Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

Anestesi Umum pada Pasien Carsinoma Mammae dengan Riwayat Asma Bronkiale

Pembimbing:
dr. Maulana Muhammad, Sp.An

Disusun oleh:
Jesica Putri Sudarman
202106010042

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIKA ATMA JAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH R. SYAMSUDIN, SH SUKABUMI
PERIODE 6 FEBRUARI – 11 MARET 2023

1
MANAJEMEN NYERI

PENDAHULUAN

Nyeri adalah salah satu gejala paling sering yang dikeluhkan oleh pasien. Definisi nyeri
oleh International Association For The Study Of Pain (IASP) tahun 2020, nyeri adalah
pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan kerusakan
jaringan atau yang berpotensi rusak, atau dideskripsikan sebagai adanya kerusakan.1
Pengalaman akan nyeri aka nada dalam ingatan sehingga dapat menghindari kejadian-kejadian
yang berpotensi menimbulkan nyeri. Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua yaitu
nyeri akut dan kronis.

Sebuah penelitian di Amerika Serikat melibatkan 31.916 pasien yang mengalami nyeri
kronis. Diperoleh lebih banyak pasien yang menggunakan terapi non-opioid (54.7%)
dibandingkan dengan terapi opioid (4.4%), psikotrapi (3.8%), tanpa terapi (30.2%).
Penggunaan opioid lebih sering pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada usia tua
(usia 45-64 tahun) dibandingkan usia yang lebih muda (18-44 tahun), pada individu dengan
pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan Pendidikan rendah, dan pada individu dengan
kondisi ekonomi yang lebih tinggi. Hasil tersebut memberikan pandangan baru bahwa terdapat
angka yang tinggi akan prevalensi nyeri di seluruh dunia dan memikirkan nyeri sebagai
prioritas Kesehatan dunia.

Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri bukan hanya
berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan saja, tetapi juga
menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses penghantaran impuls saraf. Di
sisi lain, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortalitas, dan mutu kehidupan. Lebih
dari 80% pasien yang menjalani prosedur pembedahan mengalami nyeri akut pasca operasi dan
sekitar 75% di antaranya melaporkan tingkat keparahan nyeri pasca operasi yang sedang, berat,
ataupun sangat berat. Bukti menunjukkan kurang dari setengah pasien yang menjalani
pembedahan mengatakan terbebas dari rasa nyeri akut pasca operasi. Kontrol nyeri yang tidak
adekuat ini dapat mempengaruhi kualitas hidup, fungsi sehari-hari, dan fungsi dari perbaikan
kondisi, bahkan timbulkan komplikasi pasca operasi.

Penanganan nyeri yaitu mengelola dan mengidentifikasi pengalaman emosional atau


sensorik mengenai kerusakan jaringan atau fungsional yang terjadi secara tiba-tiba atau lambat,
dapat berintensitas ringan, berat, dan konstan. Tujuan dari manajemen nyeri yaitu mengurangi

2
nyeri yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari penderita. Manajemen nyeri diberikan
untuk orang yang merasa sakit signifikan atau berkepanjangan. Tujuan dari manajemen nyeri
yaitu untuk mengurangi rasa nyeri, meningkatkan fungsi tubuh yang sakit, dan mingkatkan
kualitas hidup penderita. Manajemen nyeri dibagi menjadi farmakologis dan non farmakologis.

Nyeri pasca operatif dalam beberapa dekade ini tidak mendapat penanganan yang
maksimal. Survei terakhir yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat tidak menunjukkan
adanya perbaikan mayor yang baik. Nyeri pasca operatif yang persisten setelah prosedur
pembedahan masih dirasakan pada hampir 50% pasien. Peran dari layanan pemberian antinyeri
akut untuk meningkatkan 3 penanganan nyeri sudah mulai berkembang namun masih
menghadapi berbagai tantangan. Perlunya perbaikan dari peran dan panduan layanan perlu
diperhatikan.

Penanganan nyeri yang baik dan tepat setelah pembedahan merupakan hal yang penting
untuk mencegah hasil akhiryang buruk seperti takikardia, hipertensi, iskemi miokard,
penurunan ventilasi alveolar, dan penyembuhan luka yang buruk. Eksaserbasi dari nyeri akut
dapat memicu sensitisasi neural dan terlepasnya mediator baik secara perifer maupun sentral

FISIOLOGI NYERI

Nyeri adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan, berkaitan
dengan kerusakan jaringan atau yang berpotensi rusak, atau dideskripsikan sebagai adanya
kerusakan.1 Nyeri merupakan respon fisiologis yang memiliki beberapa fungsi diantaranya
yaitu sebagai mekanisme proteksi, mekanisme perlawanan, dan penuntun diagnostik.

● Nyeri sebagai mekanisme pertahanan dimana memungkinkan seseorang untuk bereaksi


terhadap suatu kejadian trauma atau kejadian yang menyebabkan nyeri sehingga
selanjutnya dapat menghindar dari sumber tersebut agar tidak terjadi kerusakan jaringan
tubuh.2
● Nyeri sebagai mekanisme pertahanan memungkinkan untuk imobilisasi organ tubuh yang
mengalami cedera atau inflamasi sehingga rasa nyeri berkurang dan mempercepat
penyembuhan.2
● Nyeri sebagai penuntun diagnostic dimana nyeri dapat menunjukkan daerah tertentu yang
mengalami masalah sehingga penyakit proses yang terjadi dapat diketahui. 2

3
Rangsang noksius dideteksi di ferifer oleh nosiseptor. Nosiseptor adalah ujung-ujung dari
saraf aferen yang memiliki ujung bebas membentuk suatu jala dibawah kulit dan pada organ
dalam tubuh. Beberapa hal yang dapat mengaktifkan nosiseptor yaitu rangsang intensitas tinggi
(termal, mekanik, elektrik, atau rangsang kimiawi. Zat-zat yang timbul akibat nyeri diantaranya
yaitu bradykinin, histamin, serotonin, kalium, leukotriene, prostaglandin, dan substansi P.
Proses yang terjadi saat adanya kerusakan jaringan sebagai sumber stimulus nyeri hingga nyeri
dirasakan adalah suatu elektrofisiologi yang disebut sebagai nosisepsi.

Antara suatu rangsang noksius sampai dirasakannya nyeri terdapat 5 peristiwa


elektrofisiologik yang jelas yaitu transduksi, konduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.

a. Transduksi
Proses dimana stimulus noksius, yang berintegrasi pada reseptor kusus yang disebut
nosiseptor pada system saraf perifer mendeteksi dan menyaring intensitas dan tipe stimulus
noxious. Kemudian dikonversi menjadi aktivitas elektrik, sehingga menghasilkan potensial
aksi dan diteruskan sebagai impuls saraf.
b. Konduksi
Proses penghantaran impus saraf sepanjang neuron orde pertama yaitu saraf A-delta dan C
yang mentransmisikan stimulus noxious untuk mencapai sinaps dengan saraf orde kedua.
c. Transmisi
Penghantaran informasi pada sinaps antara neuron orde pertama dan neuron orde kedua di
kornu dorsalis medulla spinali dimana terjadinya hubungan neuron orde pertama dan
kedua.
d. Modulasi
Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan ventralis)
menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus.
e. Persepsi
Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay sensibilitas
ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. Kemudian pegalaman nyeri dirasakan secara
sadar, baik sensorik (lokasi, karakter, dan diskriminasi) maupun aspek emosional.

4
JALUR NYERI SISTEM SARAF PUSAT

1. Jalur Asenden

Serabut saraf A-delta dan C bersinaps disubstansia gelatinosa kornu dorsalis


medulla spinalis dan naik ke otak di cabang neospinotalamikus atau cabang
paleospinotalamikus traktus spino talamikus anterolateralis. Cabang neospinotalamikus
diaktifkan terutama oleh saraf A-delta kemudian bersinap di nukleus
ventroposterolateralis thalamus lalu ke kortek somatosensorik girus pasca sentralis
dimana nyeri dipersepsikan. Cabang paleospinotalamikus diaktifkan 8 terutama oleh
saraf C merupakan jalur difus yang mengirim kolateral-kolateral ke formation
retikularis batang otak. Serat-serat ini mempengaruhi hipotalamus, system limbik, dan
korteks serebri.

2. Jalur Desenden
Jalur desenden diidentifikasikan mencakup 3 komponen :
a. Bagian pertama adalah substansia grisea periaquaductus (PAG) dan substansia
grisea periventrikel mesenssefalon dan pons bagian atas yang mengelilingi
aquaductus Sylvius.
b. Neuron-neuron di daerah satu mengirim impuls ke nukleus ravemaknus (NRM)
yang terletak di pons bagian bawah dan medula oblongata bagian atas dan nukleus
retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula lateralis.
c. Impuls ditransmisikan ke bawah menuju kolumna dorsalis medula spinalis ke suatu
komplek inhibitorik nyeri yang terletak di kornu dorsalis medula spinalis.

KLASIFIKASI NYERI

Nyeri dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan klasifikasinya. Berdasarkan onset dan waktu
perjalanan nyeri dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Berdasarkan intensitas nyerinya
dibagi menjadi nyeri ringan, sedang, dan berat. Berdasarkan patogenesisnya dibagi menjadi
nyeri nosisepsi, nyeri inflamasi, dan nyeri neuropatik. Berdasarkan penyebabnya dibagi
menjadi nyeri pasca bedah, nyeri trauma, nyeri persalinan, nyeri kanker, dan nyeri reumatik.

I. Nyeri Berdasarkan Jenisnya


a. Nyeri Nosiseptif

5
Nyeri nosiseptif berfungsi untuk menimbulkan refleks untuk menghindari
sumbern yeri (withdrawal reflex) untuk mencegah kerusakan jaringan. Selain
itu, nyeri nosiseptif juga berfungsi untuk melokalisasi, mendeteksi, dan
membatasi kerusakan jaringan. Nyeri nosiseptif terjadi saat kerusakan jaringan
belum terjadi dan bersifat protektif untuk mempertahankan keutuhan jaringan
tubuh.
● Nyeri somatic
Merupakan nyeri akibat input nosiseptif pada bagian luar tubuh. Dibagi
menjadi nyeri somatic superfisial dan nyeri somatic dalam. Nyeri somatic
superfisial merupakan input nosiseptif yang berasal dari jaringan kulit,
subkutan, atau dinding mukosa. Gejala nyeri sangat khas, lokalisasi sangat
jelas dan dapat ditunjuk oleh telunjuk, dan diagmbarkan sebagai sensasi
yang tajam, menusuk, atau berdenyut. Sedangkan nyeri somatic dalam
adalah input nosiseptif yang berasal dari otot, tendon, sendi, atau tulang.
Nyeri terasa tumpul, dan lokasinya kurang jelas.
● Nyeri visceral
Merupakan nyeri yang berasal dari organ internal mayor. Nyeri akut
visceral disebabkan oleh proses penyakit atau fungsi abnormal yang
mengenai organ internal atau pembungkusnya (misalkan pleura parietal,
parikardium, dan peritoneum).
Nyeri visceral bersifat difus dan tidak telokalisir, sering kali pada garis
tengah (tidak dapat ditunjuk oleh telunjuk, namun bisa dengan telapak
tangan). Nyeri visceral disertai dengan refleks otonomik dan motoric yang
berlebihan hingga pasien tampak sakit berat disertai dengan gejala mual,
muntah, berkeringat, serta perubahan tekanan darah.
b. Nyeri Inflamasi

Nyeri infamasi timbul akibat ada proses inflamasi setelah adanya infeksi
atau kerusakan jaringan. Pada kondisi ini, rangsangan lemah yang normalnya
tidak terasa nyeri dapat dirasakan nyeri oleh pasien. Kondisi ini disebut sebagai
alodinia. Sedangkan rangsangan kuat yang normalnya dirasakan nyeri akan
dirasakan nyeri hebat oleh pasien. Kondisi ini disebut sebagai hiperalgesia. Hal
ini terjadi karena terjadi reaksi hipersensitif sebagai akibat dari aktivasi system
imun dan lepasnya mediator inflamasi terutama prostaglandin, yang

6
menyebabkan mengsentisisasi nosiseptor sehingga nilai ambang nyeri
menurun. Nyeri inflamasi termasuk nyeri protektif karena pasien akan
menghindari gerakan atau sentuhan pada bagian tubuh yang mengalami
inflamasi agar penyembuhan dapat berjalan dengan normal dan lebih cepat.

c. Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik adalah nyeri yang terjadi karena adanya lesi system
saraf perifer (neuropati diabetika, post-herpetic neuralgia, radikulopati lumbal,
dll) atau system saraf sentral (pasca cedera medulla spinalis, nyeri pasca stroke,
dannyeri pada multiple sclerosis). Nyeri neuropatik secara klasik bersidat
serangan (paroksismal) dan tertusuk, atau seperti terbakar.

II. Nyeri Berdasarkan Durasi


a. Nyeri Akut
Nyeri akut disebabkan karena adanya stimulus noksius yang terjadi akibat
kerusakan jaringan, proses penyakit, atau fungsi abnormal dari otot atau organ
visceral. Nyeri akut selalu bersifat nosiseptif.
Nyeri akut adalah nyeri yang bersifat sementara karena akan menghilang
selama beberapa hari atau beberapa minggu. Contoh dari nyeri akut yaitu nyeri

7
persalinan, nyeri pasca bedah, nyeri pasca trauma, nyeri yang terkait dengan
patologi akut seperti infark miokard, batu ginjal, pankreatitis).

Gambar 1. Jenis nyeri akut yang umum terjadi3


b. Nyeri Kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap dan biasanya berlangsung selama
3-6 bulan. Nyeri kronis dapat berasal dari nyeri nosiseptif, neuropatik, atau
keduanya. Nyeri kronis dapat dipengaruhi oleh factor psikogenik lingkungan
dan sosial. Pasien dengan nyeri kronis umumnya memiliki respon stress
neuroendokrin yang kurang bahkan tidak ada dan memiliki gangguan tidur serta
emosiomal yang menonjol.
Nyeri neuropatik adalah nyeri yang terjadi karena adanya lesi system saraf
perifer (neuropati diabetika, post-herpetic neuralgia, radikulopati lumbal, dll)
atau system saraf sentral (pasca cedera medulla spinalis, nyeri pasca stroke,
dannyeri pada multiple sclerosis). Nyeri neuropatik secara klasik bersidat
serangan (paroksismal) dan tertusuk, atau seperti terbakar.

III. Nyeri Berdasarkan Intensitas Nyeri


Terdapat berbagai metode untuk mengukur intensitas nyeri. Metode
pengukuran skala nyeri yang paling sering digunakan diantaranya yaitu:
a. Visual Analog Scale (VAS)
Diukur dengan garis sepanjang 100 mm. Pasien di informasikan jika ujung kiri
menandakan tidak ada nyeri sama sekali dan ujung kanan menandakan rasa

8
nyeri yang sangat berat. Pasien kemudian diinstruksikan untuk menandai garis
tersebut untuk merepresentasikan tingkat nyeri yang dirasakan. VAS umumnya
mudah digunakan untuk pasien anak >8 tahun dan dewasa.

b. Numeric Rating Scale (NRS)

Pasien diminta untuk menilai tingkat nyerinya menggunakan penggaris yang


diberi angka 0 berarti tidak nyeri sama sekali hingga 10 untuk nyeri maksimal.
NRS digunakan untuk menentukan perubahan skala nyeri dan menilai respon
turunnya nyeri pasien terhadap terapi yang diberikan. Nilai yang didapatkan
kemudian dapat diklasifikasikan sebagai nyeri ringan (1-3), nyeri sedang (4-6),
nyeri berat (7-10).

c. Wong Baker FACES Rating Pain Scale


Digunakan untuk pasien dewasa dan anak <3 tahun yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyeri dengan angka.

9
MANAJEMEN NYERI SECARA UMUM

Kebijakan WHO merekomendasikan tatalaksana nyeri dengan tangga analgesik yang


merupakan hasil dari penelitian ahli internasional yang dimodifikasi setiap tahun dan saat ini
masih digunakan untuk tatalaksana nyeri secara luas yaitu kanker, penyakit degenerative,
penyakit musculoskeletal, nyeri neuropati, dan nyeri kronis lainnya. Tangga analgesik sampai
saat ini masih memberikan pendekatan paliatif yang sederhana untuk mengurangi morbiditas
rasa sakit pada 70% hingga 80% pasien.4 Tahapan tangga analegesik terdiri dari 3 tingkat yang
diklasifikasikan berdasarkan derajat nyeri ringan, sedang, dan berat.

1. Tahap 1. Nyeri ringan: analgesik non opioid seperti OAINs atau acetaminophen
dengan atau tanpa adjuvant
2. Tahap 2. Nyeri sedang: Opioid lemah seperti hydrocodone, codeine, tramadol
dengan atau tanpa analgesik non-opioid, dengan atau tanpa adjuvant
3. Tahap 3. Nyeri berat: nyeri berat atau persisten: opioid kuat seperti morfin,
methadone, fentanyl, oxycodone, buprenorphine, tapentadol, hydromorphone,
oxymorphone, dengan atau tanpa analgesik, dengan atau tanpa adjuvant.

Gambar 2. Adaptasi 4 Langkah dari tangga analgesik WHO3

Terdapat masalah signifikan yang perlu diperhatikan dalam tatalaksana nyeri


neuropatik murni. Nyeri tipe neuropatik memiliki patofisiologi yang kompleks dan mekanisme
yang melibatkan regio yang berbeda dari system saraf pusat atau struktur spesifik dari system
saraf perifer. Cedera dari regio tersebut dapat memicu kaskade peristiwa yang menyebabkan

10
sensitisasi perifer dan sentral. Pada keadaan ini, anakgetik opioid memiliki manfaat yang
rendah bahkan tidak bermanfaat, dan dibutuhkan strategi terapi lainnya. Sebagai contohnya,
pada penyakit fibromyalgia, obat obatan pada tahap 1 dan 2 umumnya memiliki manfaat yang
rendah, sedangkan penggunaan opioid dapat menyebabkan bahaya seperti fenomena adiksi
dengan bukti ilmiah yang sedikit terkait mantaatnya.

Pada kasus nyeri tipe nosiseptif atau nyeri yang disebabkan oleh keadaan inflamasi
lebih tepat menggunakan steroid atau OAINs. Pada sisi lain, nyeri nosiseptif perlu diberikan
anakgelik opioid dan non-opioid. Nyeri neuropati dapat juga diberikan antidepresan atau
antikonvulsi dan obat-obatan spesifik pada kondisi reumatologi seperti colchicine untuk
mengobatan gout.

Analgesik adalah pengobatan yang digunakan untuk manajemen dan terapi nyeri. Obat-
obatan analgesik dibedakan berdasarkan indikasi, dosis, cara kerja, dan kontraindikasinya.

I. ANALGESIK NON-OPIOID
a. Acetaminophen
Digunakan untuk nyeri ringan-sedang, dan sedang-berat sebagai terapi
tambahan untuk opioid, dan mengurangi demam sementara. Asetaminofen
sebaiknya tidak digunakan untuk nyeri neuropati.
Mekanisme kerja acetaminophen yaitu di hipotalamus untuk
memproduksi antipiresis. Acetaminophen dapat bekerja secara perifer untuk
memblokade produksi rangsang nyeri dan dapat menghambat sintesis
prostaglandin di system saraf pusat.
Onset kerja acetaminophen 0,5 jam. Dosis rekomendasi untuk orang
dewasa yaitu 650 mg hingga 1000 mg every 4 sampai 6 jam, maksimum 4 gram/
hari. Pada anak-anak, dosis rekomendasi 15 mg/kg tiap 6 jam, hingga 60
mg/kg/hari. Acetaminofen tersedia dalam bentuk sediaan oral (tablet, kapsul,
sirup, suspense), perectal (supositoria), dan intravena.5
Dosis acetaminophen injeksi yaitu 200mg/50 mL atau 1000 mg/100mL.
Diindikasikan untuk nyeri ringan sedang dan nyeri sedang berat dengan
analgesic opioid adjuvant, dapat juga meredakan demam. Dosis diberikan
berdasarkan berat badan.
● <50 kg: 12.5 mg/kg IV diberikan per 4 jam atau 12 mg/kg diberikan tiap
6 jam. dosis harian maksimum 750 mg/dosis atau 3.75 g/hari.

11
● >50 kg: 650 mg IV diberikan per 4 jam atau 1000 mg IV diberikan per
6 jam dan tidak lebih dari 4 g/hari.
● Infus intravena dalam waktu minimal 15 menit

Acetaminophen merupakan obat yang aman dan efektif apabila


digunakan dengan benar. Efek samping yang diketahui tergantung dengan cara
pemberian. Apabila diberikan secara orak atau rektal, acetaminophen dapat
menyebabkan beberapa hal diantara:
● Kemerahan atau reaksi hipersensitivitas (nekrolisis epidermal
toksik, stevens-johnson syndrome)
● Hematologik: anemia, leukopenia, neutropenia, pansitopenia
● Nefrotoksisitas
● Penyakit metabolic dan elektrolit
o Berkurangnya serum bikarbonat
o Hyponatremia
o Hipokalsemia
o Hiperamonemia
o Hiperkloremia
o Hiperurisemia
o Hiperglikemia
o Hyperbilirubinemia
o Peningkatan alkalin fosfatase

Apabila diberikan secara intravena, efek samping yang mungkin terjadi


yaitu mual, muntah, puritus, konstipasi, dan nyeri abdomen. Untuk pasien anak-
anak, efek samping yang paling sering terjadi yaitu mual, muntah, agitasi,
konstipasi, pruritus, dan atelectasis.

Hipersensitivitas akibat penggunaan acetaminophen seperti adanya


gangguan hati berat atau penyakit hati aktif yang berat. Saat ini, para ahli
mempertimbangkan apakah kerusakan hati merupakan salah satu kontraindikasi
penggunaan acetaminophen karena napat menurunkan produksi sisa
metabolisme yang beracun.6 Acetaminophen merupakan obat yang aman
apabila digunakan dengan baik dan benar. Kontraindikasi penggunaan
acetaminophen yaitu pada pasien dengan kerusakan hati berat atau penyakit hati

12
berat. Untuk pasien dengan gangguan ginjal berat (CrCl <30 mL/menit) maka
pemberian interval pemberian dosis yang lebih lama dan pengurangan dosis
total harian diperlukan.

Toksisitas acetaminophen terjadi pada dosis 7.5 gram/ hari hingga 10


mg/ hari atau 140 mg/kg, sangat jarang pada dosis dibawah 150 mg/kg untuk
dewasa atau 200 mg/kg untuk anak-anak. Apabila dikonsumsi dalam jumlah
banyak, obat ini akan menyebabkan kerusakan hati yang berat hingga harus
membutuhkan transplantasi atau bahkan kematian. Meskipun keracunan
acetaminophen lebih sering pada anak-anak, kejadian pada dewasa biasanya
lebih berat dan fatal, Pada kasus overdosis akut, tingkat acetaminophen serum
harus dikeluarkan dari tubuh dalam waktu 4 sampai 24 jam sejak perkiraan
waktu konsumsi untuk menentukan modaitas pengobatan. Dosis acetaminophen
lebih dari 140 mcg/mL dalam 4 jam setelah konsumsi membutuhkan
pengobatan yang telat dengan N-asetil-sistein (NAC).5

b. Obat Anti-inflamasi Non-steroid


Obat golongan ini digunakan untuk terapi nyeri ringan-sedang, nyeri
yang berhubungan dengan inflamasi, nyeri muskuloskeletak, nyeri gigi, dan
nyeri kanker ringan sampai moderat. OAINs tidak memiliki bukti kuat sebagai
manajemen nyeri neuropatik. Beberapa jenis OAINs memiliki indikasi selain
nyeri, contohnya aspirin digunakan sebagai terapi pencegahan sekunder infark
miokard.7
OAINs terdiri dari nonselective COX inhibitor dan selective COX-2
inhibitor. Istilah nonselective dan selective merujuk kepada kemampuan OAINs
menghambat enzim COX secara spesifik.
● OAINs non-selektif: bekerja menghambar enzim COX-1 dan COX-
2. COX-1 berperan pada agregasi platelet, hemostasis dan
perlindungan mukosa lambung. Sedangkan COX-2 berperan dalam
nyeri, inflamasi dan demam.
● OAINs selektif: bekerja menghambar enzim COX-2, yaitu enzim
yang banyak ditemui di tempat peradangan. Sehingga enzim COX-
2 lebih dikenal sebagai inducible yaitu enzim yang diproduksi
apabila ada nyeri/peradangan. OAINs selektif juga dapat meredakan

13
nyeri dan inflamasi seperti OAINs non-selektif dan lebih sedikit
menyebabkan gangguan gastrointestinal.

OAINs tidak direkomendasikan pada ibu hamil atau menyusui, pasien


dengan riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit hati, riwayat penyakit tukak
peptic atau yang berisiko tinggi untuk menderita tukak peptik.

Saat ini, lebih dari 20 jenis OAINs yang tersedia secara komersil. Pilihan
agen tergantung pada beberapa faktor (komorbiditas, risiko perdarahan).
Respon terhadap jenis-jenis obat OAINs bervariasi pada masing-masing pasien,
dan mekanisme untuk perbedaan respon ini hanya dipahami sebagian. Dosis
bergantung pada obat tertentu, dan rekomendasinya adalah meresepkan dosis
efektif terendah untuk setiap pasien untuk periode tersingkat. Di bawah ini
tercantum berbagai NSAID yang umum dikenal dengan dosis masing-masing
untuk analgesia dan antiinflamasi:
● Ketorolac:
Digunakan untuk manajemen nyeri sementara (<5 hari) pada
nyeri sedang berat akut. Tidak diindikasikan untuk nyeri kronis.
Onset kerja obat 0,5 – 1 jam, Dosis obat injeksi 30 mg/mL. Dosis
injeksi maksimal harian yaitu 120 mg/hari. Dapat diinjeksi secara
intravena atau intramuscular. Dosis peroral yaitu 20 mg 1 kali
setelah terapi melalui intravena atau intramuscular kemudian
dilanjutkan 10 mg tiap 4-6 jam hingga 40 mg/hari.
Selalu awali dengan pemberian secara parenteral, pemberian oral
hanya diindikasikan untuk lanjutan dari terapi injeksi apabila
dibutuhkan. Durasi terapi tidak boleh lebih dari 5 hari. Dosis yang
lebih dari batas maksimum harian tidak akan memberikan efek obat
yang lebih baik namun akan menimbulkan efek samping yang lebih
buruk. Penurunan dosis harian pasien >65 tahun, <50 kg, atau
dengan peningkatan serum kreatinin sehingga tidak dianjurkan
pemberiannya pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, Pasien
dengan fungsi ginjal berat merupakan kontraindikasi penggunaan
ketorolac. Pasien dengan kerusakan ginjal sedang (peningkatan
sedikit dari serum kreatinin) masih dapat menggunakan ketorolac
dengan dosis 50% dan tidak lebih dari 60 mg/hari (IV/IM).

14
● Aspirin (asam asetilsalisilat): dosis 325 – 650 mg tiap 4 sampai 6
jam. Dosis maksimum 4000 mg/hari. Aspirin tersedia peroral
(kaplet, kapsul, tablet) atau perectal (supositoria).
● Diclofenac: 50 mg tiap 8 jam. Dosis maksimum sehari-hari yaitu 150
mg. diclofenac tersedia peroral (tablet, kapsul), intravena, topical
(krim, gel, patch, solution), atau tetes mata
● Ibuprofen: Onset obat 0.5 jam, dosis 400 mg tiap 4-6 jam. Dosis
maksimal harian 3200 mg (akut) atau 2400 mg (kronis). Ibuprofen
tersedia peroral (kapsil, tablet, suspense), atau intravena.
● Indometachin: Onset obat 0,5 jam. Dosis untuk kerja cepat 25 – 50
mg tiap 8-12 jam. Kerja terkontrol dosis 75 sekali atau dua kali
sehari. Dosis maksimum 150 mg/hari. Indomethacin tersedia peroral
(kapsul, suspense), intravena, atau perectal (supositoria).
● Meloxicam: dosis 7.5 – 15 mg sekali sehari. Dosis maksimum 15
mg. meloxicam tersedia peroral (tablet, kapsul, suspense) atau
sediaan intravena.
● Naproxen: Onset obat 1 jam. dosis 250-500 tiap 12 jam (naproxen
base) atau 275 – 550 mg tiap 12 jam (naproxen sodium). Dosis
maksimum harian yaitu 1250 mg (akut) atau 100 mg (kronis) untuk
naproxen base. Dosis maksimal harian untuk naproxen sodium yaitu
1375 mg (akut) atau 1100 mg (kronis). Naproxen tersedia peroral
(kapsul, suspense, tablet)
● Celecoxib: onset obat 3 jam. 200 mg per hari atau 100 mg per 12
jam. Dosis maksimal yaitu 400 mg/hari. Celecoxib tersedia dalam
bentuk peroral (kapsul).

OAINs memiliki beberapa efek samping pada beberapa organ


sebagai berikut:7

● Gastrointestinal: mual, anoreksia, dyspepsia, nyeri abdomen, ulser,


perdarahan gastrointestinal, perforasi, konstipasi, diare.
● Kardiovaskular: hipertensi, penurunan efektivitas obat
antihipertensi, infark miokard, stroke, dan kejadian tromboemboli ,
berhubungan dengan COX-2 inhibitor), menginhibisi aktivasi
platelet, kecenderungan memar, dan perdarahan.

15
● Renal: setensi garam dan air, penurunan fungsi ginjal, edema,
penurunan efektivitas obat-obatan diuretic, penurunan ekskresi
urate, hiperkalemia, nefropati
● Sistem saraf pusat: sakit kepala, pusing, vertigo, kebingungan,
depresi, penurunan ambang kejang, hiperventilasi.
● Hipersensitivitas: rhinitis casomotor, asthma, urtikaria, kemerahan,
hipotensi, syok.
● Hepatotoksisitas
Hipersensitivitas merupakan kontraindikasi utama untuk penggunaan
OAINs. Beberapa kondisi lainnya juga perlu dihindari:
● Usia >50 tahun dan Riwayat keluarga dengan penyakit atau
perdarahan gastrointestinal.
● Masalah Gastrointestinal sebelumnya yang berkaitan dengan
penggunaan OAINs (gastritis)
● Ulkus peptikum
● Riwayat perdarahan GI
● Hipertensi tidak terkontrol
● Penyakit ginjal
● Irritable bowel syndrome
● Inflammatory bowel disease
● Operasi coronary artery bypass
● Operasi gastric bypass
● Kehamilan (trimester 3)
● Stroke (selain aspirin)
● Transient Ischemic Attack ( ekslusi aspirin)
● Congestive Heart Failure (eksklusi aspirin)

Penggunaan OAINs tidak perlu dipantau secara rutin untuk pemakaian


akut pada pasien sehat. Perlu diperhatikan pada pasien yang menggunakan
OAINs dalam jangka waktu Panjang dan pasien yang memiliki risiko
peningkatan HbA pada penderita diabetes, dan serum sodium pada populasi
yang tinggi risiko komplikasi. Klinisi harus mengevaluasi apakah pasien
mengalami ide-ide bunuh diri.

16
Kebanyakan kasus dari overdosis OAINs secara akut tidak
menimbulkan efek yang simtomatik pada gastrointestinal. Namun penggunaan
OAINs dapat menimbulkan komplikasi bermakna seperti kebingungan, sakit
kepala, nystagmus, mengantuk, penglihatan kabur, diplopia, tinnitus, kejang,
asidosis metabolic, gagal ginjal atau gagal hati akut, perdarahan gastrointestinal,
dan koma.

II. ANALGESIK OPIOID


1. Opioid
Opioid adalah kelas obat yang memiliki kemiripan struktural dengan
tanaman alkaloid yang ditemukan dalam opium,8 Opioid merupakan obat terapi
nyeri yang paling efektif dan sering digunakan. Opioid cukup kontroversial di
dunia medis karena terdapat potensi ketergantungan dan efek samping.
Meskipun opioid memiliki indikasi untuk nyeri akut dan kronis sebagai terapi,
panduan dari Center of Disease Control and Prevention menyarankan jika
klinisi harus memberikan opioid dalam dosis efektif terendah dan untuk
diharapkan untuk durasi tersingkat untuk nyeri berat yang membutuhkan opioid.
Sebagian besar opioid yang relevan secara klinis bekerja terutama pada
“reseptor mu” dan dengan demikian dianggap sebagai “agonis mu.” Meskipun
demikian, opioid juga dapat bekerja pada reseptor: kappa, delta, dan sigma
(semuanya, termasuk mu, adalah reseptor berpasangan protein G). Opioid
sering digunakan dalam anestesi untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan
dan nyeri pasca pembedahan.8

17
Opioid dapat dibedakan menjadi beberapa klasifikasi, antara lain:

1. Opioid alami (morphine, codeine, papaverine, thebaine)


2. Opioid semisintetis (heroin, dihydromorphone, buprenorphine)
3. Opioid sintetis (methadone, fentanyl, alfentanil, sufentanil dan
remifentanil).

Opioid dapat diklasifikasikan sebagai opioid lemah atau kuat berdasarkan


tingkat penghilang nyeri:

1. Opioid lemah:
a. tramadol,
b. codein,
c. hidrocodone
2. Opioid kuat:
a. Morphine:
Morfin menghasilkan Sebagian besar efek analgesic dengan mengikat
reseptor mu-opioid di dalam system saraf pusat dan system saraf tepi.
Untuk nyeri akut digunakan
● Opioid kerja segera: diberikan pada opioid naïve : 15-30 mg PO per
4 jam.
● Sediaan oral: pasien opioid naïve: 10-20 mg PO per 4 jam.
● Supositoria: 10 – 20 mg PR per 4 jam
● Parenteral (SC/IM) pada pasien opioid naïve : 5-10 mg per 4 jam,
rentang dosis: 5-20 mg
● Parenteral IV pada opioid naïve: 2.5-5 mg per 3-4 jam, infus selama
4-5 menit, rentang dosis: 4-10 mg.
● Injeksi epidural: dosis tunggal yaitu 5-10 mg 1x pada regio lumbar,
infus kontinu yaitu 2-4 mg IV dalam 24 jam.

Onset pada pemberian oral yaitu 15-30 menit, sedangkan pemberian


intravena yaitu <5 menit. Durasi obat sekitar 4 jam (kerja segera).
Puncak kerja pada pemberian peroral yaitu <60 menit, perrectal 20-60
menit, SC 50-90 menit, IM 30-60 menit, IV 20 menit. Konsentrasi
puncak pada plasma pada pemberian peroral yaitu 20-40 ng/mL.
18
Morfin dimetabolisme di hati melalui konjugasi oleh asam
glukurinat. Eliminasi waktu paruh yaitu 2-4 jam pada jenis kerja segera.
Diekskresi melalui urin sebanyak 2-12% dan melalui feses 7-10%.

b. Methadone
Digunakan untuk tatalaksana nyeri berat yang harus dikonsumsi
setiap hari, merupakan opioid jangka Panjang. Dosis untuk pasien
opioid naïve yaitu 2.5 mg PO per 8-12 jam, titrasi perlahan dengan
peningkatan dosis tidak lebih dari 3-5 hari.
c. Buprenorphine
Dosis nyeri sedang berat yaitu 0.3 mg IV.I per 6 jam, bisa
diulang sekali (lebih dari 0.3 mg) jika dibutuhkan 30-60 dosis inisial.
Induksi secara sublingual dengan dosis 8 mg pada hari pertama,
dilanjutkan 16 mg sublingual pada hari ke-3, dilanjutkan selama 3-4
hari.
Onset yaitu 15 menit (IM), 1 jam (IV). Durasi selama lebih dari
6 jam (IM). Durasi hingga puncak kerja yaitu 1.84 jam (sublingual dosis
2 mg), 1.28 (sublingual dosis 8 mg), 4.7 ng/mL (dosis sublingual 16
mg). Waktu paruh buprenorphine 2.2 jam (IB), 21-25 jam (SL). Eksresi
melalui urin 30% dan feses 69%.
d. Fentanyl
Fentanil adalah opioid sintetis kuat yang mirip dengan morfin, tetapi
menghasilkan analgesia yang lebih besar. Fentanil 50 hingga 100 kali
lebih kuat daripada morfin. Dosis 100 mikrogram dapat menghasilkan
analgesia yang setara dengan sekitar 10 mg morfin. Namun, fentanil
menunjukkan sifat dan farmakokinetik yang sangat berbeda. Secara
klinis, penggunaannya yang paling sering adalah sebagai obat penenang
pada pasien yang diintubasi dan pada kasus nyeri yang parah pada
pasien dengan gagal ginjal karena eliminasi utamanya melalui hati.
Terkadang, dokter juga dapat menggunakan fentanil untuk mengobati
pasien nyeri kronis yang telah mengembangkan toleransi terhadap opiat.
Dosis fentanil sebagai kontrol nyeri pasca operasi adalah 50 hingga 100
mcg IV/IM setiap 1 hingga 2 jam sesuai kebutuhan; secara bergantian
0,5 hingga 1,5 mcg/kg/jam IV sesuai kebutuhan. Pertimbangkan dosis

19
yang lebih rendah pada pasien berusia 65 tahun ke atas. PCA (patient-
controlled analgesia): 10 hingga 20 mcg IV setiap 6 hingga 20 menit
sesuai kebutuhan; dimulai dengan dosis efektif terendah untuk durasi
efektif terpendek. Dosis untuk terapi nyeri akut sedang hingga berat
(off-label) adalah 1 hingga 2 mcg/kg/dosis intranasal setiap jam sesuai
kebutuhan; dosis maksimum adalah 100 mcg.9
e. Oxycodone
Oxycodone adalah opioid semisintetik dengan sifat agonistik pada
reseptor opioid tipe mu, kappa, dan delta, dengan afinitas terkuat pada
reseptor tipe muskarinik. Dosis awal oxycodone untuk nyeri akut pada
orang dewasa yang direkomendasikan adalah 5 hingga 15 mg, setiap 4
hingga 6 jam. Dosis lebih lanjut harus dititrasi ke atas untuk
pengendalian nyeri, dengan perhatian dan pemantauan terhadap potensi
efek samping. Untuk nyeri kronis direkomendasikan untuk melakukan
titrasi dosis secara perlahan ke atas, dimulai dari dosis serendah
mungkin untuk analgesia (2,5 hingga 10 mg setiap 4 hingga 6 jam).
Namun, obat harus diminum pada interval yang reguler untuk
manajemen nyeri kronis guna mencegah kambuhnya nyeri.10
f. Hydromorphone
Hydromorphone adalah opioid murni yang diindikasikan untuk nyeri
akut sedang hingga berat dan nyeri kronis yang parah. Obat ini hanya
diresepkan jika pengobatan lini pertama lainnya gagal, karena potensi
penyalahgunaan dan risiko overdosis yang tinggi. Larutan oral yang
segera dilepaskan memiliki dosis 1 mg/1 ml, sedangkan tablet oral dapat
berupa 2 mg, 4 mg, atau 8 mg. Dosis tablet oral lepas lambat adalah 8
mg, 12 mg, 16 mg, atau 32 mg. Yang terakhir ini tidak memiliki bentuk
larutan oral. Larutan injeksi dapat ditemukan dalam konsentrasi berikut:
1 mg/ml, 2 mg/ml, 4 mg/ml, dan 10 mg/ml. Larutan intravena tersedia
dalam formulasi berikut: 2 mg/1 ml, 2500 mg/250 ml, 10 mg/1 ml, 500
mg/50 ml.11
g. Meperidine
Meperidin, juga dikenal sebagai petidin, termasuk dalam kelas
fenilpiperidin sebagai bentuk sintetis garam hidroklorida dari opioid.
Meperidin tampaknya lebih aman dengan risiko adiksi yang lebih
20
rendah jika dibandingkan dengan opioid lain dan karena efek
antikolinergik yang terkait dengan berkurangnya biliary spasm atau
renal colic. Namun, tampaknya risiko kecanduan, kejang empedu, dan
kolik ginjal sama dengan opioid lainnya. Untuk manajemen nyeri pada
orang dewasa, dosis yang direkomendasikan adalah 50 mg hingga 150
mg secara oral, IM, subkutan (SC) setiap 3 hingga 4 jam sesuai
kebutuhan. Pada pediatri, dosis yang direkomendasikan adalah 1 mg/kg
sampai 1,8 mg/kg secara oral, IM, subkutan (SC) setiap 3 sampai 4 jam
sesuai kebutuhan (setiap dosis tidak boleh melebihi 100 mg).12

Bergantung pada reseptor mana yang diaktifkan, efek fisiologis yang


berbeda terjadi (yaitu analgesia spinal dan supraspinal). Opioid mengerahkan
efeknya pada neuron presinaptik dan postinaptik. Secara presinaptik, opioid
memblokir saluran kalsium pada saraf aferen nosiseptif, sehingga menghambat
pelepasan neurotransmiter seperti substansi P dan glutamat. Secara postsinaptik,
opioid meningkatkan aktivitas saluran kalium, sehingga membuat
hiperpolarisasi membran sel dan meningkatkan potensial aksi yang diperlukan
untuk menghasilkan neurotransmisi nosiseptif.13 Opioid tersedia dalam dosis
yang berbeda-beda untuk beberapa tipe sediaan: peroral, transdermal,
intramuscular, intravena, infus subkutaneus, rektal, epidural, intratekal,
intranasal, dan transmukosal.13

Berikut adalah table sediaan opioid intravena dan dosisnya:

Obat Kegunaan Rute Dosis


Morphine Perioperatif IM 0.05-0.2 mg/kgBB
IV 0.03-0.15 mg/kgBB
Fentanyl Intraoperative IV 2-50 mcg/kgBB
Postoperatif IV 0.5-1.5 mcg/kgBB
Sufentanil Intraoperative IV 0.25-20 mcg/kgBB
Alfentanil Intraoperative
Loading dose IV 8-100 mcg/kgBB
Infus maintenance IV 0.5-3 mcg/kgBB/menit
Remifentanil Intraoperative

21
Loading dose IV 1 mcg/kgBB
Infus maintenance IV 0.05-2 mcg/kgBB/menit
Postoperative/sedasi IV 0.05–0.3 mcg/kgBB/menit

Berikut adalah tabel sediaan opioid oral dan dosisnya:

obat Onset (jam) Dosis awal Interval


(mg) dosis (jam)
Codein 0.25-1 30-60 4
Hydromorphone 0.3-0.5 2-4 4
Tramadol 1-2 50 4-6
Morphine sustained release 1 15 8-12

Opioid menyebabkan efek samping sistemik yang bervariasi


diantaranya yaitu disforia/euphoria, sedasi, konstipasi, mual, muntah, supresi
batuk, miosis, pelepasan histamin (urtikaria, pruritus, hipotensi, takikardia),
supresi sistem endokrin, gangguan kardiovaskular (bradikardia), depresi
respirasi, kaku otot, toleransi, dan ketergantungan fisik. Opioid menginduksi
hiperalgesia atau allodynia.13
Kontraindikasi penggunaan opioid yaitu pada kasus ketidakstabilan
respirasi yang berat, status mental yang tidak stabil atau orang dengan risiko
bunuh diri, kerusakan ginjal atau hati. Klinisi perlu mengevaluasi pasien-pasien
yang diberikan terapi opioid. Pemantauan harus berfokus pada tingkat control
nyeri dan pemeriksaan fisik (tanda-tanda vital, tanda-tanda salah guna,
overdosis, atau kecanduan. Perlu dievaluasi status mental dan pernapasan, tanda
atau gejala hipogonadisme atau hipoadrenalisme.
Overdosis opioid dapat menyebabkan kematian karena depresi
pernafasan yang parah. Dokter harus mencurigai toksisitas opioid pada setiap
pasien yang mengalami perubahan status mental, bradipnea, dan pupil
menyempit.14 Nalokson diindikasikan untuk pasien dengan depresi pernafasan.
Nalokson dapat diberikan secara intravena, intramuskular, atau intranasal.
Karena nalokson hanya aktif selama 30 hingga 60 menit, Nalokson harus
diberikan melalui infus intravena pada kasus overdosis opioid jangka panjang. 13

22
III. ANALGETIK ADJUVAN
Analgetik adjuvan adalah sekumpulan obat yang diindikasikan bukan untuk
manajemen nyeri namun apabila dikombinasikan dengan obat analgetik maka akan
meningkatkan efek dari pereda nyeri. Sediaan yang paling umum digunakan
sebagai analgetic adjuvan adalah obat golongan antidepresan antikonvulsan, dan
anastesi lokal.
Analgetik adjuvan bekerja pada jaras eksitatorik (substansi P dan glutamate),
neurotransmitter inhibitori (GABA) atau pada neurotransmitter yang memodulasi
pengalaman nyeri (serotonin, norepinefrin). Analgetik adjuvant selalu digunakan
dalam terapi nyeri neuropatik dimana merupakan suatu bentuk nyeri kronis karena
cedera atau gangguan saraf perifer atau pusat.
1. Antidepresi
Serotonin selektif dan norepinefrin reuptake inhibitor (SNRIs),
duloxetine, tricyclic antidepresan (TCAs), amitriptilin, terbukti efektif untuk
kondisi nyeri neuropatik yang bervariasi. Obat-obatan tersebut
direkomendasikan untuk terapi lini pertama. Selain indikasi obat-obatan
tersebut untuk penyakit psikiatri seperti depresi dan gangguan ansietas
menyeluruh, obat-obatan tersebut juga diindikasikan untuk penyakit lainnya
seperti fibromyalgia dan nyeri muskuloskeletas kronik. Antidepresan
direkomendasikan sebagai terapi profilaksis untuk migrain dan tension type
headache (amitriptilin).
Antidepresan lebih efektif digunakan pada pasien dengan gejala depresi
dan nyeri sebagai kormobiditas dibandingkan dengan pasien dengan keluhan
nyeri saja. Baik tricyclic antidepressant (TCAs) dan selective serotonin dan
norepinefrin reuptake inhibitors (SNRIs) menginhibisi pengambilan kembali
kedua neutransmiter penting: serotonin dan noradrenalin. Inhibisi ini
meningkatkan inhibisi jalur desendan dari sistem saraf pusat yang berkaitan
dengan nyeri. TCA juga bekerja pada reseptor kolinergik, histamin, beta 2
adrenergik, opioid, dan N-methyl-D-Aspartate (NMDA), dan kanal sodium.
Pada antidepresan trisiklik dan serotonin selektif dan norepineflin
reuptake inhibitor, amitriptyline dan duloxetine memiliki efek analgetic terbaik.
● Amitriptyline:

23
Dosis 25 – 150 mg oral (tablet) satu kali sehari atau dalam dua dosis
yang terpisah. Dosis tunggal maksimum harian adalah 75 mg dan 150 mg.
Perlu diperhatikan penggunaannya pada pasien berusia 65 tahun atau lebih
dengan dosis maksimal harian diatas 75 mg. Terdapat beberapa efek
samping yaitu penurunan status mental, aritmia, konstipasi, penurunan
libido, pusing, mengantuk, mulut kering, sakit kepala, hiperhidrois,
peningkatan risiko bunuh diri, gangguan miksi (retensi urin), mual,
hipotensi ortostatik, tremor, peningkatan berat badan.
Efek samping yang mungkin terjadi yaitu hipersensitivitas, infark
miokard, aritmia, gagal jantung akut, kerusakan hati berat. Gejala berat dan
gejala toksisitas dari penggunaan amitriptyline yaitu kebingungan,
halusinasi visual yang transien, konvulsi, hiper refleks, stupor, kantuk, kaku
otot, muntah, hipotermia, hiperpireksia, koma, dan kematian. Perubahan
EKG, tertutama pada lebar atau aksis GRS, merupakan salah satu tanda dari
keracunan tricyclic antidepresan (TCA), abnormalitas lainnya termasuk
interval PR memanjang, perubahan gelombang ST, ventricular takikardia,
dan fibrilasi. Tidak adanya temuan ini tidak mengeksklusi keracunan
TCA.15
● Duloxetine:
Dosis 60 – 120 mg oral (kapsul) sekali sehari atau dua dosis berbeda.
Dosis maksimum harian yaitu 120 mg. Efek samping duloxetine yaitu
hipersensitivitas, kerusakan hati, gagal ginjal berat (CrCl <30 ml/menit)
atau end-stage renal disease (ESRD),16
Gejala dan tanda dari keracunan duloxetine yaitu adanya sindroma
serotonin, diare, muntah, dan koma. Tidak terdapat antidot yang tersedia
untuk overdosis duloxetine. Meskipun demikian, tindakan cyproheptadine
dan pendinginan patut dipertimbangkan dalam kasus sindrom serotonin.16

2. Antikonvulsan
Beberapa obat-obatan antikonvulsan atau obat anti kejang biasanya
digunakan untuk menangani epilepsy. Antikonvulsan diketahui untuk kegunaan
analgesik meskipun mekanisme kerja untuk menurunkan pelepasan
neurotransmitter atau hantaran neuronal. Antikonvulsan tersering untuk terapi
nyeri adalah gabapentin dan pregabalin.
24
● Gabapentin:
Digunakan untuk postherpetic neuralgia dan nyeri neuropatik. Dosis
gabapentin yaitu 300 – 600 mg peroral (kapsul, tablet, solution) sebanyak 3
kali sehari dengan dosis maksimum harian 1800 mg untuk neuralgia
postherpetic atau 300 – 1200 mg peroral tiga kali sehari dengan maksimum
dosis harian 3600 mg.17
Gabapentin tidak memiliki risiko overdosis atau adiksi seperti obat-
obatan nyeri lainnya (opioid). Namun, gabapanetin dapat meningkatkan
status euphoria yang disebabkan oleh opioid.
● Pregabalin:
Nyeri neuropatik berkaitan dengan neuropati diabetes perifer atau
cedera medulla spinalis, neuralgia postherpetic, dan fibromyalgia. Dosis
pregabalin yaitu 300 – 600 mg/hari peroral dibagi menjadi 2 dosis berbeda.
Informasi terbatas mengenai overdosis pregabalin. Dosis tertinggi
yang pernah terdokumentasi menyebabkan overdosis yaitu 8000 mg.
Pregabalin tidak memiliki antidot yang spesifik.18
● Oxcarbazepine dan carbamazepine: neuralgia trigeminal atau
glossopharyngeal
● Carbamazepine:
Diindikasikan untuk nyeri yang berhubungan denganneuralgia
trigeminal, efek bermanfaat juga dilaporkan terjadi pada neuralgia
glosofaringeal. Carbamazepine bukan merupakan analgesic sederhana dan
seharusnya tidak digunakan untuk meringankan nyeri ringan. Dosis
mantenance berkisar antara 400-800 mg/hari secara peroral pada dosis yang
dibagi. Usaha untuk mengurangi atau menghentikan obat harus dilakukan
setidaknya tiap 3 bulan periode penggunaan. Dosis maksimum harian yaitu
1200 mg. Waktu paruh obat yaitu 10-20 jam.19
● Phenytoin:
Phenytoin dapat membantu meredakan nyeri neuropatik dengan
memperlambat impuls elektrik pad saraf dan mengurangi kemampuan untuk
menghantarkan nyeri. Waltu paruh phenytoin yaitu 22 jam dengan dosis
harian 200-600 mg.

25
Baik Gabapentin dan pregabalin bekerja dengan mengurangi pelepasan
neurotransmitter eksitatorik yang berhubungan dengan calsium-dependent,
obat ini menurunkan eksitabilitas neuronal.

Klinisi perlu mengevaluasi level kreatinin sebelum dan sesudah terapi


untuk pasien yang diberikan gabapentin atau pregabalin. Pasien harus
dipantau untuk skrining tanda-tanda depresi, perubahan tingkah laku, dan
pemirikan bunuh diri.17,18

3. Anestesi lokal
Lidokain adalah obat yang paling sering digunakan pada kelas obat ini,
direkomendarikan untuk postherpetic neuralgia dan nyeri neuropatik perifer.
Lidokain bekerja dengan menstabilisasi membrane neuronal dengan
menginhibisi kanal ion sodium pada permukaan internal dari membrane sel
saraf. Konduksi nyeri melalui impuls saraf menjadi rusak pada lokasi kerja,
yang berkontribusi pada tidak adanya efek sistemik.20
Lidokain dalam bentuk stiker tersedia dalam konsentrasi 1,8% atau 5%.
Direkomendasikan untuk menggunakan 1-3 stiker yang ditempelkan ke kulit
selama 12 jam/hari. Bentuk lain yang tersedai yaitu topical, krim, gel, dan
lotion. Karena lidokain memiliki indeks terapi yang sempit, pasien dengan
gangguan hati yang parah, di bawah infus yang berkepanjangan, atau dengan
kulit yang rusak atau meradang harus dipantau untuk peningkatan kadar plasma.
Pada kasus methemoglobinemia yang terdokumentasi dengan penggunaan
anestesi lokal, meskipun mereka sangat jarang terkait dengan pemberian
tambalan. Tanda-tanda methemoglobinemia termasuk perubahan warna kulit
sianotik dan/atau warna abnormal darah.20
Toksisitas lidokain terjadi biasanya saat konsentrasi lidokain dalam
darah diatas 5 mcg/mL. Gejala yang terjadi yaitu bicara cadel, tinnitus,
parestesia, dan pusing hingga kehilangan kesadaran, kejang, aritmia jantung,
dan henti jantung. Apabila terjadi overdosis maka diberikan terapi suportif
seperti oksigen, cairan intravena, dan inotropic, dan apabila terjadi kolaps
kardiovaskular refrakter maka diberikan cairan emulsi intravena.20

MANAJEMEN NYERI AKUT PERIOPERATIF

26
Lebih dari 80% pasien yang menjalani operasi mengalami nyeri post-operatif akut dan
sekitar 75% dengan nyeri post-operatif melaporkan bahwa tingkat nyeri yang dialami yaitu
nyeri sedang, berat, atau ekstrim. Penelitian membuktikan bahwa kurang dari setengah psien
yang menjalani operasi melaporkan bahwa terapi nyeri yang diberikan cukup efektif untuk
meredakan nyeri yang dialami. Apabila nyeri tidak ditangani dengan baik maka dapat
berdampak negatif terhadap kualitas hidup, pemulihan fungsional, risiko komplikasi pasca
operasi, dan risiko nyeri pasca bedah yang persisten. Banyak intervensi dan strategi pra-
operasi, intraoperatif, dan pasca operasi yang terus berkembang untuk mengurangi dan
mengelola rasa sakit pasca operasi.3

Hal pertama yang harus dilakukan untuk manajemen nyeri post-operatif yaitu
pengukuran nyeri. Manajemen nyeri post-operatif berperan penting untuk membantu pasien
mengalami pemulihan fungsi normal dan mengurangi insidensi efek psikologik dan fisiologik
yang berhubungan dengan nyeri akut dan tidak terkontrol. Terapi nyeri post-operatif dapat
diperoleh melalui beberapa mekanisme yang bervariasi dalam penggunaan agen farmakologi
dan Teknik intervensi.

Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam mengukur dan memberikan tatalaksana
nyeri post operatif yaitu:

● Pembedahan umum darurat dapat dikaitkan dengan nyeri pasca operasi


yang lebih parah; perhatian khusus harus diberikan kepada kelompok
pasien ini
● Penilaian nyeri pasca operasi sebaiknya dilakukan saat istirahat dan tidak
dilakukan saat bergerak untuk meningkatkan penatalaksanaan pasien
setelah operasi darurat
● Analgesia preemptive adalah pilihan yang layak dalam mengurangi
konsumsi opioid pasca operasi
● Edukasi yang adekuat untuk pasien dan keluarga tentang perawatan bedah
dan anestesi, pilihan, rencana pengobatan, dan tujuan manajemen nyeri
harus dilakukan bila memungkinkan.
● Manajemen nyeri perioperatif harus diterapkan dengan
mempertimbangkan riwayat pasien, komorbiditas, terapi kronis yang
sedang berlangsung, dan potensi risiko penyalahgunaan zat

27
● Skala nyeri yang divalidasi harus dimasukkan ke dalam perencanaan
perawatan, evaluasi berkelanjutan, dan proses penyesuaian
● Manajemen nyeri harus disesuaikan untuk memastikan efek terbesar dan
efek samping serendah mungkin

Terapi analgesic opioid merupakan terapi utama untuk nyeri akut post-operatif. Namun
Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa pemberian opioid IV tidak lebih baik dibandingkan
dengan rute oral untuk analgesia postoperatif. Oleh karena itu, pemberian opioid oral umumnya
lebih dipilih untuk manajemen nyeri paska operasi pada pasien yang dapat menggunakan rute
oral. Nyeri pasca operasi seringkali berlangsung terus menerus pada awalnya dan sering
membutuhkan dosis sepanjang waktu selama 24 jam pertama. Opioid oral kerja lama umumnya
tidak direkomendasikan pada periode sesaat paska operasi karena dibutuhkannya titrasi dosis
dan kurangnya bukti yang menunjukkan keunggulan dibandingkan dengan opioid oral kerja
pendek. Penggunaan rute intramuskuler untuk pemberian analgesik untuk manajemen nyeri
paska operasi tidak dianjurkan karena pemberian intramuskuler dapat menyebabkan nyeri yang
signifikan kepada pasien dan penyerapannya sendiri kurang bagus sehingga menghasilkan
analgesia postoperatif yang tidak konsisten. Rute intramuskuler juga tidak menunjukkan
keunggulan dibandingkan rute lainnya.

Ketika pemberian analgesik enteral pasca operasi tidak dapat diberikan (pada pasien
ileus, risiko aspirasi, atau setelah prosedur bedah) maka dapat direkomendasikan penggunaan
iv PCA. Rute iv PCA ini hanya diberikan kepada pasien yang memerlukan analgesia selama
lebih dari beberapa jam dan memiliki fungsi kognitif yang memadai untuk memahami
penggunaan alat dan batasan keamanannya. Pada anak-anak diberikan batasan usia 6 tahun
untuk dapat menggunakan iv PCA dengan tepat. Dari survey dan penelitian ditunjukkan
efektivitas dan kepuasan pasien lebih besar dengan penggunaan iv PCA daripada pemberian
opioid intermiten oleh penyedia layanan kesehatan. Bolus opioid IV dapat dipertimbangkan
dalam periode sesaat (beberapa jam pertama) paska operasi untuk penghilang rasa sakit yang
lebih cepat dan titrasi analgesik, dan pada pasien dengan sedasi pasca operasi yang dipantau
secara ketat.

Pada pasien yang menggunakan rute iv PCA, tidak direkomendasikan penggunaan rutin
infus basal opioid pada pasien yang belum terpapar opioid sebelumnya, dikarenakan bukti
menunjukkan tidak ada keunggulan analgesia yang didapatkan dibandingkan dengan PCA
tanpa infus basal. Selain itu, infus basal opioid dikaitkan dengan peningkatan risiko mual dan

28
muntah, dan dalam beberapa 33 penelitian didapatkan peningkatan risiko depresi pernapasan
pada orang dewasa. Data mengenai penggunaan infus basal opioid pada pasien toleran opioid
yang menggunakan PCA masih kurang, akan tetapi diduga terdapat alasan kuat untuk
penggunaannya karena adanya potensi untuk kurangnya dosis dan rasa sakit yang tidak
terkendali, serta terjadinya withdrawal opioid, terutama pada pasien yang menerima terapi
opioid jangka panjang sebelum operasi. Selain itu, belum ada bukti cukup untuk
merekomendasikan penggunaan infus basal opioid pada anak-anak, meskipun pada beberapa
penelitian ditunjukkan bahwa pemberian opioid basal dengan dosis rendah dapat digunakan
dengan aman.

Dikarenakan adanya risiko sedasi berlebih dan depresi pernafasan, pasien yang
menerima opioid sistemik untuk analgesia paska operasi harus dipantau secara ketat pada jam-
jam awal setelah operasi atau perubahan dosis berikutnya. Pemantauan mencakup penilaian
kesadaran dan tanda-tanda atau gejala hipoventilasi atau hipoksia pada pasien. Meskipun pulse
oximetry sering digunakan untuk memantau status pernapasan pada periode paska operasi,
disarankan dilakukan pemantauan tambahan oleh petugas kesehatan dikarenakan pulse
oximetry memiliki sensitivitas rendah untuk hipoventilasi ketika oksigen tambahan sedang
diberikan. Penggunaan kapnografi mungkin lebih sensitif daripada pulse oxymetry dalam
mengidentifikasi depresi pernapasan pada pasien yang menerima oksigen tambahan. Namun,
tidak ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan kapnografi atau metode
pemantauan canggih lainnya. Depresi pernapasan cenderung terjadi apabila didapatkan faktor
resiko berupa riwayat sleep apnea obstruktif atau sentral dan adanya penggunaan obat penekan
sistem saraf pusat. Pada pasien dengan sedasi berlebihan atau tanda-tanda depresi pernapasan,
harus segera dilakukan pengubahan ataupun pengurangan opioid, pemberian bantuan
pernapasan, dan pemberian antagonis opioid bila perlu
Namun meningkatnya morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan
penyalahgunaan opioid menyebabkan meningkatnya terapi alternatif untuk mengembangkan
strategi tatalaksana yang menekankan penggunaan pendekatan multimodal. Manajemen nyeri
multimodal harus selalu dipertimbangkan untuk meningkatkan analgesia sambil mengurangi
efek samping pada masing-masing individu. Penggunaan opiat harus dikurangi sebanyak
mungkin dalam strategi manajemen nyeri pasca operasi.

29
Tabel. Contoh terapi multimodal

NSAID preemtif dan preventif tampaknya mengurangi rasa sakit dan penggunaan
morfin. Kontraindikasi OAINs yaitu pada pasien yang menjalani coronary artery bypass
surgery dimana memiliki risiko yang tinggi mengalami kejadian kardiovaskuler. Bila tidak ada
kontraindikasi, acetaminophen, NSAID dan pemberian gabapentinoid direkomendasikan
dalam analgesia multimodal. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan acetaminophen atau
NSAID yang diberikan dengan opioid dikaitkan dengan pengurangan rasa sakit paska operasi
dan jumlah opioid yang dikonsumsi daripada pemberian opioid tunggal. Selain itu,
acetaminophen dan NSAID memiliki mekanisme kerja yang berbeda dan 34 penelitian
menunjukkan bahwa kombinasi acetaminophen dengan NSAID akan lebih efektif daripada
penggunaan kedua obat secara tunggal. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara
pemberian obat melalui rute iv dibandingkan dengan pemberian oral dalam mengurangi rasa
sakit pasca operasi, selain dari pada onset yang lebih cepat dengan penggunaan rute iv. NSAID
dikaitkan dengan peningkatan risiko perdarahan dan ulserasi gastrointestinal, kejadian
kardiovaskular, dan disfungsi ginjal yang harus dipertimbangkan ketika memilih terapi. Resiko
kerusakan gastrointestinal dianggap lebih rendah dengan pemberian COX 2-selective NSAID
yakni celecoxib. Meskipun beberapa data pengamatan menunjukkan keterkaitan antara
penggunaan NSAID dosis tinggi dan nonunion dalam fusi tulang belakang, pada penelitian
dengan data yang besar, hubungan tersebut didapatkan tidak signifikan secara statistik. Studi
pengamatan lain juga menunjukkan bahwa penggunaan NSAID mungkin terkait dengan
peningkatan risiko dari kebocoran anastomosis setelah pembedahan kolorektal, namun belum
ditemukan bukti yang cukup. NSAID dikontraindikasikan untuk penatalaksanaan nyeri
perioperatif pada pasien yang menjalani operasi cangkok bypass arteri koroner karena
mupeningkatan risiko kejadian kardiovaskular.

Beberapa penelitian juga merekomendasikan penggunaan celecoxib sebelum operasi


pada pasien yang menjalani operasi besar. Pada penelitian yang dilakukan, Celecoxib dengan

30
dosis 200 hingga 400 mg yang diberikan 30 menit hingga 1 jam sebelum operasi dikaitkan
dengan berkurangnya kebutuhan opioid setelah operasi, dan didapatkan skor nyeri pasca
operasi yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa penambahan celecoxib. Namun,
pemberian celecoxib dikontraindikasikan pada pasien yang menjalani operasi cangkok bypass
arteri koroner dikarenakan peningkatan risiko kejadian kardiovaskular. Penelitian lebih lanjut
masih dilakukan untuk meneliti manfaat dan efek samping dari obat ini.

Beberapa Teknik persiapan yang ikut serta dalam memberikan intervensi pereda nyeri
post operatif yaitu:

● akses intravena perifer


● persiapan kulit steril,
● daerah yang steril.
● Monitoring TTV: oksimeter, tekanan darah
● Resusitasi: suplai oksigen, suplai jalan napas, suction, obat-obatan resusitatif,
dan defibrillator
● Mesin ultrasound
● Obat-obatan anestesi
● Hollow needles: needle gauge, bentuk, dan Panjang bervariasi tergantung dari
jenis anestesi yang diberikan
● Kateter
● Stimulator saraf perifer

Terdapat beberapa persiapan untuk pasien-controlled analgesia (PCA) pump:

● Akses intravena perifer


● PCA pump device
● IV tubing primed with saline
● Carbon dioxide detector canulla
● Narcotil medication

Kondisi komorbiditas yang perlu diperhatikan yaitu pada obestias merupakan


tantangan dalam pemberian opioid karena populasi ini memiliki risiko depresi respirasi
atau sleep apnea yang meningkat. Anestesi regional dan penghindaran analgesic sedatif
merupakan pemberian analgesik yang digunakan pada populasi ini. Pasien nyeri kronis
yang mengandalkan pengobatan opioid untuk bantuan akan membutuhkan jumlah

31
opioid yang melebihi dosis dasar mereka. Penekanan pada terapi multimodal yang
melibatkan teknik anestesi intervensi dan analgesik nonopioid sangat penting di antara
populasi ini.

Banyak intervensi dan strategi manajemen pra operasi, intraoperatif, dan pasca
operasi tersedia dan terus berkembang untuk mengurangi dan mengelola nyeri pasca
operasi. Di bawah ini adalah daftar perawatan yang digunakan untuk pengobatan
multimodal nyeri pada pasien post-operatif:21

● Terapi farmakologis sistemik

Semua obat yang mempunyai efek analgetika biasanya efektif untuk


mengatasi nyeri akut. Hal ini dimungkinkan karena nyeri akut akan mereda
atau hilang sejalan dengan laju proses penyembuhan jaringan yang sakit
Obat yang umum digunakan untuk pengendalian nyeri postop termasuk
opioid, NSAID dan/atau asetaminofen, steroid, gabapentin atau pregabalin,
IV ketamin, dan IV lidokain. Pemberian obat opioid secara oral lebih
disukai daripada rute intravena. Obat intramuskular tidak disarankan.

Namun, selama keadaan di mana rute parenteral pemberian obat


diperlukan (mis, risiko aspirasi, ileus), patient-controlled analgesia
intravena (PCA) direkomendasikan. Penambahan acetaminophen atau
NSAID dikaitkan dengan pengurangan konsumsi opioid dan kontrol nyeri
yang lebih baik daripada menggunakan opioid saja.

Gabapentin atau pregabalin direkomendasikan untuk diberikan


sebelum operasi, terutama pada pasien yang toleran terhadap opioid, karena
telah terbukti mengurangi kebutuhan opioid. Penggunaan gabapentin atau
pregabalin sebagai bagian dari rejimen multimodal pada pasien yang
menjalani operasi juga dikaitkan dengan berkurangnya kebutuhan opioid
setelah prosedur bedah besar atau kecil, dan beberapa penelitian melaporkan
skor nyeri pasca operasi yang lebih rendah.

Ketamin IV telah dievaluasi sebagai bagian dari analgesia


multimodal. Pada orang dewasa dan anak-anak, sama seperti obat lainnya
pemberian ketamin iv dikaitkan dengan penurunan penggunaan obat nyeri
paska operasi menurunkan skor nyeri pasca operasi. Dalam uji coba,

32
ketamin dapat diberikan sebelum operasi, intraoperatif, dan/atau paska
operasi, pada berbagai dosis (mulai dari bolus 0.15-2 mg / kg sebelum insisi
dan pada penutupan). Belum ada bukti yang cukup menentukan dosis
optimal untuk ketamin, akan tetapi guideline dari America Pain Society
menyarankan menggunakan bolus sebelum operasi 0,5 mg/kg diikuti
dengan infus 10 µg/kg/menit secara intraoperatif, dan paska operasi dengan
atau tanpa infus dosis yang lebih rendah. Ketamin dikaitkan dengan
peningkatan risiko halusinasi dan mimpi buruk

● Teknik anestesi regional (neuraxial)


Anestesi lokal (dengan atau tanpa opioid) untuk analgesia epidural dan
analgesia spinal (opioid intratekal) pada dewasa dan anak-anak dapat
memberikan hasil skor nyeri postoperatif yang lebih rendah dan penurunan
penggunaan analgesik jika dibandingkan dengan injeksi plasebo atau
analgesik opioid sistemik pada pasien yang menjalani berbagai operasi.
Analgesia epidural dan spinal dapat memberi hasil penurunan risiko
mortalitas paska operasi, tromboemboli vena, infark miokard, pneumonia,
depresi pernapasan, dan penurunan durasi ileus dibandingkan analgesia
sistemik.
Penggunaan analgesia epidural atau spinal untuk manajemen nyeri pasca
operasi dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien yang menjalani prosedur
pembedahan toraks dan abdomen utama, operasi sesar, operasi pinggul dan
operasi ekstremitas bawah. Teknik ini juga dipertimbangkan pada pasien
yang beresiko seperti penyakit jantung, komplikasi paru, ataupun ileus yang
berkepanjangan. Keuntungan analgesia epidural dibandingkan dengan
analgesia lain yakni metode ini dapat diberikan sebagai infus berkelanjutan
atau sebagai PCA dengan anestesi lokal, sedangkan analgesia spinal terbatas
pada dosis tunggal opioid.
Walaupun neuraxial analgesia dihubungkan dengan menurunnya risiko
mortalitas pada pasien perioperatif dan komplikasi paru jantung
dibandingkan opioid sistemik, dapat terjadi efek samping seperti depresi
pernapasan, hipotensi, dan kelemahan motoric akibat kompresi sumsum
tulang belakang akibat hematoma atau infeksi. Analgesia neuraxial pada
pasien yang melakukan operasi pinggul dan ekstremitas bawah, mungkin

33
dapat menutupi gejala sindrom kompartmen. Sehingga dokter harus terus
memantau pasien yang menerima intervensi analgesia neuraxial, agar
apabila terjadi efek samping dokter telah siap untuk mengobati dengan
pengurangan dosis, pengangkatan kateter, antagonis opioid, dekompresi
hematoma epidural, antibiotic, dan tindakan lain sesuai dengan tindakan
yang diperlukan.
Obat yang digunakan biasanya yaitu bupivacaine atau dengan merek
dagang marcain. Pubivacain memblokade inisiasi dan konduksi dari impuls
saraf dengan menurunkan permeabilitas membrane neuron terhadap ion
sodium, menyebabkan inhibisi depolarisasi dengan hambatan konduksi
saraf. Marain spinal bekerja sangat cepar dalam 1 menit, dan mencapai
blockade maksimal saraf motoric dan dermatome dalam waktu 15 menit
dalam kebanyakan kasus. Waktu kembalinya sensasi pada lokasi operasi
atau kembalinya fungsi dermatome sekitar 2 jam (dosis 12 mg), waktu
kembalinya fungsi motoric sekitar kurang lebih 3.5 jam (dosis 12 mg).
Dieliminasi melalui urin (6%).
● Terapi nonfarmakologis
Contoh terapi nonfarmakologis yang digunakan dalam pengendalian
nyeri meliputi modalitas kognitif atau modalitas mekanis seperti stimulasi
saraf listrik transkutan (TENS).

34
35
36
DAFTAR PUSTAKA

1. Raja SN, Carr DB, Cohen M, Finnerup NB, Flor H, Gibson S, et al. The revised
International Association for the Study of Pain definition of pain: concepts, challenges,
and compromises. Vol. 161, Pain. 2020.

2. Nikolenko VN, Shelomentseva EM, Tsvetkova MM, Abdeeva EI, Giller DB, Babayeva
J V., et al. Nociceptors: Their Role in Body’s Defenses, Tissue Specific Variations and
Anatomical Update. J Pain Res. 2022;15(March):867–77.

3. South Dakota State Medical Association. Effective Management of Acute Pain


Recommendations from the Ad Hoc Committee on Pain Management and Prescription
Drug Abuse. 2019.

4. Anekar, Aabha A, Cascella M. WHO Analgesic Ladder - StatPearls - NCBI Bookshelf.


Treasure Isl StatPearls Publ. 2021;

5. Agrawal S, Khazaeni B. Acetaminophen Toxicity. StatPearls - NCBI Bookshelf. 2022.

6. Gerriets V, Anderson J, Nappe. TM. Acetaminophen. StatPearls - NCBI Bookshelf.


2021.

7. Ghlichloo I, Gerriets. V. Nonsteroidal Anti-inflammatory Drugs (NSAIDs). StatPearls -


NCBI Bookshelf. 2022.

8. Diseases NI of D and D and K. LiverTox: Clinical and Research Information on Drug-


Induced Liver Injury. StatPearls - NCBI Bookshelf. 2023.

9. Ramos-Matos CF, Bistas KG, Lopez-Ojeda. W. Fentanyl [Internet]. StatPearls - NCBI


Bookshelf. 2022. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459275/

10. Sadiq NM, Dice TJ, Mead T. Oxycodone [Internet]. StatPearls - NCBI Bookshelf. 2022.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482226/

11. Abi-Aad KR, Derian. A. Hydromorphone [Internet]. StatPearls - NCBI Bookshelf. 2021.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470393/

12. Yasaei R, Rosani A, Saadabadi. A. Meperidine [Internet]. StatPearls - NCBI Bookshelf.


2022. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470362/

13. Cohen B, Ruth LJ, Preuss. C V. Opioid Analgesics. StatPearls - NCBI Bookshelf. 2022.

37
14. Oelhaf RC, Pozo E Del, Azadfard. M. Opioid Toxicity [Internet]. StatPearls - NCBI
Bookshelf. 2022 [cited 2023 Feb 22]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431077/

15. Attal N. Pharmacological treatments of neuropathic pain: The latest recommendations.


Vol. 175, Revue Neurologique. 2019.

16. Dhaliwal JS, Spurling BC, Molla. M. Duloxetine [Internet]. StatPearls - NCBI
Bookshelf. 2022. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549806/

17. Yasaei R, Katta S, Saadabadi A. Gabapentin [Internet]. StatPearls - NCBI Bookshelf.


2022. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493228/

18. Cross AL, Viswanat O, Sherman. A l. Pregabalin [Internet]. StatPearls - NCBI


Bookshelf. 2022. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470341/

19. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical
Anesthesiology. 6th ed. McGraw-Hill Education; 2018.

20. Goyal GB, A. BT, Amandeep N. Lidocaine [Internet]. StatPearls - NCBI Bookshelf.
2022. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK539881/

21. Horn R, Kramer J. Postoperative Pain Control. StatPearls - NCBI Bookshelf. 2022.

38

Anda mungkin juga menyukai