Disusun oleh :
NPM 1102014031
Pembimbing :
PENDAHULUAN
Analgetik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa
sakit atau nyeri. Nyeri timbul akibat oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya
rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang
memicu pelepasan mediator nyeri seperti bradikinin dan prostaglandin yang akhirnya
mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak. Secara umum analgetik dibagi
dalam dua golongan, yaitu analgetik non narkotik dan analgetik narkotik (opioid).
Analgetik narkotik (opioid) merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium.
Meskipun mempelihatkan berbagai efek farmakologik yang lain, golongan obat ini digunakan
terutama untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Opioum yang berasal dari getah
Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain,
papaverin. Analgetik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri
meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Opiat atau yang dikenal
sebagai narkotik adalah bahan yang digunakan untuk menidurkan atau melegakan rasa sakit, tetapi
mempunyai potensi yang tinggi untuk menyebabkan ketagihan.
Sebagian dari opiat ,seperti candu,morfin,heroin dan kodein diperoleh dari getah buah popi
yang terdapat atau berasal dari negara-negara Timur Tengah dan Asia. Pengaruh dari berbagai obat
golongan opioid sering dibandingkan dengan morfin, dan tidak semua obat golongan opioid
dipasarkan di Indonesia.
Akan tetapi dengan sediaan yang sudah ada kiranya penangganan nyeri yang membutuhkan
obat opioid dapat dilakukan. Terbatasnya peredaran obat tersebut tidak terlepas pada kekhawatiran
terjadinya penyalahgunaan obat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Nyeri
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri merupakan
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan,
baik aktual maupun potensial yang digambarkan dalam bentuk urusan tersebut. Definisi nyeri
tersebut menjelaskan konsep bahwa nyeri adalah produk kerusakan struktural, bukan saja
respon sensorik daei suatu proses nosisepsi, harus dipercaya seperti yang dinyatakan
pendertita, tetapi juga merupakan respon emosional yang disadari atas pengalaman termasuk
pengalaman nyeri sebelumnya.
Persepsi nyeri menjadi sangat subjektif tergantung kondisi emosi dan pengalaman
emosional sebelumnya. Toleransi terhadap nyeri meningkat bersama pengertian, simpati,
persaudaraan, alih pengertian, pemberiian analgesi, ansiolitik, antidepresan, dan pengurangan
gejala. Sedangkan toleransi menurun pada keadaan marah, cemas, kebosanan, kelelahan,
depresi, penolakan sosial, isolasi mental, dan keadaan yang tidak menyenangkan. Plastisitas
saraf sentral maupun perifer menjadi dasar pengetahuan nyeri patologik atau yang diidentikan
sebagai nyeri kronik. Nyeri pasca operasi memicu respon stress yaitu respon neuro endokrin
yang berpengaruh pada mortalitas dan berbagai morbiditas pascaoperasi. Nyeri operasi
bersifat self limiting (tidak lebih dari 7 hari).
Nyeri hebat memicu kejadian nyeri kronik di kemudian hari, penyebab penting respon
stress dan alasan humanitas maka nyeri operasi harus ditanggulangi berbeda dengan nyeri
kronik berdasarkan three step analgetic ladder WHO. Nyeri operasi umumnya berlangsung
24 jam. Prinsip terapi nyeri akut adalah descending the ladder.
Gambar 1. Three Step Analgetic Ladder
Besarnya persepsi nyeri dan sensasi lain bergantung pada stimulasi dari reseptor
perifer yang diikuti dengan transmisi impuls oleh saraf sensorik melalui medula spinalis dan
otak, kemudian menuju thalamus dan korteks. Persepsi nyeri dipengaruhi oleh banyak faktor,
diantaranya aktivitas saraf dan perubahan intensitas stimulus. Sebagai contoh pada tangan
yang di rendam pada air hangat, respon nyeri akan dipersepsikan dalam jangka waktu yang
lebih lama jika dibandingkan dengan memasukkan tangan secara langsung pada air panas. Hal
ini merefleksikan besarnya frekuensi impuls yang melalui saraf sensorik.
2.4. Opioid
Opioid berikatan dengan reseptor spesifik yang terletak pada sistem saraf pusat dan
jaringan lainnya. Terdapat empat reseptor mayor opioid yang sudah teridentifikasi.
Seluruhnya berpasangan dengan protein G, ketika berikatan dengan agonis dari reseptor
opioid akan menyebabkan hiperpolarisasi membran.
Efek dari opioid bervariasi tergantung durasi paparan, toleransi dari individu, serta
sifat dari opioid tersebut. Agonis-antagonis seperti nalbuphine, nalorphine, butorphanol,
dan pentazocine memiliki efikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan agonis murni
seperti fentanyl.
A. Cardiovascular
B. Respirasi
C. Cerebral
Secara umum, opioid menurunkan konsumsi oxygen otak, aliran darah otak,
volume darah otak, dan tekanan intracranial, naum efeknya lebih kecil dibandingkan
barbitrurat, propofol, atau benzodiazepines. Stimulasi dari medullary chemoreceptor
trigger zone menyebabkan mual muntah yang diinduksi oleh opioid.
A. Morfin
B. Meperidine
C. Fentanyl
Dosis rendah fentanyl ( 1-2 mcg/kg IV) berfungsi sebagai analgetik. Dosis
fentanyl 2-20 jmcg/kg IV dapat ditambahkan sebagai adjuvant anestesi inhalasi untuk
menumpulkan respon sirkulasi saat dilakukan laringoskopi untuk intubasi trakea atau
perubahan tiba pada level stimulasi operasi. Menambahkan fentanyl 1,5 atau 3
mcg/kg IV 5 menit sebelum induksi dapat menurunkan kebutuhan isoflurane dan
desflurane dengan 60% N2O yang diperlukan untuk memblok respon saraf simpatis
terhadap stimulasi operasi. Fentanyl dosis tinggi ( 50-150 mcg/kg IV) saja dapat
menghasilkan anesthesia untuk operasi. Keuntungan fentanyl yaitu: tidak banyak
menimbulkan efek depresi myocardial secara langsung, tidak menyebabkan
pelepasan histamine, serta menurunkan respon stress saat operasi. Kerugian fentanyl:
Tidak dapat mencegah respon saraf simpatis terhadap stimulasi nyeri operasi
terutama pada pasien dengan fungsi jantung yang baik,efek amnesia yang tidak
teduga, dan depresi pernapasan post op. Fentanyl intrathecal (keuntungan maksimal
denga 25 mcg) dapat menghasilkan analgetik yang cepat pada awal persalinan dengan
efek samping yang minim. Efek samping fentanyl meliputi depresi pernapasan yang
persistent atau berulang, mual dan muntah post operasi.
D. Hydromorphone
b. Neostigmine
Neostigmin bertindak dengan menghambat asetilkolinesterase dan mencegah kerusakan
asetilkolin. Naguib dan Yaksh menunjukkan bahwa pemberian inhibitor cholinesterase
intratekal (neostigmine atau edrophonium) menghasilkan aktivitas antinociceptive dosis-
dependent pada tikus. Efek antinociceptive ini tidak tergantung pada sistem opioid dan a2-
reseptor dan terutama karena stimulasi muskarinik (tapi tidak nikotinik) reseptor
kolinergik. Neostigmin adalah molekul hidrofilik, seperti morfin, dan bila diberikan pada
ruang epidural, dibutuhkan waktu untuk difusi melalui dura mater ke dalam ruang
subarachnoid. Intrathecal neostigmine telah digunakan sebagai tambahan anestesi lokal
atau opioid intratekal untuk memperpanjang durasi analgesia regional dan memperbaiki
stabilitas hemodinamik dengan hasil yang bervariasi. Meningkatnya dosis neostigmin
intratekal (10 sampai 100 mcg) diikuti oleh 2% epidural lidocaine menghasilkan
peningkatan analgesia pada persalinan sesar.
Penurunan kebutuhan morfin berlangsung hingga 10 jam tanpa efek buruk pada janin,
namun insidensi mual bervariasi dari 50% sampai 100% pada pasien. Dalam penelitian
lain, neostigmin intratekal (10 mcg) saja tidak efektif untuk menghilangkan nyeri
persalinan, namun bila dikombinasikan dengan sufentanil intratekal dapat mengurai ED50
sufentanil sekitar 25%. Kombinasi neostigmin epidural dengan anestetik lokal, opioid,
atau klonidin untuk analgesia persalinan menunjukkan efisiensi analgesik yang baik.
Epidural neostigmin tidak mempengaruhi blokade motor. Dosis yang lebih tinggi dari
neostigmin intratekal dapat menyebabkan sedasi ringan.
Neostigmin merangsang reseptor muskarinik pada otot polos bronkus dan menyebabkan
bronkospasme. Dalam studi neostigmin intratekal, kecuali pada dosis sangat tinggi
(misalnya 750 mcg), tidak ada perubahan yang terdeteksi pada saturasi oxyhemoglobin
dan pada tingkat karbon dioksida. Neostigmin intratekal dengan dosis 1 mcg / kg telah
digunakan pada operasi abdomen dan urologi pediatrik yang dapat meningkatkan
analgesia. Efek gastrointestinal yang merugikan telah membuat neostigmine sebagai
pilihan yang tidak populer untuk terapi adjuvant neuraxial. Tidak seperti neostigmin
intratekal, epidural neostigmin tidak dikaitkan dengan peningkatan risiko mual dan
muntah, tidak menyebabkan depresi pernapasan atau pruritus baik sendiri atau
dikombinasikan dengan opioid neuraksial, namun dosis yang lebih besar dari 100 mcg
telah dikaitkan dengan efek sedasi.
c. Ketamine
Dosis ketamin sebagai anestetik dan subanestetik memiliki sifat analgesik sebagai akibat
dari aktivitas reseptor N-metil-d-aspartat (NMDA). Dengan stimulasi nociceptive yang
berulang, reseptor NMDA diaktifkan, merangsang pelepasan neurotransmiter glutamat,
aspartat, dan neurokinin. Efek analgesik utamanya dimediasi oleh antagonis reseptor
NMDA yang terletak pada neuron aferen sekunder di dorsal horn dari tulang belakang
sehingga mencegah peningkatan neurotransmisi.
Naguib dkk. mempelajari dosis epidural 10 mg dan 30 mg pada ketamine, ditemukan
bahwa dosis 30 mg menghasilkan pereda nyeri pascaoperasi yang sangat baik. Dosis
rendah ketamin sebesar 4, 6, dan 8 mg yang diberikan secara epidural ternyata tidak efektif
untuk analgesic pasca operasi. Keuntungan ketamin intratekal adalah efek kardiovaskular
dan depresi pernapasan yang jarang. Kelemahan utama ketamin intratekal adalah potensi
reaksi psikomimetik, blokade motor yang tidak adekuat, dan durasi tindakan yang pendek.
2.6.1.4. Ketorolac
Ketorolak merupakan salah satu obat analgetik dari golongan NSAID yang merupakan
suatu grup yang terdiri dari berbagai struktur kima yang memiliki potensi sebagai
antiinflamasi, antipiretik dan analgetik. Obat dengan golongan jenis ini bekerja melalui
jalur siklooksigenase yang berdampak pada terjadinya pencegahan sensitisasi nosiseptor
perifer karena terjadinya hambatan biosintesis prostaglandin.
Ketorolak dapat diberikan secara oral, intramuskular atau intravena. Pemberian secara
intratekal dan epidural tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan hyperalgesia dan
allodynia. Ketorolac intratekal 0,25 - 2,0 mg dapat ditoleransi dengan baik, dengan satu-
satunya efek buruk adalah sedikit penurunan denyut jantung 15 sampai 60 menit setelah
injeksi. Ketorolac intratekal tidak mengurangi rasa sakit kronis atau memperpanjang
anestesi atau analgesia dari bupivakain intratekal yang diberikan pada awal pembedahan.
Obat ini memiliki potensi yang besar dalam menanggulangi nyeri berat akut, namun
memiliki aktifitas anti inflamasi yang sedang bila diberikan secara intra muscular dan intra
vena. Ketorolak dapat diberikan sebagai analgesik pasca operatif atau sebagai kombinasi
bersama opioid. Cara kerja ketorolak adalah dengan cara menghambat sintesis
prostaglandin secara reversibel di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid pada sistem
pusat. Ketorolak akan menghambat nyeri dan reaksi inflamasi, sehingga akan
mempercepat proses penyembuhan luka. Obat ini juga memiliki potensi untuk
menghambat produksi tromboksan platelet dan agregasi platelet. Ketorolak secara
kompetitif menghambat kedua isoenzim COX, COX-1 dan COX-2 dengan potensi yang
berbeda, untuk menghasilkan efek farmakologis antiinflamasi, analgesi, dan antipiretik.
Sama seperti NSAID lain, obat ini tidak dianjurkan diberikan untuk wanita hamil,
menghilangkan nyeri persalinan wanita sedang menyusui, usia lanjut, anak usia kurang
dari 4 tahun, gangguan perdarahan dan bedah tosilektomi.
Keuntungan dari penggunaan analgesik ketorolak adalah obat ini tidak menyebabkan
depresi ventilasi atau kardiovascular. Selain itu, ketorolak hanya memiliki sedikit atau
tidak ada efek pada dinamika saluran empedu, menjadikan obat ini lebih berguna sebagai
analgesik pada pasien spasme gangguan empedu.
Sifat analgetik ketorolak setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolak yang sama
dengan 12 mg morfin atau 100 mg petidin. Sifat antipiretik pada ketorolak tergolong
rendah. Penggunaan secara oral tidak terlalu bermanfaat pada nyeri akut pasca operasi
terutama dengan dosis maksimal sebesar 30 mg/hari.26 Waktu paruh pada orang yang
masih muda sekitar 3,5 – 9,2 jam, dengan ekskresi lewat ginjal sekitar 91,4% sedangkan
lewat empedu 6,1%. Pemberian dosis ketorolak yang dianjurkan adalah 3-4 kali/hari
dengan dosis maksimal im/iv tidak lebih dari 120 mg/hari.
2.6. Peripherally Acting Analgesics
2.6.1. Nonsteroidal Antiinflammatory Drugs (NSAIDs)
Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) adalah obat yang paling sering diresepkan di
dunia. Kelas obat yang beragam ini mencakup aspirin dan beberapa penghambat
siklooksigenase selektif dan nonselektif lainnya dengan analgesik umum, antiinflamasi,
dan sifat antipiretik. NSAID menghambat biosintesis prostaglandin dengan mencegah
substrat asam arakidonat agar tidak mengikat enzim COX. Enzim COX terdiri dari dua
isoenzim isoforms, yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 secara konstitutif diekspresikan dan
mengkatalisis produksi prostaglandin yang terlibat dalam banyak fungsi fisiologis,
termasuk pemeliharaan fungsi ginjal, melindungi mukosa di saluran cerna, dan produksi
proaggregatory thromboxane A2 di platelet.
Ekspresi COX-2 diinduksi oleh mediator inflamasi di banyak jaringan dan berperan
dalam mediasi nyeri, radang, dan demam. COX-2 selective inhibitor (dikenal sebagai
coxibs) memiliki toksisitas terhadap gastrointestinal yang lebih rendah daripada NSAID
non selektif. Namun, peningkatan risiko kardiovaskular dikaitkan dengan penggunaan
kelas obat ini. Saat ini, celecoxib adalah satu-satunya inhibitor selektif COX-2 yang
tersedia untuk penggunaan klinis. Penghambat selektif COX-2 harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien dengan penyakit kardiovaskular yang mendasarinya.
Gambar 3. Jalur Cyclooxygenase
Overdosis
Mekanisme toksisitas NSAID pada overdosis berhubungan dengan sifat asam dan penghambatan
produksi prostaglandin. Tingkat keparahannya biasanya bergantung pada dosis yang tertelan dan
konsentrasi salisilat yang berkorelasi dengan tingkat gangguan asam-basa. Tingkat salisilat 300
sampai 600 mg / L dikaitkan dengan toksisitas ringan, 600 sampai 800 mg / L dengan toksisitas
rendah, dan lebih besar dari 800 mg / L dengan toksisitas berat.
Gejalanya meliputi mual, muntah, sakit perut, tinnitus, gangguan pendengaran, dan depresi SSP;
dengan konsumsi aspirin dosis tinggi, asidosis metabolik, gagal ginjal, perubahan SSP (mis.,
agitasi, kebingungan, koma), dan hiperventilasi dengan alkalosis respiratorik karena stimulasi dari
pusat pernafasan. Kehadiran asidemia memungkinkan lebih banyak asam salisilat yang melewati
BBB.
Penatalaksanaan harus diarahkan pada dukungan simtomatik, pencegahan penyerapan lebih lanjut,
dan koreksi ketidakseimbangan asam basa. Tidak ada penawar untuk keracunan salisilat atau
NSAID. Hidrasi yang tepat dan arang aktif harus dipertimbangkan dalam waktu 1 jam setelah
konsumsi. Alkalinisasi urin meningkatkan eliminasi salisilat. Pada kasus overdosis aspirin yang
parah, hemodialisis efektif untuk menghilangkan salisilat dan memperbaiki ketidakseimbangan
asam basa dan telah terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas.
BAB III
KESIMPULAN
Analgesik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa
sakit atau nyeri. Obat-obat analgesik dibagi menjadi 2 yaitu, non-opioid (non-narkotik), bekerja di
perifer, sifatnya ringan, dan antipiretik dan opioid (narkotik), bekerja di sentral, dan analgetik yang
kuat. Secara umum, penatalaksanaan awal pada nyeri dengan analgesic non-opioid walaupun
kurang efektif dibandingkan dengan opiod untuk mengatasi nyeri.
Tatalaksana nyeri terutama pada keadaan akut dapat diberikan melalui oral, transdermal,
intravena, dan intramuskular. Analgesik non opioid dibedakan menjadi 2 golongan, 1) non asam,
antipiretik analgesik seperti pirazolon (metamizol) dan derivat aniline (paracetamol), 2) non
steroidal antiinflammatory drugs (NSAID).
Mekanisme kerja analgesik non-opioid dengan menghambat enzim siklooksigenase
(COX). Terdapat 2 jenis enzim ini, yaitu, COX-1 dan COX-2. Mekanisme tersebut melibatkan
blokade dari produksi prostaglandin dengan menghambat enzim siklooksigenase pada jaringan
yang terluka di perifer. Sehingga menurunkan mediator-mediator nyeri di sistem saraf perifer.
Enzim COX mengkatalisis produksi prostaglandin dari asam arakhidonat. Efek samping yang
paling sering terjadi adalah gangguan gastrointestinal, perdarahan, dan kerusakan pada hepar dan
ginjal.
Daftar Pustaka
Morgan GE, et al. Clinical Anesthesiology: Fluid Management and Tranfusion. Fifth Edition. New
York: Lange Medical Books/ McGraw- Hill. 2013.
Guyton, A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan Intraseluler. Dalam: Buku ajar
fisiologi kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC; 1997. Hal 375 – 7.
Latief AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi: Terapi Cairan pada pembedahan. Edisi Kedua.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI. 2009.
Stoelting, Robert K and Ronald D. Miller. Basics of Anesthesia. Six edition. California: Churchill
Livingstone. 2011.
Paul G, Barash. Handbook of Clinical Anesthesia, ed 6. Lippincott Williams & Wilkins. 2009.