit Grave), sekunder akibat kelebihan sekresi hipotalamus atau hipofisis
anterior, hipersekresi tumor tiroid. Penyebab tersering hipertiroidisme adalah
penyakit Grave, suatu penyakit autoimun, yakni tubuh secara serampangan
membentuk thyroid-stymulating immunoglobulin (TSI), suatu antibodi yang
sasarannya adalah reseptor TSH di sel tiroid (Sherwood, 2002).
1. Tiroid :
a. Grave’s disease  80% karena ini
Terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan
adanya penyakit autoimun lainnya misalnya DM tipe I
b. Adenoma toksik
c. Toksik nodular goiter
d. McCune-Albrigth
e. Tiroiditis sub akut
f. Tiroiditis limfositik kronik

2. Hipofisis :
a. Adenoma hipofisis
b. Hipofisis resisten terhadap T4
3. Lain :
a. Eksogen
b. Iodine induced hyperthyroidism
c. hCG

C. Epidemiologi
Graves Disease menyumbang antara 60% sampai 80% dari pasien dengan
hipertiroidisme. Hal ini menyerang 10 kali lebih banyak pada wanita
dibandingkan pria, dengan risiko tertinggi onset antara usia 40 sampai 60
tahun. Prevalensi adalah orang Asia dan Eropa. Adenoma autonom dan racun
multi-nodular gondok lebih sering terjadi di Eropa dan daerah lain di dunia di
mana penduduk cenderung mengalami defisiensi yodium, prevalensi mereka
juga lebih tinggi pada wanita dan pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun
(Pauline, 2007).

D. Patogenesis dan patofisiologi


1. Patogenesis
Proses pengeluaran hormone tiroid yang normal adalah sebagai berikut:
Hipotalamus Hipofisis Tiroid
(menerima
TRH/TIH)

Kurang Lebih Pengeluaran TIH Reseptor TSH/TIH


(tiroid inhibiting merangsang kelenjar tiroid
hormon)

Kadar hormon Sekresi hormone Pengeluaran Pengeluaran


tiroid di tubuh tiroid ke pembuluh hormon hormon
darah dan jaringan tiroid tiroid
dihentikan (T3 & T4)

Keterangan:
Panah hitam : umpan balik positif
Panah merah : umpan balik negative

Dari bagan tersebut dapat diketahui bahwa apabila terjadi suatu


peningkatan kadar hormone tiroid didalam tubuh maka akan terjadi
feedback negative menuju hipotalamus. Ketika feedback negative diterima
oleh hipotalamus, maka akan terjadi pengeluaran hormone inhibiting yang
akan menurunkan sekresi/pembuatan hormone tiroid. Proses ini terjadi
ketika tiroid tidak mengalami suatu kelainan, apabila terjadi suatu kelainan
pada tiroid maka proses yang akan terjadi adalah sebagai berikut (Guyton,
2007).
Hipotalamus Hipofisis Tiroid
(menerima
TRH/TIH)

Lebih Pengeluaran Reseptor TSH/TIH


TIH ditutupi oleh TSI
(Tiroid (Tiroid Stimulating
Inhibiting Imunoglobulin)
Hormone)

Kadar hormon Sekresi hormone Pengeluaran Pengeluaran


tiroid di tubuh tiroid ke pembuluh hormon hormon
darah dan jaringan tiroid tidak tiroid
makin meningkat dihentikan (T3 & T4)

Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa terjadi peningkatan hormone


tiroid. Hal ini disebabkan oleh penutupan reseptor TSH dan TIH oleh
Tiroid Stimulating Inhibitor yang akan merangsang kelenjar tiroid untuk
memproduksi hormone tiroid secara terus menerus. Ketika produksi
hormone tiroid telah dirasa cukup oleh tubuh, maka tubuh akan
memberikan umpan balik negative kepada hipotalamus untuk
mengeluarkan TIH (Tiroid Inhibiting hormone) yang akan menurunkan
produksi hormone tiroid. Dalam kejadian ini, TIH tidak akan memberikan
efek kepada kelenjar tiroid karena reseptornya ditutupi oleh TSI sehingga
kelenjar tiroid akan melanjutkan proses produksi hormone tiroidnya.
Ketika dilakukan pemeriksaan laboratorium mengenai kadar hormone
tiroid, maka akan didapatkan hasil berupa peningkatan hormone T3 dan T4
tanpa adanya peningkatan hormone TSH (Guyton, 2007). Kejadian ini
didapatkan pada kasus penderita hipertiroidisme, yang akan menyebabkan
peningkatan kadar metabolism di dalam tubuh dan peningkatan tmbuh
kembang dari penderita tersebut (Robbins, 2007).
2. Patofisiologi
Hipertiroidisme disebabkan oleh antibody reseptor TSH yang
merangsang aktifitas tiroid, sehingga produksi tiroksin (T4) meningkat.
Akibat peningkatan ini ditandai dengan adanya tremor, ketidakstabilan
emosi, palpitasi, meningkatnya nafsu makan, kehilangan berat badan. Kulit
lebih hangat dan berkeringat, rambut halus, detak jantung cepat, tekanan
nadi yang kecil, pembesaran hati, kadang kadang terjadi gagal jantung.
Peningkatan cardiac output dan kerja jantung selama ketidakstabilan atrial
menyebabkan ketidakteraturan irama jantung, terutama pada pasien dengan
penyakit jantung. Ancaman bagi kehidupan di kombinasi dengan delirium
atau koma, temperatur tubuh naik sampai 41o C, detak jantung meningkat,
hipotensi, muntah dan diare.
Penyakit Graves memiliki gejala-gejala patognomonik sebagai ciri
khas atau tanda khusus. Beberapa gejala patognomonik yang menyertai
penyakit Graves, yaitu:
a. Eksoftalmus
Eksoftalmus disebabkan karena limfosit sitotoksik dan antibodi
sitotoksik yang bersintesis dengan antigen serupa seperti TSH reseptor
yang ditemukan di orbital fibroblast, otot orbital, dan jaringan tyroid.
Sitokin yang berasal dari limfosit yang disintesis menyebabkan
inflamasi di orbital fibroblast dan otot ekstraokular, dan hasilnya adalah
pembengkakan pada otot orbital (Gardner, 2007).

