SKENARIO B BLOK 13
Disusun oleh:
5. Patofisiologi
7. Komplikasi
7.1. Penyakit Jantung, terutama kardioditis dan gagal jantung.
Hormon tiroid secara langsung mempengaruhi jantung dan sistem vaskular
perifer. Hormon tersebut dapat meningkatkan inotropi miokard dan denyut
jantung serta melebarkan arteri perifer untuk meningkatkan curah jantung.
Pengikatan hormon tiroid ke TRE (thyroid responsive elements) dapat
mengaktifkan atau menekan ekspresi gen, sehingga mengatur ekspresi RNA
messenger spesifik dan protein translasi dan menghasilkan respons spesifik
jaringan yang berbeda. Gen pengatur hormon tiroid juga terlibat dalam protein
struktural dan pengatur, dan paparan jangka panjang terhadap kadar T3 yang
tinggi dapat meningkatkan sintesis protein jantung, yang menyebabkan
hipertrofi dan disfungsi jantung. Aktivitas nongenomik ekstranuklear memicu
perubahan cepat pada jantung. membran plasma miosit dan organel
sitoplasma. Ini termasuk perubahan saluran ion natrium, kalium, dan kalsium;
perubahan polimerisasi sitoskeleton aktin; dan perubahan pada jalur sinyal
intraseluler di jantung dan sel otot polos. Mekanisme genomik dan
nongenomik bekerja bersama untuk mengatur fungsi jantung dan
hemodinamik kardiovaskular. Misalnya, mekanisme tersebut meningkatkan
ekspresi ATPase yang diaktifkan kalsium retikulum sarkoplasma dan
menurunkan regulasi ekspresi fosfolamban, sehingga meningkatkan relaksasi
miokard. Mereka juga meningkatkan ekspresi isoform kontraktil yang lebih
cepat dari rantai berat miosin (isoform), yang berkontribusi pada peningkatan
fungsi sistolik. T3 juga meningkatkan laju depolarisasi dan repolarisasi nodus
sinoatrial, sehingga meningkatkan denyut jantung. Akibatnya, hormon tiroid
memiliki efek inotropik dan kronotropik positif pada jantung yang, bersama
dengan sensitivitas adrenergik yang meningkat, menyebabkan peningkatan
denyut jantung dan kontraktilitas pada hipertiroidisme. Seperti semua sistem
tubuh, kerja jantung dipercepat dengan terlalu banyak hormon tiroid. Seiring
perkembangan penyakit, masalah yang lebih serius dapat berkembang seperti
detak jantung tidak teratur yang mengancam jiwa, tekanan darah tinggi yang
berbahaya, dan gagal jantung kongestif
7.2. Stromatiroid (tirotoksikosis)
Pada periode akut pasien mengalami demam tinggi, takikardia berat, derilium,
dehidrasi, dan iritabilitas ekstrim. Keadaan ini merupakan keadaan emergency
sehingga penganganan lebih khusus.
7.3. Mata
Ketika sistem kekebalan menyerang otot dan jaringan okuler lainnya di rongga
mata, pembengkakan dan jaringan parut akibat peradangan menyebabkan
gejala dan tanda yang disebut ophthalmic grave. Pada kasus yang parah,
selaput bening mata (kornea) dapat mengalami ulserasi, atau saraf optik dapat
rusak, yang salah satunya dapat mengakibatkan hilangnya penglihatan secara
permanen jika tidak ditangani dengan tepat. Ulserasi pada kornea sering
disebabkan oleh kombinasi mata yang menonjol ke depan dan jaringan parut
yang mengakibatkan kelopak mata tertarik ke belakang. Sedangkan saraf optik
rusak karena otot yang menebal, meradang dan/atau bekas luka menimpa saraf
optik di bagian belakang soket. Mata sangat rentan karena serangan autoimun
sering menargetkan otot mata dan jaringan ikat di dalam rongga mata. Hal ini
mungkin terjadi karena jaringan ini mengandung protein yang tampak mirip
bagi sistem kekebalan seperti yang dimiliki kelenjar tiroid.keadaan dimana
bola mata pasien menonjol benjol keluar, hal ini disebabkan karena
penumpukkan cairan pada rongga orbita bagian belakang bola mata. Biasanya
terjadi pasien dengan penyakit graves
7.4. Tulang
Osteoporosis atau tulang yang lemah dan rapuh adalah bahaya lain dari
hipertiroidisme yang tidak diobati. Tulang adalah jaringan aktif. Tulang terus-
menerus melalui proses yang disebut remodeling. Siklus ini melibatkan
melarutkan tulang lama dan membentuk tulang baru. Tiroid yang terlalu aktif
dapat mengganggu keseimbangan siklus ini menyebabkan pengeroposan
tulang dan mengganggu kemampuan tubuh untuk memasukkan kalsium ke
dalam tulang. Kedua hal ini melemahkan tulang, menempatkan pasien pada
risiko patah tulang
7.5. Gastrointestinal
Hormon tiroid dapat merangsang motilitas usus, yang dapat menimbulkan
peningkatan motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan memperlambat
transit usus serta konstipasi pada hipotiroidisme.Tiroid yang terlalu aktif
menyebabkan pencernaan lebih cepat dari biasanya, mempercepat apa yang
disebut waktu transit. Tiroid yang terlalu aktif juga terus-menerus merangsang
otot-otot di usus. Hal ini dapat menyebabkan sering buang air besar yang
berpotensi mempengaruhi kesehatan. Buang air besar yang lebih sering
terutama jika tinja yang dikeluarkan encer dapat menyebabkan dehidrasi dan
masalah penyerapan nutrisi.
7.6. Thyroid Storm atau Badai Tiroid
Hipertiroidisme yang tidak diobati atau tidak dikelola dapat menyebabkan
kasus hipertiroidisme ekstrem yang disebut sebagai badai tiroid.
Mencerminkan keadaan hipermetabolik hipertiroidisme, pasien yang
mengalami badai tiroid akan datang dengan takikardia, peningkatan motilitas
GI, diaforesis, kecemasan, dan demam. Badai tiroid adalah komplikasi
hipertiroidisme yang berpotensi mengancam jiwa, sehingga membutuhkan
perhatian segera. Penatalaksanaan badai tiroid atau kecurigaan badai tiroid
tingkat tinggi harus mencakup terapi thionamide (methimazole atau
propylthiouracil). PTU, khususnya, berguna karena penghambatannya
terhadap konversi T4 ke T3 perifer. Blokade beta juga dapat digunakan dalam
manajemen gejala.
8. Faktor Resiko
Memiliki riwayat gangguan tiroid sebelumnya seperti goiter atau pernah
menjalani operasi kelenjar tiroid.
Memiliki riwayat penyakit autoimun seperti diabetes mellitus dan gangguan
hormonal.
Adanya riwayat gangguan tiroid di keluarga.
Mengkonsumsi iodine dalam jumlah berlebihan secara kronik.
Menggunakan obat-obatan yang mengandung iodine seperti amiodarone.
9. Pencegahan
9.1. Menghentikan Penggunaan Rokok
Hal ini dilakukan karena rokok mengandung zat kimia berbahaya yang bisa
menghambat kinerja organ dan jaringan, termasuk kelenjar tiroid. Zat kimia
rokok dapat menganggu penyerapan yodium yang pada akhirnya
meningkatkan risiko terjadinya orbitopathy graves atau dikenal dengan
kelainan mata menonjol akibat hipertiroid.
9.2. Menghentikan Konsumsi Minuman Beralkohol
9.3. Konsumsi Makanan Sehat
Dilakukan untuk menjaga kesehatan kelenjar tiroid, kacang kedelai menjadi
salah satu makanan yang direkomendasi yang berupa tempe, tahu, atau susu
kedelai. Selain itu mengkomsumsi asupan selenium seperti udang, salmon,
kepiting, ayam, telur, bayam, jamur shitake, dan beras merah.
9.4. Mengecek Kesehatan Tiroid
Untuk mencegah terjadinya hipertiroid adalah melakukan pemeriksaan
kelenjar tiroid secara berkala, tes ini dilakukan dengan mendeteksi adanya
benjolan atau pembengkakan sekitar leher. Apabila tidak ada benjolan tetapi
ada gejal-gejala tiroid, seperti mudah berkeringat, lebih sensitif dengan panas,
siklus menstruasi dan nafsu makan berubah, segera periksakan diri ke dokter.
10. Diagnosis
Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan tanda
klinis yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan
radiodiagnostik.
10.1. Anamnesis
Anamnesis Gejala klinis hipertiroid meliputi cemas, emosi yang labil, lemah,
tremor, palpitasi, heat intolerance, dan penurunan berat badan walaupun nafsu
makan bertambah. Gejala lainnya meliputi peningkatan frekuensi defekasi,
frekuensi miksi, oligomenorea atau amenorea pada wanita, dan ginekomastia
serta disfungsi ereksi pada pria. Pada pasien hipertiroid yang masih ringan,
khususnya pada populasi geriatri, gejala bisa tidak jelas. Gejala klinis dapat
bervariasi mulai dari penurunan berat badan, lemas, sesak nafas saat aktivitas,
dan peningkatan nafsu makan. Sedangkan pada kasus hipertiroid subklinis
pasien bisa asimptomatik.
10.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan tanda vital akan ditemukan takikardia, pulsus defisit, dan
hipertensi sistolik. Temuan pemeriksaan fisik lain meliputi kulit teraba hangat
dan lembap, rambut tipis dan halus, tremor, kelemahan otot proksimal, dan
hiperrefleks. Tanda eksolftalmus, edema konjungtiva dan periorbita,
pergerakan kelopak mata yang terbatas atau terhambat (lid lag), serta
miksedema pretibia hanya dijumpai pada Grave’s disease. Pada pemeriksaan
fisik tiroid, kelenjar tiroid akan teraba dan terlihat membesar tanpa nyeri pada
palpasi. Ukurannya difus pada Grave’s disease, sedangkan pada kasus
adenoma toksis atau toksik multinodular goitre akan teraba nodul disertai
pembesaran yang tidak simetris.
10.3. Pemeriksaan Penunjang
10.3.1. Thyroid stimulating hormone TSH
Thyroid stimulating hormone (TSH) merupakan hormon yang
diproduksi oleh hipofisis untuk menstimulasi pembentukan dan sekresi
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Pada kondisi normal terdapat
negative feedback pada pengaturan sekresi TSH dan hormon tiroid di
sistem pituitary- thyroid axis. Apabila kadar hormon tiroid di aliran
darah melebihi normal, maka hipofisis akan mengurangi sekresi TSH
yang pada akhirnya akan mengembalikan kadar hormon tiroid kembali
normal. Sebaliknya apabila kadar hormon tiroid rendah maka hipofisis
akan mensekresi TSH untuk memacu produksi hormon tiroid.
Pemeriksaan serum TSH disarankan sebagai pemeriksaan lini pertama
pada kasus hipertiroidisme karena perubahan kecil pada hormon tiroid
akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kadar serum TSH.
Sehingga pemeriksaan serum TSH sensitivitas dan spesifisitas paling
baik dari pemeriksaan darah lainnya untuk menegakkan diagnosis
gangguan tiroid. Pada semua kasus hipertiroidisme (kecuali
hipertiroidisme sekunder atau yang disebabkan produksi TSH
berlebihan) serum TSH akan sangat rendah dan bahkan tidak terdeteksi
(<0.01 mU/L). Hal ini bahkan dapat diamati pada kasus
hipertiroidisme ringan dengan nilai T4 dan T3 yang normal sehingga
pemeriksaan serum TSH direkomendasikan sebagai pemeriksaan
standar yang harus dilakukan (Bahn et al, 2011).
10.3.2. Serum Tiroksin (T4) dan Triiodotironin (T3)
Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)
direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar untuk diagnosis
hipertiroidisme. Pemeriksaan utamanya dilakukan pada bentuk bebas
dari hormon tiroid karena yang menimbulkan efek biologis pada sistem
tubuh adalah bentuk tak terikatnya. Pada awal terapi baik dengan obat
anti tiroid, iodine radioaktif dan tiroidektomi pemeriksaan kadar
hormon tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi sebelum
terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
free T4, total T3 dan TSH untuk mengetahui efektivitas terapi yang
diberikan dan pemeriksaan dilakukan setiap satu bulan hingga pasien
euthyroid (Bahn et al, 2011). Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat
digunakan untuk mengetahui etiologi hipertiroidisme yang diderita
pasien. Pada pasien hipertiroidisme akibat Graves’ Disease dan toxic
nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20 karena lebih banyak T3 yang
disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif dibandingkan T4 sehingga
rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien painless thyroiditis dan
post-partum thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20
10.3.3. Thyroid Receptor Antibodies (TRAb)
Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau
Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb
yang biasanya diukur dalam penegakan diagnosis Graves’ disease
adalah antithyroid peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid
stimulating antibody (TSAb), dan antithyroglobuline antibody (anti-
TgAb). Ditemukannya TPOAb, TSAb dan TgAb mengindikasikan
hipertiroidisme pasien disebabkan karena Graves’ disease. TPOAb
ditemukan pada 70–80% pasien, TgAb pada 30–50% pasien dan TSAb
pada 70–95% pasien (Joshi, 2011). Pemeriksaan antibodi dapat
digunakan untuk memprediksi hipertiroidisme pada orang dengan
faktor risiko misal memiliki keluarga yang terkena gangguan tiroid dan
tiroiditis post partum.Pada wanita hamil yang positif ditemukan
TPOAb dan TgAb pada trimester pertama memiliki kemungkinan 30 –
50% menderita tiroiditis post partum (Stagnaro-Green et al, 2011).
10.3.4. Radioactive Iodine Uptake
Iodine radioaktif merupakan metode yang digunakan untuk
mengetahui berapa banyak iodine yang digunakan dan diambil melalui
transporter Na+/I- di kelenjar tiroid. Pada metode ini pasien diminta
menelan kapsul atau cairan yang berisi iodine radioaktif dan hasilnya
diukur setelah periode tertentu, biasanya 6 atau 24 jam kemudian. Pada
kondisi hipertiroidisme primer seperti Graves’ disease, toxic adenoma
dan toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan uptake iodine
radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita
yang hamil atau menyusui (Beastall et al, 2006)
10.3.5. Scintiscanning
Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid dengan
menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam
tiroid scintiscanning adalah radioiodine (I131) dan technetium
(99mTcO4-). Kelebihan penggunaan technetium radioaktif daripada
iodine diantaranya harganya yang lebih murah dan pemeriksaan dapat
dilakukan lebih cepat. Namun kekurangannya risiko terjadinya false-
positive lebih tinggi, dan kualitas gambar kurang baik dibandingkan
dengan penggunaan radioiodine (Gharib et al, 2011).
B. Grave Disease
1. Definisi
Penyakit grave’s merupakan salah satu jenis penyakit autoimun yang gejala
klinisnya khas yang berkaitan dengan tirotoksikosis, pembesaran kelenjar tiroid,
serta gejala-gejala opthalmologi seperti eksopthalmus hingga diplopia. Graves’
Disease adalah penyakit autoimun yang utamanya mempengaruhi kelenjar tiroid.
Penyakit ini adalah penyebab paling umum dari hipertiroidisme. Graves’ Disease
adalah penyakit dengan manifestasi sistemik yang utamanya mempengaruhi
jantung, otot rangka, mata, kulit, tulang, dan hati. Graves’ Disease adalah salah
satu jenis gangguan pada sistem kekebalan tubuh yang menjadi penyebab umum
hipertiroid, yaitu sekitar 60- 80% dari seluruh kasus hipertiroid di dunia.
Graves’ Disease melibatkan thyroid-stimulating immunoglobulin (TSI) yang
berikatan dengan thyroidstimulating hormone receptor (TSHR) pada kelenjar
tiroid. Penyakit ini disebabkan karena adanya antibodi yang kerjanya menyerupai
Thyroid Stimulating Hormone (TSH) yang beredar dalam sirkulasi. Antibodi
tersebut kemudian merangsang Reseptor TSH yang berada di kelenjar tiroid,
sehingga terjadi peningkatan produksi hormon tiroid. Penyakit ini ditandai oleh
tiga serangkai manifestasi, yaitu:
• Tirotoksikosis, yang disebabkan oleh pembesaran tiroid dengan fungsi
berlebih.
• Terdapat oftalmopati infiltratif yang mengakibatkan eksoftalmus, ditemukan
pada 40% pasien.
• Dermopati infiltratif (terkadang berupa miksedema pretibia), ditemukan pada
sebagian kecil kasus
2. Etiologi
Penyakit ini lebih sering terjadi pada kembar monozigot daripada kembar
dizigotik. Graves’ Disease dipicu oleh faktor lingkungan seperti stres, merokok,
infeksi, paparan yodium, dan pasca persalinan, serta setelah terapi antiretroviral
yang sangat aktif (Highly Active Antiretroviral Therapy /HAART) karena
rekonstitusi/pemulihan imun. Pada intinya, interaksi yang kompleks antara faktor
eksistensial, varian genetik, dan faktor lingkungan menentukan kerentanan subjek
untuk mengembangkan Graves’ Disease.
3. Epidemiologi
Graves’ Disease adalah penyebab paling umum terkait hipertiroidisme, dengan
insiden 20 hingga 50 kasus per 100.000 orang. Menurut Hussain YS, dkk pada
tahun 2017, Graves’ Disease berkaitan dengan 60-80% dari kasus-kasus
hipertiroid. Puncak insiden berada di antara 30 dan 50 tahun, tetapi orang dapat
terkena pada usia berapa pun. Risiko seumur hidup adalah 3% untuk wanita dan
0,5% untuk pria. Berdasarkan data dari Nurses’ Health Study II (NHSII), insiden
tahun ke-12 di antara wanita berusia 25 sampai 42 tahun adalah setinggi 4,6 kasus
per 1000 wanita. Insiden tahunan oftalmopati terkait Graves’ Disease adalah 16
kasus per 100.000 wanita dan 3 kasus per 100.000 pria. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada orang kulit putih daripada orang Asia. Oftalmopati yang parah lebih
mungkin berkembang pada pria yang lebih tua dibandingkan pada pria yang lebih
muda. Terjadi abnormalitas yang ringan di bidang orbital/penglihatan orbital pada
70% pasien dengan Graves’ Disease. Di pusat-pusat khusus, konsekuensi klinis
oftalmopati terdeteksi pada hingga 50% pasien dengan penyakit Graves, dan
mengancam penglihatan sebagai akibat kerusakan kornea atau neuropati optik
dalam 3 sampai 5% dari pasien tersebut.
4. Patofisiologi
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen
yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B
untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis
akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan
merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody.
Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan
aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor
penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati
pada penyakit Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R).
Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada
permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam
proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita
penyakit Graves. Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen
diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan
mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti
DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.
Penyakit autoimun ini dimulai ketika tubuh secara salah menghasilkan
thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) yang juga dikenal dengan longacting
thyroid stimulator (LATS), suatu antibodi yang sasarannya adalah reseptor TSH di
sel tiroid. (Penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem imun menghasilkan
antibodi bagi salah satu jaringan tubuh sendiri.) TSI merangsang sekresi dan
pertumbuhan tiroid mirip dengan yang dilakukan oleh TSH. Namun, tidak seperti
TSH, TSI tidak dipengaruhi oleh inhibisi umpanbalik negatif hormon tiroid
sehingga sekresi dan pertumbuhan tiroid berlanjut tanpa kendali.
Thyroid-stimulating immunoglobulin (TSI), suatu antibodi yang secara salah
diproduksi pada penyakit autoimun Graves, berikatan dengan reseptor TSH di
kelenjar tiroid dan secara terus-menerus merangsang rekresi hormon tiroid di luar
sistem kontrol umpan-balik negatif yang normal. Penyakit Graves disebabkan oleh
thyroid stimulating immunoglobulin (TSI), juga dikenal sebagai thyroid
stimulating antibody (TSAb) (Pokhrel & Bhusal, 2020). TSI tersebut mengambil
alih tugas dari TSH, dimana TSI tersebut berikatan dengan TSH reseptor yang
terletak di membran sel – sel folikular kelenjar tiroid, hal ini mengakibatkan
proteinprotein (TSI) tersebut akhirnya merangsang sel-sel folikel tiroid untuk
menghasilkan hormon tiroid.
Sintesis TSI diawali dari, limfosit B terutama mensintesis imunoglobulin
perangsang tiroid di dalam sel tiroid, tetapi juga dapat disintesis di kelenjar getah
bening dan sumsum tulang. Limfosit B dirangsang oleh limfosit T yang
disensitisasi oleh antigen di kelenjar tiroid. Antigen – antigen tersebut
thyroglobulin, thyroid peroxidase, sodium-iodide symporter dan thyrotropin
receptor, namun thyrothropin receptor sendiri menjadi autoantigen primer yang
sebabkan hipertiroid. Imunoglobulin perangsang tiroid mengikat reseptor hormon
perangsang tiroid (TSH) atau pada hal ini disebut dengan thyrothropin receptor,
pada membran sel tiroid dan merangsang kerja hormon perangsang tiroid. Ini
merangsang sintesis hormon tiroid dan pertumbuhan kelenjar tiroid, menyebabkan
hipertiroidisme dan tiromegali. Hal ini berlangsung terus menerus dimana fungsi
TSH diganti dengan TSI yang terus berikatan dengan TSH reseptor di membran
sel, TSI yang disintesis dari sel-sel plasma yang telah diinisiasi oleh sel Limfosit
B.
5. Patogenesis
Graves’ disease adalah penyakit autoimun spesifik organ yang sebagian besar
manifestasinya disebabkan oleh sirkulasi autoantibodi (Ab) yang merangsang
reseptor TSH sehingga mengakibatkan terjadinya hipertiroid dan goiter. Sirkulasi
TSH-R-Ab berikatan dengan reseptor TSH dan merangsang akitivitasnya,
meningkatkan produksi cAMP intraseluler, sehingga mengakibatkan pelepasan
hormon tiroid dan pertumbuhan sel-sel tiroid (thyrocytes).
Beberapa studi kembar besar telah melaporkan tingkat konkordansi yang lebih
besar dari penyakit Graves pada kembar monozigotik daripada kembar dizigotik,
dengan tingkat konkordansi pada kembar monozigotik yang relatif rendah (∼17%
hingga ∼35%), namun masih cukup signifikan untuk menjelaskan adanya
pengaruh genetik, kemungkinan ditandai oleh penetrasi rendah gen yang terlibat.
Studi kembar menunjukkan bahwa 80% kerentanan terhadap penyakit Graves’
adalah genetik, berhubungan dengan adanya haplotipe human leukocyte antigen
tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4).
6. Faktor Resiko
Sekitar 80% faktor risiko Grave's disease diperankan oleh genetik dan sisanya
adalah faktor lingkungan. Berdasarkan penelitian, sekitar 30% pasien dengan
Grave's disease memiliki anggota keluarga yang juga menderita Grave's disease
dan penyakit tiroiditis Hashimoto serta terdapat hubungan alel dari major
histocompatibility complex dengan Grave's disease yang diperankan oleh HLA-
DR3 dan HLA-DR4. Faktor lingkungan yang menimbulkan risiko Grave's disease
ini adalah rokok, makanan yang mengandung iodin tinggi, stres, dan kehamilan.
Kontrasepsi oral dan jenis kelamin laki-laki merupakan faktor protektif terhadap
penyakit ini. Beberapa faktor di bawah ini diketahui dapat meningkatkan risiko
seseorang mengalami Grave’s disease :
- Berjenis kelamin Wanita
- Memiliki riwayat Grave’s disease dalam keluarga
- Menderita penyakit autoimun lainnya, seperti rheumatoid arthritis atau
diabetes tipe 1
- Mengalami stress
- Baru melahirkan dalam rentang 1 tahun
- Pernah mengalami infeksi mononucleosis
- Memiliki kebiasaan merokok
7. Manifestasi Klinis
7.1. Eksoftalmus
Adanya eksopthalmus disebabkan karena antibodi IgG, juga dapat bekerja
pada jaringan ikat di sekitar orbita yang memiliki protein yang menyerupai
reseptor TSH. Pengaktifan reseptor tersebut menyebabkan pembentukan
sitokin, membantu pembentukan glikosisaminoglikan yang hidrofilik pada
jaringan fibroblast di sekitar orbita yang berakibat pada peningkatan
tekanan osmotik, peningkatan volume otot ekstra okular, akumulasi cairan
dan secara klinis menimbukan opthalmopati. Eksoftalmus dapat menetap
atau memburuk walaupun pengobatan tirotoksikosis telah berhasil, kadang-
kadang menyebabkan jejas kornea.
Patofisiologi Lengkap :
Anatomi patologis orbit GO ditandai dengan pembesaran otot ekstraokuler
dan kompartemen jaringan ikat / lemak retrobulbar. Pada GO, volume
jaringan ikat retroorbital dan otot ekstraokuler meningkat karena (1)
infiltrasi sel-sel mononuklear pada ruang retro orbital, yang didominasi oleh
sel T; (2) edema inflamasi dan pembengkakan otot otot ekstraokular; (3)
akumulasi komponen matriks ekstraseluler, terutama glikosaminoglikan
hidrofilik seperti asam hialuronat dan kondroitin sulfat; dan 14)
meningkatnya jumlah adiposit (infiltrasi lemak). Perubahan ini mendorong
bola mata ke depan dan berpotensi mengganggu fungsi otot- otot
ekstraokuler.
Peningkatan volume otot dan lemak dikaitkan dengan peningkatan
substansi dasar yang terdiri dari kolagen dan glikosaminoglikan (GAG).
GAG (terutama hialuronat) sangat hidrofilik dan dengan demikian menarik
banyak air, menyebabkan pembengkakan edema. Substansi dasar
terakumulasi di ruang endomysial antara serabut otot. Jumlah serat otot
tidak bertambah, dan tidak ada kerusakan pada sel otot kecuali pada kasus
yang sangat lanjut.
Jaringan retroorbital yang membengkak akan mengganggu drainase vena
kelopak mata dan konjungtiva, sehingga terjadi edema kelopak mata dan
chemosis. Pembengkakan kelopak mata juga bisa disebabkan oleh herniasi
lemak retrobulbar melalui lubang di septum orbital. Tekanan retroorbital
yang meningkat akan mendorong globe ke depan, menghasilkan
exophthalmos. Retraksi kelopak mata atas dan proptosis berkontribusi pada
paparan kornea yang berlebihan, yang bisa menjadi kering dan meradang.
Pembesaran otot ekstraokuler mengganggu relaksasi otot, bukan
kemampuan kontraksi otot. Misalnya, penurunan elevasi disebabkan oleh
relaksasi otot rektus inferior yang tidak memadai, yang dapat menyebabkan
diplopia saat menatap ke atas. Ditandai pembengkakan otot rektus di
puncak orbit (dikenal sebagai apical crowding), dekat dengan pintu masuk
saraf optik di kanal optik, dapat menekan saraf optik, mengakibatkan
terjadinya Eksoftalmus pada mata.
7.2. Meningkatkan thermogenesis dan metabolisme basal
ANALISIS MASALAH
5. Apakah ada hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan keluhan yang dialami
oleh Ny.D?
Jawab
Prevalensi kasus hipertiroidisme di Indonesia berkisar 6.9% (Indonesian Basic
Health Research Data, 2007) dan di Amerika Serikat, prevalensi keseluruhan
hipertiroidisme adalah 1,2%. 1 dan 0,8% di Eropa.2,3 Hipertiroidisme meningkat
berdasarkan umur dan lebih sering mengenai wanita. Perbandingan rasion antara
wanita dan laki-laki adalah 8:1 manifestasi muncul pada dekade ketiga dan
keempat dalam kehidupan. Penyakit Graves memiliki insiden puncak pada usia
antara 20 dan 40 tahun, dan perempuan tujuh kali lebih sering menderita penyakit
ini dibandingkan laki-laki. Kondisi ini merupakan gangguan umum dan
diperkirakan memengaruhi 1,5% sampai 2% perempuan di Amerika Serikat.
Faktor genetik memegang peranan penting pada penyakit Graves; Seperti halnya
gangguan autoimun lainnya, kerentanan genetik penyakit Graves terkait dengan
keberadaan human leukocyte antigen (HLA) haplotipe tertentu, khususnya HLA-
DR3, dan polimorfisme gen yang produknya mengatur respons sel T, termasuk
sel T penghambat reseptor CTLA-4 dan tirosin fosfatase PTPN22.