Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri akut pasca bedah merupakan masalah klinis yang penanganannya

masih belum memuaskan. Terdapat jumlah yang signifikan pasien pasca bedah

yang mengeluhkan nyeri dengan intensitas sedang sampai berat.Nyeri akut pasca

bedah berhubungan dengan lama penyembuhan luka, penurunan fungsi sistem

imun dan secara keseluruhan dapat memperpanjang lama perawatan di rumah

sakit. Sebagian besar pasien yang menjalani prosedur bedah mengalami nyeri akut

paskabedah, dengan lebih dari 80% melaporkan nyeri sedang hingga berat. 1

Kontrol nyeri paskabedah yang tidak adekuat dapat menghambat pemulihan dan

menunda rehabilitasi, menyebabkan hasil yang buruk.2 Manajemen nyeri yang

efektif merupakan fokus dari proses pemulihan paskabedah dan dapat membantu

meningkatkan kenyamanan pasien, meningkatkan penyembuhan jaringan, dan

mempercepat pulangnya pasien dari rumah sakit.3

Idealnya, manajemen nyeri paskabedah harus bertujuan untuk memberikan

analgesia yang memadai dengan efek samping minimal.Opioid tetap menjadi

pilihan pengobatan untuk nyeri akut paskabedah derajat sedang hingga berat.

Namun, penggunaan klinis opioid dibatasi oleh efek samping yang terkait,

termasuk depresi pernapasan, mual, muntah, pruritus, motilitas usus berkurang,

dan potensi ketergantungan dengan penggunaan jangka panjang.4

Analgetik opioid paskabedah dapat diberikan dengan rute yang berbeda,

termasuk oral, sublingual, anal, parenteral (subkutan, intramuskuler, intravena),

1
neuroaxial, dan cara perineural. Opioid intravena, sering diberikan sebagai

analgesia terkontrol pasien (patient controlled analgesia/PCA), membutuhkan staf

perawat terlatih dan peralatan mahal.Selain itu, pasien dengan pompa infus

dibatasi dalam mobilitasnya.Analgesia oral biasanya dimulai setelah pasien dapat

mentolerir asupan oral. Oleh karena itu, rute pemberian oral lebih disukai karena

nyaman, tidak invasif, dan hemat biaya, serta memungkinkan keluar lebih awal

dari rumah sakit setelah operasi.4

Enhanched recovery after surgery (ERAS) adalah protokol berbasis bukti

multimodal meliputi penerapan prabedah, durante bedah dan paska bedah.5

Protokol paska bedah meliputi adekuat analgesia, mempercepat pemulihan

gastrointestinal, restriksi cairan, melepas kateter epidural dan urin, mempercepat

intake oral, dan memperpendek lama rawat inap.5

Oxycodone oral adalah opioid yang dapat memberikan efek analgesia nyeri

akut paskabedah yang efektif.Dibandingkan dengan morfin atau hidromorfon

intravena, oxycodone oral dapat memberikan analgesia yang unggul, dan

mengurangi konsumsi opioid secara keseluruhan dan kebutuhan akan obat rescue;

dalam beberapa penelitian, oxycodone oral dikaitkan dengan efek samping yang

lebih sedikit, seperti PONV4.Oksikodon memiliki afinitas yang tinggi terhadap

reseptor mu, kappa, dan delta. Beberapa penelitian menemukan bahwa efek

antinosiseptif oksikodon benyak dimediasi oleh reseptor mu, dan kappa, berbeda

dengan morfin yang banyak dimediasi oleh reseptor kappa6

Dengan memberikan terapi analgesia opioid oxycodon via oral maka

diharapkan dapat memenuhi beberapa kriteria ERAS, yaitu memberikan terapi

2
analgesia paska bedah yang adekuat dan mempercepat pemberian intake oral

paska bedah lebih cepat.salah satu kajian meta analisis bahwa mempercepat

pemberian intake oral dapat bermanfaat menurunkan komplikasi infeksi dan lama

rawat inap di rumah sakit.5

Refarat ini akan membahas penggunaan oksikodon oral yang telah

dilakukan pada beberapa penelitian meliputi beberapa jenis operasi berbeda dan

dibandingkan efektivitasnya dengan obat analgetik lainnya dalam strategi

multimodalanalgesia untuk menngani nyeri pasca bedah.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. NYERI

Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri

didefinisikan sebagai suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak

menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau

berpotensi untuk itu, atau yang digambarkan seperti itu. Respon individu terhadap

nyeri sangat bervariasi, dan dipengaruhi oleh faktor genetik, latar belakang

budaya, usia dan jenis kelamin.7

Selama pembedahan berlangsung terjadi kerusakan jaringan tubuh yang

menghasilkan suatu stimulus noksius. Selanjutnya saat pascabedah, terjadi respon

inflamasi pada jaringan tersebut yang bertanggung jawab terhadap munculnya

stimulus noksius. Kedua proses yang terjadi ini, selama dan pascabedah akan

mengakibatkan sensitisasi susunan saraf sensorik. Pada tingkat perifer, terjadi

penurunan nilai ambang reseptor nyeri (nosiseptor), sedangkan pada tingkat

sentral terjadi peningkatan eksitabilitas neuron spinal yang terlihat dalam

transmisi nyeri.8

Perubahan sensitisasi yang terjadi pada tingkat perifer dan sentral ini

memberikan gejala khas pada nyeri pascabedah. Ditandai dengan gejala

hiperalgesia (suatu stimulus noksius lemah yang normal menyebabkan nyeri, saat

ini dirasakan sangat nyeri) dan gejala allodinia (suatu stimulus lemah yang

4
normal tidak menyebabkan nyeri kini terasa nyeri) serta prolonged pain (nyeri

menetap walaupun stimulus sudah dihentikan).7,8

Nyeri pascabedah merupakan prototipe dari nyeri akut. Antara kerusakan

jaringan (sumber rangsang nyeri) sampai dirasakan sebagai persepsi, terdapat

suatu rangkaian proses elektrofisiologis yang disebut “nosisepsi”. Terdapat 4

proses yang terjadi pada nosisepsi :

1. Proses transduksi, merupakan proses pengubahan rangsang nyeri menjadi suatu

aktivitas listrik yang akan diterima di ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa rangsang

fisik (tekanan), suhu, atau kimia. Segera setelah terjadi kerusakan jaringan, ujung saraf

sensorik seketika terpapar oleh sejumlah produk kerusakan sel dan mediator inflamasi

yang memicu aktivitas nosisepsi. Inflammatory soup ini mencakup prostaglandin, proton,

serotonin, histamin, bradikinin, purin, sitokin, eicosanoids, dan neuropeptida yang

bekerja pada reseptor spesifik pada saraf sensorik dan juga memiliki interaksi yang

penting. Awal kerusakan dan inflamasi menyebabkan serabut C dan serabut A- δ

mengalami perubahan yang disebut sensitisasi, yaitu peningkatan aktivitas nosiseptor

yang normalnya “tenang” dan perubahan aktivitas ion channels dan reseptor membran.

Proses transduksi ini dapat dihambat oleh NSAID. 7,8,9

2. Proses konduksi, merupakan penyaluran aksi potensial dari ujung nosisepsi

perifer melalui serabut saraf bermielin dan tidak bermielin hingga ujung presinaptik.

Ujung presinaptik kemudian berhadapan dengan interneuron dan second order neuron.

Interneuron dapat memfasilitasi atau menghambat transmisi sinyal ke second order

neuron. Proses ini dapat dihambat oleh obat anestetik lokal. 8,9 Aksi potensial yang

berlangsung dari perifer ke badan sel berjalan melalui serabut saraf aferen, sedangkan

yang berjalan sebaliknya melalui serabut saraf eferen. Serabut saraf sensoris yang

berdiameter paling besar, yaitu serabut A beta, umumnya merupakan serabut non noksius

5
yang mempersarafi struktur somatik pada kulit dan sendi. Serabut saraf nosisepsi A delta

yang bermielin tipis dan serabut C yang tidak bermielin, mempersarafi kulit dan organ

viseral. Serabut A delta menghantarkan “first pain”, dengan onset yang cepat (kurang

dari 1 detik), mudah terlokalisir, dan sensasi nyeri tajam. Persepsi nyeri ini memberi

sinyal adanya kerusakan yang nyata dan atau yang berpotensi rusak sehingga orang dapat

mengetahui tempat terjadinya kerusakan dan memberikan respon refleks menghindar.

Serabut C tidak bermielin, dikenal sebagai serabut nosisepsi polimodal high threshold,

berespon terhadap kerusakan mekanis, kimia dan suhu. Serabut saraf tersebut

bertanggung jawab terhadap persepsi second-pain, yang memiliki onset lambat (detik

hingga menit) dan digambarkan sebagai sensasi terbakar yang difus, tertusuk, yang

kadang berlangsung lama dan mungkin berkembang menjadi lebih tidak nyaman. 7-9

3. Proses transmisi, merupakan penyaluran isyarat listrik yang terjadi mulai dari

ujung presinaptik untuk kemudian dilanjutkan ke postsinaptik untuk diteruskan ke supra

spinal. Ujung saraf proksimal serabut saraf masuk kedalam kornu dorsalis medula

spinalis dan bersinaps dengan sel second-order neuron. Impuls noksius dari nosiseptor

perifer akan diteruskan ke neuron presinaptik. Di neuron presinaptik impuls ini akan

mengakibatkan Ca+ masuk kedalam sela melalui kanal Ca + yang akan merangsang ujung

presinaptik melepascan neurotransmiter seperti glutamat dan substan P. Pada ujung

presinaptik A delta dilepascan neurotransmiter golongan asam amino seperti glutamat

dan aspartat, sedangkan dari ujung presinaptik serabut C dilepascan selain asam amino

juga dilepascan neurotransmiter golongan peptida seperti substan P (neurokinin),

calsitonin gene related protein (CGRP), dan cholecystokinin(CCK). Neurotransmitter

seperti glutamat dan substan P yang dilepascan di presinaptik akan berperan pada

transmisi sinaptik dan depolarisasi neuronal cepat. Asam amino seperti glutamat dan

aspartat akan melakukan aktivasi terhadap reseptor amino-3-hydroxyl-5metil-4-propionic

6
acid (AMPA) dan reseptor kainate (KAR). Reseptor AMPA mengikat glutamat yang

menyebabkan aktivasi reseptor, membuka kanal dan memungkinkan perpindahan ion Na +

kedalam sel. Meningkatnya perpindahan ion natrium akan menyebabkan depolarisasi

second order neuron dan memungkinkan sinyal noksius berpindah secara cepat ke lokasi

supraspinal untuk membentuk persepsi. Pada stimulus noksius frekuensi tinggi yang terus

menerus akan menyebabkan reseptor AMPA dan KAR merangsang reseptor N-methyl-D-

aspartic acid (NMDA). Reseptor NMDA memegang peranan pada perubahan

patofisiologis seperti pada mekanisme yang disebut wind up, yaitu melakukan fasilitasi

sehingga terjadi sensitisasi sentral.7-9

Gambar 1. Lintasan nyeri : transduksi, konduksi, transmisi, modulasi dan persepsi.

Dimodifikasi dari : Gottscalk A et al. Am Fam Physician 2001;63:198 and Kehlet H et al.

AnesthAlag.1993;77:1049. Dikutip dari: Tanra AH, Rehatta NM, Musba MT. Lintasan nyeri.

Dalam: Penatalaksanaan nyeri. Edisi 1. Makassar: Bagian ilmu anestesi perawatan intensif dan

manajemen nyeri fakultas kedokteran universitas hasanuddin,2013;2-10.

4. Proses modulasi adalah proses interaksi antara sistem analgetik endogen yang

dihasilkan oleh tubuh dengan isyarat nyeri yang masuk di medula spinalis. Analgetik

7
endogen (enkefalin, endorfin, serotonin) dapat menahan impuls nyeri pada kornu

posterior medula spinalis. Kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk

menyalurkan impuls nyeri untuk analgetik endogen tersebut. Terdapat 3 sistem yang

berperan pada proses ini yaitu opioid, noradrenergik dan serotonergik. Aktivasi dari

sistem ini akan meningkatkan modulasi inhibisi pada daerah kornu dorsalis terutama

sistem opioid yang akan menghambat transmisi nosisepsi. Pada proses inilah opioid

memegang peranan penting dalam penanganan nyeri pascabedah. 7-9

5. Persepsi, hasil akhir dari interaksi yang kompleks dari proses transduksi,

transmisi dan modulasi yang pada akhirnya menghasilkan suatu proses subyektif yang

dikenal sebagai persepsi nyeri.7-9

Lintasan Nyeri - Manajemen Nyeri

Gambar 2. Lintasan nyeri dan intervensi yang dapat memodulasi aktivitas nyeri

pada tiap poin.

Dikutip dari: Gottschalk A, Smith DS. New concepts in acute pain therapy: preemptive analgesia.

Am Fam Physician 2001; 63: 1979-8410

II.1.1. Plastisitas Susunan Saraf

8
Dalam keadaan normal maka rangsang kuat akan dirasakan sebagai nyeri,

sebaliknya rangsang lemah dirasakan sebagai bukan nyeri. Rangsang kuat akan

dihantarkan oleh serabut kecil yaitu A-δyang bermielin atau serabut C yang tidak

bermielin. Sedangkan rangsang lemah dihantarkan oleh serabut besar yaitu serabut A-

βyang bermielin.11,12

Akan tetapi bila ada kerusakan jaringan atau proses inflamasi, rangsang lemah pada

daerah perlukaan, yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri sekarang

menjadi nyeri, keadaan ini disebut allodinia (hiperalgesia primer). Selain itu rangsang

kuat pada daerah sekitar luka yang tampak normal, dirasakan sebagai nyeri yang lebih

hebat dan berlangsung lebih lama walaupun rangsangan sudah dihentikan, keadaan ini

disebut sebagai hiperalgesia sekunder.Hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaan

terdapat kerusakan jaringan maka terjadi pula perubahan sifat saraf.Kemampuan saraf

untuk berubah sifat, disebut sebagai plastisitas susunan saraf. Plastisitas ini dapat terjadi

karena tiap terjadi kerusakan jaringan atau proses inflamasi akan diikuti pula dengan

sensitasi baik di perifer maupun di sentral.11,12

II.1.2. Sensitisasi Perifer

Kerusakan jaringan akan menyebabkan dilepascannya sejumlah substansi nyeri

berupa ion kalium (K+), hidrogen (H+), serotinin, bradikinin, histamin, prostaglandin dan

lain-lain. Substansi nyeri ini akan merangsang dilepascannya substansi P dari ujung

serabut A-δ dan serabut C yang disebut sebagai nosiseptor. Antara substansi nyeri dengan

nosiseptor terjadi reaksi positif feedback artinya makin banyak nosiseptor yang

dibangkitkan, diikuti peningkatan sensitivitas nosiseptor itu. 11,12

Peningkatan jumlah maupun peningkatan sensitivitas nosiseptor ini menyebabkan

proses transduksi makin meningkat pula. Meningkatnya proses transduksi menyebabkan

9
terjadinya hiperalgesia primer pada daerah kerusakan jaringan. Selain itu terlepasnya

substansi nyeri juga akan mensensitasi nosiseptor disekitarnya, yang akan menyebabkan

terjadinya hiperalgesia sekunder.11,12

Kerusakan jaringan khususnya jaringan lemak akan menyebabkan terlepasnya

asam arakhidonat, yang dengan bantuan enzim siklooksigenase (COX), akan diubah

menjadi prostaglandin, yang merupakan salah satu substansinyeri. OAINS pada

umumnya merupakan antagonis enzim COX. Dengan cara menghambat pembentukan

prostaglandin inilah, suatu OAINS menekan proses sensitasi perifer, menekan proses

transduksi yang akhirnya dapat mengurangi rasa nyeri. 11,12

Kerusakan Jaringan Inflamasi Terminal Simpatik

Ambang Batas Tinggi Nociceptor

Transduksi Sensitivitas

Ambang Batas Rendah Nociceptor

Gambar 2.Sensitisasi Perifer

Dikutip dan dimodifikasidari :Apfelbaum JL, Chen C, Mehta SS, Gan TJ. Postoperative pain

experience: results from a national survey suggest postoperative pain continues to be

undermanaged. Anesth Analg. 2003;97:534-40.

II.1.3. Sensitisasi Sentral

10
Suatu impuls nyeri dari perifer ke kornu posterior menyebabkan sensitisasi sentral.

Impuls nyeri yang berkepanjangan di kornu posterior akan menyebabkan depolarisasi

yang berkepanjangan (hiperdepolarisasi), dan inilah yang menyebabkan hipersensitifitas

kornu posterior yang kemudian disebut sebagai sensitisasi sentral. Bila terjadi sensitisasi

sentral maka suatu rangsang lemah yang dihantarkan oleh serabut saraf A-β dapat

menimbulkan nyeri, yang disebut sebagai allodinia.11,12

Hiperpolarisasi terjadi akibat aktifasi dari reseptor N methyl-D-Aspartic Acid

(NMDA) oleh transmitter glutamat. Bila terjadi aktifasi dari reseptor NMDA ini maka ion

natrium (Na+) dan kalsium (Ca2+) akan influks yang merupakan awal dari depolarisasi.

Hiperpolarisasi ini dapat ditekan dengan opiod, karena opiod adalah antagonis dari

reseptor NMDA.11,12

Neuron Presinaptik

Neuron Postsinaptik

Gambar 3. Sensitisasi Sentral

Dikutip dari Vadivelu N, Whitney CJ, Sinatra RS.Pain pathways and acute pain processing. In:

Sinatra RS, de Leon-Cassasola, Viscusi ER, editors. Acute pain management. Cambridge:

Cambridge University Press;2007. p.10.

II.2 Nyeri akut paskabedah

11
Nyeri akut paskabedah timbul akibat terjadinya kerusakan jaringan local

akibat pembedahan, menyebabkan pelepasan prostaglandin, histamine, serotonin,

bradikinin, substan p, dan mediator lainnya menghasilkan stimulus noxius dan

iritasi dari ujung saraf dan nosiseptor. Nyeri juga muncul akibat kerusakan

langsung dari serabut saraf perifer ataupun sentral tergantung prosedur bedah

yang dijalani13

Nyeri paskabedah dapat bersumber dari kulit, jaringan somatic, dan

visceral, dapat dibedakan menjadi somatic nosiseptif (kulit, otot, tulang), visceral

nosiseptif (organ intratorakal dan intraabdominal), dan neuropatik (disebabkan

oleh kerusakan struktur jaringan saraf.Reflek segmental menyebabkan

peningkatan tonus dan spasme otot rangka sehingga menyebabkan peningkatan

konsumsi oksigen dan produksi laktat.Stimulasi simpatis menyebabkan takikardi,

peningkatan kerja jantung dan konsumsi oksigen otot jantung, penurunan motilitas

usus dan retens urin. Reflek suprasegmental meningkatkan tonus simpatis

sistemik dan menstimulasi hipotalamus dan aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal,

menyebabkan peningkatan laju metabolik terutama katabolisme dan konsumsi

oksigen miokard.13

Nyeri paskabedah merupakan salah satu efek dari operasi yang dapat di

antisipasi. Penanganan nyeri yang efektif dapat dilakukan baik saat sebelum

operasi, intraoperasi maupun paskaoperasi akan meningkatkan kenyamanan

pasien sehingga efek sistemik dari nyeri dapat diatasi dengan baik. Nyeri

paskabedah akan mempengaruhi system kardiovaskular, respirasi dan endokrin.

Meskipun pengetahuan tentang mekanisme nyeri paskabedah sudah mengalami

12
banyak kemajuan, namun pengelolaan nyeri paskabedah belum optimal dan masih

sering terabaikan.14,15

Gambar 4. Respon tubuh terhadap nyeri

Dikutip dari : Avidan M. Pain Management, in perioperative care, Anesthesia. In Pain


management and intensive care. London.2003, 78-102

Impuls yang diteruskan ke sel-sel neuron di kornua antero-lateral akan

mengaktifkan sistem simpatis. Akibatnya, organ-organ yang diinervasi oleh

sistem simpatis akan teraktifkan. Nyeri akut baik yang ringan sampai yang berat

akan memberikan efek pada tubuh seperti13 :

a. Sistem respirasi :Karena pengaruh dari peningkatan laju metabolisme, pengaruh

reflek segmental, dan hormon seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan

peningkatan kebutuhan oksigen tubuh dan produksi karbondioksida

mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi permenit sehingga meningkatkan

kerja pernafasan. Hal ini menyebabkan peningkatan kerja sistem pernafasan,

khususnya pada pasien dengan penyakit paru.Penurunan gerakan dinding thoraks

13
menurunkan volume tidal dan kapasitas residu fungsional.Hal ini mengarah pada

terjadinya atelektasis, intrapulmonary shunting, hipoksemia, dan terkadang dapat

terjadi hipoventilasi.13

b. Sistem kardiovaskuler : Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi.

Terjadi gangguan perfusi, hipoksia jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap

kardiovaskuler berupa peningkatan produksi katekolamin, angiotensin II, dan anti

deuretik hormon (ADH) sehingga mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti

hipertensi, takikardi dan peningkatan resistensi pembuluh darah secara sistemik.

Pada orang normal cardiac output akan meningkat tetapi pada pasien dengan

kelainan fungsi jantung akan mengalami penurunan cardiac output dan hal ini

akan lebih memperburuk keadaanya. Karena nyeri menyebabkan peningkatan

kebutuhan oksigen myocard, sehingga nyeri dapat menyebabkan terjadinya

iskemia myocardial.13

c. Sistem gastrointestinal : Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan

sfinkter dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus.

Hipersekresi asam lambung akan menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan

penurunan motilitas usus, potensial menyebabkan pasien mengalami pneumonia

aspirasi. Mual, muntah, dan konstipasi sering terjadi.Distensi abdomen

memperberat hilangnya volume paru dan pulmonary dysfunction.13

d. Sistem urogenital :Perangsangan saraf simpatis meningkatkan tahanan sfinkter

saluran kemih dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi

urin.13

14
e. Sistem metabolisme dan endokrin :Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga

terjadi pelepasan ketekolamin. Metabolisme otot jantung meningkat sehingga

kebutuhan oksigen meningkat.Respon hormonal terhadap nyeri meningkatkan

hormon-hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol dan glukagon dan

menyebabkan penurunan hormon anabolik seperti insulin dan testosteron.

Peningkatan kadar katekolamin dalam darah mempunyai pengaruh pada kerja

insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan gangguan metabolisme

glukosa.Kadar gula darah meningkat.Hal ini mendorong pelepasan glukagon.

Glukagon memicu peningkatan proses glukoneogenesis. Pasien yang mengalami

nyeri akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen, intoleransi karbohidrat,

dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol bersamaan dengan

peningkatan renin, aldosteron, angiotensin, dan hormon antidiuretik yang

menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder dari ruangan

ekstraseluler.13

f. Sistem hematologi :Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet,

meningkatkan fibrinolisis, dan hiperkoagulopati.13

g. Sistem imunitas : Nyeri merangsang produksi leukosit dengan lympopenia dan

nyeri dapat mendepresi sistem retikuloendotelial. Yang pada akhirnya

menyebabkan pasien beresiko menjadi mudah terinfeksi.13

h. Efek psikologis : Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa

kecemasan (anxiety), ketakutan, agitasi, dan dapat menyebabkan gangguan tidur.

Jika nyeri berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.13

15
i. Homeostasis cairan dan elektrolit :Efek yang ditimbulkan akibat dari

peningkatan pelepasan hormon aldosterom berupa retensi natrium. Efek akibat

peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan dan penurunan produksi

urine.Hormon katekolamin dan kortisol menyebabkan berkurangnya kalium,

magnesium dan elektrolit lainnya.13

2.2.1Tatalaksana Farmakologis Nyeri Paskabedah

Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar stategi farmakologi

mengikuti ”WHO Three Step Analgesic Ladder” yaitu :

1. Tahap pertama dengan menggunakan abat analgetik nonopiat seperti NSAID

atau COX2 spesific inhibitors.

2. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan

obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiat secara intermiten.

3. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiat yang lebih

kuat.

Penanganan nyeri berdasarkan patofisiologi nyeri paada proses transduksi

dapat diberikan anestesik lokal dan atau obat anti radang non steroid, pada

transmisi inpuls saraf dapat diberikan obat-obatan anestetik lokal, pada proses

modulasi diberikan kombinasi anestetik lokal, narkotik, dan atau klonidin, dan

pada persepsi diberikan anestetik umum, narkotik, atau parasetamol

16
Gambar 2. Three Step Analgesic Ladder WHO

2.3 Oksikodon

Oksikodon (14-hydroxy-7,8-dihydrocodeinone) adalah agonis opioid

semi-sintetik murni yang diturunkan dari baine dengan afinitas untuk reseptor

kappa, dan pada tingkat yang lebih rendah untuk reseptor mu. Ini juga bekerja

pada reseptor delta. Perbedaan struktural antara oksikodon dan morfin berarti

bahwa oksikodon awalnya mengalami metabolisme yang lebih sedikit

dibandingkan dengan morfin dan karena itu memiliki bioavailabilitas yang lebih

besar (60-87%) . Perbedaan dari molekul morfin yang membuat oksikodon

memberikan efek imunodepresi yang lebih rendah dari pada opioid lain.16

Ada berbagai temuan eksperimental yang menunjukkan bahwa efek

antinosiseptif intrinsik oxycodone dimediasi oleh reseptor kappa dan mu, tidak

seperti morfin, yang terutama bertindak melalui reseptor mu. Di Amerika Serikat,

penggunaan opioid secara medis meningkat 400% antara tahun 1996 dan 2000.

Saat ini, 86% dari pasar terdiri dari empat opioid: (1) hydro-morphone pelepas

17
terkontrol, (2) morfin pelepas terkontrol, (3) oxycodone (CRO) dan (4) fentanil

transdermal terkendali yang dikendalikan.16

2.3.1 Farmakokinetik dan metabolisme

Bioavailabilitas

Oksikodon adalah opioid dengan berat molekul rendah yang bersifat lebih

lipofilik berbanding morfin dengan bioavailabilitas oral setidaknya dua kali lebih

besar dari morfin (60-87%). Tingginya korelasi antar dosis, konsentrasi plasma,

dan efek farmakologis membuat farmakokinetik obat ini lebih dapat diprediksi.16

Bioavailabilitas yang tinggi ini mungkin disebabkan oleh gugus metil pada

posisi 3, yang mencegah tahap glukuronidasi dari hepar. Tingkat variasi individu

yang lebih rendah dalam oksikodon membuatnya lebih mudah dititrasi berbanding

morfin. Oksikodon memiliki bioavailabilitas 50-60% dengan administrasi rektal,

dan 46% dengan administrasi intranasal.16

Absorpsi dan Metabolisme

Formulasi CRO terdiri dari dua polimer akrilik yang berarti bahwa

pelepasan dan penyerapannya terjadi dalam dua fase. Pada fase pertama, sekresi

gastrointestinal mengikis permukaan tablet untuk memungkinkan pelepasan

oksikodon dan disolusi yang sama dengan cepat. Tindakan ini dimulai dalam satu

jam, dan waktu paruh 0.6 jam, yang mempengaruhi 38% dari dosis. Kemudian

terdapat fase kedua dari sustained release yang bisa bertahan selama 12 jam,

dengan waktu paruh 6.9 jam, dan fase ini mempengaruhi sisa 62% dari dosis.16

18
Metabolisme hepar kemudian terjadi, dengan diproduksinya dua metabolit:

oxymorphone (dihasilkan dari O-demethylation), yang merupakan analgesik kuat

pada konsentrasi minimum, dan noroksikodon (dihasilkan dari N-demethylation),

yang bersirkulasi dalam konsentrasi tinggi dan memiliki fungsi analgesik.

Metabolit ini diekskresikan melalui ginjal.16

O-demethylation yang terbentuk di hati untuk menghasilkan oxymorphone

merupakan reaksi yang dikatalisis oleh isoenzyme dari sitokrom P450.

Isoenzim ini juga menyebabkan 6-cytoreduction (6-oxycodol) dan konjugasi

dengan asam glukuronat.16

Waktu paruh plasma oksikodon berkisar antara 3 hingga 5 jam (hampir

setengah dari morfin). Waktu paruh ini tidak dipengaruhi oleh rute pemberian

(intravena, rektal, atau oral). Kadar plasma stabil dicapai setelah 24 jam (2-7 hari

pada morfin). Konsentrasi plasma sedikit lebih tinggi pada wanita karena

eliminasi yang lebih lambat.16

Potensi analgesik yang tinggi dari oxymorphone telah membuat beberapa

peneliti menyarankan bahwa metabolisme ini bertanggung jawab terhadap efek

analgesia yang diberikan oleh oksikodon, tetapi beberapa penelitian lain

mendukung gagasan bahwa oksikodon sendirilah yang menghasilkan efek

analgesik dan farmakodinamik dari opioid.16

2.3.2 Oksikodon Oral

Oksikodon oral merupakan salah satu obat golongan opioid kuat yang

dapat digunakan untuk analgesia preventif pada nyeri paskabedah dengan

19
insensitas nyeri sedang sampai berat.Oksikodon memilki afinitas yang tinggi

terhadap reseptor mu, kappa, dan delta. Beberapa penelitian menemukan bahwa

efek anti nosiseptif oksikodon banyak dimediasi oleh reseptor kappa.14

World health organization (WHO)mengklasifikasi oksikodon sebagai

terapi tingkat dua ketika dikombinasikan denganadjuvant NSAID, meskipun

demikian oksikodon merupakan obat mayor opioid yang dapatdigunakan pada

nyeri akut dan kanker berat.Oksikodon dianggap memiliki sifat hampir memenuhi

kriteria opioid yang ideal yakni waktu paruh pendek, durasi kerja lama, tidak ada

ceilingeffect dan efek samping obat yang bisa ditoleransi.Oksikodon adalah opioid

yang memiliki beratmolekul rendah dan bersifat lebih lifopilik dibanding dengan

morfin. Oral bio availability dua kali lebih hebat dibanding dengan morfin(60%–

87%).14

Fase pertama sekresi di gastrointestinal membuat lapisan permukaan

oksikodon sekresi dengan cepat dan terlarut pada saat yang sama. Fase ini terjadi

dalam satu jam pertama dan waktu paruh 0,6 jam, sekitar 38% efek obat melalui

mekanisme ini. Konsentrasi plasma maksimum (CMax) oksikodon yang dicapai

setelah pemberianintravena adalah 25 menit sedangkan konsentrasiplasma

maksimum (C Max) oksikodon yang dicapai setelah pemberian oral adalah 3

sampai 4 jam. Fase kedua dengan sustained release yang dapat bertahan hingga 12

jam dengan waktu paruh 6,9 jam. Sekitar 68% efek obat melalui mekanisme

ini.Metabolit dari oksikodon berupa oxymorphone dan noroxycodone

dimetabolismedi hati dan dieksresi di ginjal dengan cara lambat.14

20
Mekanisme kerja oksikodon seperti golongan opioid umumnya dengan

mengikat reseptor μ, κ dan ϑ yang berpasangan dengan protein G yang

didistribusikan oleh sistem saraf pusat, perifer dan autonom.Kemudian terjadi

penghambatan system adenylciclase dan terjadi hiperpolarisasi dari sel saraf.

Indikasi penggunaan oksikodon pada nyeri akut sedang hingga berat dengan

berbagai tipe patologis termasuk kanker maupun non kanker.14

Efek samping dari penggunaan oksikodon, sama halnya dengan golongan

opioid bahwa oksikodon dapat menyebabkan muntah, mualpusing, dan konstipasi.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa efek mual muntah dan halusinasi pada

oksikodon lebih rendah dibanding dengan morfin.14

Oksikodon tersedia sebagai formulasi pelepasan segera (immediate-

release/IR) dan pelepasan terkontrol (controlled-release/CR.3

Oxyocodon merupakan agonis opioid yang cara kerjanya mirip dengan

morfin, telah digunakan secara klinik lebih dari 75 tahun. Seperti halnya morfin,

oxyicodon adalah agonis opioid murni yang cocok untuk pengobatan nyeri

sedang hingga berat. Oxycodone dikarakteristikkan dengan onset yang cepat, rasio

potensi oral/parenteral yang tinggi.Oxyocodone yang banyak tersedia dalam

bentuk oxycodone IR (Immediate-Release) yang bisa diberikan kombinasi dengan

aspirin atau paracetamol atau yang.Oxycodone memiliki waktu paruh eliminasi

yang singkat, sehingga pada pengobatan nyeri kronik dibutuhkan dosis yang

berulang. Oksicodone saat ini tersedia dalam bentuk tablet oral CR (control

released) yang diberikan dosis tiap 12 jam untuk mengobati nyeri sedang hingga

21
berat. Bioavabilitas dan tingkat penyerapan Oxycodone CR sebanding dengan oral

oxycodone jika diberikn dengan dosis dalam jumlah yang sama.

Oxycodone CR dapat diberikan secara tunggal atau dikombinasi dengan

analgetik nonopioid dan memiliki fleksibiltas titrasi secara terpisah antara opioid

dan non opioid untuk mencapai keseimbangan optimal antara efek kontrol nyeri

dan efek sampingnya.Oxycodone CR dikembangkan untuk menggabungkan onset

yang cepat dari Oxycoden IR dengan efek durasi yang lama. Oral oxycodone CR

diberikan tiap 12 jam dan oral oxycodone IR diberikan 4 kali sehari.

Tabel 1. Sediaan Oksikodon, onset dan durasi

Onset Durasi Sediaan


Oxycodone 60 Menit 12 jam Tablet 10 mg,
CR 15 mg, 20 mg
(oral)

Oxycodone IR 15-30 Menit 4-6 jam Kapsul 5 mg,


(oral) 10 mg, 20 mg
Oxycodone IR 5-8 menit 4-6 jam Ampul
(injeksi/iv) 10mg/cc,
20mg/cc

(Dikutip dari National Comprehensive Cancer Network.NCCN Clinical Practice Guideline in

Oncology. Version 1.2010

3.2.3 Oxycodone Oral sebagai Tatalaksana Nyeri Akut Paska Bedah

Terdapat beberapa studi yang membandingkan efektifitas oksikodon

sebagai antinyeri pasca bedah pada beberapa jenis operasi yang dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 2. Studi penggunaan efektifitas Oksikodon terhadap intensitas nyeri pada

22
beberapa jenis operasi

Fanelli et al Singla et al 2005 Lamplot et al Raipal et al (2010) (36)


Penulis 2008 (2014) (30)
Laparoskopi Operasi abdominal atau Total knee Operasi tulang belakang
Jenis kolesistektom pelvis Artrhroplasty
Operasi i
CR Oksikodon /ibuprofen Oksikodon CR Oksikodon
oksikodon 5mg/400mg(168); (multimodal) (multimodal ) periode
(25); 10mg ≥ Ibuprofen 400mg (174); 10 mg tiap 12 preoperative /
60thn, 20mg Oksikodon 5mg (52); jam (tambah intraoperative:
< 60thn, 1 Placebo (60) tramadol, CR oksikodon 20 mg (+
jam pre op, ketorolac, gabapentin,
12 jam stlh hydrocodone dan acetaminophen,dolasetron)
Obat
dosis hydromorphone) (100)
yang
pertama, (19) Periode postoperative :
digunaka
Plasebo (25) -PCA CR oksikodon 10-20 mg
n
hydromorphone BID (+ gabapenin,
1mg Iv jika perlu aceaminophen)
(17) IV PCA morphine /
hydromorphine 1-2 mg
atau 0,2-0,4mg, dengan 6-
10 menit lockout dosis
diantara interval dosis(100)
NRS Signifikan lebih baik Grup mulitimodal Angka nyeri rata :
signifikan oksikodon/ibuprofen vs memilik nilai Multimodal : 2,36
rendah grup oksikodon 1,5& 2jam VAS yang jauh IVPCA : 3,18
oksikodon oksikodon vs placebo P < lebih rendah P < 0,01
Skor dibanding 0,05 dibanding denagn Angka nyeri terhebat :
nyeri placebo PCA tidak gnifikan
P<0,05

Tramadol Oksikodon/acetaminophen Konsumsi total Nilai rata-rata parenteral


(mg) ; morphine morphine equivalen : (0-24
Oksikodon Hydrokodon/acetaminophe Mulimodal : 66,2 jam) :
129,55 vs n PCA : 150,4 Multimodal : 31,2
Placebo 329; P < 0,0004 IV PCA : 49,97
Rescue
P < 0,05 P< 0,001

Tidak % pasien mual % pasien dengan Severitas mual :


signifikan Oksikodon/ibuprofen efek meruikan Mulimodal : 1,72
14,2%, Ibuprofen 12,6%, narkotik IV PCA : 3,61
Oksikodon 23,1%, Placebo Multimodal : 16 P < 0,001
Efek
20% PCA : 94 Severitas mengantuk :
samping
P , 0,01 Multimodal ; 4,51
IV PCA : 5,55
P < 0,05

Tidak ada Tidak ada data Menunjukkan Tidak ada data


data tren penurunan
Lama
waktu lama rawat
perawata
inap
n
Mulimodal : 1,9
PCA : 2,3

23
Penulis Niklasson et al (2015) (40) Korn et al (2004) (44)
Jenis Seksio Cesaria Operasi gigi
Operasi
Oksikodon 20 mg saat 0 jam Oksikodon/acetaminoph
kemudian,10 mg tiap 12 jam , en 5/325 mg (91)
minimal 48 jam(38) Rofecoxib 50 mg (90)
IVmorphine /oral codeine 10 Placebo (31)
Obat mg/ml morphine selama (Penelitian diberikan ke
yang 24jam , kemudian PCA stop pasien dengan
digunaka dan 1 -2 oksikodon pengalaman nyeri post
n /acetamnphen tablet tiap 4 jam operasi sedang – berat)
bila perlu (39)
Kedua terapi menerima adjuvan
ibuprofen /acetaminophen
selama 48 jam
NRS rata 2 saat diam 0-24jam: Rata2 hilangnya nyeri
Oksikodon : 3,43 setelah 6 jam
Morphine /codeine: 3,93 Oksikodon/acetainophen
Tidak signifikan : 5,9
25-48 jam : Roecoxib : 11,7†
Skor
Oksikodon : 2,89 Placebo : 1,9
nyeri
Morphine /codeine: 3,80 † p< 0,001 vs
P: 0,039 oksikodon /
acetamnphen atau
placebo
*p :< 0,005 vs placebo
Angka rata2 rescue selama 0- % pasien :
24jam : Oksikodon/acetainophen
Oksikodon : 4,3 : 94,5Rofecoxib : 72,2†
Morphine /codeine : 8,4 Placebo : 96,8 Waktu
P : 0,047 untuk dosis pertama
Rescue (jam)
Oksikodon/acetainophen
: 3,3 Rofecoxib : 8,3†
Placebo ; 1,7 p < 0,001
vs
ksikodon/acetainophen
% pasien dengan efek samping Kejadian mual:
opioid: Oksikodon/acetainophen
Oksikodon : 3 : 39,6% Rofecoxib : 18,9
Morphine/codeine: 15 %
Efek P “ 0,007 P < 0,001
samping Kejadian muntah :
Oksikodon/acetainophen
: 23,1 % Rofecoxib : 6,7
%
P , 0,00
Rata2: Tidak ada data
Lama Oksikodon :2,4
perawata Modphine/ codeine : 2,4
n Tidak signifkan

24
Dikutip dari : Cheung CW, dkk. Oral oxycodone for acute postoperative pain: a review of clinical
trials. Pain physician. 2017 Feb 1;20:SE33-52.
Oxycodone oral menunjukkan kemanjuran yang unggul dalam

menghilangkan rasa nyeri akut paskabedah.Oxycodone oral dikombinasikan

dengan acetaminophen memberikan kontrol nyeri yang lebih baik daripada morfin

intravena dan oxycodone oral memberikan efek pereda nyeri yang sebanding

dengan morfin intratekal setelah operasi sesar.Mengingat bahwa morfin yang

diberikan secara intratekal lebih efektif daripada morfin intravena untuk

menghilangkan nyeri paska-sesar, oxycodone oral tampaknya menawarkan

analgesia yang memuaskan dalam pengaturan nyeri ini.15 Dalam situasi

paskabedah yang melibatkan bedah jantung, kualitas analgesik oxycodone oral

sebanding dengan morfin intravena.20

Ketika diberikan sebagai bagian dari rejimen multimodal, oxycodone oral

menunjukkan kemanjuran analgesik yang unggul dibandingkan hidromorfon atau

morfin intravena unimodal setelah histerektomi abdominal terbuka18 dan

artroplasti lutut total19.

Di antara studi yang termasuk pembanding aktif lainnya, oxycodone oral

menunjukkan tingkat analgesia yang sebanding dengan yang disediakan oleh 6

agen: tramadol oral, acetaminophen/naproxen, piritramide intravena, ropivacaine

epidural, dan tapentadol oral.21 Namun, kombinasi oxycodone/acetaminophen oral

lebih rendah daripada rofecoxib dalam mengurangi nyeri setelah operasi gigi.4

Penggunaan Analgesik rescue

25
Oxycodone oral dikaitkan dengan berkurangnya permintaan untuk analgesia

rescue dibandingkan dengan plasebo, morfin intravena (operasi caesar 22, operasi

jantung24) dan hidromorfon intravena (artroplasti lutut20); ini juga berlaku untuk

skenario ketika oxycodone oral merupakan bagian dari rejimen analgesik

multimodal. Titik akhir penelitian yang dilaporkan adalah jumlah yang lebih

rendah dari obat rescue/total penggunaan opioid20,22,24, lebih sedikit pasien yang

membutuhkan obat rescue, dan/atau pengurangan waktu untuk pertama kali

menggunakan dosis analgesik penyelamatan pada kelompok perlakuan oxycodone

versus kelompok pembanding. Beberapa penelitian melaporkan penggunaan

analgesik penyelamatan yang sebanding antara kelompok-kelompok perlakuan.

Permintaan untuk analgesia penyelamatan lebih besar dengan pengobatan

oxycodone oral dibandingkan dengan morfin intratekal dan rofecoxib.4

Efek Samping Paskabedah dalam Penggunaan Oxycodone Oral

Oxycodone adalah agonis opiat semisintetik oral yang diturunkan dari

alkaloid thebaine opioid; itu kira-kira 10 sampai 12 kali lebih kuat daripada

kodein berdasarkan berat per berat. Ketika diberikan secara oral, onset dan efek

analgesik puncak masing-masing adalah 30 dan 90 menit, dan durasi analgesia

adalah (3 sampai 4 jam) karena ketahanannya terhadap metabolisme pertama yang

luas. Tidak seperti beberapa agonis opioid kerja sentral lainnya, oxycodone

memiliki efek euforia yang signifikan dan potensi kecanduan dan

penyalahgunaan.28,29

26
Saat acetaminophen dipisahkan dari pemberian opioid dan tidak diberikan

acetaminophen terjadwal yang dikombinasikan dengan oxycodone sesuai

kebutuhan mengakibatkan pasien wanita yang telah menjalani persalinan sesar

menggunakan lebih banyak acetaminophen dan lebih sedikit opioid untuk

mengobati rasa nyeri paskabedah mereka dalam dua hari pertama setelah

persalinan sesar dibandingkan dengan wanita yang menerima kombinasi obat

acetaminophen-opioid sesuai kebutuhan. Hal ini dapat menjadi acuan untuk

mengurangi efek samping ketergantungan opioid pada pasien.23,28

Dua ratus enam puluh enam pasien trauma secara acak diteliti oleh Haeseler

dkkdan menerima baik tapentadol (n = 133) atau oxycodone/naloxone (n = 133).

Efek samping muntah pada hari 1 terjadi pada 11% pasien, sembelit pada 35%

pasien tapentadol dan pada 16% dan 30% pasien oxycodone/naloxone (P = 0,60

dan 0,33), masing-masing. Insiden sedasi/vertigo adalah < 10%, yaitu somnolen <

2% pada kedua kelompok (P> 0,3, masing-masing). Skor total kejadian efek

samping adalah 51% pada tapentadol vs 49% pada kelompok

oxycodone/nalokson.30

Terjadinya PONV terkait dengan oxycodone oral sebanding dengan plasebo,

piritramide intravena, tramadol oral, dan naproxen.21 PONV berkurang secara

signifikan pada kelompok oxycodone. Semua penelitian yang membandingkan

oxycodone oral dengan morfin intravena, morfin intratekal, atau

tramadol/metamizol intravena melaporkan penurunan dalam satu atau lebih efek

samping yang berhubungan dengan opioid pada kelompok perlakuan

oxycodone22,24; hal ini juga berlaku untuk skenario ketika oxycodone oral

27
merupakan bagian dari rejimen analgesik multimodal 20. Secara signifikan, lebih

sedikit komplikasi terkait pengobatan pada pasien yang diobati dengan oxycodone

dibandingkan dengan mereka yang diobati dengan ropivacaine epidural.4

Pemulihan Paskabedah dan Kepuasan Pasien

Di antara penelitian yang mengevaluasi pemulihan pasien setelah operasi,

Lamplot dkk20 melaporkan peningkatan fungsi fisik yang terkait dengan rejimen

multimodal termasuk oxycodone oral, dibandingkan morfin atau hidromorfon

intravena.Pasien yang diobati dengan oxycodone menjadi lebih cepat bergerak

daripada pasien yang menerima ropivacaine epidural.Selain itu, 2 penelitian

(operasi tulang belakang24, operasi caesar22) mencatat kembalinya fungsi usus

pada pasien yang diobati dengan oxycodone oral (dibandingkan morfin intravena

dan morfin/kodein oral intravena, masing-masing). Uji coba pada pasien paska

operasi caesar tidak menemukan perbedaan dalam mobilitas antara oxycodone

oral dan morfin intravena.22

Kepuasan pasien dengan analgesia paskabedah umumnya tinggi dan

sebanding antara perawatan dalam sebagian besar percobaan21. Namun, kualitas

manajemen nyeri untuk pengobatan oxycodone dinilai lebih tinggi, seperti

kualitas manajemen nyeri untuk rejimen multimodal yang melibatkan oxycodone

di pengaturan artroplasti lutut (dibandingkan hidromorfon intravena)20. Kepuasan

ibu dengan morfin intratekal lebih tinggi dibandingkan dengan oxycodone oral

pada 24 jam paskabedah meskipun terdapat lebih banyak pruritus pada kelompok

ini; pemberian analgesia yang lebih konsisten pada kelompok morfin intratekal

28
dapat memengaruhi tingkat kepuasan pasien lebih dari efek samping. Tingkat

kepuasan pasien yang lebih tinggi dengan rofecoxib dibandingkan dengan

oxycodone oral pada pasien yang menjalani operasi gigi.4

Oxycodone Oral dalam Tatalaksana Nyeri Akut Paskabedah

Oxycodone oral memberikan analgesia superior dan mengurangi permintaan

analgesik rescue dibandingkan dengan plasebo. Dibandingkan dengan opioid

intravena, oxycodone oral memberikan kontrol nyeri yang sebanding atau lebih

baik dan mengurangi permintaan analgesia rescue pada beberapa operasi.

Pengurangan penggunaan analgesik rescue menandakan kontrol nyeri yang

memadai, yang dapat memfasilitasi pemulangan dini dari rumah sakit. Oxycodone

oral lebih rendah daripada rofecoxib dalam mengurangi rasa sakit setelah operasi

gigi.Hal ini sejalan dengan penelitian serupa tentang manajemen nyeri gigi

paskabedah menggunakan cyclooxygenase-2 (COX-2) selektif lainnya obat

antiinflamasi nonsteroid (NSAID) di mana kemanjuran analgesik dari oxycodone

telah dilaporkan lebih rendah daripada etoricoxib (tidak disetujui untuk digunakan

di Amerika Serikat) dan sebanding dengan valdecoxib. Karena nyeri gigi

paskabedah termasuk komponen inflamasi, NSAID mungkin merupakan pilihan

yang lebih baik daripada opioid.4

Oxycodone oral memiliki beberapa keunggulan dibandingkan PCA dengan

opioid intravena, seperti morfin, untuk kontrol nyeri paskabedah. Ketersediaan

sediaan oral yang lebih tinggi, kemudahan pemberian oral, penetrasi BBB yang

lebih efisien, dan efek samping yang berpotensi lebih sedikit menjadikan

29
oxycodone sebagai alternatif yang baik untuk morfin. Beberapa penelitian

menunjukkan onset analgesia oxycodone yang cepat, bahkan segera setelah 30

menit setelah pemberian oral, semakin mendukung nilainya dalam manajemen

nyeri paskabedah. Dalam studi yang termasuk dalam ulasan ini, dosis oxycodone

berkisar antara 5 mg/hari dan 120 mg/hari.4

Efek samping yang umum dilaporkan terhadap oxycodone (mual, muntah,

sakit kepala, pruritus, pusing, mengantuk, dan sembelit) adalah tipikal analgesik

μ-opioid yang bekerja sentral. Efek samping ini kurang umum dengan oxycodone

oral dibandingkan dengan plasebo atau opioid parenteral dalam beberapa

penelitian, sementara yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. 4

Sebagian besar studi ini juga mencatat konsumsi opioid keseluruhan yang lebih

rendah pada kelompok pengobatan oxycodone20,22 yang mungkin mengurangi

dampak buruk ini. Menariknya, penelitian yang mendokumentasikan lebih sedikit

efek samping dengan pengobatan oxycodone juga melaporkan kepuasan pasien

yang lebih besar dengan terapi, menunjukkan penerimaan pasien yang lebih baik

dari oxycodone oral21. Meskipun depresi pernafasan merupakan tindakan

farmakologis oxycodone yang diketahui, tidak ada contoh depresi pernafasan

yang terkait dengan penggunaan oxycodone dalam studi yang diteliti.21,24

Pendekatan analgesik multimodal yang menggabungkan obat-obatan opioid

dan non-opioid dengan mekanisme aksi yang berbeda dapat menghasilkan efek

sinergis yang menghasilkan penghilang rasa sakit maksimum dengan konsumsi

opioid yang minimal.Efek hemat opioid ini telah terbukti mengurangi efek

samping yang terkait opioid dan mempercepat pemulihan setelah berbagai

30
prosedur bedah. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa oxycodone oral,

diberikan sebagai bagian dari rejimen analgesik multimodal, memberikan pereda

nyeri efektif yang sebanding dengan opioid PCA intravena, sementara pada saat

yang sama mengurangi efek samping, menurunkan konsumsi opioid keseluruhan,

memungkinkan penghentian analgesik sebelumnya, memperpendek penghentian

tinggal di rumah sakit, dan mengurangi biaya.4,19,20

Protokol Enhanced Recovery After Surgery (ERAS) adalah pendekatan

berbasis bukti multimodal untuk perawatan pasien yang diimplementasikan

dengan tujuan mengurangi morbiditas dan meningkatkan pemulihan, sehingga

memungkinkan pemulangan lebih awal dari rumah sakit. Mencapai kontrol nyeri

paskabedah yang optimal adalah salah satu elemen kunci dari ERAS dan rejimen

hemat opioid direkomendasikan untuk mengurangi efek samping yang tidak

diinginkan. Dengan kata lain, analgesia multimodal yang melibatkan oxycodone

oral dapat menjadi alternatif potensial untuk opioid intravena untuk kontrol nyeri

paskabedah yang efektif.4 Beberapa studi melaporkan peningkatan fungsi fisik20

atau pengurangan lama tinggal di rumah sakit 19 yang terkait dengan rejimen

multimodal menggunakan oxycodone oral dibandingkan opioid intravena saja.

31
BAB III

RINGKASAN

Nyeri akut pasca bedah masih dirasakan oleh sebagian besar pasien dimana

sampai 80% pasien mengeluhkan nyeri sedang sampai berat. Management yang

tepat dari nyeri pasca bedah ini akan memberikan pemulihan pasien yang lebih

cepat, menghindarkan pasien dari efek buruk dari respon stres akibat nyeri,

mempercepat penyembuhan luka, mencegah penurunan sistem imun akibat nyeri

dan hal lain yang berhubungan dengan efek dari respon nyeri.

Penangan nyeri sedang sampai berat, berdasarkan three step ladder WHO

membutuhkan kombinasi NSAID dengan opioid lemah sampai opioid kuat. Jalur

pemberian opioid dapat berupa oral, intravena, ataupun transdermal. Pemberian

obat-obatan antinyeri per oral, sejalan dengan ERAS, mempercepat intake oral

pasien jika tidak terdapat kontraindikasi, akan memberikan pemulihn

gastrointestinal yang lebih cepat dan lama perawatan di rumah sakit yang lebih

singkat.

Oksikodon merupakan opioid kuat, tersedia dalam sediaan oral, merupakan

alternatif penanganan nyeri akut pasca bedah. Pada beberapa jenis operasi, seperti

operasi laparaskopi cholesistektomi, histerektomi, arthroskopi lutut, oksikodon

32
terbukti menurunkan intensitas nyeri secara segnifikan dibandingkan dengan

morfin ataupun plasebo dan menurunkan kebutuhan rescue analgetik. Lebih jauh

lai oksikodon oral memiliki efeksamping PONV yang lebih rendah.

Dengan beberapa bukti diatas, oksikodon oral dapat dijadikan pilihan dalam

strategi mulimodal analgesia dalam penanganan nyeri akut pasca bedah.

33
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Gan TJ, dkk. Incidence, patient satisfaction, perception of postsurgical

pain: results from a US national survey. Curr Med Res Opin 2014;

30:149–60.

2. Raff M, dkk. Intravenous Oxycodone Versus Other Intravenous Strong

Opioids for Acute Postoperative Pain Control: A Systematic Review of

Randomized Controlled Trials. Pain and therapy. 2019 Jun 1;8(1):19-39.

3. Carlson CL. Effectiveness of the World Health Organization cancer pain

relief guidelines: an integrative review. J Pain Res. 2016;9:515-34.

4. Cheung CW, dkk. Oral oxycodone for acute postoperative pain: a review

of clinical trials. Pain physician. 2017 Feb 1;20:SE33-52.

5. Fearon, dkk. Enhanched recovery after surgery a review. JAMA surgery.

2017 Jan; jamanetwork.com/journals/jamasurgery/fullarticle

6. Marsuki, dkk. Pengaruh pemberian oxycodone oral 20mg sebagai

analgesia preventif terhadap intensitas nyeri dan kebutuhan rescue

analgetik paskabedah laparoskopi kolesistektomi. Anesthesia & critical

care. 2017 Okt. Vol 3 No 3.

34
7. Frizelle H. Mechanism of postoperative pain-nociceptive in postoperative
pain management: an evidence-based guide to practice. Philadelphia:
Saunder Elseiver, 2006;27-33.
8. The American Society of Anesthesiologist task force on acute pain
management. Practice guidelines for acute pain management in the
perioperatif setting. Br J Anesth 2004;100:1574-81.
9. Tanra AH, Rehatta NM, Musba MT. Lintasan nyeri. Dalam:
Penatalaksanaan nyeri. Edisi 1. Makassar: Bagian ilmu anestesi perawatan
intensif dan manajemen nyeri fakultas kedokteran universitas
hasanuddin,2013;2-10.
10. Gottschalk A, Smith DS. New concepts in acute pain therapy: preemptive
analgesia. Am Fam Physician 2001; 63: 1979-84.
11. Ramsay MA. Acute postoperative pain management. Bayl Univ Med Cent.
2000;13(3):140-153.
12. Vadivelu N, Mitra S, Narayan D. Review recent advances in postoperative
pain management. Yale J Biol Med. 2010;83(1):11-25.
13. Malek J, Sevcik P. Pathophysiology of acute post operative pain. In:
Postoperative pain management. 3rd edition. Mlada fronta. Praha. 2017. Pp
9-10
14. ASA. Task Foerce on Acute pain management. Practice guideline for

acute pain management in the perioperative setting. Anesthesiology.

2004;100:1573-81

15. Jokela R, Ahoen J, Valjus M. Premedication with control release

oxycodone does not improve management of postoperative pain after day-

case gynaecological laparoscopy surgery. Br J anaesth. 2007; 98: 255-60

16. Gallego A, Baron MG, Arraz E. Oxycodone : a Pharmacological and

clinical review.Clin Transl Oncol . 2007:9: 298-307

35
17. Moore PA, dkk. Benefits and harms associated with analgesic medications

used in the management of acute dental pain: an overview of systematic

reviews. The Journal of the American Dental Association. 2018 Apr

1;149(4):256-65.

18. Santoso JT, dkk. Multimodal pain control is associated with reduced

hospital stay following open abdominal hysterectomy. Eur J Obstet

Gynecol Reprod Biol 2014; 183:48-51.

19. Lamplot JD, Wagner ER, Manning DW. Multimodal pain management in

total knee arthroplasty: a prospective randomized controlled trial. J

Arthroplasty 2014; 29:329-34.

20. Stessel B, dkk. Controlled-release oxycodone versus naproxen at home

after ambulatory surgery: A randomized controlled trial. Curr Ther Res

Clin Exp 2014; 76:120-25.

21. Niklasson B, dkk. Oral oxycodone for pain after caesarean section: A

randomized comparison with nurse-administered IV morphine in a

pragmatic study. Scand J Pain 2015; 7:17-24.

22. Valentine AR, dkk. Scheduled acetaminophen with as-needed opioids

compared to as-needed acetaminophen plus opioids for post-cesarean pain

management. International journal of obstetric anesthesia. 2015 Aug

1;24(3):210-6.

23. Ruetzler K, dkk. A randomized trial of oral versus intravenous opioids for

treatment of pain after cardiac surgery. J Anesth 2014; 28:580-86.

36
24. Abidin SZ, dkk. Pain Control after Open Heart Surgery: tramadol versus

oxycodone. Middle East Journal of Anesthesiology. 2017 Jun 1;24(2):105-

10.

25. Mobini A, Mehra P, Chigurupati R. Postoperative pain and opioid

analgesic requirements after orthognathic surgery. Journal of Oral and

Maxillofacial Surgery. 2018 Nov 1;76(11):2285-95.

26. Coluzzi F, dkk. The challenge of perioperative pain management in

opioid-tolerant patients. Therapeutics and clinical risk management.

2017;13:1163.

27. Altenau B, dkk. Randomized controlled trial of intravenous

acetaminophen for postcesarean delivery pain control. American journal of

obstetrics and gynecology. 2017 Sep 1;217(3):362-e1.

28. Ræder J, Breivik H. Oral immediate and prolonged release oxycodone for

safe and effective patient controlled analgesia after surgery Can opioid for

acute postoperative pain be improved by adding a peripheral opioid

antagonist?. Scandinavian journal of pain. 2015 Apr 1;7(1):25-7.

29. Haeseler G, dkk. Combatting pain after orthopedic/trauma surgery-

perioperative oral extended-release tapentadol vs. extended-release

oxycodone/naloxone. BMC anesthesiology. 2017 Dec;17(1):91.

30. Kampe S, dkk. Controlled-release oxycodone as “gold standard” for

postoperative pain therapy in patients undergoing video-assisted thoracic

surgery or thoracoscopy: A retrospective evaluation of 788 cases. The

Thoracic and cardiovascular surgeon. 2015 Sep;63(06):510-3.

37
38

Anda mungkin juga menyukai