Anda di halaman 1dari 18

NYERI NOSISEPTIF

Muhammad. Ramli Ahmad


Bagian Anestesiologi, Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri
FK Unhas Makassar

PENDAHULUAN

International Association for the Study of Pain (IASP) mengartikan nyeri adalah “rasa
inderawi dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan
yang nyata atau yang berpotensi rusak atau sesuatu yang tergambarkan seperti itu” International
Association for the Study of Pain (1979)

Meskipun merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan dan menakutkan, nyeri nosiseptif
respon terkait memiliki tujuan penting, antara lain mengidentifikasi dan melokalisasi stimulus
nyeri, menginisiasi respon withdrawal yang dapat membatasi kerusakan jaringan, menghambat
mobilitas dengan demikian dapat mempertinggi kesembuhan luka (cedera), dan menginisiasi
motivasi dan respon afektif yang dapat memperbaiki kelakuan masa depan.
Namun, seringnya dan lamanya transmisi nyeri dapat meningkatkan morbiditas pasca bedah /
pasca trauma, pemulihan yang terhambat, dan mengarah ke perkembangan nyeri kronik

Tahun 2005 WHO telah memasukkan nyeri sebagai tanda vital kelima setelah tekanan
darah, nadi, pernapasan dan suhu.

NYERI NOSISEPTIF

Nyeri nosiseptif didefinisikan sebagai persepsi nyeri akibat dari kerusakan jaringan atau
mengancam kerusakan jaringan setelah tindakan bedah, keadaan trauma, atau penyakit yang
berhubungan dengan cedera seluler. Nyeri fisiologik terjadi rasa tidak nyaman yang tiba-tiba
muncul (nontraumatik) dan durasinya pendek, menandakan seorang individu akan menghadapi
suatu stimulus yang berpotensial mencederainya, seperti benda panas, dan menginisiasi refleks
menghindar yang dapat mencegah atau meminimalisir cederanya.

1
Nyeri fisiologis stimuli noksius berlangsung singkat dan tidak menimbulkan kerusakan
jaringan. Stimulus noksius mengaktivasi nosiseptor sehingga nosiseptor mengeluarkan potensial
aksi yang dijalarkan serabut saraf aferen (SSA) ke SSP selanjutnya timbul persepsi nyeri. Proses
yang terjadi di nosiseptor berlangsung singkat. Ketika stimuli hilang, proses di nosiseptorpun
hilang dan tidak menimbulkan proses yang berkepanjangan di neuron kornu dorsalis. Pada nyeri
sederhana ini persepsi nyeri berkorelasi positif dengan intensitas nyeri. Nyeri fisiologik penting
untuk mempertahankan kelangsungan hidup setiap mahluk, sebab dapat membangunkan atau
mengaktifasi withdrawal reflex, sistem autonomic dan meningkatkan kewasapadaan emosional
dan responsn neurohumeral.

Dulu Nyeri nosiseptif juga didefinisikan sebagai nyeri inflamasi dengan alasan setiap
kerusakan jaringan diikuti oleh proses inflamasi karena inflamasi perifer dan mediator penyebab
radang memainkan peranan penting dalam tahap inisiasi dan perkembangannya, namun oleh
Wolf (2010) memisahkan antara nyeri inflamasi dipisahkan

Sifat nyeri Nosiseptif


Berdasarkan lokasi nosiptor maka sifat nyeri nosiseptif dapat kita bedakan nyeri nosiseptif
somatik permukaan, nyeri nosiseptif somatik dalam dan nyeri nosiseptif viseral.
Nyeri nosiseptif somatik mempunyai sifat nyeri terlokalisir dan umumnya mengikuti pola
dermatomal. Biasanya, nyeri ini dirasa tajam dan seperti tersayat-sayat.
Nyeri nosiseptif viseral sebagai perasaan tidak nyaman yang berhubungan dengan iritasi
peritoneal seperti halnya dilatasi otot-otot sekeliling viscus atau saluran tubular. Umumnya, nyeri
ini susah untuk dilokalisir dan tidak mengikuti pola dermatomal serta nyeri ini dirasa keram dan
kolik. Nyeri alih dapat dijelaskan adanya konvergensi input nyeri dari aferen viseral yang
mengaktivasi saraf yang normalnya berespon terhadap sensasi somatik. Oleh karena
konvergensinya nyeri yang berasal dari struktur viseral yang lebih dalam dan dirasa seperti
halnya rasa tidak nyamannya somatik pada lokasi dekat maupun jauh dari lokasi iritasi atau
cedera internal.

2
MEKANISME NYERI NOSISEPTIF

Rangsangan nyeri dari perifer yang menyebabkan sensitisasi perifer melalui proses
elektrofisiologik akan menyebabkan sensitisasi sentral dan akan menimbulkan persepsi nyeri di
sentral melalui 4 proses, yaitu :

1. Proses transduksi, dimana suatu stimulus noksius seperti mekanik, suhu, kimia diubah
menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf (nerve endings).
2. Proses transmisi, dimana rangsang merambat melalui saraf sensorik.
3. Proses modulasi, dimana terjadi interaksi antara rangsang nyeri yang tiba pada kornu
posterior dengan sistem analgetik endogen seperti endorfin.
4. Proses persepsi, merupakan hasil akhir dari interaksi tadi dengan dihasilkannya suatu
perasaan subjektif yang disebut nyeri.

PROSES TRANSDUKSI

Proses transduksi dijelaskan sebagai reaksi dari nosiseptor perifer terhadap rangsang
trauma berupa mekanik, termal, atau kimiawi yang berpotensi merusak. Rangsang noksius akan
menyebabkan depolarisasi listrik pada ujung nosiseptor. Sebagai mediator noksius perifer disini
bisa karena bahan yang dilepaskan dari sel-sel yang rusak selama perlukaan, ataupun sebagai
akibat reaksi humoral dan neural karena perlukaan.

Kerusakan selular pada kulit, fasia, otot, tulang, dan ligamentum mengakibatkan dari
intraselular dilepaskan ion hidrogen (H+) dan ion kalium (K+) serta arachidonic acid (AA=asam
arakidonat) sebagai akibat lisis dari membran sel. Penumpukan asam arakidonat memicu
pengeluaran enzim cyclooxygenase-2 (COX-2), yang akan mengubah asam arakidonat menjadi
prostaglandin E2, prostaglandin G2, dan prostaglandin H2. Prostaglandin E2 dan mediator yang
lain ini akan menyebabkan sensitisasi saraf perifer.

Selain prostaglandin, dari jaringan yang mengalami kerusakan juga dilepaskan leukotrien
5-hydroxytryptamine (5-HT), bradikinin (BK), dan histamin yang banyak berpengaruh pada
terjadinya sensitisasi primer dan sekunder. Bradikinin, 5-HT dan mediator primer lainnya akan
menstimulasi sensitisasi ujung saraf dan menyebabkan pelepasan peptida dan neurokinin seperti
calcitonin gene related protein (CGRP), substance P (sP), dan cholecystokinin (CCK) di tempat

3
dan di sekitar perlukaan. Substansi P, sebaliknya, akan meningkatkan sensitisasi perifer dengan
meningkatkan pelepasan bradikinin, histamin, dan 5-HT. Substansi P dan CGRP dihasilkan dari
sel tubuh pada nosiseptor primer yang berlokasi pada akar dari ganglion dorsal. Substansi ini
melalui transpor aksonal diteruskan ke ujung saraf perifer dan ujung saraf sentral, dan akan
memulai proses hiperalgesia.

Bila dilepas di ujung saraf perifer CGRP akan meningkatkan prostaglandin E dan
histamin, yang menyebabkan terjadinya proses inflamasi berupa vasodilatasi pembuluh darah,
peningkatan permeabilitas kapiler, serta ekstravasasi protein plasma dan memperpanjang efek
dari substansi P .

Refleks eferen simpatis juga akan melakukan reaksi terhadap sensitisasi nosiseptor
dengan melepaskan norepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah pada tempat
perlukaan. Norepinefrin ini juga akan menstimulasi pelepasan bradikinin dan substansi P.

Perlukaan jaringan akut menyebabkan peningkatan sintesis dan ekstravasasi sitokin


proinflamasi dari humoral, seperti interleukin-1β (IL-1β), interleukin-6 (IL-6), tumor necrosis
factor α (TNF-α tumor), dan nerve growth factor (NGF). Sitokin ini juga berperan pada
eksaserbasi edema dan juga merupakan salah satu komponen iritatif dari nyeri inflamasi. Dari
penelitian didapatkan bahwa peningkatan kadar interleukin-1β ditemukan pada keadaan alodinia,
dan pemberian analgesia pascabedah yang efektif ternyata menurunkan kadar sitokin
proinflamasi. Juga didapatkan bahwa polimorfisme genetik mempengaruhi produksi sitokin
proinflamasi, dan oleh karena itu, intensitas nyeri serta kebutuhan analgetik pasca bedah berbeda
bagi setiap individu. Interleukin-1β akan menginduksi enzim COX-2. Sementara itu,
pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat memerlukan bantuan enzin COX-2 ini. Dengan
demikian interleukin-1β juga menyebabkan peningkatan pembentukan prostaglandin E2.

Mediator inflamasi dan sitokin proinflamasi tersebut melakukan aktivasi terhadap ion
channel dari transient receptor potential (TRP). Ada 4 unit reseptor yang mengandung ion
channel sentral dan memungkinkan masuknya Ca2+ dan Na+. Masuknya Ca2+ melalui ion
channel TRP menimbulkan potensi elektrik, yang menyebabkan depolarisasi segmen aksonal
distal dan menghasilkan potensi aksi yang akan diteruskan ke sentral. Dengan demikian,
rangsang nyeri pada nosiseptor dihantarkan oleh serabut perifer ke sistem saraf pusat.

4
Serabut saraf penghantar nyeri ini dibedakan atas serabut saraf yang diameternya besar
dan yang kecil, serta serabut saraf yang bermielin dan yang tidak.

Gambar 1. : Reseptor nyeri diujung saraf perifer.

KONDUKSI / TRANSMISI
Konduksi memiliki arti perambatan aksi potensial dari nosiseptif ending perifer melalui
serabut saraf yang bermielin dan tidak bermielin. Terminal sentralis dari serabut ini membuat
kontak sinaptik dengan sel second-order pada medula spinalis. Serabut saraf nosiseptif dan yang
non-nosiseptif diklasifikasikan menurut derajat mielinisasi, diameter dan kecepatan konduksi.
Serabut sensoris yang berdiameter terbesar, yaitu serabut Aβ, secara umum merupakan akson
sensoris nonnoxious spesial yang menginervasi struktur somatik dari kulit dan sendi. Dua
golongan dari serabut nosiseptif antara lain, yaitu Aδ yang dilapisi mielin tipis dan serabut C
yang tidak bermielin yang menginervasi kulit dan variasi jaringan lainnya. Serabut Aδ
mentransmisi “first pain”, rapid-onset (< 1 detik) terlokalisasi dengan baik, terasa tajam atau
menyengat dalam durasi yang cepat. Persepsi dari “first pain” menandakan seseorang berpotensi
akan atau sedang mengalami cedera, daerah cedera yang terlokalisasi, dan menginisiasi respon
refleks withdrawal. Serabut C yang tidak bermielinisasi disebut juga serabut nosiseptif polimodal
yang memiliki ambang batas tinggi, berespon kepada cedera mekanik, kimia, dan termal (suhu).

5
Serabut ini bertanggung jawab terhadap persepsi dari “second pain”, dimana memiliki hambatan
laten (detik hingga menit) dan digambarkan sebagai sensasi terbakar, tertusuk yang biasanya
memanjang dan bisa menjadi bertambah progresif.

Tabel 2 : klasifikasi serabut sarah aferen primer

Karakteristik Aβ Aδ Serabut C
Ukuran diameter Paling besar Kecil Sangat kecil
Derajat mielinisasi Bermielin Bermielin tipis Tidak bermielin
Kecepatan konduksi Sangat cepat Cepat Lambat
30-50 m/s 5-25 m/s < 2m/s
Level ambang batas Rendah Tinggi Tinggi
Terkativasi oleh Sentuhan ringan dan Stimulasi nyeri yang stimulasi nyeri yang intens
getaran singkat; stimulasi nyeri dan lama
yang intens dan lama
Lokasi Kulit dan sendi Kulit dan jaringan Kulit dan jaringan
superfisial; struktur superfisial; struktur
somatik dalam dan viseral somatik dalam dan
visceral

PROSES TRANSMISI

Pada proses transmisi, impuls noksius dari nosiseptor primer diteruskan ke sel di dalam kornu
dorsalis medula spinalis. Serabut saraf A delta dan serabut saraf C memiliki proyeksi di distal
yang dikenal sebagai ujung nosiseptif, sedangkan ujung proksimalnya akan masuk ke dalam
kornu dorsalis medula spinalis dan bersinaps dengan second-order neuron yang berlokasi
dominan dalam lamina II (substantia gelatinosa) dan dalam lamina V (nucleus proprius).
Neuron kornu dorsalis terdiri dari first-order neuron yang merupakan akhir dari serabut aferen
pertama (presinaptik), dan second-order neuron yang menerima rangsang dari neuron pertama
(pascasinaptik). Proses modulasi nyeri diperankan oleh second-order neuron ini, yang
memfasilitasi atau menghambat masuknya suatu rangsang noksius.

Second-order neuron juga terdiri atas 2 jenis, yaitu :

1. Nociceptive-specific neuron (NS) yang berlokasi dalam lamina I dan bereaksi terhadap
rangsang dari serabut saraf A delta dan serabut saraf C.
2. Wide-dynamic range neuron (WDR) yang berlokasi dalam lamina V dan bereaksi
terhadap rangsang noksius ataupun rangsang noksius, dan yang menyebabkan

6
menurunnya respon threshold serta meningkatnya receptive field, sehingga terjadi
peningkatan sinyal transmisi ke otak dan terjadi persepsi nyeri. Perubahan ini terjadi
karena perubahan pada kornu dorsalis sebagai akibat kerusakan jaringan serta proses
inflamasi, dan disebut sensitisasi sentral.

Sensitisasi sentral ini akan menyebabkan neuron-neuron menjadi lebih sensitif terhadap
rangsang lain dan menimbulkan gejala-gejala hiperalgesia dan alodina.

Hal ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bersifat kaku, tetapi bersifat seperti
plastik (plastisitas) yang dapat berubah sifatnya karena ada kerusakan jaringan atau inflamasi.
Stimulus dengan frekuensi rendah menghasilkan reaksi dari neuron WDR berupa transmisi
sensoris tidak nyeri, tetapi stimulus dengan frekuensi yang lebih tinggi akan menghasilkan
transmisi sensoris nyeri. Neuron WDR ini dihambat oleh sel inhibisi lokal di substansia
gelatinosa dan dari sinaptik desendens. Impuls noksius dari nosiseptor perifer akan diteruskan
sampai ke neuron presinaptik. Di neuron presinaptik impuls ini akan mengakibatkan Ca2+ akan
masuk ke dalam sel melalui Ca2+ channel. Masuknya Ca2+ ke dalam sel ini menyebabkan ujung
saraf presinaptik melepaskan beberapa neurotransmitter seperti glutamat dan substansi-P
(neurokinin). Dari ujung presinaptik serabut saraf A delta dilepaskan neurotransmitter golongan
asam amino seperti glutamat dan aspartat, sedangkan dari ujung presinaptik serabut saraf C
dilepaskan selain neurotransmitter golongan asam amino, juga neurotransmitter golongan peptida
seperti substansi-P (neurokinin), calcitonin gene related protein (CGRP), dan cholecystokinin
(CCK). Selama pembedahan stimulus noksius dihantar melalui kedua serabut saraf tersebut,
sedangkan pada periode pascabedah dan pada proses inflamasi stimulus noksius didominasi
penghantarannya melalui serabut saraf C.

Neurotransmitter seperti glutamat dan substansi-P yang dilepaskan di presinaptik ini akan
berperan pada transmisi sinaptik. Asam amino yang menyebabkan eksitasi dan berperan pada
transmisi sinaptik dan depolarisasi neuronal yang cepat, seperti glutamat dan aspartat akan
melakukan aktivasi terhadap reseptor amino-3-hydroxyl-5-methyl-4-proprionic acid (AMPA)
dan reseptor kainite (KAR). Reseptor AMPA terdiri dari 4 subunit dengan lokasi pengikatan
glutamat yang mengelilingi cation channel di sentral.

7
Pengikatan glutamat ini akan menyebabkan aktivasi reseptor, membuka channel, dan
memungkinkan berpindahnya ion Na+ ke dalam sel. Meningkatnya perpindahan ion Na+ akan
menyebabkan depolarisasi neuron-second order dan memungkinkan sinyal noksius berpindah
secara cepat ke lokasi supraspinal dari persepsi. Reseptor KAR juga ikut dalam eksitasi
pascasinaptik, tetapi dibandingkan dengan AMPA sedikit peranannya dalam sinyal sinaptik
sesudah stimulus noksius. Dalam keadaan stimulasi noksius frekuensi tinggi yang terus-menerus
aktivasi reseptor AMPA dan KAR akan merangsang reseptor N-methyl-D-aspartic acid
(NMDA).

Pada pengaturan stimulasi nyeri frekuensi tinggi selanjutnya, reseptor AMPA dan KAR
yang telah aktif menginisiasi voltase dasar mediasi dari N-Methyl-D-aspartic acid (NMDA).
Reseptor NMDA adalah 4-subunit (2 subunit NRI,1 subunit NR2A dan 1 subunit NR2B) protein
membran yang mengatur pemasukan dari Na+ dan Ca2+ dan pengeluaran dari K+ via channel ion
intrinsik. Reseptor NMDA merupakan ligand dependent dan voltage gated. Aktivasinya
memerlukan AMPA-induced membrane depolarization dan perubahan positif voltase
intraseluler, seperti halnya binding glutamate atau asparta yang akan menuju reseptornya..
Reseptor AMPA yang telah aktif ini menginisiasi slow excitatory postsynaptic potentials
(EPSPs) sekitar beberapa ratus miliseconds. Potensial > 5-Hz ini terakumulasi dan membuat
summated depolarization yang pada gilirannya akan mengeluarkan ion magnesium “plug”
dimana normalnya akan memblok ion channel NMDA. Pada saat pengeluaran ion Mg2+ ini,
terjadi inisiasi pemasukan ion Ca2+.
Perpindahan ion Mg2+ akan menyebabkan masuknya ion Ca2+ ke dalam sel. Aktivasi
reseptor NMDA lebih lanjut karena sensitisasi oleh pengikatan glutamat pada tempat
pengikatannya. Akumulasi penumpukan Ca2+ intraselular akan mempengaruhi perubahan
neurochemical dan neurofisiologi yang akan mempengaruhi proses nyeri akut. Neuron spinal
second-order akan menjadi sangat sensitif dan cepat terangsang oleh rangsang sensoris
selanjutnya, dan proses ini disebut wind-up. Aktivasi NMDA, wind-up, dan sensitisasi sentral
menjadi penyebab dari hiperalgesia sekunder.

Masuknya ion Ca2+ ke dalam intraselular juga menyebabkan aktivasi enzim seperti nitric
oxide synthese (NOS) dan COX-2. Ca2+ intraselular akan berikatan dengan kalmodulin menjadi
Ca-kalmodulin. Ca-kalmodulin akan mengaktivasi enzim NOS yang berperan dalam merubah

8
arginin menjadi sitrulin dan nitric oxyde (NO). Dalam keadaan normal NO dibutuhkan untuk
mempertahankan fungsi sel yang normal, tetapi dalam keadaan yang berlebihan NO dapat
bersifat neurotoksik yang akan merusak sel saraf itu.

Akumulasi dari Ca2+ intraseluler menginisiasi perubahan rangkaian neurokimia dan


neurofisiologi yang berpengaruh terhadap proses nyeri akut. Neuron spinal second-order menjadi
tersensitisasi tinggi dan keluar secara cepat dan secara independen terjadi untuk stimulasi
sensoris kedepannya. Proses ini, yang dinamakan wind-up, mengarah secara spesifik kepada
eksitasi transkripsi-independen pada neuron-neuron cornu dorsalis.
Woolf dan kawan-kawan telah membuktikan bahwa aktivasi NMDA, wind-up, dan
sensitisasi sentral bertanggung jawab terhadap hiperalgesia klinis dan diikuti dapat muncul
bersamaan dengan kerusakan saraf, adanya trauma dan inflamasi. Sensitisasi sentral juga
ditemukan pada regio supraspinal dari SSP, termasuk diantaranya medulla retroventral,
amygdala, dan girus cingulate anterior.
. Proses aktivasi NMDA dan konsekuensinya dapat dilihat pada gambar 2.

Gamabar 2.Target dari mediator nyeri eksitatory pada sel second-order. Glutamat merupakan
agonis eksitatorik primer untuk transmisi nyeri. Glutamat mengaktivasi binding site spesifik yang
berada di AMPA, kainate, dan reseptor NMDA. Ion channel pada AMPA aktif dan reseptor
kainate memungkinkan Na+ untuk masuk dan mendepolarisasi selnya. Perubahan voltase si
intraseluler secara cepat mengaktifkan reseptor NMDA dan memungkinkan ikatan Mg 2+ dilepas.
Selanjutnya ion Ca2+ masuk dan terinisiasi. Glutamat binding to NMDARs mempertahankan
pemasukan Ca2+ flux. Perubahan ini akan meningkatkan eksitabilitas neuronal dan mendasari
plastisitas selanjutnya.

9
Tabel 3: Reseptor yang berhubungan dengan transmisi nyeri pada dorsal horn

Reseptor Tipe Ligan Voltage gated Aksi Fungsi Onset


AMPA Ionotropik Glu Tidak Eksitatori Na+ Flux Rapid
NMDA Ionotropik Glu Iya Eksitatori Ca2 flux Delayed
KAR Ionotropik Glu Tidak Eksitatori Na+, K+ flux Rapid
NK-1 Metabotropik sP Tidak Eksitatori Aktivasi 2nd messengers Delayed
Glycine Ionotropik Gly Tidak Inhibisi Cl- Flux Rapid
GABA Ionotropik GABA Tidak Inhibisi Menghambat K+ flux Rapid
ENK Metabotropik ENK Tidak Inhibisi Menghambat K+ flux Rapid
dan 2nd messengers

PROSES MODULASI

Proses modulasi dinyatakan sebagai mekanisme hambatan (inhibisi) terhadap nyeri di


dalam kornu dorsalis medula spinalis dan di tingkat lebih tinggi di brain stem dan mid brain. Di
dalam medula spinalis mekanisme inhibisi terhadap transmisi nyeri terjadi pada sinaps pertama
antara aferen noksius primer dan sel-sel WDR dan NS dari second-order, dengan demikian
mengurangi penghantaran spinotalamus dari impuls noksius. Modulasi spinal dimediasi oleh
kerja inhibisi dari senyawa endogen yang mempunyai efek analgetik, yang dilepaskan dari
interneuron spinal dan dari ujung terminal akson yang mempunyai sifat inhibisi yang turun
(desendens) dari central gray locus ceruleus dan dari supraspinal yang lain. Analgesik endogen
itu adalah enkephalin (ENK), norepinephrine (NE), dan gamma aminobutyric acid (GABA).
Analgesik endogen ini akan mengaktifkan reseptor opioid, alpha adrenergic, dan reseptor yang
lain, yang bekerja melakukan inhibisi pelepasan glutamat dari aferen nosiseptif primer atau
mengurangi reaksi post sinaptik dari neuron-second order NS atau WDR. Proses modulasi adalah
proses interaksi antara mediator yang menyebabkan eksitasi dan efek inhibisi dari analgesik
endogen.

Opioid endogen seperti enkephalin dan endorphin akan melakukan modulasi transmisi
nyeri. Selain itu, sebagian sitokin seperti interleukin-1β yang terbentuk di perifer, bersama aliran
darah akan sampai ke sistem saraf pusat, dan dia juga akan menginduksi COX-2 di dalam neuron
otak sehingga terbentuk juga prostaglandin E-2 yang juga mengakibatkan perasaan nyeri.

Namun, didalam sistem saraf pusat sitokin interleukin-1β memberikan efek yang berbeda,
tergantung besarnya jumlah sitokin tersebut. Sitokin dalam jumlah yang sedikit justru akan

10
merangsang efek hiperalgesia, tetapi dalam jumlah yang banyak/besar akan memberikan efek
analgesia. Selain itu, sitokin dalam jumlah yang besar akan berpotensiasi dengan pengeluaran
endorfin dalam darah, yang akan memberikan efek analgesia.

Gambar 3: modulasi enkephalinergik dari transmisi nyeri. Interneuron lokal dan akson descending,
kedua-duanya, menekan transmisi sinaptik antara nosiseptor primer dan sel-sel sensoris second-
order. Enphefalin teraktivasi baik reseptor opioid pre maupun possinaptik. Reseptor opioid
menginhibisi pelepasan transmiter nyeri seperti glutamat atau respon second-order.

Opioid endogen, antara lain ENKs dan endorfin, mengatur transmisi nyeri dengan
mengaktivasi pre dan posinaptik µ-, κ-, dan δ-reseptor subtype. Sub tipe ini termasuk ke dalam
keluarga besar reseptor transmembrane-spanning G-protein-coupled. Reseptor µ-opioid berespon
primer terhadap pengaturan analgesia spinal dan supraspinal, euforia, dan depresi pernapasan.
Subtipe kappa bertindak sebagai analgesi spinalis, seperti halnya efek sedatif/hipnotik pada
opioids. Reseptor delta muncul untuk memungkinkan terjadi analgesia mu-mediated, sebaliknya
aktivasi dari reseptor σ dapat bertanggung jawab terhadap disforia. Ikatan opioid pada µ-reseptor
mengaktivasi rantai protein-G (Gi/o), dimana pada gilirannya akan menghambat jalur neuron
cAMP. Adenilat siklase ditekan, dan produksi cAMP PKA berkurang dengan nyata sekali.
PROSES PERSEPSI

Proses persepsi noksius adalah hasil dari proses-proses sebelumnya, yaitu yang dimulai
dari perifer dan meluas ke atas ke neuraksis dan berakhir di regio supraspinalis untuk dilakukan
interpretasi.

11
TEORI PERSEPSI NYERI
Beberapa teori telah diformulasikan untuk menjelaskan persepsi nyeri. Salah satu
gagasan terbaru dari Descartes mendeskripsikan teori spesifisitas. Teori ini menjelaskan tentang
serabut nyeri spesifik yang membawa sandi spesifik yang membedakan macam bentuk dari rasa
nyeri dan tidak nyeri. Teori intensitas, yang digagas oleh Sydenham, menjelaskan bahwa
intensitas dari stimulus perifer merupakan penentu dimana sensasi dirasa. Lebih baru lagi,
Melzack dan Wall mengemukakan teori gate control dan menjelaskan bahwa serabut sensoris
yang memiliki spesifisitas merangsang neuron spinal second-order (sel transmisi cornu dorsalis
atau neuron wide dynamic Range (WDR)) yang mana bergantung dari derajat fasilitasi dan
inhibisi. Aferen yang berdiameter besar dan kecil, kedua-duanya dapat mengaktifkan sel-sel
transmisi pada cornu dorsalis; walaupun begitu, serabur sensoris yang diameter besar dapat
mengaktifkan penghambatan kerja sel-sel substansia gelatinosa (SG).
Sel-sel substansia gelatinosa menutup gerbang dengan cara menekan langsung sel-sel transmisi.
Penekanannya ada pada peningkatan aktivitas serabut yang berdiameter kecil yang menurunkan
efek penghambat sell SG dan pembukaan gerbang. Kerusakan saraf perifer juga dapat membuka
gerbang dengan meningkatnya aktivitas saraf yang berdiameter kecil dan menekan inhibisi saraf
yang berdiameter besar.

Gambar 1.: Gate control theory pada proses terjadinya nyeri. T=sel-sel transmisi second-order; SG=sel
substansia gelatinosa (modifikasi dari Melzack R dan Wall PD)

Woolf dan kawan-kawan mengemukakan teori baru untuk menjelaskan proses terjadinya nyeri.
Persepsi nyeri merupakan hasil dari beberapa proses berbeda yang dimulai dari perifer, meluas
ke nuraxis, dan terakhir daerah supraspinal yang bertanggung jawab pada interpretasi dan reaksi.

12
Prosesnya meliputi aktivasi nosiseptor, konduksi neural, transmisi spinal, modulasi nyeri,
persepsi di limbik dan frontal-kortikal, dan respon spinal dan supraspinal.

PLASTISITAS SUSUNAN SARAF

Bila ada kerusakan jaringan atau proses inflamasi, rangsang lemah pada daerah
perlukaan, yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri sekarang menjadi nyeri,
keadaan ini disebut hiperalgesia primer. Bila rangsang kuat pada daerah sekitar luka yang
tampak normal (Gambar 2), dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan berlangsung lebih lama
walaupun rangsangan sudah dihentikan maka keadaan ini disebut sebagai hiperalgesia sekunder
(Latremoliere, 2009). Hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaan terdapat kerusakan jaringan
terjadi perubahan sifat saraf. Kemampuan saraf untuk berubah sifat disebut sebagai plastisitas
susunan saraf. Plastisitas ini dapat terjadi karena setiap kali terjadi kerusakan jaringan atau
proses inflamasi maka akan terjadi sensitasi baik di perifer maupun di sentral. Pada tingkat
perifer, terjadi penurunan nilai ambang reseptor nyeri (nosiseptor), sedangkan pada tingkat
sentral terjadi peningkatan eksitabilitas neuron spinal yang bermanifestasi sebagai transmisi
nyeri. Dengan demikian, rangsang noksius selain dihantarkan oleh Aδ yang bermielin atau
serabut C yang tidak bermielin, juga dihantarkan oleh serabut Aβ yang bermielin yang
normalnya menghantarkan rangsang lemah seperti rabaan.

a. Hiperlagesia
Hiperalgesia primer terjadi saat terdapat sensitisasi perifer, sementara hiperalgesia sekunder
berkaitan dengan sensitisasi medulla spinalis dan sistem saraf pusat yang lebih tinggi.
b. Allodinia
Suatu stimulus lemah yang normal tidak menyebabkan nyeri, kini terasa nyeri (Gambar 2)
dan prolonged (nyeri menetap walaupun stimulus sudah berhenti). Jenis alodinia yang sering
terjadi adalah allodinia mekanik. Allodinia mekanik terjadi akibat pelepasan beberapa
mediator sensitisasi noksius primer dan sekunder seperti PGEs, leukotrin, bradikinin (BK),
histamin, dan 5-hydroxytryptamine (5HT). Kondisi ini sering ditemukan pada pasien yang
mengalami nyeri neuropatik.

13
Gambar 2. Stimulus noksius dapat merangsang respon sistem saraf terhadap stimulus
berikutnya. Cedera traumatik dapat menggeser kurva tersebut ke kiri. Sehingga stimulus noksius
menjadi lebih nyeri (hiperalgesia) dan stimulus yang seharusnya tidak memberikan nyeri malah
dirasakan nyeri (allodinia) (Sinatra RS, 2009).

SESITISASI PERIFER

Kerusakan jaringan akan menyebabkan pelepasan sejumlah substansi kimia nyeri seperti
sitokin (TNF-α, Interleukin 1β, Interleukin 6), ion K+, H+, serotinin, bradikinin, histamin,
prostaglandin dan lain-lain. Substansi nyeri ini akan merangsang nosiseptor di ujung saraf Aδ
dan serabut C untuk melepaskan substansi P. Antara substansi nyeri dengan nosiseptor terjadi
reaksi umpan balik positif, artinya makin banyak nosiseptor yang dibangkitkan, makin
meningkat sensitivitas nosiseptor.

Kerusakan jaringan khususnya jaringan lemak akan menyebabkan sekresi asam


arakhidonat, yang dengan bantuan enzim cyclooxygenase (COX), akan diubah menjadi
prostaglandin, yang merupakan salah satu substansi nyeri yang sangat penting. Obat-obat
NSAID pada umumnya merupakan antagonis enzim COX.

14
Gambar 3. Sensitisasi Perifer.

Pada sensitisasi perifer, terjadi pelepasan mediator primer seperti prostaglandin, 5-


hydroxytryptamine, leukotriens, dan bradikinin. Mediator primer ini menstimulasi pelepasan
peptida seperti calcitonin gene-related protein (CGRP), substansi P, dan kolesistokinin di daerah
jaringan yang cedera. Proses lain yang terlibat adalah pelepasan histamin yang menginduksi
vasodilatasi serta pelepasan nerve growth factor (NGF). Reflex simpatis eferen yang
menginduksi pelepasan norepinefrin juga termasuk proses yang terlibat dalam sensitisasi perifer.

SENSITASI SENTRAL

Stimulus noksius yang berkepanjangan akibat pembedahan/ inflamasi akan


mempengaruhi respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Impuls dari nosisepsi perifer
berjalan melalui serat Aδ dan serabut C lalu bersinaps di lamina II dan lamina V medulla
spinalis. Serabut C juga bersinaps di lamina I. Aktivitas sel-sel di kornu dorsalis akan meningkat
seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan penting dalam proses
transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order
neuron yang merupakan ujung akhir dari serabut aferen pertama dan second-order neuron
sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-order-neuron berperan dalam modulasi
dengan cara memfasilitasi atau menghambat stimulus noksius.

15
Second order neuron di medulla spinalis terdiri dari 2 jenis. Neuron pertama di lamina I
disebut nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif berespon terhadap impuls dari
serabut Aδ dan serabut C. Neuron yang kedua adalah wide dynamic range (WDR) yang terletak
di lamina V yang berespon terhadap stimulus noksius dan non-noksius. Neuron kedua ini dapat
menurunkan ambang respon saraf serta meningkatkan receptive field sehingga meningkatkan
transmisi sinyal ke otak dan akhirnya meningkatkan derajat persepsi nyeri. Hal ini diyakini
terjadi akibat perubahan pada kornu dorsalis setelah suatu kerusakan jaringan/inflamasi.
Perubahan ini disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind up. Proses “wind-up” menyebabkan
neuron-neuron di kornu dorsalis menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain. Ini menunjukkan
bahwa SSP tidak bisa diibaratkan sebagai “hard wired” yang kaku tetapi seperti plastik, artinya
dapat berubah sifat setelah suatu kerusakan jaringan atau inflamasi. Sifat seperti plastik inilah
yang dikenal dalam klinik sebagai plastisitas saraf.

Neurotransmitter seperti glutamat dan aspartat terdapat di lamina V dan menghasilkan


transmisi sinaptik yang cepat. Keduanya bekerja dengan cara mengikat dan mengaktivasi
reseptor amino-3-hydroxyl-5-methyl-4-proprionic acid (AMPA) dan Kainate (KAR) yang
meregulasi influx ion Na+ dan and K+.

Gambar 4. Sensitisasi Sentral. Glutamat bekerja melalui beberapa reseptor, termasuk


NMDA (NMDARs) dan reseptor AMPAR, yang keduanya berikatan G-
protein.G-protein, secara tidak langsung mengaktivasi protein kinase C (PKC)

16
dan mengaktivasi atau menghambat adenyl cyclase (AC). Setelah itu, terjadi
aktivasi neuron post-sinaptik dan depolarisasi (pembentukan sinyal saraf baru
(Collingridge, GL dkk, 2004).

BAHAN BACAAN

1. Apfelbaum JL, Chen C, Mehta SS, and Gan TJ Postoperative pain experience : results
from a national survey suggest postoperative pain continues to be undermanaged.
Anesth. Analg 2003 .97 : 534 – 40.

2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Management of Acute Postoperative Pain. In
Handbook of Clinical Anesthesia. 5th ed. Lippincott William & Wilkins, Philadelphia,
2004:880-902.
3. Bonia JJ. Current Status of Post Operative Pain Therapy, In : Condon RE and DeCoise (
Eds ) Current Topics in Pain Research and Therapy. Philadelphia : Lea & Febiger 1983 :
394 – 414.
4. Cousins MJ. Acute pain service. In Cousins, M.J. (ed), Acute pain management :
scientific evidence. Edisi ke-2. Australian and New Zealand College of Anaesthetists and
Faculty of Pain Medicine, Sydney 2005: 107-13.

5. Diaz G, Flood. Strategies for effective post operative pain management. Minerva
anestesiologica 2006;72:145 – 50.
6. Loeser JD, The Current Issues in Pain Management. Roenn Von JH, Paice JA, Preodor
ME (eds): In Current Diagnosis & Treatment of Pain. New York. Mc Graw Hill. 2005:1-
9.
7. Ossipov MH, Dussor GO, Porreca F. Central modulation of pain. J Clin Invest. 2010;
150(1): 59-65
8. Portenoy RK. Mechanisms of clinical pain: observations and speculations. Neurol. Clin.
North. Am. 1989; 7: 205-230.
9. Rowlingson JC, Post Operative Pain : To Diversify Is to satisfy, In : Anesthesia &
Analgesia, Endo Pharmaceutical, Philadelphia, 2005. 1 – 4.
10. Saul D. Newer treatments for fibromyalgia pain. Internat J Integrat Med. 1999; 1(3): 28-
32.

17
11. Schweinhardt P, Bushnell MC. Pain imaging in health and disease – how far have we
come? J Clin Invest. 2010; 120(11): 3788-3797
12. Vadivelu N, Whitney CJ. and Sinatra RS.. pain pathway and acute pain processing. In :
Raymond, S.S. (ed), Acute Pain. Cambridge University Preess, Cambridge 2009. :1001 -
8.
13. Woolf CJ. Recent advance in the pathophysiology of acute pain. Br J Anaesth. 1989;
63:139-146.
14. Woolf CJ, Mannion RJ. Neuropathic pain: aetiology, symptoms, mechanisms, and
management. The Lancet. 1999; 353: 1959-1964.
15. Woolf CJ. What is this thing called pain?. J Clin Invest. 2010; 120(11): 3742-3744.

Prof Dr dr Muh. Ramli Ahmad SpAn(K)MN

Konsultan Manajemen Nyeri

18

Anda mungkin juga menyukai