Anda di halaman 1dari 35

ALUR PENANGANAN

KORBAN MENINGGAL
D I S K U S I T O P I K 2 F O R E N S I K R O TA S I C

Edelyne Chelsea
R D Haryo Prabowo
Prinsip Pelayanan Jenazah dan Kamar Jenazah

Alur Jenazah dan Surat Keterangan Kematian OUTLINE


Autopsi
PRESENT
Disaster Victim Identification
ASI
PRINSIP PELAYANAN JENAZAH
DAN KAMAR JENAZAH
Diperlakukan secara etis sebagai manusia
Memperlakukan dengan sopan
Tidak merusak badan tanpa indikasi
Menghormati kerahasiaan
Kamar jenazah bebas kontaminasi

Aman bagi petugas yang bekerja

Purwadianto A, Hamurwono GB, Setyowati LRB, Rosita R, Suseno U, dkk. Standar kamar jenazah. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2004. Bab VI, Alur jenazah dan surat keterangan kematian;; h.22
Pelayanan terhadap
Pelayanan jenazah korban-mati atau
“mayat luar” Pelayanan sosial
purna-pasien atau
kemanusiaan lainnya
“mayat dalam” Visum luar
Visum dalam

Pelayanan untuk
Pelayanan bencana
kepentingan
atau peristiwa
keilmuan atau
dengan korban mati
pendidikan/penelitia
massal
n

Purwadianto A, Hamurwono GB, Setyowati LRB, Rosita R, Suseno U, dkk. Standar kamar jenazah. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2004. Bab VI, Alur jenazah dan surat keterangan kematian;; h.22
ALUR JENAZAH DAN SURAT
KETERANGAN KEMATIAN
Anamnesis
• Identitas, kronologis kematian
• Riwayat penyakit, pengobatan
• Gejala yang dikeluhkan menjelang kematian
Pemeriksaan luar
• Tanda-tanda kematian tidak wajar (luka, tanda kekerasan, keracunan, bau mencurigakan
dari mulut atau hidung, adanya bekas suntikan tanpa riwayat berobat ke dokter, bekas
gantung diri)

Menentukan apakah kematian wajar atau tidak wajar


• Dugaan tindak pidana

Purwadianto A, Hamurwono GB, Setyowati LRB, Rosita R, Suseno U, dkk. Standar kamar jenazah. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2004. Bab VI, Alur jenazah dan surat keterangan kematian;; h.22
Pasien yang tidak mengalami kekerasan
•Langsung diberi surat kematian, dibawa ke kamar jenazah dan dicatat
dalam buku register
Pasien yang mengalami kekerasan
•Percobaan bunuh diri, kecelakaan, pembunuhan, overdosis narkoba
•Dokter menolong pasien -> dokter / keluarga melapor polisi
•Jika pasien meninggal, dokter tidak dapat memberi surat kematian tapi
korban dikirim ke kamar jenazah disertai surat pengantar yang
ditandatangani dokter yang bersangkutan

Purwadianto A, Hamurwono GB, Setyowati LRB, Rosita R, Suseno U, dkk. Standar kamar jenazah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004. Bab VI, Alur jenazah dan surat keterangan kematian;; h.22
KUHAP nomor 8 tahun 1981 Pasal 108

Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan


tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya
peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera
melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik
• Dokter TIDAK BOLEH memberikan SKK kepada keluarga korban sampai proses polisi
selesai
• Dokter sebaiknya tidak memberikan pernyataan mengenai penyebab kematian korban
ini sebelum dilakukan pemeriksaan otopsi terhadap jenazah

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun


1981. Jakarta; 1981.
Alur penanganan korban mati
Pasien dengan kekerasan
• Jika keluarga menolak melapor polisi, diberikan surat
pernyataan dan tidak diberikan SKK
• Jika polisi meminta pemeriksaan luar saja, maka setelah
pemeriksaan luar jenazah selesai, mayat dan Formulir
dapat langsung diserahkan ke keluarga korban.
• Jika penyidik meminta dokter melakukan pemeriksaan luar
dan dalam dan keluarga korban tidak setuju, wajib
dijelaskan tujuan autopsi ke keluarga korban
• Keluarga masih tidak setuju  sampaikan ke penyidik 
jika penyidik setuju, SPVeR dicabut, dokter lakukan
pemeriksaan luar saja.
• Jika penyidik tidak setuju  keluarga menyetujui otopsi
atau pulang paksa  keluarga tanda tangani surat pulang
paksa tanpa diberi surat kematian

Purwadianto A, Hamurwono GB, Setyowati LRB, Rosita R, Suseno U, dkk. Standar kamar jenazah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004. Bab VI,
Alur jenazah dan surat keterangan kematian;; h.22
Belum ada Surat Permohonan Visum et Repertum (SPVeR)  lapor ke
polisi dimana peristiwa tersebut terjadi

• Jika keluarga menolak melapor polisi, diberikan surat pernyataan dan tidak diberikan surat kematian.
• Jika polisi meminta pemeriksaan luar saja, maka setelah pemeriksaan luar jenazah selesai, mayat dan SKK
dapat langsung diserahkan ke keluarga korban.
• Jika penyidik meminta dokter melakukan pemeriksaan luar dan dalam dan keluarga korban tidak setuju,
wajib dijelaskan tujuan otopsi ke keluarga korban
• Keluarga korban didatangkan penyidik dalam 2x24 jam -> pengabulan penolakan ditentukan penyidik

Sudah ada SPVeR  keluarga korban diminta membuat surat pernyataan


tidak keberatan untuk otopsi  setelah otopsi selesai dibuat surat kematian.

Purwadianto A, Hamurwono GB, Setyowati LRB, Rosita R, Suseno U, dkk. Standar kamar jenazah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2004. Bab VI, Alur jenazah dan surat keterangan kematian;; h.22
KUHAP nomor 8 tahun 1981 Pasal 133
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan
bedah mayat.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981. Jakarta; 1981.
Dasar Medikolegal

KUHAP nomor 8 tahun 1981 Pasal 133

(3) Mayat yang dikirim kepada ahli


kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara
baik dengan penuh penghormatan
terhadap mayat tersebut dan diberi
label yang memuat identitas mayat,
dilak dengan diberi cap jabatan yang
dilekatkan pada ibu jari kaki atau
bagian lain badan mayat.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun


1981. Jakarta; 1981.
Surat Keterangan Kematian

• Definisi: surat yang menyatakan bahwa


seseorang sudah meninggal
• Konten:
• Identitas jenazah
• Tanggal kematian
• Jenis pemeriksaan
• Sebab kematian
• Kasus pidana  surat dikeluarkan
setelah pemeriksaan forensik

Susanti R. Paradigma baru peran dokter dalam pelayanan kedokteran forensik. Majalah Kedokteran Andalas. 2012
Jul;2(36):145-54.
AUTOPSI
AUTOPSI
Auto: sendiri Opsis: melihat

“Pemeriksaan terhadap tubuh mayat, meliputi pemeriksaan terhadap bagian


luar maupun bagian dalam, dengan tujuan menemukan proses penyakit
dan/atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-penemuan
tersebut, menerangkan penyebabnya, serta mencari hubungan sebab akibat
antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab kematian”

Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Teknik autopsi forensik. Cetakan ke-4. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2000. p.1
JENIS AUTOPSI
AUTOPSI KLINIK AUTOPSI FORENSIK
• Pemeriksaan dilakukan pada mayat seseorang • Pemeriksaan dilakukan pada mayat seseorang
yang dirawat di RS yang menderita sakit tapi berdasarkan peraturan UU
meninggal • Autopsi lengkap  surat permintaan pembuatan
• Autopsi bisa lengkap, parsial (1-2 rongga badan VeR oleh penyidik
tertentu) maupun needle necropsy (hanya organ • Tujuan:
tertentu untuk histopatologi). • Menentukan identitas
• Tujuan: • Menentukan penyebab, cara, dan waktu
• Menentukan sebab akibat saat kematian
• Diagnosis klinis sesuai dengan diagnosis • Mengumpulkan barang bukti
postmortem • Laporan tertulis (visum et repertum)
• Korelasi proses penyakit dengan • Melindungi yang tidak bersalah dan
diagnosis/gejala klinik menuntut orang bersalah
• Efektivitas pengobatan
• Mempelajari perjalanan lazim proses
penyakit
• Pendidikan mahasiswa dan dokter

Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Teknik autopsi forensik. Cetakan ke-4. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2000. p.1
DASAR HUKUM AUTOPSI FORENSIK (1)

Pasal 133 KUHAP


• Ayat 1:
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan
ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan
permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya
• Ayat 2:
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara tertulis yang dalam
surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau
pemeriksaan bedah mayat.
• Ayat 3:
Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan
baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yg memuat identitas mayat
diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

Sampurna B. Pengantar Mediko-Legal. [internet].[accessed 2019 mar 31]. Available from: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/budi.sampurna/material/mediko-legal2001-bs2.
DASAR HUKUM AUTOPSI FORENSIK (2)

Pasal 134 KUHAP


• Ayat 1:
Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi
dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban
• Ayat 2:
Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya tentang maksud dan
tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
• Ayat 3:
Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu
diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

Sampurna B. Pengantar Mediko-Legal. [internet].[accessed 2019 mar 31]. Available from: http://staff.ui.ac.id/system/files/users/budi.sampurna/material/mediko-legal2001-bs2.
PRINSIP PENTING AUTOPSI FORENSIK

Autopsi harus Autopsi harus


dilakukan sedini dilakukan
mungkin lengkap

Autopsi
Pemeriksaan
dilakukan
dan pencatatan
sendiri oleh
seteliti mungkin
dokter

Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Teknik autopsi forensik. Cetakan ke-4. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2000. p.8
PERSIAPAN SEBELUM AUTOPSI

Memastikan kelengkapan
Memastikan mayat benar
surat: surat izin keluarga
sesuai dengan surat
dan surat permintaan
permintaan pemeriksaan
pemeriksaan

Pengumpulan keterangan
yang berhubungan dengan
kematian selengkap- Memeriksakan ketersediaan
lengkapnya (riw. penyakit, alat-alat autopsi
pengobatan, keadaan di
TKP)

Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Teknik autopsi forensik. Cetakan ke-4. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2000. p.8
PERALATAN AUTOPSI
• Kamar autopsi
• Meja autopsi
• Peralatan autopsi (pisau, pinset bergigi, gunting, gergaji, jarum jahit
kulit, benang kasar, gelas ukur, spuit)
• Peralatan untuk pemeriksaan tambahan (formalin 10% dan alkohol 70-
80%)
• Peralatan tulis dan fotografi

Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Teknik autopsi forensik. Cetakan ke-4. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2000. p.8
TEKNIK AUTOPSI
• Rongga tubuh dibuka => organ leher, dada, diafragma, perut dikeluarkan
Letulle sekaligus (en masse)
• Hubungan antar organ tetap dipertahankan setelah seluruh organ dikeluarkan

• Rongga tubuh dibuka => organ dikeluarkan satu per satu lalu langsung diperiksa
Virchow • (+) kelainan pada organ segera terlihat, (-) hubungan antarorgan tidak tampak=>
kurang baik untuk luka senjata api&luka tusuk

• Rongga tubuh dibuka => dikeluarkan 3 kumpulan organ (bloc): organ leher dan
Ghon dada; organ pencernaan+hati+limpa; organ urogenital

• Rongga tubuh dibuka => organ diperiksa dengan beberapa irisan in situ lalu
Rokitansky seluruh organ dikeluarkan dalam kumpulan (en bloc)
• Kurang baik untuk autopsi forensik

Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Teknik autopsi forensik. Cetakan ke-4. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2000. p.8
TEKNIK AUTOPSI FORENSIK FKUI
Organ leher, dada,
Permukaan posterior Plexus coeliacus dan
diafragma
kepala menghadap kelenjar para aorta
dikeluarkan sekaligus
(en masse)
ke atas diperiksa • Modifikasi teknik Letulle
• Usus diangkat dari
duodenojejunal-rektosigmoid
 organ leher dan dada
Aorta dibuka sampai satu kumpulan, organ perut
Rektum dipisah dari
arkus aorta, aa. Aorta diputus diatas
sigmoid, organ urogin dan urogin satu kumpulan
renales kanan dan muara a. renalis
dipisah
kiri
• Awalnya teknik Ghon 
sukar ketemu kelenjar
suprarenal
VCI dan aorta
Esofagus dilepas dari
Proksimal jejunum diputus diatas
trakea  tetap
diikat di 2 tempat  diafragma  leher
nempel dengan
diputus dan dada dilepas dari
lambung
perut

Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Teknik autopsi forensik. Cetakan ke-4. Jakarta:
Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2000. p.8
DISASTER VICTIM
IDENTIFICATION
DISASTER VICTIM
IDENTIFICATION
• Mengacu pada surat keputusan
bersama menteri kesehatan dan kapolri
No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No.
Pol Kep/40/IX/2004
• Penanggung jawab: kepolisian
• Prinsip: kerjasama tim sesuai dengan
kompetensi dan pengalaman

Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Jakarta: Kemeterian Kesehatan RI; 2010.
DISASTER VICTIM IDENTIFICATION

Fase 1: penanganan di TKP


• Membuat dan menandai sektor atau zona pada TKP
• Memberi tanda dan label di TKP
• Orange  jenazah dan potongan jenazah
• Hijau  barang-barang yang tercecer
• Sketsa dan foto tiap sektor
• Memasukkan jenazah dalam kantung jenazah
• Evakuasi dan transportasi jenazah serta barang

Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Teknik autopsi forensik. Cetakan ke-4. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2000. p.1
DISASTER VICTIM IDENTIFICATION
• FASE 2  post mortem
• Penerimaan dan pengelompokkan
• Mengambil data: foto jenazah, ciri-ciri, sidik jari, golongan darah, gigi geligi, rontgen (jika
perlu), otopsi, pemeriksaan barang-barang

Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Teknik autopsi forensik. Cetakan ke-4. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2000. p.1
DISASTER VICTIM IDENTIFICATION
• Fase 3: Ante Mortem
• Pengumpulan data semasa hidup: dari keluarga, instalasi tempat kerja, dll; data gigi geligi, sampel
DNA
• Jika terdapat WNA, data didapat dari perantara set NCB Interpol Indonesia dengan perwakilan
Negara asing (kedutaan atau konsulat)
• Data dimasukkan ke formulir Interpol DVI AM
• Data dikirim ke Unit Pembanding Data
• Fase 4: Rekonsiliasi
• Koordinasi rapat penentuan identitas korban antara unit TKP, post mortem dan antemortem, check
dan recheck hasil
• Membuat sertifikat identifikasi, keterangan kematian, dan surat lainnya
• Publikasi yang benar dan terarah
• Fase 5: Debriefing
• Analisa dan evaluasi keseluruhan proses

Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010.
METODE POKOK IDENTIFIKASI
• Metode sederhana  visual , kepemilikan , dokumentasi
• Metode ilmiah  sidik jari, medik, odontologi, antropologi, biologi
• Metode sederhana tidak dapat diharapkan hasilnya apabila mayat
sudah busuk/terbakar/mutilasi
• Metode ilmiah memiliki akurasi yang tinggi

Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010.
KHUSUS PADA KORBAN BENCANA MASSAL
• Primer  gigi, sidik jari , DNA
• Sekunder  visual, properti, medik

Positif jika satu primer / semua sekunder

Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010.
TEKNIK SUPERIMPOSISI
• Membandingkan korban semasa hidupnya dengan kerangka yang
telah ditemukan
• Akan sulit dilakukan jika:
• Tidak pernah foto semasa hidupnya
• Posisi dan kualitas foto kurang baik
• Kerangka sudah hancur
• Butuh banyak biaya
• Penatalaksanaan:
• Foto korban semasa hidup diperbesar sesuai ukuran sebenarnya
• Foto tengkorak dengan ukuran sebenarnya
• Garis luar dan muka foto digaris pada kertas transparan dengan patokan titik-titik
tertentu
• Transparan dengan garis dan titik-titik tersebut dibuat dengan superimposisi

Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010.
SETELAH TERIDENTIFIKASI
 Perbaikan/rekonstruksi tubuh jenazah
 Pengawetan jenazah bila memungkinkan
 Memasukan dalam peti jenazah
 Serahkan kepada keluarga
 Jika korban tidak teridentifikasi (penyebab: mayat busuk, telah menjadi kerangka,
tidak ada data, jumlah korban banyak)  kesepakatan ahli hukum dengan tim DVI
untuk diajukan ke pengadilan, pengadilan akan memutuskan mengeluarkan surat
kematian.

Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010.
REFERENSI
• Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat
bencana. Jakarta: Kemeterian Kesehatan RI; 2010.
• Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Teknik
autopsi forensik. Cetakan ke-4. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2000. p.8
Sampurna B. Pengantar Mediko-Legal. [internet].[accessed 2019 feb 01]. Available from:
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/budi.sampurna/material/mediko-legal2001-bs2.pdf
• Purwadianto A, Hamurwono GH, Riayntiningtyas L, Rosita R, Suseno U, Kandouw YM, Lebang Y.
Standar kamar jenazah. Jakarta; Direktorat jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
RI:2004. p11

Pusat Penanggulangan Krisis Kesehatan. Pedoman teknis penanggulangan krisis kesehatan akibat bencana. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010.
Thank you!
Any Questions?

Anda mungkin juga menyukai