PENDAHULUAN
masih belum memuaskan. Terdapat jumlah yang signifikan pasien pasca bedah
yang mengeluhkan nyeri dengan intensitas sedang sampai berat.Nyeri akut pasca
sakit. Sebagian besar pasien yang menjalani prosedur bedah mengalami nyeri akut
paskabedah, dengan lebih dari 80% melaporkan nyeri sedang hingga berat. 1
Kontrol nyeri paskabedah yang tidak adekuat dapat menghambat pemulihan dan
efektif merupakan fokus dari proses pemulihan paskabedah dan dapat membantu
pilihan pengobatan untuk nyeri akut paskabedah derajat sedang hingga berat.
Namun, penggunaan klinis opioid dibatasi oleh efek samping yang terkait,
1
neuroaxial, dan cara perineural. Opioid intravena, sering diberikan sebagai
perawat terlatih dan peralatan mahal.Selain itu, pasien dengan pompa infus
mentolerir asupan oral. Oleh karena itu, rute pemberian oral lebih disukai karena
nyaman, tidak invasif, dan hemat biaya, serta memungkinkan keluar lebih awal
Oxycodone oral adalah opioid yang dapat memberikan efek analgesia nyeri
mengurangi konsumsi opioid secara keseluruhan dan kebutuhan akan obat rescue;
dalam beberapa penelitian, oxycodone oral dikaitkan dengan efek samping yang
reseptor mu, kappa, dan delta. Beberapa penelitian menemukan bahwa efek
antinosiseptif oksikodon benyak dimediasi oleh reseptor mu, dan kappa, berbeda
2
analgesia paska bedah yang adekuat dan mempercepat pemberian intake oral
paska bedah lebih cepat.salah satu kajian meta analisis bahwa mempercepat
pemberian intake oral dapat bermanfaat menurunkan komplikasi infeksi dan lama
dilakukan pada beberapa penelitian meliputi beberapa jenis operasi berbeda dan
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. NYERI
berpotensi untuk itu, atau yang digambarkan seperti itu. Respon individu terhadap
nyeri sangat bervariasi, dan dipengaruhi oleh faktor genetik, latar belakang
stimulus noksius. Kedua proses yang terjadi ini, selama dan pascabedah akan
transmisi nyeri.8
Perubahan sensitisasi yang terjadi pada tingkat perifer dan sentral ini
hiperalgesia (suatu stimulus noksius lemah yang normal menyebabkan nyeri, saat
ini dirasakan sangat nyeri) dan gejala allodinia (suatu stimulus lemah yang
4
normal tidak menyebabkan nyeri kini terasa nyeri) serta prolonged pain (nyeri
aktivitas listrik yang akan diterima di ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa rangsang
fisik (tekanan), suhu, atau kimia. Segera setelah terjadi kerusakan jaringan, ujung saraf
sensorik seketika terpapar oleh sejumlah produk kerusakan sel dan mediator inflamasi
yang memicu aktivitas nosisepsi. Inflammatory soup ini mencakup prostaglandin, proton,
bekerja pada reseptor spesifik pada saraf sensorik dan juga memiliki interaksi yang
yang normalnya “tenang” dan perubahan aktivitas ion channels dan reseptor membran.
perifer melalui serabut saraf bermielin dan tidak bermielin hingga ujung presinaptik.
Ujung presinaptik kemudian berhadapan dengan interneuron dan second order neuron.
neuron. Proses ini dapat dihambat oleh obat anestetik lokal. 8,9 Aksi potensial yang
berlangsung dari perifer ke badan sel berjalan melalui serabut saraf aferen, sedangkan
yang berjalan sebaliknya melalui serabut saraf eferen. Serabut saraf sensoris yang
berdiameter paling besar, yaitu serabut A beta, umumnya merupakan serabut non noksius
5
yang mempersarafi struktur somatik pada kulit dan sendi. Serabut saraf nosisepsi A delta
yang bermielin tipis dan serabut C yang tidak bermielin, mempersarafi kulit dan organ
viseral. Serabut A delta menghantarkan “first pain”, dengan onset yang cepat (kurang
dari 1 detik), mudah terlokalisir, dan sensasi nyeri tajam. Persepsi nyeri ini memberi
sinyal adanya kerusakan yang nyata dan atau yang berpotensi rusak sehingga orang dapat
Serabut C tidak bermielin, dikenal sebagai serabut nosisepsi polimodal high threshold,
berespon terhadap kerusakan mekanis, kimia dan suhu. Serabut saraf tersebut
bertanggung jawab terhadap persepsi second-pain, yang memiliki onset lambat (detik
hingga menit) dan digambarkan sebagai sensasi terbakar yang difus, tertusuk, yang
kadang berlangsung lama dan mungkin berkembang menjadi lebih tidak nyaman. 7-9
3. Proses transmisi, merupakan penyaluran isyarat listrik yang terjadi mulai dari
spinal. Ujung saraf proksimal serabut saraf masuk kedalam kornu dorsalis medula
spinalis dan bersinaps dengan sel second-order neuron. Impuls noksius dari nosiseptor
perifer akan diteruskan ke neuron presinaptik. Di neuron presinaptik impuls ini akan
mengakibatkan Ca+ masuk kedalam sela melalui kanal Ca + yang akan merangsang ujung
dan aspartat, sedangkan dari ujung presinaptik serabut C dilepascan selain asam amino
seperti glutamat dan substan P yang dilepascan di presinaptik akan berperan pada
transmisi sinaptik dan depolarisasi neuronal cepat. Asam amino seperti glutamat dan
6
acid (AMPA) dan reseptor kainate (KAR). Reseptor AMPA mengikat glutamat yang
second order neuron dan memungkinkan sinyal noksius berpindah secara cepat ke lokasi
supraspinal untuk membentuk persepsi. Pada stimulus noksius frekuensi tinggi yang terus
menerus akan menyebabkan reseptor AMPA dan KAR merangsang reseptor N-methyl-D-
patofisiologis seperti pada mekanisme yang disebut wind up, yaitu melakukan fasilitasi
Dimodifikasi dari : Gottscalk A et al. Am Fam Physician 2001;63:198 and Kehlet H et al.
AnesthAlag.1993;77:1049. Dikutip dari: Tanra AH, Rehatta NM, Musba MT. Lintasan nyeri.
Dalam: Penatalaksanaan nyeri. Edisi 1. Makassar: Bagian ilmu anestesi perawatan intensif dan
4. Proses modulasi adalah proses interaksi antara sistem analgetik endogen yang
dihasilkan oleh tubuh dengan isyarat nyeri yang masuk di medula spinalis. Analgetik
7
endogen (enkefalin, endorfin, serotonin) dapat menahan impuls nyeri pada kornu
posterior medula spinalis. Kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk
menyalurkan impuls nyeri untuk analgetik endogen tersebut. Terdapat 3 sistem yang
berperan pada proses ini yaitu opioid, noradrenergik dan serotonergik. Aktivasi dari
sistem ini akan meningkatkan modulasi inhibisi pada daerah kornu dorsalis terutama
sistem opioid yang akan menghambat transmisi nosisepsi. Pada proses inilah opioid
5. Persepsi, hasil akhir dari interaksi yang kompleks dari proses transduksi,
transmisi dan modulasi yang pada akhirnya menghasilkan suatu proses subyektif yang
Gambar 2. Lintasan nyeri dan intervensi yang dapat memodulasi aktivitas nyeri
Dikutip dari: Gottschalk A, Smith DS. New concepts in acute pain therapy: preemptive analgesia.
8
Dalam keadaan normal maka rangsang kuat akan dirasakan sebagai nyeri,
sebaliknya rangsang lemah dirasakan sebagai bukan nyeri. Rangsang kuat akan
dihantarkan oleh serabut kecil yaitu A-δyang bermielin atau serabut C yang tidak
bermielin. Sedangkan rangsang lemah dihantarkan oleh serabut besar yaitu serabut A-
βyang bermielin.11,12
Akan tetapi bila ada kerusakan jaringan atau proses inflamasi, rangsang lemah pada
daerah perlukaan, yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri sekarang
menjadi nyeri, keadaan ini disebut allodinia (hiperalgesia primer). Selain itu rangsang
kuat pada daerah sekitar luka yang tampak normal, dirasakan sebagai nyeri yang lebih
hebat dan berlangsung lebih lama walaupun rangsangan sudah dihentikan, keadaan ini
terdapat kerusakan jaringan maka terjadi pula perubahan sifat saraf.Kemampuan saraf
untuk berubah sifat, disebut sebagai plastisitas susunan saraf. Plastisitas ini dapat terjadi
karena tiap terjadi kerusakan jaringan atau proses inflamasi akan diikuti pula dengan
berupa ion kalium (K+), hidrogen (H+), serotinin, bradikinin, histamin, prostaglandin dan
lain-lain. Substansi nyeri ini akan merangsang dilepascannya substansi P dari ujung
serabut A-δ dan serabut C yang disebut sebagai nosiseptor. Antara substansi nyeri dengan
nosiseptor terjadi reaksi positif feedback artinya makin banyak nosiseptor yang
9
terjadinya hiperalgesia primer pada daerah kerusakan jaringan. Selain itu terlepasnya
substansi nyeri juga akan mensensitasi nosiseptor disekitarnya, yang akan menyebabkan
asam arakhidonat, yang dengan bantuan enzim siklooksigenase (COX), akan diubah
prostaglandin inilah, suatu OAINS menekan proses sensitasi perifer, menekan proses
Transduksi Sensitivitas
Dikutip dan dimodifikasidari :Apfelbaum JL, Chen C, Mehta SS, Gan TJ. Postoperative pain
10
Suatu impuls nyeri dari perifer ke kornu posterior menyebabkan sensitisasi sentral.
kornu posterior yang kemudian disebut sebagai sensitisasi sentral. Bila terjadi sensitisasi
sentral maka suatu rangsang lemah yang dihantarkan oleh serabut saraf A-β dapat
(NMDA) oleh transmitter glutamat. Bila terjadi aktifasi dari reseptor NMDA ini maka ion
natrium (Na+) dan kalsium (Ca2+) akan influks yang merupakan awal dari depolarisasi.
Hiperpolarisasi ini dapat ditekan dengan opiod, karena opiod adalah antagonis dari
reseptor NMDA.11,12
Neuron Presinaptik
Neuron Postsinaptik
Dikutip dari Vadivelu N, Whitney CJ, Sinatra RS.Pain pathways and acute pain processing. In:
Sinatra RS, de Leon-Cassasola, Viscusi ER, editors. Acute pain management. Cambridge:
11
Nyeri akut paskabedah timbul akibat terjadinya kerusakan jaringan local
iritasi dari ujung saraf dan nosiseptor. Nyeri juga muncul akibat kerusakan
langsung dari serabut saraf perifer ataupun sentral tergantung prosedur bedah
yang dijalani13
visceral, dapat dibedakan menjadi somatic nosiseptif (kulit, otot, tulang), visceral
peningkatan kerja jantung dan konsumsi oksigen otot jantung, penurunan motilitas
oksigen miokard.13
Nyeri paskabedah merupakan salah satu efek dari operasi yang dapat di
antisipasi. Penanganan nyeri yang efektif dapat dilakukan baik saat sebelum
pasien sehingga efek sistemik dari nyeri dapat diatasi dengan baik. Nyeri
12
banyak kemajuan, namun pengelolaan nyeri paskabedah belum optimal dan masih
sering terabaikan.14,15
sistem simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat
13
menurunkan volume tidal dan kapasitas residu fungsional.Hal ini mengarah pada
terjadi hipoventilasi.13
Terjadi gangguan perfusi, hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap
Pada orang normal cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien dengan
kelainan fungsi jantung akan mengalami penurunan cardiac output dan hal ini
iskemia myocardial.13
saluran kemih dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi
urin.13
14
e. Sistem metabolisme dan endokrin :Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga
menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan
ekstraseluler.13
h. Efek psikologis : Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa
15
i. Homeostasis cairan dan elektrolit :Efek yang ditimbulkan akibat dari
2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan
3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih
kuat.
dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada
transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses
modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan
16
Gambar 2. Three Step Analgesic Ladder WHO
2.3 Oksikodon
semi-sintetik murni yang diturunkan dari baine dengan afinitas untuk reseptor
kappa, dan pada tingkat yang lebih rendah untuk reseptor mu. Ini juga bekerja
pada reseptor delta. Perbedaan struktural antara oksikodon dan morfin berarti
dibandingkan dengan morfin dan karena itu memiliki bioavailabilitas yang lebih
memberikan efek imunodepresi yang lebih rendah dari pada opioid lain.16
antinosiseptif intrinsik oxycodone dimediasi oleh reseptor kappa dan mu, tidak
seperti morfin, yang terutama bertindak melalui reseptor mu. Di Amerika Serikat,
penggunaan opioid secara medis meningkat 400% antara tahun 1996 dan 2000.
Saat ini, 86% dari pasar terdiri dari empat opioid: (1) hydro-morphone pelepas
17
terkontrol, (2) morfin pelepas terkontrol, (3) oxycodone (CRO) dan (4) fentanil
Bioavailabilitas
Oksikodon adalah opioid dengan berat molekul rendah yang bersifat lebih
lipofilik berbanding morfin dengan bioavailabilitas oral setidaknya dua kali lebih
besar dari morfin (60-87%). Tingginya korelasi antar dosis, konsentrasi plasma,
dan efek farmakologis membuat farmakokinetik obat ini lebih dapat diprediksi.16
Bioavailabilitas yang tinggi ini mungkin disebabkan oleh gugus metil pada
posisi 3, yang mencegah tahap glukuronidasi dari hepar. Tingkat variasi individu
yang lebih rendah dalam oksikodon membuatnya lebih mudah dititrasi berbanding
Formulasi CRO terdiri dari dua polimer akrilik yang berarti bahwa
pelepasan dan penyerapannya terjadi dalam dua fase. Pada fase pertama, sekresi
oksikodon dan disolusi yang sama dengan cepat. Tindakan ini dimulai dalam satu
jam, dan waktu paruh 0.6 jam, yang mempengaruhi 38% dari dosis. Kemudian
terdapat fase kedua dari sustained release yang bisa bertahan selama 12 jam,
dengan waktu paruh 6.9 jam, dan fase ini mempengaruhi sisa 62% dari dosis.16
18
Metabolisme hepar kemudian terjadi, dengan diproduksinya dua metabolit:
setengah dari morfin). Waktu paruh ini tidak dipengaruhi oleh rute pemberian
(intravena, rektal, atau oral). Kadar plasma stabil dicapai setelah 24 jam (2-7 hari
pada morfin). Konsentrasi plasma sedikit lebih tinggi pada wanita karena
Oksikodon oral merupakan salah satu obat golongan opioid kuat yang
19
insensitas nyeri sedang sampai berat.Oksikodon memilki afinitas yang tinggi
terhadap reseptor mu, kappa, dan delta. Beberapa penelitian menemukan bahwa
nyeri akut dan kanker berat.Oksikodon dianggap memiliki sifat hampir memenuhi
kriteria opioid yang ideal yakni waktu paruh pendek, durasi kerja lama, tidak ada
ceilingeffect dan efek samping obat yang bisa ditoleransi.Oksikodon adalah opioid
yang memiliki beratmolekul rendah dan bersifat lebih lifopilik dibanding dengan
morfin. Oral bio availability dua kali lebih hebat dibanding dengan morfin(60%–
87%).14
oksikodon sekresi dengan cepat dan terlarut pada saat yang sama. Fase ini terjadi
dalam satu jam pertama dan waktu paruh 0,6 jam, sekitar 38% efek obat melalui
sampai 4 jam. Fase kedua dengan sustained release yang dapat bertahan hingga 12
jam dengan waktu paruh 6,9 jam. Sekitar 68% efek obat melalui mekanisme
20
Mekanisme kerja oksikodon seperti golongan opioid umumnya dengan
Indikasi penggunaan oksikodon pada nyeri akut sedang hingga berat dengan
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa efek mual muntah dan halusinasi pada
morfin, telah digunakan secara klinik lebih dari 75 tahun. Seperti halnya morfin,
oxyicodon adalah agonis opioid murni yang cocok untuk pengobatan nyeri
sedang hingga berat. Oxycodone dikarakteristikkan dengan onset yang cepat, rasio
yang singkat, sehingga pada pengobatan nyeri kronik dibutuhkan dosis yang
berulang. Oksicodone saat ini tersedia dalam bentuk tablet oral CR (control
released) yang diberikan dosis tiap 12 jam untuk mengobati nyeri sedang hingga
21
berat. Bioavabilitas dan tingkat penyerapan Oxycodone CR sebanding dengan oral
analgetik nonopioid dan memiliki fleksibiltas titrasi secara terpisah antara opioid
dan non opioid untuk mencapai keseimbangan optimal antara efek kontrol nyeri
yang cepat dari Oxycoden IR dengan efek durasi yang lama. Oral oxycodone CR
sebagai antinyeri pasca bedah pada beberapa jenis operasi yang dapat dilihat pada
tabel berikut :
22
beberapa jenis operasi
23
Penulis Niklasson et al (2015) (40) Korn et al (2004) (44)
Jenis Seksio Cesaria Operasi gigi
Operasi
Oksikodon 20 mg saat 0 jam Oksikodon/acetaminoph
kemudian,10 mg tiap 12 jam , en 5/325 mg (91)
minimal 48 jam(38) Rofecoxib 50 mg (90)
IVmorphine /oral codeine 10 Placebo (31)
Obat mg/ml morphine selama (Penelitian diberikan ke
yang 24jam , kemudian PCA stop pasien dengan
digunaka dan 1 -2 oksikodon pengalaman nyeri post
n /acetamnphen tablet tiap 4 jam operasi sedang – berat)
bila perlu (39)
Kedua terapi menerima adjuvan
ibuprofen /acetaminophen
selama 48 jam
NRS rata 2 saat diam 0-24jam: Rata2 hilangnya nyeri
Oksikodon : 3,43 setelah 6 jam
Morphine /codeine: 3,93 Oksikodon/acetainophen
Tidak signifikan : 5,9
25-48 jam : Roecoxib : 11,7†
Skor
Oksikodon : 2,89 Placebo : 1,9
nyeri
Morphine /codeine: 3,80 † p< 0,001 vs
P: 0,039 oksikodon /
acetamnphen atau
placebo
*p :< 0,005 vs placebo
Angka rata2 rescue selama 0- % pasien :
24jam : Oksikodon/acetainophen
Oksikodon : 4,3 : 94,5Rofecoxib : 72,2†
Morphine /codeine : 8,4 Placebo : 96,8 Waktu
P : 0,047 untuk dosis pertama
Rescue (jam)
Oksikodon/acetainophen
: 3,3 Rofecoxib : 8,3†
Placebo ; 1,7 p < 0,001
vs
ksikodon/acetainophen
% pasien dengan efek samping Kejadian mual:
opioid: Oksikodon/acetainophen
Oksikodon : 3 : 39,6% Rofecoxib : 18,9
Morphine/codeine: 15 %
Efek P “ 0,007 P < 0,001
samping Kejadian muntah :
Oksikodon/acetainophen
: 23,1 % Rofecoxib : 6,7
%
P , 0,00
Rata2: Tidak ada data
Lama Oksikodon :2,4
perawata Modphine/ codeine : 2,4
n Tidak signifkan
24
Dikutip dari : Cheung CW, dkk. Oral oxycodone for acute postoperative pain: a review of clinical
trials. Pain physician. 2017 Feb 1;20:SE33-52.
Oxycodone oral menunjukkan kemanjuran yang unggul dalam
dengan acetaminophen memberikan kontrol nyeri yang lebih baik daripada morfin
intravena dan oxycodone oral memberikan efek pereda nyeri yang sebanding
lebih rendah daripada rofecoxib dalam mengurangi nyeri setelah operasi gigi.4
25
Oxycodone oral dikaitkan dengan berkurangnya permintaan untuk analgesia
rescue dibandingkan dengan plasebo, morfin intravena (operasi caesar 22, operasi
jantung24) dan hidromorfon intravena (artroplasti lutut20); ini juga berlaku untuk
multimodal. Titik akhir penelitian yang dilaporkan adalah jumlah yang lebih
rendah dari obat rescue/total penggunaan opioid20,22,24, lebih sedikit pasien yang
alkaloid thebaine opioid; itu kira-kira 10 sampai 12 kali lebih kuat daripada
kodein berdasarkan berat per berat. Ketika diberikan secara oral, onset dan efek
luas. Tidak seperti beberapa agonis opioid kerja sentral lainnya, oxycodone
penyalahgunaan.28,29
26
Saat acetaminophen dipisahkan dari pemberian opioid dan tidak diberikan
mengobati rasa nyeri paskabedah mereka dalam dua hari pertama setelah
Dua ratus enam puluh enam pasien trauma secara acak diteliti oleh Haeseler
Efek samping muntah pada hari 1 terjadi pada 11% pasien, sembelit pada 35%
pasien tapentadol dan pada 16% dan 30% pasien oxycodone/naloxone (P = 0,60
dan 0,33), masing-masing. Insiden sedasi/vertigo adalah < 10%, yaitu somnolen <
2% pada kedua kelompok (P> 0,3, masing-masing). Skor total kejadian efek
oxycodone/nalokson.30
oxycodone22,24; hal ini juga berlaku untuk skenario ketika oxycodone oral
27
merupakan bagian dari rejimen analgesik multimodal 20. Secara signifikan, lebih
sedikit komplikasi terkait pengobatan pada pasien yang diobati dengan oxycodone
Lamplot dkk20 melaporkan peningkatan fungsi fisik yang terkait dengan rejimen
pada pasien yang diobati dengan oxycodone oral (dibandingkan morfin intravena
dan morfin/kodein oral intravena, masing-masing). Uji coba pada pasien paska
ibu dengan morfin intratekal lebih tinggi dibandingkan dengan oxycodone oral
pada 24 jam paskabedah meskipun terdapat lebih banyak pruritus pada kelompok
ini; pemberian analgesia yang lebih konsisten pada kelompok morfin intratekal
28
dapat memengaruhi tingkat kepuasan pasien lebih dari efek samping. Tingkat
intravena, oxycodone oral memberikan kontrol nyeri yang sebanding atau lebih
memadai, yang dapat memfasilitasi pemulangan dini dari rumah sakit. Oxycodone
oral lebih rendah daripada rofecoxib dalam mengurangi rasa sakit setelah operasi
gigi.Hal ini sejalan dengan penelitian serupa tentang manajemen nyeri gigi
telah dilaporkan lebih rendah daripada etoricoxib (tidak disetujui untuk digunakan
sediaan oral yang lebih tinggi, kemudahan pemberian oral, penetrasi BBB yang
lebih efisien, dan efek samping yang berpotensi lebih sedikit menjadikan
29
oxycodone sebagai alternatif yang baik untuk morfin. Beberapa penelitian
nyeri paskabedah. Dalam studi yang termasuk dalam ulasan ini, dosis oxycodone
sakit kepala, pruritus, pusing, mengantuk, dan sembelit) adalah tipikal analgesik
μ-opioid yang bekerja sentral. Efek samping ini kurang umum dengan oxycodone
Sebagian besar studi ini juga mencatat konsumsi opioid keseluruhan yang lebih
yang lebih besar dengan terapi, menunjukkan penerimaan pasien yang lebih baik
dan non-opioid dengan mekanisme aksi yang berbeda dapat menghasilkan efek
opioid yang minimal.Efek hemat opioid ini telah terbukti mengurangi efek
30
prosedur bedah. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa oxycodone oral,
nyeri efektif yang sebanding dengan opioid PCA intravena, sementara pada saat
memungkinkan pemulangan lebih awal dari rumah sakit. Mencapai kontrol nyeri
paskabedah yang optimal adalah salah satu elemen kunci dari ERAS dan rejimen
oral dapat menjadi alternatif potensial untuk opioid intravena untuk kontrol nyeri
atau pengurangan lama tinggal di rumah sakit 19 yang terkait dengan rejimen
31
BAB III
RINGKASAN
Nyeri akut pasca bedah masih dirasakan oleh sebagian besar pasien dimana
sampai 80% pasien mengeluhkan nyeri sedang sampai berat. Management yang
tepat dari nyeri pasca bedah ini akan memberikan pemulihan pasien yang lebih
cepat, menghindarkan pasien dari efek buruk dari respon stres akibat nyeri,
dan hal lain yang berhubungan dengan efek dari respon nyeri.
Penangan nyeri sedang sampai berat, berdasarkan three step ladder WHO
membutuhkan kombinasi NSAID dengan opioid lemah sampai opioid kuat. Jalur
obat-obatan antinyeri per oral, sejalan dengan ERAS, mempercepat intake oral
gastrointestinal yang lebih cepat dan lama perawatan di rumah sakit yang lebih
singkat.
alternatif penanganan nyeri akut pasca bedah. Pada beberapa jenis operasi, seperti
32
terbukti menurunkan intensitas nyeri secara segnifikan dibandingkan dengan
morfin ataupun plasebo dan menurunkan kebutuhan rescue analgetik. Lebih jauh
Dengan beberapa bukti diatas, oksikodon oral dapat dijadikan pilihan dalam
33
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
pain: results from a US national survey. Curr Med Res Opin 2014;
30:149–60.
4. Cheung CW, dkk. Oral oxycodone for acute postoperative pain: a review
34
7. Frizelle H. Mechanism of postoperative pain-nociceptive in postoperative
pain management: an evidence-based guide to practice. Philadelphia:
Saunder Elseiver, 2006;27-33.
8. The American Society of Anesthesiologist task force on acute pain
management. Practice guidelines for acute pain management in the
perioperatif setting. Br J Anesth 2004;100:1574-81.
9. Tanra AH, Rehatta NM, Musba MT. Lintasan nyeri. Dalam:
Penatalaksanaan nyeri. Edisi 1. Makassar: Bagian ilmu anestesi perawatan
intensif dan manajemen nyeri fakultas kedokteran universitas
hasanuddin,2013;2-10.
10. Gottschalk A, Smith DS. New concepts in acute pain therapy: preemptive
analgesia. Am Fam Physician 2001; 63: 1979-84.
11. Ramsay MA. Acute postoperative pain management. Bayl Univ Med Cent.
2000;13(3):140-153.
12. Vadivelu N, Mitra S, Narayan D. Review recent advances in postoperative
pain management. Yale J Biol Med. 2010;83(1):11-25.
13. Malek J, Sevcik P. Pathophysiology of acute post operative pain. In:
Postoperative pain management. 3rd edition. Mlada fronta. Praha. 2017. Pp
9-10
14. ASA. Task Foerce on Acute pain management. Practice guideline for
2004;100:1573-81
35
17. Moore PA, dkk. Benefits and harms associated with analgesic medications
1;149(4):256-65.
18. Santoso JT, dkk. Multimodal pain control is associated with reduced
19. Lamplot JD, Wagner ER, Manning DW. Multimodal pain management in
21. Niklasson B, dkk. Oral oxycodone for pain after caesarean section: A
1;24(3):210-6.
23. Ruetzler K, dkk. A randomized trial of oral versus intravenous opioids for
36
24. Abidin SZ, dkk. Pain Control after Open Heart Surgery: tramadol versus
10.
2017;13:1163.
28. Ræder J, Breivik H. Oral immediate and prolonged release oxycodone for
safe and effective patient controlled analgesia after surgery Can opioid for
37
38