Pada hipertiroidisme imunogenik, eksoftalmus dapat ditambahkan


terjadi akibat peningkatan hormone tiroid, penonjolan mata dengan
diplopia, aliran air mata yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia
juga terjadi. Penyebabnya terletak pada reaksi imun terhadap antigen
retrobulbar yang tampaknya sama dengan reseptor TSH. Akibatnya
terjadi pembengkakan otot mata, infiltrasi limfosit, akumulasi asam
mukopolisakarida, dan peningkatan jaringan ikat retrobulbar
(Silbernagl, et al., 2006).
Pengamatan eksoftalmus dapat dimilai menggunakan suatu metode
yang dinamakan NO SPECS:
0 = No signs or symptom
1 = Only signs (lid retraction or lag)
2 = Soft tissue involvement (periorbital edema)
3 = Proptosis (>22 mm)
4 = Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 = Corneal involvement
6 = Sight loss
Namun, metode NO SPECS tidak bisa menilai mata secara keseluruhan,
dan kadang-kadang kronologi gangguan pada mata pasien tidak
berurutan seperti yang tertera di daftar NO SPECS untuk menilai
derajat keparahan yang diderita pasien tersebut. Sehingga ditakutkan
hasilnya jadi kurang valid.
1) Untuk menilai proptosis bisa dilakukan dengan cara visualisasi
antara iris bagian bawah dengan palpebra bagian bawah. Untuk
Graves Disease biasanya iris pasien bisa terlihat di bagian bawah
palpebra, padahal normalnya tidak.
2) Untuk menilai proptosis juga bisa menggunakan alat
exopthalmometer (Harrison, 2005).
b. Tremor
Berbeda dengan tremor yang biasa tejadi pada penyakit Parkinson,
tremor pada penyakit Graves merupakan tremor lembut, bukan tremor
kasar. Tremor halus terjadi dengan frekuensi 10-15 x/detik, dan
dianggap sebagai efek dari bertambahnya kepekaan sinaps saraf
pengatur tonus otot di daerah medulla (Guyton, 2007). Gejala lain yang
mengiringi penyakit Graves, diantaranya:
1) Nafsu makan meningkat, tetapi berat badan turun
Tingginya kadar hormon tiroid menyebabkan terjadinya
peningkatan metabolisme pada tubuh. Sehingga, tubuh memerlukan
asupan makanan yang lebih banyak untuk megimbanginya.
2) Berat badan turun
Peningkatan metabolisme yang terjadi karena banyaknya hormon
tiroid membuat tbuh menggunakan senyawa-senyawa glukagonik
yang ada di dalam otot untuk membentuk glukosa melalui proses
glukoneogenesis. Karena diambil dari otot, maka pemakaian
senyawa glukogenik secara terus-menerus dapat mengurangi massa
otot sehingga berat badan pun bisa mengalami penurunan (Guyton,
2007).
3) Berdebar-debar
Peningkatan kadar triiodotironin (T3) sebagai salah satu hormon
tiroid dapat merangsang saraf simpatis yang berkaitan dengan
hormon-hormon yang dibentuk medulla suprarenal, yaitu epinephrin
dan norepinephrin. Kedua hormon tersebut dapat meningkatkan
frekuensi denyut jantung dengan cara menstimulasi α dan β reseptor,
terutama β reseptor yang berada di membran plasma otot jantung
(Guyton, 2007).
4) Peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi normal
Hormon tiroid berperan dalam meningkatkan kecepatan sekresi
getah pencernaan dan pergerakan saluran cerna, sehingga
hipertiroidisme seringkali menyebabkan diare (Guyton, 2007).
Sekresi hormon tiroid 

hipertiroidisme

hipermetabolisme

Penguraian glikogen - Kontraksi usus  masa protein otot rangka


glukosa

Degradasi KH, protein Sering defekasi Sering lelah


dan lemak

Kebutuhan metabolisme BB 

Nafsu makan 

Bagan patofisiologi berat badan menurun, nafsu makan meningkat, sering


defekasi, sering lelah pada hipertiroidisme
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan
bereaksi dengan antigen diatas dan
bila terangsang oleh pengaruh sitokin
(seperti interferon gamma

Mengekspresikan molekul-molekul
permukaan sel kelas II (MHC kelas II,
seperti DR4) untuk mempresentasikan
antigen pada limfosit T

Sitokin yang terbentuk dari limfosit


akan menyebabkan inflamasi
fibroblast dan miositis orbit

Menyebabkan pembengkakan otot-


otot bola mata, proptosis dan diplopia

Bagan patofisiologi diplopia dan eksoftalmus pada hipertiroidisme


T3&T4 meningkat

Fungsi hormon tiroid


memodulasi system saraf

Kepekaan sinaps saraf pada daerah


medulla (mengatur tonus otot)

Kepekaan saraf

Rangsangan berlebih

tremor

Bagan patofisiologi tremor pada hipertiroidisme

E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Pada hipertiroid dapat ditemukan dua kelompok gambaran utama, yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya dapat juga tidak tampak. Tiroidal
dapat berupa goiter karena hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme
akhibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala hipertiroidisme dapat
berupa hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang meningkat seperti
pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat berlebih, berat
badan menurun sementara nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi,
diare, dan kelemahan atau atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal dapat
ditemukan seperti oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang terbatas pada
tungkai bawah biasanya (Amory, 2011).
Pada anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada
hipertiroid perlu juga mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang
memiliki penyakit yang sama atau memiliki penyakit yang berhubungan
dengan autoimun (Amory, 2011).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat jelas manifestasi ekstratiroidal
yang berupa oftalmopati yang ditemukan pada 50-80% pasien yang
ditandai dengan mata melotot, fissura paplebra melebar, kedipan
berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan
mata) dan kegagalan konvergensi. Pada manifestasi tiroidal dapat
ditemukan goiter difus, eksoftalmus, palpitasi, suhu badan meningkat, dan
tremor (Amory, 2011).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis
adalah pemeriksaan kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau FT41 (free
thyroxine index), pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti
tiroglobulin dan antimikrosom, penguruan kadar TSH serum, test
penampungan yodium radiokatif (radioactive iodine uptake) dan
pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning) (Amory, 2011). TRAb
(thyrotropin receptor antibody) biasanya ditemukan pada graves diease.
Thyroid Isotope uptake-In patients with thyrotoxicosis the RAIU
(Radioactive Iodine Uptake) at 24 hours is characteristically above normal.
4. Gold Standard Diagnosis
Gold standard yang digunakan dalam klinis adalah serum TSH dan FT4
(Amory, 2011).

F. Penatalaksanaan
1. Farmakologis
Hipertiroid dapat diberikan obat antitiroid golongan tionamid.
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil yang dipasarkan
dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol yang dipasarkan dengan
nama metimazol dan karbimazol. Mekanisme kerja obat antitiroid bekerja
dengan dua efek, yaitu efek intra dan ekstratiroid. Berikut merupakan
mekanisme masing-masing efek (Palacios, 2012).
a. Mekanisme aksi intratiroid adalah menghambat oksidasi dan
organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosis, mengubah
struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin
sehingga mencegah atau mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan
T4.
b. Mekanisme aksi ekstratiroid adalah menghambat konversi T4 menjadi
T3 di jaringan perifer. Obat yang bekerja dengan mekanisme aksi
ekstratiroid adalah propiltiourasil (PTU).
Dosis PTU dimulai degan 3x100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol
20-40 mg/hari dengan dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah itu
dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respon klinis dan biokimia.
Jika ditemukan dosis awal belum memberikan perbaikan klinis, dosis
dapat dinaikan bertahap hingga dosis maksimal, sementara jika dosis awal
sudah memberi perbaikan klinis maupun biokimia, dosis diturunkan
hingga dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10
mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan eutiroid dan kadar T4
bebas dalam batas normal. Pemilihan PTU dan metimazol dapat
disesuaikan dengan kondisi klinis karena berdasarkan kemampuan
menghambat penurunan segera hormon tiroid di perifer, PTU lebih
direkomendasikan (Palacios, 2012).

Obat antitiroid digunakan pada pengobatan hipertiroidisme, yaitu untuk persiapan


pengangkatan tiroid (thyroidectomy) atau untuk pengobatan jangka panjang.
Karbimazol umum digunakan, propiltiourasil digunakan pada pasien yang sensitif
terhadap karbimazol. Mekanisme kerja kedua obat tersebut terutama dengan
mempengaruhi sintesis hormon-hormon tiroid.
Peringatan tentang neutropenia dan agranulositosis
Dokter harus ingat akan kemungkinan dan mengenali tanda-tanda terjadinya depresi sumsum tulang
oleh karbimazol dan obat harus segera dihentikan.

1. Pasien sebaiknya melapor bila terjadi gejala-gejala radang terutama radang tenggorokan.
2. Jumlah sel darah putih sebaiknya diperiksa jika ada tanda-tanda infeksi.
3. Karbimazol sebaiknya segera dihentikan jika secara klinik atau hasil laboratorium menunjukkan adanya
Karbimazol diberikan pada dosis 15-40 mg/hari, kadang-kadang diperlukan dosis lebih
besar. Dosis ini dilanjutkan sampai pasien mencapai keadaan eutiroid, biasanya
setelah 4-8 minggu, kemudian secara berangsur-angsur dosis dikurangi menjadi dosis
pemeliharaan 5-15 mg. Terapi diberikan selama 12-18 bulan.

Pada anak-anak dosis awal yang diberikan adalah 250 mcg/kgbb, 3 kali sehari,
disesuaikan dengan respon. Pengobatan untuk anak-anak sebaiknya dilakukan oleh
dokter spesialis.

Pemakaian karbimazol kadang dapat mengakibatkan rash dan pruritus, yang dapat
diobati dengan pemberian antihistamin tanpa menghentikan terapi, sebagai alternatif
dapat diganti dengan pemakaian propiltiourasil. Pasien diberitahu untuk segera
melaporkan sakit tenggorokan karena meskipun jarang hal tersebut dapat terjadi
akibat agranulositosis (lihat box peringatan).
Dosis propiltiourasil untuk dewasa adalah 200-400 mg/hari, dosis ini dipertahankan
sampai pasien mencapai keadaan eutiroid, lalu dosis diturunkan secara berangsur-
angsur sampai mencapai dosis pemeliharaan 50-150 mg/hari. Obat-obat antitiroid
hanya perlu diberikan sekali sehari karena efeknya yang panjang pada kelenjar tiroid.
Pengobatan yang berlebihan dapat cepat menyebabkan hipotiroidisme, keadaan ini
sebaiknya dihindari terutama selama kehamilan karena dapat
menyebabkan goitre pada janin. Kombinasi karbimazol 40-60 mg/hari dengan
levotiroksin 50-150 µg/hari digunakan pada blocking replacement regimen, yang
diberikan selama 18 bulan. Blocking replacement regimen tidak boleh diberikan selama
kehamilan.
Iodium (Iodine) dapat digunakan bersama dengan antitiroid, diberikan 10-14 hari
sebelum pengangkatan sebagian tiroid (partial thyroidectomi), tetapi tidak cukup bukti
manfaat. Iodium sebaiknya tidak digunakan untuk pengobatan jangka panjang karena
efek antitiroidnya cenderung menurun.
Larutan natrium iodida radioaktif makin banyak digunakan untuk pengobatan
tirotoksikosis pada semua usia terutama bila ada masalah dengan terapi obat, ada
masalah kepatuhan, atau pada pasien dengan penyakit jantung dan pasien yang
kambuh setelah tiroidektomi.

Propanolol bermanfaat untuk mengurangi gejala tirotoksikosis dengan cepat,


dapat diberikan bersama obat-obat antitiroid atau sebagai tambahan pada terapi
dengan iodium radioaktif.

Beta bloker juga bermanfaat untuk pengobatan tirotoksikosis neonatus dan untuk
aritmia supraventrikular yang disebabkan oleh hipertiroidisme. Propanolol juga pernah
digunakan bersama iodium pada persiapan operasi pasien tirotoksikosis ringan, tetapi
lebih baik menggunakan karbimazol untuk membuat pasien mencapai keadaan
eutiroid. Beta bloker tidak mengganggu hasil pemeriksaan laboratorium fungsi tiroid.
Nadalol juga pernah digunakan sebagai pengganti propanolol.

Thyrotoxic crisis (tiroid storm) memerlukan penanganan gawat darurat dengan


pemberian intravena cairan propanolol (5mg) dan hidrokortison 100 mg setiap 6 jam,
sebagai natrium suksinat), dan juga larutan iodium per oral dan karbimazol atau
propiltiourasil yang mungkin pemberiannya perlu melalui nasogastric tube.
Kehamilan dan menyusui. Terapi dengan iodium-radioaktif dikontraindikasikan
selama kehamilan. Propiltiourasil dan karbimazol dapat diberikan tetapi tidak boleh
memberikan blocking0-replacement regiment. Propiltiourasil dan karbimazol dapat
melewati sawar plasenta dan pada dosis tinggi dapat menyebabkan goiter pada janin
dan hipotiroidisme. Dengan demikian dipakai dosis terkecil yang dapat digunakan
untuk mengontrol hipertiroid (pada Grave’s disease kebutuhan obat cenderung menurun
selama kehamilan). Meskipun jarang karbimazol jarang dikaitkan dengan kejadian
aplasia cutis pada neonatus. Karbimazol dan propiltiourasil masuk dalam ASI tetapi
hal ini tidak menghalangi pemberian ASI selama tumbuh kembang bayi dimonitor
secara ketat dan digunakan dosis obat paling rendah yang efektif.
Hipertiroidisme pada neonatal diatasi dengan karbimazol atau propiltiourasil, biasanya
selama 8-12 minggu. Pada keadaan dengan gejala yang parah, mungkin diperlukan
Iodium untuk memblokade tiroid dan propanolol diperlukan untuk mengatasi gejala
perifer.

Monografi:

IODIDA DAN IODIN


Indikasi:

tirotosikosis (sebelum operasi).

Peringatan:

kehamilan, anak, tidak untuk pengobatan jangka panjang.

Kontraindikasi:

reaksi-reaksi hipersensitif seperti coryza-like symptoms, sakit kepala, lakrimasi,


konjungtivitis, nyeri pada kelenjar ludah, laringitis, bronkhitis, ruam kulit, insomnia,
impoten, gondok pada bayi yang ibunya menggunakan iodida.

PROPILTIOURASIL
Indikasi:

hipertiroidism.

Peringatan:

Seperti pada karbimazol, gangguan hati (Lampiran 2), gangguan ginjal (Lampiran 3).

Efek Samping:

seperti pada karbimazol, leukopenia, cutaneous vasculitis, trombositopenia, anemia


aplastik, hipoprotrombinemia, hepatitis, enselopati, nekrosis hati, nefritis, gejala
seperti lupus eritematosus.
Dosis:

lihat catatan di atas.


KARBIMAZOL
Indikasi:

hipertiroidism.

Peringatan:

gangguan hati, kehamilan, menyusui (lihat catatan di atas).

Efek Samping:

muntah, gangguan pencernaan ringan, sakit kepala, ruam kulit dan pruritus, nyeri
sendi, miopati, alopesia, supresi sumsum tulang (pansitopenia dan
agranulositosis), jaundice.
Dosis:

(lihat pada catatan di atas) Konseling. Informasikan kepada pasien agar segera
memberitahu dokter jika terjadi sakit tenggorokan, sariawan, demam, memar,
berkembangnya penyakit non spesifik, malaise.

TIAMAZOL
Indikasi:

pengobatan hipertiroidism, terutama pada pembengkakan tiroid yang sedikit atau


besar (goiter) pada pasien usia muda. Persiapan untuk operasi segala macam
hipertiroidisme. Persiapan pasien hipertiroidisme pada rencana pengobatan
radioiodine untuk mencegah terjadinya resiko krisis tirorotoksik setelah terapi.
Peringatan:

Pasien harus memberitahu dokter jika terjadi gejala agranulositosis, seperti demam.
Pasien dengan kelaianan fungsi sumsum tulang harus dimonitor. Hati-hati adanya
reaksi hepatik yang dapat terjadi seperti disfungsi hati (anoreksia, pruritis). Hati-hati
pemakaian pada wanita hamil. Perlu dimonitor nilai TSH (Thyroid Stimulating Hormone)
pasien. Hati-hati karena diduga obat ini dapat menyebabkan karsinogenesis,
mutagenesis, dan kelainan fungsi kesuburan.
Kontraindikasi:

Hipersensitivitas; menyusui.

Efek Samping:

reaksi alergi kulit (gatal, kemerahan, ruam), mual, muntah, nyeri epigastrik, artralgia,
parestesia, kehilangan indera pengecap, rambut rontok, mialgia, sakit kepala, pruritis,
mengantuk, neuritis, edema, vertigo, pigmentasi kulit, jaundice, sialadenopathy dan
limfadenopati. Jarang terjadi demam, nyeri, arthritis, dan gangguan pada indera
pengecap. Perubahan jumLah darah, granulositopenia, trombositopenia, anemia
aplastik, hipoprotombinemia dan nepritis, agranulositosis, peradangan mukosa oral
dan faring, pembentukan furunkules. Efek ini dapat terjadi seminggu hingga sebulan
setelah pengobatan, tapi dapat hilang dengan sendirinya. Limpadenitis,
pembengkakan akut kelenjar lidah, penurunan angka platelet darah dan konstituen
darah lainnya, peradangan pembuluh darah dan saraf, gangguan sensitivitas, terjadi
induksi lupus eritematosus (penyakit auto imun), dan sindrom autoimun insulin.
Dosis:

Pengobatan hipertiroidism: Bloking produksi hormon tiroid dicapai dengan dosis obat
25-40 mg. Terapi utama (untuk mencapai aktivitas metabolisme normal kelenjar tiroid):
Dosis maksimum 20-40 mg tergantung pada keparahan penyakit. Untuk kasus ringan,
10 mg 2 kali sehari. Untuk aksus berat, 20 mg 2 kali sehari. Setelah fungsi tiroid normal
(biasanya antara 3-8 minggu) maka pada pengobatan jangka panjang dosis obat
dikurangi menjadi 5-20 mg perhari; pada terapi tunggal dengan obat ini, dosis
tergantung pada aktivitas metabolisme yang harus diperiksa secara individual pada
tiap pasien. Perhatikan nilai TSH. Dosis pada kasus ini 2,5 dan 10 mg per hari. Dosis
pada anak-anak: dosis tergantung pada parahnya penyakit 0,3-0,5 mg/kg bb per hari.
Dosis pemeliharaan, 0,2-0,3 mg/kg bb perhari, dibutuhkan pengobatan tambahan
dengan hormon tiroid. Dosis wanita hamil: 2,5-10 mg perhari, pengobatan tanpa
penambahan hormon tiroid. Dosis pasien dengan kerusakan hati: dosis diberikan
serendah mungkin agar efek terapi tetap tercapai.

2. Nonfarmakologis
Pada terapi nonfarmakologi, penderita hipertiroid dapat diedukasi
untuk diet tinggi kalori dengan memberikan kalori 2600-3000 kalori per
hari baik dari makanan main dari suplemen, konsumsi protein tinggi 100-
125 gr (2,5 gr/kg BB) per hari untuk mengatasi proses pemecahan protein
jaringan seperti susu dan telur, olah raga teratur, serta mengurangi rokok,
alkohol, dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme (Palacios,
2012).

III. KESIMPULAN

1. Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi


tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan.
Hipertiroidisme (Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar
tiroid bekerja secara berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang
berlebihan di dalam darah
2. Penyebab paling sering adalah grave’s disease
3. Manifestasi klinis dari hipertiroid adalah jantung berdebar, rasa lelah, tremor,
gelisah, nafsu makan meningkat namun BB menurun, eksoftalmus.
4. Penegakan diagnosis hipertiroid dapat menggunakan pemeriksaan
laboratorium kadar FT4 dan TSH
5. Tata laksana farmakologis yang digunakan adalah PTU dan tiamazol. Tata
laksana nonfarmakologis yang dilakukan adalah diet tinggi kalori dan protein.

DAFTAR PUSTAKA

Amory, JK., Irl BH. 2011. Hyperthyroidism from Autoimmune Thyroiditis in a


Man with Type 1 Diabetes Mellitus: a Case Report. Journal of Medical
Case Reports 2011, 5:277
Gardner, David G, Dolores Shoback. 2007. Basic and Clinical Endocrinology.
Jakarta: Sagung Seto.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC

Harrison, Tinsley R. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition.


United States of America: McGraw-Hill Companies.
Lee, S.L., Ananthankrisnan, S., Ziel, S.H., Talavera, S., Griffing, G.T., 2011.
Hyperthyroidism. http://emedicine.medscape.com (Diakses tanggal 3
November 2014)
Palacios, SS. Eider, PC. Juan, CG. 2012. Management of Subclinical
Hyperthyroidism. International Journal of Endocrinology and
Metabolism April 2012; 10(2): 490-496
Pauline, M. Chamacho., Hossein, Gharib., Glen, W. Sizemore. 2007. Evidence-
Based Endocrinology.
Schteingart, D.E. 2006. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Huriawati H., Natalia
S., Pita W., Dewi A.M (Editors). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Dalam. Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Hal: 1225-36
Sherwood, L. 2002. Human Physiology: From Cells to Systems. Penerbit buku
kedokteran: EGC
Silbernagl, Stefan, Florian Lang. 2006. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai