Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

KEBUTUHAN PSIKOLOGIS

DOSEN PEMBIMBING :
Endah Sri Wiayant, SST., M.Kes.

DISUSUN OLEH :

Ihdah Nabilah Wanda (151911913112)


Afika

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN

FAKULTAS VOKASI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah swt. atas limpahan rahmat, hidayah serta inayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tanpa suatu halangan yang berarti.
Tidak lupa sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan nabi besar Muhammad
SAW.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah yang berjudul Kebutuhan Psikologis ini adalah
sebagai pemenuhan tugas yang diberikan demi tercapainya tujuan pembelajaran yang telah
direncanakan.

Tidak lupa ucapan terimakasih kami tujukan kepada pihak-pihak yang turut mendukung
terselesaikannya makalah ini,

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
terciptanya makalah yang lebih baik selanjutnya. Dan semoga dengan hadirnya makalah ini
dapat memberi manfaat bagi pembaca sekalian.

Lamongan, 07 April 2020

Hormat saya,
Penyusun
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..…….i
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………….………….1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………………1
1.2 RumusanMasalah…………………………………………………………..........…....2
1.3 Tujuan……………………………………………………………………………….…2
BAB II TINJAUAN TEORI………………………………………………………………...…3
2.1 Pemenuhan Rasa Nyaman Pasien ………………………………….….......................3
2.2 Pemenuhan Konsep Diri...........................................…………………………………..5
2.3 Penanganan Pasien yang Mengalami Berduka dan Kehilangan………………............6
BAB III KESIMPULAN DAN
SARAN……………………………………………………........11
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………..11
3.2 Saran…………………………………………………………………………………11
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………...12
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebutuhan adalah suatu keadaan yang ditandai oleh perasaan kekurangan dan ingin
diperoleh sesuatu yang akan diwujudkan melalui suatu usaha atau tindakan (Murray dalam
Bherm, 1996).
Menurut Thomson (1987) mendefinisikan istilah need atau kebutuhan sebagai istilah
yang sering digunakan untuk menunjuk suatu drive atau dorongan seperti contohnya manusia
membutuhkan tidur, dan kelinci butuh menggali liang. Sehingga disini kata kebutuhan
tersebut menunjukkan adanya suatu kekuatan yang bersifat memotivasi yang mendorong
terbentuknya suatu ketegangan dalam diri makhluk hidup karena adanya kekurangan-
kekurangan tertentu. Jadi dari kedua jabaran definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kata
need atau kebutuhan bersifat fisik dan mendasar, sedangkan drive atau dorongan lebih
merupakan kebutuhan yang jenjangnya lebih tinggi dan bersifat psikologis.
Pada dasarnya, kebutuhan individu dapat dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yaitu
kebutuhan fisiologis dan psikologis (Cole dan Bruce, 1959). Kebutuhan fisiologis adalah
kebutuhan primer seperti makan, minum, tidur, seksual, atau perlindungan diri. Sedangkan
kebutuhan psikologis (yang akan dibahas dalam jurnal ini) mencakup kebutuhan untuk
mengembangkan kepribadian pada seseorang. Contohnya adalah kebutuhan untuk memiliki
sesuatu, dimana kebutuhan psikologis tersebut bersifat lebih rumit dan sulit dididentifikasi
segera.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pemenuhan rasa nyaman pasien?
2. Bagaimana pemenuhan harga diri?
3. Bagaimana penanganan pasien yang mengalami berduka dan kehilangan?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pemenuhan rasa nyaman pasien
2. Untuk mengetahui pemenuhan harga diri.
3. Untuk mengetahui penanganan pasien yang mengalami berduka dan kehilangan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pemenuhan rasa nyaman pasien


Kolcaba (1992, dalam Potter & Perry, 2005) mengungkapkan kenyamanan&rasa
nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan
akan ketentraman (suatu kepuasanyang meningkatkan penampilan sehari hari), kelegaan
(kebutuhan telah terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah
dan nyeri). Kenyamanan mesti dipandang secara holistik yang mencakup empat aspek yaitu:
a. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh,
b. Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial,
c. Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri yang meliputi
harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan).
d. Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal manusia seperti
cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah lainnya.
Meningkatkan kebutuhan rasa nyaman diartikan perawat telah memberikan kekuatan,
harapan, hiburan, dukungan, dorongan, dan bantuan. Secara umum dalam aplikasinya
pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan rasa nyaman bebas dari rasa nyeri, dan
hipo & hipertermia. Hal ini disebabkan karena kondisi nyeri dan hipo & hipertermia
merupakan kondisi yang mempengaruhi perasaan tidak nyaman pasien yang ditunjukan
dengan timbulnya gejala dan tanda pada pasien.
2.1.2 Gangguan Rasa Nyaman akibat Nyeri
a. Pengertian Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Smatzler & Bare, 2002). Nyeri adalah suatu
sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian
dimana terjadi kerusakan IASP (dalam Potter & Perry, 2006). Nyeri adalah segala sesuatu
yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan
bahwa ia merasa nyeri (Mc Caffery dalam Potter & Perry, 2006).
b. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut adalah
nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan
yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi ( ringan sampai berat) dan berlangsung singkat (
kurang dari enam bulan dan menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih
pada area yang rusak. Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri yang disebabkan oleh adanya kausa keganasan seperti
kanker yang tidak terkontrol atau non keganasan. Nyeri kronik berlangsung lama (lebih dari
enam bulan ) dan akan berlanjut walaupun pasien diberi pengobatan atau penyakit tampak
sembuh. Karakteristik nyeri kronis adalah area nyeri tidak mudah diidentifikasi, intensitas
nyeri sukar untuk diturunkan, rasa nyeri biasanya meningkat, sifat nyeri kurang jelas, dan
kemungkinan kecil untuk sembuh atau hilang. Nyeri kronis non maligna biasanya dikaitkan
dengan nyeri akibat kerusakan jaringan yang non progresif atau telah mengalami
penyembuhan.
2.1.3 Fisiologi Nyeri
Menurut Potter & Perry (2006), terdapat tiga komponen fisiologis dalam nyeri yaitu
resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut
saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa
rute saraf dan akhirnya sampai di dalam masa berwarna abu-abu di medula spinalis. Terdapat
pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri
sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral, maka otak
menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan
pengetahuan yang dimiliki serta asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersiapkan nyeri.
 Resepsi
Pemaparan terhadap panas atau dingin, tekanan, friksi dan zat-zat kimia menyebabkan
pelepasan substansi, seperti histamin, bradikinin dan kalium, yang bergabung dengan lokasi
reseptor di nosiseptor (reseptor yang berespon terhadap stimulus yang membahayakan) untuk
memulai transmisi neural, yang dikaitkan dengan nyeri. Beberapa reseptor hanya berespon
pada satu jenis nyeri, sedangkan reseptor yang lain juga sensitif terhadap temperatur dan
tekanan. Apabila kombinasi dengan reseptor nyeri mencapai ambang nyeri (tingkat intensitas
stimulus minimum yang dibutuhkan untuk membangkitkan suatu impuls saraf), kemudian
terjadilah aktivasi neuron nyeri. Karena terdapat variasi dalam bentuk dan ukuran tubuh, maka
distribusi reseptor nyeri disetiap bagian tubuh bervariasi.
Impuls saraf, yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar disepanjang serabut saraf perifer
aferen. Dua tipe serabut saraf perifer mengkonduksi stimulus nyeri: Serabut A-Delta yang
bermielinasi dengan cepat dan serabut C yang tidak bermielinasi dan berukuran sangat kecil
serta lambat. Serabut A mengirim sensasi tajam, terlokalisasi, dan jelas yang melokalisasi
sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menghantarkan impuls yang
terlokalisasi buruk, viseral, dan terus menerus.
Ketika serabut C dan A-delta mentransmisikan impuls dari serabut saraf perifer, maka akan
melepaskan mediator biokimia yang mengaktifkan dan membuat peka respons nyeri.
Misalnya, kalium, prostaglandin dilepaskan ketika sel-sel lokal mengalami kerusakan.
Transmisi stimulus nyeri berlanjut sampai transmisi tersebut berakhir dibagian kornu dorsalis
medula spinalis. Di dalam kornu dorsalis, neurotransmiter, seperti substansi P dilepaskan,
sehingga menyebabkan suatu transmisi spinalis dari saraf perifer ke saraf traktus
spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke dalam sisitem
saraf pusat.
 Neuroregulator
Neuroregulator memegang peranan yang penting dalam suatu pengalaman nyeri.
Sustansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor. Neuroregulator dibagi menjadi dua kelompok,
yakni neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter seperti substansi P mengirim
impuls listrik melewati celah sinap diantara dua serabut saraf (eksitator dan inhibitor).
Neuromodulator memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau memvariasikan
transmisi stimulus nyeri tanpa secara langsung menstransfer tanda saraf melalui sebuah sinap.
Endorfin merupakan salah satu contoh neuromodulator.
2.1.4 Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Kontrol)
Teori Gate Kontrol dari Melzack dan Wall (1965), mengusulkan bahwa impuls nyeri
dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat.
Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa substansia di dalam kornu
dorsalis pada medula spinalis, talamus, dan sistem limbik. Suatu keseimbangan aktivitas dari
neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron
delta-A dan C melepaskan substansi P untuk menstransmisikan impuls melalui mekanisme
petahanan. Neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan
neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A,
maka akan menutup mekanisme pertahanan. Apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien akan
mempersepsikan nyeri.
Saat impuls diantarkan keotak, terdapat pusat korteks yang lebih tinggi di otak yang
memodifikasi persepsi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin
dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromodulator ini
menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.
2.1.5 Respon Terhadap Nyeri
1) Respon fisiologis
Pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang otak dan talamus, sistem
saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stres. Nyeri dengan intensitas
ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”, yang
merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom
menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus secara tipikal akan
melibatkan organ-organ viseral, sistem saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi. Respon
fisiologis terhadap nyeri sangat membahayakan individu. Kecuali pada kasus-kasus nyeri
berat yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu mencapai tingkat
adaptasi, yaitu tanda-tanda fisik kembali normal. Dengan demikian klien yang mengalami
nyeri tidak akan selalu memperlihatkan tanda-tanda fisik.
2) Respon Perilaku
Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah
yang mengindikasikan nyeri dapat ditunjukkan oleh pasien sebagai respon perilaku terhadap
nyeri. Respon tersebut seperti mengkerutkan dahi, gelisah, memalingkan wajah ketika diajak
bicara.
2.1.6 Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
1) Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan
lansia. Anak kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan
perawat yang menyebabkan nyeri. Anak-anak juga mengalami kesulitan secara verbal dalam
mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri. Sedangkan pasien yang berusia lanjut, memiliki
resiko tinggi mengalami situasi yang membuat mereka merasakan nyeri akibat adanya
komplikasi penyakit dan degeneratif.
2) Jenis kelamin
Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya menganggap bahwa
seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan
boleh menangis dalam situasi yang sama. Namun secara umum, pria dan wanita tidak berbeda
secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri.
3) Kebudayaan
Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang alamiah.
Kebudayaan lain cenderung untuk melatih perilaku yang tertutup (introvert). Sosialisasi
budaya menentukan perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian hal ini dapat
mempengaruhi pengeluaran fisiologis opial endogen sehingga terjadilah persepsi nyeri.
4) Makna nyeri
Individu akan mempersepsikan nyeri berbeda-beda apabila nyeri tersebut memberi kesan
ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Makna nyeri mempengaruhi pengalaman
nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
5) Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi
nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat sedangkan upaya
pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
6) Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu
perasaan ansietas. Apabila rasa cemas tidak mendapat perhatian dapat menimbulkan suatu
masalah penatalaksanaan nyeri yang serius.
7) Keletihan
Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan
koping sehingga meningkatkan persepsi nyeri.
8) Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya namun tidak selalu berarti bahwa
individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah di masa datang.
9) Gaya koping
Individu yang memiiiki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai individu
yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa seperti nyeri.
Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal mempersepsikan faktor lain di
dalam lingkungan mereka seperti perawat sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap
hasil akhir suatu peristiwa.
10) Dukungan keluarga dan sosial
Kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka terhadap pasien
mempengaruhi respon nyeri. Pasien dengan nyeri memerlukan dukungan, bantuan dan
perlindungan walaupun nyeri tetap dirasakan namun kehadiran orang yang dicintai akan
meminimalkan kesepian dan ketakutan.
2.1.7 Efek Yang Ditimbulkan Oleh Nyeri
1) Tanda dan gejala fisik
Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang berupaya untuk tidak mengeluh
atau mengakui ketidaknyamanan. Sangat penting untuk mengkaji tanda-tanda vital dan
pemeriksaan fisik termasuk mengobservasi keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri akut,
denyut jantung, tekanan darah, dan ftekuensi pernapasan meningkat.
2) Efek perilaku
Pasien yang mengalami nyeri menunjukkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang khas dan
berespon secara vokal serta mengalami kerusakan dalam interaksi sosial. Pasien seringkali
meringis, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah, imobilisasi, mengalami ketegangan
otot, melakukan gerakan melindungi bagian tubuh sampai dengan menghinndari percakapan,
menghindari kontak sosial dan hanya fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.
3) Pengaruh Pada Aktivitas Sehari – hari
Pasien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu berpartisipasi dalam aktivitas rutin,
seperti mengalami kesulitan dalam melakukan tindakan higiene normal dan dapat menganggu
aktivitas sosial dan hubungan seksual.
2.1.8 Penanganan Nyeri
1) Farmakologi
a Analgesik Narkotik
Analgesik narkotik terdiri dari berbagai derivate opium seperti morfin dan kodein. Narkotik
dapat memberikan efek penurunan nyeri dan kegembiraan karena obat ini mengadakan ikatan
dengan reseptor opiat dan mengaktifkan penekan nyeri endogen pada susunan saraf pusat
(Tamsuri, 2007). Namun, penggunaan obat ini menimbulkan efek menekan pusat pernafasan
di medulla batang otak sehingga perlu pengkajian secara teratur terhadap perubahan dalam
status pernafasan jika menggunakan analgesik jenis ini (Smeltzer & Bare, 2001).
b Analgesik Non Narkotik
Analgesik non narkotik seperti aspirin, asetaminofen, dan ibuprofen selain memiliki efek anti
nyeri juga memiliki efek anti inflamasi dan anti piretik. Obat golongan ini menyebabkan
penurunan nyeri dengan menghambat produksi prostalglandin dari jaringan yang mengalami
trauma atau inflamasi (Smeltzer & Bare, 2001). Efek samping yang paling umum terjadi
adalah gangguan pencernaan seperti adanya ulkus gaster dan perdarahan gaster.
c. Non Farmakologi
a) Relaksasi progresif
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan stres. Teknik relaksasi
memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stres fisik, dan
emosi pada nyeri (Potter & Perry, 2006).
b) Stimulasi Kutaneus Plasebo
Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal oleh klien
sebagai obat seperti kapsul, cairan injeksi, dan sebagainya. Placebo umumnya terdiri dari
larutan gula, larutan salin normal, atau air biasa (Tamsuri, 2007).
c) Teknik Distraksi
Distraksi merupakan metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian
pasien pada hal-hal yang lain sehingga pasien akan lupa terhadap nyeri yang dialami
( Priharjo, 1996 ).
2.1.9 Pengukuran Nyeri
 Skala Deskriptif
Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis
yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang sama
di sepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang
tidak tertahankan”.
 Skala penilaian numerik
Numerical Rating Scale (NRS) menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala
ini sangat efektif untuk digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah
intervensi terapeutik.
 Skala Analog Visual
Visual Analog Scale (VAS) merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas
nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala
ini memberikan kebebasan penuh pada pasien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri.
Untuk mengukur skala nyeri pada pasien pra operasi apendisitis, peneliti menggunakan skala
nyeri numerik. Karena skala nyeri numerik paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas
nyeri sebelum dan sesudah diberikan teknik relaksasi progresif. Selain itu selisih antara
penurunan dan peningkatan nyeri lebih mudah diketahui dibanding skala yang lain.
2.1.10 Tindakan Perawat
Rencana perawat dalam memenuhi kebutuhan pada pasiennya. Berfungsi untuk
memudahkan perawat dalam melakukan tindakan keperawatan. Disetiap intervensi harus
memiliki rasional. Intervensi keperawatan harus ditulis dengan spesifik dan dinyatakan
denagn jelas(operasional) dan dimulai dengan kata kerja/kata perintah. Pda penyusunan
intervensi perawat juga harus merencanakan tindakan mandiri dan kolaboratif dengan tenaga
kesehatan lain. Rasional ditulis sesuai pada intervensi yang telah dibuat oleh perawat, rasional
disertakan untuk membantu perwat pelaksanaan dalam menhubungkan prinsip patofisiologi
dan psikologi dengan intervensi keperawatan yang dipilih. Perencanaan tindakan keperawatan
pada pemenuhan kebutuhan rasa aman dan nyaman terutama hipotermi yaitu:
1. Penurunan suhu tubuh berhubungan dengan regulasi suhu tak efektif akibat usia ditandai
dengan: - Umur klien 60 tahun - Suhu tubuh 35 ºC - Kulit teraba dingin - Tampak pucat dan
menggigil Tujuan: mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal dengan kriteria - Suhu ºC
- Tidak menggigil - Tidak pucat Intervensi:
a. Pantau suhu klien setiap 2 jam Rasional: perubahan suhu yang signifikan membantu dalam
pemberian intervensi.
b. Berikan selimut tambahan Rasional: pemberian selimut tambahan dapat mengurangi
evaporasi dan radiasi sehingga suhu tubuh dapat dipertahankan.
c. Berikan buli-buli panas pada kaki Rasional: memberikan rangsangan panas dari luar untuk
membantu mempertahankan suhu tubuh yang optimal
d. Pantau suhu lingkungan Rasional: menjaga suhu lingkungan tetap konstan sehingga tidak
terjadipertukaran antara suhu tubuh dan suhu ruangan.
e. Batasi aktivitas Rasional: aktivitas yang tinggi meningkatkan metabolisme tubuh sehingga
meningkatkan pengeluaran panas dari tubuh.

2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suhu tubuh ditandai dengan: - Tampak
lemah - Pembatasan aktivitas - Pemenuhan ADL dilakukan oleh perawat dan keluarga Tujuan:
aktivitas terpenuhi dengan kriteria - Observasi TTV dalam batas normal (S: ºC, Nadi: 80
x/menit,td : 130/80 mmhg, P : 24 x/menit). - Pemenuhan ADL oleh klien Intervensi:
a. Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan parameter frekuensi nadi 20/menit di atas
frekuensi istirahat. Rasional: parameter menunjukkan respons fisiologis pasien terhadap stress
aktivitas.
b. Kaji kesiapan klien untuk meningkatkan aktivitas karena kelemahan. Rasional: stabilitas
fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual.
c. Berikan bantuan sesuai kebutuhan Rasional: teknik penghematan energi, menurunkan
penggunaan energi sehingga membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
d. Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas. Rasional: Pengaturan
jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah kelemahan.
e. Berikan bantuan dalam aktivitas/ambulasi bila perlu Rasional: membantu meningkatkan
harga diri klien bila melakukan sendiri.

3. Kecemasan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan keadaan kondisinya (ancaman)


ditandai dengan: - Nampak cemas dan ketakutan - Klien dan keluarga sering menanyakan
kondisinya - Gelisah Tujuan: cemas teratasi dengan kriteria: - Tidak cemas - Muka tampak
cerah - Keluarga dan klien kooperatif terhadap asuhan keperawatan Intervensi:
a. Kaji rasa cemas untuk validasi observasi klien misalnya: apakah merasa takut. Rasional:
perasaan adalah nyata dan membantu klien untuk terbuka sehingga dapat mendiskusikan dan
menghadapinya.
b. Catat petunjuk perilaku misalnya: gelisah Rasional: indikator derajat/stress, di mana dapat
terjadi sebagai akibat gejala fisik kondisinya.
c. Tentukan persepsi klien tentang proses penyakitnya. Rasional: membuat pengaturan dasar
dan memberikan kesadaran kebutuhan belajar individu.
d. Dorong klien menyatakan perasaannya. Rasional: membuat hubungan terapeutik dan
membantu klien untuk mengidentifikasi masalah yang menyebabkan kecemasan.
f. Berikan informasi yang akurat dan nyata tentang apa yang dilakukan. Rasional: keterlibatan
klien dalam perencanaan perawatan memberikan rasa kontrol dan membantu menurunkan
kecemasan.
g. Catat pembatasan fokus perhatian klien misalnya: konsentrasi pada suatu hal pada waktu
tertentu. Rasional: penyempitan fokus umumnya merefleksikan rasa tak kepanikan.
h. Berikan lingkungan tenang dan istirahat Rasional: memindahkan klien dari stress luar,
meningkatkan relaksasi dan membantu menurunkan ansietas.
i. Bantu klien menggunakan mekanisme koping misalnya: teknik mengatasi stress. Rasional:
mekanisme koping mampu mengatasi masalah.
j. Dorong keluarga untuk menyatakan perhatiannya. Rasional: tindakan dukungan dapat
membantu mengurangi stress.
2.2 Pemenuhan Konsep Diri
Dariyo (2004) mengatakan, salah satu karakteristik individu yang memiliki identitas
diri yang baik adalah dengan konsep diri yang baik pula. Konsep diri adalah gambaran yang
diyakini individu tentang diri termasuk didalamnya penilaian individu tentang sifat dan
potensi yang dimiliki, hubungan dengan orang lain dan lingkungan sekitar, tujuan hidup,
harapan, maupun keinginan.
2.2.1 Faktor yang mempengaruhi perkembangan Konsep diri
a. Teori Perkembangan.
Konsep diri berkembangan secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan
membedakan dirinya dan orang lain. dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri
yang terpeisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan
melalui bahasa, pengalaman atau, pengenalan tubuh, nama panggilan pengalaman budaya dan
hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau
masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.
b. Significant other (orang yang terpenting atau terdekat).
Konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri
sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi
diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang terdekat, remaja
di pengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang
penting sepanjang siklus hhidup, pengaruh budaya dan sosial.
c. Self Perception (Persepsi diri sendiri).
Konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu
dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari
kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan
konsep diri yang negatif dapt dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.
2.2.3 Pembagian Konsep Diri
Konsep diri terbagi menjadi beberapa bagian. Pembagian konsep diri tersebut dikemukakan
oleh Stuart & Sudeen (1991), yang terdiri dari :
a. Gambaran Diri (body image)
Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar.
Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan
potensi tubuh saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan
pengalaman baru setiap individu (Stuart & Sudeen, 1991).Sejak lahir individu mengeksplorasi
bagian tubuhnya, menerimastimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipulasi
lingkungan danmulai sadar dirinya terpisah dari lingkungan (Keliat, 1992).Gambaran diri
berhubungan dengan kepribadian. Cara individumemandang dirinya mempunyai dampak
yang penting pada aspekpsikologisnya. Pandangan yang realistik terhadap dirinya menerima
danmengukur bagian tubuhnya akan lebih rasa aman, sehingga terhindar darirasa cemas dan
meningkatkan harga diri (Keliat, 1992).
b. Ideal Diri
Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berprilaku berdasarkan
standart, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu (Stuart & Sudeen, 1991). Ideal diri
mulai berkembang pada masa kanak-kanak yang dipengaruhi orang yang penting pada idrinya
yang memberikan keuntungan dan harapan pada masa remaja, ideal diri akan dibentuk
melalui proses identifikasi pada orang tua, guru dan teman. Agar individu mampu berfungsi
dan mendemonstrasikan kecocokan antara persepsi diri dan ideal diri. Ideal diri ini hendaknya
ditetapkan tidak terlalu tinggi, tetapi masih lebih tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi
pendorong dan masih dapat dicapai (Keliat, 1992).
c. Harga Diri
Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa
seberapa jauh prilaku memenuhi ideal diri (Stuart & Sudeen, 1991). Frekuensi tujuan akan
menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal,
maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek
utama adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain (Keliat,1992).
d. Peran
Peran adalah sikap dan prilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang
berdasarkan posisinya dimasyarakat (Keliat, 1992). Peran yang ditetapkan adalah perran
dimana seseorang tidak punya pilihan, sedangkan peran yang diterima adalah peran yang
terpilih atau dipilih oleh individu sebagai aktualisasi diri. Harga diri yang tinggi merupakan
hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal diri (Keliat, 1992).
e. Identitas
Identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan
penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan
yang utuh (Stuart & Sudeen, 1991). Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang
kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan
berharga (aspek diri sendiri), kemampuan dan penyesuaian diri. Seseorang yang mandiri dapat
mengatur dan menerima dirinya. Identitas diri terus berkembang sejak masa kanak-kanak
bersamaan dengan perkembangan konsep diri. Hal yang penting dalam identitas adalah jenis
kelamin (Keliat, 1992).
2.2.4 Teori Konsep diri
Konsep diri merupakan salah satu faktor intern dan juga merupakan suatu fondasi
yang sangat penting untuk keberhasilan seseorang. Bukan hanya keberhasilan dalam bidang
akademis, melainkan yang lebih penting adalah keberhasilan hidup. Karena konsep diri
merupakan pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri dapat terbentuk dari
suatu pengalaman seseorang yang didapat baik dari keluarga, lingkungan maupun ketika
disekolah. Misalnya pengalaman dirumah. Sejak seorang anak dilahirkan, orang tua
hendaknya memberikan banyak umpan balik yang positif dan memberikan kepercayaan
kepada mereka. Konsep diri merupakan keyakinan,pandangan atau penilaian seseorang
terhadap dirinya (Rini, 2002). Konsep diri dapat dianalogikan sebagai suatu sistem operasi
yang menjalankan komputer mental, yang mempengaruhi kemampuan berfikir dan
mempunyai pengaruh sebesar 88% terhadap level kesadaran seseorang (Gunawan, 2007).
Konsep diri akan memberikan kerangka acuan yang mempengaruhi manajemen diri terhadap
situasi dan terhadap orang lain.
Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau
penilaian seseorang terhadap dirinya. Seseorang dikatakan mempunyai konsep diri negatif
jika ia meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat
apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya
tarik terhadap hidup. Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung bersikap pesimistik
terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai
kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah
menyerah sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu
menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain.
Sebaliknya seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh
percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang
dialaminya. Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun lebih menjadikannya
sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang dengan konsep
diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan melihat hal-hal yang positif yang dapat
dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang (Jasinta F Rini, e-psikologi 2002).
Konsep diri memiliki dua jenis yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.Konsep diri
yang positif bukanlah kebanggaan yang besar tentang diri tetapi lebih berupa penerimaan
diri.Individu dengan konsep diri positif dapat mengenal dirinya sendiri dengan sangat baik
dan dapat menerima apapun yang ada dalam dirinya.Konsep diri negatif merupakan
pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat negatif dan tidak mampu menerima
dirinya, tidak mampu mengevaluasi diri, dan bersikap pesimis.Konsep diri negatif muncul
karena pandangan seseorang tentang dirinya benar-benar tidak teratur.Ada dua jenis konsep
diri negatif yaitu, pandangan seseorang tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur dan
dia benar-benar tidak tahu siapa dia, apa kekuatan dan kelemahannya, atau apa yang dia
hargai dalam hidupnya.Tipe kedua dari konsep diri negatif yaitu pandangan seseorangyang
terlalu teratur dan stabil atau kaku.
2.2.5 Dimensi Konsep Diri
Konsep diri dapat dibagi menjadi empat bagian dasar, antara lain: actual versus ideal,
and private versus social. Perbedaan actual – ideal mengacu pada persepsi individu tentang
siapa dirinya sekarang (actual self concept) dan yang saya ingin menjadi (ideal self concept).
Private self mengacu pada bagaimana saya atau ingin menjadi diri saya (private self concept),
dan social self adalah bagaimana saya dilihat oleh orang lain atau bagaimana saya ingin
dilihat oleh orang lain (social self concept) .
Menurut Calhoun dan Acocella konsep diri memiliki tiga dimensi yaitu: pengetahuan tentang
diri sendiri, pengharapan tentang diri sendiri dan penilaian tentang diri sendiri.
a. Pengetahuan (Knowledge)
Dimensi pertama dari konsep diri adalah mengenai apa yang kita ketahui mengenai diri kita,
termasuk dalam hal ini jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, usia dsb. Kita memberikan
julukan tertentu pada diri kita.
b. Pengharapan (Expectation)
Pandangan tentang diri kita tidak terlepas dari kemungkinan kita menjadi apa di masa
mendatang. Pengharapan dapat dikatakan diri ideal. Setiap harapan dapat membangkitkan
kekuatan yang mendorong untuk mencapai harapan tersebut di masa depan.
c. Penilaian (Estimation)
Penilaian menyangkut unsur evaluasi, seberapa besar kita menyukai diri kita sendiri. Semakin
besar ketidak-sesuaian antara gambaran kita tentang diri kita yang ideal dan yang aktual maka
akan semakin rendah harga diri kita. Sebaliknya orang yang punya harga diri yang tinggi akan
menyukai siapa dirinya, apa yang dikerjakanya dan sebagainya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa dimensi penilaian merupakan komponen pembentukan konsep diri yang
cukup signifikan.
2.2.6 Jenis-jenis Konsep diri
Menurut Calhoum dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep diriterbagi
dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.
a. Konsep Diri Positif menunjukkan bahwa adanya penerimaaan diri dimana individu dengan
konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali.Konsep diri yang positif bersifat
stabil dan bervarisi. Individu yang memiliki konsep diri positif yang dapat memahami dan
menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri sehingga
evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima dirinya apa adanya.
Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yanbg sesuai
dengan relatif, yaitu dengan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai,
mampu menghadapi kehidupan didepannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu
proses penemuan.
b. Konsep Diri Negatif Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri negatif menjadi
duatipe, yaitu:
 Pandangan individu tentang dirinya sendiri benar-benar tidak teratur,tidak perasaan,
kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar-benar tidak tahu siapa dirinya,
kekuatan dan kelemahannya atau yangdihargai dalam kehidupannya.
 Pandangan tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal ini bisa terjadi karena
individu dididik dengan cara yang sangat keras, sehingga menciptakan citra diri yang
tidak mengizinkan adanyapenyimpangan dari seperangkat hukum yang dalam
pikirannyamerupakan cara hidup yang tepat.
2.2.7 Tindakan Perawat
Fokus tindakan adalah untuk mendorong klien memahami dirinya secara utuh
sehingga ia mampu menggali kemampuan yang dimiliki dan menggunakannya untuk
mencapai perilaku yang konstruktif. Prinsip asuhan keperawatan yang diberikan
adalah pemecahan masalah yang terlihat dari peningkatan kemampuan klien yang
terdiri dari 5 tingkat:
1. Memperluas kesadaran diri (expanded self awareness)
Dalam mengembangkan kesadaran diri, klien perlu melihat ke dalam serta melihat
secara realistic terhadap lingkungan. Cara mengembangkan kesadaran diri dengan :
a. Membangun keterbukaan dan hubungan saling percaya, dengan cara :
 Tawarkan penerimaan tak bersyarat/tidak kaku.
 Dengarkan klien.
 Dorong klien untuk mendiskusikan pikiran dan perasaan.
 Berespon pada klien dengan tidak menghakimi.
 Tunjukkan pada klien bahwa klien adalah individu yang berharga yang bertanggung
jawab terhadap dirinya dan dapat membantu diri sendiri.

b. Bekerja pada klien pada tingkat kemampuan yang dimilikinya, dengan cara:
 Identifikasi kemampuan yang dimiliki klien.
 Mulai dengan penegasan identitasnya.
 Memberikan tindakan yang mendukung untuk menurunkan tingkat kecemasannya.
 Dekati klien dengan cara tanpa diminta.
 Terima dan usahakan untuk klarifikasi komunikasi verbal dan nonverbal.
 Cegah klien untuk mengisolasi diri.
 Ciptakan kegiatan rutin yang sederhana pada klien.
 Buat batasan pada perilaku yang tidak sesuai.
 Orientasikan klien ke realita.
 Dorong untuk melakukan perilaku yang tepat dan beri pujian dan pengakuan.
 Bantu dalam melakukan kebersihan perseorangan dan penampilan diri.
 Dorong klien untuk merawat diri sendiri.

c. Memaksimalkan peran serta klien dalam hubungan terapeutik dengan cara :


 Tingkatkan secara bertahap partisipasi klien dalam mengambil keputusan yang
berhubungan dengan asuhan keperawatannya.
 Tunjukkan bahwa klien adalah orang yang bertangggung jawab.

2. Menyelidiki/eksplorasi diri (self exploration)


Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara :
a. Membantu klien untuk menerima pikiran dan perasaannya:
 Dorong klien untuk mengeksplorasikan emosi, keyakinan, perilaku dan pikiran secara
verbal dan non verbal.
 Gunakan keterampilan komunikasi terapeutik dan respon empati.
 Observasi dan catat pikiran yang logis dan tidak logis serta respon emosionalnya.

b. Membantu klien mengklarifikasi konsep dirinya dan hubungannya dengan orang lain
melalui keterbukaan:
 Dapatkan persepsinya tentang kekuatan dan kelemahannya.
 Bantu klien untuk menggambarkan ideal dirinya.
 Identifikasi kritik tentang dirinya.
 Bantu klien untuk menggambarkan hubungan dengan orang lain.

c. Menyadari dan memiliki kendali terhadap perasaan anda (perawat):


 Terbuka pada perasaan sendiri.
 Gunakan diri secara terapeutik.
 Berbagi perasaan dengan klien.
 Verbalisasai bagaimana perasaan orang lain.
 Bercermin pada persepsi dan perasaaan klien

d. Berespon empati bukan simpati dan tekankan bahwa kekuatan untuk berubah ada pada
klien:
 Gunakan respon empati, evaluasi diri tentang simpati.
 Menguatkan klien bahwa ia mempunyai kekuatan untuk memecahkan masalahnya.
 Beritahukan pada klien bahwa ia bertanggung jawab terhadap perilakunya termasuk
respon koping adaptif dan maladaptive.
 Diskusikan cakupan pilihan, area kekuatan dan sumber – sumber koping yang tersedia
untuk klien.
 Gunakan system pendukung dari keluarga dan kelompok untuk memfasilitasi
penyelidikan diri klien.
 Bantu klien untuk mengenali sifat dari konflik dan cara maladaptive yang dilakukan
klien untuk mengatasinya.

3. Mengevaluasi diri (self evaluation)


Tindakan ini dapat dilakukan dengan cara :
a. Bantu klien untuk menjabarkan masalahnya secara jelas:
 Identifikasi stressor yang relevan dengan klien dan bagaimana penilaian klien.
 Klarifikasi pada klien bahwa keyakinannya mempengaruhi perasaannya dan
perilakunya.
 Bersama – sama identifikasi keyakinan yang salah, ilusi, persepsi yang salah dan
tujuan yang tidak realistis.
 Bersama – sama identifikasi area kekuatan klien dan tempatkan kesuksesan dan
kegagalan dalam perepsi yang sesuai.
 Gali sumber koping yang dimiliki klien.

b. Gali respon koping adaptif dan maladaptive klien terhadap masalah yang diharapkan:
 Gambarkan pada klien bahwa koping bebas dipilih dan memiliki konsekuensi positif
dan negative.
 Bedakan respon adaptif dan maladaptive.
 Bersama – sama mengidentifikasi kerugian dari respon maladaptive klien.
 Diskusikan akibat respon klien yang maladaptive.
 Gunakan berbagai teknik komunikasi terapeutik yang bervariasi:
 Fasilitasi, adalah membantu klien dengan cara mendengarkan aktif, memberikan
respons, menerima dan mau memahami sehingga mendorong klien untuk berbicara
secara terbuka tentang dirinya.
 Konfrontasi.
 Klarifikasi.
 Psikodrama, adalah metode drama khusus yang menggali hubungan – hubungan antar
individu, konflik – konflik dan masalah – masalah emosional yang digunakan untuk
memperbaiki kepribadian seseorang.
 Analisis proses interaksi, adalah kegiatan menganalisis diri sendiri dan orang lain
meliputi verbal, non verbal, serta perasaan selama proses interaksi interpersonal
berlangsung.

4. Perencanaan yang realistic (realistic planning)


a. Bantu klien untuk mengidentifikasi alternative pemecahan:

 Bantu klien memahami bahwa hanya dia yang mampu mengubah dirinya bukan orang
lain.
 Jika klien mempunyai persepsi yang tidak konsisten, bantu dia melihat bahwa ia dapat
berubah, sebagai berikut:
 Keyakinan dan idealnya dapat membawa dia pada kenyataan.
 Lingkungan untuk membuat konsisten dengan keyakinannya.
 Jika konsep diri tidak konsisten dengan perilakunya, ia dapat berubah:
o Perilakunya disesuaikan dengan konsep dirinya.
o Keyakinan yang mendasari konsep dirinya disesuaikan pada perilaku.
o Ideal dirinya.
o Bersama – sama mengulas bagaimana sumber koping dapat lebih baik
digunakan klien.

b. Bantu klien mengembangkan tujuan yang realistis:


 Dorong klien untuk merumuskan tujuannya sendiri (bukan tujuan perawat).
 Bersama – sama mendiskusikan konsekuensi emosi, praktiknya dan berdasarkan
realita dari setiap tujuan.
 Bantu klien untuk menetapkan perubahan konkret yang diharapkan.
 Dorong klien untuk memulai pengalaman baru untuk berkembang secara potensial.
 Gunakan bermain peran, model peran dan visualisasi bila perlu.

5. Pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan (commitment to action)


Bantu klien melakukan tindakanyang diperlukan untuk mengubah respon koping mal adaptive
dan mempertahankan respon koping yang adaptif:
 Fasilitasi kesempatan untuk sukses.
 Kuatkan dan beri pengakuan pada kekuatan, keterampilan dan aspek yang sehat dari
kepribadian klien.
 Batu klien untuk mendapatkan bantuan yang diperlukan.
 Pakai kelompok yang dapat member harga diri pada klien.
 Tingkatkan pembedaan diri pada klien di dalam keluarga, klien merasakan sebagai
individu yang unik.
 Beri waktu yang cukup untuk berubah.
 Sediakan dukungan yang cukup dan reinforcement positif pada klien untuk membantu
mempertahankan kemampuannya.
2.3 Pengendalian Kehilangan dan berduka
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu
tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap
atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau tidak
diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali. Kehilangan
adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian
menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan,1985,h.35).
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang
kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.Kehilangan merupakan suatu
kondisi dimana seseorang mengalami suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang
dulunya pernah ada atau pernah dimiliki.
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-
lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam
merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan/kedekatan,
objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam
batas normal. Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun
potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipeini kadang-kadang menjurus
ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/kekacauan.

2.3.1 Tanda dan gejala kehilangan


a. Ungkapan kehilangan
b. Menangis
c. Gangguan tidur
d. Kehilangan nafsu makan
e. Sulit berkonsentrasi
f. Karakteristik berduka yang berkepanjangan,yaitu:
 Mengingkari kenyataan kehilngan terjadi dalam waktu yang lama
 Sedih berkepanjangan
 Adanya gejala fisik yang berat
 Keinginan untuk bunuh diri
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan:
a. Arti dari kehilangan
b. Sosial dan budaya
c. Kepercayaan spritual
d. Peran seks
e. Status sosial ekonomi
f. Kondisi fisik dan psikologi individu
2.3,4 Tipe kehilangan
Kehilangan dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
a. Aktual atau nyata Mudah dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain,misalnya amputasi
kematian orang yang sangat berarti/di cintai.
b. Persepsi Hanya dialami oleh seseorang dan sulit untuk dapat dibuktikan, misalnya;
seseorang yang berhenti bekerja / PHK, menyebabkan perasaan kemandirian dan
kebebasannya menjadi menurun.
2.3.5 Jenis-jenis Kehilangan
Terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:
a Kehilangan seseorang seseorang yang dicintai
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti adalah salah
satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tioe kehilangan, yang mana harus
ditanggung oleh seseorang. Kematian juga membawa dampak kehilangan bagi orang yang
dicintai. Karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan atau jalinan yang ada,
kematian pasangan suami/istri atau anak biasanya membawa dampak emosional yang luar
biasa dan tidak dapat ditutupi.
b Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental
seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keatraktifan, diri sendiri, kemampuan
fisik dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek diri
mungkin sementara atau menetap, sebagian atau komplit. Beberapa aspek lain yang dapat
hilang dari seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh.
c Kehilangan objek eksternal
Kehilangan objek eksternal misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama, perhiasan,
uang atau pekerjaan. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang
hilang tergantung pada arti dan kegunaan benda tersebut.
d Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal Kehilangan diartikan dengan terpisahnya
dari lingkungan yang sangat dikenal termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam
waktu satu periode atau bergantian secara permanen. Misalnya pindah kekota lain, maka akan
memiliki tetangga yang baru dan proses penyesuaian baru.
e Kehilangan kehidupan/ meninggal Seseorang dapat mengalami mati baik secara
perasaan, pikiran dan respon pada kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian
yang sesungguhnya. Sebagian orang berespon berbeda tentang kematian.
2.3.6 Fase-fase kehilangan dan berduka Fase berduka menurut kubler rose :
a. Fase penyangkalan(Denial)
Fase ini merupakan reaksi pertama individu terhadap kehilangan atau individu tidak
percaya.menolak atau tidak menerima kehilangan yang terjadi. pernyataan yang sering
diucapkan adalah “ itu tidak mungkin” atau “ saya tidak percaya” seseorang yang mengalami
kehilangan karena kematian orang yang berarti baginya, tetap merasa bahwa orang tersebut
masih hidup.dia mungkin mengalami halusinasi, melihat orang yang meninggal tersebut
berada di tempat yang biasa digunakan atau mendengar suaranya. Perubahan fisik: letih,
pucat, mual ,diare ,gangguan pernafasan , lemah, detak jantung cepat, menangis, gelisah.
b. Fase marah (anger)
Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan
individu menunjukkan perasaan marah pada diri sendiri atau kepada orang yang berada
dilingkungan nya. Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini antara lain,muka merah,nadi
cepat,susah tidur,tangan mengepal,mau memukul,agresif. Fase tawar menawar (bergaining)
Individu yang telah mampu mengekspresikan rasa marah akan kehilangan nya ,maka orang
tersebut akan maju ketahap tawar menawar dengan memohon kemurahan TUHAN, individu
ingin menunda kehilangan dengan berkata”seandainya saya hati-hati” atau “kalau saja
kejadian ini bisa ditunda. Maka saya akan sering berdoa”.
c. Fase depresi
Individu berada dalam suasana berkabung,karena kehilangan merupakan keadaan yang
nyata, individu sering menunjukkan sikap menarik diri,tidak mau berbicara atau putus asa dan
mungkin sering menangis. 4. Fase penerimaan (acceptance) Pada fase ini individu menerima
kenyataan kehilangan,misalnya : ya,akhirnya saya harus di operasi, apa yang harus saya
lakukan agar saya cepat sembuh,tanggung jawab mulai timbul dan usaha untuk pemulihan
dapat lebih optimal.secara bertahap perhatiannya beralih pada objek yang baru,dan pikiran
yang selalu terpusat pada objek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang.jadi,
individu yang masuk pada fase penerimaan atau damai, maka ia dapat mengakhiri proses
berduka dan mengatasi perasaan kehilangan nya secara tuntas.
2.3.7 Tindakan keperawatan
1. Bina hubungan saling percaya dengan klien.
R/ Rasa percaya merupakan dasar dari hubungan terapeutikyang mendukung dalam
mengatasi perasaannya.
2. Berikan motivasi klien untuk mendiskusikan fikiran dan perasaannya.
R/ Motivasi meningkatkan keterbukaan klien.
3. Jelaskan penyebab dari harga diri yang rendah.
R/ Dengan mengetahui penyebab diharapkan klien dapat beradaptasi dengan
perasaannya.
Dengarkan klien dengan penuh empati, beri respon dan tidak menghakimi.
4. R/ Empati dapat diartikan sebagai rasa peduli terhadap perawatan klien, tetapi tidak
terlibat secara emosi.
5. Berikan motivasi klien untuk menyadari aspek positif dan negatif dari dirinya. R/
Meningkatkan harga diri.
6. Beri dukungan, Support dan pujian setelah klien mampu melakukan aktivitasnya.
R/ Pujian membuat klien berusaha lebih keras lagi.
7. Ikut sertakan klien dengan aktifitas yang R/ Mengikut sertakan klien dalam aktivitas
sehari-hari yang dapat meningkatkan harga diri klien
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kenyamanan & rasa nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasanyang
meningkatkan penampilan sehari hari), kelegaan (kebutuhan telah terpenuhi), dan
transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah dan nyeri).
Konsep diri adalah gambaran yang diyakini individu tentang diri termasuk
didalamnya penilaian individu tentang sifat dan potensi yang dimiliki, hubungan
dengan orang lain dan lingkungan sekitar, tujuan hidup, harapan, maupun keinginan.
Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai
sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi
secara bertahap atau mendadak, bisa tanpa kekerasan atau traumatik, diantisispasi atau
tidak diharapkan/diduga, sebagian atau total dan bisa kembali atau tidak dapat
kembali.
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang
dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan
lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.
NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan
berduka disfungsional.

3.2 Saran
Dalam memenuhi kebutuhan psikologis kita perlu memahami dan mengerti
tentang bagaimana cara Mempelajari tentang kebutuhan dasar manusia sangat penting
untuk diterapkan dalam praktik keperawatan. Sebagai perawat, kita harus mengetahui
kebutuhan psikologis dari pasien, karena ini merupakan hal yang mendasar yang harus
dipenuhi. Kita juga seharusnya bisa memprioritas kebutuhan yang mana harus
dipenuhi terlebih dahulu disamping kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, AAA., Musifatul Uliyah. 2004. Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia,
Jakarta: EGC.
Potter, Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: konsep, Proses, dan Praktik, Edisi
4, Jakarta: EGC.
Amwalina.”Hubungan Antara Konsep Diri Akademik Dengan Kecemasann Menghadapi
Ujian Nasional”. Jurnal Psikologi, (2009), 2; 1-18.
Andinny,Yuan. ”Pengaruh Konsep Diri Dan Berpikir Positif Terhadap Prestasi Belajar
Matematika Siswa”. Jurnal Formatif, (2013), 3; 126-135.
Budi, Anna Keliat. 2009. Model PraktikKeperawatanProfesionalJiwa. Jakarta : EGC
Iyus, Yosep. 2007. KeperawatanJiwa. RefikaAditama : Bandung

Anda mungkin juga menyukai