Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker payudara,


kanker leher rahim, dan kanker paru. Berdasarkan GLOBOCAN 2012 terdapat 87.000 kasus
baru nasofaring muncul setiap tahunnya dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan
26.000 kasus baru pada perempuan serta 51.000 kematian akibat KNF, 36.000 pada laki-
laki, dan 15.000 pada perempuan.
Di Indonesia angka kejadian KNF hampir merata di setiap daerah. Prevalensi KNF di
Indonesia mencapai 4,7 per 100.000 penduduk pertahun dengan prevalensi tertinggi pada
dekade 4-5 dengan rasio antara laki-laki dan perempuan yaitu 2-3:1 (Murtiono, 2013). Di
RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus baru dalam setahun dan di RS Hasan Sadikin
Bandung ditemukan sekitar 60 kasus baru per tahunnya (Wahyono, 2010).
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan karsinoma sel skuamosa yang berasal dari
epitel nasofaring. Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan
suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas
serta letak nasofaring yang tersembunyi, dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan
ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher
sebagai gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka
bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI
Nasofaring merupakan rongga berbentuk trapezoid. Dinding anterior nasofaring
adalah daerah sempit yang merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring
adalah palatum molle. Bagian superior dan dinding posterior dibentuk oleh permukaan yang
melandai, dibatasi oleh basis sphenoid, basis oksiput dan vertebra servikal I dan II. Dinding
lateral nasofaring merupakan fasia faringobasiler dan muskulus konstriktor faring superior.
Pada kedua dinding lateral nasofaring terdapat ostium tuba Eustachius dengan tonjolan
tulang rawan di bagian superoposterior yang disebut torus tubarius. Tuba Eustachius
membelah dinding lateral, masuk dari telinga tengah ke nasofaring melalui celah di fasia
faringobasiler di daerah posterosuperior, tepat di atas batas superior muskulus konstriktor
faring superior yang disebut fossa Rosenmuller. Fossa Rosenmuller merupakan tepi dinding
posterosuperior nasofaring yang merupakan tempat asal munculnya sebagian besar KNF.
Fossa Rosenmuller mempunyai hubungan anatomi dengan struktur-struktur penting di
sekitarnya, sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Letak fossa Rosenmuller
dan sifat KNF yang invasif menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke daerah
sekitarnya sehingga timbul berbagai macam gambaran klinis (Wei, 2006).

Mukosa nasofaring dewasa mempunyai luas permukaan sekitar 50 cm2. Sebagian

besar dilapisi oleh epitel skuamous berlapis dan sekitar 40% dilapisi oleh epitel kolumnar
tipe respiratorius. Epitel skuamous terutama melapisi dinding anterior dan posterior bagian
bawah, juga bagian anterior dinding lateral. Epitel kolumnar bersilia terutama melapisi regio
posterior nares (choanae) dan atap dari dinding posterior. Sambungan antara skuamous dan
kolumnar dapat secara langsung atau berupa zona intermediet atau transisional, yang terdiri
atas sel-sel basaloid dengan sitoplasma minimal dan biasanya berbentuk bulat atau kuboid.
Kadang-kadang pada saat biopsi zona ini diduga sebagai daerah displasia atau karsinoma in
situ. Mukosa mengalami invaginasi membentuk kripta yang menjorok ke dalam stroma.
Stroma kaya akan jaringan limfoid yang sering dengan folikel limfoid yang reaktif.
Permukaan mukosa dan kripta biasanya diinfiltrasi oleh sel-sel limfoid yang banyak, yang
meluas dan mengubah epitel sehingga menghasilkan pola retikular. Beberapa kelenjar

seromusinus dapat dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat di mukosa hidung.1,2,10,14

Pembuluh darah arteri utama yang menyuplai daerah nasofaring adalah arteri faringeal
asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens dan cabang faringeal arteri
sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari arteri karotis eksterna dan
cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada dibawah membran mukosa yang
berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerahsuperior dan fasia posterior atau vena
jugularis interna di bawahnya (Zeng, 2010; Wei, 2006; Chan, 2009). Daerah nasofaring
dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas otot konstriktor faringeus media.
Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris nasofaring memiliki pleksus submukosa
limfatik yang luas. Terdapat kelompok nodul pada daerah retrofaringeal, yang ada diantara
dinding posteriornasofaring, fasia faringobasiler, dan fasia prevertebra. Daerah yang paling
banyak terdapat pembuluh limfatik adalah daerah tuba Eustachius. Aliran limfenya berjalan
ke arah anterosuperior dan bermuara di kelenjar retrofaringeal atau kelenjar yang paling
proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal danjugularis interna. Beberapa
kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat dengan nervus kranialis yakni nervus IX,
X, XI, dan XII. Metastasis ke kelenjar limfatik ini terjadi pada hingga 75% pasien KNF.
Nasofaring dilapisi epitel kolumnar berlapis semu saat lahir dan setelah 10 tahun pertama
kehidupan epitel ini berubah secara bertahap menjadi predominan epitel skuamosa berlapis
yang tidak berkeratinisasi kecuali pada beberapa tempat. Permukaan nasofaring tidak rata,
berbentuk seperti lipatan atau kripta karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfoid.
Dinding lateral dan depan nasofaring dilapisi epitel transisional yang merupakan peralihan
antara epitel skuamosa berlapis dan epitel kolumnar bersilia yang berlapis. Dari sudut
embriologi, tempat peralihan dari dua macam epitel cenderung merupakan area munculnya
suatu karsinoma (Wei, 2006; Chan, 2009).

2.2. FISIOLOGI FARING


Fungsi faring yang utama ialah untuk respirasi, fungsi untuk menelan, resonansi suara,
dan untuk artikulasi. 4
Fungsi menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan fase esofagal.
Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary).
Fase faringeal yaitu pada waktu transpor bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak
disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu
bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung.
Fungsi faring dalam proses bicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding belakang
faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula
m.salfingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersama-sama
m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini
menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring.
BAB III
KARSINOMA NASOFARING

3.1 DEFINISI

Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial


pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan frekuensi tinggi di
Cina bagian selatan(DORLAND,2002).
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan karsinoma sel skuamosa yang berasal dari
epitel nasofaring. Tumor ini dapat muncul pada berbagai area di nasofaring namun lebih
banyak ditemukan berasal dari fossa Rosenmuller, yang merupakan daerah transisional, di
mana epitel kolumnar berubah menjadi epitel skuamosa. Kasus KNF pertama kali dilaporkan
oleh Regaud dan Schmincke pada tahun 1921 (Probst, 2006).

3.2 EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7
kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
“pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair
Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT
Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCMJakarta
ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus,
Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979).
Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma
nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.
Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari
penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against Cancer)
dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964
(MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan banyak
temuan penting di semua aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik, dalam
daerah yg jelas, ras, serta agregasi family.
KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara berbagai

Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/10 5

di semua area. Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk
Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-
50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on
Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar
50,000 kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup
banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di
Afrika utara dan timur tengah (PARKIN dkk. 1992.2002, WATERHOUSE dkk. 1982,
MUIR dkk. 1987).
Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita dengan rasio 2-3:1
(PARKINdkk.2002) dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada
hubungannya dengan factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi
umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada
daerah dengan insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur,
pada daeraj dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada
umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya (ZONG dkk.1983).
Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan cukup
tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia,
Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan
Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi
epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah
satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF)
pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China
town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam
terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan
penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan
Hispanics, di mana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi.
Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang
masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal
terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang
dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’
untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama
di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi
maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang
Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan
konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu
adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi
yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.
Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat people)
yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak mencolok
pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti epidemiologik
lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah
masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu
(6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5/100.000).

3.3 ETIOLOGI
Etiologi KNF dinyatakan berhubungan dengan interaksi yang kompleks dari
faktor lingkungan dan faktor genetik serta infeksi Epstein-Barr virus.16-21

2.1.3.1. Faktor Genetik

KNF merupakan keganasan yang jarang di sebagian besar tempat di dunia,


namun KNF merupakan salah satu kanker tersering di Asia Tenggara dengan insidensi
berkisar 10-53 kasus per 100.000 penduduk. Insidensinya juga tinggi di Alaska,
Greenland dan Tunisia dengan kisaran 15-20 per 100.000 penduduk. Terdapat risiko
familial yang tinggi pada populasi Kanton dan pada orang-orang dengan riwayat KNF
pada keluarga. Banyak penelitian yang membuktikan adanya kelainan pada kromosom
antara lain translokasi, amplifikasi, dan delesi 3p, 5p dan 3q juga pada kromosom lain
yang bervariasi pada masing-masing kasus. Inaktivasi gen supresor tumor pada 9p, 11q,
14q, dan 16q serta perubahan onkogen pada kromosom 8 dan 12 juga ditemukan pada
KNF. Beberapa studi menunjukkan bahwa delesi kromosom 3p merupakan kelainan
genetik yang paling sering ditemukan pada KNF. Beberapa studi lain juga
menunjukkan adanya polimorfik dalam gen yang memetabolisme karsinogen yang
berhubungan dengan KNF. Cytochrome P450 2E1 (CYP2E1) dan Cytochrome P450
2A6 (CYP2A6) merupakan grup cytochrome P450 yang respon terhadap aktivasi
metabolik nitrosamin dan karsinogen lain. Gen-gen ini diduga berperan dalam
timbulnya KNF.22

Salah satu studi di Cina pada keluarga penderita KNF dijumpai adanya lokus yang
rentan pada regio HLA (human leukocyte antigen). Studi dari kerentanan HLA pada
orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA A*0207 atau B*4601
tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma
nasofaring.12,23 Studi oleh Goldsmith et al menyatakan adanya hubungan pada risiko
KNF dengan HLA-A2, HLA-B14, dan HLA-B46.2

2.1.3.2. Faktor Lingkungan


Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF
dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka
yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-style
salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka
mengkonsumsi makanan ini. Banyak studi case-control pada berbagai populasi (Kanton,
Cina Selatan lainnya, Cina Utara dan Thailand) menunjukkan bahwa makanan gaya
Kanton mengandung nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospyrrolidene (NPYR), dan
N-nitrospiperidine (NPIP) dalam jumlah besar yang dapat menjadi faktor karsinogenik
terhadap KNF.3,20 Paparan ikan asin sejak usia muda merupakan resiko tinggi KNF pada
populasi Cina Selatan. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan
sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih. Peneliti lainnya mencoba
menghubungkannya dengan makanan yang diawetkan menggunakan garam lainnya
seperti udang asin, telur asin. Pada penelitian terhadap hewan percobaan diketahui bahwa
tumor nasal dan nasofaringeal dapat diinduksi pada tikus dengan memberi ikan asin dalam
makanan mereka. Pajanan di tempat kerja seperti asap, paparan formaldehyde dan debu
kayu juga telah diketahui merupakan faktor risiko bagi timbulnya KNF. Belakangan ini
penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese Herbal Medicine = CHM).
Hildesheim et al memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF,
infeksi EBV dan penggunaan CHM.3,20

2.1.3.3. Epstein–Barr Virus

Hubungan dekat yang konstan antara EBV dan KNF, terlepas dari latar
belakang etnis, menunjukkan kemungkinan peran onkogenik virus dalam pembentukan
tumor ini. Bukti-bukti mencakup: (1) meningkatnya titer antibodi, khususnya IgA,
terhadap EBV (yang tersering viral capsid antigen dan early antigen) pada kebanyakan
penderita KNF dibandingkan kontrol normal dan penderita kanker lainnya; (2)
tingginya titer IgA antibodi terhadap EBV pada penderita dengan tumor yang besar; (3)
adanya DNA atau RNA EBV dalam hampir semua sel KNF; (4) adanya EBV dalam
bentuk episomal klonal, menunjukkan bahwa virus telah berada di dalam sel tumor
sebelum ekspansi klonal; (5) adanya EBV dalam lesi prekursor KNF, tetapi tidak pada
epitel nasofaring normal. Bukti dianggap cukup untuk menyatakan bahwa EBV adalah
karsinogenik oleh the International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun
1997.1
Hubungan antara EBV dan KNF pertama kali ditemukan oleh Old et al pada
tahun 1966 dengan menggunakan metode in situ hybridization dan the anticomplement
immunofluorescent (ACIF). Studi lainnya menunjukkan ekspresi gen laten EBV yaitu
Epstein–Barr virus nuclear antigen (EBNA), latent membrane protein-1 (LMP-1),
LMP-2, dan EBV encoded small RNAs (EBER) dalam sel-sel KNF untuk
mengkonfirmasi adanya infeksi EBV dalam sel-sel tumor. Sekitar 90% penderita
undifferentiated nasopharyngeal carcinomas dewasa di seluruh dunia positif
mengandung EBV secara serologi. Beberapa studi menemukan bahwa KNF dengan
EBV tumbuh lebih cepat dan lebih cenderung untuk bermetastasis dibanding yang tidak
mengandung EBV.20-30
EBV-Encoded Latent Membrane Proteins LMP1 merupakan protein membran
integral dengan potensi onkogenik, dikode oleh gen BNLF-1 (juga dikenal sebagai gen
LMP1) dari EBV, dapat mentransformasi sel hewan pengerat dan mengubah fenotipe
baik sel limfoid maupun sel sepitel. LMP1 terekspresi dalam kebanyakan KNF, dan
diduga kuat memiliki peranan penting dalam patogenesis dan perkembangan KNF dan
ekspresinya berhubungan dengan prognosis yang buruk.17,27
Infeksi EBV dalam KNF merupakan tampilan dari pola latensi tipe II dari virus,
yang mengekspresikan EBV nuclear antigen-1 (EBNA-1) dan latent membrane protein
1 (LMP1), tetapi tidak mengekspresikan EBNA2-6. EBV encoded early RNAs (EBERs)
juga diekspresikan secara kuat pada tumor ini. LMP1, protein virus dengan perangkat
transformasi, dapat menginduksi hiperplasia epidermal, menghambat diferensiasi
skuamous, melakukan upregulasi adhesion molecule ICAM-1 dan CD40, mengaktivasi
nuclear factor-κB (NF-κ-B), dan menginduksi ekspresi epidermal growth factor
receptor.1

Anda mungkin juga menyukai