Anda di halaman 1dari 19

Kebutuhan Rasa Nyaman

Definisi

Kolcaba (1992, dalam Potter & Perry, 2006) megungkapkan kenyamanan/rasa nyaman

adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan

ketentraman (suatu kepuasan yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan

(kebutuhan telah terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah

dan nyeri). Kenyamanan mesti dipandang secara holistik yang mencakup empat aspek yaitu:

a. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.

b. Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial.

c. Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri yang meliputi

harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan).

d. Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal manusia seperti

cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah lainnya.

Meningkatkan kebutuhan rasa nyaman diartikan perawat telah memberikan kekuatan,

harapan, hiburan, dukungan, dorongan, dan bantuan. Secara umum dalam aplikasinya

pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan rasa nyaman bebas dari rasa nyeri, dan

hipo/hipertermia. Hal ini disebabkan karena kondisi nyeri dan hipo/hipertermia merupakan

kondisi yang mempengaruhi perasaan tidak nyaman pasien yang ditunjukan dengan timbulnya

gejala dan tanda pada pasien.

Gangguan Rasa Nyaman akibat Nyeri

a. Pengertian Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari

kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Smatzler & Bare, 2002). Nyeri adalah suatu

sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan

kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian

dimana terjadi kerusakan IASP (dalam Potter & Perry, 2006). Nyeri adalah segala sesuatu
yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang

mengatakan bahwa ia merasa nyeri (Mc Caffery dalam Potter & Perry, 2006).

b. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah

nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang

cepat, dengan intensitas yang bervariasi ( ringan sampai berat) dan berlangsung singkat (

kurang dari enam bulan dan menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih

pada area yang rusak. Nyeri kronisadalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

sepanjang suatu periode waktu. Nyeri yangdisebabkan oleh adanya kausa keganasan seperti

kanker yang tidak terkontrol atau non keganasan. Nyeri kronik berlangsung lama (lebih dari

enam bulan ) dan akan berlanjut walaupun pasien diberi pengobatan atau penyakit tampak

sembuh. Karakteristik nyeri kronis adalah area nyeri tidak mudah diidentifikasi, intensitas nyeri

sukar untuk diturunkan, rasa nyeri biasanya meningkat, sifat nyeri kurang jelas, dan

kemungkinan kecil untuk sembuh atau hilang. Nyeri kronis non maligna biasanya dikaitkan

dengan nyeri akibat kerusakan jaringan yang non progresif atau telah mengalami

penyembuhan.

c. Fisiologi Nyeri

Menurut Potter & Perry (2006), terdapat tiga komponen fisiologis dalam nyeri yaitu

resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut

saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa
rute saraf dan akhirnya sampai di dalam masa berwarna abu-abu di medula spinalis. Terdapat

pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga

tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral, maka otak

menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan

pengetahuan yang dimiliki serta asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersiapkan nyeri.

a. Resepsi

Pemaparan terhadap panas atau dingin, tekanan, friksi dan zat-zat kimia menyebabkan

pelepasan substansi, seperti histamin, bradikinin dan kalium, yang bergabung dengan lokasi

reseptor di nosiseptor (reseptor yang berespon terhadap stimulus yang membahayakan) untuk

memulai transmisi neural, yang dikaitkan dengan nyeri. Beberapa reseptor hanya berespon

pada satu jenis nyeri, sedangkan reseptor yang lain juga sensitif terhadap temperatur dan

tekanan. Apabila kombinasi dengan reseptor nyeri mencapai ambang nyeri (tingkat intensitas

stimulus minimum yang dibutuhkan untuk membangkitkan suatu impuls saraf), kemudian

terjadilah aktivasi neuron nyeri. Karena terdapat variasi dalam bentuk dan ukuran tubuh, maka

distribusi reseptor nyeri disetiap bagian tubuh bervariasi.

Impuls saraf, yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar disepanjang serabut saraf

perifer aferen. Dua tipe serabut saraf perifer mengkonduksi stimulus nyeri: Serabut A-Delta

yang bermielinasi dengan cepat dan serabut C yang tidak bermielinasi dan berukuran sangat

kecil serta lambat. Serabut A mengirim sensasi tajam, terlokalisasi, dan jelas yang melokalisasi
sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menghantarkan impuls yang

terlokalisasi buruk, viseral, dan terus menerus.

Ketika serabut C dan A-delta mentransmisikan impuls dari serabut saraf perifer, maka

akan melepaskan mediator biokimia yang mengaktifkan dan membuat peka respons nyeri.

Misalnya, kalium, prostaglandin dilepaskan ketika sel-sel lokal mengalami kerusakan. Transmisi

stimulus nyeri berlanjut sampai transmisi tersebut berakhir dibagian kornu dorsalis medula

spinalis. Di dalam kornu dorsalis, neurotransmiter, seperti substansi P dilepaskan, sehingga

menyebabkan suatu transmisi spinalis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus. Hal ini

memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke dalam sisitem saraf pusat.

b. Neuroregulator

Neuroregulator memegang peranan yang penting dalam suatu pengalaman nyeri. Sustansi

ini ditemukan di lokasi nosiseptor. Neuroregulator dibagi menjadi dua kelompok, yakni

neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter seperti substansi P mengirim impuls

listrik melewati celah sinap diantara dua serabut saraf (eksitator dan inhibitor). Neuromodulator

memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau memvariasikan transmisi stimulus nyeri

tanpa secara langsung menstransfer tanda saraf melalui sebuah sinap. Endorfin merupakan

salah satu contoh neuromodulator.

d. Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Kontrol)

Teori Gate Kontrol dari Melzack dan Wall (1965), mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat

diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat.
Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa substansia di dalam kornu

dorsalis pada medula spinalis, talamus, dan sistem limbik. Suatu keseimbangan aktivitas dari

neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron

delta-A dan C melepaskan substansi P untuk menstransmisikan impuls melalui mekanisme

petahanan. Neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter

penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup

mekanisme pertahanan. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan

serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien akan mempersepsikan nyeri.

Saat impuls diantarkan keotak, terdapat pusat korteks yang lebih tinggi di otak yang

memodifikasi persepsi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin

dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromodulator ini menutup

mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.

e. Respon Terhadap Nyeri

1) Respon fisiologis

Pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang otak dan talamus,

sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stres. Nyeri dengan

intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi “flight-atau-

fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem

saraf otonom menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus secara

tipikal akan melibatkan organ-organ viseral, sistem saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi.
Respon fisiologis terhadap nyeri sangat membahayakan individu. Kecuali pada kasus-kasus

nyeri berat yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu mencapai tingkat

adaptasi, yaitu tanda-tanda fisik kembali normal. Dengan demikian klien yang mengalami nyeri

tidak akan selalu memperlihatkan tanda-tanda fisik.

2) Respon Perilaku

Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi

wajah yang mengindikasikan nyeri dapat ditunjukkan oleh pasien sebagai respon perilaku

terhadap nyeri. Respon tersebut seperti mengkerutkan dahi, gelisah, memalingkan wajah ketika

diajak bicara.

Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri

1) Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak

dan lansia. Anak kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan

perawat yang menyebabkan nyeri. Anak-anak juga mengalami kesulitan secara verbal dalam

mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri. Sedangkan pasien yang berusia lanjut, memiliki

resiko tinggi mengalami situasi yang membuat mereka merasakan nyeri akibat adanya

komplikasi penyakit dan degeneratif.

2) Jenis kelamin

Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya menganggap bahwa

seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan
boleh menangis dalam situasi yang sama. Namun secara umum, pria dan wanita tidak berbeda

secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri.

3) Kebudayaan

Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang alamiah.

Kebudayaan lain cenderung untuk melatih perilaku yang tertutup (introvert). Sosialisasi budaya

menentukan perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian hal ini dapat mempengaruhi

pengeluaran fisiologis opial endogen sehingga terjadilah persepsi nyeri.

4) Makna nyeri

Individu akan mempersepsikan nyeri berbeda-beda apabila nyeri tersebut memberi kesan

ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Makna nyeri mempengaruhi pengalaman

nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.

5) Perhatian

Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi

persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat

sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.

6) Ansietas

Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga dapat menimbulkan

suatu perasaan ansietas. Apabila rasa cemas tidak mendapat perhatian dapat menimbulkan

suatu masalah penatalaksanaan nyeri yang serius.

7) Keletihan
Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan

kemampuan koping sehingga meningkatkan persepsi nyeri.

8) Pengalaman sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya namun tidak selalu berarti

bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah di masa datang.

9) Gaya koping

Individu yang memiiiki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai

individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa seperti

nyeri. Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal mempersepsikan faktor lain di

dalam lingkungan mereka seperti perawat sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap

hasil akhir suatu peristiwa.

10) Dukungan keluarga dan sosial

Kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka terhadap pasien

mempengaruhi respon nyeri. Pasien dengan nyeri memerlukan dukungan, bantuan dan

perlindungan walaupun nyeri tetap dirasakan namun kehadiran orang yang dicintai akan

meminimalkan kesepian dan ketakutan.

Efek Yang Ditimbulkan Oleh Nyeri

1) Tanda dan gejala fisik

Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang berupaya untuk tidak mengeluh

atau mengakui ketidaknyamanan. Sangat penting untuk mengkaji tanda-tanda vital dan
pemeriksaan fisik termasuk mengobservasi keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri akut,

denyut jantung, tekanan darah, dan ftekuensi pernapasan meningkat.

2) Efek perilaku

Pasien yang mengalami nyeri menunjukkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang khas

dan berespon secara vokal serta mengalami kerusakan dalam interaksi sosial. Pasien seringkali

meringis, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah,imobilisasi, mengalami ketegangan otot,

melakukan gerakan melindungi bagian tubuh sampai dengan menghinndari percakapan,

menghindari kontak sosial dan hanya fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.

3) Pengaruh Pada Aktivitas Sehari – hari

Pasien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu berpartisipasi dalam aktivitas

rutin, seperti mengalami kesulitan dalam melakukan tindakan higiene normal dan dapat

menganggu aktivitas sosial dan hubungan seksual.

Penanganan Nyeri

1) Farmakologi

a) Analgesik Narkotik

Analgesik narkotik terdiri dari berbagai derivate opium seperti morfin dan kodein. Narkotik

dapat memberikan efek penurunan nyeri dan kegembiraan karena obat ini mengadakan ikatan

dengan reseptor opiat dan mengaktifkan penekan nyeri endogen pada susunan saraf pusat

(Tamsuri, 2007). Namun, penggunaan obat ini menimbulkan efek menekan pusat pernafasan di
medulla batang otak sehingga perlu pengkajian secara teratur terhadap perubahan dalam

status pernafasan jika menggunakan analgesik jenis ini (Smeltzer & Bare, 2001).

b) Analgesik Non Narkotik

Analgesik non narkotik seperti aspirin, asetaminofen, dan ibuprofen selain memiliki efek

anti nyeri juga memiliki efek anti inflamasi dan anti piretik. Obat golongan ini menyebabkan

penurunan nyeri dengan menghambat produksi prostalglandin dari jaringan yang mengalami

trauma atau inflamasi (Smeltzer & Bare, 2001). Efek samping yang paling umum terjadi adalah

gangguan pencernaan seperti adanya ulkus gaster dan perdarahan gaster.

c. Non Farmakologi

a) Relaksasi progresif

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan stres. Teknik relaksasi

memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stres fisik, dan

emosi pada nyeri (Potter & Perry, 2006).

b) Stimulasi Kutaneus Plasebo

Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh

klien sebagai obat seperti kapsul, cairan injeksi, dan sebagainya. Placebo umumnya terdiri dari

larutan gula, larutan salin normal, atau air biasa (Tamsuri, 2007).

c) Teknik Distraksi
Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan

perhatian pasien pada hal-hal yang lain sehingga pasien akan lupa terhadap nyeri yang dialami

( Priharjo, 1996 ).

i. Pengukuran Nyeri

a. Skala Deskriptif

Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang

terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang sama di

sepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak

tertahankan”.

b. Skala penilaian numerik

Numerical Rating Scale (NRS) menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala ini

sangat efektif untuk digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi

terapeutik.

c. Skala Analog Visual

Visual Analog Scale (VAS) merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri

yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini

memberikan kebebasan penuh pada pasien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri.


Gambar 1
Skala pengukuran Nyeri (Tamsuri, 2007)
Skala Nyeri Deskriptif/Verbal Descriptor Scale (VDS)
Tidak Ada Nyeri

Nyeri Sedang

Nyeri Sangat Hebat

Nyeri Paling Hebat

Nyeri Hebat

Nyeri Ringan

Skala Nyeri Analog/Visual Analog Scale(VAS)


Tidak Ada Nyeri

Nyeri Paling Hebat

Skala Nyeri Numerik/Numerical Rating Scale(NRS)


10
3

6
4

Untuk mengukur skala nyeri pada pasien pra operasi apendisitis, peneliti menggunakan

skala nyeri numerik. Karena skala nyeri numerik paling efektif digunakan saat mengkaji

intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan teknik relaksasi progresif. Selain itu selisih

antara penurunan dan peningkatan nyeri lebih mudah diketahui dibanding skala yang lain.

3. Pengkajian Rasa Nyaman

Data perawatan yang dikaji dan mesti didapatkan pada pasien mencakup:

a. Alasan MRS, yaitu keluhan utama pasien saat MRS dan saat dikaji. Pasien mengeluh nyeri,

dilanjutkan dengan riwayat kesehatan sekarang, dan kesehatan sebelum

b. Kebutuhan Rasa Nyaman (Nyeri)

Data didapatkan dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Anamnesa untuk mengkaji

karakteristik nyeri yang diungkapkan oleh pasien dengan pendekatan PQRS (provokatif/paliatif,

quality, radiation, severity). Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendapatkan perubahan klinis

yang diakibatkan oleh nyeri yang dirasakan oleh pasien.

Data yang didapatkan mencerminkan respons pasien terhadap nyeri yang meliputi respon

fisiologis, respon perilaku, dan respon psikologis.

1) Respons Fisiologis

Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang berupaya untuk tidak

mengeluh atau mengakui ketidaknyamanan. Sangat penting untuk mengkaji tanda-tanda vital
dan pemeriksaan fisik termasuk mengobservasi keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri

akut, denyut jantung, tekanan darah, dan ftekuensi pernapasan meningkat.

2) Respons Perilaku

Pasien seringkali meringis, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah,imobilisasi,

mengalami ketegangan otot, melakukan gerakan melindungi bagian tubuh sampai dengan

menghinndari percakapan, menghindari kontak sosial dan hanya fokus pada aktivitas

menghilangkan nyeri.

3) Respons Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang

terjadi atau arti nyeri bagi klien.Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain : Bahaya

atau merusak, Komplikasi seperti infeksi, Penyakit yang berulang, Penyakit baru, Penyakit yang

fatal,Peningkatan ketidakmampuan, dan Kehilangan mobilitas.

4. Masalah Keperawatan

a. Nyeri akut/kronis

b. Kecemasan

c. Ketakutan

d. Kelemahan

e. Perubahan Penampilan Peran.

f. Perubahan Pola Sexualitas.

g. Kerusakan Mobilitas Fisik.

h. Intoleran aktivitas.

i. Gangguan Pola Tidur,

j. Kurang Perawatan Diri (total atau sebagian).

k. Perubahan Pemeliharaan Kesehatan.

( Mohon dirumuskan diagnosa keperawatan berdasarkan masalah keperawatan diatas).

5. Perencanaan
Tujuan dari rencana tindakan untuk mengatasi nyeri antara lain :

a. Meningkatkan perasaan nyaman dan aman individu.

b. Meningkatkan kemampuan individu untuk dapat melakukan aktifitas fisik yang diperlukan

untuk penyembuhan (misal; batuk dan nafas dalam, ambulasi).

c. Mencegah timbulnya gangguan tidur

Secara umum rencana tindakan yang dapat diberikan adalah delegatif farmakologi sesuai

program dokter, dan non farmakologi. Tindakan non farmakologi yang secara mandiri bisa

dilakukan oleh perawat adalah Distraksi, Relaksasi, Stimulasi Kutaneus.

a. Distraksi

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai sedang.

Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik),

distraksi sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main

catur). Distraksi mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri,

dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang

bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya (Arntz dkk., 1991; Devine dkk., 1990).

Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem control

desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.

Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan

input sensori selain nyeri.

b. Relaksasi

Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan

ketegangan otot yang menunjang nyeri. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa relaksasi

efektif dalam meredakan nyeri punggung (Tunner dan Jensen, 1993; Altmaier dkk. 1992).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri pasca

operasi (Lorenti, 1991; Miller & Perry, 1990).

Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat,

berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan
nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat

bersama setiap inhalasi (” hirup, dua, tiga ”) dan ekhalasi ( hembuskan, dua, tiga ). Pada saat

perawat mengajarkan teknik ini, akan sangat membantu bila menghitung dengan keras

bersama pasienpada awalnya. Napas yang lambat, berirama juga dapat digunakan sebagai

teknik distraksi. Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan

ketegagan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri.

c. Stimulasi kutaneus

Terori gate control nyeri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bertujuan

menstimulasi serabut-serabut yamg menstransmisikan sensasi tidak nyeri memblok atau

menurunkan transmisi, impuls nyeri. Beberapa strategi penghilang nyeri nonfarmakologis,

termasuk menggosok kulit dan menggunakan panas dan dingin, adalah berdasarkan

mekanisme ini.

Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada

punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang sama seperti

reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem control desenden.

Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.

6. Evaluasi

Evaluasi dapat dibedakan atas evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses dievaluasi

setiap selesai melakukan perasat dan evaluasi hasil berdasarkan rumusan tujuan terutama

kriteria hasil. Hasil evaluasi memberikan acauan tentang perencanaan lanjutan terhadap

masalah nyeri yang dialami oleh pasien.


C. Gangguan Rasa Aman

1. Definisi Rasa Aman

Keamanan adalah kondisi bebas dari cedera fisik dan psikologis (Potter & Perry, 2006).

Keselamatan adalah suatu keadaan seseorang atau lebih yang terhindar dari ancaman

bahaya/kecelakaan. Pemenuhan kebutuhan keamanan dan keselamatan dilakukan untuk

menjaga tubuh bebas dari kecelakaan baik pada pasien, perawat, atau petugas lainnya yang

bekerja untuk pemenuhan kebutuhan tersebut.


2. Faktor –faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan dan keselamatan.

a. Usia

b. Tingkat kesadaran

c. Emosi

d. Status mobilisasi

e. Gangguan persepsi sensori

f. Informasi/komunikasi

g. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional

h. Keadaan imunitas.

i. Status nutrisi

j. Tingkat pengetahuan

3. Macam-macam kecelakaan yang dapat terjadi. (mohon dikaji yang ada di rumah, di

komunitas, dan di rumah sakit).

4. Pengkajian Keperawatan

Kaji faktor -faktor yang berhubungan dengan sistem sensori komunikasi (halusinasi, gangguan

proses pikir, kelesuan, ilusi, kurang konsentrasi, kurang koordinasi dan keseimbangan). Kaji

juga faktor risiko yang berhubungan dengan keadaan klien (kesadaran menurun, kelemahan

fisik, imobilisasi, penggunaan alat bantu).

5. Diagnosa keperawatan

a. Risiko injuri

Suatu kondisi pasien berisiko mengalami injuri akibat hubungan dengan kondisi lingkungan,

adaptasi, dan sumber-sumber yang mengancam. Faktor yang berhubungan seperti kurang

informasi tentang keamanan, kelemahan, gangguan kesadaran, kurangnya koordinasi otot,

epilepsi, vertigo.

b. Perubahan proteksi
Suatu kondisi pasien mengalami penurunan kemampuan untuk melindungi dirinya dari penyakit,

baik dari luar maupun dari dalam. Faktor yang berhubungan seperti: defisi imunologi, malnutrisi,

efek pengobatan

c. Risti infeksi

Kondisi mempunyai risiko yang tinggi terhadap masuknya kuman patogen dalam tubuh. Faktor

yang berhubungan seperti: tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan jaringan, prosedur

invasif, malnutrisi, penyakit kronis.

6. Perencanaan keperawatan

a. Observasi keadaan pasien secara rutin.

b. Observasi vital sign

c. Dampingi pasien dalam mobilisasi

d. Berikan KIE tentang faktor keamanan yang mengancam

e. Delegatif/Kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya.

(Mohon identifikasi tindakan keperawatan lainnya yang dapat dilakukan untuk masalah tersebut

diatas).

Daftar Pustaka
Hidayat, AAA., Musifatul Uliyah. 2004. Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia, Jakarta:
EGC.
Potter, Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 4,
Jakarta: EGC.
Tarwoto, Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan, Jakarta: Salemba
Medika.
Smeltzer, S.C., Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & suddarth,
Edisi 8, Jakarta: EGC
semaraputraadjoezt.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai