ASUHAN KEPERAWATAN
PEMENUHAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN DAN AMAN PASIEN
A. Pendahuluan
Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia
dalam mempertahankan keseimbangan fisiologi maupun psikologis. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi kebutuhan dasar manusia antara lain: 1). Penyakit yaitu keadaan sakit
maka beberapa fungsi organ tubuh memerlukan pemenuhan kebutuhan lebih besar dari
biasanya.2). Hubungan keluarga; Hubungan keluarga yang baik dapat meningkatkan
pemenuhan kebutuhan dasar karena adanya saling percaya. 3). Konsep diri, terutama konsep
diri yang positif memberikan makna dan keutuhan bagi seseorang. Konsep diri yang sehat
memberikan perasaan yang positif terhadap diri. Orang yang merasa positif tentang dirinya
akan mudah berubah, mudah mengenali kebutuhan dan mengembangkan cara hidup yang
sehat sehingga lebih mudah memenuhi kebutuhan dasarnya. 4). Tahap Perkembangan;
Setiap tahap perkembangan, manusia mempunyai kebutuhan yang berbeda, baik kebutuhan
biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual.
Ada beberapa ahli yang menyebutkan tentang kebutuhan dasar diantaranya menuru A.
Maslow dan Virginia Henderson. Menurut Maslow kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki
tingkatan atau hirarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang
paling tinggi (aktualisasi diri). Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow
menyatakan bahwa manusia memiliki 5 macam kebutuhan yaitu physiological needs
(kebutuhan fisiologis), safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and
belonging needs (kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs
(kebutuhan akan harga diri), dan self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri).
Virginia Henderson mengungkapkan bahwa kesehatan berkaitan demgan kemampuan pasien
untuk memenuhi 14 komponen kebutuhan dasar hidup untuk memandirikan pasien. Adapun
14 komponen kebutuhan dasar hidup tersebut meliputi :
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Smatzler & Bare, 2002). Nyeri adalah suatu
sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian
dimana terjadi kerusakan IASP (dalam Potter & Perry, 2006). Nyeri adalah segala sesuatu
yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan
bahwa ia merasa nyeri (Mc Caffery dalam Potter & Perry, 2006).
Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah
nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan
yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi ( ringan sampai berat) dan berlangsung singkat
( kurang dari enam bulan dan menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan
pulih pada area yang rusak. Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri yang disebabkan oleh adanya kausa keganasan seperti
kanker yang tidak terkontrol atau non keganasan. Nyeri kronik berlangsung lama (lebih dari
enam bulan ) dan akan berlanjut walaupun pasien diberi pengobatan atau penyakit tampak
sembuh. Karakteristik nyeri kronis adalah area nyeri tidak mudah diidentifikasi, intensitas
nyeri sukar untuk diturunkan, rasa nyeri biasanya meningkat, sifat nyeri kurang jelas, dan
kemungkinan kecil untuk sembuh atau hilang. Nyeri kronis non maligna biasanya dikaitkan
dengan nyeri akibat kerusakan jaringan yang non progresif atau telah mengalami
penyembuhan.
Menurut Potter & Perry (2006), terdapat tiga komponen fisiologis dalam nyeri yaitu
resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut
saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa
rute saraf dan akhirnya sampai di dalam masa berwarna abu-abu di medula spinalis. Terdapat
pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri
sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral, maka otak
pengetahuan yang dimiliki serta asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersiapkan nyeri.
a. Resepsi
Pemaparan terhadap panas atau dingin, tekanan, friksi dan zat-zat kimia menyebabkan
pelepasan substansi, seperti histamin, bradikinin dan kalium, yang bergabung dengan lokasi
reseptor di nosiseptor (reseptor yang berespon terhadap stimulus yang membahayakan) untuk
memulai transmisi neural, yang dikaitkan dengan nyeri. Beberapa reseptor hanya berespon
pada satu jenis nyeri, sedangkan reseptor yang lain juga sensitif terhadap temperatur dan
tekanan. Apabila kombinasi dengan reseptor nyeri mencapai ambang nyeri (tingkat intensitas
stimulus minimum yang dibutuhkan untuk membangkitkan suatu impuls saraf), kemudian
terjadilah aktivasi neuron nyeri. Karena terdapat variasi dalam bentuk dan ukuran tubuh,
Impuls saraf, yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar disepanjang serabut saraf
perifer aferen. Dua tipe serabut saraf perifer mengkonduksi stimulus nyeri: Serabut A-Delta
yang bermielinasi dengan cepat dan serabut C yang tidak bermielinasi dan berukuran sangat
kecil serta lambat. Serabut A mengirim sensasi tajam, terlokalisasi, dan jelas yang
melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menghantarkan impuls
Ketika serabut C dan A-delta mentransmisikan impuls dari serabut saraf perifer, maka
akan melepaskan mediator biokimia yang mengaktifkan dan membuat peka respons nyeri.
Transmisi stimulus nyeri berlanjut sampai transmisi tersebut berakhir dibagian kornu dorsalis
sehingga menyebabkan suatu transmisi spinalis dari saraf perifer ke saraf traktus
spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke dalam sisitem
saraf pusat.
b. Neuroregulator
Sustansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor. Neuroregulator dibagi menjadi dua kelompok,
impuls listrik melewati celah sinap diantara dua serabut saraf (eksitator dan inhibitor).
transmisi stimulus nyeri tanpa secara langsung menstransfer tanda saraf melalui sebuah sinap.
Teori Gate Kontrol dari Melzack dan Wall (1965), mengusulkan bahwa impuls nyeri
dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf
pusat. Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa substansia di dalam kornu
dorsalis pada medula spinalis, talamus, dan sistem limbik. Suatu keseimbangan aktivitas dari
neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron
neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A,
maka akan menutup mekanisme pertahanan. Apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien akan
mempersepsikan nyeri.
Saat impuls diantarkan keotak, terdapat pusat korteks yang lebih tinggi di otak yang
memodifikasi persepsi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin
dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromodulator ini
Pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang otak dan talamus,
sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stres. Nyeri dengan
intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi “flight-atau-
fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem
secara tipikal akan melibatkan organ-organ viseral, sistem saraf parasimpatis menghasilkan
suatu aksi. Respon fisiologis terhadap nyeri sangat membahayakan individu. Kecuali pada
kasus-kasus nyeri berat yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu
mencapai tingkat adaptasi, yaitu tanda-tanda fisik kembali normal. Dengan demikian klien
Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi
wajah yang mengindikasikan nyeri dapat ditunjukkan oleh pasien sebagai respon perilaku
terhadap nyeri. Respon tersebut seperti mengkerutkan dahi, gelisah, memalingkan wajah
1) Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak
dan lansia. Anak kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan
perawat yang menyebabkan nyeri. Anak-anak juga mengalami kesulitan secara verbal dalam
mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri. Sedangkan pasien yang berusia lanjut, memiliki
resiko tinggi mengalami situasi yang membuat mereka merasakan nyeri akibat adanya
seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan
boleh menangis dalam situasi yang sama. Namun secara umum, pria dan wanita tidak
3) Kebudayaan
Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang alamiah.
Kebudayaan lain cenderung untuk melatih perilaku yang tertutup (introvert). Sosialisasi
budaya menentukan perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian hal ini dapat
kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Makna nyeri mempengaruhi
persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat
sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
6) Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga dapat menimbulkan
suatu perasaan ansietas. Apabila rasa cemas tidak mendapat perhatian dapat menimbulkan
7) Keletihan
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya namun tidak selalu berarti
bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah di masa datang.
Individu yang memiiiki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai
individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa seperti
nyeri. Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal mempersepsikan faktor
lain di dalam lingkungan mereka seperti perawat sebagai individu yang bertanggung jawab
Kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka terhadap pasien
mempengaruhi respon nyeri. Pasien dengan nyeri memerlukan dukungan, bantuan dan
perlindungan walaupun nyeri tetap dirasakan namun kehadiran orang yang dicintai akan
Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang berupaya untuk tidak
mengeluh atau mengakui ketidaknyamanan. Sangat penting untuk mengkaji tanda-tanda vital
dan pemeriksaan fisik termasuk mengobservasi keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri
Pasien yang mengalami nyeri menunjukkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang
khas dan berespon secara vokal serta mengalami kerusakan dalam interaksi sosial. Pasien
ketegangan otot, melakukan gerakan melindungi bagian tubuh sampai dengan menghinndari
percakapan, menghindari kontak sosial dan hanya fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.
Pasien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu berpartisipasi dalam aktivitas
rutin, seperti mengalami kesulitan dalam melakukan tindakan higiene normal dan dapat
1) Farmakologi
Analgesik narkotik terdiri dari berbagai derivate opium seperti morfin dan kodein.
Narkotik dapat memberikan efek penurunan nyeri dan kegembiraan karena obat ini
mengadakan ikatan dengan reseptor opiat dan mengaktifkan penekan nyeri endogen pada
susunan saraf pusat (Tamsuri, 2007). Namun, penggunaan obat ini menimbulkan efek
menekan pusat pernafasan di medulla batang otak sehingga perlu pengkajian secara teratur
terhadap perubahan dalam status pernafasan jika menggunakan analgesik jenis ini (Smeltzer
Analgesik non narkotik seperti aspirin, asetaminofen, dan ibuprofen selain memiliki
efek anti nyeri juga memiliki efek anti inflamasi dan anti piretik. Obat golongan ini
yang mengalami trauma atau inflamasi (Smeltzer & Bare, 2001). Efek samping yang paling
umum terjadi adalah gangguan pencernaan seperti adanya ulkus gaster dan perdarahan gaster.
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan stres. Teknik
relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stres
Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh
klien sebagai obat seperti kapsul, cairan injeksi, dan sebagainya. Placebo umumnya terdiri
dari larutan gula, larutan salin normal, atau air biasa (Tamsuri, 2007).
perhatian pasien pada hal-hal yang lain sehingga pasien akan lupa terhadap nyeri yang
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis
yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang sama
di sepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang
tidak tertahankan”.
Numerical Rating Scale (NRS) menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala
ini sangat efektif untuk digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi terapeutik.
Visual Analog Scale (VAS) merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri
yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini
Untuk mengukur skala nyeri pada pasien pra operasi apendisitis, peneliti
menggunakan skala nyeri numerik. Karena skala nyeri numerik paling efektif digunakan saat
mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan teknik relaksasi progresif. Selain itu
selisih antara penurunan dan peningkatan nyeri lebih mudah diketahui dibanding skala yang
lain.
a. Alasan MRS, yaitu keluhan utama pasien saat MRS dan saat dikaji. Pasien mengeluh nyeri,
dilanjutkan dengan riwayat kesehatan sekarang, dan kesehatan sebelum
b. Kebutuhan Rasa Nyaman (Nyeri)
Data didapatkan dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Anamnesa untuk mengkaji
karakteristik nyeri yang diungkapkan oleh pasien dengan pendekatan PQRS
(provokatif/paliatif, quality, radiation, severity). Pemeriksaan fisik dilakukan untuk
mendapatkan perubahan klinis yang diakibatkan oleh nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Data yang didapatkan mencerminkan respons pasien terhadap nyeri yang meliputi respon
fisiologis, respon perilaku, dan respon psikologis.
1) Respons Fisiologis
Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang berupaya untuk tidak
mengeluh atau mengakui ketidaknyamanan. Sangat penting untuk mengkaji tanda-tanda vital
dan pemeriksaan fisik termasuk mengobservasi keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri
3. Perencanaan
Tujuan dari rencana tindakan untuk mengatasi nyeri antara lain :
a. Meningkatkan perasaan nyaman dan aman individu.
b. Meningkatkan kemampuan individu untuk dapat melakukan aktifitas fisik yang diperlukan
untuk penyembuhan (misal; batuk dan nafas dalam, ambulasi).
c. Mencegah timbulnya gangguan tidur
Secara umum rencana tindakan yang dapat diberikan adalah delegatif farmakologi sesuai
program dokter, dan non farmakologi. Tindakan non farmakologi yang secara mandiri bisa
dilakukan oleh perawat adalah Distraksi, Relaksasi, Stimulasi Kutaneus.
a. Distraksi
Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai sedang.
Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik),
distraksi sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle,
main catur). Distraksi mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada
nyeri, dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang
bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya (Arntz dkk., 1991; Devine dkk.,
1990).
Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem
control desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke
otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan
membangkitkan input sensori selain nyeri.
b. Relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan
ketegangan otot yang menunjang nyeri. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa relaksasi
efektif dalam meredakan nyeri punggung (Tunner dan Jensen, 1993; Altmaier dkk. 1992).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri
pasca operasi (Lorenti, 1991; Miller & Perry, 1990).
Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat,
berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman.
Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama
setiap inhalasi (” hirup, dua, tiga ”) dan ekhalasi ( hembuskan, dua, tiga ). Pada saat perawat
mengajarkan teknik ini, akan sangat membantu bila menghitung dengan keras bersama pasien
pada awalnya. Napas yang lambat, berirama juga dapat digunakan sebagai teknik distraksi.
Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegagan otot
yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri.
c. Stimulasi kutaneus
Terori gate control nyeri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bertujuan
menstimulasi serabut-serabut yamg menstransmisikan sensasi tidak nyeri memblok atau
menurunkan transmisi, impuls nyeri. Beberapa strategi penghilang nyeri nonfarmakologis,
termasuk menggosok kulit dan menggunakan panas dan dingin, adalah berdasarkan
mekanisme ini.
Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada
punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang sama seperti
reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem control desenden.
Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot.
4. Evaluasi
Evaluasi dapat dibedakan atas evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses dievaluasi
setiap selesai melakukan perasat dan evaluasi hasil berdasarkan rumusan tujuan terutama
kriteria hasil. Hasil evaluasi memberikan acauan tentang perencanaan lanjutan terhadap
masalah nyeri yang dialami oleh pasien.
3. Macam-macam kecelakaan yang dapat terjadi. (mohon dikaji yang ada di rumah, di
komunitas, dan di rumah sakit).
4. Pengkajian Keperawatan
Kaji faktor -faktor yang berhubungan dengan sistem sensori komunikasi (halusinasi,
gangguan proses pikir, kelesuan, ilusi, kurang konsentrasi, kurang koordinasi dan
keseimbangan). Kaji juga faktor risiko yang berhubungan dengan keadaan klien (kesadaran
menurun, kelemahan fisik, imobilisasi, penggunaan alat bantu).
Daftar Pustaka
Hidayat, AAA., Musifatul Uliyah. 2004. Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia, Jakarta:
EGC.
Potter, Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 4,
Jakarta: EGC.
Tarwoto, Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan, Jakarta: Salemba
Medika.
Smeltzer, S.C., Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
suddarth, Edisi 8, Jakarta: EGC