Anda di halaman 1dari 36

DIAGNOSIS BANDING HIPERTIROID

Goiter atau gondok adalah keadaan di mana terjadi pembesaran dari kelenjar tiroid. Bisa dalam
 bentuk yang menyebar ataupun benjolan. Karena ad anya kemiripan secara anatomis dari kelenjar 
tiroid, trakea, laring, dan esofagus, pertumbuhan yang abnormal dapat menyebabkan berbagai
sindrom. Fungsi tiroid dapat normal(nontoxic goiter), berlebih (toxic goiter) atau kuran g aktif 
(hypothyroid goiter).

1. TNG (Toxic Nodular Goiter)


TNG merupakan keadaan dimana kelenjar tiroid terjadi pembesaran dengan bentuk nodul tiroid
atau dengan kata lain terjadi hipersekresi hormon-hormon tiroid yang menyebabkan pembesaran
kelenjar tiroid yang bernodul-nodul. Gejala-gejalanya adalah :

 Intoleransi panas
 Lemas
 Tremor 
 Penurunan berat badan
  Nafsu makan bertambah
 Gondok 
 Takikardia

2. Goiter, Diffuse Toxic


Dalam diffuse toxic giter, kelenjar tiroid dapat memproduksi hormon tiroid secara
 berlebihan. Ini akan mempercepat metabolisme hampir di seluruh organ. Gejalanya yang
utama adalah gondok itu sendiri. Gejalanya dapat muncul dalam minggu, bulan bahkan
tahun. Gejalanya dapat multisistemik namun dapat juga hanya menyerang satu organ
sehingga menimbulkan kesalahan dalam diagnosis. Pada orang lansia, gejalanya dapat
 berupa penurunan berat badan, atrial fibrillation (cardiac),atau apathy (depresi). Gejala
yang dapat muncul yaitu :

 Hipermetabolisme-penurunan berat badan dengan nafsu makan yang baik, intoleransi


 panas, berkeringat, lemas, osteoporosis
 Hiperadrenergic-palpitasi, tremor, insmonia
 Gynecomastica, sedikit menstruasi, penurunan konsentrasi, fatique
 Goiter-bisa ringan sampai parah, bisa muncul kesulitan menelan
 Oculopathy
 Dekompensasi organ - Atrial fibrillation, congestive heart failure, penyakit kuning

3. Thyroid Papillary Carcinoma


Bentuk ganas pada kelenjar tiroid. Sangat jarang terjadi, namun apabila terjadi dapat
menyebabkan hiperfungsi hormon-hormon tiroid sehingga sekresinya berlebihan di dalam darah
menyebabkan tirotoksikosis dan hipertiroid

4. Macro and Micro Pituitary Adenoma


Tumor jinak pada hipofisis. Apabila tumor lebih dari 1 0 mm disebut sebagai makroadenoma ,dan
,d an
 bila kurang dari 10mm disebut mikroadenoma. Epidemiologi adenoma hipofisis lebih sering
terjadi dibandingkan karsinoma hipofisis. Baik mikro maupun makro adenoma , keduanya sama-
sama menyebabkan hiperfungsi kelenjar hipofisis, seperti :
 Hipersekresi ACTH --> Cushing Syndromeb.
 Hipersekresi GH -->Akromegalic.
 Hipersekresi TSH --> yang menyebabkan hipertiroid (sebagai diagnosis ban ding pada
 penyakit hipertiroid)
 Ketidakseimbangan sekresi Gonadotropin dan Estrogen menyebabkan amenorhea
 pad
 padaw
awan
anit
ita.
a.

5. Graves Disease
Penyakit Graves, yang disebabkan oleh suatu aktivitas yang berlebihan dari kelenjar tiroid,
adalah penyebab yang paling umum dari hipertiroid. Pada kondisi ini, kelenjar tiroid biasanya
adalah pengkhianat, yang berarti ia telah kehilangan kemampuannya untuk merespon pada
kontrol yang normal oleh kelenjar pituitari via TSH. Penyakit Graves adalah penyakit yang
disebabkan karena turunan/diwariskan(15%) dan karena imunologi (50%). Penyakit ini lima kali
lebih umum diantara wanita-wanita daripada pria-pria. Pen yakit Graves diperkirakan adalah
suatu penyakit autoimun, dan antibodi-antibodi yang adalah karakteristik-karakteristik dari
 penyakit ini mungkin ditemukan dalam darah. Antibodi-antibodi ini termasuk thyroidstimulating
immunoglobulin (TSI antibodies), thyroid peroxidase antibodies (TPO), dan antibodi-antibodi
reseptor TSH. Pencetus-pencetus untuk penyakit Grave termasuk :

 Stres
 Merokok 
 radiasi pada leher 
 obat-obatan dan
 organisme-organisme yang menyebabkan infeksi seperti virus-v
virus-virus.
irus.

Penyakit Grave' mungkin berhubungan dengan penyakit mata (Graves' ophthalmopathy)dan


luka-luka kulit (dermopathy).Ophthalmopathy dapat terjadi sebelum, sesudah, atau pada saat
yang sama dengan hipertiroid. Pada awalnya, ia mungkin menyebabkan kepekaan terhadap
cahaya dan suatu perasaan dari "ada pasir didalam mata-mata". Mata-mata mungkin menonjol
keluar dan penglihatan ganda (dobel) dapat terjadi. Derajat dari ophthalmopathy diperburuk pada
mereka yang merokok. Jalannya penyakit mata seringkali tidak tergantung dari penyakit tiroid,
dan terapi steroid mungkin perlu untuk mengontrol peradangan yang menyebabkan
ophthalmopathy. Sebagai tambahan, intervensi secara operasi mungkin diperlukan. Kondisi kulit
(dermopathy) adalah jarang dan menyebabkan suatu ruam kulit yang tanpa sakit, merah, tidak 
halus yang tampak pada muka dari kaki-kaki. Gejala klinisnya adalah :

  palpitasi
 takikardia ringan
 diare
 mudah lelah
  berkeringat
 Pada anak-anak biasanya pertumbuhan cepat disertai dengan maturasi tulang yangcepat
http://www.scribd.com/doc/34012135/Diagnosis-Banding-hipertiroid

Cause of Hyperthroid (Grave Disease/ Struma Toksik Difusa ) w/


differential diagnose

Pendahuluan

Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus jaringan endokrin yang men yatu di bagian tengah
oleh bagian sempit kelenjar, yaitu berada di atas trakea, tepat di bawah laring.
la ring. Sel-sel sekretorik 
utama tiroid tersusun menjadi gelembung-gelembung berongga yang masing-masing membentuk 
unit fungsional yang disebut folikel. Pada potongan mikroskopik , folikel tampak sebagai cincin-
cincin sel folikel yang meliputi lumen bagian dalam yang dipenuhi koloid, suatu bahan yang
 berfungsi sebagai tempat penyimpanan ekstraseluler untuk hormon-hormon tiroid.

Konstituen utama koloid adalah kompleks yang dikenal Tiroglobulin, yang didalamnya
 berisi hormon-hormon tiroid dalam berbagai tahapan pembentukannya. Sel-sel folikel
menghasilkan 2 hormon yang mengandung iodium yang berasal dari asam amino tirosin, yakni
tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) dan Triiodotironin (T3). Kedua hormon ini secara kolektif 
disebut hormon tiroid yang merupakan regulator penting bagi laju metabolisme basal
keseluruhan.

Pengaturan Sekresi Hormon Tiroid

Sekresi hormon tiroid diatur oleh sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid. Thyroid


Stimulating Hormone (TSH), hormon tropik tiroid dari hipofisis anterior adalah regulator 
fisiologis terpenting bagi sekresi hormon tiroid. Selain meningkatkan sekresi hormon tiroid, TSH
 bertanggung jawab untuk mempertahankan integritas struktural kelenjar tiroid.

Hormon Tiroid , dengan mekanisme umpan balik negatif akan mematikan sekresi TSH,
sementara Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) dari hipotalamus secara tropik menghidupkan
sekresi TSH oleh hipofisis anterior.

Tirotoksikosis dan Hipertiroidisme

Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam
sirkulasi darah, sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kel enjar 
tiroid yang hiperakitif.

Gondok atau Goiter atau Struma


Goiter adalah suatu pembengkakan pada kelenjar tiroid yang dapat menyebabkan
 pembengkakan di daerah leher dan laring. Klasifikasi gondok menurut derajatnya dibedakan
menjadi :

1. “Diffuse Goiter” yaitu struma yang menyebar seleuruhnya melalui ke lenjar tiroid (dapat
 berupa “simple goiter” dan “multinodular goiter”

2. “Toxic goiter” yaitu struma dengan keadaan hipertiroidisme, paling banyank disebabkan
oleh Grave disease, tapi dapat juga disebabkan oleh multinodular goiter dan inflamasi
(Tirotoksikosis)

3. “Non Toxic Goiter” yakni goiter yang disebabkan oleh tipe lain misalnya oleh karena
akumulasi lithium atau dapat karena penyakit autoimun.

Pembahasan
Grave Disease

Grave disease merupakan suatu penyakit autoimun yang mengakibatkan hipertiroidisme


karena sirkulasi autoantibodi. Ciri khas dari penyakit ini ialah didapatkan pembesaran kelenjar 
tiroid yang difus disertai keadaan tirotoksikosis. Di Amerika dan Eropa , Grave disease
merupakan penyebab terbanyak kasus hipertiroidsme.

Etiologi
Etiologi Grave disease disebabkan oleh autoimun.

Epidemiologi
Grave disease merupakan penyebab terbanyak kasus hipertiroid di Amerika dan Eropa. Sebuah
studi kasus di Minnesota menunjukkan terdapat 30 kasus grave disease per 100.000 orang per 
tahun. Di Seluruh dunia, grave disease menyumbang 60-90 % kasus penyebab tirotoksikosis
(terbanyak dari penyebab yang lain).
Penyakit ini paling sering terjadi pada wanita (7:1 d ibanding laki-laki). Grave disease
 juga paling sering terjadi pada usia pertengahan , tetapi tidak lazim dalam remaja, selama
kehamilan, selama menopause, atau pada orang-orang di atas usia 50.

Patofisiologi

Pada awalnya terjadi peningkatan produksi TSH di adenohipofisis sehingga menstimulasi


T3 dan T4 yang beredar dalam darah. Jika sedah sangat meningkat maka TSH akan turun
sehingga ada gambaran klinik tirotoksikosis. Jadi terjadinya penyakit grave karena gangguan
kerja otonom di kelenjar tiroid dan efek umpan balik tidak berjalan lancar.

Hiperaktifitas ini terjadi karena di dalam darah timbul LATS (Long Acting Thyroid
Stimulators) sehingga terjadi reaksi autoimun. Dapat berbentuk IgG dan IgM yang akan
merangsang kelenjar tiroid mengeluarkan hormon tiroid sebanyak-banykanya tanpa kontrol dari
adenohipofisis. LATS diproduksi oelh jaringan limfoid.
Manifestasi Klinik 

1. Gejala pada jantung

1. Takikardi
2. Takiaritmia. Yang sering dijumpai adalah atrial fibrilasi yang rapid respon (heart rate yang
lebih dari 100 x per menit yang cepat dan irreguler)
3. Hipertensi
4. Left ventricular Hipertrophy. Dilatasi Ventrikel Kiri oleh karena hipertensi pada tiroid
toksik.
5. Decompensatio cordis acuta. Biasa terjadi gagal jantun g kiri yang diinduksi oleh hipertensi.
Pada hipertiroid, segala penyakit jantung yan g terjadi disebut thyroid heart disease. Aritmia
dapat menyebabkan decompensatio cordis karena cardiac output pada tiroid heart disease tidak 
sama volumenya satu sama lain sehingga pompa jantung terganggu, menimbulkan dilatasi
ventrikel kiri, akibatnya terjadi mitral insufisiensi.
6. Decompensatio cordis kronik. Biasa terjadi gagal jantun g kanan.

2. Gejala pada saluran pencernaan

1. Adanya gangguan absorbsi yang cepat di usus halus


2. Hiperperistaltik 
3. Dispepsia, Nausea, Meteorismus, Perut terasa penuh atau kembung
4. Pada keadaan yang lebih buruk terjadi emesis dan diare kronik sehingga terjadi anoreksia
yang menyebabkan keadaan umum menurun dan berat badan yang menurun pula.

3. Gejala Neurologi

1. Hiperrefleksi saraf tepi oleh karena hiperaktifitas saraf dan pembuluh darah akibat aktifitas
T3 dan T4.
2. Gangguan sirkulasi serebral oleh karena hipervaskularisasi ke otak 
3. Penderita mengalami vertigo, selfagia, sampai migrain
4. Mata mengalami diplopia oleh karena eksophtalmus

4. Gangguan Metabolisme

Adanya gangguan toleransi glukosa misalnya timbul hiperglikemia kronik yang menyebabkan
DM tipe 3 (DM tipe lain yang salah satunya diakibatkan karena struma toksik)

5. Terhadap lingkungan

Penderita tidak tahan terhadap udara panas. Penderita banyak keringat , palpitasi, kesadaran
menurun, dan bingung.

6. Gejala psikologis
1. Iritatif, sensitif, dan anxiety
2. Psikoneurosis sampai psikotik 
3. Depresi
4. Insomnia
5. Penderita sering merasa matanya membesar, juga sering kelopak matanya membesar.

Komplikasi

1. Gangguan pada Jantung seperti Hipertensi, gagal jantung, LVH, takikardi, takiaritmia, dan
lain-lain

2. Diabetes Melitus Tipe III

Pemeriksaan Fisik 

1. Keadaan Umum penderita, kesadaran dan status psikologisnya

2. Tekanan darah meningkat

3. Denyut jantung cepat dan tidak teratur oleh karena atrium fibrilasi

4. Adanya gambaran kolateral di daerah tiroid oleh karena hipervaskularisasi.

5. Pada palpasi tiroid didapatkan struma yang noduler, batasnya jelas, dan konsistensi kenyal.
Cara melakukan pemeriksaan ini, penderita disuruh duduk dan pemeriksa memeriksa dari
 belakang pasien dengan menggunakan 3 jari, pasien disuruh menelan. Yang bergerak saat
menelan adalah tiroid.

6. Pada auskultasi di daerah tiroid terdengar bising sistolik / vascular bruit.

7. Hiperefleski pada pemeriksaan refleks APR (Ankle Patella Refleks) , KPR (Knee Patella
Reflex), refleks biseps dan triseps.

8. Tremor halus pada tangan penderita. Cara melakukan pemeriksaan ini, penderita dalam
keadaan duduk, tangan dan jari direntangkan (kira-kira tegak lurus pada posisi badan yang
duduk) lalu lihat ada tremor atau tidak.

9. Palpasi untuk melihat apakah ada pembesaran hati

10. Refleks kulit abdomen meningkat sehingga terjadi retraksi kulit abdomen

11. Kulit teraba lembab karena peningkatan produksi kelenjar keringat.

12. Pada mata dapat terjadi morbus sign, juga dapat terjadi pembengkakan di belakang mata
yang dikenal dengan istilah eksoftalamus/
13. Conjungtiva Chemosis.

14. Palpebra edema.

Pada Kasus-Kasus yang kurang jelas, digunakan indeks wayne. Skor dilihat dari :

Gejala Klinis :

- Sesak bila bekerja (Dispnoe d’effort) : +1

- Pasien berdebar-debar : +2

- Aesthenia (Pasien Mudah lelah) : +2

- Lebih menyukai udara dingin : +5

- Lebih menyukai udara panas : -5

- Banyak keringat : +3

- Mudah gugup, bingung, grogi : +2

- Nafsu makan bertambah tapi kurus : +3

- Nafsu makan berkurang : -3

- Berat badan turun : +3

- Berat badan naik : -3

Pemeriksaan Fisik 

- Perabaan kelenjar tiroid membesar : +3

- Perabaan kelenjar tiroid tidak membesar : -3

- Auskultasi kel. Tiroid ada bising sistolik : +2

- Auskultasi kel. Tiroid tidak ada bising sistolik : -2

- Ada eksophtalmus : +2

- Tidak ada eksophtalmus :0

- Bila kelopak mata tertinggal saat bola mata digerakkan : +1


- Bila kelopak mata tidak tertinggal saat bola mata digerakkan : 0

- Ada hiperrefleksi, hiperkinetik : +4

- Tremor halus pada jari : +1

- Tidak ada tremor halus pada jari :0

- Tangan panas oleh karena hipertermi : +2

- Tidak ada tangan panas : -2

- Ada hiperhidrosis : +1

- Tidak ada hiperhidrosis (tangan basah) : -1

- Ada atrium fibrilasi : +4

- Tidak ada atrium fibrilasi :0

- Nadi teratur / reguler : >90x/mnt : +3

80-90x/mnt : -3

<80x/mnt : -3

Skor dari gejala klinis dan pemeriksaan fisik dijumlahkan, bila jumlah:

- 10-14 : Normal

- >14 : Hipertiroid

- <10 : Hipotiroid

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium

1. Kadar T4 meningkat, Kadar T3 meningkat (tirotoksikosis)

2. Tirotropin Reseptor Assay (TSIs) à berfungsi untuk menegakkan diagnosis Grave disease.

3. Tes faal hati à Monitoring kerusakan hati karena penggunaan obat antitiroid seperti
thioamides.
4. Pemeriksaan Gula darah à Pada pasien diabetes, penyakit grave dapat memperberat
diabetes, sebagai hasilnya dapat terlihat kadar A1C yang meningkat dalam darah

5. Kadar antibodi terhadap kolagen XIII menunjukan Grave Oftalmofati yang sedang aktif.

Pemeriksaan Radiologi

1. Foto Polos Leher --> Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada trakea, dan
mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar yang membesar.

2. Radio Active Iodine (RAI)--> scanning dan memperkirakan kadar uptake iodium berfungsi
untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid.

3. USG à Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama pada pasien
hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan laboratorium

4. CT Scan --> Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa dari tiroid
maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring , trakea (apakah ada penyempitan, deviasi dan
invasi).

5. MRI --> Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus hipertiroid)

6. Radiografi nuklir --> dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga sebagai terapi.

Penatalaksanaan

1. Farmakoterapi

a. Obat anti tiroid (PTU/Propiltiourasil, MMI/Metimazole, Karbimazol/CMZà MMI) .


Efeknya adalah menghambat sintesis hormon tiroid dan imunosupresif, PTU juga menghambat
konversi T4 à T3. Indikasi pengobatan dengan antitiroid ialah sebagai pengobatan lini pertama
 pada Graves dan obat jangka pendek pra bedah/RAI

 b. Antagonis Adrenergik Beta (Propanolol, Metoprolol, Atenolol, Nadolol). Efeknya ialah
mengurangi dampak hormon tiroid pada jaringan. Indikasi ialah sebagai obat tambahan , kadang
sebagai obat tunggal tiroiditis

c. Bahan yang mengandung iodine (Kalium Iodida). Efeknya ialah menghambat keluarnya
T4 dan T3 serta produksi ekstratiroidal. Indikasi persiapan tiroidektomi pada k risis tiroid.

2. Tiroidektomi

Prinsip umum, operasi baru dikerjakan kalau keadaan pasien sudah eutiroid, baik secara klinis
maupun biokimiawi.

3. Radioterapi (RAI/Radio Active Iodium)


4. Oftalmopati Graves

Dalam mengobati morbus graves, sering kita melupakan ophtalmopati graves (OG). OG
mengganggu kualitas hidup pasien. Meskipun patogenesisnya sudah sedikit terungkap,
 pengobatan belum memadai. OG ringan cukup diberi pengobatan lokal (air mata artifisial dan
salep, tetes mata obat penghambat Beta, kacamata hitam, prisma, mata waktu malam ditutup ,
dan hindari rokok). Pada OG yang lebih berat, dibutuhkan pengobatan yang lebih agresif. Kalau
OG aktif, modus pengobatan ialah glukokortikoid dosis besar, radioterapi orbital atau
dekompresi orbital. Apabila keadaan berat namun inaktif dianjurkan dekompresi.

Prognosis

Prognosis penyakit-penyakit yang berhubungan dengan keadaan hipertiroid tidak sebaik 


keadaan hipotiroid. Kemampuan dan pengetahuan seorang pemeriksa sangat dibutuhkan untuk 
menentukan prognosis penyakit ini. Kegagalan terapi memberikan prognosis yang buruk 
terhadap penyakit hipertiroidism.

Diagnosis Banding:
1. TNG (Toxic Nodular Goiter)
TNG merupakan keadaan dimana kelenjar tiroid mengandung nodul tiroid yang berfungsi
secara otonom yang mengakibatkan hipertiroidisme atau dengan kata lain terjadi hipersekresi
hormon-hormon tiroid yang menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid yang bernodul-nodul.
TNG, atau penyakit Plummer, pertama kali dideskripsikan oleh Henry Plummer pada tahun
1913. TNG adalah penyebab kedua paling umum yang menyebabkan hipertiroid di Amerika dan
Eropa setelah penyakit Graves.
2. Feokromositoma
Feokromositoma adalah suatu tumor yang berasal dari sel-sel kromafin kelenjar adrenal,
menyebabkan pembentukan katekolamin yang berlebihan. Katekolamin adalah hormon yang
menyebabkan tekanan darah tinggi dan gejala lainnya.
Beberapa penderita memiliki penyakit keturunan yang disebut sindroma endokrin multipel, yang
menyebabkan mereka peka terhadap tumor dari berbagai kelenjar endokrin (misalnya kelenjar 
tiroid, paratiroid dan adrenal). Feokromositoma juga bisa terjadi pada penderita penyakit von
Hippel-Lindau, dimana pembuluh darah tumbuh secara abnormal dan membentuk tumor jinak 
(hemangioma); dan pada penderita penyakit von Recklinghausen (neurofibromatosis,
 pertumbuhan tumor berdaging pada saraf).
3. Thyroid Papillary Carcinoma
Bentuk ganas pada kelenjar tiroid. Sangat jarang terjadi, namun apabila terjadi dapat
menyebabkan hiperfungsi hormon-hormon tiroid sehingga sekresinya berlebihan di dalam darah
menyebabkan tirotoksikosis dan hipertiroid.
4. Macro and Micro Pituitary Adenoma
Tumor jinak pada hipofisis. Apabila tumor lebih d ari 10 mm disebut sebagai makroadenoma ,
dan bila kurang dari 10mm disebut mikroadenoma. Epidemiologi adenoma hipofisis lebih sering
terjadi dibandingkan karsinoma hipofisis. Baik mikro maupun makro adenoma , keduanya sama-
sama menyebabkan hiperfungsi kelenjar hipofisis, seperti :
a. Hipersekresi ACTH --> Cushing Syndrome
 b. Hipersekresi GH --> Akromegali
c. Hipersekresi TSH --> yang menyebabkan hipertiroid (sebagai diagnosis banding pada
 penyakit hipertiroid)
d. Ketidakseimbangan sekresi Gonadotropin dan Estrogen menyebabkan amenorhea pada
wanita.
http://d4rkwizard.blogspot.com/2009/12/cause-of-hyperthroid-grave-disease-w.html

grave`s disease

Hipertiroid merupakan overfungsional kelenjar tiroid. Dengan kata lain hipertiroid terjadi karena

adanya peningkatan hormon tiroid dalam darah dan biasanya berkaitan dengan keadaan k linis

tirotoksikosis. Sementara menurut Martin A Walter hipertiroid adalah kondisi umum yang berkaitan

dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas, khususnya yang disebabkan oleh komplikasi
6
kardiovaskuler . Sebagian besar disebabkan oleh penyakit graves, dengan nodul toksik soliter dan goiter

multinodular toksik menjadi bagian pentingnya walaupun dengan fre kuensi yang sedikit 2. Namun

penyakit graves dan goiter nodular merupakan penyebabnya yang paling umum. Pada penderitanya

biasanya terlihat adanya pembesaran kelenjar gondok didaerah leher. Komplikasi hipertiroid pada

mereka yang berusia lanjut dapat mengancam jiwa sehingga apabila gej alanya berat harus segera

dirawat di rumah sakit.

ETIOLOGI

Lebih dari 90% kasus hipertiroid adalah akibat penyakit graves dan nodul tiroid toksik. Penyakit

graves sekarang ini dipandang sebagai penyakit autoimun yang tidak diketahui penyebabnya. Namun

karena perbandingan penyakit graves pada monozygotic twins lebih besar dibandingkan pada dizygotic
3
twins, sudah dipastikan bahwa faktor lingkunganlah yang berperan dalam hal ini . Bukti tak langsung

menunjukkan bahwa stress, merokok, infeksi serta pengaruh iodin ternyata ber pengaruh terhadap
2,3
sistem imun .

Sederhananya penyakit graves merupakan multiple dari autoimun, yaitu tirotoksikosis, eye

disease, dan pretibial myxoedema yang berpengaruh terhadap bagian optik (opthalmopathy), kulit
2
(dermatopathy), serta jari (acropathy) . Keadaan ini biasanya terjadi karena adanya imunoglobulin yang
4
menstimulasi tiroid dalam serum .
Adapun faktor lain yang mendorong respon imun pada penyakit Graves antara lain :

1) Kehamilan, khususnya pada masa nifas

4
2) Kelebihan iodida di daerah defisiensi iodida

3) Terapi litium

4) Infeksi bakterial atau viral

3
5) Penghentian glukokotrikoid

PATOGENESIS

Perjalanan penyakit hipertiroid biasanya perlahan-lahan dalam beberapa bulan sampai

beberapa tahun. Pada penyakit graves, hipertiroid merupakan akibat dari antibodi reseptor thyroid-

stimulating antibody (TSI) yang merangsang aktivitas tiroid, sedangkan pada goiter multinodular toksik

berhubungan dengan autonomi tiroid itu sendiri. Pada penyakit graves, limfosit T menjadi peka

terhadap antigen yang terdapat dalam kelenjar t iroid dan merangsang limfosit B untuk mensintesis

antibody terhadap antigen-antigen ini. Adanya antibodi dalam darah ini kemudian berkorelasi dengan
3
penyakit aktif dan kekambuhan penyakit yang diterapi dengan obat-obat antitiroid .

MANIFESTASI KLINIS

1) Pada individu yang lebih muda, manifestasi yang umumnya terlihat adalah palpitasi, ge lisah,

mudah lelah, hiperkinesia, diare, keringat yang berlebihan, tidak tahan panas, suka dengan

dingin, dan sering terjadi penurunan berat badan tapi tanpa disertai dengan penurunan nafsu

makan. Pembesaran tiroid, tanda-tanda tirotoksikosis pada mata dan takikardia ringan juga
2,3
sering terjadi .

2
2) Pada anak-anak terjadi pertumbuhan dengan pematangan tulang yang lebih cepat .

3) Pada pasien-pasien di atas 60 tahun manifestasi yang mendominasi adalah manifestasi

kardiovaskular dan miopati dengan keluhan palpitasi, diseupnea saat latihan, tremor, gelisah,
2
dan penurunan berat badan .
4) Pada dermopati terjadi penebalan kulit hingga tidak dapat dicubit. Kadang-kadang mengenai

seluruh tungkai bawah dan dapat meluas sampai ke kaki.

5) Pada penyakit graves yang sering ter jadi adalah pemisahan kuku dari bantalannya (onkolisis).

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit graves terkadang terdapat dalam bentuk yang tidak biasanya dimana diagnosisnya

tidak begitu jelas. Pada beberapa kasus biasanya diagnosis penyakit dibuat dengan pemeriksaan klinis

dan laboratoris. Walaupun begitu harus dibedakan antara eutiroid dengan hipertiroid. Misalnya pada

sindrom hipertiroksemia disalbumik familial, dimana protein abnormal (albumin) terdapat pada serum

yang sebagian mengikat T4 bukan T3 yang mengakibatkan terjadinya peningkatan T4 dan FT4I serum,

dengan T3 dan T4 bebas serta TSH normal. Dalam kasus ini tidak ditemui adanya gambaran klinis

hipertiroid. Sehingga apabila tidak teliti diagnosis hipertiroid akan tersingkirkan oleh kehadiran T 3 serum
2
dan TSH normal .

PROGNOSIS

Hipertiroid yang disebabkan oleh goiter multinodular toksik dan toksik adenoma bersifat

permanen dan biasanya terjadi pada orang dewasa. Setelah kenormalan fungsi tiroid te rcapai dengan

obat-obat antitiroid, direkomendasikan untuk menggunakan iodin radioaktif sebagai terapi


2,3
definitifnya . Pertumbuhan hormon tiroid kemungkinan akan terus bertambah perlahan-lahan selama

diterapi dengan obat-obat antitiroid. Namun prognosisnya akan jauh lebih baik setelah diterapi dengan

iodin radioaktif.

TREATMENT

Walaupun mekanisme autoimun bertanggung jawab atas penyakit sindrom Graves, tapi pengelolaannya
2
lebih ditujukan untuk mengendalikan hipertiroid . Ada 3 metode yang dapat dilakukan:

1) Terapi obat antitiroid (propil tiourasil atau metimazol) dan prekursornya carbimazole, untuk

mengurangi pembentukan hormon tiroid. Selain itu juga dapat mengurangi gejala-gejala

hipertiroid dan mengurangi efek-efek (efek jangka pendek maupun efek j angka panjang) yang
5
ditimbulkan oleh treatment dengan radioiodine . Biasanya diberikan pada pasien-pasien muda
dengan kelenjar kecil dan penyakitnya ringan. Lama terapinya cukup bervariasi, dan dapat
2
berkisar dari 6 bulan sampai 20 tahun .

2) Terapi bedah (tiroidektomi subtotal), diperuntukkan bagi pasien-pasien dengan kelenjar yang
2
sangat besar atau goiter multinodular . Terapi ini juga dapat menjadi pilihan bagi mereka yang

mengalami penyakit graves pada masa kehamilan jika tidak ada toleransi pada obat-obat

antitiroid. Dan lebih baik jika diberikan pada trimester kedua 1,3. Untuk dilakukannya terapi

bedah ini juga harus diperhatikan dari segi usianya, ukuran kelenjar, sisa kelenjar yang t ersisa

dan asupan iodin. Sebelum dilakukannya tiroidektomi ini pasien diberi obat antitiroid sampai

eutiroid ( kira-kira 6 minggu), kemudian 2 hari sebelum operasi diberi larutan jenuh kalium

iodida sebanyak 5 tetes 2 kali sehari. Langkah ini untuk mengurangi vaskularitas kelenjar dan
2
mempermudah operasi .

3) Terapi iodin radioaktif. Terapi ini aman dan cocok untuk segala jenis hipertiroid khususnya pada

mereka yang berusia lanjut. Selain itu juga dapat diberikan kepada pasien dengan komplikasi
2,6
penyakit graves dan ophthalmopathy . Beberapa studi menyatakan bahwa treatment dengan

radioiodine ini dapat memperburuk kondisi opthalmophaty pada sebagian kec il pasien yang
2
perokok .

4) Tindakan-tindakan medis lain (misalnya dengan agen penghambat beta adrenergik). Penggunaan

agen beta ini tidak boleh diberikan kepada pasien yang mengalami asma dan gagal jantung.

PILIHAN TERAPI

Bervariasi sesuai dengan perjalanan, beratnya penyakit dan kebiasaan yang berlaku.

a. Di Amerika Serikat terapi radioiodin menjadi terapi pilihan untuk kebanyakan pasien sementara di
3
Eropa dan Asia lebih suka terapi dengan obat-obat antitiroid .

2
b. Obat-obat antitiroid dalam jangka panjang, jika ada respon tepat dan ke lenjar mulai mengecil .

c. Radioiodin, jika obat antitiroid yang dibutuhkan berdosis besar dan kelenjar tidak mengecil. Terapi
2
ini akan menimbulkan indikasi apabila ada reaksi alergi serius terhadap obat antitiroid .
d. Tiroidektomi, jika kelenjar sangat besar (>150 g) atau multinodular atau jika pasien ingin segera
2
hamil .

DAFTAR PUSTAKA

1. Lee, L Stephanie. 2006. Hyperthyroidim http://www.emedicine.com/med/topic1109.htm, last

updated: Juli 18, 2006

2. Gardner, David G. 2004. Greenspan’s Basic and Clinical Endrocrinology . McGraw Hill Companies : USA

(hal: 248)

3. Chew, Shern L., and Leslie, David. 2006. Clinical Endrocrinology and Diabetes. Churchill Livingstone

Elseiver : USA (hal: 8)

4. Jameson, Larry J. et al. 2006. Harrison’s Endocrinology . McGraw Hill : USA (hal: 86)

5. Cooper, David S. 2005 Antithyroid Drugs, http://content.nejm.org/cgi/content/full/352/9/905 vol.352

Hal.905-917.

6. Walter, A Martin. 2007. Effect of antithyroid drug on radioiodine treatment : systematic review and 

meta-analysis of randomized controlled trials. Bmj. 39114.670150. BE. Hal 334-514.

GRAVES DISEASE

Latar belakang

Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun1830, adalah penyakit
autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisem (produksi berlebihan dari kelenjar tiroid) yang
ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma
adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goites adalah suatu
 pembengkakan atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabn ya bisa
 bermacam-macam. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda usia 20 – 40 tahun
terutama wanita, tetapi penyakit ini dapat terjadi p ada segala umur . Kelenjar tiroid dalam
keadaan normal tidak tampak, merupakan suatu kelanjar yang terletak di leher bagian depan, di
 bawah jakun. Kelenjar tiroid ini berfungsi untuk memproduksi hormon tiroid yang berfungsi
untuk mengontrol metabolisme tubuh sehingga tercapai pertumbuhan dan perkembangan yang
normal.
Penyebab

Penyebabnya tidak diketahui. Karenai ini merupakan penyakit autoimun yaitu saat tubuh
menghasilkan antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka
 penyakit ini dapat timbul tiba-tiba. Tidak diketahui mekanismenya secara pasti, kebanyakan
dijumpai pada wanita. Reaksi silang tubuh terhadap penyakit virus mungkin merupakan salah
satu penyebabnya ( mekanisme ini sama seperti postulat terjadinya diabetes mellitus tipe I).Obat-
obatan tertentu yang digunakan untuk menekan produksi hormon kelenjar tiroid dan Kurang
yodium dalam diet dan air minum yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama
mungkin dapat menyebabkan penyakit ini. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui,
tampaknya terdapat peran antibody terhadap reseptor TSH, yang menyebabkan peningkatan
 produksi tiroid. Penyakit ini ditandai dengan peninggian penyerapan yodium radioaktif oleh
kelenjar tiroid.

Patofisiologi

Graves disease merupakan salah satu contoh da ri gangguan autoimun hipersensitif tipe II.
Sebagian besar gambaran klinisnya disebabkan karena produksi autoantibodi yang berikatan
dengan reseptor TSH, dimana tampak pada sel folikuler tiroid ( sel yang memproduksi tiroid).
Antibodi mengaktifasi sel tiroid sama seperti TSH yang menyebabkan p eningkatan produksi dari
hormon tiroid. Opthalmopathy infiltrat ( gangguan mata karen a tiroid) sering terjadi yang tampak 
 pada ekspresi reseptor TSH pada jaringan retroorbital. Penyebab peningkatan produksi dari
antibodi tidak diketahui. Infeksi virus mungkin merangsang antibodi, dimana bereaksi silang
dengan reseptor TSH manusia. Ini tampak sebagai faktor predisposisi genetik dari Graves
disease, sebagian besar orang lebih banyak terkena Graves disease dengan aktivitas antibodi dari
reseptor TSH yang bersifat genetik.Yang berperan adalah HLA DR (terutama DR3).

Gambaran Klinis

Gejala dan tanda peningkatan metabolisme di segala sistem tubuh, mungkin terlihat jelas.
Peningkatan metabolisme menyebabkan peningkatan kalori, karena itu masukkan kalori
umumnya tidak mencukupi kebutuhan sehingga berat badan menurun. Peningkatan metabolisme
 pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk peningkatan sirkulasi darah dengan
 penambahan curah jantung sampai 2-3 kali normal, juga dalam istirahat. Irama nadi naik dan
tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulses seler dan penderita mengalami takikardi dan
 palpitasi. Beban miokard, dan rangsangan persarafannya dapat meningkatkan kekacauan irama
 jantung berupa fibrilasi atrium
Pada saluran cerna sekresi maupun peristalsis meningkat sehingga sering timbul diare.
Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita bangun di waktu
malam dan sering terganggu mimpi yang tidak karuan. Selain itu, penderita mengalami
ketidakstabilan emosi, kegelisahan, kekacauan pikiran dan ketakutan yang tidak beralasan yang
sangat mengganggu. Pada saluran nafas hipermetabolisme berupa dispnea dan takipnea yang
tidak terlalu mengganggu. Kelemahan otot biasanya cukup mengganggu, demikian juga
menoragia. Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun pada jaringan ikat di dalam rongga
mata. Jaringan ikat dengan jaringan lemaknya menjadi hiperplasik sehingga bola mata terdorong
keluar dan otot mata terjepit. Akibat terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan rusaknya bola
mata akibat keratitis. Gangguan faal otot mata yang menyebabkan strabismus.

Diagnosis

Diagnosis dapat dibuat berdasarkan dari tanda dan gejala yang ada, dan dari hasil laboratorium
 berupa kadar dari hormon tiroid (tiroksin/ T4, triyodotironin/ T3) dan kadar dari tiroid
stimulating hormone (TSH). Free T4 dan free T3 yang tinggi merupakan suatu petanda, sambil
TSH memberikan negative feedback. Peningkatan ikatan protein iodium mungkin dapat
terdeteksi. Struma yang besar kadang terlihat pada foto rontgen. Tiroid stimulating antibodi
mungkin dapat terlihat pada pemeriksaan serologi.

Penatalaksanaan

Pengobatan terhadap Graves disease termasuk penggunaan obat-obat anti tiroid (OAT), yodium
radioaktif dan tiroidektomi (eksisi pembedahan dari kelenjar tiroid). Pengobatan hipertiroid pada
graves disease adalah dengan obat-obatan seperti methimazole atau propylthiouracil (PTU), yang
akan menghambat produksi dari hormon tiroid, atau juga dengan yodium radioaktif .
Pembedahan merupakan salah satu pilihan pengobatan, sebelum pembedahan pasien diobati
dengan methimazole atau propylthiouracil (PTU). Beberapa ahli memberikan terapi kombinasi
tiroksin dengan OAT dosis tinggi untuk menghambat produksi hormon tiroid namun pasien tetap
dipertahankan eutiroid dengan pemberian tiroksin. Penambahan tiroksin selama terapi dengan
OAT juga akan menurunkan produksi antibodi terhadap reseptor TSH dan frekuensi kambuhnya
hipertiroid.
Pengobatan dengan iodium radioaktif diindikasikan pada : pasien umur 35 tahun atau lebih,
hipertiroid yang kambuh setelah dioperasi, gagal mencapai remisi sesudah pemberian OAT,
tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan OAT dan pada adenoma toksik, goiter 
multinodular toksik. Digunakan I131 dengan do sis 5-12mCi per oral.

Tiroidektomi subtotal sangat efektif untuk menanggulangi hipertiroid. Indikasi operasi adalah :
1. Pasien umur muda dengan struma yang besar serta tidak mempan dengan OAT
2. Pada wanita hamil (trimester kedua) yang mem erlukan OAT dosis tinggi.
3. Alergi terhadap OAT, pasien tidak bisa menerima iodium radioaktif.
4. Adenoma toksik atau struma multinodular toksik.
5. Pada penyakit grave yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996. Hal 932 – 4.
2. Noer S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. FKUI, Jakarta, 1996. Hal 766 – 72
3. Leksana, Mirzanie H. Chirurgica. Tosca En terprise. Yogyakarta, 2005. Hal VIII.1 – 5
4. http://www.eMedicine.com
5. http://www.wikepedia.com
6. http://www.konsultasigizi.com
7. http://www.GraveDisease.com
KELENJAR TIROID

 ANATOMI 
Berat rata-rata 15 gram. Terdiri dari lobus lateral yang memanjang sepanjang sisi laring,
mencapai tingkat garis tengah dari kartilago tiroid dan bergabung dengan istmus yang
menyilang trakea. Lobus piramidalis 80 %, memanjang ke atas dari istmus, dan merupakan
sisi embrionik dari duktus tiroglosal. Suplai arteri: superior dari arteri karotis eksterna,
dan inferior dari trunkus tiroservikalis. (2)

Nervus laringeus rekuren. Cedera mengakibatkan paralisis pita suara. Terletak


dalam sulkus trakeoesofageal: 64% kanan, 77% kiri. Lateral terhadap trakea: 33% kanan,
22% kiri. Anterolateral terhadap trakea: 3% kanan, 2% kiri. Langsung (non-rekuren): 0,5%
kanan. Anterior terhadap arteri tiroidalis inferior: 37% kanan, 24% kiri; 50% tertanam pada
ligamentum Berry  di belakang kutub atas dan rentan terhadap cedera akibat traksi pada
glandula. (2)

Nervus laringealis superior. Cedera mengakibatkan paralisis otot krikotiroid, yang


membentuk suara halus korda vokalis. Lokasinya di dekat atau di antara kutub atas
pembuluh-pembuluh. (2)

FISIOLOGI

Fungsi utama kelenjar tiroid adalah mensintesis dan mensekresi hormon tiroid.
Peningkatan hormon tiroid meningkatkan laju m etabolisme dan sebaliknya.

PEMERIKSAAN PENUNJANG GRAVES DISEASE


A. PEMERIKSAAN FISIK
1. Inspeksia :
a. posisi penderita duduk dengan leher terbuka, sedikit hiperekstensi.
b. Pembengkakan :
 Bentuk : Difus atau local
 Ukuran : Besar atau kecil
 Permukaan : Halus atau Nodular 
 Keadaan : Kulit atau tepi
 Gerakan : Pada waktu menelan

 Adanya pembesaran tiroid dapat dipastikan dengan menelan ludah dimana kelenjartiroid
akan mengikuti gerakan naik turunnya trakea untuk menutup glotis. Karena
tiroiddihubungkan oleh ligamentum kartilago dengan tiroid yaitu ligamentum berry.

2. Palpasi
Dari belakang penderita dengan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita danjari-jari lain meraba
benjolan pada leher penderita dan posisi kepala penderita dalam keadaan flexi..
Pada palpasi yang perlu diperhatikan adalah :
 Ditentukan lokalisasi benjolan terhadap trakea (mengenai lobus kiri, kanan ataukeduanya).
 Ditentukan ukuran (diameter terbesar dari benjolan).
 Konsistensi (kenyal sampai sangat keras).
 Mobilitas.
 Infiltrasi terhadap kulit/ jaringan sekitar.
 Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak.
 Nyeri pada penekanan atau tidak.

3. Perkusi
 Jarang dilakukan
 Hanya untuk mengetahui apakah pembesaran sudah sampai ke retrosternal.

4.  Auskultasi
 Jarang dilakukan
 Hanya dilakukan jika ada pulsasi pada pembengkakan.

B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Meskipun diagnosis sudah dapat ditegakkan melalui gambaran klinis dengan
menggunakanindeks Wayne, namun pemeriksaan laboratorium untuk hipertiroidisme perlu
dikerjakandengan alasan :
1. Untuk lebih menguatkan diagnosis yang sudah ditetapkan pada pemeriksaan klinik.
2. Untuk menyingkirkan hipertiroidisme pada pasien dengan beberapa kondisi seperti atrialfibrilasi yang
tidak diketahui sebabnya, payah jantung berat badan menurun, diare ataumiopati tanpa
manifestasi klinis lain hipertiroidisme.

Tes laboratorium terhadap thyroid hormone economy dapat dibagi dalam 5 kategori utama,yaitu :
1. Tes-tes mengenai konsentrasi dan ikatan dari hormone-hormon tiroid dalam darah
2. Tes terhadap fungsi thyroid
3. Indeks-indeks metabolic
4. Tes-tes mengenai ontrol homeostatik dari fungsi tiroid
5. Pemeriksaan-pemeriksaan lain , misalnya : ultrasonik , scan dan USG Tiroid
http://arnoiga.blogspot.com/2011/03/tutorial-ipd-graves-disease.html
Anatomi
Kelenjar tyroid terletak dibagian bawah leher, antara fascia koli media dan fascia
 prevertebralis. Didalam ruang yang sama terletak trakhea, esofagus, pembuluh darah besar, dan
syaraf. Kelenjar tyroid melekat pada trakhea sambil melingkarinya du a pertiga sampai tiga
 perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratyroid umumnya terletak pada permukaan belakang
kelenjar tyroid (De Jong & Syamsuhidayat, 1998).
Tyroid terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh istmus dan menutup cincin trakhea
2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pretrakhea sehingga pada setiap
gerakan menelan selalu diikuti dengan terangkatnya kelenjar kearah kranial. Sifat ini digunakan
dalam klinik untuk menentukan apakah suatu bentukan di leher berhubungan dengan kelenjar 
tyroid atau tidak (Djokomoeljanto, 2001).
Vaskularisasi kelenjar tyroid berasal dari a. Tiroidea Superior (cabang dari a. Karotis
Eksterna) dan a. Tyroidea Inferior (cabang a. Subklavia). Setiap folikel lymfoid diselubungi oleh
 jala-jala kapiler, dan jala-jala limfatik, sedangkan sistem venanya berasal dari pleksus
 perifolikular (Djokomoeljanto, 2001).
 Nodus Lymfatikus tyroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakhealis yang
kemudian ke arah nodus prelaring yang tepat di atas istmus, dan ke nl. Pretrakhealis dan nl.
Paratrakhealis, sebagian lagi bermuara ke nl. Brakhiosefalika dan ada yang langsung ke duktus
thoraksikus. Hubungan ini penting untuk menduga penyebaran keganasan (Djokomoeljanto,
2001).

Histologi
Pada usia dewasa berat kelenjar ini kira-kira 20 gram. Secara mikroskopis terdiri atas
 banyak folikel yang berbentuk bundar dengan diameter antara 50-500 µm. Dinding folikel terdiri
dari selapis sel epitel tunggal dengan puncak menghadap ke dalam lumen, sedangkan basisnya
menghadap ke arah membran basalis. Folikel ini berkelompok sebanyak kira-kira 40 buah untuk 
membentuk lobulus yang mendapat vaskularisasi dari end entry. Setiap folikel berisi cairan
 pekat, koloid sebagian besar terdiri atas protein, khususnya protein tyroglobulin (BM 650.000)

(Djokomoeljanto, 2001)
Fisiologi Hormon Tyroid
Kelenjar tyroid menghasilkan hormon tyroid utama yaitu Tiroksin (T4). Bentuk aktif 
hormon ini adalah Triodotironin (T3), yang sebagian besar berasal dari konversi hormon T4 di
 perifer, dan sebagian kecil langsung dibentuk oleh kelenjar tyroid. Iodida inorganik yang diserap
dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tyroid. Iodida inorganik mengalami oksidasi
menjadi bentuk organik dan selanjutnya menjadi bagian dari tyrosin yang terdapat dalam
tyroglobulin sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diiodotyrosin (DIT). Senyawa DIT yang
terbentuk dari MIT menghasilkan T3 atau T4 yang disimpan di dalam koloid kelenjar tyroid.
Sebagian besar T4 dilepaskan ke sirkulasi, sedangkan sisanya tetap di dalam kelenjar 
yang kemudian mengalami diiodinasi untuk selanjutnya menjalani daur ulang. Dalam sirkulasi,
hormon tyroid terikat pada globulin, globulin pengikat tyroid (thyroid-binding globulin, TBG)
atau prealbumin pengikat tiroksin (Thyroxine-binding pre-albumine, TPBA) (De Jong &
Syamsuhidayat, 1998).

Metabolisme T3 dan T4
Waktu paruh T4 di plasma ialah 6 hari sedangkan T3 24-30 jam. Sebagian T4 endogen
(5-17%) mengalami konversi lewat proses monodeiodonasi menjadi T3. Jaringan yang
mempunyai kapasitas mengadakan perubahan ini ialah jaringan hati, ginjal, jantung dan
hipofisis. Dalam proses konversi ini terbentuk juga rT3 (reversed T3, 3,3’,5’ triiodotironin) yang
tidak aktif, yang digunakan mengatur metabolisme pada tingkat seluler (Djokomoeljanto, 2001).
Pengaturan faal tiroid :
Ada 4 macam kontrol terhadap faal kelenjar tiroid : (Djokomoeljanto, 2001)

1. TRH (Thyrotrophin releasing hormone)

Tripeptida yang disentesis oleh hipothalamus. Merangsang hipofisis mensekresi TSH (thyroid
stimulating hormone) yang selanjutnya kelenjar tiroid teransang menjadi hiperplasi dan
hiperfungsi

2. TSH (thyroid stimulating hormone)


Glikoprotein yang terbentuk oleh dua sub unit (alfa dan beta). Dalam sirkulasi akan
meningkatkan reseptor di permukaan sel tiroid (TSH-reseptor-TSH-R) dan terjadi efek hormonal
yaitu produksi hormon meningkat

3. Umpan Balik sekresi hormon (negative feedback).

Kedua hormon (T3 dan T4) ini menpunyai umpan balik di tingkat hipofisis. Khususnya hormon
 bebas. T3 disamping berefek pada hipofisis juga pada tingkat hipotalamus. Sedangkan T4 akan
mengurangi kepekaan hipifisis terhadap rangsangan TSH.

4. Pengaturan di tingkat kelenjar tiroid sendiri.

Produksi hormon juga diatur oleh kadar iodium intra tiroid

PLUMMER

Struma nodular toksik 


Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer’s disease (Sadler et al, 1999).
Paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik.
Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap terapi
digitalis. Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah, dan
 pengecilan otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien tersebut yang
 berbeda dengan pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves. Penderita goiter nodular 
toksik mungkin memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan
mata berkurang) akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada
manifestasi dramatis oftalmopati infiltrat seperti yang terlihat pada penyakit Graves (Price dan
Wilson, 1994). Gejala disfagia dan sesak napas mungkin dapat timbul. Beberapa goiter terletak 
di retrosternal (Sadler et al, 1999)
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukung oleh tingkat
TSH serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi antitiroid biasanya
tidak ditemukan (Sadler et al, 1999)
Penatalaksanaan
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala tetapi
 biasanya kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak efektif seperti
 penyakit Graves karena pengambilan yang rendah dan karena pend erita ini membutuhkan dosis
radiasi yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi atau lobektomi tiroid adalah terapi
 pilihan karena kanker jarang terjadi. Untuk struma multinodular toksik, lobektomi pada satu sisi
dan subtotal lobektomi pada sisi yang lain adalah dianjurkan (Sadler et al, 1999)
ababar.blogspot.com/2008/12/ struma.html 

Struma Nodular Toksik


Pendahuluan

Struma nodular toksik adalah kelenjar tiroid yang mengandung nodul tiroid yang mempunyai fungsi
yang otonomik, yang menghasilkan suatu k eadaan hipertiroid. Struma nodular toksik (Plummer’s
disease) pertama sekali dideskripsikan oleh Henry Plummer pada tahun 1913. Struma nodular toksik
merupakan penyebab hepertiroid terbanyak kedua setelah Graves disease.

Patofisiologi

Struma nodular toksik menampilkan spectrum penyakit mulai dari nodul hiperfungsi tunggal ( toxic
adenoma) sampai ke nodul hiperfungsi multipel (multinodular thyroid ). Riwayat dari multinodular 
struma melibatkan suatu variasi pertumbuhan nodul dimana menuju ke perdarahan dan degenerasi,
yang diikuti oleh proses penyembuhan dan fibrosis. Proses kalsifikasi juga bisa terjadi di area yang
sebelumnya terjadi perdarahan. Beberapa nodul bisa berkembang menjadi fungsi yang otonomik.
Hiperaktifitas otonomik terjadi oleh karena adanya mutasi somatik dari reseptor thyrotropin atau
hormon TSH pada 20  – 80 % adenoma toksik dan beberapa nodul dari multinodular struma. Fungsi
otonomik bisa menjadi toksik pada 10 % pasien. Hipertiroidism terjadi ketika nodul tunggal sebesar 2,5
cm atau lebih. Tanda dan symptom dari struma nodular toksik sama dengan tipe hipertiroid lainnya.

Epidemiologi
Internasional

Pada area endemik kekurangan iodium, struma nodular toksik terjadi sekitar 58 % dari kasus
hipertiroidism, 10 % berbentuk nodul toksik yang solid. Grave disease terjadi sekitar 40 % dari kasus
hipertiroidism

Morbiditas dan mortalitas

Kompresi local yang terjadi yang berhubungan dengan perkembangan nodul dan kelenjar
mengakibatkan terjadinya dyspnea, serak, dan dysphagia.

Jenis Kelamin

Struma nodular toksik lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Pada wanita dan pria berusia diatas
40 tahun, rata – rata prevalensi nodul yang bisa teraba adalah 5  – 7 % dan 1 – 2 %.

Umur

Kebanyakan pasien struma nodular toksik berusia lebih dari 50 tahun. Thyrotoksikosis sering terjadi
pada pasien dengan riwayat struma yang berkepanjangan. Toksisitas terjadi pada pasien dengan
perkembangan fungsi yang otonomik. Toksisitas meningkat pada dekade 6 dan 7 dari kehidupan
khususnya orang dengan riwayat keluarga mengalami struma nodular toksik.

Klinis

Riwayat

 Thyrotoxic symptoms

Kebanyakan pasien dengan struma nodular toksik menunjukkan symptom yang tipikal dengan
hipertiroid seperti tidah tahan terhadap udara panas, palpitasi, tremor, kehilangan berat badan,
kelaparan dan peningkatan frekuensi pergerakan saluran cerna.

Pada pasien yang berusia tua terdapat beberapa ge jala atipikal diantaranya

- Anoreksia dan konstipasi

- Komplikasi cardiovascular yang mempunyai riwayat atrial fibrilasi, Penyakit jantung kongestif ataupun
angina

 Obstructive symptoms

Struma yang membesar secara signifikan bisa menyebabkan symptom yang berhubungan dengan
oobstruksi mekanik seperti:

- Dysphagia, dyspnea ataupun stridor


- Melibatkan saraf laryngeal superior rekuren yang menimbulkan perubahan suara menjadi serak

 Asymptomatik

Kebanyakan pasien mengetahui mengalami hipertiroidism ketika skrining rutin. Kebanyakan pada hasil
lab menunjukkan penekanan TSH dengan lvel throxine (T4) yang normal

Pemeriksaan Fisik

Terdapat pelebaran, fisura palpebral, takikardia, hiperkinesis, banyak berkeringat, kulit lembab, tremor,
dan kelemahan otot proksimal. Pembesaran kelenjar thyroid bervariasi. Nodul yang dominan ataupun
multiple irregular dengan variasi ukuran biasanya dijumpai. Kelenjar yang kecil dengan multinodul hanya
bisa dijumpai dengan USG. Suara serak dan deviasi trakea bisa dijumpai pada pemeriksaan. Obstruksi
mekanis bisa menyebabkan terjadinya superior vena cava syndrome berupa penekanan vena di leher
dan kepala sehingga menghasilkan Pemberton sign. Stigmata Grave disease seperti eksoftalmus,
pretibial myedema tidak dijumpai.

Penyebab

Fungsi otonomik dari kelenjar tiroid berhubungan dengan kekurangan iodium. Berbagai variasi
mekanisme telah diimplikasikan, akan tetapi pathogenesis molecular belum begitu jelas

 Keadaan yang menjurus pada struma nodular toksik

- Defisiensi iodium berdampak pada penurunan kadar T4, yang mencetus hyperplasia sel tiroid untuk
mengkompensasi kadar T4 yang rendah

- Peningkatan replikasi sel tiroid merupakan factor predisposisi sel tunggal untuk mengalami mutasi
somatic dari reseptor TSH. Aktifasi konstitutif dari reseptor TSH bisa membuat factor autokrin yang
mempromosikan pertumbuhan yang menghasilkan proliferasi klonal. Sel klon memproduksi nodul yang
multiple

 Mutasi Somatik dari reseptor TSH dan G α protein merubah aktifasi ko nstitutif menjadi kaskade cyclic
adenosine monophosphate (cAMP) dari jalur inostol phosphate

- Mutasi ini terdapat pada fungsi otonomik nodul tiroid, solid sampai pada kelenjar multinodu

- Laporan frekuensi mutasi ini bervariasi, sekitar 10  – 80 %. Insidensi tertinggi dilaporkan pada pasien
dengan defisiensi iodium

 Polimorphism dari reseptor TSH telah dilakukan penelitian pada pasien dengan struma nodular toksik

- Mutasi ini terdapat pada jalur sel yang lain, indikasi mutasi germline. Salah satunya, D727E  memiliki
frekuensi lebih besar pada pasien struma nodular toksik dari orang yang sehat. Ini menunjukkan
polymorphism mempunyai hubungan dengan penyakit ini
- Kehadiran tahap heterozigot dari Varian D727E dari reseptor TSH manusia tidak berhubungan langsung
pada struma nodular toksik. Sekitar 10 % dari individu yang sehat memiliki polymorphism

 Mediator pertumbuhan yang terlibat diantaranya:

- Produksi Endhotelin 1 (ET  – 1) meningkat pada kelenjar tiroid tikus yang mengalami hyperplasia, ini
menunjukkan bahwa produksi ET-1 melinatkan pertumbuhan kelenjar tiroid dan vaskularisasinya.
Kontras antara sel tiroid yang normal dengan kanker papilari tiroid, jaringan tiroid pasien dengan struma
nodular toksik menunjukkan pewarnaan positif dari struma akan tetapi negative pada sel folikular.
Signifikansi dari temuan ini belum jelas, akn tetapi ET-1 merupakan suatu vasokonstriktor, mitogen dari
vascular endothelium, sel otot polos dan sel folkular tiroid.

- Pada sistem invitro menunjukkan stimulasi dari proliferasi sel folikular tiroid dengan insulin-like growth
 factor , epidermal growth factor dan fibroblast growth factor .

Diagnosis Banding

Diagnosis banding struma nodular toksik diantaranya:

- Struma nodular non toksik

- Graves disease

- Hashimoto disease

- Thyroid papillary carcinoma

- Thyroiditis subakut

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

- Tes Fungsi tiroid

TSH assay generasi ketiga adalah penilaian awal terbaik dari uji tapis untuk hipertiroid. Pasien dengan
struma nodular toksik mengalami peningkatan kadar TSH. Kadar T4 bebas akan meningkat ataupun
dalam batas referensi. Peningkatan T4 yang terisolasi diobservasi pada iodine-induced hyperthyroidism
atau adanya agen untuk menghambat perubahan T4 menjadi T3 seperti propanolol, kortikosteroid, agen
radiokontras, amiodarone. Beberapa pasien mungkin memiliki kadar T4 bebas yang normal dengan T3
yang meningkat (toksikosis), Ini bisa terjadi pada 5  – 46 % pasien dengan nodul toksik.

- Hipertiroid subklinis
Beberapa pasien memiliki penekanan kadar TSH dengan nilai T4 dan T3 yang normal

Pemeriksaan pencitraan

- Nuclear scintigrafi

Pemindaian nuclear bisa dilakukan pada pasien dengan hipertiroidism biomolekular. Nuclear medicine
123 99m
bisa dilakukan dengan radioaktif iodine  – 123 ( I) atau dengan technetium  – 99m ( Tc). Isotop ini
dipilih karena memiliki waktu paruh yang pendek dan memiliki paparan radiasi yang kecil pada pasien
 jika disbanding dengan Natrium iodide  – 131 (Na 131 I). 99m Tc akan tertahan pada tiroid akan tetapi tidak
99m
mengalami organifikasi. Walaupun tersedia, pemindaian Tc bisa menghasilkan hasil yang salah.
99m
Beberapa nodul menunjukkan hasil panas ataupun hangat pada pemindaian Tc dan hasil dingin pada
123 123
pemindaian I. Maka dari itu I lebih dipilih. Pemindaian nuclear menunjukkan determinasi
terjadinya hipertiroid, Pasien dengan Graves disease menunjukkan homogenous diffuse uptake,
sedangkan throiditis menunjukkan low uptake. Pada pasien dengan struma nodular toksik hasil
pemindaian menunjukkan  patchy uptake. Nilai uptake radioiodine dalam 24 jam rata  – rata 20  – 30
%. Pemindaian tiroid sangat berguna untuk membantu mendeterminasi perubahan  – perubahan pada
kelenjar tiroid, dimana mengandung nodul toksis.

- Ultrasonografi

USG adalah prosedur yang sensisitf pada nodul yang tidak teraba pada saat pemeriksaan. USG sangat
membantu ketika dikorelasikan dengan pemindaian nuclear untuk mendeterminasikan dengan fungsi
nodul. Dominasi nodul dingin bisa dilanjutkan dengan pemeriksaan BAJAH (Biopsi Aspirasi Jarum Halus)
untuk penatalaksanaan definitive dari struma nodular toksik. Teknik ini bisa digunakan untuk
mengetahui ukuran dari tiroid nodul.

- Pencitraan lainnya

CT  – Scan pada leher bisa membantu menentukan apakah ada kelainan pada trakea jika terjadi suatu
deviasi yang terjadi akibat suatu struma. Struma multinodular khususnya dengan komponen substernal
biasanya merupakan temuan yang tidak sengaja pada radiografi thorax, CT scan atau MRI. Ct-scan
dengan menggunakan iodine kontras bisa memicu terjadinya tirotoksikosis pada orang dengan
nontoksik yang tersembunyi (Jod-Basedow effect).

Prosedur

- BAJAH

BAJAH tidak selalu diindikasikan pada nodul tiroid fungsional otonomik (hot). Risiko terjadinya
keganasan sangatlah kecil. Interpretasi dari specimen sangat sulit, karena tampilannya menyerupai
keganasan pada sel folikular dan menimbulkan kerancuan antara lesi jinak dan lesi ganas tanpa
pemotongan jaringan untuk melihat adanya vaskularisasi dan invasi kapsular. BAJAH dilakukan jika
menunjukkan suatu nodul dingin (cold) yang dominan pada struma multinodular. Nodul yang secara
klinis signifikan lebih besar dari 1 cm dengan diameter maksimum berdasarkan pada palpasi dan USG,
kecuali pada penningkatan risiko keganasan. NOdul yang tidak teraba bisa dibiopsi dengan bantuan USG.

Penatalaksanaan

Terapi Medis

Terapi optimal pada penatalaksanaan struma nodular toksik masih merupakan suatu controversial.
Pasien dengan nodul dengan fungsional otonomik ditatalaksana dengan radioaktif iodine ataupun
pembedahan. Pasien dengan hipertiroidsm subklinis harus dimonitor dengan ketat.

131
- Na I, di Amerika Serikat dan Eropa radioaktif iodine merupakan prenatalaksanaan pilihan pada struma
nodular toksik. Mengenai dosis optimal masih merupakan suatu perdebatan. Pasien dengan struma
nodular toksik mempunyai uptake yang lebih sedikit dari pasien dengan Graves disease. Maka dari itu
lebih memerlukan dosis yang lebih besar. Radioiodine terapi dengan dosis tunggal menunjukkan
keberhasilan sekitar 85  – 100 % pada pasien dengan struma nodular toksik. Terapi radioiodine bisa
mengecilkan ukuran struma hingga 40 %. Kegagalan terapi inisial dengan radioaktif iodine mempunyai
hubungan dengan peningkatan ukuran struma dan peninggian kadar T3 dan T4 yang bebas, yang
131
menunjukkan bahwa perlu adanya peningkatan dosis Na I. Korelasi positif terjadi antara dosis radiasi
pada tiroid dan penurunan volume tiroid. Pada pasien dengan uptake kurang dari 20 %, tatalaksana awal
dengan lithium , PTU dan TSH recombinan bisa meningkatkan kefektifan uptake iodine.

Komplikasi yang bisa timbul diantaranya hipotiroidsm, symptom throtoxic ringan, eksaserbasi dari CHF
dan atrial fibrilasi pada pasien dengan usia tua, tiroid storm.

- Farmakoterapi

Obat antitiroid dan beta bloker digunakan untuk pengobatan jangka pendek struma nodular toksik. Hal
ini sangat penting pada untuk persiapan melakukan radioiodine dan pembedahan. Pasien dengan
penyakit subklinis dengan risiko komplikasi yang tinggi diberikan methimazole dosis rendah (5  – 15 mg /
hari) atau beta bloker dan dimonitor perubahan symptom atau progrefisitas penyakit yang diperlukan
untuk terapi definitif.

Thiamide (PTU dan methimazole) adalah terapi untuk mencapai euthiroidsm sebagai langkah awal dari
terapi definitive radioiodine dan pembedahan. Direkomendasikan untuk menghentikan obat antitiroid
sedikitnya 4 hari sebelum terapi radioiodine untuk memaksimalisasi efek radioiodine. Obat antitiroid
diberikan 2  – 8 minggu sebelum terapi radioiodine untuk mencegah risiko terjadinya tiroid storm. Obat
antitiroid dan beta bloker ini memiliki efek samping berupa gatal  – gatal, demam, dan gangguan saluran
cerna. PTU memiliki efek samping yang serius yaitu kerusakan hati, maka dari itu PTU digunakan sebagai
terapi garis kedua kecuali pada pasien dengan alergi dan intoleransi pada metimazole.
Beta- adrenergic reseptor antagonis digunakan untuk mengatasi symptom dari tirotoksikosis. Propanolol
(non selective beta bloker) bisa menurunkan heart rate mengkontrol tremor, menurunkan keringat
berlebihan, dan mengatasi kecemasa. Propanolol juga diketahui bisa menurunkan konversi T4 menjadi
T3. Pasien dengan asthma, beta 1 selektif antagonis seperti atenolol atau metoprolol merupakan pilihan
yang aman. Pada pasien dengan kontraindikasi beta bloker menggunakan Ca channel blocker bisa
membantu mengontrol heart rate.

Pembedahan

Terapi pembedahan dilakukan pada individu muda, dan pasien dengan 1 nodul besar atau lebih dengan
symptom obstruktif, pasien dengan dominan nonfungsi, pasien dengan kehamilan, pasien dengan
kegagalan terapi radioiodine. Subtotal thyroidectomi mandapatkan kesembihan hipotiroid yang cepat
pada 90 % pasien dan dengan cepat menghilangkan symptom kompresi. Komplikasi pembedahan yang
timbul diantaranya terjadinya hipotiroidsm (15  – 25 %), permanen vocal cord par alysis (2,3%), permanen
hypoparatiroidsm (0,5 %), temporary hypoparatiroidsm (2,5 %) dan perdarahan pascaoperasi yang
signifikan (1,4 %). Komplikasi lainya seperti tracheostomy, infeksi luka, myocard infark, atrial fibrillation,
dan stroke.

Follow up

Setelah memulai pemberian PTU atau methimazole pada pasien dengan struma nodular toksik, lakukan
penilaian T4 bebas dan index T4 bebas pada minggu ke 4  – 6. Kadar TSH meningkat dengan lambat
dikarenakan adanya supresi oleh peningkatan level hormone tiroid dan memerlukan waktu beberapa
bulan untuk normal.

Ablasi radioiodine memerlukan waktu 10 minggu untuk mencapai respon klinis. Pasien memerlukan
tatalaksana dengan obat antitiroid dan beta bloker dalam periode tersebut. Cek evaluasi biokimia dari
fungsi tiroid sekitar 4 minggu setelah terapi inisial.

Pasien dengan total tirodectomy memulai levotiroksin pada saat itu juga, kecuali adanya tanda klinis
hipertiroid. Evaluasi fungsi tiroid 4  – 6 setelah pembedahan.

Monitor pasien dengan hipertiroid subklinis dengan evaluasi biokimia setiap 6 bulan.

Prognosis

Kebanyakan pasien yang diobati memiliki prognosis yang baik. Prognosis yang jelek berhubungan
dengan hipertiroidsm yang tidak terobati. Pasien harusnya mengetahui jika hipertiroid tidak diobati
131
maka akan menimbulkan osteoporosis, arrhythmia, gagal jantung, koma, dan kematian. Ablasi dari Na
I menghasilkan hipertiroid yang kontiniu dan membutuhkan terapi ulang dan pembedahan untuk
mengangkat kelenjar tiroid.

Referensi

1. Lado-Abeal J, Palos-Paz F, Perez-Guerra O, et al. Prevalence of mutations in TSHR, GNAS, PRKAR1A and
RAS genes in a large series of toxic thyroid adenomas from Galicia, an iodine deficient area in NW
Spain. Eur J Endocrinol . Aug 11 2008

2. Abraham-Nordling M, Törring O, Lantz M, et al. Incidence of hyperthyroidism in Stockholm, Sweden,


2003-2005. Eur J Endocrinol . Jun 2008;158(6):823-7.

3. Basaria S, Salvatori R. Images in clinical medicine. Pemberton's sign. N Engl J Med . Mar
25 2004;350(13):1338.

4. Gabriel EM, Bergert ER, Grant CS, et al. Germline polymorphism of codon 727 of human thyroid-
stimulating hormone receptor is associated with toxic multinodular goiter. J Clin Endocrinol 
Metab. Sep 1999;84(9):3328-35.

5. Muhlberg T, Herrmann K, Joba W, et al. Lack of association of nonautoimmune hyperfunctioning thyroid


disorders and a germline polymorphism of codon 727 of the human thyrotropin receptor in a European
Caucasian population. J Clin Endocrinol Metab. Aug 2000;85(8):2640-3.

6. American Association of Clinical Endocrinologists and Associazione Medici Endocrinologi medical


guidelines for clinical practice for the diagnosis and management of thyroid nodules. Endocr Pract . Jan-
Feb 2006;12(1):63-102

7. Cerci C, Cerci SS, Eroglu E, et al. Thyroid cancer in toxic and non-toxic multinodular goiter. J Postgrad 
Med . Jul-Sep 2007;53(3):157-60.

8. van Soestbergen MJ, van der Vijver JC, Graafland AD. Recurrence of hyperthyroidism in multinodular
goiter after long-term drug therapy: a comparison with Graves' disease. J Endocrinol 
Invest . Dec 1992;15(11):797-800.

9. Allahabadia A, Daykin J, Sheppard MC, et al. Radioiodine treatment of hyperthyroidism-prognostic


factors for outcome. J Clin Endocrinol Metab. Aug 2001;86(8):3611-7.

10. Zingrillo M, Urbano N, Suriano V, et al. Radioiodine treatment of Plummer and multinodular toxic and
nontoxic goiter disease by the first approximation dosimetry method. Cancer Biother 
Radiopharm. Apr 2007;22(2):256-60

11. Albino CC, Mesa CO Jr, Olandoski M, et al. Recombinant human thyrotropin as adjuvant in the treatment
of multinodular goiters with radioiodine. J Clin Endocrinol Metab. May 2005;90(5):2775-80.
12. Duick DS, Baskin HJ. Utility of recombinant human thyrotropin for augmentation of radioiodine uptake
and treatment of nontoxic and toxic multinodular goiters. Endocr Pract . May-Jun 2003;9(3):204-9.

13. Adamali HI, Gibney J, O'Shea D, et al. The occurrence of hypothyroidism following radioactive iodine
treatment of toxic nodular goiter is related to the TSH level. Ir J Med Sci . Sep 2007;176(3):199-203.

14. Bonnema SJ, Bertelsen H, Mortensen J, et al. The feasibility of high dose iodine 131 treatment as an
alternative to surgery in patients with a very large goiter: effect on thyroid function and size and
pulmonary function. J Clin Endocrinol Metab. Oct 1999;84(10):3636-41.

15. FDA MedWatch Safety Alerts for Human Medical Products. Propylthiouracil (PTU). US Food and Drug
Administration. Available at
http://www.fda.gov/Safety/MedWatch/SafetyInformation/SafetyAlertsforHumanMedicalProducts/ucm
164162.htm. Accessed June 3, 2009.

16. Bonnema SJ, Bennedbaek FN, Veje A, et al. Propylthiouracil before 131I therapy of hyperthyroid
diseases: effect on cure rate evaluated by a randomized clinical trial. J Clin Endocrinol 
Metab. Sep 2004;89(9):4439-44.

17. Azizi F, Khoshniat M, Bahrainian M, et al. Thyroid function and intellectual development of infants
nursed by mothers taking methimazole. J Clin Endocrinol Metab. Sep 2000;85(9):3233-8.

18. Momotani N, Yamashita R, Makino F, et al. Thyroid function in wholly breast-feeding infants whose
mothers take high doses of propylthiouracil. Clin Endocrinol (Oxf). Aug 2000;53(2):177-81.

19. Aeschimann S, Kopp PA, Kimura ET, et al. Morphological and functional polymorphism within clonal
thyroid nodules. J Clin Endocrinol Metab. Sep 1993;77(3):846-51.

20. Aghini-Lombardi F, Antonangeli L, Martino E, et al. The spectrum of thyroid disorders in an iodine-
deficient community: the Pescopagano survey. J Clin Endocrinol Metab. Feb 1999;84(2):561-6.

21. Clark KJ, Cronan JJ, Scola FH. Color Doppler sonography: anatomic and physiologic assessment of the
thyroid. J Clin Ultrasound . May 1995;23(4):215-23.

22. Cooper DS. Hyperthyroidism. Lancet . Aug 9 2003;362(9382):459-68.

23. Dumont JE, Lamy F, Roger P, et al. Physiological and pathological regulation of thyroid cell proliferation
and differentiation by thyrotropin and other factors. Physiol Rev . Jul 1992;72(3):667-97.

24. Erem C, Kandemir N, Hacihasanoglu A, et al. Radioiodine treatment of hyperthyroidism: prognostic


factors affecting outcome. Endocrine. Oct 2004;25(1):55-60.

25. Erickson D, Gharib H, Li H, et al. Treatment of patients with toxic multinodular


goiter. Thyroid . Apr 1998;8(4):277-82.

26. Feit H. Thyroid function in the elderly. Clin Geriatr Med . Feb 1988;4(1):151-61.
27. Grubeck-Loebenstein B, Buchan G, Sadeghi R, et al. Transforming growth factor beta regulates thyroid
growth. Role in the pathogenesis of nontoxic goiter. J Clin Invest . Mar 1989;83(3):764-70.

28. Holzapfel HP, Fuhrer D, Wonerow P, et al. Identification of constitutively activating somatic thyrotropin
receptor mutations in a subset of toxic multinodular goiters. J Clin Endocrinol 
Metab. Dec 1997;82(12):4229-33.

29. Kang AS, Grant CS, Thompson GB, et al. Current treatment of nodular goiter with hyperthyroidism
(Plummer's disease): surgery versus radioiodine. Surgery . Dec 2002;132(6):916-23; discussion 923.

30. Koornstra JJ, Kerstens MN, Hoving J, et al. Clinical and biochemical changes following 131I therapy for
hyperthyroidism in patients not pretreated with antithyroid drugs. Neth J Med . Nov 1999;55(5):215-21.

31. Kraiem Z, Glaser B, Yigla M, et al. Toxic multinodular goiter: a variant of autoimmune hyperthyroidism. J
Clin Endocrinol Metab. Oct 1987;65(4):659-64.

32. Krohn K, Paschke R. Clinical review 133: progress in understanding the etiology of thyroid autonomy. J
Clin Endocrinol Metab. Jul 2001;86(7):3336-45.

33. Lavard L, Sehested A, Brock Jacobsen B, et al. Long-term follow-up of an infant with thyrotoxicosis due to
germline mutation of the TSH receptor gene (Met453Thr). Horm Res. 1999;51(1):43-6.

34. Maussier ML, D'Errico G, Putignano P, et al. Thyrotoxicosis: clinical and laboratory
assessment. Rays. Apr-Jun 1999;24(2):263-72.

35. Pearce EN, Braverman LE. Hyperthyroidism: advantages and disadvantages of medical therapy. Surg Clin
North Am. Jun 2004;84(3):833-47.

36. Reiners C, Schneider P. Radioiodine therapy of thyroid autonomy. Eur J Nucl Med Mol 
Imaging. Aug 2002;29 Suppl 2:S471-8.

37. Sato K, Miyakawa M, Eto M, et al. Clinical characteristics of amiodarone-induced thyrotoxicosis and
hypothyroidism in Japan. Endocr J. Jun 1999;46(3):443-51.

38. Siegel RD, Lee SL. Toxic nodular goiter. Toxic adenoma and toxic multinodular goiter. Endocrinol Metab
Clin North Am. Mar 1998;27(1):151-68.

39. Talbot JN, Duron F, Piketty ML, et al. Low thyrotropin (TSH) levels in goiter. Relationship with
scintigraphic findings and other biological parameters. Thyroidology . Apr 1989;1(1):39-44.

40. Tonacchera M, Chiovato L, Pinchera A, et al. Hyperfunctioning thyroid nodules in toxic multinodular
goiter share activating thyrotropin receptor mutations with solitary toxic adenoma. J Clin Endocrinol 
Metab. Feb 1998;83(2):492-8.

41. Tonacchera M, Vitti P, Agretti P, et al. Activating thyrotropin receptor mutations in histologically
heterogeneous hyperfunctioning nodules of multinodular goiter. Thyroid . Jul 1998;8(7):559-64.
Struma nodular toksik 
Struma nodular toksik juga dikenal sebagai Plummer's disease (Sadler et al, 1999). Palingsering
ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik.
Manifestasi klinis
Penderita mungkin mengalami aritmia dan gagal jantung yang resisten terhadap terapidigitalis.
Penderita dapat pula memperlihatkan bukti-bukti penurunan berat badan, lemah,dan pengecilan
otot. Biasanya ditemukan goiter multi nodular pada pasien-pasien tersebutyang berbeda dengan
 pembesaran tiroid difus pada pasien penyakit Graves.Penderita goiter nodular toksik mungkin
memperlihatkan tanda-tanda mata (melotot, pelebaran fisura palpebra, kedipan mata berkurang)
akibat aktivitas simpatis yang berlebihan. Meskipun demikian, tidak ada manifestasi dramatis
oftalmopati infiltratseperti yang terlihat pada penyakit Graves (Price dan Wilson, 1994). Gejala
disfagia dansesak napas mungkin dapat timbul. B eberapa goiter terletak di retrosternal (Sadler et
al,1999)
Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik dan didukun g oleh tingkatTSH
serum menurun dan tingkat hormon tiroid yang meningkat. Antibodi antitiroid biasanya tidak 
ditemukan (Sadler et al, 1999)
Penatalaksanaan
Terapi dengan pengobatan antitiroid atau beta bloker dapt mengurangi gejala tetapi biasanya
kurang efektif dari pada penderita penyakit Graves. Radioterapi tidak efektif seperti penyakit
Graves karena pengambilan yang rendah dan karena penderita inimembutuhkan dosis radiasi
yang besar. Untuk nodul yang soliter, nodulektomi ataulobektomi tiroid adalah terapi pilihan
karena kanker jarang terjadi. Untuk strumamultinodular toksik, lobektomi pada satu sisi dan
subtotal lobektomi pada sisi yang lainadalah dianjurkan (Sadler et al, 1999).
http://www.scribd.com/doc/44688966/30/Struma-nodular-toksik 
Gambar 1 : Patogenesis Penyakit Graves
http://medlinux.blogspot.com/2008/07/penyakit-graves.html

Anda mungkin juga menyukai