Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN HASIL BELAJAR MANDIRI

SKENARIO B BLOK 13

Disusun oleh:

Nama : Refi Nabilah Amelia


NIM : 04011182126026
Tutor : dr. Ella Amalia M.Kes

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN AKADEMIK 2023/2024
HIPERTIROIDISME DAN GRAVES DISEASE
A. Hipertiroidisme
1. Definisi
Hipertiroid adalah peningkatan kadar hormon tiroid bebas secara berlebihan
yang beredar dalam sirkulasi peredaran darah tubuh akibat hiperaktivitas kelenjar
tiroid yang ditandai dengan peningkatan kadar free Thyroxine fT4, Thyroxine
(T4), free Triiodothyronine (fT3) atau Triiodothyronine (T3) dan penurunan
Thyroid Stimulating Hormon (TSH). Penyakit hipertiroid merupakan salah satu
bentuk tirotoksikosis yang disebabkan peningkatan sintesis dan sekresi hormon
tiroid oleh kelenjar tiroid.
Dalam definisi lain, Hipertiroidisme adalah kondisi klinis yang disebabkan
oleh peningkatan konsentrasi hormon tiroid dalam jaringan akibat
peningkatan sintesis hormone oleh kelenjar tiroid berupa peningkatan pelepasan
hormon tiroid endogenous atau sumber ekstratiroidal eksogen. Produksi hormon
tiroid yang tinggi menyebabkan kadar hormon tiroid tinggi dalam aliran darah,
disebut tiroksikosis.
Tirotoksikosis mengacu pada manifestasi klinis akibat sirkulasi yang
berlebihan dari hormone tiroid. Tiroksikosis dengan hipertiroid atau hipertiroid
primer adalah kadar hormon tiroid tinggi ditandai dengan penyerapan iodium yang
normal atau tinggi. Tiroksikosis tanpa hipertiroid disebabkan oleh pelepasan
hormon tiroid-preformed ke sirkulasi darah akibat penyerapan iodium yang
rendah.
2. Etiologi
Penyebab paling umum dari hipertioroidisme adalah penyakit Graves, toksik
gondok multinodular, dan adenoma toksik. Penyebab lain yang jugaagak sering
dijumpai adalah tiroiditis, kemudian sebab yang jarang antara lain penyakit
trofoblastik, pemakaian berlebihan yodium ataupun obat hormon tiroid, obat
amiodaron dan hiperskresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH ). Beberapa
penyakit yang menyebabkan Hipertiroid yaitu :
2.1. Toxic Nodular Goiter
Merupakan benjolan leher akibat pembesaran tiroid yang berbentuk biji padat,
bisa satu atau banyak. Kata toxic berarti hipertiroid, sedangkan nodule atau
biji itu tidak terkontrol oleh TSH sehingga memproduksi 39ormone tiroid
yang berlebihan. Nodul tiroid memproduksi hormon tiroid secara berlebih
karena sinyal dari TSH atau antibodi reseptor TSH. Penyebab lainnya
termasuk hormon tirotropin yang menyebabkan tiroksikosis dan tumor
tropoblastik, dimana reseptor TSH distimulasi oleh kadar TSH yang berlebih
dan chorionic gonadotropin
2.2. Adenoma Tiroid
Hipertiroidisme kadang disebabkan oleh adanya adenoma setempat (suatu
tumor) yang tumbuh di dalam jaringan tiroid dan menyekresikan banyak sekali
39 ormone tiroid. Keadaan ini berbeda dengan tipe hipertiroidisme biasa. Pada
adenoma tiroid, tidak berkaitan dengan penyakit autoimun apa pun. Hal yang
perlu diperhatikan dari adenoma adalah bahwa tumor ini dapat secara terus-
menerus menyekresi banyak sekali 39ormone tiroid, sehingga fungsi sekresi
kelenjar tiroid yang tersisa hampir seluruhnya terhambat sebab 39ormone
tiroid yang dikeluarkan oleh adenoma tadi akan menekan produksi TSH oleh
kelenjar hipofisis.
2.3. Konsumsi obat Hormon Tiroid Yang Berlebihan
Keadaan demikian tidak jarang terjadi, karena periksa laboratorium dan
kontrol ke dokter yang tidak teratur. Sehingga pasien terus minum obat tiroid,
ada pula orang yang minum hormon tiroid dengan tujuan menurunkan badan
hingga timbul efek samping.
2.4. Tiroiditis (Radang kelenjar Tiroid)
Tiroditis merupakan inflamasi kelenjar tiroid yang biasanya disebabkan oleh
bakteri seperti streptococcus pyogenes, staphycoccus aureus dan pnemucoccus
pneumonia. Reaksi peradangan ini menimbulkan pembesaran pada kelenjar
tiroid, kerusakan sel dan peningkatan jumlah hormon tiroid. Tiroditis
dikelompokan menjadi tiroiditis subakut, tiroiditis posetpartum, dan tiroiditis
tersembunyi. Pada tiroiditis subakut terjadi pembesaran kelenjar tiroid dan
biasanya hilang dengan sendirinya setelah beberapa bulan. Tiroiditis
pesetpartum terjadi sekitar 8% wanita setelah beberapa bulan melahirkan.
Penyebabnya diyakini karena autoimun. Seperti halnya dengan tiroiditis
subakut, tiroiditis wanita dengan posetpartum sering mengalami
hipotiroidisme sebelum kelenjar tiroid benar-benar sembuh. Tiroiditis
tersembunyi juga disebabkan juga karna autoimun dan pasien tidak mengeluh
nyeri, tetapi mungkin juga terjadi pembesaran kelenjar. Tiroiditis tersembunyi
juga dapat mengakibatkan tiroiditis permanen

2.5. Produksi TSH yang Abnormal


Produksi TSH kelenjar hipofisis dapat memproduksi TSH berlebihan,
sehingga merangsang tiroid mengeluarkan T3 dan T4 yang banyak dan
memicu terjadinya peningkatan jumlah hormone tiroid
2.6. Penyakit graves (Grave’s Disease)
Bisa disebut juga dengan toksi goiter diffuse, merupakan penyakit yang
disebabkan karena autoimun, yaitu dengan terbentuknya antibody yang
disebut thyroid-stimulatin immunoglobulin (TSI) yang melekati sel-sel tiroid.
TSI meniru tindakan TSH dan merangsang tiroid untuk membuat hormon
tiroid terlalu banyak. Penyakit ini dicirikan adanya hipertiroidisme,
pembesaran kelenjar tiroid atau (goiter) dan eksoftalmus (mata yang melotot).
3. Epidemiologi
Penyakit Graves memiliki insiden puncak pada usia antara 20 dan 40 tahun, dan
perempuan tujuh kali lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan laki-laki.
Kondisi ini merupakan gangguan umum dan diperkirakan memengaruhi 1,5%
sampai 2% perempuan di Amerika Serikat. Seperti halnya gangguan autoimun
lainnya, kerentanan genetik penyakit Graves terkait dengan keberadaan human
leukocyte antigen (HLA) haplotipe tertentu, khususnya HLA-DR3, dan
polimorfisme gen yang produknya mengatur respons sel T, termasuk sel T
penghambat reseptor CTLA-4 dan tirosin fosfatase PTPN22
4. Klasifikasi
Hipertiroid terbagi menjadi hipertiroid primer dan subklinis. Hipertiroid primer
ditandai dengan kadar TSH rendah dan peningkatan kadar hormon tiroid, yaitu
T4, T3 atau keduanya. Hipertiroid subklinis ditandai dengan kadar TSH rendah,
tetapi kadar T4 dan T3 normal. Sedangkan hipertiroid sekunder ditandai dengan
TSH yang tinggi dan peningkatan kadar hormone tiroid yaitu T4.
Hipertiroid Primer Hipertiroid Subklinis Hipertiroid Sekunder

 Grave's disease  Tiroiditis subakut  Adenoma hipofisis


 Toxic multinodular  Silent Tiroiditis yang mensekresi
goiter  Penyebab lain TSH
 Toxic adenoma kerusakan tiroid:  Sindrom resistensi
 Functioning thyroid amiodaron, radiasi, hormon tiroid:
carcinoma infark adenoma kadang-kadang
metastases  Kelebihan hormon pasien mungkin
 Mengaktifkan mutasi tiroid (tirotoksikosis memiliki gambaran
reseptor TSH factitia) atau jaringan tirotoksikosis
 Mengaktifkan mutasi tiroid  Tumor yang
G (sindrom McCune- mensekresi chorionic
Albright) Struma gonadotropin
ovarii  Tirotoksikosis
 Obat-obatan: gestasional
kelebihan yodium
(fenomena Jod-
Basedow)

5. Patofisiologi

Hipertiroidisme secara umum disebabkan oleh produksi hormon tiroid berlebihan.


Mekanisme yang bertanggung jawab dalam hal ini diantaranya peningkatan
stimulasi reseptor TSH oleh immunoglobulin, auto-produksi hormon tiroid,
peningkatan sekresi tanpa peningkatan produksi hormon, peningkatan produksi
TSH dan asupan hormon tiroid berlebih. Hormon tiroid menstimulasi
kalorigenesis, katabolisme dan peningkatan sensitivitas terhadap katekolamin.
Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai
tiga kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-
lipatan sel-sel folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat
beberapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel
meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat dengan kecepatan 5-15
kali lebih besar daripada normal.
Pada hipertiroidisme, konsentrasi TSH plasma menurun, disebabkan terdapat
TSH, Biasanya bahan – bahan ini adalah antibodi immunoglobulin yang disebut
TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin), yang berikatan dengan reseptor
membran yang sama dengan reseptor yang mengikat TSH. Bahan – bahan tersebut
merangsang aktivasi cAMP dalam sel, sehingga menyebabkan produksi tiroid
yang berlebihan. Oleh sebab itu, pada pasien hipertiroidisme terjadi penurunan
TSH, sedangkan konsentrasi TSI meningkat. Bahan ini mempunyai efek
perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni selama 12 jam, berbeda
dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam. Tingginya sekresi hormon
tiroid yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga menekan pembentukan TSH
oleh kelenjar hipofisis anterior. Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid diharuskan
untuk mensekresikan hormon hingga diluar batas, sehingga untuk memenuhi
perintah tersebut, sel-sel sekretori kelenjar tiroid membesar.
6. Manifestasi Klinis
Penyakit hipertiroid dapat memberikan manifestasi klinis bermacam- macam yang
tergantung dari etiologi hipertiroid, yang mempengaruhi dari fungsi kerja jantung,
tekanan darah, metabolisme tubuh, ekskresi melalui ginjal, sistem gastrointestinal
serta otot dan lemak, sistem hematopoetik :
6.1. Penurunan Berat Badan
Peningkatan produksi hormon tiroid yang sangat tinggi hampir selalu
menurunkan berat badan. Efek-efek tersebut tidak selalu timbul; karena
hormon tiroid juga meningkatkan nafsu makan, dan ini mungkin merupakan
upaya penyeimbangan terhadap peningkatan laju metabolisme.
6.2. Peningkatan Aliran Darah dan Curah Jantung
Meningkatnya metabolisme jaringan mempercepat pemakaian oksigen dan
memperbanyak pelepasan jumlah produk akhir metabolisme dari jaringan.
Efek ini menyebabkan vasodilatasi di sebagian besar jaringan tubuh, sehingga
meningkatkan aliran darah. Kecepatan aliran darah di kulit terutama
meningkat karena kebutuhan untuk pembuangan panas dari tubuh meningkat.
Sebagai akibat meningkatnya aliran darah, maka curah jantung juga akan
meningkat, sering kali meningkat sampai 60 persen atau lebih di atas normal
bila terdapat kelebihan hormon tiroid dan turun sampai hanya 50 persen dari
normal pada keadaan hipotiroidisme yang berat.
6.3. Peningkatan Frekuensi Denyut Jantung
Frekuensi denyut jantung lebih meningkat di bawah pengaruh hormon tiroid
daripada perkiraan peningkatan curah jantung. Oleh karena itu, hormon tiroid
tampaknya mempunyai pengaruh langsung pada eksitabilitas jantung, yang
selanjutnya meningkatkan frekuensi denyut jantung.
6.4. Ginjal.
Hipertiroid tidak menimbulkan symptom yang dapat dijadikan acuan terhadap
traktus urinaria kecuali polyuria sedang. Meskipun aliran darah ginjal, filtrasi
glomerulus, dan reabsorbsi tubulus serta sekretori maxima meningkat. Total
pertukaran potassium menurun karena penurunan massa tubuh.
6.5. Metabolisme tubuh
Penyakit hipertiroid ini meningkatkan metabolisme jaringan, yang
menyebabkan peningkatan venous return akibat meningkatnya metabolisme
jaringan yang kemudian mempengaruhi vasodilatasi perifer dan arteriovenous
shunt. Dengan terjadinya peningkatan vasodilatasi perifer dan arteriovenous
shunt maka darah yang terkumpul semakin bertambah sehingga venous return
ke jantung akan meningkat, disamping itu vasodilatasi perifer yang terjadi
juga meningkatkan penguapan sehingga pengeluaran keringat bertambah.
6.6. Sistem gastrointestinal
Hipertiroid juga meningkatkan absorbsi karbohidrat tetapi hal ini tidak
sebanding dengan penyimpanan karbohidrat karena metabolisme pada
hipertiroid meningkat sehingga simpanan karbohidrat berkurang dan lebih
banyak dipakai dan juga meningkatkan motilitas usus, yang kemudian
mengakibatkan pasien hipertiroid mengalami hiperfagi dan hiperdefekasi.
6.7. Otot dan lemak
Pada pasien hipertiroid secara fisik mengalami penurunan berat badan dan
tampak kurus karena hal ini disebabkan peningkatan metabolisme jaringan
dimana simpanan glukosa beserta glukosa yang baru diabsorbsi digunakan
untuk menghasilkan energi yang akibatnya terjadi pengurangan massa otot.
Hal ini juga terjadi pada jaringan adiposa/lemak yang juga mengalami lipolisis
dimana simpanan lemak juga akan dimetabolisme untuk menghasilkan energi.
Dan bila simpanan glukosa dan lemak ini berkurang maka tubuh akan
memetabolisme protein yang tersimpan di dalam otot sehingga massa otot
akan semakin berkurang. Sehingga pada otot akan terjadi kelemahan dan
kelelahan yang tidak dapat dihubungkan dengan bukti penyakit secara
objektif.
6.8. Efek pada Tidur
Oleh karena efek yang melelahkan dari hormon tiroid pada otot dan sistem
saraf pusat, maka pasien hipertiroid sering kali merasa lelah terus-menerus;
tetapi karena efek eksitasi dari hormon tiroid pada sinaps, timbul kesulitan
tidur. Sebaliknya, somnolen yang berat merupakan gejala khas hipotiroidisme,
disertai dengan waktu tidur yang berlangsung selama 12 sampai 14 jam sehari.
6.9. Eksoftalmus
Sebagian besar pasien hipertiroidisme juga mengalami protrusi bola mata.
Keadaan ini disebut sebagai eksoftalmos. Kira-kira sepertiga pasien
hipertiroidisme menderita gejala eksoftalmos yang parah, dan pada beberapa
keadaan dapat menjadi sangat parah, karena protrusi bola mata dapat menarik
saraf optik yang dapat merusak fungsi penglihatan pasien. Kerusakan pada
mata yang paling sering disebabkan karena kelopak mata tidak dapat menutup
sempurna pada waktu pasien berkedip atau tidur. Akibatnya, permukaan epitel
mata menjadi kering dan mudah mengalami iritasi dan sering kali terinfeksi,
sehingga timbul ulkus pada kornea pasien.
6.10. Hemopoetik
Pada hipertiroid menyebabkan peningkatan eritropoiesis dan eritropoetin
karena kebutuhan akan oksigen meningkat. Hal ini disebabkan karena
peningkatan metabolisme tubuh pada hipertiroid.
6.11. Sistem Respirasi
Dyspnea biasanya terjadi pada hipertiroid berat dan faktor pemberat juga ikut
dalam kondisi ini. Kapasitas vital biasanya tereduksi kareana kelemahan otot
respirasi. Selama aktivitas, ventilasi meningkat untuk memenuhi pemenuhan
oksigen yang meningkat, tapi kapasitas difus paru normal.

7. Komplikasi
7.1. Penyakit Jantung, terutama kardioditis dan gagal jantung.
Hormon tiroid secara langsung mempengaruhi jantung dan sistem vaskular
perifer. Hormon tersebut dapat meningkatkan inotropi miokard dan denyut
jantung serta melebarkan arteri perifer untuk meningkatkan curah jantung.
Pengikatan hormon tiroid ke TRE (thyroid responsive elements) dapat
mengaktifkan atau menekan ekspresi gen, sehingga mengatur ekspresi RNA
messenger spesifik dan protein translasi dan menghasilkan respons spesifik
jaringan yang berbeda. Gen pengatur hormon tiroid juga terlibat dalam protein
struktural dan pengatur, dan paparan jangka panjang terhadap kadar T3 yang
tinggi dapat meningkatkan sintesis protein jantung, yang menyebabkan
hipertrofi dan disfungsi jantung. Aktivitas nongenomik ekstranuklear memicu
perubahan cepat pada jantung. membran plasma miosit dan organel
sitoplasma. Ini termasuk perubahan saluran ion natrium, kalium, dan kalsium;
perubahan polimerisasi sitoskeleton aktin; dan perubahan pada jalur sinyal
intraseluler di jantung dan sel otot polos. Mekanisme genomik dan
nongenomik bekerja bersama untuk mengatur fungsi jantung dan
hemodinamik kardiovaskular. Misalnya, mekanisme tersebut meningkatkan
ekspresi ATPase yang diaktifkan kalsium retikulum sarkoplasma dan
menurunkan regulasi ekspresi fosfolamban, sehingga meningkatkan relaksasi
miokard. Mereka juga meningkatkan ekspresi isoform kontraktil yang lebih
cepat dari rantai berat miosin (isoform), yang berkontribusi pada peningkatan
fungsi sistolik. T3 juga meningkatkan laju depolarisasi dan repolarisasi nodus
sinoatrial, sehingga meningkatkan denyut jantung. Akibatnya, hormon tiroid
memiliki efek inotropik dan kronotropik positif pada jantung yang, bersama
dengan sensitivitas adrenergik yang meningkat, menyebabkan peningkatan
denyut jantung dan kontraktilitas pada hipertiroidisme. Seperti semua sistem
tubuh, kerja jantung dipercepat dengan terlalu banyak hormon tiroid. Seiring
perkembangan penyakit, masalah yang lebih serius dapat berkembang seperti
detak jantung tidak teratur yang mengancam jiwa, tekanan darah tinggi yang
berbahaya, dan gagal jantung kongestif
7.2. Stromatiroid (tirotoksikosis)
Pada periode akut pasien mengalami demam tinggi, takikardia berat, derilium,
dehidrasi, dan iritabilitas ekstrim. Keadaan ini merupakan keadaan emergency
sehingga penganganan lebih khusus.
7.3. Mata
Ketika sistem kekebalan menyerang otot dan jaringan okuler lainnya di rongga
mata, pembengkakan dan jaringan parut akibat peradangan menyebabkan
gejala dan tanda yang disebut ophthalmic grave. Pada kasus yang parah,
selaput bening mata (kornea) dapat mengalami ulserasi, atau saraf optik dapat
rusak, yang salah satunya dapat mengakibatkan hilangnya penglihatan secara
permanen jika tidak ditangani dengan tepat. Ulserasi pada kornea sering
disebabkan oleh kombinasi mata yang menonjol ke depan dan jaringan parut
yang mengakibatkan kelopak mata tertarik ke belakang. Sedangkan saraf optik
rusak karena otot yang menebal, meradang dan/atau bekas luka menimpa saraf
optik di bagian belakang soket. Mata sangat rentan karena serangan autoimun
sering menargetkan otot mata dan jaringan ikat di dalam rongga mata. Hal ini
mungkin terjadi karena jaringan ini mengandung protein yang tampak mirip
bagi sistem kekebalan seperti yang dimiliki kelenjar tiroid.keadaan dimana
bola mata pasien menonjol benjol keluar, hal ini disebabkan karena
penumpukkan cairan pada rongga orbita bagian belakang bola mata. Biasanya
terjadi pasien dengan penyakit graves
7.4. Tulang
Osteoporosis atau tulang yang lemah dan rapuh adalah bahaya lain dari
hipertiroidisme yang tidak diobati. Tulang adalah jaringan aktif. Tulang terus-
menerus melalui proses yang disebut remodeling. Siklus ini melibatkan
melarutkan tulang lama dan membentuk tulang baru. Tiroid yang terlalu aktif
dapat mengganggu keseimbangan siklus ini menyebabkan pengeroposan
tulang dan mengganggu kemampuan tubuh untuk memasukkan kalsium ke
dalam tulang. Kedua hal ini melemahkan tulang, menempatkan pasien pada
risiko patah tulang
7.5. Gastrointestinal
Hormon tiroid dapat merangsang motilitas usus, yang dapat menimbulkan
peningkatan motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan memperlambat
transit usus serta konstipasi pada hipotiroidisme.Tiroid yang terlalu aktif
menyebabkan pencernaan lebih cepat dari biasanya, mempercepat apa yang
disebut waktu transit. Tiroid yang terlalu aktif juga terus-menerus merangsang
otot-otot di usus. Hal ini dapat menyebabkan sering buang air besar yang
berpotensi mempengaruhi kesehatan. Buang air besar yang lebih sering
terutama jika tinja yang dikeluarkan encer dapat menyebabkan dehidrasi dan
masalah penyerapan nutrisi.
7.6. Thyroid Storm atau Badai Tiroid
Hipertiroidisme yang tidak diobati atau tidak dikelola dapat menyebabkan
kasus hipertiroidisme ekstrem yang disebut sebagai badai tiroid.
Mencerminkan keadaan hipermetabolik hipertiroidisme, pasien yang
mengalami badai tiroid akan datang dengan takikardia, peningkatan motilitas
GI, diaforesis, kecemasan, dan demam. Badai tiroid adalah komplikasi
hipertiroidisme yang berpotensi mengancam jiwa, sehingga membutuhkan
perhatian segera. Penatalaksanaan badai tiroid atau kecurigaan badai tiroid
tingkat tinggi harus mencakup terapi thionamide (methimazole atau
propylthiouracil). PTU, khususnya, berguna karena penghambatannya
terhadap konversi T4 ke T3 perifer. Blokade beta juga dapat digunakan dalam
manajemen gejala.
8. Faktor Resiko
 Memiliki riwayat gangguan tiroid sebelumnya seperti goiter atau pernah
menjalani operasi kelenjar tiroid.
 Memiliki riwayat penyakit autoimun seperti diabetes mellitus dan gangguan
hormonal.
 Adanya riwayat gangguan tiroid di keluarga.
 Mengkonsumsi iodine dalam jumlah berlebihan secara kronik.
 Menggunakan obat-obatan yang mengandung iodine seperti amiodarone.
9. Pencegahan
9.1. Menghentikan Penggunaan Rokok
Hal ini dilakukan karena rokok mengandung zat kimia berbahaya yang bisa
menghambat kinerja organ dan jaringan, termasuk kelenjar tiroid. Zat kimia
rokok dapat menganggu penyerapan yodium yang pada akhirnya
meningkatkan risiko terjadinya orbitopathy graves atau dikenal dengan
kelainan mata menonjol akibat hipertiroid.
9.2. Menghentikan Konsumsi Minuman Beralkohol
9.3. Konsumsi Makanan Sehat
Dilakukan untuk menjaga kesehatan kelenjar tiroid, kacang kedelai menjadi
salah satu makanan yang direkomendasi yang berupa tempe, tahu, atau susu
kedelai. Selain itu mengkomsumsi asupan selenium seperti udang, salmon,
kepiting, ayam, telur, bayam, jamur shitake, dan beras merah.
9.4. Mengecek Kesehatan Tiroid
Untuk mencegah terjadinya hipertiroid adalah melakukan pemeriksaan
kelenjar tiroid secara berkala, tes ini dilakukan dengan mendeteksi adanya
benjolan atau pembengkakan sekitar leher. Apabila tidak ada benjolan tetapi
ada gejal-gejala tiroid, seperti mudah berkeringat, lebih sensitif dengan panas,
siklus menstruasi dan nafsu makan berubah, segera periksakan diri ke dokter.
10. Diagnosis
Diagnosis hipertiroidisme ditegakkan tidak hanya berdasarkan gejala dan tanda
klinis yang dialami pasien, tetapi juga berdasarkan hasil laboratorium dan
radiodiagnostik.
10.1. Anamnesis
Anamnesis Gejala klinis hipertiroid meliputi cemas, emosi yang labil, lemah,
tremor, palpitasi, heat intolerance, dan penurunan berat badan walaupun nafsu
makan bertambah. Gejala lainnya meliputi peningkatan frekuensi defekasi,
frekuensi miksi, oligomenorea atau amenorea pada wanita, dan ginekomastia
serta disfungsi ereksi pada pria. Pada pasien hipertiroid yang masih ringan,
khususnya pada populasi geriatri, gejala bisa tidak jelas. Gejala klinis dapat
bervariasi mulai dari penurunan berat badan, lemas, sesak nafas saat aktivitas,
dan peningkatan nafsu makan. Sedangkan pada kasus hipertiroid subklinis
pasien bisa asimptomatik.
10.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan tanda vital akan ditemukan takikardia, pulsus defisit, dan
hipertensi sistolik. Temuan pemeriksaan fisik lain meliputi kulit teraba hangat
dan lembap, rambut tipis dan halus, tremor, kelemahan otot proksimal, dan
hiperrefleks. Tanda eksolftalmus, edema konjungtiva dan periorbita,
pergerakan kelopak mata yang terbatas atau terhambat (lid lag), serta
miksedema pretibia hanya dijumpai pada Grave’s disease. Pada pemeriksaan
fisik tiroid, kelenjar tiroid akan teraba dan terlihat membesar tanpa nyeri pada
palpasi. Ukurannya difus pada Grave’s disease, sedangkan pada kasus
adenoma toksis atau toksik multinodular goitre akan teraba nodul disertai
pembesaran yang tidak simetris.
10.3. Pemeriksaan Penunjang
10.3.1. Thyroid stimulating hormone TSH
Thyroid stimulating hormone (TSH) merupakan hormon yang
diproduksi oleh hipofisis untuk menstimulasi pembentukan dan sekresi
hormon tiroid oleh kelenjar tiroid. Pada kondisi normal terdapat
negative feedback pada pengaturan sekresi TSH dan hormon tiroid di
sistem pituitary- thyroid axis. Apabila kadar hormon tiroid di aliran
darah melebihi normal, maka hipofisis akan mengurangi sekresi TSH
yang pada akhirnya akan mengembalikan kadar hormon tiroid kembali
normal. Sebaliknya apabila kadar hormon tiroid rendah maka hipofisis
akan mensekresi TSH untuk memacu produksi hormon tiroid.
Pemeriksaan serum TSH disarankan sebagai pemeriksaan lini pertama
pada kasus hipertiroidisme karena perubahan kecil pada hormon tiroid
akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kadar serum TSH.
Sehingga pemeriksaan serum TSH sensitivitas dan spesifisitas paling
baik dari pemeriksaan darah lainnya untuk menegakkan diagnosis
gangguan tiroid. Pada semua kasus hipertiroidisme (kecuali
hipertiroidisme sekunder atau yang disebabkan produksi TSH
berlebihan) serum TSH akan sangat rendah dan bahkan tidak terdeteksi
(<0.01 mU/L). Hal ini bahkan dapat diamati pada kasus
hipertiroidisme ringan dengan nilai T4 dan T3 yang normal sehingga
pemeriksaan serum TSH direkomendasikan sebagai pemeriksaan
standar yang harus dilakukan (Bahn et al, 2011).
10.3.2. Serum Tiroksin (T4) dan Triiodotironin (T3)
Pemeriksaan serum tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)
direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar untuk diagnosis
hipertiroidisme. Pemeriksaan utamanya dilakukan pada bentuk bebas
dari hormon tiroid karena yang menimbulkan efek biologis pada sistem
tubuh adalah bentuk tak terikatnya. Pada awal terapi baik dengan obat
anti tiroid, iodine radioaktif dan tiroidektomi pemeriksaan kadar
hormon tiroid perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi sebelum
terapi. Satu bulan setelah terapi perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
free T4, total T3 dan TSH untuk mengetahui efektivitas terapi yang
diberikan dan pemeriksaan dilakukan setiap satu bulan hingga pasien
euthyroid (Bahn et al, 2011). Selain itu dari rasio total T3 dan T4 dapat
digunakan untuk mengetahui etiologi hipertiroidisme yang diderita
pasien. Pada pasien hipertiroidisme akibat Graves’ Disease dan toxic
nodular goiter rasio total T3 dan T4> 20 karena lebih banyak T3 yang
disintesis pada kelenjar tiroid hiperaktif dibandingkan T4 sehingga
rasio T3 lebih besar. Sedangkan pada pasien painless thyroiditis dan
post-partum thyroiditis rasio total T3 dan T4< 20
10.3.3. Thyroid Receptor Antibodies (TRAb)
Dalam menegakkan diagnosis hipertiroidisme akibat autoimun atau
Graves’ disease perlu dilakukan pemeriksaan titer antibodi. Tipe TRAb
yang biasanya diukur dalam penegakan diagnosis Graves’ disease
adalah antithyroid peroxidase antibody (anti-TPOAb), thyroid
stimulating antibody (TSAb), dan antithyroglobuline antibody (anti-
TgAb). Ditemukannya TPOAb, TSAb dan TgAb mengindikasikan
hipertiroidisme pasien disebabkan karena Graves’ disease. TPOAb
ditemukan pada 70–80% pasien, TgAb pada 30–50% pasien dan TSAb
pada 70–95% pasien (Joshi, 2011). Pemeriksaan antibodi dapat
digunakan untuk memprediksi hipertiroidisme pada orang dengan
faktor risiko misal memiliki keluarga yang terkena gangguan tiroid dan
tiroiditis post partum.Pada wanita hamil yang positif ditemukan
TPOAb dan TgAb pada trimester pertama memiliki kemungkinan 30 –
50% menderita tiroiditis post partum (Stagnaro-Green et al, 2011).
10.3.4. Radioactive Iodine Uptake
Iodine radioaktif merupakan metode yang digunakan untuk
mengetahui berapa banyak iodine yang digunakan dan diambil melalui
transporter Na+/I- di kelenjar tiroid. Pada metode ini pasien diminta
menelan kapsul atau cairan yang berisi iodine radioaktif dan hasilnya
diukur setelah periode tertentu, biasanya 6 atau 24 jam kemudian. Pada
kondisi hipertiroidisme primer seperti Graves’ disease, toxic adenoma
dan toxic multinodular goiter akan terjadi peningkatan uptake iodine
radioaktif. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan bagi pasien wanita
yang hamil atau menyusui (Beastall et al, 2006)
10.3.5. Scintiscanning
Scintiscanning merupakan metode pemeriksaan fungsi tiroid dengan
menggunakan unsur radioaktif. Unsur radioaktif yang digunakan dalam
tiroid scintiscanning adalah radioiodine (I131) dan technetium
(99mTcO4-). Kelebihan penggunaan technetium radioaktif daripada
iodine diantaranya harganya yang lebih murah dan pemeriksaan dapat
dilakukan lebih cepat. Namun kekurangannya risiko terjadinya false-
positive lebih tinggi, dan kualitas gambar kurang baik dibandingkan
dengan penggunaan radioiodine (Gharib et al, 2011).
B. Grave Disease
1. Definisi
Penyakit grave’s merupakan salah satu jenis penyakit autoimun yang gejala
klinisnya khas yang berkaitan dengan tirotoksikosis, pembesaran kelenjar tiroid,
serta gejala-gejala opthalmologi seperti eksopthalmus hingga diplopia. Graves’
Disease adalah penyakit autoimun yang utamanya mempengaruhi kelenjar tiroid.
Penyakit ini adalah penyebab paling umum dari hipertiroidisme. Graves’ Disease
adalah penyakit dengan manifestasi sistemik yang utamanya mempengaruhi
jantung, otot rangka, mata, kulit, tulang, dan hati. Graves’ Disease adalah salah
satu jenis gangguan pada sistem kekebalan tubuh yang menjadi penyebab umum
hipertiroid, yaitu sekitar 60- 80% dari seluruh kasus hipertiroid di dunia.
Graves’ Disease melibatkan thyroid-stimulating immunoglobulin (TSI) yang
berikatan dengan thyroidstimulating hormone receptor (TSHR) pada kelenjar
tiroid. Penyakit ini disebabkan karena adanya antibodi yang kerjanya menyerupai
Thyroid Stimulating Hormone (TSH) yang beredar dalam sirkulasi. Antibodi
tersebut kemudian merangsang Reseptor TSH yang berada di kelenjar tiroid,
sehingga terjadi peningkatan produksi hormon tiroid. Penyakit ini ditandai oleh
tiga serangkai manifestasi, yaitu:
• Tirotoksikosis, yang disebabkan oleh pembesaran tiroid dengan fungsi
berlebih.
• Terdapat oftalmopati infiltratif yang mengakibatkan eksoftalmus, ditemukan
pada 40% pasien.
• Dermopati infiltratif (terkadang berupa miksedema pretibia), ditemukan pada
sebagian kecil kasus
2. Etiologi
Penyakit ini lebih sering terjadi pada kembar monozigot daripada kembar
dizigotik. Graves’ Disease dipicu oleh faktor lingkungan seperti stres, merokok,
infeksi, paparan yodium, dan pasca persalinan, serta setelah terapi antiretroviral
yang sangat aktif (Highly Active Antiretroviral Therapy /HAART) karena
rekonstitusi/pemulihan imun. Pada intinya, interaksi yang kompleks antara faktor
eksistensial, varian genetik, dan faktor lingkungan menentukan kerentanan subjek
untuk mengembangkan Graves’ Disease.

3. Epidemiologi
Graves’ Disease adalah penyebab paling umum terkait hipertiroidisme, dengan
insiden 20 hingga 50 kasus per 100.000 orang. Menurut Hussain YS, dkk pada
tahun 2017, Graves’ Disease berkaitan dengan 60-80% dari kasus-kasus
hipertiroid. Puncak insiden berada di antara 30 dan 50 tahun, tetapi orang dapat
terkena pada usia berapa pun. Risiko seumur hidup adalah 3% untuk wanita dan
0,5% untuk pria. Berdasarkan data dari Nurses’ Health Study II (NHSII), insiden
tahun ke-12 di antara wanita berusia 25 sampai 42 tahun adalah setinggi 4,6 kasus
per 1000 wanita. Insiden tahunan oftalmopati terkait Graves’ Disease adalah 16
kasus per 100.000 wanita dan 3 kasus per 100.000 pria. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada orang kulit putih daripada orang Asia. Oftalmopati yang parah lebih
mungkin berkembang pada pria yang lebih tua dibandingkan pada pria yang lebih
muda. Terjadi abnormalitas yang ringan di bidang orbital/penglihatan orbital pada
70% pasien dengan Graves’ Disease. Di pusat-pusat khusus, konsekuensi klinis
oftalmopati terdeteksi pada hingga 50% pasien dengan penyakit Graves, dan
mengancam penglihatan sebagai akibat kerusakan kornea atau neuropati optik
dalam 3 sampai 5% dari pasien tersebut.
4. Patofisiologi
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen
yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B
untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis
akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan
merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody.
Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan
aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme otoimunitas merupakan faktor
penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati
pada penyakit Graves.
Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R).
Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada
permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam
proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita
penyakit Graves. Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen
diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan
mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti
DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T.
Penyakit autoimun ini dimulai ketika tubuh secara salah menghasilkan
thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) yang juga dikenal dengan longacting
thyroid stimulator (LATS), suatu antibodi yang sasarannya adalah reseptor TSH di
sel tiroid. (Penyakit autoimun adalah kondisi ketika sistem imun menghasilkan
antibodi bagi salah satu jaringan tubuh sendiri.) TSI merangsang sekresi dan
pertumbuhan tiroid mirip dengan yang dilakukan oleh TSH. Namun, tidak seperti
TSH, TSI tidak dipengaruhi oleh inhibisi umpanbalik negatif hormon tiroid
sehingga sekresi dan pertumbuhan tiroid berlanjut tanpa kendali.
Thyroid-stimulating immunoglobulin (TSI), suatu antibodi yang secara salah
diproduksi pada penyakit autoimun Graves, berikatan dengan reseptor TSH di
kelenjar tiroid dan secara terus-menerus merangsang rekresi hormon tiroid di luar
sistem kontrol umpan-balik negatif yang normal. Penyakit Graves disebabkan oleh
thyroid stimulating immunoglobulin (TSI), juga dikenal sebagai thyroid
stimulating antibody (TSAb) (Pokhrel & Bhusal, 2020). TSI tersebut mengambil
alih tugas dari TSH, dimana TSI tersebut berikatan dengan TSH reseptor yang
terletak di membran sel – sel folikular kelenjar tiroid, hal ini mengakibatkan
proteinprotein (TSI) tersebut akhirnya merangsang sel-sel folikel tiroid untuk
menghasilkan hormon tiroid.
Sintesis TSI diawali dari, limfosit B terutama mensintesis imunoglobulin
perangsang tiroid di dalam sel tiroid, tetapi juga dapat disintesis di kelenjar getah
bening dan sumsum tulang. Limfosit B dirangsang oleh limfosit T yang
disensitisasi oleh antigen di kelenjar tiroid. Antigen – antigen tersebut
thyroglobulin, thyroid peroxidase, sodium-iodide symporter dan thyrotropin
receptor, namun thyrothropin receptor sendiri menjadi autoantigen primer yang
sebabkan hipertiroid. Imunoglobulin perangsang tiroid mengikat reseptor hormon
perangsang tiroid (TSH) atau pada hal ini disebut dengan thyrothropin receptor,
pada membran sel tiroid dan merangsang kerja hormon perangsang tiroid. Ini
merangsang sintesis hormon tiroid dan pertumbuhan kelenjar tiroid, menyebabkan
hipertiroidisme dan tiromegali. Hal ini berlangsung terus menerus dimana fungsi
TSH diganti dengan TSI yang terus berikatan dengan TSH reseptor di membran
sel, TSI yang disintesis dari sel-sel plasma yang telah diinisiasi oleh sel Limfosit
B.
5. Patogenesis
Graves’ disease adalah penyakit autoimun spesifik organ yang sebagian besar
manifestasinya disebabkan oleh sirkulasi autoantibodi (Ab) yang merangsang
reseptor TSH sehingga mengakibatkan terjadinya hipertiroid dan goiter. Sirkulasi
TSH-R-Ab berikatan dengan reseptor TSH dan merangsang akitivitasnya,
meningkatkan produksi cAMP intraseluler, sehingga mengakibatkan pelepasan
hormon tiroid dan pertumbuhan sel-sel tiroid (thyrocytes).
Beberapa studi kembar besar telah melaporkan tingkat konkordansi yang lebih
besar dari penyakit Graves pada kembar monozigotik daripada kembar dizigotik,
dengan tingkat konkordansi pada kembar monozigotik yang relatif rendah (∼17%
hingga ∼35%), namun masih cukup signifikan untuk menjelaskan adanya
pengaruh genetik, kemungkinan ditandai oleh penetrasi rendah gen yang terlibat.
Studi kembar menunjukkan bahwa 80% kerentanan terhadap penyakit Graves’
adalah genetik, berhubungan dengan adanya haplotipe human leukocyte antigen
tertentu (HLA-DR3 dan HLA-DR4).
6. Faktor Resiko
Sekitar 80% faktor risiko Grave's disease diperankan oleh genetik dan sisanya
adalah faktor lingkungan. Berdasarkan penelitian, sekitar 30% pasien dengan
Grave's disease memiliki anggota keluarga yang juga menderita Grave's disease
dan penyakit tiroiditis Hashimoto serta terdapat hubungan alel dari major
histocompatibility complex dengan Grave's disease yang diperankan oleh HLA-
DR3 dan HLA-DR4. Faktor lingkungan yang menimbulkan risiko Grave's disease
ini adalah rokok, makanan yang mengandung iodin tinggi, stres, dan kehamilan.
Kontrasepsi oral dan jenis kelamin laki-laki merupakan faktor protektif terhadap
penyakit ini. Beberapa faktor di bawah ini diketahui dapat meningkatkan risiko
seseorang mengalami Grave’s disease :
- Berjenis kelamin Wanita
- Memiliki riwayat Grave’s disease dalam keluarga
- Menderita penyakit autoimun lainnya, seperti rheumatoid arthritis atau
diabetes tipe 1
- Mengalami stress
- Baru melahirkan dalam rentang 1 tahun
- Pernah mengalami infeksi mononucleosis
- Memiliki kebiasaan merokok
7. Manifestasi Klinis
7.1. Eksoftalmus
Adanya eksopthalmus disebabkan karena antibodi IgG, juga dapat bekerja
pada jaringan ikat di sekitar orbita yang memiliki protein yang menyerupai
reseptor TSH. Pengaktifan reseptor tersebut menyebabkan pembentukan
sitokin, membantu pembentukan glikosisaminoglikan yang hidrofilik pada
jaringan fibroblast di sekitar orbita yang berakibat pada peningkatan
tekanan osmotik, peningkatan volume otot ekstra okular, akumulasi cairan
dan secara klinis menimbukan opthalmopati. Eksoftalmus dapat menetap
atau memburuk walaupun pengobatan tirotoksikosis telah berhasil, kadang-
kadang menyebabkan jejas kornea.

Patofisiologi Lengkap :
Anatomi patologis orbit GO ditandai dengan pembesaran otot ekstraokuler
dan kompartemen jaringan ikat / lemak retrobulbar. Pada GO, volume
jaringan ikat retroorbital dan otot ekstraokuler meningkat karena (1)
infiltrasi sel-sel mononuklear pada ruang retro orbital, yang didominasi oleh
sel T; (2) edema inflamasi dan pembengkakan otot otot ekstraokular; (3)
akumulasi komponen matriks ekstraseluler, terutama glikosaminoglikan
hidrofilik seperti asam hialuronat dan kondroitin sulfat; dan 14)
meningkatnya jumlah adiposit (infiltrasi lemak). Perubahan ini mendorong
bola mata ke depan dan berpotensi mengganggu fungsi otot- otot
ekstraokuler.
Peningkatan volume otot dan lemak dikaitkan dengan peningkatan
substansi dasar yang terdiri dari kolagen dan glikosaminoglikan (GAG).
GAG (terutama hialuronat) sangat hidrofilik dan dengan demikian menarik
banyak air, menyebabkan pembengkakan edema. Substansi dasar
terakumulasi di ruang endomysial antara serabut otot. Jumlah serat otot
tidak bertambah, dan tidak ada kerusakan pada sel otot kecuali pada kasus
yang sangat lanjut.
Jaringan retroorbital yang membengkak akan mengganggu drainase vena
kelopak mata dan konjungtiva, sehingga terjadi edema kelopak mata dan
chemosis. Pembengkakan kelopak mata juga bisa disebabkan oleh herniasi
lemak retrobulbar melalui lubang di septum orbital. Tekanan retroorbital
yang meningkat akan mendorong globe ke depan, menghasilkan
exophthalmos. Retraksi kelopak mata atas dan proptosis berkontribusi pada
paparan kornea yang berlebihan, yang bisa menjadi kering dan meradang.
Pembesaran otot ekstraokuler mengganggu relaksasi otot, bukan
kemampuan kontraksi otot. Misalnya, penurunan elevasi disebabkan oleh
relaksasi otot rektus inferior yang tidak memadai, yang dapat menyebabkan
diplopia saat menatap ke atas. Ditandai pembengkakan otot rektus di
puncak orbit (dikenal sebagai apical crowding), dekat dengan pintu masuk
saraf optik di kanal optik, dapat menekan saraf optik, mengakibatkan
terjadinya Eksoftalmus pada mata.
7.2. Meningkatkan thermogenesis dan metabolisme basal

Efek seluler dari pengikatan T3 ke reseptor alfa dan beta meningkatkan


termogenesis dan tingkat metabolisme basal. Hal ini dapat mengakibatkan
gejala konstitusional penurunan berat badan, kelelahan dan intoleransi
panas. Perubahan kulit dapat terjadi termasuk hangat, kulit lembab dengan
penipisan rambut dan miksedema pretibial di Grave Disease. Manifestasi
muskuloskeletal termasuk kelemahan, peningkatan resorpsi tulang,
osteoporosis dan peningkatan risiko patah tulang. Pasien dapat
mengembangkan limfadenopati, ginekomastia pada pria atau oligomenore
pada wanita. Manifestasi Gastrointestinal (GI) termasuk disfagia,
hiperdefekasi , diare dan rasa lapar.

Eksaserbasi tirotoksikosis yang tiba-tiba dan parah, dengan demam,


takikardia yang nyata, tremor, mual dan muntah, diare, dehidrasi, gelisah,
agitasi ekstrem, delirium atau koma. Demam khas dan mungkin lebih tinggi
dari 105,8 F (41 C). Pasien mungkin datang dengan psikosis sejati atau
penurunan nyata dari perilaku abnormal sebelumnya seperti apatis, dengan
kelemahan ekstrem, apatis emosional, kebingungan. Demam dan muntah
dapat menyebabkan dehidrasi dan azotemia prerenal. Nyeri perut mungkin
merupakan ciri yang menonjol. Gambaran klinis mungkin tertutup oleh
infeksi sekunder seperti pneumonia, infeksi virus, atau infeksi saluran
pernapasan bagian atas. Kematian dapat disebabkan oleh aritmia jantung,
gagal jantung kongestif, hipertermia, atau faktor lain yang tidak diketahui.

7.3. Gangguan hemodinamik kardiovaskuler

Manifestasi kardiovaskular yang paling umum dari hipertiroidisme adalah


hipertensi (HTN) dan takikardia. Patofisiologi hipertensi dengan
hipertiroidisme beragam. Dalam kondisi normal, efek jaringan T3 penting
untuk homeostasis. Masalah terjadi ketika T3 berlebihan karena secara
langsung meningkatkan kontraktilitas jantung dan mendilatasi arteriol, yang
menurunkan resistensi vaskular sistemik dan pengisian arteri. Pada
gilirannya, ini merangsang pelepasan renin dan aktivasi aksis angiotensin-
aldosteron. Selain itu, hormon tiroid menargetkan saluran ion tertentu
termasuk kalsium / calmodulin-dependent kinase IV yang berperan dalam
aktivitas sintase oksida nitrat endotel yang berkontribusi untuk mengontrol
tonus pembuluh darah dan regulasi tekanan darah. Dengan demikian,
tirotoksikosis dikaitkan dengan kekakuan arteri . Kelebihan hormon tiroid
juga menyebabkan peningkatan kadar peptida natriuretik atrium, peptida
natriuretik otak, endotelin-1, polipeptida vasodilatasi adrenomedullin, dan
eritropoietin yang semuanya mempengaruhi hemodinamik.

Manifestasi klinisnya adalah hipertensi, takikardia, dan peningkatan


curah jantung yang serupa dengan peningkatan aktivitas adrenergik, namun
katekolamin mungkin rendah atau normal pada hipertiroidisme. Fibrilasi
atrium dan gagal jantung kongestif (CHF) dapat terjadi juga. Fibrilasi
atrium merupakan faktor risiko independen untuk mengembangkan gagal
jantung. Manifestasi kardiovaskular ini dapat reversibel setelah pengobatan
hipertiroidisme dan mencapai keadaan eutiroid.

7.4. Miksedema Pretibial


Graves dermopathy juga dikenal sebagai miksedema pretibial atau
miksedema lokal. Ini adalah fenotipe penyakit Graves yang agak jarang
terjadi hampir selalu dengan adanya orbitopathy Graves dan terkait dengan
tingkat TSHRAb yang sangat tinggi. Meningkatnya hormon tiroid akan
meningkatkan simpanan glikosaminoglikan, sehingga meningkatkan
tekanan osmotik dan meningkatkan penimbunan cairan terutama di daerah
ekstremitas bagian bawah
7.5. Kelemahan Pada Ekstremitas
Pada penyakit Grave’s jumlah hormon tiroid meningkat. Salah satu efek
dari peningkatan jumlah hormon tiroid adalah meningkatnya jumlah dan
fungsi dari pompa Na+ K + ATPase. Penyebab lain yang dapat
mengakibatkan kelemahan adalah tiroid miopati yaitu perombakan sel otot,
karena peningkatan kebutuhan energi, tanpa disertai peningkatan intake
sumber energi. Sebagian besar kelemahan yang terjadi didapatkan di daerah
paroksimal dari ekstremitas, sementara bentuk yang lebih berat dapat
berupa kelemahan pada bagian distal. Pada pemeriksaan biasanya reflek
tendon masih dalam batas normal. Gejala yang timbul pada keadaan ini
seperti kelelahan, toleransi dalam berolahraga yang menurun, nyeri otot,
serta dapat sulit untuk menaiki tangga, hingga tidak dapat berdiri sendiri.
Gejala-gejala ini biasanya terjadi 1-3 bulan setelah onset munculnya
tirotoksikosis dan disertai dengan adanya atropi otot-otot rangka yang tidak
terlalu berat
7.6. Manifestasi Umum
Secara umum penderita memberikan keluhan palpitasi, merasa gelisah,
mudah cemas, sulit tidur, tidak tahan terhadap udara panas (heat
intolerance), banyak berkeringat, mudah merasa lelah, badan terasa lemah,
berat badan yang turun walaupun nafsu makan maupun konsumsi makanan
meningkat, frekuensi buang air besar yang meningkat (hiperdefekasi),
gangguan menstruasi dan libido yang menurun. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan adanya takikardi. tremor halus (fine tremor), kulit teraba hangat
dan basah/berkeringat, rambut tipis dan rontok, kelemahan otot serta
periodic paralysis (terutama terjadi pada ras asia). Pemeriksaan EKG dapat
menunjukkan adanya atrial fibriasi.

ANALISIS MASALAH

1. Bagaimana Patofisiologi dari Gaduh Gelisah ?


Jawab
Pada Hypertiroid dan Grave disease, gejala ditimbulkan oleh terjadinya auto
imun. T3 dan T4 akan meningkatkan kepadatan Beta andregenik, yang
selanjutnya akan mengaktifkan reseptor Beta adregenik yg merangsang kelenjar
adrenal dan ujung syaraf melepas katekolamine (epinephrine, norepinephrine) yg
membuat syaraf simpatik lebih peka. Syaraf yg lebih peka menyebabkan
hyperaktivitas syaraf anxious (meningkatnya tonus otot) yang berdampak pada
kegelisahan. Kasus hipertiroid (grave diseases) merupakan penyakit autoimun
sehingga mengakibatkan peningkatan katekolamin dan peningkatan jumlah
reseptor androgenik sehingga menyebabkan terjadinya gelisah. Saat sedang
gelisah, sistem di otak akan memerintahkan bagian otak yaitu hipotalamus untuk
mengeluarkan hormon corticotrophin releasing factor (CRF), selanjutnya hormon
ini bisa memicu keluarnya hormon lain yaitu adrenocortocotrophin (ACTH).
Hormon ini bisa masuk ke aliran darah menuju kelenjar ginjal untuk merangsang
hormon cortisol agar melepaskan adrenalin. Pelepasan hormone inilah yang
kemudian menyebabkan pasien meresakan gelisah.
2. Bagaimana mekanisme Diare pada gejala tambahan pasien ?
Jawab
Hormon tiroid dapat merangsang motilitas usus, yang dapat menimbulkan
peningkatan motilitas dan diare pada hipertiroidisme dan memperlambat transit
usus serta konstipasi pada hipotiroidisme.Tiroid yang terlalu aktif menyebabkan
pencernaan lebih cepat dari biasanya, mempercepat apa yang disebut waktu
transit. Tiroid yang terlalu aktif juga terus-menerus merangsang otot-otot di usus.
Hal ini dapat menyebabkan sering buang air besar yang berpotensi mempengaruhi
kesehatan. Buang air besar yang lebih sering terutama jika tinja yang dikeluarkan
encer dapat menyebabkan dehidrasi dan masalah penyerapan nutrisi.
3. Bagaimana mekanisme sakit tenggorokan pada gejala tambahan pasien ?
Jawab
Sakit tenggorokkan atau faringitis yang dialami oleh Ny, D disebabkan oleh
infeksi yang dapat menjadi factor pencetus badai tiroid. Faringitis merupakan
suatu respon inflamasi terhadap suatu pathogen. Infeksi virus maupun bakteri ke
dalam mukosa faring akan menyebabkan inflamasi local pada dinding faring.
Faringitis akibat infeksi bakteri Streptococcus group A dapat diperkirakan dengan
menggunakan Centor criteria, yaitu demam, limfaadenopati pada anterior
servikal, eksudat pada tonsil, tidak ada batuk. Faringitis yang disebabkan virus
biasanya mempunyai gejala nyeri tenggorokan yang parah dan dapat disertai
dengan batuk, suara serak dan nyeri substernal. Pada skenario ditemukan adanya
sakit tenggorokkan disertai batuk sehingga dapat dikatakan faringitis pada kasus
ini disebabkan oleh virus. Salah satu virus yang mungkin menyebabkan faringitis
adalah rhinovirus. Rhinovirus melakukan penetrasi ke sel epitel mukosa hidung
bersilia, selanjutnya menimbulkan peradangan pada mukosa nasofaring dan
saluran pernapasan bagian atas. Beberapa studi melaporkan Infeksi rhinovirus
menginduksi produksi bradikinin sehingga menyebabkan nyeri. Faringitis atau
sakit tenggorokan yang terjadi juga bisa disebabkan oleh pengkonsumsian obat
PTU dari pasien. Granulositopenia dan agranulositosis adalah salah satu efek
samping yang serius namun jarang terjadi, dan paling sering timbul pada 3 bulan
pertama setelah dilakukannya terapi obat anti-tiroid. Demam dan faringitis bisa
menjadi manifestasi awal dari perkembangan agranulositosis.
4. Bagaimana dampak gaduh gelisah yang dialami oleh pasien ?
Jawab
a. Psikosis karena gangguan mental organik, pasien dengan keadaan gaduh
gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak organik akut
menunjukkan kesadaran yangmenurun.
b. Skizofrenua dan gangguan skizotipal, bila kesadaran tidak menurun,
maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu merupakan manifestasi suatu
psikosis.
c. Gangguan psikotik akut dan sementara, gangguan ini timbul tidak lama
setelah terjadi penekanan psikologik yang dirasakan hebat sekali oleh
individu
d. Psikosis bipolar, psikosis bipolar termasuk dalam kelompok psikosa
afektif karena pokok gangguannya terletak pada afek emosi
e. Terjadinya peningkatan emosional yang semakin terpacu oleh adanya
rangsangan hormone simpatis serta keadaan tempat yang relatif panas
akibat peningkatan hormone tiroid di dalam tubuh

5. Apakah ada hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan keluhan yang dialami
oleh Ny.D?
Jawab
Prevalensi kasus hipertiroidisme di Indonesia berkisar 6.9% (Indonesian Basic
Health Research Data, 2007) dan di Amerika Serikat, prevalensi keseluruhan
hipertiroidisme adalah 1,2%. 1 dan 0,8% di Eropa.2,3 Hipertiroidisme meningkat
berdasarkan umur dan lebih sering mengenai wanita. Perbandingan rasion antara
wanita dan laki-laki adalah 8:1 manifestasi muncul pada dekade ketiga dan
keempat dalam kehidupan. Penyakit Graves memiliki insiden puncak pada usia
antara 20 dan 40 tahun, dan perempuan tujuh kali lebih sering menderita penyakit
ini dibandingkan laki-laki. Kondisi ini merupakan gangguan umum dan
diperkirakan memengaruhi 1,5% sampai 2% perempuan di Amerika Serikat.
Faktor genetik memegang peranan penting pada penyakit Graves; Seperti halnya
gangguan autoimun lainnya, kerentanan genetik penyakit Graves terkait dengan
keberadaan human leukocyte antigen (HLA) haplotipe tertentu, khususnya HLA-
DR3, dan polimorfisme gen yang produknya mengatur respons sel T, termasuk
sel T penghambat reseptor CTLA-4 dan tirosin fosfatase PTPN22.

Anda mungkin juga menyukai