Anda di halaman 1dari 18

REFARAT

HIPERTIROID

Pembimbing:
dr. Henry Sitanggang, Sp.B(K).KL

Disusun Oleh :
Nazra Amalia Nasution
2008320023

SMF DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN BEDAH


RSUD DELI SERDANG LUBUK PAKAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas refarat sebagai salah
satu syarat tugas untuk mengikuti ujian di Kepaniteraan Klinik Senior
Departemen Bedah RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam.
Pada kesempatan kali ini, izinkan saya untuk mengucapkan terima kasih
kepada pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan refarat yang
berjudul “HIPERTIROID” ini, terutama kepada pembimbing saya yaitu dr. Henry
Sitanggang, Sp.B(K).KL.
.Semoga refarat ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua baik sekarang
maupun dihari yang akan datang.

Lubuk Pakam, 14 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………..ii
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………..1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………....1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………...2
2.1 Definisi ……………….………………………………………………….2
2.2 Etiologi..........…………………………………………………………….2
2.3 Epidemiologi …………………………………………………………..2
2.4 Patogenesis ……………………………………………………………..3
2.5 Patofisiologi ………….…………………………………………………….8
2.6 Penegakan Diagnosa…………………………………………………………9
2.7 Penatalaksanaan ……………………………………………………………..10
BAB III KESIMPULAN………………………………………………….18
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..19

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi
tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan. Hipertiroidisme
(Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar tiroid bekerja secara
berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan di dalam darah.1
Hipertiroidisme dapat timbul spontan atau akibat asupan hormon tiroid yang
berlebihan. Terdapat dua tipe hipertiroidisme spontan yang paling sering dijumpai
yaitu penyakit Graves dan goiter nodular toksik. Pada penyakit Graves terdapat
dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal, dan keduanya
mungkin tak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar
tiroid, dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Pasien
mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas,
kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan yang
meningkat, palpitasi dan takikardi, diare, dan kelemahan serta atropi otot.
Manifestasi ekstratiroidal oftalmopati ditandai dengan mata melotot, fisura
palpebra melebar, kedipan berkurang, lig lag, dan kegagalan konvergensi. Goiter
nodular toksik, lebih sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi
goiter nodular kronik, manifestasinya lebih ringan dari penyakit Graves.8
Di negara Amerika Serikat, penyakit Graves adalah bentuk yang paling umum
dari hipertiroid. Sekitar 60-80% kasus tirotoksikosis akibat penyakit Graves.
Kejadian tahunan penyakit Graves ditemukan menjadi 0,5 kasus per 1000 orang
selama periode 20-tahun, dengan terjadinya puncak pada orang berusia 20-40
tahun. Gondok multinodular (15-20% dari tirotoksikosis) lebih banyak terjadi di
daerah defisiensi yodium. Kebanyakan orang di Amerika Serikat menerima
yodium cukup, dan kejadian gondok multinodular kurang dari kejadian di wilayah
dunia dengan defisiensi yodium. Adenoma toksik merupakan penyebab 3-5%
kasus tirotoksikosis.5
Prevalensi hipertiroid berdasarkan umur dengan angka kejadian lebih kurang
10 per 100.000 wanita dibawah umur 40 tahun dan 19 per 100.000 wanita yang
berusia di atas 60 tahun. Prevalensi kasus hipertiroid di Amerika terdapat pada
wanita sebesar (1 ,9%) dan pria (0,9%). Di Eropa ditemukan bahwa prevalensi
hipertiroid adalah berkisar (1-2%). Di negara lnggris kasus hipertiroid terdapat
pada 0.8 per 1000 wanita pertahun.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut American Thyroid Association dan American Association of
Clinical Endocrinologists, hipertiroidisme didefinisikan sebagai kondisi
Berupa peningkatan kadar hormon tiroid yang disintesis dan disekresikan
oleh kelenjar tiroid melebihi normal. Hipertiroidisme merupakan salah satu
bentuk thyrotoxicosis atau tingginya kadar hormon tiroid, T4, T3 maupun
kombinasi keduanya, di aliran darah.7
Hipertiroidisme adalah sindrom yang dihasilkan dari efek metabolic yang
beredar secara berlebihan oleh hormone tiroid T4, T3 atau keduanya.
Subklinis hipertiroidisme mengacu pada kombinasi konsentrasi serum TSH
yang tidak terdeteksi dan konsentrasi serum T3, T4 normal, terlepas dari ada
atau tidak adanya tanda-tanda gejala klinis.7

2.2 Etiologi
Penyebab Hipertiroidisme adalah adanya Imuoglobulin perangsang tiroid
(Penyakit Grave), sekunder akibat kelebihan sekresi hipotalamus atau
hipofisis anterior, hipersekresi tumor tiroid. Penyebab tersering
hipertiroidisme adalah penyakit Grave, suatu penyakit autoimun, yakni tubuh
secara serampangan membentuk thyroid-stymulating immunoglobulin (TSI),
suatu antibodi yang sasarannya adalah reseptor TSH di sel tiroid.9
1. Tiroid :
a. Grave’s disease  80% karena ini
Terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan
adanya penyakit autoimun lainnya misalnya DM tipe I
b. Adenoma toksik
c. Toksik nodular goiter
d. McCune-Albrigth
e. Tiroiditis sub akut
f. Tiroiditis limfositik kronik

2. Hipofisis :
a. Adenoma hipofisis
b. Hipofisis resisten terhadap T4
3. Lain :
a. Eksogen
b. Iodine induced hyperthyroidism
c. hCG

2.3 Epidemiologi
Graves Disease menyumbang antara 60% sampai 80% dari pasien dengan
hipertiroidisme. Hal ini menyerang 10 kali lebih banyak pada wanita
dibandingkan pria, dengan risiko tertinggi onset antara usia 40 sampai 60
tahun. Prevalensi adalah orang Asia dan Eropa. Adenoma autonom dan racun
multi-nodular gondok lebih sering terjadi di Eropa dan daerah lain di dunia di
mana penduduk cenderung mengalami defisiensi yodium, prevalensi mereka
juga lebih tinggi pada wanita dan pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun.7

2.4 Patogenesis dan patofisiologi


1. Patogenesis
Proses pengeluaran hormone tiroid yang normal adalah sebagai berikut:
Hipotalamus Hipofisis Tiroid
(menerima
TRH/TIH)

Kurang Lebih Pengeluaran TIH Reseptor TSH/TIH


(tiroid inhibiting merangsang kelenjar tiroid
hormon)

Kadar hormon Sekresi hormone Pengeluaran Pengeluaran


tiroid di tubuh tiroid ke pembuluh hormon hormon
darah dan jaringan tiroid tiroid
dihentikan (T3 & T4)
Keterangan:
Panah hitam : umpan balik positif
Panah merah : umpan balik negative

Dari bagan tersebut dapat diketahui bahwa apabila terjadi suatu


peningkatan kadar hormone tiroid didalam tubuh maka akan terjadi
feedback negative menuju hipotalamus. Ketika feedback negative
diterima oleh hipotalamus, maka akan terjadi pengeluaran hormone
inhibiting yang akan menurunkan sekresi/pembuatan hormone tiroid.
Proses ini terjadi ketika tiroid tidak mengalami suatu kelainan, apabila
terjadi suatu kelainan pada tiroid maka proses yang akan terjadi adalah
sebagai berikut (Guyton, 2007).

Hipotalamus Hipofisis Tiroid


(menerima
TRH/TIH)

Lebih Pengeluaran Reseptor TSH/TIH


TIH ditutupi oleh TSI
(Tiroid (Tiroid Stimulating
Inhibiting Imunoglobulin)
Hormone)

Kadar hormon Sekresi hormone Pengeluaran Pengeluaran


tiroid di tubuh tiroid ke pembuluh hormon hormon
darah dan jaringan tiroid tidak tiroid
makin meningkat dihentikan (T3 & T4)

Dari bagan diatas dapat dijelaskan bahwa terjadi peningkatan


hormone tiroid. Hal ini disebabkan oleh penutupan reseptor TSH dan
TIH oleh Tiroid Stimulating Inhibitor yang akan merangsang kelenjar
tiroid untuk memproduksi hormone tiroid secara terus menerus. Ketika
produksi hormone tiroid telah dirasa cukup oleh tubuh, maka tubuh akan
memberikan umpan balik negative kepada hipotalamus untuk
mengeluarkan TIH (Tiroid Inhibiting hormone) yang akan menurunkan
produksi hormone tiroid. Dalam kejadian ini, TIH tidak akan
memberikan efek kepada kelenjar tiroid karena reseptornya ditutupi oleh
TSI sehingga kelenjar tiroid akan melanjutkan proses produksi hormone
tiroidnya. 3
Ketika dilakukan pemeriksaan laboratorium mengenai kadar hormone
tiroid, maka akan didapatkan hasil berupa peningkatan hormone T 3 dan
T4 tanpa adanya peningkatan hormone TSH. Kejadian ini didapatkan
pada kasus penderita hipertiroidisme, yang akan menyebabkan
peningkatan kadar metabolism di dalam tubuh dan peningkatan tmbuh
kembang dari penderita tersebut.3
2. Patofisiologi
Hipertiroidisme disebabkan oleh antibody reseptor TSH yang
merangsang aktifitas tiroid, sehingga produksi tiroksin (T4) meningkat.
Akibat peningkatan ini ditandai dengan adanya tremor, ketidakstabilan
emosi, palpitasi, meningkatnya nafsu makan, kehilangan berat badan.
Kulit lebih hangat dan berkeringat, rambut halus, detak jantung cepat,
tekanan nadi yang kecil, pembesaran hati, kadang kadang terjadi gagal
jantung. Peningkatan cardiac output dan kerja jantung selama
ketidakstabilan atrial menyebabkan ketidakteraturan irama jantung,
terutama pada pasien dengan penyakit jantung. Ancaman bagi kehidupan
di kombinasi dengan delirium atau koma, temperatur tubuh naik sampai
41o C, detak jantung meningkat, hipotensi, muntah dan diare.3
Penyakit Graves memiliki gejala-gejala patognomonik sebagai ciri
khas atau tanda khusus. Beberapa gejala patognomonik yang menyertai
penyakit Graves, yaitu:
a. Eksoftalmus
Eksoftalmus disebabkan karena limfosit sitotoksik dan antibodi
sitotoksik yang bersintesis dengan antigen serupa seperti TSH reseptor
yang ditemukan di orbital fibroblast, otot orbital, dan jaringan tyroid.
Sitokin yang berasal dari limfosit yang disintesis menyebabkan
inflamasi di orbital fibroblast dan otot ekstraokular, dan hasilnya
adalah pembengkakan pada otot orbital.2

Pada hipertiroidisme imunogenik, eksoftalmus dapat ditambahkan


terjadi akibat peningkatan hormone tiroid, penonjolan mata dengan
diplopia, aliran air mata yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia
juga terjadi. Penyebabnya terletak pada reaksi imun terhadap antigen
retrobulbar yang tampaknya sama dengan reseptor TSH. Akibatnya
terjadi pembengkakan otot mata, infiltrasi limfosit, akumulasi asam
mukopolisakarida, dan peningkatan jaringan ikat retrobulbar.10
Pengamatan eksoftalmus dapat dimilai menggunakan suatu
metode yang dinamakan NO SPECS:
0 = No signs or symptom
1 = Only signs (lid retraction or lag)
2 = Soft tissue involvement (periorbital edema)
3 = Proptosis (>22 mm)
4 = Extraocular muscle involvement (diplopia)
5 = Corneal involvement
6 = Sight loss
Namun, metode NO SPECS tidak bisa menilai mata secara
keseluruhan, dan kadang-kadang kronologi gangguan pada mata
pasien tidak berurutan seperti yang tertera di daftar NO SPECS untuk
menilai derajat keparahan yang diderita pasien tersebut. Sehingga
ditakutkan hasilnya jadi kurang valid.
1) Untuk menilai proptosis bisa dilakukan dengan cara visualisasi
antara iris bagian bawah dengan palpebra bagian bawah. Untuk
Graves Disease biasanya iris pasien bisa terlihat di bagian bawah
palpebra, padahal normalnya tidak.
2) Untuk menilai proptosis juga bisa menggunakan alat
exopthalmometer.4
b. Tremor
Berbeda dengan tremor yang biasa tejadi pada penyakit Parkinson,
tremor pada penyakit Graves merupakan tremor lembut, bukan tremor
kasar. Tremor halus terjadi dengan frekuensi 10-15 x/detik, dan
dianggap sebagai efek dari bertambahnya kepekaan sinaps saraf
pengatur tonus otot di daerah medulla (Guyton, 2007). Gejala lain
yang mengiringi penyakit Graves, diantaranya:
1) Nafsu makan meningkat, tetapi berat badan turun
Tingginya kadar hormon tiroid menyebabkan terjadinya
peningkatan metabolisme pada tubuh. Sehingga, tubuh memerlukan
asupan makanan yang lebih banyak untuk megimbanginya.
2) Berat badan turun
Peningkatan metabolisme yang terjadi karena banyaknya hormon
tiroid membuat tbuh menggunakan senyawa-senyawa glukagonik
yang ada di dalam otot untuk membentuk glukosa melalui proses
glukoneogenesis. Karena diambil dari otot, maka pemakaian
senyawa glukogenik secara terus-menerus dapat mengurangi massa
otot sehingga berat badan pun bisa mengalami penurunan.3
3) Berdebar-debar
Peningkatan kadar triiodotironin (T3) sebagai salah satu hormon
tiroid dapat merangsang saraf simpatis yang berkaitan dengan
hormon-hormon yang dibentuk medulla suprarenal, yaitu
epinephrin dan norepinephrin. Kedua hormon tersebut dapat
meningkatkan frekuensi denyut jantung dengan cara menstimulasi
α dan β reseptor, terutama β reseptor yang berada di membran
plasma otot jantung.3
4) Peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi normal
Hormon tiroid berperan dalam meningkatkan kecepatan sekresi
getah pencernaan dan pergerakan saluran cerna, sehingga
hipertiroidisme seringkali menyebabkan diare.3

Sekresi hormon tiroid 

hipertiroidisme

hipermetabolisme

Penguraian glikogen - Kontraksi usus  masa protein otot rangka


glukosa

Degradasi KH, protein Sering defekasi Sering lelah


dan lemak

Kebutuhan metabolisme BB 

Nafsu makan 
Bagan patofisiologi berat badan menurun, nafsu makan meningkat, sering
defekasi, sering lelah pada hipertiroidisme

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan


bereaksi dengan antigen diatas dan
bila terangsang oleh pengaruh sitokin
(seperti interferon gamma

Mengekspresikan molekul-molekul
permukaan sel kelas II (MHC kelas II,
seperti DR4) untuk mempresentasikan
antigen pada limfosit T

Sitokin yang terbentuk dari limfosit


akan menyebabkan inflamasi
fibroblast dan miositis orbit

Menyebabkan pembengkakan otot-


otot bola mata, proptosis dan diplopia

Bagan patofisiologi diplopia dan eksoftalmus pada hipertiroidisme


T3&T4 meningkat

Fungsi hormon tiroid


memodulasi system saraf

Kepekaan sinaps saraf pada daerah


medulla (mengatur tonus otot)

Kepekaan saraf

Rangsangan berlebih

tremor

Bagan patofisiologi tremor pada hipertiroidisme

2.5 Penegakan Diagnosis


1. Anamnesis
Pada hipertiroid dapat ditemukan dua kelompok gambaran utama,
yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya dapat juga tidak tampak.
Tiroidal dapat berupa goiter karena hiperplasia kelenjar tiroid dan
hipertiroidisme akhibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala
hipertiroidisme dapat berupa hipermetabolisme dan aktivitas simpatis
yang meningkat seperti pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan
panas, keringat berlebih, berat badan menurun sementara nafsu makan
meningkat, palpitasi, takikardi, diare, dan kelemahan atau atrofi otot.
Manifestasi ekstratiroidal dapat ditemukan seperti oftalmopati dan
infiltrasi kulit lokal yang terbatas pada tungkai bawah biasanya.1
Pada anamnesis riwayat keluarga dan penyakit turunan, pada
hipertiroid perlu juga mengonfirmasi apakah ada riwayat keluarga yang
memiliki penyakit yang sama atau memiliki penyakit yang berhubungan
dengan autoimun.1
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat jelas manifestasi ekstratiroidal
yang berupa oftalmopati yang ditemukan pada 50-80% pasien yang
ditandai dengan mata melotot, fissura paplebra melebar, kedipan
berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan
mata) dan kegagalan konvergensi. Pada manifestasi tiroidal dapat
ditemukan goiter difus, eksoftalmus, palpitasi, suhu badan meningkat, dan
tremor.1
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu penegakkan diagnosis
adalah pemeriksaan kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau FT41 (free
thyroxine index), pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti
tiroglobulin dan antimikrosom, penguruan kadar TSH serum, test
penampungan yodium radiokatif (radioactive iodine uptake) dan
pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid scanning).1
4. Gold Standard Diagnosis
Gold standard yang digunakan dalam klinis adalah serum TSH dan
FT4.1

2.6 Penatalaksanaan
1. Farmakologis
Hipertiroid dapat diberikan obat antitiroid golongan tionamid.
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil yang dipasarkan
dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol yang dipasarkan dengan
nama metimazol dan karbimazol. Mekanisme kerja obat antitiroid bekerja
dengan dua efek, yaitu efek intra dan ekstratiroid. Berikut merupakan
mekanisme masing-masing efek.6
a. Mekanisme aksi intratiroid adalah menghambat oksidasi dan
organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosis, mengubah
struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis tiroglobulin
sehingga mencegah atau mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan
T4.
b. Mekanisme aksi ekstratiroid adalah menghambat konversi T4 menjadi
T3 di jaringan perifer. Obat yang bekerja dengan mekanisme aksi
ekstratiroid adalah propiltiourasil (PTU).
Dosis PTU dimulai degan 3x100-200 mg/hari dan
metimazol/tiamazol 20-40 mg/hari dengan dosis terbagi untuk 3-6
minggu pertama. Setelah itu dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai
respon klinis dan biokimia. Jika ditemukan dosis awal belum
memberikan perbaikan klinis, dosis dapat dinaikan bertahap hingga dosis
maksimal, sementara jika dosis awal sudah memberi perbaikan klinis
maupun biokimia, dosis diturunkan hingga dosis terkecil PTU 50 mg/hari
dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat
mempertahankan keadaan eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas
normal. Pemilihan PTU dan metimazol dapat disesuaikan dengan kondisi
klinis karena berdasarkan kemampuan menghambat penurunan segera
hormon tiroid di perifer, PTU lebih direkomendasikan.6
2. Nonfarmakologis
Pada terapi nonfarmakologi, penderita hipertiroid dapat diedukasi
untuk diet tinggi kalori dengan memberikan kalori 2600-3000 kalori per
hari baik dari makanan main dari suplemen, konsumsi protein tinggi 100-
125 gr (2,5 gr/kg BB) per hari untuk mengatasi proses pemecahan protein
jaringan seperti susu dan telur, olah raga teratur, serta mengurangi rokok,
alkohol, dan kafein yang dapat meningkatkan kadar metabolisme.6
BAB III
KESIMPULAN

1. Hipertiroidisme adalah keadaan tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi


tiroid, yang merupakan akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan.
Hipertiroidisme (Hyperthyrodism) adalah keadaan disebabkan oleh kelenjar
tiroid bekerja secara berlebihan sehingga menghasilkan hormon tiroid yang
berlebihan di dalam darah
2. Penyebab paling sering adalah grave’s disease
3. Manifestasi klinis dari hipertiroid adalah jantung berdebar, rasa lelah, tremor,
gelisah, nafsu makan meningkat namun BB menurun, eksoftalmus.
4. Penegakan diagnosis hipertiroid dapat menggunakan pemeriksaan
laboratorium kadar FT4 dan TSH
5. Tata laksana farmakologis yang digunakan adalah PTU dan tiamazol. Tata
laksana nonfarmakologis yang dilakukan adalah diet tinggi kalori dan protein.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amory, JK., Irl BH. 2011. Hyperthyroidism from Autoimmune Thyroiditis


in a Man with Type 1 Diabetes Mellitus: a Case Report. Journal of
Medical Case Reports 2011, 5:277
2. Gardner, David G, Dolores Shoback. 2007. Basic and Clinical
Endocrinology. Jakarta: Sagung Seto.
3. Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
Edisi 11. Jakarta: EGC

4. Harrison, Tinsley R. 2005. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th


Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies.
5. Lee, S.L., Ananthankrisnan, S., Ziel, S.H., Talavera, S., Griffing, G.T.,
2011. Hyperthyroidism. http://emedicine.medscape.com (Diakses tanggal
3 November 2014)
6. Palacios, SS. Eider, PC. Juan, CG. 2012. Management of Subclinical
Hyperthyroidism. International Journal of Endocrinology and Metabolism
April 2012; 10(2): 490-496
7. Pauline, M. Chamacho., Hossein, Gharib., Glen, W. Sizemore. 2007.
Evidence-Based Endocrinology.
8. Schteingart, D.E. 2006. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam Huriawati H.,
Natalia S., Pita W., Dewi A.M (Editors). Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Dalam. Penerbit Buku Kedokteran: EGC. Hal:
1225-36
9. Sherwood, L. 2002. Human Physiology: From Cells to Systems. Penerbit
buku kedokteran: EGC
10. Silbernagl, Stefan, Florian Lang. 2006. Teks & Atlas Berwarna
Patofisiologi. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai