Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Nyeri


2.1.1 Pengertian
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan, bersifat
sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam hal skala ataupun
tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau
mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Tetty, 2015).
Nyeri akut merupakan keadaan dimana individu mengalami dan mengeluhkan
ketidaknyamanan yang hebat dan sensasi yang tidak menyenangkan selama satu
detik hingga kurang dari 6 bulan (Carpenito, 2013).
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial (Smeltzer et al., 2012).
Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepar
menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai adanya peningkatan tegangan
otot (Hidayat, 2014).
Nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik secara ringan maupun berat
karena terjadinya kerusakan jaringan (Pain International Association for the Study
of & (IASP), 2011). Nyeri dapat didefnisikan sebagai sesuatu yang sukar dipahami
dan fenomena yang kompleks meskipun universal, tetapi masih merupakan misteri.
Nyeri adalah salah satu mekanisme pertahanan tubuh manusia yang menunjukkan
adanya pengalaman masalah. Nyeri merupakan keyakinan individu dan bagaimana
respon individu tersebut terhadap sakit yang dialaminya (Taylor, 2011).

2.1.2 Fisiologi Nyeri


Menurut Mubarak dan Chayatin (2012) proses fisiologis terkait nyeri
disebut nosisepsi. Proses tersebut terdiri atas empat fase yakni :
1. Transduksi
Pada fase transduksi, stimulus atau rangsangan yang membahayakan
(misalnya, bahan kimia, suhu, listrik atau mekanis) memicu pelepasan mediator
biokimia (misal, prostaglandin, bradikini, histamin, substansi P) yang
mensensitisasinosiseptor.
2. Tranmisi
Fase transmisi nyeri sendiri terdiri atas tiga bagian. Pada bagian pertama,
nyeri merambat dari serabut saraf perifer ke medula spinalis.
Dua jenis nosiseptor yang terlibat dalam proses tersebut adalah serabut
C yang mentransmisikan nyeri tumpul dan menyakitkan, serta serabut A-Delta
yang mentransmisikan nyeri tajam dan terlokalisasi. Bagian kedua adalah
transmisi nyeri dari medula spinalis menuju batang otak dan talamus melalui
jaras spinotalamikus (STt), merupakan suatu sistem diskriminatif yang
membawa informasi mengenai sifat dan lokasi stimulus ke talamus.
Selanjutnya, pada bagian ketiga, sinyal tersebut diteruskan ke korteks sensorik
somatik tempat nyeri dipersepsikan. Impuls yang ditransmisikan melalui STt
mengaktifkan respon otonomi dan limbik.
3. Modulasi
Fase ini disebut juga “sistem desenden”. Pada fase ini, neuron di batang
otak mengirimkan sinyal-sinyal kembali ke medula spinalis. Serabut desenden
tersebut melepaskan substansi seperti opioid, serotonin, dan norepinefrin yang
akan menghambat impuls asenden yang membahayakan di bagian dorsal
medula spinalis.
4. Persepsi
Pada fase ini, individu mulai menyadari adaya nyeri. Tampaknya persepsi
nyeri tersebut terjadi di struktur korteks sehingga memungkinkan munculnya
berbagai strategi perilaku-kognitif untuk mengurangi komponen sensorik dan
afektif nyeri.

2.1.3 Teori Nyeri


1. Teori Spesifitas (Specivity Theory)
Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang
secara khusus mentransmisi nyeri. Syaraf ini diyakini dapat menerima
rangsangan nyeri dan mentransmisikan melalui ujung dorsal dan substansia
gelatinosa ke talamus, yang akhirnya dihantarkan pada daerah yang lebih
tinggi sehingga timbul respon nyeri. Teori ini tidak menjelaskan bagaimana
faktor-faktor multidimensional dapat terjadi (Zakiyah, 2015).
2. Teori Pola (Pattern Theory)

Teori ini menelaskan bahwa ada dua serabut nyeri yaitu serabut yang dapat
menghantarkan rangsang dengan cepat dan serabut yang menghantarkan rangsang
dengan lambat. Kedua serabut ini bersinapsis dan meneruskan rangsang ke otak
mengenai jumlah, tingkat, tipe input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan
kuantitas input sensori (Zakiyah, 2015).
3. Teori Gerbang Kendali (The Gate Control Theory)

Menurut Melzack dan Wall menjelaskan teori gerbang kendali nyeri terdapat
semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi
nyeri. Selain itu juga, mejelaskan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat dua
macam transmiter impuls nyeri, yaitu reseptor yang berdiameter kecil dan besar.
Menurut Joyce dan Hawks, reseptor berdiameter kecil (serabut delta A dan C)
berfungsi untuk mentransmisikan nyeri yang sifatnya keras. Reseptor ini biasanya
berupa ujung saraf bebas yang terdapat pada seluruh permukaan kulit dan pada
struktur lebih dalam seperti tendon, fasia, tulang serta organ-organ interna.
Transmitter yang berdiameter besar (serabut beta A) memiliki reseptor yang
terdapat pada permukaan tubuh dan berfungsi sebagai inhibitor, yaitu
metransmisikan sensasi lain seperti getaran, sentuhan, senasasi hangat dan dingin,
serta terhadap tekanan halus.
Saat terdapat rangsangan, kedua serabut tersebut akan membawa rangsangan
ke dalam cornu dorsalis yang terdapat pada medula spinalis posterior, di medula
spinalis terjadi reaksi antara dua serabut berdiameter besar dan kecil yang disebut
“substansia gelatinosa (SG)”.
SG merupakan area terjadinya perubahan dan modifikasi yang memengaruhi
apakah sensasi nyeri yang diterima mesula spinalis akan diteruskan ke otak atau
dihambat. Sebelum impuls nyeri diteruskan ke otak, serabut besar dan kecil
berinteraksi di area SG. Apabila tidak terdapat stimulus atau impuls yang adekuat
dari seabut besar, maka impuls nyeri dari serabut kecil akan dihantarkan ke sel T
(sel pemicu atau trigger sel). Kemudian dibawa ke otak dan menimbulkan sensasi
nyeri yang dirasakan oleh tubuh. Keadaan ketika impuls nyeri dihantarkan ke otak
dinamakan pintu gerbang terbuka. Sebaliknya apabila terdapat impuls yang
ditransmisikan oleh serabut berdiameter besar karena adanya stimulasi kulit,
sentuhan, getaran, sensasi hangat atau dingin, serta sentuhan halus, akan
menghambat ipmlus dari serabut beridamter kecil sehinggan sensasi yang diabawa
serabut krcil akan berkurang atau bahkan tidak dihantarkan ke otak oleh SG
sehingga tubuh tidak merasakan sensasi nyeri, kondisi ini disebut dengan pintu
gerbang tertutup (Zakiyah, 2015).

2.1.4 Reaksi

Reaksi terhadap nyeri meruapakn respon fisiologis dan perilaku yang terjadi
setelah mempersepsikan nyeri. Reaksi terhadap nyeri menurut
(Potter et al., 2013) meliputi beberapa respon antara lain :

1. Respon fisiologis

Nyeri dengan tingkat yang ringan hingga sedang dan nyeri yang
superfisial akan menimbulkan reaksi “flight or fight”, yang meruakan sindrom
adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom
menghasilkan respon fisiologis dan sistem saraf parasimpatis akan
menghasilkan suatu aksi
2. Respon perilaku

Gerakan tubuh yang khas dan ekspresi wajah yang

mengindikasikan nyeri meliputi menggertakan gigi, memgang bagian tubuh


yang terasa nyeri, postur tubuh membengkok, dan ekspresi wajah yang
menyeringai. Seorang klien mungkin menangis atau mengaduh, gelisah atau
sering memanggil petugas. Namun kurangnya ekspresi tidak selalu berarti
bahwa klien tidak mengalami nyeri.

2.1.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri


1. Usia
Menurut (Potter et al., 2013) usia adalah variabel penting yang
mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa.
Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur
ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap
nyeri. Seorang perawat harus menggunakan teknik komunikasi yang
sederhana dan tepat untuk membantu anak dalam membantu anak dalam
memahami dan mendeskripsikan nyeri. Perawat dapat menunjukkan
serangkaian gambar yang melukiskan deskripsi wajah yang berbeda, seperti
tersenyum, mengerutkan dahi atau menangis. Anak-anak dapat menunjukkan
gambar yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan mereka.
2. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang
diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi
terhadap nyeri (Kozier et al., 2018).
Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya
pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya perawat dapat
mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan, seperti menangis atau
meringis yang berlebihan. Pasien dengan latar belakang budaya yang lain bisa
berekspresi secara berbeda, seperti diam seribu bahasa ketimbang
mengekspresikan nyeri klien dan bukan perilaku nyeri karena perilaku
berbeda dari satu pasien ke pasien lain.
3. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan
nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua keadaaan. Riset tidak
memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri juga
tidak memperlihatkan bahwa pelatihan pengurangan stres praoperatif
menurunkan nyeri saat pascaoperatif. Namun, ansietas yang relevan atau
berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap
nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi
pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara
yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan
pengobatan nyeri ketimbang ansietas (Potter et al., 2013).
4. Pengalaman Masa Lalu
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang
dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan
yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi
nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum nyeri tersebut menjadi
lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mengetahui
ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan pengobatan yang tidak adekuat.
Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari banyak
kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa orang, nyeri
masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan, seperti pada nyeri
berkepanjangan atau kronis dan persisten. Efek yang tidak diinginkan yang
diakibatkan dari pengalaman sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat
untuk waspada terhadap pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri. Jika
nyerinya teratasi dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit
ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi nyeri
dengan baik (Potter et al., 2013).
5. Efek Plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan
atau tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar
benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan
efek positif.
Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan
keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak
petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin efektif
intervensi tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi
diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan
nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang
didapatnya tidak mempunyai efek apapun. Hubungan pasien –perawat yang
positif dapat juga menjadi peran yang amat penting dalam meningkatkan efek
plasebo (Potter et al., 2013).
6. Keluarga Dan Support Sosial
Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah
kehadiran dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri
sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau
melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin akan
membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal
khusus yang penting untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Potter et al.,
2013).
7. Pola Koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani perawatan di rumah
sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terusmenerus klien
kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol lingkungan termasuk
nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek nyeri baik fisik
maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama
nyeri. Sumber-sumber koping ini seperti berkomunikasi dengan keluarga,
latihan dan bernyanyi dapat digunakan sebagai rencana untuk mensupport
klien dan menurunkan nyeri klien (Potter et al., 2013).
2.1.6 Jenis-jenis Nyeri

Secara umum nyeri dapat dibedakan menjadi 2 kategori yaitu nyeri akut dan
kronik, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Nyeri Akut
Nyeri Akut merupakan nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga
kurang dari 6 bulan biasanya dengan awitan tiba-tiba dan umumnya berkaitan
dengan cidera fisik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cidera
telah terjadi. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit
sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya
penyembuhan. Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan
biasanya kurang dari satu bulan. Salah satu nyeri akut yang terjadi adalah
nyeri pasca pembedahan (Meliala & Suryamiharja, 2007).
2. Nyeri Kronik
Nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitern yang menetap
sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu
penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitakan dengan
penyebab atau cidera fisik. Nyeri kronis dapat tidak memiliki awitan yang
ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri
ini sering tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada
penyebabnya (Strong J, Unruh AM, 2001). Nyeri kronik ini juga sering di
definisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih,
meskipun enam bulan merupakan merupakan suatu periode yang dapat
berubah untuk membedakan nyeri akut dan nyeri kronis (Potter et al., 2013).
Berdasarkan (Andarmoyo, 2013) nyeri dapat dibedakan berdasarkan lokasinya
yaitu sebagai berikut:
1. Nyeri Perifer
Nyeri ini ada tiga macam, yaitu :
a. Nyeri superfisial, yaitu nyeri yang muncul akibat rangsangan pada kulit dan
mukosa
b. Nyeri viseral, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi dari reseptor
nyeri di rongga abdomen, cranium dan toraks.
c. Nyeri alih, yaitu nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh dari
penyebab nyeri.
2. Nyeri Sentral
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak dan
talamus.
3. Nyeri Psikogenik
Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata lain nyeri ini
timbul akibat pikiran si penderita itu sendiri
2.1.7 Penatalaksanaan
Menurut Tanra, (2007) Nyeri post operasi akan terus dirasakan sampai
pemberian obat analgesik berikutnya, pada waktu inilah diperlukan terapi
komplementer. Selama dan setelah operasi akan mengakibatkan sensitisasi susunan
saraf sensorik menjadi meningkat (Kustiningsih et al., 2014). Perubahan ini
dirasakan pasien sebagai stimulus noksius yang normal menjadi sangat nyeri. Pada
periode ini pengelolaan nyeri paska bedah sudah menggunakan obat, tetapi masih
belum optimal (Black & Hawks, 2011; Lewis et al., 2011).
Adapun bentuk nyeri yang dialami oleh klien pasca operasi adalah nyeri
akut yang terjadi karena luka insisi bekas pembedahan (Potter et al., 2013) Tujuan
dari manajemen nyeri pasca operasi adalah untuk mengurangi atau menghilangkan
rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal mungkin.
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam manajemen nyeri yaitu
pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Pengkombinasian antara teknik non
farmakologi dan teknik farmakologi adalah cara yang efektif untuk menghilangkan
nyeri (Smeltzer et al., 2012) Terapi Non farmakologi membantu pengobatan
farmakologi standar manajemen nyeri. Obat medis yang digunakan untuk
mengobati somatik (fisiologis & emosional). Penggunaan terapi nonfarmakologi
yang menjadi pilihan menurut (Potter et al., 2013) adalah yang pendekatannya
noninvasif, resikonya rendah, tidak mengeluarkan biaya yang banyak, mudah
dilakukan, berada pada lingkup keperawatan.

2.1.8 Pengukuran Intensitas Nyeri


1. Skala Deskriptif Verbal (VDS)

Skala deskriptif verbal (VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari
tiga sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang sama di
sepanjang garis. Pendeskripsian ini dirangking dari “tidak nyeri” sampai “nyeri
tidak tertahankan”. Perawat menunjukan klien skala tersebut dan meminta klien
untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan (Potter et al., 2013).
2. Skala Penilaian Numerik (NRS)
Skala penilaian numerik atau numeric rating scale (NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Klien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10 (Meliala & Suryamiharja, 2007). Perawat dapat
menanyakan kepada klien tentang nilai nyerinya dengan menggunakan skala 0
sampai 10 atau skala yang serupa lainnya yang membantu menerangkan
bagaimana intensitas nyerinya. Nyeri yang ditanyakan pada skala tersebut adalah
sebelum dan sesudah dilakukan intervensi nyeri untuk mengevaluasi
keefektifannya (Mc Kinney et al, 2000). Jika klien mengerti dalam penggunaan
skala dan dapat menjawabnya serta gambaran-gambaran yang diungkapkan atau
ditunjukkan tersebut diseleksi dengan hati-hati, setiap instrumen tersebut dapat
menjadi valid dan dapat dipercaya (Potter et al., 2013).
Skala penilaian numerik atau numeric rating scale (NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Skala penialaian numerik lebih sering
digunakan sebagai pengganti alat deskripsi nyeri. Klien menilai nyeri degan
menggunakan skala 0-10 (Taylor, 2011). Skala ini paling efektif digunakan untuk
mengukur intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan intervensi terapeutik
(Potter et al., 2013).
Pembagian kategori dalam skala numerik menurut (Potter et al., 2013) adalah sebagai berikut:

Skala Nyeri Keterangan (Kriteria Nyeri)


0 Tidak merasakan nyeri
(Tidak nyeri)
1-3 Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat
(Nyeri berkomunikasi dengan baik
ringan)
4-6 Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, dapat
(Nyeri menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
sedang) dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 Nyeri berat, secara obyektif klien terkadang tidak
(Nyeri berat) dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap
tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 Nyeri sangat berat, pasien sudah tidak mampu lagi
(Nyeri sangat bergerak berat)
Tabel 2.1 Keterangan Skala Nyeri Numerik

3. Skala Analog Visual (VAS)


VAS adalah suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada ujungnya. Skala ini memberi
klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri (Potter et al., 2013)
VAS digunakan pada pasien dengan kesadaran compos mentis dan usia
lebih dari 7 tahun. Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun
1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0)
penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Penggunaan
skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita
dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan
oleh (Aicher et al., 2012) karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga
secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif
mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak
menjadi permasalahan. Williamson (2007) juga melakukan kajian pustaka atas
tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling
kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio.
Tidak nyeri Nyeri sangat berat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mangku (2010)


menggolongkan skala VAS untuk alat ukur penelitian sebagai berikut : 0 - 1 =
Kurangnya rasa sakit, 2 – 3 = Nyeri ringan, 4 – 5 = Nyeri sedang, 6 – 7 = Nyeri
berat, 8 – 10 = nyeri tak tertahankan.
4. Skala Nyeri Wajah

Skala wajah terdiri atas enam wajah dengan profil kartun yang
menggambarkan wajah yang sedang tersenyum (tidak merasa nyeri), kemudian
secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang sangat
sedih sampai wajah yang sangat ketakutan (nyeri yang sangat) (Potter et al.,
2013).

2.1.9 Dampak Nyeri


Nyeri menimbulkan perasaan yang tidak nyaman pada pasien. Apabila
myeri tidak segera diatasi secara adekuat akan memberikan efek yang
mebahayakan, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Efek kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin, dan imunologik (Solehati &
Kosasih, 2015).
2. Ketidaknyamanan, hambatan mobilitas fisik dan gangguan pola tidur
(Nurarif & Kusuma, 2016).
3. Meningkatkan kecemasan atau menimbulkan rasa takut, selain itu juga dapat
menyebabkan terjadinya perubahan gaya hidup seperti tidur, nutrisi dan
sebagainya (Zakiyah, 2015).
4. Nyeri yang hebat merupakan penyebab terjadinya shock neurogenik
(Smeltzer et al., 2012).
2.1.10 Manajemen Nyeri
1. Pendekatan farmakologi
Teknik farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk menghilangkan
nyeri dengan pemberian obat-obatan pereda nyeri terutama untuk nyeri yang
sangat hebat yang berlangsung selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari.
Metode yang paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri adalah analgesic
(Strong J, Unruh AM, 2001). Menurut (Potter et al., 2013) ada tiga jenis analgesik
yakni:
a. Non-narkotik dan anti inflamasi nonsteroid (NSAID): menghilangkan nyeri
ringan dan sedang. NSAID dapat sangat berguna bagi pasien yang rentan
terhadap efek pendepresi pernafasan.
b. Analgesik narkotik atau opiad: analgesik ini umumnya diresepkan untuk nyeri
yang sedang sampai berat, seperti nyeri pasca operasi. Efek samping dari
opiad ini dapat menyebabkan depresi pernafasan, sedasi, konstipasi, mual
muntah.
c. Obat tambahan atau ajuvant (koanalgesik): ajuvant seperti sedative, anti
cemas, dan relaksan otot meningkatkan control nyeri atau menghilangkan
gejala lain terkait dengan nyeri seperti depresi dan mual.
2. Intervensi Keperawatan Mandiri (Non farmakologi)
Intervensi keperawatan mandiri menurut (Bangun & Nur’aeni, 2013)
merupakan tindakan pereda nyeri yang dapat dilakukan perawat secara mandiri
tanpa tergantung pada petugas medis lain dimana dalam pelaksanaanya perawat
dengan pertimbangan dan keputusannya sendiri. Banyak pasien dan anggota tim
kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk
menghilangkan nyeri. Namun banyak aktifitas keperawatan nonfarmakologi yang
dapat membantu menghilangkan nyeri, metode pereda nyeri nonfarmakologi
memiliki resiko yang sangat rendah. Meskipun tidakan tersebut bukan merupakan
pengganti obat-obatan (Potter et al., 2013).
a. Masase dan Stimulasi Kutaneus
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum. Sering dipusatkan
pada punggung dan bahu. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman (Potter
et al., 2013). Sedangkan stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang
dilakukan selama 3-10 menit untuk menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara
melepaskan endofrin, sehingga memblok transmisi stimulus nyeri (Potter et
al., 2013).

b. Efflurage Massage
Effleurage adalah bentuk masase dengan menggunakan telapak tangan
yang memberi tekanan lembut ke atas permukaan tubuh dengan arah sirkular
secara berulang (Parulian et al., 2013). Langkahlangkah melakukan teknik ini
adalah kedua telapak tangan melakukan usapan ringan, tegas dan konstan
dengan pola gerakan melingkari abdomen, dimulai dari abdomen bagian
bawah di atas simphisis pubis, arahkan ke samping perut, terus ke fundus uteri
kemudian turun ke umbilicus dan kembali ke perut bagian bawah diatas
simphisis pubis, bentuk pola gerakannya seperti “kupu-kupu”. Masase ini
dilakukan selama 3–5 menit dan berikan lotion atau minyak/baby oil
tambahan jika dibutuhkan (Kozier et al., 2018).
c. Distraksi
Distraksi yang memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada
nyeri dapat menjadi strategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan
mekanisme terhadap teknik kognitif efektif lainnya. Distraksi diduga dapat
menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden,
yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak
(Potter et al., 2013).
d. Terapi Musik
Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental
dengan rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, bentuk dan
gaya yang diorganisir sedemikian rupa hingga tercipta musik yang bermanfaat
untuk kesehatan fisik dan mental (Eka, 2011). Perawat dapat menggunakan
musik dengan kreatif di berbagai situasi klinik, pasien umumnya lebih
menyukai melakukan suatu kegiatan memainkan alat musik, menyanyikan
lagu atau mendengarkan musik. Musik yang sejak awal sesuai dengan suasana
hati individu, merupakan pilihan yang paling baik (Karendehi et al., 2015).
e. GIM (Guided Imagery Music)
GIM (Guided Imagery Music) merupakan intervensi yang digunakan
untuk mengurangi nyeri. GIM mengombinasikan intervensi bimbingan
imajinasi dan terapi musik. GIM dilakukan dengan memfokuskan imajinasi
pasien. Musik digunakan untuk memperkuat relaksasi. Keadaan relaksasi
membuat tubuh lebih berespons terhadap bayangan dan sugesti yang
diberikan sehingga pasien tidak berfokus pada nyeri (Suarilah, 2014).
f. Hidroterapi Rendam Kaki Air Hangat
Salah satu terapi nonfarmakologi adalah hidroterapi rendam kaki air
hangat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti pada tahun 2015
tentang pengaruh hidroterapi rendam kaki air hangat terhadap 17 pasien post
operasi di RS Islam Sultan Agung Semarang terdapat penurunan intensitas
nyeri dari sebelum diberikan 4,06 dan setelah diberikan intensitas nyeri
menjadi 2,71 dan terdapat pengaruh hodroterapi rendam kaki air hangat
terhadap penurunan nyeri pasien post operasi dengan nilai p value 0,003 (p
value <0,05).
g. Teknik Relaksasi Nafas Dalam
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien
bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi
secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan,
selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi bernafas dalam juga
dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah.
Teknik relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan nyeri dengan
meminimalkan aktivitas simpatik dalam system saraf otonom (Fitriani, 2013).
Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan
nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam
hati dan lambat bersama setiap inhalasi (hirup) dan ekhalasi (hembus) (Potter
et al., 2013).
h. Imajinasi Terbimbing (Guided Imagery)
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam
suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu.
Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri
dapat terdiri atas penggabungan nafas berirama lambat dengan suatu
bayangan mental relaksasi dan kenyamanan (Potter et al., 2013).
i. Aromaterapi
Aromaterapi merupakan penggunaan ekstrak minyak esensial tumbuhan
yang digunakan untuk memperbaiki mood dan kesehatan (Primadiati, 2012).
Mekanisme kerja perawatan aromaterapi dalam tubuh manusia berlangsung
melalui dua sistem fisiologis, yaitu sirkulasi tubuh dan sistem penciuman.
Wewangian dapat mempengaruhi kondisi psikis, daya ingat, dan emosi
seseorang.
Beberapa jenis aromaterapi yang digunakan dalam menurunkan intensitas
nyeri adalah aromaterapi lemon dan aromaterpi lavender. Aromaterapi lemon
merupakan jenis aroma terapi yang dapat digunakan untuk mengatasi nyeri
dan cemas. Zat yang terkandung dalam lemon salah satunya adalah linalool
yang berguna untuk menstabilkan sistem saraf sehingga dapat menimbulkan
efek tenang bagi siapapun yang menghirupnya (Purwandari, 2009)
j. Kompres Dingin
Metode sederhana yang dapat di gunakan untuk mengurangi nyeri yang
secara alamiah yaitu dengan memberikan kompres dingin pada area nyeri, ini
merupakan alternatif pilihan yang alamiah dan sederhana yang dengan cepat
mengurangi rasa nyeri selain dengan memakai obat-obatan. Terapi dingin
menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf
sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit (Rahmawati, 2013).
k. Kompres Hangat
Kompres hangat adalah suatu metode dalam penggunaan suhu hangat
yang dapat menimbulkan efek fisiologis (Anugraheni & Wahyuningsih,
2013). Kompres hangat dapat digunakan pada pengobatan nyeri dan
merelaksasikan otot-otot yang tegang (Price & Wilson, 2005). Kompres
hangat dilakukan dengan mempergunakan buli-buli panas atau kantong air
panas secara konduksi dimana terjadi pemindahan panas dari buli-buli ke
dalam tubuh sehingga akan menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan akan
terjadi penurunan ketegangan otot sehingga nyeri yang dirasakan akan
berkurang atau hilang (Potter et al., 2013).
l. Tehnik Akupresur
Akupresur disebut juga akupunktur tanpa jarum, atau pijat akupunktur.
Teknik ini menggunakan tenik penekanan, pemijatan, dan pengurutan
sepanjang meridian tubuh atau garis aliran energi. Teknik akupresur ini dapat
menurunkan nyeri. Sedangkan teknik akupresur titik pada tangan yaitu
dilakukan pada titik yang terletak sepanjang lipatan tangan ketika jari-jari
menyatu pada telapak tangan. Titik ini membantu pelepasan endorphin ke
dalam tubuh sehingga sangat membantu untuk menurunkan nyeri saat
kontraksi(Suroso & Mulati, 2013).

m. Dzikir Khafi
Secara etimologi dzikir berasal dari bahasa arab “zakara” yang berarti
menyebut atau mengingat-ingat. Secara istilah dzikir berarti membasahi lidah
dengan ucapan-ucapann pujian kepada Allah SWT (Jauhari, 2014) dalam
(Hutagaol, 2016). Dzikir khafi merupakan dzikir didalam qalbu yang
merupakan penggerak emosi perasaan, dzikir ini muncul melalui rasa, yaitu
rasa tentang penzahiran keaguangan dan keindahan Allah SWT (Hidayat,
2014).
2.2 Konsep Sectio Caesarea

2.2.1 Pengertian Sectio Caesarea (SC)

Sectio Caesarea (SC) adalah suatu cara untuk melahirkan janin dengan

membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut.(Nurarif &

Kusuma, 2015).

Sectio Caesarea (SC) adalah proses persalinan dengan melalui pembedahan

dimana irisan dilakukan di perut untuk mengeluarkan seorang bayi (Siwi Walyani,

2014).

Sectio caesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan melalui

sayatan pada dinding uterus yang masih utuh (Winkjosastro, 2008).

Sectio Caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat

sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau sectio

caesaria adalah suatu histerektomiauntuk janin dari dalam rahim yang bertujuan

untuk menyelamatkan kehidupan baik pada ibu maupun pada bayi (Mochtar, 2002

).

2.2.2 Etiologi Sectio Caesarea (SC)

1. Etiologi yang berasal dari ibu

Menurut Manuaba (2012) adapun penyebab sectio caesarea yang berasal

dari ibu yaitu ada sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk, terdapat

kesempitan panggul, plasenta previa terutama pada primigravida, solutsio

plasenta tingkat I-II, komplikasi kehamilan, kehamilan yang disertai penyakit


(jantung, DM), gangguan perjalanan persalinan (kista ovarium, mioma uteri,

dan sebagainya). Selain itu terdapat beberapa etiologi yang menjadi indikasi

medis dilaksanakannya seksio sesaria antara lain :CPD (Chepalo Pelvik

Disproportion), PEB (Pre-Eklamsi Berat), KPD (Ketuban Pecah Dini), Faktor

Hambatan Jalan Lahir.

2. Etiologi yang berasal dari janin

Gawat janin, mal presentasi, dan mal posisi kedudukan janin, prolapsus tali

pusat dengan pembukaan kecil, kegagalan persalinan vakum atau forceps

ekstraksi (Nurarif & Kusuma, 2015).

2.2.3 Indikasi dan Pemeriksaan Penunjang Sectio Caesaria

Indikasi dilakukan sectio caesaria menurut Rasjidi (2009) adalah sebagai

berikut :

1. Plasenta previa sentralis dan lateralis (posterior)

2. Panggul sempit

3. Disporsi sefalopelvik, yaitu ketidakseimbangan antara ukuran kepala dan

panggul

4. Ruptur uteri mengancam

5. Partus lama (prolonged labor)

6. Partus tak maju (obtructed labor)

7. Distosia serviks

8. Pre-eklamsia dan hipertensi

9. Malpresentasi janin (letak lintang, letak bokong, presentasi dahi dan muka

(letak defleksi), presentasi rangkap jika reposisi tidak berhasil, gemeli)


Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan sebagai persiapan ataupun

observasi atas dilakuaknnya tindakan sectio caesarea adalah sebagai berikut :

1. Pemantauan janin terhadap kesehatan janin

2. Pemantauan EKG

3. JDL dengan diferensial

4. Elektrolit

5. Hemoglobin atau hematokrit

6. Golongan darah

7. Urinalisis

8. Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi

9. Pemeriksaan sinar X sesuai indikasi

10. Ultrasound sesuai pesanan

2.2.4 Macam-macam Sectio Caesarea

1. Segmen bawah : insisi melintang

Insisi melintang segmen bawah uterus, merupakan prosedur pilihan,

abdomen dibuka dan uterus disingkapkan. Lipatan vesika urinaria

peritoneum yang terletak dekat sambungan segmen atas dan bawah uterus

ditentukan dan disaat melintang. Lipatan ini dilepaskan dari segmen bawah

dan sama-sama kandung kemih didorong serta ditarik agar tidak menutupi

lapangan pandangan.

Pada segmen bawah uterus dibuat insasi melintang yang kecil luka

insisi daerah pembuluh darah uterus, kepala janin yang pada sebagian
besar kasus terletak terbalik insisi diekstrasi atau dorongan, diikuti oleh

sebagian tubuh lainnya dan kemudian plasenta serta selaput ketuban.

2. Segmen bawah : insisi membujur

Cara membuka abdomen dan meningkap uterus sama seperti insisi

melintang, insisi membujur disebut dengan skapal dan dilebarkan dengan

gunting tumpul untuk menghindari cidera pada bayi.

3. Sectio caesaria klasik

Insisi longitudinal digaris tengah dibuat dengan skapal kedalam

dinding anterior uterus dan dilebarkan keatas serta dibawah lengan dengan

gunting tumpul. Diperlukan luka insisi yang lebar karena bayi – bayi

sering dilahirkan dengan bokong dahulu, janin serta plasenta dikeluarkan

dan uterus ditutup dengan jahitan tiga lapis.

4. Sectio caesaria ekstraperitonal

Pembedahan ekstraperitonal dikerjakan untuk menghindari

perlukaan histerektomi pada kasus – kasus yang mengalami infeksi luas

dengan mencegah peritonitis yang sering bersifat fatal (Rasjidi, 2009).

2.2.5 Komplikasi

Menurut Rasjidi (2009) komplikasi dari tindakan sectio caesaria adalah

sebagai berikut :
1. Pendarahan primer sebagai akibat kegagalan mencapai hemostrasis karena

insisi rahim atau akibat atonia yang dapat terjadi setelah pemanjangan

masa persalinan.

2. Sepsis sesudah pembedahan, frekuensi dari komplikasi ini jauh lebih berat

bila sectio caesaria dilakukan selama persalinan atau bila terdapat infeksi

dalam rahim.

3. Cidera pada sekeliling struktur, usus besar, kandung kemih, pembuluh

didalam ligamen yang lebar dan uretur, hematuria singkat dapat terjadi

akibat antusias dalam menggunakan retraktor didaerah dinding kandung

kemih.

4. Infeksi Puerferal (nifas)

a. Ringan dengan kenaikan suhu hanya beberapa hari saja.

b. Sedang dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai dehidrasi dan

perut sedikit kembung.

c. Berat dengan peritonitis, sepsisdan illeus paralitik. Infeksi berat sering

kita jumpai pada partus terlantar, sebelum timbul infeksinifas, telah

terjadi infeksi intra partum karena ketuban pecah terlalu lama.

5. Perdarahan karena :

a. Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka.

b. Atonia uteri.

c. Perdarahan pada placental bed.

6. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila

reperitonialisasi terlalu tinggi.Kemungkinan ruptur uteri spontan pada

kehamilan mendatang.

Sedangkan menurut Wiknjosastro (2008) komplikasi dari tindakan


SC adalah sebagai berikut :

1. Infeksi puerperal (nifas)

a. Ringan; dengan kenaikan suhu beberapa hari saja

b. Sedang; dengan kenaikan suhu yang lebih tinggi, disertai dehidrasi dan

perut sedikit kembung

c. Berat ; dengan peritonitis, sepsis dan ileus paralitik. Hal ini sering kita

jumpai pada partus terlantar, dimana sebelumnya telah terjadi infeksi

intrapartal karena ketuban yang telah pecah terlalu lama

2. Perdarahan ,disebabkan karena:

a. Banyak pembuluh darah yang terputus dan terbuka

b. Atonia uteri

c. Perdarahan pada placental bled

3. Luka kandung kemih, emboli baru dan keluhan kandung kemih bila

reperitonealisasi terlalu tinggi

4. Kemungkinan ruptura uteri spontan pada kehamilan mendatang

2.2.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ibu post partum sectio caesarea menurut Rasjidi

(2009) adalah sebagai berikut :

1. Kesadaran penderita

a. Pada anastesi lumbal

Kesadaran penderita baik, oleh karenanya ibu dapat mengetahui hampir

semua proses persalinan


b. Pada anestesi umum

Pulihnya kesadaran oleh ahli telah diatur, dengan memberikan oksigen,

menjelang akhir operasi.

2. Mengukur dan memeriksa tanda–tanda vital

a. Pengukuran tanda vital

Kaji tanda–tanda vital setiap 5 menit sampai stabil, kemudian setiap 15

menit selama satu jam, kemudian setiap 30 menit selama 8 jam.

1) Tensi, nadi, temperature dan pernapasan

2) Keseimbangan cairan melalui produksi urin, dengan

perhitungan :

a) Produksi urine normal 500- 600 cc

b) Pernapasan 500- 600 cc

c) Penguapan badan 900- 1000 cc

3) Pemberian cairan pengganti sekitar 2000–2500cc dengan

perhitungan 20 tetes per menit (= 1cc/ menit): Infus setelah operasi

sekitar 2 x 24 jam.

b. Pemeriksaan

1) Paru-paru

a) Kebersihan jalan napas

b) Ronki basah; untuk mengetahui adanya edema perut.

2) Bising usus menandakan berfungsinya usus (dengan adanya

flatus)

3) Perdarahan lokal pada luka operasi

4) Konstraksi rahim; untuk menutup pembuluh darah.

Perdarahan per vaginam.


(1) Evaluasi pengeluaran lokhia

(2) Atonia uteri meningkatkan perdarahan

(3) Perdarahan berkepanjangan.

c. Profilaksis antibiotika

Infeksi selalu diperhitungkan dari adanya alat yang kurang steil,

infeksi asendens karena manipulasi vagina, sehingga pemberian

antibiotika sangat penting untuk menghindari terjadinya sepsis sampai

kematian.

Pertimbangan pemberian antibiotika :

1) Bersifat profilaksis

2) Bersifat terapi karena sudah terjadi infeksi

3) Berpedoman pada hasil tes sensitifitas

4) Kualitas antibiotika yang akan diberikan

3. Cara pemberian antibiotika

Paling tepat adalah berdasarkan hasil tes sentifitas, tetapi

memerlukan waktu 5-7 hari, sehingga sebagian besar pemberian

antibiotika dengan dasar ad juvantibus. Jika terdapat tanda infeksi, berikan

antibiotika kombinasi sampai pasien bebas demam selama 48 jam :

a. Ampisilin 2 gr IV setiap 6 jam

b. Ditambah gentamicin 5 mg/kg BB IV setiap 24 jam

c. Ditambah metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam

4. Perawatan luka insisi


a. Luka insisi dibersihkan dengan larutan desinfektan lalu ditutup dengan

kain penutup luka secara periodik luka dibersihkan dan diganti

b. Jahitan diangkat pada hari ke 6-7 pst operasi diperhatikan apakah luka

sembuh atau dibawah luka terdapat eksudat

c. Jika luka dengan eksudat sedikit, ditutup dengan band aid operatif

dressing

d. Jika luka dengan eksudat sedang ditutup dengan regal filmatedswabs

atau pembalut luka lainnya

e. Jika luka dengan eksudat banyak, ditutup dengan surgipad atau

dikompres dengan cairan suci hama lainnya, sedangkan untuk

memberikan kenyamanan bergerak bagi penderitanya sebaiknya dipakai

gurita

5. Mobilisasi penderita

Konsep mobilisasi dini tetap merupakan konsepsi dasar, sehingga

pulihnya alat vital dapat segera tercapai

a. Mobilisasi fisik

1) Miring kekanan dan kekiri dimulai –1 jam pasca operasi (setelah sadar)

2) Hari kedua penderita dapat duduk selama 5 menit dan hari

3-5 mulai belajar berjalan

3) Infus dan kateter dibuka pada hari kedua atau ketiga

b. Mobilisasi usus

1) Setelah hari pertama dan keadaan baik, penderita boleh minum

2) Diikuti dengan makan bubur saring dan pada hari keduaketiga

makan bubur

3) Hari keempat-kelima nasi biasa dan boleh pulang


6. Nasehat Pasca Operasi

Hal-hal yang dianjurkan pasca operasi antara lain:

a. Dianjurkan jangan hamil kurang lebih satu tahun dengan memakai alat

kontrasepsi

b. Kehamilan berikutnya hendaknya diawasi dengan antanatal yang baik

c. Bersalin di rumah sakit yang besar

Anda mungkin juga menyukai