Anda di halaman 1dari 24

MANAJEMEN NYERI PADA

PASIEN TERMINAL ILNESS

Oleh:
Ns. Weny Amelia, M.Kep., Sp.Kep.MB
pengertian Nyeri
Terdapat beberapa definisi nyeri menurut beberapa ahli. International Association
for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri merupakan pengalaman yang
tidak menyenangkan dan suatu sensori subyektif yang berkaitan dengan
kerusakan pada jaringan yang potensial atau aktual dimana dirasakan adanya
kejadian yang mengalami kerusakan.
Nyeri adalah pengalaman subyektif seseorang berupa interaksi kompleks dari
psikososial, budaya, fisiologis, dan pengaruh lingkungan. Rangsangan nyeri dapat
bersifat mental dan fisik, dan kerusakan dapat terjadi pada fungsi ego seorang
individu atau pada jaringan aktual. Nyeri dapat diartikan sebagai pengalaman
sensorik dan emosional seseorang yang tidak menyenangkan yang berkaitan
dengan jaringan yang sudah mengalami kerusakan maupun yang berpotensi
akan terjadi kerusakan.
Jadi dapat disimpulkan nyeri adalah perasaan yang tidak
menyenangkan secara psikologis maupun fisik yang memberikan
tanda adanya kerusakan atau cidera pada tubuh sebagai
mekanisme pertahanan tubuh yang diungkapkan oleh seseorang.
Pengukuran nyeri tidak bisa secara objektif, misalnya dengan
pemeriksaan laboratorium atau sinar X. Nyeri sifatnya subyektif, jadi
sangat diperlukan kemampuan perawat dalam menentukan nyeri
pasien secara akurat berdasarkan pengkajian, dan membantu
pasien mengurangi nyeri atau mengontrol nyeri yang dialaminya.
KLASIFIKASI NYERI

NYERI NYERI
AKUT KRONIS
• Nyeri akut sering diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau nosiseptik, namun dapat pula
terjadi akibat proses neuropati.
• Nyeri akut dapat terjadi apabila adanya intervensi bedah, setelah cedera akut, penyakit
dan memiliki awitan yang cepat dengan intensitas yang beragam (ringan sampai berat)
dan waktu berlangsungnya singkat (Potter & Perry, 2010).
• Nyeri akut dapat dikatakan nyeri yang terjadi dalam waktu beberapa detik sampai 6
NYERI AKUT bulan. Namun penetapan nyeri akut mencapai 6 bulan masih perlu mendapat perhatian
karena proses penyembuhan akut injuri dapat terjadi dalam beberapa minggu hingga 6
minggu

• Nyeri kronis merupakan nyeri intermitten atau konstan sepanjang suatu periode waktu,
berlangsung diluar waktu penyembuhan yang sering tidak dapat dikaitkan dengan
penyebab atau cidera spesifik. Nyeri kronis ini tidak mempunyai awitan yang ditetapkan
dengan tepat dan sulit untuk diobati karena biasanya pada nyeri ini tidak memberikan
respon terhadap pengobatan yang diberikan pada penyebabnya
• Nyeri kronis dapat terjadi dalam waktu lebih dari 6 bulan.
NYERI • Nyeri kronis tidak memiliki tanda dan gejala klinis, sehingga pada pemeriksaan fisik dan
KRONIS radiologis tidak terdeteksi patofisiologi yang mendasarinya. Nyeri ini biasanya muncul dari
lokasi viscera, jaringan miofasial, atau penyebab neurologis, dan biasanya dibedakan
atas nyeri non-maligna (jinak) dan nyeri maligna (kanker atau keganasan)
MEKANISME NYERI
Nyeri merupakan sensasi yang dipentingkan bagi tubuh. Sensasi
pendengaran, penglihatan, bau, rasa, sentuhan dan nyeri adalah hasil dari
stimulasi reseptor sensorik. Provokasi pada jalur-jalur dari sensorik nyeri akan
menghasilkan distress, penderitaan , dan ketidaknyamanan (Black &
Hawks, 2014).
Reseptor nyeri atau nosireseptor adalah syaraf yang berespon terhadap
stimulus nyeri yaitu berasal dari stimulus biologis, thermal, mekanik, elektrik,
dan kimiawi. Terdapat nosireseptor di sepanjang seluruh jaringan kecuali di
otak. Jika stimulus ditransmisikan ke medulla spinalis dan diteruskan ke area
pusat otak maka akan terjadi persepsi nyeri. Pada bagian dorsal tulang
belakang impuls nyeri akan berjalan melakukan sinaps bersama neuron
pada area dorsal pada substansi gelatinosa yang kemudian akan naik ke
otak. Di thalamus akan terjadi sensasi dasar nyeri yang kemudian akan
berlanjut ke korteks serebri dan sistem limbik sehingga nyeri diterima dan
diinterpretasikan (Helms & Barone, 2008).
Dalam transmisi nyeri, ada dua tipe serabut syaraf yang terlibat yatitu serabut
delta A dan serabut syaraf C. Pada serabut delta A yang besar akan
menghasilkan nyeri dengan tajam yang disebut “first pain” atau “fast pain”,
yang secara khusus distimulus karena pukulan fisik atau oleh getaran listrik, dan
luka potong. Disepanjang serabut A transmisi berlangsung sangat cepat,
sehingga reflek tubuh dapat berespon lebih cepat dari stimulus nyerinya yang
menghasilkan reaksi yaitu penarikan pada bagian tubuh seseorang yang
terkena stimulus sebelum merasakan nyeri. Sesudah nyeri yang pertama ini,
maka serabut syaraf C yang lebih kecil akan mengirimkan sensasi rasa sakit
yang disebut sebagai “second pain”. Transmisi nyeri pada serabut C lebih
lambat dari pada serabut A karena serabut C tidak memiliki selubung myelin
dan serabutnya juga lebih kecil. Satu-satunya yang menghasilkan nyeri
menetap atau konstan adalah pada serabut C (Helms & Barone, 2008).
Pada teori gate control, stimulus yang tidak menyakitkan yang dapat memblok
impuls nyeri di pintu dorsal ditransmisikan oleh stimulasi pada serabut syaraf.
Contohnya apabila reseptor sentuhan (A beta fibers) distimulasi, maka mereka
akan mendominasi dan menutup pintu. Kemampuannya dalam memblok
impuls nyeri adalah alasan individu cenderung menarik sesegera mungkin dan
pesan akan dikirimkan ke kaki ketika individu menginjak suatu benda tajam.
Transmisi dan durasi impuls nyeri dapat diblok dengan sentuhan. Hal ini
mempunyai implikasi agar menggunakan sentuhan dan masase pada pasien
yang mengalami nyeri (Helms & Barone, 2008).
FASE-FASE PENGALAMAN NYERI

A. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)


Fase ini adalah fase yang paling penting, karena pada fase ini akan mempengaruhi dua
fase yang lainnya. Pada fase ini seseorang akan belajar mengenai nyeri dan upaya yang
dilakukan agar nyeri tersebut hilang. Dalam fase ini sangat diperlukan peran perawat
dalam memberikan informasi pada klien.
B. Fase sensasi (terjadi saat terasa nyeri)
Terjadinya fase ini pada saat klien merasakan nyeri, setiap orang berbeda-beda dalam
menyikapi nyeri karena nyeri bersifat subyektif. Seseorang yang mempunyai tingkat
toleransi terhadap nyerinya rendah maka akan mudah merasakan nyeri dengan stimulus
nyeri yang kecil dan akan mencari upaya dalam mencegah nyeri sebelum nyeri tersebut
datang, sebaliknya apabila seseorang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi terhadap
nyeri maka tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil dan mampu dalam
menahan nyerinya tanpa bantuan. Keberadaan endorfin dan enkefalin akan membatu
menjelaskan tingkat nyeri yang dirasakan dari stimulus yang sama dengan orang yang
berbeda. Kadar dari endorfin pada setiap individu berbeda-beda, individu dengan
endorfin yang sedikit akan merasakan nyeri yang lebih besar, sebaliknya individu dengan
endorfin yang tinggi maka akan merasakan nyeri sedikit.
C. Fase akibat (terjadi ketika saat nyeri berhenti atau berkurang)
Pada fase ini, nyeri sudah berkurang atau hilang. Peran perawat sangat
dibutuhkan pada fase ini karena nyeri bersifat krisis sehingga
memungkinkan adanya gejala sisa pasca nyeri pada pasien. Apabila klien
mengalami nyeri lagi, maka respon akibat (aftermath) akan dapat menjadi
masalah kesehatan yang berat pada klien. Dalam hal ini diperlukan
pengontrolan diri pasien oleh perawat agar rasa takut dapat diminimalkan
terhadap kemungkinan nyeri yang berulang. Dan dibutuhkan peran
perawat dalam membantu perubahan kognitif pasien yang akan
berpengaruh terhadap produksi opiod endogen dalam mencegah respon
nyeri yang berulang
TEORI NYERI

•Specificity theory menyatakan terdapat 4 (empat) sensasi


Specificity utama yang dapat menstimulus reseptor spesifik pada
kulit, antara lain; sentuhan, sensasi hangat, dingin dan

theory
nyeri. Stimulasi pada ujung – ujung saraf pada reseptor
nyeri akan menstimulasi transmisi stimulus nyeri melalui
serabut A dan C ke spinal cord.

•Intensity Theory menjelaskan bahwa nyeri berasal dari


Intensity stimulus yang berlebihan terhadap reseptor sensori. Nyeri
akan sangat dirasakan jika intensitasnya cukup kuat.

Theory
Stimulus yang berlebihan terhadap reseptor sensori akibat
kondisi patologis akan menghasilkan peningkatan stimulus
nononxious yang menimbulkan nyeri.
Pattern •Pattern Theory merupakan teori yang menjelaskan bahwa persepsi
nyeri adalah hasil dari intensitas stimulus dan sumasi dari impuls.
Menurut teori ini, reseptor nonspesifik akan mentransmisikan

Theory stimulus nyeri yang didapat dari kulit ke spinal cord. Pola impusl
yang diterima akan dipersepsikan sebagai nyeri.

Gate •Menurut Melzack dan Wall (1965) dalam teorinya yaitu gate
control dijelaskan bahwa yang mengatur impuls nyeri adalah
mekanisme pertahanan disepanjang sistem syaraf pusat. Proses

Control
pertahanan diatur oleh keseimbangan aktivitas dari neuron sensori
dan serabut kontrol desenden dari otak. Impuls ditransmisi melalui
mekanisme pertahanan dengan cara neuron delta-A dan C
melepaskan substansi C melepaskan substansi P. Disamping itu

Theory terdapat mekanoreseptor yang melepaskan neurotransmitter


penghambat yang lebih cepat dan lebih tebal yaitu neuro beta-A.
Lanjutan Gate Control Theory
Mekanisme pertahanan akan menutup apabila masukan yang dominan
berasal dari serabut-A. Proses penutupan ini dapat dilihat pada saat klien
digosok punggungnya oleh perawat secara lembut. Klien dapat
mempersepsikan sensasi nyerinya pada saat pertahanan dibuka yaitu
apabila masukan yang paling banyak berasal dari serabut delta A dan
serabut C sehingga pesan yang dihasilkan akan menstimulasi
mekanoreseptor. Dan terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang
memodifikasi nyeri apabila impuls nyeri dihantarkan ke otak. Opiat
endogen seperti endorfin dan dinorfin dilepaskan oleh alur syaraf
desenden, pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Mekanisme
pertahanan ditutup oleh neuromodulator ini dengan cara menghambat
pelepasan substansi P. Beberapa tekhnik distraksi (seperti : hipnotis,
masase, musik, dan Guided Imagery), pemberian plasebo dan konseling
adalah cara untuk melepaskan endorfin sehingga pesan yang sampai di
korteks adalah stimulasi modulasi dan bukan nyeri
Gambar Gate Control Theory Mechanism
FAKTOR-FAKTOR YG MEMPENGARUHI NYERI

KEBUDA MAKNA PERHATI


USIA JK
YAAN NYERI AN

PENGALA DUKUNGAN
ANSIETAS MAN NYERI POLA
KELETIHAN KELUARGA
SEBELUM KOPING
& SOSIAL
NYA
SKALA NYERI
A. Wong-Baker FACES Pain Rating Scale Wong-Baker
Wong-Baker FACES Pain Rating Scale disebut dengan skala wajah, yang
terdiri dari enam wajah kartun yang mempunyai rentang dari wajah
tersenyum “untuk tidak ada nyeri” sampai wajah terurai air mata untuk
“nyeri yang paling berat.
Pada anak-anak yang minimal berusia 3 tahun atau lebih, maka skala ini
dapat digunakan. Skala ini mempunyai kelebihan yaitu anak dapat
menunjukkan sendiri gambar yang telah ada sesuai dengan rasa nyeri
yang dialaminya. Skala wajah ini direkomendasikan untuk anak-anak
B. Visual Analogue Scale (VAS)
Cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri adalah Visual
Analogue Scale (VAS) (Nilssons, 2008; Black & Hawks, 2009). Pada skala ini
garis sepanjang 10 cm tanpa tanda pada setiap sentimeternya diwakili
sebagai rentang nyeri. Pada kedua ujung garis ini tanda yang digunakan
dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif. Salah satu ujungnya
mewakili tidak ada nyeri (“no pain”), sedangkan pada ujung yang lainnya
mewakili rasa nyeri yang berat yang mungkin terjadi pada individu (“worst
possible pain”). Skala ini bisa berupa horizontal atau vertikal. Skala VAS
memiliki manfaat utama yaitu sederhana dan mudah dalam
penggunaannya
C. Numeric Rating Scale (NRS)
Pada skala ini angka yang digunakan untuk menggambarkan tingkat nyeri
adalah 0 sampai dengan 10 (Black & Hawks, 2009). Skala ini sama seperti
VAS yang menggunakan dua ujung ekstrim. Skala 0 berarti
menggambarkan tidak ada nyeri, skala 1-3 menggambarkan nyeri ringan
(sudah mulai terasa nyeri tetapi masih bisa ditahan), skala 4-6
menggambarkan nyeri sedang (nyeri yang dirasakan sudah mulai
mengganggu dan perlu usaha yang cukup kuat untuk menahannya), dan
skala 7-10 menggambarkan nyeri berat (nyeri yang dirasakan sangat
mengganggu sehingga tidak tertahankan lagi dan membuat individu
meringis, menjerit, bahkan berteriak
PENATALAKSANAAN NYERI

NON
FARMAKOLOGIS
FARMAKOLOGIS
FARMAKOLOGIS
Adapun standar analgetik 3 tahap yaitu :
Obat analgetik untuk nyeri derajat ringan analgetik yang sering dipakai untuk nyeri
derajat ringan adalah aspirin dan parasetamol. Obat golongan anti inflamasi
nonseteroid (NSAID atau AINS) seperti aspirin, dapat memberikan efek rasa nyeri yang
diakibatkan oleh metastasis tumor ke tulang.
Pemberian aspirin dan parasetamol sebagai analgetik diberikan setiap 4 sampai 6 jam.
Dosis untuk pemberian aspirin adalah 500 mg sampai 600 mg, sedangkan parasetamol
dosisnya adalah 500 mg sampai 1000 mg. Pemberian analgetik dengan dosis yang
berlebih, tidak akan menimbulkan efek yang lebih kuat dalam mengatasi nyeri, namun
sebaliknya akan menambah efek samping yang lebih buruk.
Jika dengan pemberian NSAID nyeri tidak berkurang, tidak boleh dilakukan pengantian
obat NSAID yang lain kecuali atas pertimbangan efek samping obat. Terapi
pengobatan selanjutnya harus langsung ditingkatkan dengan memakai obat tahap
kedua.
B. Obat analgetik untuk nyeri sedang
Jika obat nonopioid tidak efektif dalam mengatasi nyeri, maka selanjutnya
dapat dipilih obat atau terapi nyeri derajat sedang yang lain. Obat ini
dapat digunakan secara tunggal atau dikombinasi dengan analgetik
nonopioid atau obat pembantu lainnya.
Pemberian Kodein sering digunakan untuk mengatasi tingkat nyeri sedang.
Pemberian 30 mg kodein peroral dapat memberikan efek analgetik yang
setara dengan aspirin 650 mg. Jika kedua obat tersebut digunakan dalam
terapi, maka akan menghasilkan efek analgetik yang setara dengan 60
mg kodein. Penggunaan kodein dapat diberikan secara tunggal atau
bersama dengan aspirin atau parasetamol, dengan dosis anjuran 30 mg
sampai 60 mg setiap 4 sampai 6 jam.
C. Obat analgetik untuk nyeri derajat berat
Bagi pasien yang belum pernah mendapatkan terapi opiat, diberikan dosis
awal tablet morfin morfin lepas cepat adalah 5 mg sampai 10 mg setiap 4
sampai 6 jam sekali. Namun jika dengan dosis tersebut masih juga belum dapat
mengatasi nyeri, maka dosis dinaikkan 50% dari dosis semula. Jika saat diberi
dosis pertama dan pasien berespon terhadap penurunan nyeri namun terlalu
mengantuk, maka untuk pemberian yang kedua, dosis diturunkan 50%.
Umumnya dengan pemberian morfin dengan dosis 5 mg sampai 30 mg yang
diberikan setiap 4 jam, telah dapat mengatasi nyeri pada sebagian pasien.
Jika nyeri telah dapat dikendalikan dan dosis morfin perhari telah dapat
ditentukan, maka dapat diganti dengan morfin oral kerja panjang (tablet
morfin lepas terkendali).
Efek samping utama analgetik opioid adalah konstipasi, mual, muntah, pusing,
mengantuk, dan depresi nafas. Konstipasi dapat terjadi pada 90% sampai 100%
pasien yang menggunakan opioid. Oleh karena itu pencegahan terhadap
konstipasi pada pemberian opioid harus diperhatikan. Bila pasien diberikan
analgetik opioid, diberikan pula obat pencahar ringan. 30% sampai 50% pasien
yang mendapat terapi analgetik opioid mengalami mual dan muntah. Hal ini
terjadi utamanya pada minggu pertama pemakaian dan berkurang pada
minggu- minggu berikutnya.
D. Obat -Obat Pembantu
Tujuan menggunakan obat ini adalah untuk memperkuat efek analgetik,
mengurangi gejala dari lain yang sering dialami oleh pasien kanker, dan
mengobati efek negatif yang ditimbulkan oleh pemberian analgetik. Obat
pembantu ini dipergunakan pada setiap tahap pada tiga metode
pemberian analgetik. Obat yang sering digunakan adalah prednison, dan
deksametason. Dosis deksametason yang diberikan adalah 16 sampai 36
mg per hari melalui intravena. Sedangkan prednison diberikan dengan
dosis 40 mg sampai 100 mg per hari melalui oral.
PENATALAKSANAAN NYERI NON
FARMAKOLOGIS
DISTRAKSI
GUIDED IMAGERY
RELAKSASI NAFAS DALAM
TERAPI MUSIK
TERAPI MUROTAL , DLL
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai