Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

DI Ruang ASOKA RSUD PROF. DR. W.Z JOHANNES

KUPANG

OLEH:
KURNIAWAN ASA NDAPAOLE
NIM: 171111022

PRODI S1. KEPERAWATAN A/ V

UNIVERSITAS CITRA BANGSA

KUPANG

2020

1
Nyeri
A. Pengertian Nyeri

Nyeri merupakan sebuah pengalaman sensori serta emosional yang tidak


menyenangkan yang berkaitan pada kerusakan jaringan, aktual maupun potensial
atau menggambarkan suatu kerusakan yang sama menurut Association for the
Study of Pain. Nyeri merupakan suatu pengalaman yang dikatakan oleh seseorang
yang sedang merasakan nyeri dan ada ketika seseorang tersebut mengatakan ada
(Andarmoyo, S. 2013).

Definisi nyeri dalam kamus medis yaitu perasaan distres, kesakitan,


ketidaknyamanan yang ditimbulkan dari stimulasi ujung saraf tertentu. Tujuan nyeri
terutama untuk perlindungan, nyeri berperan sebagai suatu sinyal peringatan dari
tubuh terhadap jaringan yang sedang mengalami kerusakan dan meminta individu
untuk meredakan atau menghilangkan nyeri dari sumber .

Nyeri berperan sebagai mekanisme dalam memperingatkan individu terhadap


potensi bahaya fisik, oleh karena nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh
yang berfungsi untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dengan memberikan
dorongan untuk keluar dari sesuatu yang menimbulkan nyeri. Nyeri merupakan
sesuatu yang sangat subyektif maka yang dapat mendefinisikan nyeri secara akurat
yaitu individu itu sendiri yang sedang merasakan nyeri. Terlepas dari
subyektifitasnya, seorang perawat harus memiliki tanggungjawab untuk mengkaji
klien secara akurat dalam membantu meringankan atau menurunkan nyeri
(Andarmoyo, S. 2013).

B. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi (Ratih, 2012):
a. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan membran
mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan terlokalisasi
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat rangsangan
pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
c. Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang menutupinya
(pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini dibagi lagi menjadi
nyeri viseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri
alih parietal.

2
C. Fisiologi Nyeri
Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan.
Reseptor nyeri tersebar pada kulit dan mukosa dimana reseptor nyeri memberikan
respon jika adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat
kimia seperti histamine, bradikinin, prostaglandin dan macam-macam asam yang
terlepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigen.
Stimulasi yang lain dapat berupa termal, listrik, atau mekanis (Potter &Poerry. 2010).
Nyeri dapat dirasakan jika reseptor nyeri tersebut menginduksi serabut saraf
perifer aferen yaitu serabut A-delta dan serabut C. Serabut A-delta memiliki myelin,
mengimpulskan nyeri dengan cepat, sensasi yang tajam, jelas melokalisasi sumber
nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C tidak memiliki myelin, berukuran
sangat kecil, menyampaikan impuls yang terlokalisasi buruk, visceral dan terus-
menerus (Potter & Perry, 2010).
Ketika serabut C dan A-delta menyampaikan rangsang dari serabut saraf perifer
maka akan melepaskan mediator biokimia yang aktif terhadap respon nyeri, seperti :
kalium dan prostaglandin yang keluar jika ada jaringan yang rusak. Transmisi
stimulus nyeri berlanjut di sepanjang serabut saraf aferen sampai berakhir di bagian
kornu dorsalis medulla spinalis. Didalam kornu dorsalis, neurotransmitter seperti
subtansi P dilepaskan sehingga menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf
perifer ke saraf traktus spinolatamus. Selanjutnya informasi di sampaikan dengan
cepat ke pusat thalamus (Potter & Perry, 2010).

D. Patofisiologi Nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan
mengeluarkan zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat
menimbulkan nyeri. akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat
algesik, sitokin serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit eicosinoid,
radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek melalui
mekanisme spesifik. Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan
jaringan sampai dirasakan nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses
yang mengikuti suatu proses nosisepsi yaitu:
1. Tranduksi
Adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas listrik pada
ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin,
bradikinin, leukotrien, substans P, potassium, histamin, asam laktat, dan lain-lain
akan mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri
merupakan anyaman ujung-ujung bebas serat-serat afferent A delta dan C.
Reseptor-reseptor ini banyak dijumpai dijaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa
gigi dan jaringan tubuh yang lain. Serat saraf afferent A delta dan C adalah serat-
serat saraf sensorik yang mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir
ke sentral ke susunan saraf pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri
menyebabkan terbentuknya impuls nyeri.

3
2. Transmisi
Adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C serabut yang
menyusul proses tranduksi. Oleh serat afferent A-delta dan C impuls nyeri
diteruskan ke sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornua dorsalis.
Serat aferent A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri mempunyai
perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar
dibanding dengan serat C.
3. Modulasi
Merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA, 5HT)
dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan
oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornua dorsalis medulla
spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah
ini akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik
sistem inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen.
4. Persepsi
Impuls yang diteruskan ke kortex sensorik akan mengalami proses yang sangat
kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan
sensibel nyeri.
Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A
yang bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi
lambat). Serat A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C.
Serat A delta menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan
serat C (0.5-5 m/dtk). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun
keduanya memiliki perbedaan, baik reseptor maupun neurotransmiter yang
dilepaskan pada presinaps di kornu posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut A
hanya peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut C peka
terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi mekanik, termal dan kimiawi. Oleh
karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polymodal nociceptors. Demikian
pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di presinaps adalah asam
glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat juga substansi P
(neurokinin) yang merupakan polipeptida.
E. Jenis- jenis Nyeri
 Secara umum nyeri dibagi menjadi dua yaitu:
1. Nyeri Akut
Nyeri Akut merupakan nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga kurang
dari 6 bulan biasanya dengan awitan tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan
cidera fisik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cidera telah terjadi.
Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut
biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan. Nyeri ini umumnya
terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Salah satu
nyeri akut yang terjadi adalah nyeri pasca pembedahan (Meliala & Suryamiharja,
20017).

4
2. Nyeri Kronik
Nyeri kronik merupakan nyeri konstan atau intermitern yang menetap sepanjang
suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang
diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitakan dengan penyebab atau cidera fisik.
Nyeri kronis dapat tidak memiliki awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering
sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini sering tidak memberikan respon
terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya (Strong, Unruh, Wright &
Baxter, 2002). Nyeri kronik ini juga sering di definisikan sebagai nyeri yang
berlangsung selama enam bulan atau lebih, meskipun enam bulan merupakan suatu
periode yang dapat berubah untuk membedakan nyeri akut dan nyeri kronis (Potter
& Perry, 2005).
 Berdasarkan lokasinya Sulistyo (2013) dibedakan nyeri menjadi:
1. Nyeri Ferifer.
 Nyeri ini ada tiga macam, yaitu :
1. Nyeri superfisial, yaitu nyeri yang muncul akibat rangsangan pada kulit dan
mukosa
2. Nyeri viseral, yaitu rasa nyeri yang muncul akibat stimulasi dari reseptor nyeri
di rongga abdomen, cranium dan toraks.
3. Nyeri alih, yaitu nyeri yang dirasakan pada daerah lain yang jauh dari
penyebab nyeri.
2. Nyeri Sentral
Nyeri yang muncul akibat stimulasi pada medulla spinalis, batang otak dan
talamus.
3. Nyeri Psikogenik
Nyeri yang tidak diketahui penyebab fisiknya. Dengan kata lain nyeri ini timbul
akibat pikiran si penderita itu sendiri.
F. Mengkaji Persepsi Nyeri
1. Skala Deskriptif Verbal (VDS)
Skala deskriptif verbal (VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga
sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang sama di
sepanjang garis. Pendeskripsian ini dirangking dari “tidak nyeri” sampai “nyeri tidak
tertahankan”. Perawat menunjukan klien skala tersebut dan meminta klien untuk
memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan (Potter & Perry, 2010).
2. Skala Penilaian Numerik (NRS)
Skala penilaian numerik atau numeric rating scale (NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Klien menilai nyeri dengan menggunakan
skala 0-10 (Meliala & Suryamiharja, 20017).
Gambar 2 Numerical Rating Scale (Potter & Perry, 2010)

5
3. Skala Analog Visual (VAS)
VAS adalah suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada ujungnya. Skala ini memberi
klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri (Potter & Perry,
2010).
4. Skala Nyeri Wajah
Skala wajah terdiri atas enam wajah dengan profil kartun yang
menggambarkan wajah yang sedang tersenyum (tidak merasa nyeri), kemudian
secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang sangat sedih
sampai wajah yang sangat ketakutan (nyeri yang sangat) (Potter & Perry, 2010).

Gambar 4 Skala Nyeri Wajah (Potter&Perry, 2006)

G. Faktor –faktor yang mempengaruhi nyeri


1. Usia
Usia mempengaruhi seseorang bereaksi terhadap nyeri. Sebagai contoh anak-
anak kecil yang belum dapat mengucapkan kata-kata mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan secara verbal dan mengekspresikan rasa nyarinya, sementara
lansia mungkin tidak akan melaporkan nyerinya dengan alasan nyeri merupakan
sesuatu yang harus mereka terima (Potter & Perry, 2010).
2. Jenis kelamin
Secara umum jenis kelamin pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna
dalam merespon nyeri. Beberapa kebudayaan mempengaruhi jenis kelamin
misalnya ada yang menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan
tidak boleh menangis sedangkan seorang anak perempuan boleh menangis dalam
situasi yang sama (Rahadhanie dalam Andari, 2015).
3. Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengruhi individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang ajarkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka
(Rahadhanie dalam Andari, 2015).
4. Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri
yang meningkat. Sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan
respon nyeri yang menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang perawat
terapkan di berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik
imajinasi terbimbing (guided imaginary) dan mesase, dengan memfokuskan

6
perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain, misalnya pengalihan pada
distraksi (Irmawaty, L & Ratilasari, 2013).
5. Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri. Namun nyeri juga dapat
menimbulkan ansietas. Stimulus nyeri mengaktifkan bagian system limbik yang
diyakini mengendalikan emosi seseorang khususnya ansietas (Wijarnoko, 2012).

H. Manajemen Nyeri
1. Pendekatan farmakologi
Teknik farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri
dengan pemberian obat-obatan pereda nyeri terutama untuk nyeri yang sangat
hebat yang berlangsung selama berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Metode yang
paling umum digunakan untuk mengatasi nyeri adalah analgesic (Irmawaty, L &
Ratilasari, 2013).
Menurut (Irmawaty, L & Ratilasari, 2013), ada tiga jenis analgesik yakni:
1. Non-narkotik dan anti inflamasi nonsteroid (NSAID): menghilangkan nyeri
ringan dan sedang. NSAID dapat sangat berguna bagi pasien yang rentan
terhadap efek pendepresi pernafasan.
2. Analgesik narkotik atau opiad: analgesik ini umumnya diresepkan untuk
nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri pasca operasi. Efek
samping dari opiad ini dapat menyebabkan depresi pernafasan, sedasi,
konstipasi, mual muntah.
3. Obat tambahan atau ajuvant (koanalgesik): ajuvant seperti sedative, anti
cemas, dan relaksan otot meningkatkan control nyeri atau menghilangkan
gejala lain terkait dengan nyeri seperti depresi dan mual (Potter & Perry,
2010).
2. Intervensi Keperawatan Mandiri (Non farmakologi)
Merupakan tindakan pereda nyeri yang dapat dilakukan perawat secara mandiri
tanpa tergantung pada petugas medis lain dimana dalam pelaksanaanya perawat
dengan pertimbangan dan keputusannya sendiri. Banyak pasien dan anggota tim
kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk
menghilangkan nyeri. Namun banyak aktifitas keperawatan nonfarmakologi yang
dapat membantu menghilangkan nyeri, metode pereda nyeri nonfarmakologi
memiliki resiko yang sangat rendah. Meskipun tidakan tersebut bukan merupakan
pengganti obat-obatan (Irmawaty, L & Ratilasari, 2013).

I. Teknik Pemberian Terapi Nyeri


1. Masase dan Stimulasi Kutaneus

Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum. Sering dipusatkan pada
punggung dan bahu. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman . Sedangkan
stimulasi kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan selama 3-10 menit untuk
menghilangkan nyeri, bekerja dengan cara melepaskan endofrin, sehingga memblok
transmisi stimulus nyeri (Potter & Perry, 2010). Salah satu teknik memberikan

7
masase adalah tindakan masase punggung dengan usapan yang perlahan (Slow
stroke back massage).

2. Distraksi

Distraksi yang memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri
dapat menjadi strategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme
terhadap teknik kognitif efektif lainnya. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi
nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih
sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak .

3. Terapi Musik

Terapi musik adalah usaha meningkatkan kualitas fisik dan mental dengan
rangsangan suara yang terdiri dari melodi, ritme, harmoni, bentuk dan gaya yang
diorganisir sedemikian rupa hingga tercipta musik yang bermanfaat untuk kesehatan
fisik dan mental (Eka, 2011). Perawat dapat menggunakan musik dengan kreatif di
berbagai situasi klinik, pasien umumnya lebih menyukai melakukan suatu kegiatan
memainkan alat musik, menyanyikan lagu atau mendengarkan musik. Musik yang
sejak awal sesuai dengan suasana hati individu, merupakan pilihan yang paling baik
(Elsevier dalam Karendehi, 2015).

4. Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan,


yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan
nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana
menghembuskan nafas secara perlahan, selain dapat menurunkan intensitas nyeri,
teknik relaksasi bernafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan
meningkatkan oksigenasi darah. Teknik relaksasi nafas dalam dapat mengendalikan
nyeri dengan meminimalkan aktivitas simpatik dalam system saraf otonom (Fitriani,
2013). Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan
nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati
dan lambat bersama setiap inhalasi (hirup) dan ekhalasi (hembus).

5. Aromaterapi

Aromaterapi merupakan penggunaan ekstrak minyak esensial tumbuhan yang


digunakan untuk memperbaiki mood dan kesehatan. Mekanisme kerja perawatan
aromaterapi dalam tubuh manusia berlangsung melalui dua sistem fisiologis, yaitu
sirkulasi tubuh dan sistem penciuman. Wewangian dapat mempengaruhi kondisi
psikis, daya ingat, dan emosi seseorang. Beberapa jenis aromaterapi yang
digunakan dalam menurunkan intensitas nyeri adalah aromaterapi lemon dan
aromaterpi lavender. Aromaterapi lemon merupakan jenis aroma terapi yang dapat
digunakan untuk mengatasi nyeri dan cemas. Zat yang terkandung dalam lemon
salah satunya adalah linalool yang berguna untuk menstabilkan sistem saraf

8
sehingga dapat menimbulkan efek tenang bagi siapapun yang menghirupnya (Wong
dalam Purwandari, 2014).

J. Kesimpulan

Nyeri merupakan hal seringkali kita jumpai pada dunia praktek kedokteran yang
sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran Nyeri merupakan
manifestasi dari suatu proses patologis yang terjadi di dalam tubuh. Nyeri akut
merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. Bila pengelolaan nyeri dan
penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang
menjadi nyeri kronik.

9
DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, S. (2013). Konsep dan proses nyeri. Jogjakarta : Ar-Ruzz.

Ratih, (2012). Pengaruh pemberian terapi musik intrumental dan musik klasik
terhadap penurunan nyeri saat Wound Care pada pasien post op. Wonogiri.

Potter &Poerry. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan :Konsep, Proses,


Praktik. Jakarta : EGC

Irmawaty, L & Ratilasari, (2013). Manajemen nyeri menggunakan terapi musik


intrumental pada pasien post sectio caesarea. Jurnal Ilmiah WIDYA, 2 (3).

10

Anda mungkin juga menyukai