Anda di halaman 1dari 18

TUGAS LTM QBD 1

Disusun untuk melaksanakan tugas


Modul Elektif

Diajukan Oleh :

LENTINA
FAA 116 031

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2019
Pemicu 1
Seorang pria berusia 21 tahun dating ke IGD RS dengan keluhan nyeri perut yang dirasakan
sejak 3 jam yang lalu. Nyeri awalnya dirasakan pada sekitar daerah pusar, kemudian
berpindah ke daerah perut kanan bawah, semakin lama semakin parah. Pasien merasa mual
dan muntah 1 kali, isi makanan, tidak ada darah maupun lendir. Badan terasa agak hangat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD 120/80 mmHg, nadi 92x/menit, frekuensi napas
18x/menit, suhu 37,80C. Terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas pada titik McBurney. Pasien
didiagnosis apendisitis akut.

Daftar pertanyaan :
 Jelaskan jenis dan patofisiologi nyeri secara umum (Akut vs kronik: nosiseptif,
inflamatorik, neuropati, psikogenik, somatic vs visceral )
 Jelaskan patofisiologi nyeri alih (referred pain)
 Jelaskan patofisiologi nyeri alih pada kasus apendisitis akut.
Jelaskan jenis dan patofisiologi nyeri secara umum (Akut vs kronik: nosiseptif,
inflamatorik, neuropati, psikogenik, somatic vs visceral).

Definisi
Nyeri menurut IASP (Internastional Assosiation for the Study of Pain) adalah pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan atau yang
cenderung merusak jaringan, atau seperti yang dimaksud dengan kata kerusakan jaringan.

Dari definisi tersebut maka nyeri terdiri dari dua komponen utama, yaitu sensorik
(fisik) dan emosional (psikologik). Komponen sensorik merupakan mekanisme neurofisiologi
yang menerjemahkan sinyal nosiseptor menjadi informasi tentang nyeri (durasi, intensitas,
lokasi, dan kualitas rangsangan). Sedangkan komponen emosional adalah komponen yang
menentukan berat ringannya individu merasa tidak nyaman, dapat mengawali kelainan emosi
seperti cemas dan depresi jika menjadi nyeri kronik, serta diperankan oleh rangsangan
nosiseptik melalui penggiatan sistem limbik dan kondisi lingkungan (asal penyakit, hasil
pengobatan yang tidak jelas, dan dukungan sosial/keluarga). Nyeri bersifat sangat subyektif.
Terlepas dari ada tidaknya kerusakan jaringan, nyeri sebaiknya diterima sebagai keluhan
yang harus dipercaya.

Patofisiologi
Proses rangsangan yang menimbulkan nyeri bersifat destruktif terhadap jaringan yang
dilengkapi dengan serabut saraf penghantar impuls nyeri. Serabut saraf ini disebut juga
serabut nyeri, sedangkan jaringan tersebut disebut jaringan peka- nyeri. Bagaimana seseorang
menghayati nyeri tergantung pada jenis jaringan yang dirangsang, jenis serta sifat
rangsangan, serta pada kondisi mental dan fisiknya . Reseptor untuk stimulus nyeri disebut
nosiseptor. Nosiseptor adalah ujung saraf tidak bermielin A delta dan ujung saraf C
bermielin. Distribusi nosiseptor bervariasi di seluruh tubuh dengan jumlah terbesar terdapat
di kulit. Nosiseptor terletak di jaringan subkutis, otot rangka, dan sendi. Nosiseptor yang
terangsang oleh stimulus yang potensial dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Stimulus ini
disebut sebagai stimulus noksius. Selanjutnya stimulus noksius ditransmisikan ke sistem
syaraf pusat, yang kemudian menimbulkan emosi dan perasaan tidak menyenanggan
sehingga timbul rasa nyeri dan reaksi menghindar.

Proses transduksi

Transduksi nyeri adalah rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi depolarisasi membran
reseptor yang kemudian menjadi impuls saraf reseptor nyeri. Rangsangan ini dapat berupa
rangsang fisik (tekanan), suhu (panas), atau kimia. Adanya rangsang noksius ini
menyebabkan pelepasan asam amino eksitasi glutamat pada saraf afferent nosisepsi terminal
menempati reseptor AMPA (alpha-amino-3-hydroxy-5- methyl-D-aspartate), akibat
penempatan pada reseptor menyebabkan ion Mg2+ pada saluran Ca2+ terlepas masuk ke
dalam sel, demikian juga ion Ca2+, K+, dan H+. Terjadi aktivasi protein kinase c dan
menghasilkan NO yang akan memicu pelepasan substansi p dan terjadi hipersensitisasi pada
membran kornu dorsalis. Kerusakan jaringan karena trauma, dalam hal ini odontektomi,
menyebabkan dikeluarkannya berbagai senyawa biokimiawi antara lain: ion H, K,
prostalglandin dari sel yang rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin
dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Senyawa biokimiawi ini berfungsi sebagai
mediator yang menyebabkan perubahan potensial nosiseptor sehingga terjadi arus
elektrobiokimiawi sepanjang akson.

Proses Transmisi

Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer melewati kornu
dorsalis menuju korteks serebri. Saraf sensoris perifer yang melanjutkan rangsang ke terminal
di medula spinalis disebut neuron aferen primer. Jaringan saraf yang naik dari medula
spinalis ke batang otak dan talamus disebut neuron penerima kedua. Neuron yang
menghubungkan dari talamus ke korteks serebri disebut neuron penerima ketiga.

Proses Modulasi

Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan
otak). Prose s terjadinya interaksi antara si stem analgesik endogen yang dihasilkan oleh
tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan
proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin,
serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis.
Dimana kornu posterior sebag ai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls
nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat
subjektif pada setiap orang.

Proses Presepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi
yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari
sensorik.
Nosiseptor merupakan suatu kelas aferen primer yang terspesialisasi dimana memberikan
respon terhadap rangsangan yang intens dan berbahaya pada kulit, otot, sendi, viseral,
maupun pembuluh darah. Nosiseptor bersifat khas dimana mereka secara khusus berespon
terhadap berbagai bentuk energi yang menghasilkan cedera (rangsangan panas, mekanis, dan
kimiawi) serta memberikan informasi pada CNS berkaitan dengan lokasi maupun intensitas
rangsangan yang berbahaya. Pada jaringan normal, nosiseptor adalah tidak aktif hingga
mereka dirangsang oleh energi yang cukup untuk mencapai ambang rangsangan (istirahat).
Dengan demikian, nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak (fungsi penapisan) menuju
CNS dalam interpretasi nyeri.

Jenis nosiseptor spesifik bereaksi terhadap jenis rangsangan yang berbeda. Secara umum,
serabut serat-C aferen tanpa mielinisasi (kecepatan konduksi < 2 m per detik) memiliki

bidang reseptif sekitar 100 mm2 pada manusia dan sinyal nyeri terbakar dari rangsangan
panas intens yang diaplikasikan pada kulit maupun nyeri dari tekanan berkelanjutan.

Biasanya, bidang reseptif serat- C aferen sekitar 100 mm 2 pada manusia. Dua jenis serat-A
aferen nosiseptif termielinisasi (kecepatan konduksi > 2 m per detik) diketahui. Serat tipe-I
(termasuk Aβ dan beberapa Aδ) merupakan mekanoreseptor ambang-tinggi khusus dan
biasanya bersifat responsif terhadap rangsangan panas, mekanis, dan kimiawi serta kemudian
dirujuk sebagai nosiseptor polimodal. Serat tipe-II (serat Aδ dengan kecepatan konduksi lebih
rendah sekitar 15 m per detik) tidak memiliki respon yang nyata terhadap rangsangan
mekanis dan dipikirkan sebagai sinyal sensasi nyeri pertama dari rangsangan panas. Nyeri
baik dari rangsangan kimiawi dan dingin ditransduksikan oleh nosiseptor dimana sinyal nyeri
dikonduksikan menuju CNS melalui baik serat saraf termielinisasi maupun tidak
termielinisasi.

Nyeri Akut

Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Adapun yang menjadi
manfaatnya antara lain: manfaat berupa mekanisme proteksi , mekanisme defensif , dan
membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri tetaplah merupakan
derita belaka bagi siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh karena menimbulkan
perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ . Bila tidak teratasi dengan baik
nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik dari penderita. Aspek psikologis
meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian dan perilaku, gangguan tidur dan
gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek fisik, nyeri mempengaruhi peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas.

Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyero ini ditandai dengan adanya
aktivitas saraf otonom seperti : takikardi, hipertensi, hyperhidrosis, pucat dan midriasis dan
perubahan wajah: menyeringai atau menangis bentuk nyeri akut dapat berupa:
1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam dikulit, subkutis dan mukosa
2. Nyeri somatic dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan jaringan akut
3. Nyeri visceral : nyeri akibat disfungsi organ visceral.

Nyeri kronik

Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda-tanda aktivitas otonom kecuali


serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang tetap bertahan sesudah penyembuhan
luka (penyakit/operasi) atau awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3
bulan. Nyeri disebabkan oleh :

1. Kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf


2. Non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll

Nyeri akut-nyeri kronik

Nyeri akut mengacu pada periode waktu yang singkat, biasanya mencakup beberapa
hari hingga beberapa minggu setelah terjadinya cedera. Nyeri akut memberikan suatu
mekanisme perlindungan yang penting, dimana rangsangan ini memberitahu individu untuk
melindungi bagian tubuh yang cedera agar terhindar dari cedera yang berulang, sehingga
proses penyembuhan jaringan bisa terjadi. Pada umumnya, saat jaringan dalam masa
penyembuhan, sensitisasi akut pada area disekitar lokasi cedera secara bertahap akan mereda,
dan ambang batas sensorik akan kembali normal. Nyeri akut dan proses sensitisasi yang
biasanya timbul setelah terjadinya cedera umumnya tidak akan menetap setelah cedera
tersebut sembuh. Namun sebaliknya, nyeri kronis adalah rasa sakit yang persisten/terus-
menerus yang menetap setelah masa penyembuhan jaringan selesai dan akan terus berlanjut
hingga melampaui periode waktu penyembuhan yang seharusnya. Pada individu yang
mengalami nyeri kronis, reseptor nyeri terus-menerus menyala, bahkan disaat tidak ada
kerusakan jaringan. Mungkin memang tidak ada lagi cedera jaringan yang dapat dilihat
secara fisik, namun respon rasa sakitnya masih tetap ada. Sebenarnya, tidak ada batasan yang
jelas antara kapan nyeri akut itu berakhir dan kapan nyeri kronis akan dimulai. Terdapat dua
titik batas umum yang sering digunakan dalam praktek sehari-hari, yaitu 3 bulan dan 6 bulan
setelah pertama kali terjadi cedera, karena kemungkinan nyeri yang timbul akan menghilang
seiring dengan waktu dan kemungkinan nyeri kronis untuk mentetap akan terus meningkat.
Pada akhir-akhir ini, meskipun sudah ditemukan kemajuan dalam teknik manajemen nyeri
akut, nyeri kronis tetap saja muncul dalam jumlah yang signifikan bahkan setelah pasien
menjalani prosedur pembedahan yang paling umum.

Meskipun sensitisasi dari neuron nosiseptif perifer dan sentral diduga mendasari
proses peralihan dari nyeri akut ke nyeri kronis, bukti lainnya juga menunjukkan bahwa
respon psikologis masing-masing individu setelah terjadinya cedera serta modifikasi
epigenetik yang terjadi akibat adanya rangsangan noksius pada PNS dan SSP ternyata juga
terlibat didalam proses timbul dan menetapnya nyeri kronis. Studi terbaru menunjukkan
bahwa pasien-pasien nyeri pinggang subakut yang memiliki pengalaman afektif yang negatif
(depresi dan kemampuan adaptif yang buruk) akan memiliki konektivitas fungsional nukleus
akumben yang lebih besar dengan korteks prefrontalis, yaitu suatu area di otak yang
memproses emosi dan penghargaan (reward), dan individu-individu seperti inilah yang rentan
untuk menderita rasa nyeri yang persisten.

Nyeri Neuropatik : Nyeri neuropatik adalah nyeri yang menetap setelah cedera jaringan
telah sembuh dan ditandai dengan penurunan ambang batas sensorik dan nosiseptif (alodinia
dan hiperalgesia). Cedera saraf perifer akibat trauma, pembedahan, atau penyakit (contohnya
diabetes) sering kali menimbulkan komplikasi berupa nyeri neuropatik. Pasien kanker
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita nyeri neuropatik yang disebabkan oleh
radioterapi atau berbagai macam agen kemoterapi. Meskipun nyeri akut dan inflamasi
biasanya dianggap sebagai suatu mekanisme adaptif dari sistem nyeri untuk memberikan
peringatan dan perlindungan, nyeri neuropatik sebenarnya mencerminkan fungsi maladaptif
(patofisiologis) dari sistem nyeri yang telah rusak. Pada kebanyakan pasien, nyeri neuropatik
akan menetap sepanjang hidupnya dan akan memberikan dampak negatif pada kualitas hidup
dari segi fisik, emosional, dan juga sosial. Saat ini, keefektifan terapi nyeri neuropatik masih
bersifat terbatas, dimana hanya sebagai terapi simtomatik untuk nyeri neuropatik. Opioid,
gabapentin, amitriptilin, dan preparat kanabis telah dicoba dan keefektifan terapi ini terbukti
masih tebatas. Proses patofisiologis dari nyeri neuropatik memiliki ciri khas berupa respon
neuroinflamasi yang muncul setelah terjadinya aktivasi dari sistem kekebalan tubuh
nonspesifik (innate immune system). Toll-like receptor 2 dan 4 (TLR2 dan TLR4) yang
ditemukan pada mikroglia tampaknya memicu aktivasi glial, yang memulai jalur proinflamasi
dan transduksi sinyal yang akhirnya memicu produksi dari sitokin proinflamasi. Alodinia
yang sudah terjadi dapat dikembalikan dengan antagonis reseptor TLR4 yang diberikan
secara intratekal, yang mencegah aktivasi dari faktor transkripsi NF-ĸB (nuclear factor
kappa- light-chain-enhancer of activated B cells) dan mencegah overproduksi TNF-α (tumor
necrosis factor-alpha) di dalam medula spinalis setelah terjadinya cedera saraf skiatik. Central
cannabinoid receptor 2 (CB2) tampaknya memiliki peran protektif dan administrasi agonis
reseptor CB2 dapat menumpulkan respon neuroinflamasi dan dengan ini dapat mencegah
terjadinya neuropati perifer dengan menghalangi jalur-jalur sinyal tertentu.

Gambaran patologis umum dari kerusakan saraf meliputi terjadinya


mielinisasi/demielinisasi segmental yang abnormal serta aksonopati, dimulai dari terjadinya
defisit transpor metabolik dan aksoplasmik hingga terjadinya transeksi akson yang nyata
(aksotomi). Setelah cedera saraf terjadi, stump proksimal dari akson akan menutup dan
membentuk suatu pembengkakan terminal atau "end bulb", dan sejumlah prosesus halus
(tunas seperti "kecambah") akan mulai tumbuh dari end bulb dalam kurun waktu 1 atau 2
hari. Tunas yang mulai tumbuh ini biasanya memanjang didalam tabung endoneurial mereka
dan akan mengembalikan sensasi normal pada target perifer yang sesuai. Namun, saat
pertumbuhan akson terhambat, seperti yang terjadi pada amputasi anggota gerak
tubuh/ekstremitas, end bulb beserta tunasnya akan membentuk suatu massa kusut di ujung
saraf, yang disebut dengan suatu neuroma ujung saraf (nerve-end neuroma). Biasanya,
ektopik firing yang dihasilkan oleh end bulb dan tunasnya di dalam neuroma, dan oleh badan
sel pada DRG, secara signifikan berkontribusi terhadap hipersensitivitas nosiseptif dan
mekanosensitifitas ektopik yang timbul setelah terjadinya cedera saraf.

Nosiseptif : Nyeri nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsangan
pada nosiseptor. Nosiseptor ini merupakan suatu ujung saraf bebas yang berakhir pada kulit
untuk mendeteksi suatu nyeri kulit. Nosiseptor juga terdapat pada tendon dan sendi, untuk
mendeteksi nyeri somatik dan pada organ tubuh untuk mendeteksi nyeri visceral. Reseptor
nyeri ini sangat banyak pada kulit, sehingga suatu stimulus yang menyebabkan nyeri sangat
mudah dideteksi dan dilokalisasi tempat rangsangan tersebut terjadi pada kulit. Input noksius
ditransmisikan ke korda spinalis dari berbagai ujung saraf bebas pada kulit, otot, sendi, dura,
dan viscera.

Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri nosiseptif,
meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri tersebut
ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologinya, maka nyeri
nosiseptif dibagi atas 4 tahapan yaitu :
 Transduksi : Stimulus noksius yang kemudian ditransformasikan menjadi impuls
berupa suatu aktifitas elektrik pada ujung bebas saraf sensorik.
 Transmisi : Propagasi atau perambatan dari impuls tersebut pada sistem saraf
sensorik
 Modulasi : Proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan input nyeri
yang masuk di kornu posterior medula spinalis
 Persepsi: Adanya interaksi antara transduksi, transmisi, dan modulasi yang
kemudian membentuk suatu pengalaman emosional yang subjektif.

Inflamatorik : Nyeri dengan stimulasi kuat atau berkepanjangan yang menyebabkan


kerusakan atau lesi jaringan. Nyeri tipe II ini dapat terjadi akut dan kronik dan pasien dengan
tipe ini, paling banyak ke fasilitas kesehatan. Contoh : nyeri pada rheumatoid artritis.

Nyeri Visera

Walaupun nyeri somatik dapat dengan mudah dilokalisir dan ditandai oleh sensasi yang jelas,
namun nyeri viseral bersifat difus dan sulit dilokalisir, biasanya mengacu pada area-area
somatik (contohnya, otot dan kulit), dan biasanya diasosiasikan dengan reaksi emosional dan
otonom yang lebih kuat. Nyeri viseral sering dihasilkan oleh stimuli yang berbeda dari
stimuli untuk aktivasi nociceptors somatik. Karakteristik ini mungkin disebabkan oleh adanya
inervasi saraf ganda dan struktur yang unik dari ujung reseptif viseral.

Di antara semua jaringan di dalam tubuh, visera bersifat unik karena masing-masing organ
menerima persarafan dari dua jenis kelompok saraf, yaitu nervus vagal dan nervus spinalis
atau pelvic nerve dan nervus spinalis, dan inervasi aferen viseral juga lebih jarang
dibandingkan dengan inervasi somatik. Serabut aferen viseral di medula spinalis memiliki
badan sel yang terletak di dorsal root ganglia (DRG) dan berakhir di dalam kornu dorsalis
spinalis. Terminasi sentral dari aferen viseral di nervus spinalis terjadi pada lamina I, II, V,
dan X dan penyampaian informasi sensorik viseral adalah melalui traktus spinotalamikus
yang kontralateral atau kolumna dorsalis yang ipsilateral ke area otak di supraspinal. Neuron-
neuron spinalis ini juga menerima input konvergen dari struktur viseral dan struktur somatik
lainnya, sehingga memberikan dasar struktural untuk referred pain; sebagai contoh, nyeri
pada rahang kiri dan lengan kiri yang menyertai iskemia miokard biasanya dimediasi oleh
konvergensi dari area sensori viseral dan juga somatik. Struktur saraf lainnya yang
menyampaikan informasi nyeri dari organ-organ di rongga toraks dan abdomen adalah nervus
vagus, yang memiliki badan sel di ganglion nodusum dan terminal sentral didalam nukleus
traktus solitarius. Inervasi aferen vagus memainkan peran penting dalam munculnya reaksi
otonom dan emosional yang menonjol pada penyakit-penyakit viseral yang diasosiasikan
dengan rasa nyeri (Gambar 6-7). Mayoritas serabut aferen viseral adalah berupa serabut Aδ
yang bermielin tipis atau serabut C yang tidak termielinisasi dengan ujung-ujung saraf bebas
yang tidak terselubung (unencapsulated), dan sejumlah kecil serabut Aβ yang diasosiasikan
dengan badan Pacini di mesenterium. Mechanosensitive endings dengan diferensiasi terbaik
terdapat pada intraganglionic laminar endings (IGLEs) dan susunan intramuskular yang
terkait dengan serat-serat aferen vagal yang menginervasi gaster. Sebagian besar neuron
sensori viseral

ini mengandung substansia P dan/atau CGRP, dan mereka juga mengekspresikan reseptor
faktor pertumbuhan saraf yaitu TrkA. Biomarker-biomarker tesebut akan meningkat secara
signifikan dan nociceptor juga akan tesensitisasi saat peradangan viseral terjadi. Tidak seperti
stimuli noksius yang menginduksi nyeri somatik, banyak juga stimuli yang merusak (seperti
pemotongan, pembakaran, penjepitan) tidak akan menimbulkan rasa sakit saat dilakukan pada
struktur viseral. Aktivasi nociceptor viseral umumnya disebabkan oleh iskemia, peregangan
ligamen, spasme otot polos, atau distensi dari struktur-struktur berongga seperti kantong
empedu, duktus biliaris komunis, atau ureter. Rangsangan-rangsangan tersebut terjadi akibat
proses patologis viseral, dan rasa nyeri yang ditimbulkan dapat berfungsi sebagai mekanisme
untuk bertahan hidup dengan dilakukannya imobilitas.
Nyeri somatik

Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk, mudah dilokalisasi
dan rasa terbakar yang biasanya beras al dari kulit, jaringan subkutan, membran mukosa, otot
skeletal, tendon, tulang dan peritoneum . Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau
iritasi peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding parietal, yang
menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus spinalis. Pada bagian ini dinding
parietal menyerupai kulit dimana dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis. Adapun, insisi
pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri
sama sekali. Berbeda dengan nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung pada
daerah yang rusak . Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan lokalisasi dari
nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu yang sama. Sebagai contoh,
rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi melalui serat – serat nyeri pada sistem
saraf simpatis ke rantai simpatis lalu ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjal ar k e
daerah umbilikus dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan,
rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi apendiks menyentuh
dinding abdomen, rangsangan ini melewati nervus spinalis masuk ke spinal cord pada L1
sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi langsung p ada permukaan peritoneal yang teriritasi di
kuadran kanan bawah.
Nyeri Psikogenik : Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas
dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Nyeri Alih (Reffered Pain)

Seringkali seseorang meras akan nyeri dibagian tubuh yang letaknya juh dari jaringan
yang menyebabkan rasa nyeri. Rasa nyeri ini disebut nyeri alih. Nyeri dari suatu organ visera
yang kemudian dialihkan kesuatu daerah dipermukaan tubuh atau ditempat lainnya yang
tidak tepat dengan l okasi nyeri. Nyeri alih merupakan sensari nyeri atau rasa nyeri somatik
dalam atau rasa nyeri viseral yang terasa didaerah somatik superfisial. Seringkali seseorang
merasakan nyeri dibagian tubuh yang letaknya cukup jauh dari jaringan yang menyebabkan
rasa nyeri. Saat ini penjelasan yang paling luas diterima tenta ng nyeri alih adalah teori
konvergensi - proyeksi. Menurut teori ini, dua tipe aferen yang masuk ke segmen spinal (satu
dari kulit dan satu dari otot dalam atau visera) berkonvergensi ke sel - sel proyeksi sensorik
yang sama (misalnya sel proyeksi spinotalamik us). Karena tidak ada cara untuk mengenai
sumber asupan sebenarnya, otak secara salah memproyeksikan sensasi nyeri ke daerah
somatik (dermatom). Sebagai contoh, iskemia/infark miokardium menyebabkan pasien
merasa nyeri hebat di bagian tengah sternum yang sering menyebar ke sisi medial lengan kiri,
pangkal leher, bahkan rahang. Nyeri diperkirakan disebabkan oleh penimbunan metabolit dan
defisiensi oksigen, yang merangsang ujung - ujung saraf sensorik di miokardium. Serat - serat
saraf aferen naik ke SSP melalui cabang - cabang kardiak trunkus simpatikus dan masuk ke
medulla spinalis melalui akar dorsalis lima saraf torakalis paling atas (T1 - T5). Nyeri jantung
tidak dirasakan di jantung tetapi beralih ke bagian kulit (dermatom) yang dipersarafi oleh
saraf spinalis ( somatik) yang sesuai, karena itu, daerah kulit yang dipersarafi oleh lima saraf
interkostalis teratas dan oleh saraf brachialis interkostal (T2) akan terkena. Di dalam SSP
tentunya terjadi sejumlah penyebaran impuls nyeri karena nyeri kadang - kadang terasa di
leher dan rahang.

Ada 2 jalur nyeri di Sistem Saraf Pusat, yaitu :

a. Jalur Ascendens

Serat saraf C dan A - δ aferen yang menyalurkan implus nyeri masuk ke medula spinalis di
akar saraf dorsal. Serat - serat memisah sewaktu masuk ke korda dan kemudian kembali
menyatu di kornu dorsalis posterior pada medula spinalis. Daerah ini menerima, menyal
urkan, dan memproses implus sensorik. Kornu dorsalis medula spinalis dibagi menjadi

lapisan - lapisan sel yang disebut lamina . Dua dari lapisan ini, yang disebut substansia

gelatinosa, sangat penting dalam transmisi dan modulasi nyeri. Dari kornu dorsalis, implus
nyeri dikirim ke neuron - neuron yang menyalurkan informasi ke sisi berlawanan medula
spinalis di komisura anterior dan kemudian menyatu di traktus lateralis, yang naik ke talamus
dan struktur

otak lainnya. Dengan demikian, transmisi implus nyeri di m edula spinalis bersifat
kontrlateral terhadap sisi tubuh tempat implus tersebut berasal.

Traktus neospinotalamikus adalah suatu sistem langsung yang membawa informasi


diskriminatif sensorik mengenai nyeri cepat atau akut dari nosiseptor A - δ ke daerah talam
us. Sistem ini barakhir di dalam nukleus posterolateral ventralis hipotalamus. Nyeri disebut
juga sensasi talamus mungkin karena dibawa kesadaran oleh talamus. Sebuah neuron di
talamus kemudian memproyeksikan akso - aksonnya melalui bagian posterior kapsula interna
untuk membawa implus nyeri ke korteks somatosensorik primer dan girus pascacentralis.
Dipostulasikan bahwa pola tersusun ini penting bagi aspek sensorik - diskriminatif nyeri akut
yang dirasakan yaitu, lokasi, sifat, dan intensitas nyeri.

Traktur paleospinotalamikus adalah suatu jalur multisinaps difus yang membawa implus ke
farmasio retikularis batang otak sebelum berakhir di nukleus parafasikularis dan nukleus
intralaminar lain di talamus, hipotalamus, nukleus sistem limbik, dan korteks otak depan.
Karena implus disalurkan lebih lambat dari implus di traktus neospinotalamikus, maka nyeri
yang ditimbulkannya berkaitan dengan rasa panas, pegal, dan sensasi yang lokalisasinya
samar. Besar kemungkinannya sensasi viseral disalurkan oleh sistem ini. Siste m ini sangat
penting pada nyeri kronik, dan memperantarai respons otonom terkait, perilaku emosional,
dan penurunan ambang sering terjadi. Dengan demikian, jalur paleospinotalamikus disebut
sebagai suatu sistem nosiseptor motivasional.

b. Jalur Descendens

Salah satu jalur descendens yang telah diidentifikasi sebagai jalur penting dalam sistem
modulasi nyeri adalah jalur yang mencakup tiga komponnen berikut

1. Substans grisea periakuaduktus (PAG) dan substansia grisea periventrikel (PVG)


mesensefalon dan pons b agian atas yang mengelilingi akuaduktus Sylvius.

2. Neuron - neuron dari daerah satu mengirim implus ke nukleus rafe magnus (NRM) yang
terletak dipons dibagian atas dan nukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di medula
lateralis.

3. Implus di transmisikan d ari nukleus di ke kompleks inhibitorik nyeri yang terletak di


kornu dorsalis medula spinalis.

Nyeri alih pada kasus apendisitis akut

Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan


dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam,
tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah
menyebabkan mual dan mu ntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul
lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain. Appendiks yang obstruksi
merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan
peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limfe, terjadi oedem yang lebih
hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada
iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding
appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator
inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks
berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri
akan dirasakan l okal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang
timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada
appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi
tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi.
Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang. Appendiks
pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada
appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis umum.
Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien
berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan suhu
melebihi 38.6C, leukositosis > 14.000, dan gejala periton itis pada pemeriksaan fisik. Pasien
dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam
tanpa perforasi.

Sumber pustaka

1. Asdie, Ahmad H. 1999. Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta:


EGC
2. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa, Nike
Budhi Subekti; Editor edisi bahasa indonesia, Egi Komara Yudha. Ed. 3.
Jakarta : EGC.

3. Anand KJ, Craig KD. New perspectives on the definition of pain. Pain. 1996;67;3-
6;discussion 209-211
4. Basbaum Al, Bautista DM, Scherrer G, et al. Cellular and molecular mechanisms
of pain. Cell. 2009;139:267-284
5. https://med.unhas.ac.id/kedokteran/en/wpcontent/uploads/2016/10/APPEDISITIS-
AKUT.pdf diakses pada 16 oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai